KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RS BHAYANGKARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
MAKALAH JANUARI 2019
IDENTIFIKASI GIGI
OLEH : RIZKY DWI MULIASARI (K1A1 11 018) IKHLASUL AMAL ABDAL (K1A1 13 137)
PEMBIMBING :Drg. MULYATI DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIANKEDOKTERAN FORENSIKDAN MEDIKOLEGAL RS BHAYANGKARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang secara geografis rawan bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami dan banjir. Selain factor alam, bencana juga bisa disebabkan oleh factor manusia. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi korban bencana masal adalah untuk mengetahui identitas korban. Proses identifikasi ini sangat penting, bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga. Beberapa tahun terakhir ini banyak kejadian bencana yang menyebabkan jumlah korban manusia yang besar. b esar. Penyebab Pen yebab bencana b encana bermacam-macam, yakni akibat ulah manusia (bencana bom, kebakaran), bencana alam (banjir, longsor, gunung meletus), kecelakaan transportasi (darat, laut, udara) dan lain-lain. Pada kejadian tersebut terdapat korban yang sulit untuk dikenali karena tidak adanya tanda pengenal. Setiap orang mempunyai identitas untuk membedakannya dari orang lain. Sesuai dengan data yang ada, maka pada tahun 2009 terdapat sekitar 3000 kematian yang terjadi di Kota Manado, dan itu bukanlah suatu jumlah yang sedikit. Proses identifikasi menjadi penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab suatu kematian, namun juga upaya untuk memberikan ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. Identifikasi merupakan penentuan atau penetapan identitas orang hidup atau mati, berdasarkan ciri-ciri yang khas yang terdapat pada orang tersebut. Identitas individu mempunyai aspek hukum, sebagai contoh orang meninggal akibat tindakan kriminal harus ditentukan identitasnya untuk keperluan dalam penegakan hukum. Pasal 118 ayat (1) undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Terdapat beberapa metode identifikasi yang dilakukan, antara lain
pengenalan visual, pengenalan barang milik pribadi, sidik jari, karakteristik gigi hingga DNA. Di antara metode-metode tersebut, DNA, karak-teristik gigi, metode sidik jari mempunyai validitas individu yang tinggi.4 Manusia, memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dengan demikian di dalam rongga mulut terdapat berbagai variasi keadaan gigi yaitu baik rusak, ditambal, dicabut, gigi tiruan, implant, dan lain-lain. Gigi mempunyai peran penting di bidang kedokteran gigi forensic, yaitu dalam proses identifikasi individu. Gigi dapat digunakan untuk menentukan identiatas seseorang yang meninggal karena kecelakaan, kejahatan ataupun ataupun karena bencana alam karena gigi merupakan material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan. Dari semua jaringan keras tubuh manusia gigi mempunyai kelebihan yaitu stabil dan tidak mudah rusak selama penyimpanan. Berdasarkan pengalaman di lapangan gigi mempunyai konstribusi tinggi dalam menentukan individu. Pada kasus bali Oktober 2002, sekitar 50% korban dapat diidentifikasi berdasarkan gigi geligi.. Pemeriksaan forensik dalam kasus dimana usia kronologis seorang individu tidak diketahui karena identitas asli tidak ada ataupun adanya indikasi pemalsuan identitas, pemeriksaan forensik diperlukan untuk memprakiraan usia.1 Usia dapat diperkirakan karena bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya tahap pertumbuhan dan perkembangas struktur tubuh berupa perubahan fisik yang konstan sehingga setiap tahap dari proses perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan usia seorang individu.1 Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) merupakan sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Namun disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah dan juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk
melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik (contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya). B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana
metode
yang
dapat
digunakan
untuk
menentukan
usia
untuk
menentukan
usia
berdasarkan perkembangan gigi geligi? C. Tujuan
1. Mengetahui
metode
yang
dapat
digunakan
berdasarkan perkembangan gigi geligi D. Manfaat
1. Menambah wawasan kepada pembaca mengenai Mengetahui metode yang dapat digunakan untuk menentukan usia berdasarkan perkembangan gigi geligi 2. Sebagai informasi tambahan bagi penulis lain dengan bidang yang relevan dengan makalah ini. 3. Sebagai pengalaman bagi penulis dalam melaksanakan tugas ilmiah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Umur Kronologis
Umur ditentukan melalui tanggal kelahiran dalam kurun periode waktu atau jumlah tahun yang telah dilalui setelah kelahiran yang disebut umur kronologis. Umur kronologis sejatinya dicatat dalam sertifikat kelahiran rekam medik rumah sakit, database pemerintah dan sebagainya, namun apabila dijumpai seseorang tanpa dokumen tersebut maka penetapan umur menjadi hal yang penting14. Umur kronologis adalah umur aktual seseorang. Hubungan antara pertumbuhan dan umur kronologis kadang tidak sejalan sehingga konsep umur biologis sering digunakan karena dapat mengekspresikan baik umur skeletal maupun umur gigi.
Umur kronologis dapat diestimasi dengan menentukan umur fisiologis yaitu umur di mana perkembangan sistem atau organ tubuh mencapai tahapan tertentu. Diperlukan pengetahuan untuk mengetahui tahap perkembangan sistem dan organ tubuh tersebut dan tentu saja dibutuhkan waktu untuk mencapai tiap tahapan perkembangan agar sejalan dengan norma atau standar populasi. Tidak semua sistem atau organ dapat digunakan dalam estimasi umur. Beberapa sistem dan organ telah digunakan untuk memperkirakan umur kronologis, mulai dari cara yang paling mudah dan tidak rumit (tinggi badan, berat badan, karakteristik organ seksual sekunder), cara yang paling sulit dan rumit
(metode
molekuler
menggunakan
biomarker),
hingga
cara
yang
menggunakan metode sangat kompleks (perkembangan tulang dan gigi). Beberapa kriteria yang harus ada pada suatu sistem atau organ untuk bisa menjadi indikator umur yang ideal antara lain 1) sistem atau organ tersebut harus berkembang dalam kurun waktu yang panjang, 2) tahapannya dapat dikenali dan/atau dapat diukur sehingga dapat ditetapkan baik pada individu hidup maupun yang telah meninggal, 3) tahapan tersebut harus terjadi melampaui kurun waktu yang singkat, 4) harus stabil, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ras, 5) dapat senantiasa digunakan pada manusia dengan baik. Metode dental untuk menentukan umur biologis seseorang lebih mudah diterima dibanding metode lain. Metode ini kebanyakan berdasarkan atas prediksi subyektif tahapan perkembangan gigi secara radiologi. Umur gigi dapat diekspresikan
menggunakan
mineralisasinya.
Beberapa
waktu studi
erupsi
gigi
menyebutkan
atau
bahwa
tahapan
maturasi
pertumbuhan
dan
perkembangan molar ketiga dapat ditentukan dengan mudah. Biasanya molar ketiga rahan bawah dpata divisualisasikan secara radiografi pada umur 9 tahun. Kullman, dkk. dalam Ardakani, F., dkk (2007) memperlihatkan bahwa hanya molar ketiga yang dapat digunakan dalam penentuan umur di mana umur perkembangan maksimum terjadi setelah umur 14 tahun. Pada ras Hispanik,
perkembangan molar tiga rahang atas sempurna setelah perkembangan molar tiga rahang bawah selesai. Erupsi gigi dan tahap mineralisasinya telah digunakan dalam penentuan umur gigi. Proses mineralisasi dinilai secara genetik sementara erupasi dipengaruhi oleh kondisi sitemik misalnya gizi atau kondisi lokal. Sebuah studi yang dilakukan oleh Mesotten, dkk. (dalam Ardakani, dkk. 2007) memperlihatkan hubungan antara akar molar ketiga dan umur kronologis. Hal serupa dijumpai dalam studi yang dilakukan Arany, dkk. (dalam Ardakani, dkk. 2007) bahwa perkembangan sempurna molar tiga yang terlihat secara radiografi berhubungan dengan umur kronologi populasi muda di Jepang.
B. Gigi Sebagai Indikator Estimasi Umur
Estimasi umur merupakan salah satu konsentrasi dalam kajian ilmu forensik yang memiliki manfaat besar khususnya pada saat identifikasi korban suatu bencana, kasus kriminal ataupun kecelakaan8,15. Beberapa metode dalam mengestimasi umur seseorang telah digunakan dalam penelitian forensik dengan hasil yang berbeda-beda, namun sebagian besar dari metode-metode tersebut hanya dapat digunakan pada individu yang telah mati9. Pada individu yang telah mati, estimasi umur misalnya diterapkan pada saat identifikasi korban mati kasus pembunuhan, aborsi janin ataupun bencana alam2. Pada kasus bencana alam, upaya dalam mengestimasi umur akan memudahkan identifikasi korban dengan mengelompokkannya berdasarkan umur korban2. Sedangkan pada individu yang masih hidup, estimasi umur bermanfaat pada kasus-kasus seperti pemalsuan umur pada pernikahan, perwalian anak, keimigrasian maupun kasus lain seperti pemerkosaan. Dalam hal peradilan, pemberian sanksi pada tersangka berdasarkan golongan umurnya dapat diketahui dengan cara estimasi umur. Gigi merupakan salah satu bagian dari tubuh yang umumnya dipakai untuk mengestimasi umur karena keunggulannya dapat diaplikasikan pada individu dengan umur prenatal hingga umur dewasa. Hal ini dikarenakan gigi
mengalami perubahan yang signifikan pada struktur nya seiring dengan bertambahnya umur. Selain itu, struktur yang keras dan mengalami sedikit sekali perubahan biologis, serta cirinya yang khas adalah alasan-alasan mengapa kemudian gigi sangat baik dijadikan sebagai indikator estimasi umur. C. Metode Schour Dan Massler
Tahun 1935, Schour dan Massler menerbitkan tabel perkembangan numeric untuk gigi susu dan gigi permanen. Tahapan dan penentuan waktunya diilustrasikan pada gambar 1.4 dan 1.5. Bagan perkembangan gigi geligi manusia metode schour dan massler secara berkala diperbaharui dan dipublikasikan dalam ukuran aslinya oleh Americandental association (gambar 1.4). yang menarik perhatian yaitu perkembangan gigi-gigi insitu, termasuk resopsi akar untuk gigi susu
(desidua)
Dengan
adanya
tampilan
gambar dalam
ukuran
asli,mempermudah membuat perbandingan langsung dengan gambaran radiograf atau
perubahan
pertumbuhan
gigi
yang
secara
individual
berbeda.
Dikritik bahwa table tersebut tidak ada pemisahan untuk pria dan wanita dan jarak usia rata-ratadari 2 tahun hingga 15 tahun diambil kurang lebih 6 bulan adalah terlalu dekat. Ciapparelli (1985) membandingkan data Schour dan Massler dengan sampel dari anak usia sekolah. Rata-rata usia dari 4 tahun hingga 16 tahun pada pria, dan perempuan3 6 bulan lebih awal. Variasi (schour dan massler ) pada anak usia 4-6 tahun dapatdiperbandingkan, tetapi pada usia 12 tahun variasi pada anak laki-laki menjadi dua kalilipat dan pada usia 16 tahun menjadi 3 kali lipat. Penelitian-penelitian ini memiliki peranan yang penting dalam investigasi forensic,dan survey numeric oleh Kronfield (1935) jika disusun ulang seperti padagambar 1.5 dan1.6 dapat berguna dalam penggabungan bagan bergambar. Dalam tahap perkembangan bisa saja data tersebut tidak akurat kemungkinan muncul data-data dari metode yang lebih canggih.
Gambar
1.4.
Perkembangan
gigi
menurut
metode
schour
dan
massler
berdasarkandata dari kronfield. y=umur dalam tahun, m=umur dalam bulan miu=bulan dalamkandungan, a=insisivus1, e= molar 2.
Gambar 1.5. Perkembangan gigi permanen maxilar dan mandibular. Data darikronfield (1935) Y=umur
dalam
tahun,
permaneninsisivus1, 8= molar permanen ketiga.
M=umur
dalam
bulan,
1=gigi
Gambar 1.6. Gambar perkembangan gigi Schour dan Massler (American dental association,1982) primary dentitio
Gambar
1.6.
Gambar
perkembangan
gigi
Schour
dan
Massler
(American
dentalassociation, 1982) mixed and permanent dentition. Berdasarkan grafik dari Schour dan Massler (1941) di atas, dapat ditentukan lima kelompok usia berdasarkan perkembangan dan erupsi gigi-geligi yaitu1: a.
Kelompok usia prenatal: 5-7 bulan intra uteri
b.
Kelompok infant: saat lahir sampai 1,5 tahun
c.
Kelompok usia kanak-kanak awal (pra sekolah): 2-6 tahun
d.
Kelompok usia kanak-kanak akhir (usia sekolah): 7-10 tahun
e.
Kelompok usia remaja dan dewasa: 11-35 tahun
D. METODE MOOREES, FANNING dan HUNT
Metode-metode dan tabulasi data yang dilakukan oleh Moorees (1963) dalam surveinya dapat menjadi standar perkembangan yang berguna untuk dokter gigi forensik.Studi lainnya (yang dilakukan oleh Anderson, 1976) menggunakan sampel yang berbedadan gambaran radiografi tapi dengan kriteria mineralisasi yang sama, dapatmemungkinkan perbandingan yang bermanfaat antara dua tempat yang secara geografisdekat tetapi grup populasi berbeda. Keuntungan dari dua studi ini adalah data perkembangan dapat dipakai untuk perkembangan gigi permanen dari tiap individu. Moorees menjelaskan 14 tahapan dari mineralisasi untuk perkembangan akar tunggal gigi permanen maupun akar multipel dari gigi permanen (gambar 1.7 dan hasilnya dinyatakan sebagai rata-rata pencapaian usia untuk tiap tahap dari 14 tahapperkembangangigi yang telah dipelajari, kurang lebih 2 standar deviasi. Data tersebut mengindikasikan bahwa tahap perkembangan mahkota gigi menunjukan kurangnya variasi jikadibandingkan dengan tahap perkembangan akar gigi; perlu diingat bahwa akurasimerupakan hal yang utama. Usia paling muda dalam penelitian adalah 6 bulan, dan datatersebut termasuk perkembangan dari gigi geraham belakang ketiga bagian bawah(mandibula). Hal yang menarik perhatian dari studi forensik ini adalah: 1. Kecilnya perbedaan antara tahap pembentukan mahkota gigi dengan jenis kelamin(pria dan wanita). Diferensiasi jenis kelamin dalam perkembangannya menjadi jelas seiring dengan pembentukan akar gigi, dimana perempuan lebih dahulu berkembang daripada laki-laki. 2. Gigi muncul ke permukaan secara klinis pada tahap R¾. 3.Dimorfisme seksual yang paling besar nyata pada gigi taring (canina) bagian bawah, perempuan 11 bulan lebih dahulu daripada laki-laki.
Gambar 1.7 tahapan pembentukan gigi untuk menaksir perkembangan akar tunggal gigi (dari Moorees, 1963). Angka-angka diatas diagram mengindikasikan tahapan perkembangan yang berkesesuaian dengan kode simbol berikutnya. Ci, perkembanganawal canina; cco, canina yang koalesen;coc, tepi canina yang terbentuk sempurna;cr½,mahkota gigi yang terbentuk setengah;cr¾, mahkota gigi yang telah terbentuk tiga perempat bagian; crc, mahkota gigi terbentuk sempurna; ri, pembentukan awal akar gigi;r¼, panjang akar gigi seperempat; r½, panjang akar gigisetengah; r¾, panjang akar gigitiga perempat; rc, panjang akar gigi sempurna; a½, separuh apex tertutup; ac, penutupanapikal yang sempurna.
Gambar 1.7 tahapan pembentukan gigi untuk menaksir perkembangan akar tunggalgigi (dari Moorees, 1963). Simbol-simbol berkode seperti gambar 1.6, dengan tambahancli, pembentukan celah awal.
E. METODE GUSTAFFSON
Merupakan metode penentuan usia berdasarkan perubahan makristruktural gigi geligi. Gustaffson menyusun satu sistem yang berpatokan pada 6 faktor yang berhubungan dengan usia: 1. Derajat atrisi (A) Yang dimaksud adalah derajat atau keparahan atrisi atau ausnya permukaankunyah
gigi
baik
insisial
maupun
oclusal
sesuai
penggunaannya. Makin usia lanjut maka derajat atrisinya makin parah.
dengan
2. Periodontosis atau perubahan pada ginggiva (P) Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari perlekatan epitel ditandaidengan turunnya atau dalamnya sulkus ginggivayang melebihi 2 milimeter bahkan makin usia lanjut, perlekatan ginggiva turun kearah akar gigi sehinggaterlihat seakan-akan mahkota lebih panjang. 3. Jumlah dentin sekunder (S) Pembentukan sekunder dentin oleh karena penggunaan gigi atau atrisi dari permukaan oclusi biasanya terbentuk diatas atap pulpa sehingga makin usialanjut secara rontgenografis terlihat seakan-akan pulpa jadi sempit karenasekunder dentinnya makin tebal. 4. Cemen apposition atau ketebalan sementum sekitar akar gigi (C) Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah tebal jaringan cementum pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena perlekatan serat-serat periodontaldengan aposisi yang terus menerus dari gigi tersebut selama hidup merupakanfaktor penting yang sangat mempengaruhi. 5. Transparansi akar atautransluecency of the root (T) Bertambahnya usia terjadilah proses kristalisasi dari bahan-bahan mineral akar gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar gigi kearah cervikal menjadi transparan. Transparansi dentin ini dimulai padadekade ketiga dari tebal tubular dentin 5 milimicron sehingga pada usia 50tahun tebal tubular dentin hanya 2 milimicron hingga pada usia 70 tahun tebaltubular dentin tinggal 1 milimicron. 6. Resorbsi akar (R ) Menurut Gustaffson, bahwa terjadi resorbsi akar gigi permanen akibat tekananfisiologis dengan bertambahnya usia. Mili demi mili diukur olehnya dalam penentuan usia akibat penggunaan gigi.
Dalam setiap irisan dasar, ciri-ciri gigi diberikan angka dan poin-poin di jumlahkan untuk memberikan hasil akhir. Metode Gustaffson menjumlahkan setiap nilai dari 6 faktor tersebut dimana setiap faktor yang mempunyai bobotyang sama dan berarti 6 poin tersebut mempunyai nilai perkiraan usia yang sama. Rumus Gustaffson(1950).
Gambar. Perubahan jaringan keras gigi
Gambar 1.8 hubungan antara usia dengan perubahan pada gigi
Skoring berdasarkan metode Gustaffson A0= no atrittion
A1 =
atrittion A2=
within enamel S0
=
no S1
=
secondary
secondary
dentin
dentine
atrittion A3= atrittion
reaching dentin
reaching pulp
no S2 = pulp cavity S3 = pulp cavity is has filled has
is
nearly
wholly
or filled
begun to form
with secondary
in upper part of
dentin
pulp cavity
P 0=
no P1=
periodontosis
P 2=
no P3=
periodontosis
periodontosis
periodontosis
just begun
along first one- has passed twothird of root
C0=
normal C1= apposition C2=
layer
of little
normal C3= heavy layer
greater layer
comentum laid than normal
comentum
down
down
R 0=
no R 1=
thirds of root
of of cementum laid
root R 2= greater loss
R 3= great areas
resorption
resorption only of substance
of
visible
on
cementum
small
isolated spots
both and
affected
(dental age estimation of adult : a review of method and principal) 2008 Umur (tahun) = 11,43 + 4,26 X ± 3,63 (faktor koreksi)
X=A+P+S+C+R+T Keterangan : A= Attrition P=Priondontis S=Secondary dentin C=Cemen apposition R=Root resorbtion T= Root dentin transparancy
Johanson (1971) merevisi sistem penilaian diatas. Dia menemukan bahwa root dentin transparency (T) mempunyai korelasi paling besar dengan umur, diikuti dengan secondary dentine deposition (S), attrition (A), dan cemen apposition(C), periodontis (P) dan root resorbtion (R) mempunyai korelasi yang kurang kuat dengan umur. Maples dan Rice (1979) mengkoreksi rumus Gustaffson: Umur (tahun) = 13,45 + 4,26 X ± 7,03 (faktor koreksi)
Metode Johanson (1971): Umur (tahun) = 11,02 + 5,14 A + 2,3 S + 4,14 P + 3,71 C + 5,57 R + 8,89 T ± 5,16 standar deviasi
Gambar 1.9 Hubungan antara usia dengan pertumbuhan gigi Sedangkan Maples sendiri (1978) menentukan usia dengan rumus: Umur (tahun) = 6,54 S + 10,88T + 16,08 + Nilai posisi ± 9,1 (faktor koreksi)
F.
Posisi gigi
Value
1
0,00
2
11,24
3
13,18
4
4,39
5
5,21
6
-5,37
7
3,73
8
8,04
METODE ASAM ASPARTAT
Hapusan asam aspartat telah digunakan untuk memperkirakan usia berdasarkan adanya senyawa ini pada lapisan dentin gigi manusia. Teknologi ini digunakan pada bidang gigi forensik yang berasal dari penelitian paleontologi terhadap fosil tulang dankerangka. Sebagian besar protein dalam tubuh kita mengandung L-amino acid, dimana D-amino acid tersebut terkandung dalam tulang, gigi, otak, dan lensa mata. D-amino aciddipercaya dapat memperlambat proses
metabolik
dan
memperlambat
laju
pembusukan.Asam
aspartat
mempunyai kecepatan pembentukan paling tinggi dari semua asam amino.Tahun 1976, Helfman dan Rada menggunakan informasi ini untuk memperkirakan usiadengan membandingkan rasio D : L aspartic acid dalam gigi pada 20 subjek dengan hasil bagus (r = 0,979) Rasio D : L yang tinggi didapatkan pada usia muda dan semakin turundengan bertambahnya usia, yang diduga karena perubahan lingkungan. Tahun 1985,Origano dkk melaporkan kegunaan aspartic acid pada bidang gigi forensik untuk menentukan usia pada saat meninggal. Tahun 1990, Ritz dkk melaporkan bahwa banyaknya asam aspartat pada dentin dapat digunakan untuk menentukan saat kematian,dan menyimpulkan kalau metode ini dapat memberikan penentuan umur yang lebihakurat dibanding
parameter umur yang lain. Untuk penentuan usia digunakan persamaanlinear sebagai berikut: Ln (I+D/L) / ( 1-D/L) = 2.k (aspartat).t + konstanta
Ket: K = first order kinetik T = usia sesungguhnya tahun 1991, Ohtani dan Tamamoto mempelajari hubungan asam aspartat ini dengan menggunakan potongan gigi secara memanjang, dengan hasil yang lebih bagus (r =0,991). Gigi yang digunakaan adalah gigi seri tengah dan premolar 1 bawah. Mereka menemukan memperkirakan umur yang lebih baik dengan cara memecah fraksi AsamAmino Total (TAA) ke dalam fraksi kolagen yang tidak larut (1C) dan fraksi peptideyang terlarut (SP). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan asam amino total atau fraksikolagen yang tidak larut, maka fraksi peptida yang terlarut memiliki kadar asam aspartatdan glutamin yang lebih tinggi. Ohtani dan Yamato menyimpulkan ada korelasi yang bagus antara Asp D/L dengan usia yang sesungguhnya yang dinyatakan dengan rumuslinier 1C dan SP serta TAA, dan SP nampaknya mampu memberikan perkiraan usia yanglebih dapat diandalkan karena tingkat pembentukannya yang tinggi hampir 3 kali lipatdaripada TAA.Teknik ini diharuskan memotong gigi secara memanjang, membuang pulpa dentis,mencuci dengan asam chlorida 0,2M, air suling (3x), ethanol dan ether (masing-masing 5 menit) kemudian hancurkan dalam mortir sampai halus. Tambahkan 1 ml HCl 1M kedalam 10 mg serbuk yang telah halus ini, kemudian disentrifuge pada kecepatan 5000 rpmselama 1 jam pada suhu 5ºC. Campuran tersebut kemudian dihitung dengan teknik gaschromatography yang memakai derivat N-terfluoroacetyl isopropyl ester dan gas pembawa Heh¶um. Ketelitian metode ini adalah 3-4 tahun dari usia yang sesungguhnya. Histology pada gigi telah digunakan untuk memperkirakan usia dengan baik, hal inisebagian besar dilaporkan pada penelitian Gustafson. Maples (1978)
melaporkan
adanya
teknik
dengan
menggunakan
histology
gigi
untuk
memperkirakan usia pada orang dewasadengan menggunakan analisa kemunduran yang multiple berdasarkan parameter Gustafson pada erosi paradontosis, lapisan dentin kedua, cementum, akar gigi. Dia berpendapat bahwa analisis regresi multiple dapat memperkirakan usia pada gigi orang dewasa denganketelitian yang tinggi dan sedikit kekeliruan. Dia juga menuliskan bahwa molar kedua paling baik untuk teknik penentuan usia secara histology dan bahwa usia gigi tersebutdapat digunakan dengan cara yang sama pada perpaduan epiphyseal, usia osteon, suturacranialis dan perubahan pada simpisis pubis telah digunakan untuk sementara dan populasi prasejarah untuk tujuan penentuan usia. Maples dan Rice (1979) melaporkan perbedaan yang menetap pada estimasi usia gigi menurut Gustafson walaupun relative akurat danmerupakan cara yang mudah untuk menentukan usia dari mahkota gigi, erupsi gigi, danakar gigi yang telah lengkap dimana biasanya ditemukan pada usia 30 tahun. Cook mendeskripsikan kasus dimana teknik ini digunakan untuk melawan estimator usia yang lain yang didasarkan pada penemuan patologis saat otopsi, bukti radiografis dandata antropologis. Dia menyatakan bahwa beberapa studi telah dilakukan denganmenggunakan kriteria Gustafson untuk 6 parameter yang digunakan
(pengurangan,deposisi
dentin
sekunder,
paradontosis,
deposisi
cementum, resorption akar, dantransparansi akar ) dengan setiap parameter dinilai dari 0 sampai 4 menurut bobot yangsama. Nilai-nilai yang dihasilkan dibandingkan dengan usia yang diketahui melalui regresilinear yang relatif ke varian usia. Beberapa studi ini menunjukkan konsistensi yang masuk akal pada level
keyakinan,
tapi
varian
usia
adalah
7
sampai
15
tahun.
Dalam
ringkasan,analisis line incremental melengkapi beberapa studi histologis ini dan ini dapatditambahkan ke data erupsi gigi, setidaknya di populasi yang lebih mudah, dengan hasil-hasil yang baik. Dasar pemikiran untuk analisis line incremental dalam usaha identifikasi didasarkan pada fakta bahwa garis-garis ini mempunyai pola yang sama dalam
individu yangenamelnyadibentuk pada waktu yang sama dalam dentition yang ada. Gigi berbeda
yang berkembang dalam satu individu memberi pola line
incremental yang sama yang berbedadari individu yang lain, yang nantinya menciptakan ³ finger print dari perkembanganenamel yang spesifik pada individu. Analisis line incremental biasanya dilakukan pada bagian dasar dari pertunbuhangigi yang dipisahkan secara longitudinal, yang menghasilkan kerusakan pada struktur gigi.Studi Skinner dan Anderson unik dalam bagian dasar yang tidak digunakan. Mahkota gigiyang direkonstruksi ditanamkan dalam crystal clear polyester
casting
resin
dengan
katalis Fiber-tek dan
membantu
penyembuhan. Kemudian, mereka disekat secara longitudinal pada 180 sampai 200 µm dengan gergaji berkecepatan rendah Buehler-Isomet dengan pisau wafering diamond. Bagian-bagian yang disusun teliti dan difoto dengan pembesaran 20x dengan cahaya biasa dan polarisasi. Foto-foto gabungan kemudian diciptakan untuk menunjukkan seluruhemail bagian labial untuk menghomologkan guratan antargigi Batasan pada penentuan usia line incremental akan tergantung pada usia. Lipsinicdkk mempelajari korelasi usia dan line incremental dalam cementum gigi manusia danmenemukan bahwa prediksi usia secara langsung yang didasarkan pada garis-garis ini biasanya meremehkan usia specimen yang lebih tua. Bagaimanapun juga, disana adakorelasi antara jumlah line dan usia. Para penulis ini berkesimpulan bahwa beberapa studisemacam ini mempunyai manfaat yang lebih besar jika kelompok populasi yang cukup besar dipelajari dan formula komputer dihasilkan. Sebagai catatan, usia dapat diperkirakan melalui evaluasi histologis osteon dalamtulang, kerley pada tahun 1965 melaporkan kesuksesannya dalam menentukan usiamikroskopik melalui tulang kortikol manusia. Pada tahun 1978, Kerley dan Ubelaker mempublikasikan metode yang telah direvisi dengan teknik yang sama. Keduanyamelibatkan penggunaan bagian dasar dan jumlah osteon.
Teknik ini banyak digunakandalam laboratorium antropologi. Singh dan Gunberg mengaplikasikan metode ini ke bagian-bagian tulang mandibular dengan histologi dental menyediakan determinasi usiakomparatif yang berharga dari sisa individu yang tidak dikenal. G. METODE ANDERSON, THOMPSON, DAN POPOVICH
Ketiga ilmuwan ini pada tahun 1976 menerapkan kriteria Moores pada penelitianlongitudinal yang menggunakan gambaran radiografik sefalometrik. Dilakukan penilaianseluruh perkembangan gigi maksila dan mandibula, termasuk molar ketiga.Ciapparelli pada tahun 1985 melakukan studi sejenis menggunakan radiografik panoramik, dan dilakukan perbandingan antara ketiga penelitian ini dengan menggunakankriteria pertumbuhan yang sama namun dengan sampel dan gambaran radiografi berbeda.Menurut Fanning pada tahun 1961, variasi intraobserver dijumpai sebesar 27% darisampel yang dinilai, namun biasanya ± 1 tahap; sehingga pemeriksa disarankan agar melakukan penelitian secara teliti sebelum mengeluarkan keputusan tetap. Faktamenunjukkan adanya kesulitan untuk menggunakan sistem penilaian dengan banyak tahap pertumbuhan, sehingga bisa memicu perdebatan di persidangan tentang kapan satutahap mulai berlangsung dan kapan tahap yang lain berakhir. Paket presentasi yang telah disesuaikan dimana menggunakan kriteria mineralisasi14-tingkat (ditunjukkan pada gambar 1.10) jikadiagram pertumbuhan gigi dibuat life-size size berbanding dengan usia) maka mereka dapat langsung digunakan sebagai perbandingan dan range usianya bisa langsung terlihat. Format yang disarankan untuk melengkapi data pertumbuhan gigi menggunakan 14tingkat milik Moorees.
Gambar 1.10. Diagram ³Field Kit´ untuk memudahkan refrensi data pertumbuhangigi yang digunakan oleh penulis. Diagram 14-tingkat oleh Moorees (1963), tetapi dapatdimodifikasi untuk menyertakan pilihan tingkat pertumbuhan. Rata-rata usia dan variansidapat ditulis pada daerah yang kosong.
H. METODE DEMIRJIAN, GOLDSTEIN, DAN TANNER
Metode ini didasarkan pada tahapan perkembangan gigi permanen rahang bawah kiri melalui foto rotgen panoramic. Didasarkan pada kriteria bentuk dan nilai relative dan bukan pada panjang mutlak gigi. Dalam metode Demirjian dkk (1973) masing-masing tahap mineralisasi diberi skor yang menilai estimasi maturitas gigi dengan skala 0-100. Perhitungan matematika dandasar ilmiah digunakan untuk menghitung skor yang berasal dari hasil penelitian Tanner dkk (1983) 8 tahap pertumbuhan gigi dapat digambarkan dari hasil survey radiografik yang telah diterbitkan, ditambah dengan deskripsi tertulis tentang batas masing-masingtahap mineralisasi yang telah didefinisikan dengan jelas dna tidak memerlukan perhitungan.
Ada dua pilihan ketika menggunakan metode ini, pertama adalah penilaian yangmenggunakan 7 gigi mandibula (Demirjian, 1978) dan kedua menggunakan 4 gigimandibula (Demirjian dan Goldstein, 1976). Hilangnya gigi dari satu sisi dapatdigantikan oleh gigi dari sisi yang lain. Gigi Molar 1 yang tidak ada dapat digantikandengan gigi incisivus sentral (Demirjian, 1978). Data yang diperoleh jika
menggunakansistem
Demirjian
mengindikasikan
bahwa
perbedaan
pertumbuhan gigi antara pria danwanita biasanya tidak akan nampak sampai usia 5 tahun. Variasi interobserver dengan sistem Demirjian dapat mencapai 20-25%, namun ± 1dari 8 tahap (Leverque dan Demirjian, 1980) .
Sistem
ini
ternyata
memiliki dua kelemahan jika dilihat dari sisi forensik, yaitu harus terdapat gigi mandibula dan tidak mencakup pertumbuhan gigi molar III. Mengandalkan penilaian pada gigi mandibula dapatmenimbulkan masalah jika hanya tersisa tengkorak saja dimana mandibula seringkalisudah terlepas atau bahkan hilang.
Gambar. Tahap klasifikasi gigi permanen
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan Tijauan pustaka ada beberapa metode yang digunakan untuk mengetahui prakiraan usia terhadap gigi geligi seb agai berikut : 1. Metode Schour dan massler 2. Metode Moorees, Fanning dan Hunt 3. Metode Gustaffson 4. Metode Asam aspartate 5. Metode Anderson, Thompson dan Popovich 6. Metode Demirjian, Goldstein, dan Tanner
DAFTAR PUSTAKA
1. Harmaini N. Odontologi forensik dan identifikasi gigi. Medan: USU Press, 2001:29 2. John MK. Justice Throught Forensic Odontology, Dental Asia, November 2006 3. Clark, D. H. Practical Forensic Odontology. Melksham, Great Britain: Butterworth-Heinemann Ltd, 1992. 4. Stimson, P. G, Mertz, C. A. Forensic Dentistry. New York: CNC Press Boca Raton, 1997 5. Lukman, D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: Sagung Seto, 2006; 5-129. 6. Mokhtar
M. Dasar-dasar
ortodonti-perkembangan
dan
pertumbuhan
kraniodentofasial . Yayasan Penerbitan IDI, 1998; 139-161 7. Prawestimimgsih F, Algazali AM. Forensic identification based on both primary and secondary examination priority in victim identifiers on two different mass disaster cases. Kedokteran Brawijaya. 2009 8. Demirjian A.Goldstein H, Tanner J. A New system of dental age assessment. Hum Biol.1973 9. Blenkin M. Forensic odontology and age estimation. An introduction to concepts and method. USA. 2009 10. Gustafson G. Age determination on teeth. J Amer Dental Assoc. 1950 11. Tanner J, whiitehouse R, Healy M , A new system for estimating skeletal maturiry from hand and wrist, with standars derved from a study 0f 2600 healthy british children. Paris: centre internasional de enfance. 1962