MAKALAH
HELMINTOLOGI
Dosen Pembimbing: Dr. Grido Handoko S
Disusun Oleh
Kelompok 2:
Ayu Kaprilia
Lailatul Sya'diah
Mochamad Fuad Mahfud
Siti Hofi Datur Rofiah
Syamsiah Chandrawati
S1-KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG
PAJARAKAN - PROBOLINGGO
2014 – 2015
HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH
HELMINTOLOGI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar
MIKROBIOLOGI dan PARASITOLOGI
Mengetahui,
Dosen Mata Ajar
Dr. Grido Handoko S.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah
SWT.Atas segala limpah rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini, dan sholawat serta salam semoga
selalu tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi besar yakni Nabi Muhammad
SAW.
Adapun maksud penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di
STIKES Hafshawaty, kami susun dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul
"HELMINTOLOGI"dan dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami juga tidak
lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM selaku pengasuh pondok
pesantren Zainul Hasan Genggong
2. Ns. Iin Aini Isnawaty, S.Kep.,M.Kes. selaku ketua STIKES Hafshawaty
Zainul Hasan Genggong
3. Ns. Khusyairi, M.Kep. selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
4. Dr. Grido Handoko S. selaku dosen Mata Ajar Mikrobiologi dan
Parasitologi
5. Ns. Nafolion Nur Rahmat S.Kep. selaku Dosen Wali S1 Keperawatan
Tingkat 1
6. Santi Damayanti, A.md. selaku Ketua Perpustakaan STIKES Hafshawaty
Zainul Hasan Genggong
7. Teman-teman kelompok sebagai anggota penyusun makalah ini
Pada akhirnya atas penulisan materi ini kami menyadari bahwa
sepenuhnya belum sempurna. Oleh karena itu kami dengan rendah hati
mengharap kritik dan saran dari pihak dosen dan para audien untuk perbaikan
dan penyempurnaan pada materi makalah ini.
Probolinggo, Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
4. Manfaat
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Helmintologi
2. Toxocara
2.2.1Toxocara Cati
2.2.2 Toxocara Canis
2.3 Nematoda
2.4 Trematoda
2.4.1 Trematoda Hati ( Clonorchis sinensis )
2.4.2 Trematoda Paru ( paragonimus westermani )
2.4.3 Trematoda Usus
2.4.4 Trematoda Darah (Schistosoma japonicum)
2.5 Cestoda
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa
cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua macam, yaitu
nemathelminthes (cacing gilik) dan platyhelminthes (cacing pipih).
Stadium dewasa cacing-cacing yang termasuk nemathelminthes (kelas
nematoda) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak
rongga badan dan alat-alat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah.
Cacing dewasa yang termasuk platyhelmintes mempunyai badan pipih, tidak
mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat hemafrodit.
Penyakit karena cacing (helminthiasis), banyak tersebar di seluruh
dunia, terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca
dan tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Kebanyakan cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu
untuk hidup dan berkembang biak. Sebagian cacing memerlukan vertebrata
atau invertebrata tertentu sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea
atau serangga, dalam siklus (lingkaran) hidupnya. Di daerah tropis, host-
host ini juga banyak berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya
pegendalian dari masyarakat setempat.
Serangga, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah, di samping
sebagai intermediate host, juga merupakan bagian dari lingkaran hidup
cacing. Penyebaran telur cacing yang ke luar bersama feses penderita,
tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti hujan, suhu dan kelembaban
udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk
tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air
rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran, akan meningkatkan
jumlah penderita helminthiasis.
Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya
penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan ikan,
kerang, daging atau sayuran secara mentah atau setengah matang. Bila di
dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus
hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia.
Berbeda dengan infeksi oleh organisme lain (bakteri, rikettsia, virus,
jamur, protozoa), pada infeksi karena cacing, cacing dewasanya tidak
pernah bertambah banyak di dalam tubuh manusia.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana macam-macam helmintologi dan akibatnya?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Helmintologi.
2. Untuk mengetahui macam macam Helmintologi.
4. Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa
Manfaat makalah ini bagi mahasiswa, baik penyusun maupun pembaca
adalah untuk menambah wawasan terhadap seluk beluk tentang konsep
pemeriksaan tentang helmintologi.
1.4.2 Bagi institusi
Manfaat makalah ini bagi Institusi pendidikan kesehatan adalah
untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa sebagai peserta didik
dalam menelaah suatu fenomena kesehatan yang spesifik tentang
konsep pemeriksaan tentang helmintologi.
1.4.3 Bagi masyarakat
Manfaat makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah
wawasan terhadap fenomena kesehatan yang saat ini menjadi momok
tersendiri di kalangan masyarakat ini.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Helmintologi
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang
berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi :
1. NEMATHELMINTHES (cacing gilik)
2. PLATYHELMINTHES (cacing pipih)
Stadium dewasa cacing-cacing yang termasuk NEMATHELMINTHES (kelas
NEMATODA) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak
rongga badan dan alat-alat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah.
Dalam parasitologi Kedokteran diadakan pembagian nematoda menjadi
nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup
di jaringan berbagai alat tubuh.
Macam-macam Helmintologi yaitu sebagai berikut:
2.2 Toxocara
Toxocara adalah jenis cacing yang terdapat pada hewan. Yang paling
banyak angka kejadiannya adalah:
1. Toxocara Cati
a. Etiologi
Toxocaracati berpredeleksi di dalam usus halus kucing. Cacing
jantan panjangnya 3-7 cm, spikulumnya tidak sama besar dan
bersayap. Cacing betina panjangnya 4-12 cm. Telur berukuran 65-
75 mikron. Kucing jantan dan anak kucing bertindak sebagai
hospes definitive dari Toxocaracati (Hubneret al., 2001).
Telurinfektif dikeluarkan bersama feses. Feses yang mengandung
Toxocaraspp. jatuh di tanah dengan temperatur 10-35ºC dan
kelembaban 85% serta kondisi yang optimal maka dalam waktu
paling sedikit 5 hari akan berkembang menjadi telurinfektif yang
mengandung embrio (Levine, 1978; Bowman, 1995; CDC, 2002).
a. Siklus Hidup
Siklus hidup Toxocaracati mengalami beberapa generasi, yakni
stadium telur, larva stadium pertama (L1), kedua (L2), ketiga
(L3), keempat (L4) dan stadium dewasa. Larva stadium kedua (L2)
adalah larva infektif yang merupakan sumber penularan
toxocariasis pada hewan dan manusia. Hospes definitive dari T.
cati adalah kucing jantan dan anak kucing (Hubneret al., 2001).
Menurut Levine (1978), larva stadium kedua (L2) tidak akan
pernah berkembang menjadi larva stadium ketiga (L3) apabila
menginfeksi selain hospes definitive dan hospestranspor (cacing
tanah, kecoa, ayam, anak kambing). Kondisi yang demikian disebut
larva dorman, yaitu larva yang tidak mengalami perkembangan dan
hanya menetap di dalam jaringan. Toxocaracati yang telah
infektif jika tertelan anak kucing akan terjadi migrasi larva.
Larva yang keluar dari telur tersebut akan migrasi ke trakea,
faring dan sistern pembuluh darah. Kemudian berkembang menjadi
dewasa di dalam perut dan usus kecil. Cacing mulai bertelur dan
dikeluarkan dalam feses 4-5 minggu setelah infeksi (Dryden, 1996
;Dubey, 1978, Glickman danSchantz, 1981 ; Parsons, 1987).
Kucing yang telah dewasa bisa juga terinfeksi oleh cacing ini
apabila menelan telurinfektif. Larva akan menetas dalam usus dan
akan menyebar kelapisan mukosa, kemudian akan migrasi secara
pasif melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah atau secara
aktif menembus jaringan dan menyebar keseluruh bagian tubuh.
Larva yang menembus dinding usus akan menyebar melalui pembuluh
darah kesetiap jaringan tubuh terutama otak, mata, hati, paru-
paru, dan jantung. Larva bertahan hidup selama beberapa bulan,
menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara berpindah kedalam
jaringan lain dan menimbulkan peradangan di sekitarnya.
b. Gejala Klinis
Gejala klinis pada anak kucing tidak terlihat jelas, karena
tidak terjadi migrasi larva ketrakhea dan gejala batuk-batuk pun
tidak tampak. Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa sejalan
dengan pertumbuhan anak kucing. Pada kucing dewasa yang
terinfeksi Toxocara, bulu akan terlihat kasar dan akan terjadi
diare sehingga akan terlihat dehidrasi (Hendrix, 1995).
c. Diagnosis
Konfirmasi diagnosis dikuatkan dengan sejarah penyakit, adanya
pneumonia, dan ditemukan telur cacing Toxocara dalam feses.
Telur Toxocara berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya
berbintik-bintik dan dinding luarnya sangat tebal. Pemeriksaan
feses dengan ujiapung adalah merupakan metode untuk mendeteksi
adanya infeksi cacing.(Hendrix, 1995).
Telur cacing akan mengapung dalam larutan garam jenuh dan
dapat dihitung di dalam kotak hitung. Infeksi prepaten bisa
dilakukan dengan uji serologi.Uji serologi dengan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibody.(Sadjjadiet
al., 2000).
d. Pengobatan dan Pencegahan
Benzimidazoles merupakan obat cacing yang efektif untuk
membunuh larva Toxocaracati pada kucing. Pengobatan cutaneous
larva migrans menggunakan Chlorethyl. Obat cacing lainnya adalah
thiabendazole, ivermectin, albendazole, mebendazole,
thiabendazole, albendazole, danmebendazole. Obat suportif
seperti anti alergi dan antibiotika. Pencegahan kontaminasi
lingkungan bisa dilakukan dengan cara membersihkan kandang
anjing maupun kucing dari kotoran atau feses setiap hari,
melarang kucing bermain di tempat terbuka seperti lapangan atau
taman yang biasanya dipakai untuk bermain anak-anak dan bisa
juga dilakukan pengobatan terhadap anak kucing.(Labordeet al.,
1980 ;Schantz, 1981).
2.2.2 Toxocara Canis
a. Etiologi
Toxocara canis (juga dikenal sebagai cacing gelang pada anjing
) yang didistribusikan di seluruh dunia cacing parasit anjing dan
lainnya Canidae . T. canis adalah gonochorists, dewasa cacing
ukuran 9-18 cm, berwarna kuning-putih dalam satu warna, dan
predileksi terjadi dalam usus dari tuan rumah definitif. Pada
anjing dewasa, infeksi biasanya tanpa gejala. Sebaliknya, infeksi
besar dengan T. canis dapat berakibat fatal pada anak anjing.
Sebagai paratenic host, sejumlah berbagai vertebrata, termasuk
manusia, dan beberapa invertebrata dapat terinfeksi. Manusia dapat
terinfeksi, seperti host paratenic lainnya, dengan menelan T.
berembrio canis eggs. Penyakit yang dapat disebabkan oleh T. canis
larva (toxocariasis) memiliki bentuk dalam dua sindrom yaitu
migrans larva visceralis dan migrans larva Ocularis. Klasifikasi
ilmiah Kingdom: Animalia Filum, Nematoda Kelas, Secernentea Ordo,
Ascaridida Family, Toxocaridae Genus, Toxocara Spesies, T. Canis.
b. Morfologi
T.canis dewasa memiliki tubuh bulat dengan bagian runcing
tengkorak dan ekor, ditutupi oleh kuning kutikula. Bagian
tengkorak dari tubuh berisi dua Alae lateral (panjang 2-2,5 mm,
lebar 0,2 mm). T. canis jantan cacing ini memiliki ukuran 9-13 cm
× 0,2-0,25 dan cacing betina 10-18 × 0,25-0,3 cm. Telur canis
memiliki bentuk oval atau bulat dengan permukaan pasir, berdinding
tebal, dan langkah-langkah 72-85 µm.
c. Siklus Hidup
Toxocara canis menyelesaikan siklus hidupnya pada anjing,
dengan manusia memperoleh infeksi sebagai tuan rumah disengaja.
Telur Unembryonated adalah gudang dalam tinja tuan rumah
definitif. Telur embryonate dan menjadi infektif di lingkungan.
Setelah konsumsi oleh anjing, infeksi telur menetas dan larva
menembus dinding usus. Pada anjing muda, larva bermigrasi melalui
paru-paru, pohon bronkial, dan esofagus, cacing dewasa
mengembangkan dan menelur dalam usus kecil. Pada anjing tua,
infeksi paten juga dapat terjadi, namun encystment larva dalam
jaringan yang lebih umum. Tahap encysted yang diaktifkan kembali
pada anjing betina selama kehamilan akhir dan menginfeksi dengan
rute transplasenta dan transmammary anak-anak anjing, yang dalam
usus kecil cacing dewasa menjadi mapan. Puppies merupakan sumber
utama pencemaran telur lingkungan. Toxocara canis juga dapat
ditularkan melalui konsumsi host paratenic: telur tertelan oleh
mamalia kecil (misalnya kelinci) menetas dan larva menembus
dinding usus dan bermigrasi ke berbagai jaringan di mana mereka
encyst. Siklus hidup selesai ketika anjing itu makan host ini dan
larva berkembang menjadi bertelur cacing dewasa di usus kecil.
Manusia adalah host disengaja yang terinfeksi dengan menelan telur
infektif di tanah yang terkontaminasi atau host paratenic
terinfeksi. Setelah konsumsi, telur menetas dan larva menembus
dinding usus dan dibawa oleh sirkulasi ke berbagai jaringan (hati,
jantung, paru-paru, otak, otot, mata). Sementara larva tidak
menjalani segala perkembangan lebih lanjut di situs ini, mereka
dapat menyebabkan reaksi lokal yang parah yang merupakan dasar
dari toxocariasis. Dua presentasi klinis utama toxocariasis adalah
larva migrans visceral dan migrans okular larva. Diagnosis
biasanya dibuat oleh serologi atau temuan dari larva di biopsi
atau spesimen otopsi. Jenis Penyakit Gejala Mekanisme Infeksi
Toxocara canis Toxocarosis Visceral larva migrans (VLM)
Eosinophilia, leukocytosis, fever, cough, asthmatic attacks,
lymphadenopathie, hepatomegaly, gastrointestinal disorders,
cardial symptoms, urticarial skin changes Eosinofilia,
leukositosis, demam, batuk, serangan asma, lymphadenopathie,
hepatomegali, gangguan pencernaan, gejala cardial, perubahan kulit
urtikaria Pada manusia, visceral larva migrans secara umum
menyebabkan demam, eosinofilia, dan hepatomegali.
d. Diagnosis
Cara diagnosis toksokariasis sulit karena cacing ini tidak
menjadi dewasa, maka dari itu harus dilakukan tes immunologis atau
biopsi jaringan. Serologi dengan penentuan antibodi spesifik
berdasarkan teknik ELISA. Toxocara canis IgG ELISA ditujukan untuk
penentuan kualitatif IgG-kelas antibodi terhadap Toxocara canis
pada manusia serum atau plasma (sitrat).
e. Pengobatan
Toxocariasis visceral pada manusia (atau anjing) dapat diobati
dengan obat antiparasit seperti Albendazole atau mebendazole,
dietil karbamasin dan tiabendazol biasanya dalam kombinasi dengan
obat anti inflamasi. Pengobatan toxocariasis okular lebih sulit
dan biasanya terdiri dari langkah-langkah untuk mencegah kerusakan
progresif pada mata.
2.3 Nematoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema yang artinya benang.
Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik (gilig) tidak
bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai dari
2 mm sampai 1 meter.
Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus,
jaringan, dan sistem peredaran darah. Keberadaan cacing ini menimbulkan
manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan orga
yang dihinggapi.
a. Penggolongan Nematoda
Menurut tempat hidupnya, Nematoda pada manusia digolongkan menjadi
dua, yaitu :
1. Nematoda intetinaslis (usus)
Spesies yang dipelajari meliputi :
a. Ascaris lumbricoides
b. Trichuris truchuira
c. Oxyuris vermicularis (pin worm)
d. Strongyloides stercoralis (small roundworm of man)
e. Ancylostoma duodenale (old world worm hook)
f. Ancylostoma caninum
g. Necator americanus (new world worm hook)
h. Trichinella spiralis (trichina worm)
i. Toxocara canis (dog worm)
j. Toxocara catii (cat worm)
2. Nematoda jaringan/darah
Spesies yang dipelajari meliputi :
a. Wuchereria bancrofti (filarial worm)
b. Brugia malayi (Malaya filarial worm)
c. Manzonella ozzardi
d. Onchocerca volvulus (agent of river blindness)
e. Loa loa (eye worm)
f. Dracunculus medinensis (guinea worm)
b. Morfologi dan Sifat Umum
Tubuh Nematoda tidak bersegmen, silindrik, panjang, dan simetris
bilateral. Tubuh Nematoda sudah mempunyai sistem pencernaan (sistem
digestiva), sudah mempunyai mulut (oral), kerongkongan (esofagus),
usus (intestinum), dan anus (anal). Usus terdiri atas usus depan,
usus tengah, dan usus belakang. Permukaan usus dilapisi oleh kutikula
yang sewaktu-waktu dilepaskan yaitu pada saat terjadi pergantian
kulit. Lapisan kutikula mempunyai bermacam-macam ciri, beberapa
dianataranya berupa tonjolan-tonjolan.
Ciri ini dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi spesies,
terutama dalam potongan jaringan. Cacing jantan berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan cacing betina, ujung posterior cacing jantan
berukuran lebih kecil dari pada cacing betina dan ujung posteriornya
melingkar ke arah ventral, sedangkan yang betina bagian ujung
posteriornya lurus.
Sistem ekskresi terdiri dari dua pipa, terletak di kordalateral.
Pada ujung anterior pipa-pipa ini berhubungan dan terbuka dibagian
tengah ventral sebagai sinus eksrestorius.
Kulit juga diselubungi lapisan kutikula dan terdiri dari bagian-
bagian sel yang mati. Pada waktu terjadi pertukaran kulit
(eksufikasi), kutikula ini dilepaskan. Warna kulit putih, kuning
sampai kecoklatan. Jaringan saraf terdapat di dalam ektoderm.
Sistem reproduksi (alat kelamin) cacing betina berpasangan, masing-
masing terdiri dari ovarium, oviduk, dan uterus. Kedua uterus bersatu
membentuk organ vagina. Alat kelamin yang jantan tidak berpasangan,
terdiri dari testes dan vas diferens. Di bagian kloaka terdapat dua
buah spikula.
Sel telur yang dibuahi membentuk lapisan pertama berupa membran
kuning, yaitu bagian yang membentuk kulit pertama. Kulit kedua
dibentuk oleh dinding uterus. Bentuk telur pada umumnya seperti elips
dan mudah dibedakan antara spesies satu dengan lainnya. Reproduksi
Nematoda umumnya dengan cara bertelur (ovipar) dan beberapa spesies
ada yang mengeluarkan larva (larvipar).
2. Trematoda
Trematoda berasal dari bahasa yunani Trematodaes yang berarti
punya lobang, bentuk tubuh pipih dorso ventral sperti daun. Umumnya
semua organ tubuh tak punya ronggat tubuh dan mempunyai Sucker atau
kait untuk menempel pada parasit ini di luar atau di organ dalam
induk semang. Saluran pencernaaan mempunyai mulut, pharink, usus
bercabang cabang tapi tak punya anus.
Sistem eksretori bercabang- cabang, mempunyai flame cell yaitu
kantong eksretori yang punya lubang di posterior. Hermaprodit,
kecuali famili Schistosomatidae. Siklus hidup ada yang secara
langsung (Monogenea) dan tak langsung (Digenea).
Trematoda atau cacing daun yang berparasit pada hewan dapat
dibagi menjadi tiga sub klas yaitu Monogenea, Aspidogastrea, dan
Digenea. Pada hewan jumlah jenis dan macam cacing daun ini jauh lebih
besar dari pada yang terdapat pada manusia, karena pada hewan sub-
klas ini dapat dijumpai.
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki
alat penghisap. Alat penghisap terdapat pada mulut di bagian
anterior. Alat hisap (Sucker) ini untuk menempel pada tubuh inangnya
makanya disebut pula cacing hisap.
Pada saat menempel cacing ini menghisap makanan berupa jaringan
atau
cairan tubuh inangnya. Dengan demikian maka Trematoda merupakan hewan
parasit karena merugikan dengan hidup di tubuh organisme hidup dan
mendapatkan makanan tersedia di tubuh inangnya. Trematoda dewasa pada
umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh
darah vertebrata, ternak, ikan, manusia Trematoda. Trematoda
berlindung di dalam inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya
dengan kutikula permukaaan tubuhnya tidak memiliki sila.
Jenis-jenis Trematoda
Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitife
cacing Trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi , babi,
tikus, harimau, dan manusia.
Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka Trematoda
dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
2.4.1 Trematoda Hati ( Clonorchis sinensis )
a. Hospes dan Nama Penyakit
Manusia, Kucing, Anjing, Beruang Kutub, dan Babi merupakan Hospes
parasit Trematoda Hati, penyakit yang disebabkannya disebut
Klonorkiasis.
b. Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang disaluran
prankeas. ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih,
lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 x 16
mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium,
ditemukan dalam saluran empedu. Telur dikeluarkan dengan tinja,
telur menetas bila dimakan keong air (Bulinus, Semisulcopira).
Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporakista, redia
induk, redia anak, lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air
dan mencari hospes perantara II, yaitu ikan (family cyprinidae).
setelah menembus masuk tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan
membentuk kista didalam kulit dibawah sisik, kista ini disebut
metaserkaria.
Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria
yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum,
kemudian larva masuk di duktus koledokus, lalu menuju ke saluran
empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan,
seluruh daur hidup berlangsung selama 3 bulan.
c. Patologi dan Gejala Klinis
Sejak larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa,
parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan
penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan
jaringan hati yang berupa radang sel hati, pada keadaaan lebih
lanjut dapat timbul sirosis hati di sertai asites dan edema.
Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah
cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium, pada stadium ringan
tidak di temukan gejala. Stadium progresif di tandai dengan
menurunnya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan
pembesaran hati. Pada stadium lanjut di dapatkan sindrom
hipertensi fortal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus,
asites, edema, sirosis hepatis. Terkadang dapat menimbulkan
keganasan dalam hati.
d. Diagnosis
Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur yang berbentuk
khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum.
e. Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel.
2.4.2 Trematoda Paru ( paragonimus westermani )
a. Hospes Dan Nama Penyakit
Manusia dan binatang yang memakan ketan atau udang batu, seperti
kucing, luak, anjing, harimau, serigala dan lain-lain merupakan
hospes cacing ini. Pada manusia parasit ini menyebabkan
paragonomiasis.
b. Morfologi Dan Daur Hidup
Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar
lonjong menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8 – 12 x 4 – 6 mm dan
berwarna coklat tua. Batil isap mulut hampir sama besar dengan
batil isap perut. Testis berlobus terletak berdampingan antara
batil isap perut dan ekor. Ovarium terletak di belakang batil isap
perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80-118 mikron x 40-60
miron dengan operculum agak tertekan ke dalam. Waktu keluar
bersama tinja atau sputum, telurnya belum berisi mirasidium.
Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes
perantara II , yaitu ketam atau udang batu, lalu membentuk
metaserkaria didalam tubuhnya. Infeksi terjadi dengan makan ketan
atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.
Dalam Hospes definitif, meta serkaria menjadi cacing dewasa
muda di duodenum. Cacing dewasa muda berimigrasi menembus dinding
usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju keparu.
Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa
terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor didalamnya.
c. Patologi dan Gejala Klinis
Karena cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala
dimulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi
batuk darah. Keadaan ini disebut endemic hemoptysis. Cacing dewasa
dapat pula berimigrasi kealat-alat lain dan menimbulkan abses pada
alat tersebut (antara lain hati, limfa, otak, otot, dinding usus).
d. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan
pleura. Terkadang telur juga ditemukan dalam tinja, reaksi
serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.
e. Pengobatan
Prazikuantel dan bitionel merupakan obat pilhan.
2.4.3 Trematoda Usus
Dalam daur hidup trematoda usus tersebut, seperti pada trematoda
lain, diperlukan keong sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium
tumbuh menjadi sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria.
Serkaria yang dibentuk dari redia, kemudian melepaskan diri untuk
keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam air. Tujuan akhir
serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa keong
jenis ikan air tawar, atau tumbuh-tumbuhan air.
Manusia mendapatkan penyakit cacing daun karena memakan hospes
perantara II yang tidak dimasak sampai matang.
a. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing keluarga Echinostomatidae sangat beraneka ragam
yaitu manusia, tikus, anjing, burung, ikan dan lain-lain
(poliksen). Nama penyakitnya disebut ekinostomiasis.
b. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing trematoda dari keluarga Echinostomatidae, dapat
dibedakan dari cacing trematoda lain, dengan adanya cirri-ciri
khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai
kira-kira 51 buah, letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda,
melingkari bagian belakang serta samping batil isap kepala. Cacing
tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 mm hingga
13-15 mm dan lebar 0,4 – 0,7 mm hingga 2,5 – 3,5 mm.
Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun
tandem pada bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya sebelah
lateral, meliputi 2/3 badan cacing dan melanjut hingga bagian
posterior. Cacing dewasa hidup diusus halus, mempunyai warna agak
merah ke abu-abuan. Telur mempunyai operculum, besarnya berkisar
antara 103-137 x 59 – 75 mikron. Telur setelah 3 minggu dalam air,
berisi tempayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas,
mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes
perantara I yang berupa keong jenis kecil seperti genus anisus,
gyraulus, lymnae, dan sebagainya.
Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi
sporokista, kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang
kemudian membentuk serkaria yang pada suatu saat berjumlah banyak
dilepaskan kedalam air oleh redia yang berada dalam keong.
Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk
menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah
jenis keong yang besar, seperti genus vivivar/bellamya, pila atau
corbicula.
Ukuran cacing besar, jumlah duri-duri sirkumoral berbentuk
testis. Ukuran telur dan jenis hospes perantara digunakan untuk
mengidentifikasi spesies cacing.
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkandengan menemukan telur dalam tinja.
d. Pengobatan
Tetraklorotilen adalah obat yang dianjurkan akan tetapi penggunaan
obat-obat baru yang lebih aman, seperti prazikuantel dapat
dipertimbangkan.
2.4.4 Trematoda Darah (Schistosoma japonicum)
Cacing yang berbentuk pipih dan tinggal di berbagai aliran
darah. Biasanya cacing ini masuk ke tubuh manusia melalui
makanan atau minuman yang mengandung parasite cacing ini dan
mandi pada air yang kotor.
a. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitive adalah manusia, berbagai macam binatang
dapat berperan sebagai h ospes reservoar. Pada manusia,
cacing ini menyebabkan penyakit skistomiasis atau b
ilharziasis.
b. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing darah ini sebagai parasit pada manusia, babi, biri-
biri, kucing dan binatang pengerat lainnya.
Cacing dewasa dapat hidup dalam pembuluh balik (vena) perut.
Tubuh cacing jantan lebih lebar dan dapat menggulung sehingga
menutupi tubuh betina yang lebih ramping. Cacing jantan
panjangnya 9-22 mm, sedangkan panjang cacing betina adalah 14-26
cm.
Cacing darah ini bertelur pada pembuluh balik (vena) manusia
kemudian menuju keporos usus (rectum) dan kantong air seni
(vesica urinaria), lalu telur keluar bersama tinja dan urine.
Telur akan berkembang menjadi mirasidium dan masuk kedaalam
tubuh siput. Kemudian dalam tubuh siput akan berkembang menjadi
serkaria yang berekor bercabang. Serkaria dapat masuk kedalam
tubuh manusia melalui makanan dan minuman atau menembus kulit
dan dapat menimbulkan penyakit schistomiasis (banyak terdapat di
Afrika dan Asia). Penyakit ini menyebabkan kerusakan dan
kelainan fungsi pada hati, jantung, limfa , kantong urine dan
ginjal.
c. Diagnosis
Minum air yang sudah terdapat parasit cacing, mandi atau
berenang pada air yang kotor.
2.5 Cestoda
Cacing dalam kelas cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk
tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai
saluran pencernaan ataupun pembuluh darah. Tubuhnya memanjang terbagi atas
segmen-segmen yang disebut proglotida dan segmen ini bila sudah dewasa
berisi alat reproduksi jantan dan betina.
a. Morfologi
Ukuran cacing dewasa pada Cestoda bervariasi dari yang panjangnya
hanya 40 mm sampai yang panjangnya 10-12 meter. Cestoda adalah cacing
hermafrodit. Cacing ini terdiri atas scolex (kepala) yang berfungsi
sebagai alat untuk mengaitkan diri pada dinding intestinum. Di
belakang scolex terdapat leher, merupakan bagian cacing yang tidak
bersegmen. Di belakang leher tumbuh proglotid yang semakin lama
semakin banyak yang menyebabkan cacing menjadi semakin panjang dan
bersegmen-segmen.
Setiap proglotid (segmen) dilengkapi dengan alat reproduksi (jantan
dan betina). Semakin jauh dari scolex, proglotidnya semakin tua
sehingga proglotid yang paling ujung seolah-olah hanya sebagai kantung
telur saja sehingga disebut proglotid gravida. Proglotid muda selalu
dibentuk dibelakang leher, sehingga proglotid tua akan didorong
semakin lama semakin jauh letaknya dari scolex. Seluruh cacing mulai
scolex, leher, sampai proglotid yang terakhir disebut strobila.
Cestoda berbeda dengan nematoda dan trematoda, tidak memiliki usus.
Makanan masuk dalam tubuh cacing karena diserap oleh permukaan tubuh
cacing. Berikut ini bagian-bagian tubuh cacing:
Kepala (scolex)
Berfungsi untuk melekat (biasanya membulat). Pada eucestoda biasanya
mempunyai 4 sucker (acetabulum) yang dapat dilengkapi dengan kait.
Pada bagian skoleks dapat juga dijumpai adanya rostellum
(penonjolan/moncong) yang sering dilengkapi dengan kait.Pada cotyloda
tidak mempunyai organ melekat seperti eucestoda (acetabulum) tetapi
mempunyai bothria (celah panjang dan sempit serta berotot lemah).
Leher
Tidak bersegmen, sesudah scoleks melanjut ke leher.
Tubuh atau badan
Terdiri dari segmen-segmen (Proglottid) yang dipisahkan oleh garis-garis
transversal, tiap-tiap proglotid biasanya mengandung 1 atau 2 set organ
reproduksi.
b. Siklus Hidup
Cacing pita merupakan hermafrodit, mereka memiliki sistem
reproduksi baik jantan maupun betina dalam tubuh mereka. Sistem
reproduksinya terdiri dari satu testis atau banyak, cirrus, vas
deferens dan vesikula seminalis sebagai organ reproduksi jantan, dan
ovarium lobed atau unlobed tunggal yang menghubungkan saluran telur
dan rahim sebagai organ reproduksi betina. Ada pembukaan eksternal
umum untuk sistem reproduksi baik jantan maupun betina, yang dikenal
sebagai pori genital, yang terletak pada pembukaan permukaan atrium
berbentuk seperti cangkir. Meskipun mereka secara seksual hermafrodit,
fenomena pembuahannya termasuk langka. Dalam rangka untuk memungkinkan
hibridisasi, fertilisasi silang antara dua individu sering
dipraktekkan dalam reproduksi. Selama kopulasi, cirrus berfungsi
menghubungkan satu cacing dengan yang lain melalui pori kelamin,
kemudian dilakukan pertukaran spermatozoa.
Siklus hidup cacing pita sederhana dalam arti bahwa tidak ada fase
aseksual seperti pada cacing pipih lainnya, tetapi rumit karena
setidaknya satu hospes perantara diperlukan serta tuan rumah
definitif. Pola siklus hidup telah menjadi kriteria penting untuk
menilai evolusi antara Platyhelminthes. Banyak cacing pita memiliki
siklus hidup dua fase dengan dua jenis host, yaitu:
1. Taenia saginata dewasa tinggal di usus yang seperti parasit pada
manusia.
2. Proglottids dari Taenia saginata meninggalkan tubuh melalui anus
dan jatuh ke tanah, di mana mereka mungkin jatuh pada rumput dan
dimakan oleh hewan pemakan rumput seperti sapi. Ini dikenal sebagai
hospes perantara atau host itermediate.
3. Bentuk remaja dari Teania saginata bermigrasi dan menetap sebagai
kista dalam jaringan tubuh host intermediate seperti otot, dan
bukan pada usus. Taenia saginata remaja ini menyebabkan kerusakan
lebih banyak pada host yang menjadi tuan rumah definitif.
4. Parasit melengkapi siklus hidupnya ketika melewati hospes perantara
parasit ke host definitif, ini biasanya terjadi karena host
definitif makan suatu bagian dari host perantara yang telah
terinfeksi oleh Taenia saginata remaja. Seperti kemungkinan manusia
memakan daging sapi yang telah terinfeksi oleh Taenia saginata,
sehingga cacing tersebut dapat masuk dalam tubuh manusia dan
menetap di usus.
BAB 3
PENUTUP
1. Kesimpulan
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang
berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua macam
yaitu nemathelminthes (cacing gilik) dan platyhelminthes (cacing pipih).
Stadium dewasa cacing-cacing yang termasuk NEMATHELMINTHES (kelas
NEMATODA) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak
rongga badan dan alat-alat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah.
Dalam parasitologi Kedokteran diadakan pembagian nematoda menjadi
nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup
di jaringan berbagai alat tubuh. Macam-macam Helmintologi dibagi menjadi
4, yaitu Toxcara ( Jenis Cacing yang terdapat pada hewan ), Nematoda (
cacing yang bentuknya panjang, silindrik (gilig) tidak bersegmen dan
tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1
meter. ), Trematoda (cacing daun yang berparasit pada hewan ), dan
Cestoda ( Cacing pita ).
3.2 Saran
3.2.1 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan untuk lebih mendalami tentang helmintologi agar
tercipta peserta didik yang paham mengenai helmintologi.
3.2.2 Bagi Profesi Keperawatan
Perawat perlu memahami macam-macam helmintologi supaya lebih
waspada dan berhati-hati dalam menghadapi pasien dengan penyakit
yang berhubungan dengan helmintologi.
3.2.3 Bagi Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan diharapkan untuk dapat mengidentifikasi secara
klinis mengenai helmintologi dan melakukan penyuluhan mengenai
helmintologi kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tambayong, Jan.2000. Mikrobiologi Untuk Keperawatan Jan Tambayong, Monica
Ester. Jakarta:Widya Medika.
Entjang, Indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung:PT.Citra
Aditya Bakti.