BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa “Presiden memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi”. Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa “Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas kuasa UndangUndang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari mahkamah Agung. Dalam sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi. Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya non hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap , maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden. Dalam fungsinya selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Dalam bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’ maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, amnesti, dan abolisi yang atur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (UUD).
Substansi grasi, amnesti, abolisi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalaha n adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum. Mengenai teori-teori pemidanaan (dalam banyak literature hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrecht-theorien) berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa Negara dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pokok bahasan dalam teori-teori pemidanaan ini. Pertanyaan Pertanyaan yang mendasar tersebut tersebut timbul berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, artinya hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana mati dan kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah, hukum pidana objektif dapat disebut sebagai hukum sanksi istimewa. Jelaslah kiranya pidana diancamkan (pasal 10 KUHP) itu apabila telah diterapkan,justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia sebenarnya dilindungi oleh hukum.Tentulah hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh Negara saja.Mengenai Negara seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat.Negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi,yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu,maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Grasi, Amnesti, dan Abolisi ? 2. Apakah yang di maksud dengan teori pemidanaan Absolut, Relatif dan teori Gabungan? 3. Bagaimana analisis pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi kepada narapidana terhadap teori pemidanaan ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Grasi, Amnesti, dan Abolisi
1. Grasi Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki keuatan hukum huk um yang tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung. Agun g. Istilah grasi berasal dari kata “gratie” dalam bahasa Belanda atau “granted” dalam bahasa Inggris. Yang berarti wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat hukum.Secara singkat, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada
terpidana
yang
diberikan
oleh
Presiden.
Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan grasi ialah sebuah tindakan yang dilakukan oleh Presiden dalam memberikan ampunan pada seseorang dengan cara mengubah, menghapus atau mengurangi hukuman yang diberikan oleh hakim. Sesungguhnya grasi bukanlah sebuah upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai
pada tingkat Kasasi ke MA. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002, maka dapat kita ketahui bahwa grasi : 1. Dapat dimohonkan pada pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. 2. Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal: a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. 3. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa: a. Peringanan atau perubahan jenis pidana b. Pengurangan jumlah pidana c. Penghapusan pelaksanaan pidana. 4. Permohonan Grasi dapat diajukan oleh: a. Terpidana atau Kuasa Hukumnya b. Keluarga Terpidana, baik dengan persetujuan terpidana maupun tanpa persetujuan terpidana (bagi terpidana hukuman mati). Terpidana hanya dapat mengajukan permohonan grasi 1 (satu) kali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa : 1. Pidana mati 2. Pidana seumur hidup, atau 3. Pidana penjara paling rendah 2 tahun Jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 1 (satu) tahun sejak memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 7 UU No. 5 Tahun 2010 . Kemudian, yang dimaksud dengan istilah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan sebagai :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana 2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. Putusan kasasi. Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang di khawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi sak si yang tidak dapat dipercaya, diperca ya, bisa saja terjadi. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
2. Amnesti
Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti berasal dari kata Yunani, “amnestia”, yang berarti keterlupaan. Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu.
Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Sama dengan grasi, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif. Seperti disebutkan diatas, bahwa amnesti diberikan kepada kelompok orang yang pernah melakukan hal-hal yang berakibat luas bagi pemerintahan negara. Dan biasanya amnesti diberikan tanpa syarat. Oleh karena itu, dalam pemberiannya, amnesti tidak bisa diberikan secara sembarangan, tetapi harus melalui pertimbangan yang panjang serta adanya jaminan bahwa kelompok tersebut tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan negara. Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Hingga sekarang, Indonesia masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat be rat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan P erwakilan Rakyat (DPR). Selain itu juga amnesti berarti pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik demi kepentingan si terdakwa, si tersangka dan mereka yang belum diadili untuk ditiadakan akibat
hukum dari delik-delik yang di maksud. Dalam hal hal ini berlaku pula apa yang dinamakan “ante sententiam”, yaitu sebelum putusan atau vonis hakim dibacakan. Bagaimana dengan mereka yang belum tertangkap tertangkap atau yang belum diketahui tetapi tetapi melakukan delik itu. itu. Tentu saja mereka itu semua semua “dibebaskan”, jadi sebelum fase berlaku “ante sententiam”. Pada umumnya amnesti bertalian dengan soal politik, sehingga dapatlah difahami kalau dalam hal politik, maka Dewan Perwakilan Rakyat perlu diikutsertakan dalam soal pertimbangan. Apalagi Amnesti selalu menyangkut sekelompok orang dan demi kepentingan Bangsa dan negara.
3. Abolisi
Abolisi berasal dari bahasa Inggris, “abolition”, yang berarti penghapusan atau pembasmian. Menurut istilah Abolisi Abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya, abolisi abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana
pengadilan
belum
menjatuhkan
keputusan
terhadap
perkara
tersebut.
Dari definisi diatas, tentu kita pun dapat mengetahui bahwa sebenarnya abolisi bukanlah suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.
B. Teori pemidanaan Absolut, Relatif, dan Gabungan
1. Teori pemidanaa Absolut
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi.
2. Teori Relatif Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat. Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat d apat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan. 3. Teori Gabungan Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
C. Analisis pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasanalasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana pidan a serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh. Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci. Pendapat ini dapat d igolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan. Negativisme yang dimaksud merupakan sebagai sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya. Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain dari pada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan paksaan kemasyarakatan.Jika dilihat dari aspek efek jera, maka penggunaan kata ‘efek jera’ dalam penghukuman harus ditempatkan dalam konteks pelaku yang sudah pernah atau berulang kali melakukan tindak pidana, bukan bagi mereka yang mau/akan/ingin melakukan tindak pidana. misalnya, seorang koruptor dihukum penjara supaya menimbulkan efek jera, bukan
bagi orang lain yang yang telah/mau/termotivasi untuk korupsi, melainkan efek efek jera bagi dirinya dirinya sendiri. Tujuannya, agar si pelaku yang dihukum tersebut tidak lagi melakukan korupsi setelah bebas dari penjara. Apabila dikaitkan dengan hukuman mati, sangat tidak benar apabila hukuman mati dikenakan dengan tujuan menimbulkan efek jera
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
a. Grasi Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan h ukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
b. Amnesti suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
c. Abolisi Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang
menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
Teori Pemidanaan
a. Teori Pemidanaan Absolut Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan k epentingan hukum (pribadi,masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. b. Teori Relatif Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat .Tujuan pidana adalah tata tetib masyarakat,dan untuk menegakkan tatatertib itu diperlukan Pidana. c. Teori Gabungan Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat,dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.