PANSITOPENIA DENGAN ORGANOMEGALI DAN ACUTE MYELOGENOUS LEUKEMIA (AML)
1. Definisi
Pansitopenia Pansitopen ia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopenia ini merupakan suatu kelainan di dalam darah tepi. Biasanya kadar hb juga ikut rendah akibat rendahnya eritrosit. Pansitopenia ini merupakan suatu gejala, bukan penyakit. Ada dua kelompok penyakit yang bisa menyebabkan kondisi ini; produksi sel darah di sumsum tulang yang menurun, atau akibat penghancuran penghancuran sel di darah tepi meningkat walaupun produksi sel darah di sumsum tulang berlangsung baik. Terdapat dua contoh penyakit yang menggambarkan gejala pansitopenia yang sangat jelas adalah Anemia Aplastik dan Leukemia.
Leukimia sendiri dibagi 2 yakni yakni leukemia leukemia akut dan leukemia kronik. Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan. Leukemia akut terdiri dari Leukemia Limfositik Akut (LLA), Leukemia Mielositik Akut (LMA), dan LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA). LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ sedangkan LMA adalah leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LNLA lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Untuk leukemia kronik terdiri dari Leukemia Limfositik Kronis (LLK). LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T) sedangkan Leukemia Granulositik / Mielositik Kronik (LGK/LMK) LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
Acute myelogenous leukemia merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid. AML merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi, dengan insiden kira-kira 2-3/100.000 penduduk dan lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita (Handayani dan Haribowo, 2008).Leukemia mieloid akut atau acute myeloid leukaemia (AML) merupakan keganasan pada sumsum tulang yang berkembang secara cepat pada jalur perkembangan sel myeloid (Safitri, 2005).
Acute myelogenous leukemia (AML) atau leukemia myeloid akut adalah penyakit keganasan bone marrow dimana sel-sel prekursor hemopoietik terperangkap di fase awal perkembangannya. Kebanyakan subtipe dari AML dibedakan dari kelainan darah lainnya berdasarkan jumlah blast yang berada di bone marrow, yaitu sebanyak lebih dari 20%. Patofisiologi yang mendasari AML adalah kegagalan maturasi sel-sel bone marrow di fase awal perkembangan. Mekanismenya masih diteliti, namun pada beberapa kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen-gen abnormal melalui translokasi kromosom dan kelainan genetik lainnya.
2. Epidemiologi AML adalah bentuk leukemia akut yang paling sering terjadi pada dewasa seiring dengan pertambahan usia dan jarang terjadi pada anak-anak (Safitri, 2005; Handayani dan Haribowo, 2008). Di Negara bagian barat, 25 dari total insiden leukemia pada dewasa merupakan AML (Deschler and Lubbert, 2006, dalam Rogers, 2010). Insiden AML di Amerika berkisar antara 2,4 sampai dengan 2,7 per 100.000 dan meningkat secara progresif berdasarkan usia yang puncaknya 12,6 per 100.000 dewasa ≥65 tahun (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999; Jabbour, Estey, and Kantarjian, 2006).
3. Etiologi Etiologi AML sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, diduga karena virus (virus onkogenik). Tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang diidentifikasi berpotensi leukemogenik, yaitu (Yuliana, 2017):
a. Rokok Satu-satunya faktor risiko AML yang terbukti terkait gaya hidup adalah merokok. Merokok dilaporkan berkaitan dengan AML tipe M2 (Dewi, 2013). b. Pajanan bahan kimia tertentu Paparan kromis dari bahan kimia (misal benzen) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain produk-produk minyak, cat, ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik (Dewi, 2013). c. Obat kemoterapi tertentu Kemoterapi
dengan
agen
pengalkil
dan
platinum
dikaitkan
dengan
meningkatnya risiko AML, puncaknya sekitar 8 tahun setelah kemoterapi. Pasien sering mengalami sindrom mielodisplastik (MDS) sebelum AML. Kemoterapi lain yang juga dikaitkan dengan AML adalah penghambat topoisomerase II. Pada obat ini, AML cenderung dijumpai beberapa tahun setelah terapi dan tanpa didahului MDS. d. Pajanan radiasi Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan
alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya LMA. Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide, melphalan, dan nitrogen mustard sering dihubungkan dengan kejadian abnormalitas pada kromosom 5 dan/atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor seperti etoposide dan teniposide sering menyebabkan abnormalitas pada kromosom 11 dan/atau 27. e. Gangguan darah tertentu Pasien MDS memiliki jumlah sel darah merah rendah dan sel-sel abnormal dalam darah dan sumsum tulang. MDS dapat berkembang menjadi AML dan biasanya memiliki prognosis buruk.
f.
Sindrom genetik Insidensi
leukemia
meningkat
pada
penderita
kelainan
kongenital,
diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy (Dewi, 2013). g. Riwayat dalam keluarga Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi (Dewi, 2013). h. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum tulang yang kemudian beresiko terhadap terjadinya LMA. i.
Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok, pestisida, herbisida, dan benzene diketahui berpotensi merangsang perkembangan LMA.
j.
Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA, seperti pada orangorang yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.
k. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan kromosom, seperti pada sindrom Down (trisomi kromosom 21), sindrom Bloom, anemia Fanconi dan klinefelter, diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
4. Klasifikasi Menurut klasifikasi FAB (French-American-British) AML dibagi menjadi: a. M0 Undifferentiated leukemia Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal. b. M1 Myeloblastic without differentiation
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1. c. M2 Myeloblastic with differentiation Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 %. Jumlah sel leukemik antara 30-90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit. d. M3 Promyelocytic Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul. Sitoplasma mengandung granula besar dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini.
e. M4 Myelomonocytic (M4eo – Myelomonocytic with eosinophilia) Terlihat 2 (dua) type sel, yakni granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritrosit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda. Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% dari sel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien-pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar. f.
M5 Monoblastic leukemia (M5a – Monoblastic without differentiation, M5b – Monocytic with differentiation) Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
g. M6 Eryhtroleukemia Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal
berupa
bentuk
multinukleat
yang
raksasa.
Perubahan
megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan
sitoplasma. M6 disebut
Myelodisplastic Syndrome (MDS) jika sel
leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar. h. M7 Megakaryoblstic leukemia Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit (Dewi, 2013) Sedangkan menurut WHO (2002) AML dibagi menjadi: a. AML with recurrent genetic abnormalities b. AML with multilineage dysplasia c. AML and MDS, therapy related d. AML, not otherwise classified – AML, minimally differentiated; AML, without maturation; AML, with maturation; acute myelomonocytic leukemia; acute monoblastic or monocytic leukemia; acute erythroid leukemia; acute megakaryoblastic leukemia; acute basophilic leukemia; acute panmyelosis and myelofibrosis; myeloid sarcoma
5. Manifestasi Klinis Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat dibedakan menjadi 3 tipe (Safitri, 2005), yaitu: a. Gejala kegagalan sumsum tulang Gejala kegagalan sumsum merupakan keluhan umum yang paling sering.
Leukemia
menekan
fungsi
sumsum
tulang
sehingga
menyebabkan kombinasi dari anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala yang khas adalah lelah dan sesak nafas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leukopenia) dan perdarahan (akibat trombositopenia atau terkadang akibat koagulasi intravaskuler diseminata/DIC). Pada pemeriksaan fisik juga sering ditemukan kulit pucat, memar dan perdarahan serta demam sebagai tanda infeksi. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
b. Gejala sistemik Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan berat badan, berkeringat dan penurunan nafsu makan, serta kelainan metabolik seperti hiperkalsemia (sangat jarang). c. Gejala lokal Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi leukemia/sel blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi akan menyebabkan pembekakan pada gusi. Selain itu dapat terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast di hati dan limpa. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningen. Gejala klinis yang muncul pada pasien AML berakibat dari kegagalan bone marrow dan atau akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ. Durasi perjalanan penyakit bervariasi. Beberapa pasien, khususnya anakanak mengalami gejala akut selama beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain mengalami durasi penyakit yang lebih panjang hingga berbulanbulan. Anemia, neutropenia dan trombositopenia muncul akibat kegagalan bone marrow mempertahankan fungsinya. Gejala anemia yang paling sering adalah fatigue. Penurunan kadar neutrofil menyebabkan pasien rentan terkena infeksi. Perdarahan gusi dan ekimosis merupakan manifestasi akibat trombositopenia. Jika perdarahan terjadi di paru-paru, saluran cerna dan sistem saraf pusat, hal ini sangat membahayakan jiwa pasien. Limpa, hati, gusi dan kulit adalah tempat-tempat yang sering disinggahi akibat infiltrasi sel-sel leukemik. Pasien dapat mengalami splenomegali, gingivitis dan gejala lainnya (Dewi, 2013). Gejala klinis yang dapat terlihat pada klien AML adalah a. Rasa lelah b. Pucat c. Nafsu makan hilang
d. Anemia e. Petekie f.
Perdarahan
g. Nyeri tulang h. Infeksi i.
Pembesaran
kelenjar
getah
bening,
limpa
hati,
dan
kelenjar
mediastinum j.
Kadang-kadang juga ditemukan hipertropi gusi, khususnya pada leukemia
akut
monoblastik
dan
mielomonolitik
(Handayani
dan
Haribowo, 2008).
6. Pemeriksaan Diagnostik Pada kasus LMA, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala akibat anemia seperti kelelahan dan takipnea, akibat trombositopenia seperti petekie dan ekimosis (peradarahan dalam kulit), serta adanya tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil dan takikardi akibat menurunnya leukosit (leukopenia). Selain itu adanya infiltrasi sel blast terutama pada jaringan tulang dapat menyebabkan terjadinya nyeri tulang (Price and Wilson, 2005; Safitri, 2005). Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penyakit leukemia akut (Safitri, 2005), meliputi: a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan pada jumlah dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari pemeriksaan
ini
akan
didapatkan
gambaran
adanya
anemia,
trombositopenia, leukopenia, leukositosis ataupun kadar leukosit yang normal. b. Biopsi sumsum tulang, dilakukan ketika ditemukan adanya kelainan pada
hasil
pemeriksaan
darah
lengkap,
yang
bertujuan
untuk
mengetahui ada tidaknya peningkatan pada jumlah sel blast. c. Lumbal pungsi, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyebaran penyakit ke cairan serebrospinal (sistem saraf pusat). d. Pemeriksaan radiologi, seperti Ultrasound, X-ray, CT scan, dan MRI, bertujuan untuk membantu penegakan diagnosis dan mengetahui ada tidaknya infiltrasi ke organ lain.
Menurut Yuliana (2017) pmeriksaan diagnostic AML adalah sebagai berikut : a. Pada hitung sel darah menunjukkan adanya penurunan, baik eritrosit maupun trombosit (< 50.000/mm). Jumlah leukosit total rendah (< 50.000/cm), dan normal atau tinggi. b. Pada pemeriksaan hasil aspirasi bone marrow, dapat dihitung jumlah sel blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30% sel blast di bone marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih dari 20% sel blast di bone marrow (Handayani dan Haribowo, 2008). c. Hb dapat < 10 gr/100ml d. Retikulosit biasanya rendah e. Partial Thromboplastin Time memanjang f.
Laktat Dehidrogenase mungkin meningkat
g. Asam urat serum mungkin meningkat h. Muramidase serum pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik i.
Copper serum meningkat
j.
Zink serum menurun
k. Foto dada dan biopsi nodus limfe dapat mengindikasikan derajat keterlibatan l.
Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat
m. Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum n. Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang o. Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik p. Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan (Smeltzer & Suzanne, 2002). q. Pemeriksaan
imaging
dilakukan
untuk
membantu
menentukan
perluasan penyakit jika diperkirakan telah menyebar ke organ lain. Contoh pemeriksaannya antara lain X-ray dada, CT scan, MRI (Yuliana, 2017).
7. Diagnosis Banding ACUTE MYELOGENOUS LEUKEMIA (AML) merupakan ciri-ciri yang sering
muncul
dari
kebanyakan
penyakit.
Walaupun
anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan. Penyebab dari ACUTE MYELOGENOUS LEUKEMIA (AML) perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang meliputi Fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakitpenyakit tersebut. Fanconi’s anemia.
Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia aplastik
dimana merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan terlihat pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit, mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran urogenital, dan cacat mental. Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom setelah dibiakkan
menggunakan
zat
kimia
yang
meningkatkan
penekanan
kromosom (seperti diepoxybutane atau mitomycin C ).
Paroxysmal
Nocturnal
Hemoglobinuria.
PNH
adalah
sebuah
kerusakan yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria
yang
bersifat
sementara
dan
life-threatening
venous
thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara aliran sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti tes hemolisis sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.
Myelodiy s plasti c S indrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada
MDS
hiposelular
memiliki biasanya
tipe
hiperselular
juga
ditemukan.
atau Sangat
normoselular, penting
walaupun
membedakan
hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.
Idiopathic Myelofibrosis . Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.
A leukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.
A g ranuloc ytos is . Agranulocytosis
adalah
kerusakan
imun
yang
mempengaruhi produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit
8. Kriteria Diagnosis Diagnosis LMA dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006). Ketika ditemukan ≥30% sel blast pada aspirasi sumsum tulang belakang (berdasarkan pada kriteria French-American-British (FAB) Cooperative Group) atau minimal 20% (berdasarkan kriteria WHO), maka dapat ditegakkan leukemia akut (Jabbour, Estey, and Kantarjian, 2006). Kemudian
akan dilakukan pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan menggunakan Suddan Black B atau myeloperoxidase untuk mengetahui jenis leukemia yang terjadi. Jika hasil pengecatan sitokimia positif maka dapat ditegakkan diagnosis LMA.
9. Patofisiologi (Terlampir)
10. Penatalaksanaan Medis a. Kemoterapi merupakan bentuk terapi utama dan pada beberapa kasus dapat menghasilkan perbaikan yang berlangsung sampai setahun atau lebih.
Obat
yang
biasanya
digunakan
meliputi
daunorubicin,
hydrochloride (cerubidine), cytarabine (Cytosar-U), dan mercaptopurine (purinethol). b. Pemberian produk darah dan penanganan infeksi dengan segera. c. Transplantasi sumsum tulang (Handayani dan Haribowo, 2008). Bedasarkan (Yuliana, 2017) terapi MLA dapat dibagi menjadi:
Terapi Induksi Terapi
induksi
bertujuan
untuk
mencapai
remisi
komplit
yang
didefinisikan sebagai blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥ 100.000/μL -
Untuk pasien usia 18-60 tahun terapi yang diberikan adalah: Tiga hari anthracycline (daunorubicin 60 mg/m2 , idarubicin 10-12 mg/ m2, atau anthracenedione mitoxantrone 10-12 mg/m2 ), dan 7 hari cytarabine (100-200 mg/ m2 infus kontinu) atau dikenal dengan “3 + 7” merupakan standar terapi induksi. Respons komplit tercapai pada 60-80% pasien dewasa yang lebih muda.
-
Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi yang diberikan serupa dengan pasien yang lebih muda, terapi induksi terdiri dari 3 hari anthracycline (daunorubicin 45-60 mg/m2 atau alternatifnya dengan dosis ekuivalen) dan 7 hari cytarabine 100-200 mg/m2 infus kontinu).
Penurunan
dosis
dapat
dipertimbangkan
secara
individual.8 Pada pasien dengan status performa kurang dari 2
serta tanpa komorbiditas, respons komplit tercapai pada sekitar 50% pasien.
Terapi konsolidasi Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah kekambuhan dan eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum tulang. Secara umum, terdapat 2 strategi utama terapi ini, yaitu kemoterapi dan transplantasi sel punca hematopoietik. Pertimbangan pemberian terapi didasarkan pada risiko penyakit yang dinilai dengan profil sitogenetika dan molekuler. -
Pasien usia 16-60 tahun dengan risiko favorable mendapat terapi cytarabine 1-1,5 g/ m2 IV setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m2 IV hari 1-6 sebanyak 2-4 siklus.
-
Pasien dengan risiko intermediate I, intermediate II, atau adverse, dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi sel hematopoietik alogeneik. Jika tidak mungkin, diberi terapi konsolidasi seperti berikut: cytarabine 1-1,5 g/ m2 IV setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m2 IV hari 1-6 sebanyak 2-4 siklus.
-
Pasien usia di atas 60 tahun dengan risiko favorable tanpa kondisi penyulit mendapat terapi cytarabine 0,5-1 g/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3 atau 0,5-1 g/m2 IV hari 1-6 sebanyak 2-3 siklus
Terapi kekambuhan Pada sebagian besar pasien AML yang mencapai remisi komplit, leukemia akan kambuh dalam 3 tahun setelah diagnosis. Secara umum, prognosis pasien setelah kambuh adalah buruk. Pasien dengan kekambuhan dini (respons komplit pertama kurang dari 6 bulan), sitogenetika adverse, atau usia lebih tua memiliki outcome buruk.Terapi disesuaikan
dengan
kondisi
pasien.
Skor
prognostik
yang
memperkirakan harapan hidup dapat menjadi dasar penentuan terapi. Skor prognostik dihitung sebagai berikut: -
Durasi remisi sebelum relaps: > 18 bulan (skor 0); 7-18 bulan (skor 3); ≤ 6 bulan (skor 5).
-
Sitogenetik saat didiagnosis: inv(16) atau t(16;16) (skor 0); t(8;21) (skor 3); lainnya (skor 5).
-
Transplantasi sel punca hematopoietik: tidak (skor 0), ya (skor 2).
-
Usia saat kambuh: ≤ 35 tahun (skor 0); 36- 45 tahun (skor 1); > 45 tahun (skor 2) Terapi kekambuhan bertujuan untuk mencapai remisi baru dan
mengarah pada transplantasi sel punca hematopoietik. Beberapa regimen yang digunakan adalah: -
Cytarabine dosis sedang (0,5-1,5 g/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3)
-
MEC (mitoxantrone 8 mg/m2 hari 1-5, etoposide 100 mg/m2 hari 15, cytarabine 100 mg/m2 hari 1-5)
-
FLAG-IDA (fludarabine 30 mg/m2 IV hari 1-5, cytarabine 1,5 g/m2 IV diberikan 4 jam setelah infus fludarabine hari 1-5, idarubicin 8 mg/m2 IV hari 3-5, GCSF 5 μg/ kg subkutan dari hari 6 sampai sel darah putih > 1 g/L)
11. Komplikasi a. Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah merah, maka anemia dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan anemia tersebut. Proses terapi AML juga dapat meyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. b. Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada keadaan AML dapat mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami epistaksis, pendarahan dari gusi, ptechiae, dan hematom. c. Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada AML dapat timbul dari tulang atau sendi. Keadaan ini disebabkan oleh ekspansi sumsum tulang dengan leukosit abnormal yang berkembang pesat. d. Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat keadaan AML sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah besar, bahkan beresiko untuk pecah. e. Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan AML adalah abnormal, tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan AML juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak efektif.
f.
Anemia (kurang darah). Hal ini karena produksi sel darah merah kurang atau akibat perdarahan (Rogers, 2010)
g. Terinfeksi berbagai penyakt. Hal ini dikarenakan sel darh putih yang ada kurang berfungsi dengan baik meskipun jumlahnya berlebihan tetapi sudah berubah menjadi ganas sehingga tidak mampu melawan infeksi dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Rogers, 2010) h. Perdarahan. Hal ini terjadi sebagai akibat penekanan sel leukemia pada sumsum tulang sehingga sel pembeku darah produksinya pun berkurang (Rogers, 2010) i.
Gangguan metabolism: (Rogers, 2010)
-
Berat badan turun,
-
Demam tanpa infeksi yang jelas,
-
Kalium dan kalsium darah meningkat malahan ada yang rendah serta
j.
Gejala asidosis sebagai akibat asam laktat meningkat.
Penyusupan sel-sel pada organ-organ: (Rogers, 2010)
-
Terlihat organ limpa membesar
-
Gejala gangguan saraf otak
-
Gangguan kesuburan, serta
-
Tanda-tanda bendungan pembuluh darah paru
k. Kematian.
12. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian secara umum yang dapat dilakukan pada pasien adalah meliputi: 1) Identitas, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, serta diagnosa medis.
2) Keluhan utama: Biasanya keluhan utama klien adalah adanya tanda-tanda perdarahan pada kulit seperti petekie, tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, serta tanda anemia seperti kelelahan dan pucat. 3) Riwayat penyakit sekarang Biasanya klien tampak lemah dan pucat, mengeluh lelah, dan sesak. Selain itu disertai juga dengan demam dan menggigil, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. 4) Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit dengan gangguan pada kromosom atau pernah mengalami kemoterapi atau terapi radiasi. 5) Riwayat kesehatan keluarga Adanya keluarga yang pernah menderita leukemia atau penyakit keganasan lain sebelumnya . 6) Hasil pemeriksaan fisik Dari hasil pemeriksaan fisik, bisa didapatkan: Inspeksi
Kelemahan, tampak pucat, tanda-tanda perdarahan seperti petekie, ekimosis,
perdarahan
pada
gusi,
serta
adanya
luka
yang
menandakan kelemahan imun tubuh (sariawan/ stomatitis). Palpasi
Dapat terjadi leukemia kutis akibat infiltrasi sel blast pada kulit yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, pembekakan pada gusi, hepatomegali dan splenomegali. Auskultasi
Ditemukan adanya perubahan pada suara dan frekuensi nafas karena sesak akibat anemia. 7) Hasil pemeriksaan penunjang
Dari hasil pemeriksaan darah akan didapatkan adanya penurunan jumlah eritrosit sampai dengan ≤7,5 g/dl (anemia berat), penurunan trombosit <100.000 g/ml (trombositopenia) dan penurunan leukosit (leukositopenia).
Dari hasil biopsi sumsum tulang belakang akan didapatkan
gambaran adanya peningkatan jumlah sel blast (myeloblas) ≥20%.
Dari hasil pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan menggunakan Suddan Black B atau myeloperoxidase akan didapatkan hasil yang positif.
2. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul Pada kasus LMA, terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul (pathway terlampir), yaitu: a. PK anemia b. Resiko Infeksi b/d leukopenia, penurunan Hb c. Resiko Cedera b/d kelainan profil darah (anemia, trombositopenia) d. Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit b/d mekanisme regulasi e. Ansietas b/d perubahan status kesehatan, ancaman kematian t/d kontak mata kurang, susah tidur, khawatir f. Defisiensi Pengetahuan b/d kurangnya pajanan informasi t/d kurangnya pengetahuan terkait penyakit g. Gangguan Rasa Nyaman b/d regimen pengobatan (kemoterapi) t/d muntah, nyeri
3. Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosa
Rencana Tujuan dan
Keperawatan
Kriteria Hasil
PK anemia
Rencana Intervensi
Setelah diberikan asuhan NIC
Rasional
Label: Blood Product
keperawatan selama …x24 A dmini s tration jam,
diharapkan anemia
px dapat teratasi, dengan:
NOC Label: Blood Loss S ever ity
1. Pastikan kebutuhan px akan darah
(golongan
darah,
jumlah darah) 2. Berikan
produk
darah
dengan teknik yang steril
2. TD
dan benar
dalam
batas
normal (120/80 mmHg)
3. Monitor tanda-tanda adanya
3. Pucat px berkurang
reaksi
NOC
pusing, perubahan frekuensi
Label:
Blood
transfuse
(gatal,
Transfution R eaction
nafas, nyeri dada), serta
1. Gatal tidak ada
ajarkan dan jelaskan pada
2. Frekuensi nafas normal
keluarga px
(12-20 x/menit) 3. Kedalaman
nafas
normal 4. Suhu
tubuh
normal
(36,5-37,5 0C) 5. Kemerahan pada kulit
sesuai
dengan
kebutuhan,
serta
mencegah adanya komplikasi.
1. Kadar Hb px >10mg/dl px
1. Memastikan darah yang akan diterima
2. Mencegah resiko infeksi
3. Memonitor
ada
tidaknya
reaksi
transfuse serta untuk memutuskan transfuse dilanjutkan atau tidak
4. Monitor status cairan dan
4. Memonitor ada tidaknya perubahan
TTV sebelum, selama dan
status kesehatan yang berhubungan
setelah transfuse
dengantransfusi yang diberikan
5. Hentikan terdapat transfuse
transfuse tanda
jika reaksi
5. Mencegah adanya alergi lebih lanjut
tidak ada
6. Berikan
6. Nyeri dada normal
b/d
Setelah diberikan asuhan
NIC
leukopenia,
keperawatan selama …x24
Protection
penurunan Hb
jam,
diharapkan px tidak
mengalami
setelah
transfusi dihentikan
Infeksi
Resiko
NaCl
tanda-tanda
infeksi, dengan:
Label:
sebelum diberikan transfusi
Infection
1. Monitor tanda-tanda infeksi pada klien secara rutin 2. Ajarkan
6. Mengembalikan aliran darah seperti
pada
klien
1. Mencegah tanda-tanda infeksi lebih lanjut
dan
2. Tangan
merupakan sarang
kuman
NOC L abel: R is k Control
keluarga
mencuci
yang besar, sarung tangan dapat
Dengan criteria hasil:
tangan dengan air sabun
mengahndari klien dari paparan kuman
1. Px
dan air mengalir sebelum
dan
mampu
keluarga memonitor
factor resiko (4) 2. Px
dan
mampu gaya
memodifikasi hidup
untuk
mengurangi resiko (4) 3. Px
dan
mampu
yang
keluarga
menggunakan
pelayanan
kesehatan
sesuai
dengan
kebutuhan (4) 4. Px
dan
dan sesudah merawat klien 3. Ajarkan
keluarga
untuk
kleuarga
pada
klien
untuk
dan
menjaga
3. Lingkungan yang bersih mempersempit tempat hidup mikroorganisme
kebersihan lingkungan 4. Ajarkan
pada
klien
dan
keluarga untuk mengenali tanda-tanda
infeksi
kapan
4. Mengetahui perkembangan klien lebih awal
dan
seharusnya
melaporkan
pada
tenaga
medis bila klien mengalami hal tersebut
keluarga
5. Ajarkan
pada
klien
dan
5. Menggaruk
dapat
memperparah
mampu
mengenali
keluarga tingakah laku yang
perubahan dalam status
dapat
memicu
kesehatan (4)
seperti: menggaruk kulit 6. Ajarkan
pada
infeksi
keluarga
untuk menggunakan sarung tangan
jika
tindakan
keaadaan kulit
6. Menghindari penyebaran penyakit yang lebih luas
melakukan
yang
kontak
dengan kulit klien Resiko b/d profil
Cedera
Setelah diberikan asuhan
NIC
kelainan
keperawatan selama …x24
Precaution
darah jam,
diharapkan cedera
(anemia,
tidak terjadi, dengan:
trombositopenia)
NOC
Label:
Label:
1. Monitor
Bleeding tanda-tanda
perdarahan
perdarahan
Blood
Coagulation 1. Kadar hematocrit dalam batas normal 2. Kadar trombosit dalam batas normal 3. Tanda-tanda
1. Memonitor
ada
tidaknya
agar
dapat
ada
tidaknya
tanda
diberikan
penanganan 2. Monitor hasil pemeriksaan kogulasi darah 3. Berikan
darah
berupa platelet dan plasma, jika terjadi trombositopenia
perdarahan tidak ada
keluarga
(petekie, ekimosis, dll)
menggunakan
px
dan untuk
sikat
gigi
yang lembut 5. Instruksikan
resiko
perdarahan
produk
4. Instruksikan
2. Memonitor
3. Meningkatkan jumlah darah (trombosit dan plasma) yang hilang 4. Mengurangi
resiko
perdarahan pada gusi 5. Mengurangi
resiko
cedera
tindakan invasive 6. Mengurangi resiko cedera
px
dan
terjadinya
akibat
keluarga untuk menghindari tindakan yang invasive, jika tidak perlu 6. Instruksikan
px
dan
keluarga untuk menghindari tindakan
yang
beresiko
menimbulkan
cedera,
seperti mengangkat benda berat
NIC
Label:
Environmental
Management: S afety 1. Modifikasi lingkungan sekitar 1. Mengurangi atau mencegah resiko px
(pasang
side
rails,
pastikan lantai tidak licin)
bahaya dari lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Aquilino, M.L., et al. 2004. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourt Edition. Missouri: Mosby Elsevier. Dewi.
2013.
Askep
Acute
Myeloid
Leukimia.
https://www.scribd.com/doc/162862494/Askep-Acute-Myeloid-Leukimia-doc.
(Online): Diakses
31 Oktober 2017. Handayani, W. dan Haribowo, A. S. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. (Online), diakses pada
tanggal
31
Oktober
2017.
melalui
https://books.google.co.id/books?id=PwLdwyMH9K4C&pg=PT101&dq=leukemia+myel oid+akut&hl=en&sa=X&ei=T6XVfGXEeermAXqxIigCA&redir_esc=y#v=onepage&q=leukemia%20myeloid%20akut &f=false. Jabbour, E. J., Estey, E., and Kantarjian, H. M. 2006. Adult Acute Myeloid Leukemia. Mayo Clinic Proceedings, 81(2): 247-260. (Online), diakses pada tanggal 31 Oktober 2017. melalui http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/984554411/...3D. Lowenberg, B., Downing, J. R., and Burnett, A. (1999). Acute Myeloid Leukemia. N Engl J Med , (341):1051-1062. DOI: 10.1056/NEJM199909303411407. McCloskey, J.C. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC), Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier. Nanda International. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2015-2017, Tenth Edition. Oxford: Wiley Blackwell. Price and Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Vol. 1, Ed. 6. Jakarta: EGC. Rogers, B. B. 2010. Advances in the Management of Acute Myeloid Leukemia in O lder Adult Patients. Oncology Nursing Forum, 37 (3): 168-179. (Online), diakses pada tanggal 31 Oktober
2017,
melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/2038231261/...3D. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth . Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta: EGC; 2001. Suriadi dan Rita Y, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak, Edisi 1, CV. Agung Seto, Jakarta. Yuliana.
2017.
Perkembangan
Terapi
Leukemia
Mieloid
Akut.
(online):
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_20_250AnalisisPerkembangan%20Terapi%20Le ukemia%20Mieloid%20Akut.pdf. CDK-250/ vol. 44 no. 3 th. 2017 . Diakses 31 Oktober 2017