BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filariasis atau dengan nama lain penyakit kaki gajah (elephantiasis), termasuk salah satu jenis penyakit yang mendapat perhatian khusus di dunia kesehatan. Walaupun jarang menyebabkan kematian, pada stadium lanjut penyakit ini dapat menjadikan seseorang menderita cacat fisik permanen hingga menimbulkan dampak yang signifikan, terutama di tengah masyarakat negara berkembang di daerah tropis maupun sub tropis yang justru tengah didera permasalahan sosial ekonomi. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang mengenai saluran dan kelenjar limfe disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin pada perempuan maupun laki-laki. (Depkes RI, 2005). Saat ini dilaporkan lebih dari 1 milyar penduduk dunia memiliki risiko menderita filariasis. Lebih dari 120 juta orang dari 80 negara telah terinfeksi filarial. Di Indonesia Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Provinsi. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang). Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Mikrofilaria (Mf) rate 1% atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Bila dilihat per-kabupaten dari laporan tahun 2009, tiga kabupaten dengan Mf rate
tertinggi adalah Bonebolango dengan Mf rate 40%, diikuti oleh Manokwari (Mf rate 38,57%) dan Kota Cilegon (Mf rate 37,50 %). Daerah yang Mf rate tinggi artinya di daerah tersebut banyak ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dala m darahnya. Semakin tinggi Mf rate semakin tinggi pula risiko terjadi penularan filariasis. Daerah yang mikrofilarianya tinggi tidak selalu diikuti dengan jumlah kasus klinis yang tinggi, seperti pada kabupaten Bonebolango (Provinsi Gorontalo), Mf rate nya 40% akan tetapi jumlah kasus klinisnya hanya 151 kasus, sementara di Kabupaten Aceh Utara jumlah kasus klinis sangat tinggi yaitu 1.353 kasus akan tetapi Mf rate hanya 7,9%. (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009) Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri telah menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002. Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari filariasis ? 2. Apa etiologi filariasis? 3. Bagaimana patofisiologi filariasis? 4. Bagaimana pathway filariasis? 5. Apa manifestasi klinis dari filariasis? 6. Apa saja komplikasi filariasis? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan bagi penderita filariasis? 8. Bagaimana penatalaksanaan filariasis?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum : Mengetahui materi tentang filariasis 2. Tujuan Khusus : a. Mahasiswa mampu mengerti tentang definisi dari filariasis. b. Mahasiswa mampu mengerti tentang etiologi filariasis. c. Mahasiswa mampu mengerti tentang patofisiologi epilepsi. d. Mahasiswa mampu mengerti tentang pathway epilepsi. e. Mahasiswa mampu mengerti tentang manifestasi klinis dari epilepsi. f. Mahasiswa mampu mengerti tentang pemeriksaan penunjang yang dilakukan bagi penderita epilepsi. g. Mahasiswa mampu mengerti tentang komplikasi filariasis. h. Mahasiswa mampu mengerti tentang penatalaksanaan epilepsi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik. (Depkes RI, 2005). Filariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh tiga spesies cacing yaitu, Wuchereria Bancroft, Brugia malayi, dan Brugia timori serta ditularkan melalui nyamuk ke manusia. () Jadi dapat disimpulkan, filariasis adalah penyakit infeksi menular menahun yang disebabkan oleh 3 spesies cacing yang ditularkan lewat nyamuk dan dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik. B. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau menghisap darah orang tersebut, tidak seperti Malaria dan Demam berdarah. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori (Gandahusada, 1998) Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.
Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembang biak, perilaku menggigit, dan tempat istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempattempat teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya (zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda (Depkes RI, 2005). 1. Manusia Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998). 2. Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005). 3. Lingkungan a. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawarawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik. b. Lingkungan Lingkungan Biologi Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman air. c. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja. (Depkes RI, 2005)
C. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan produk – produk – produk yang akan menyebabkan dilatasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis. D. Pathway
E. Manifestasi Manifestasi Klinis
Gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
a. Masa Prepaten Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 3-7 bulan. Hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik. b. Masa Inkubasi Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan. c. Gejala Klinik Akut a) Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat b) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit c) Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) d) Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah e) Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
d. Gejala menahun Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis.
Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun. Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai. Limf edema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu: a. Tingkat 1 Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila tungkai diangkat. b. Tingkat 2 Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai diangkat. c. Tingkat 3 Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal. d. Tingkat 4 Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit (elephantiasis). (T.Pohan,Herdiman, 2009) Filariasis brugia Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.
F. Komplikasi
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena b. Elephantiasis tungkai c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina dan payudara.
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pda saluran limfe testis berulang: pecahnya tunika vaginalisHidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antaralapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang adadan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. e. Kiluria : kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih. (T.Pohan,Herdiman, 2009)
G. Pemeriksaan Penunjang
TES DIAGNOSTIK a. Metode Fitrasi membran (Membrane filtration method) Darah vena diambil pada saat malam hari dan di saring (filter) melalui sebuah membrane dengan pori-pori kecil, yang mampu dan mudah mendeteksi mikrofilaria dan menghitung jumlah muatan infeksi. Biasanya digunakan pada tahap awal penyakit sebelum gejala (manisfestasi) klinis muncul. Setap kali lipoedema (lyphoedema) berkembang secara umum mikrofilaria menghilang di seluruh darah perifer. b. Ultrasonografi Baru-baru ini ultrasonografi digunakan untuk membantu menentukan dan memperlihatkan pergerakan hidup cacing filaria dewasa W. Bancrofti di bagian saluran
limfe
skrotum
pada
pria
dengan
mikrofilaremia
tanpa
gejala
(asimptomatik). c. Lymphoscintigraphy d. Immunochromatographic test (ICT) Merupakan tes assay dengan sensitifitas yang tinggi dan spesifik dalam memeriksa antigen filariasis. Hasil tes positif pada tahap awal penyakit ketika cacing dewasa hidup dan menjadi negatif ketika cacing sudah mati. e. Pemeriksaan DNA menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) tes ini memiliki ke-spesifikan dan sensitifitas yang tinggi sehingga mampu mendeteksi DNA parasit pada manusia sebagai vektor cacing.
PENGOBATAN a. Diethylcarbamazine (DEC) Efektif melawan mikrofilaria dan beberapa cacing dewasa. DEC menurunkan tingkat mikrofilaria di dalam darah dengan dosis tunggal per tahun 6mg/kg berat badan dan efeknya dapat dipertahankan dalam jangka waktu 1 tahun. Meskipun DEC membunuh cacing dewasa, tetapi efek tersebut hanya terobservasi pada sekitar 50% pasien saja. Obat ini tidak bekerja langsung pada parasit (cacing) tetapi kinerjanya diperantarai oleh sistem imun host (penderita). Awalnya rekomendasi dosis pemberian obat adalah 6mg/kg diberikan selama 12 hari. Hasil penelitian baru-baru ini memperlihatkan dosis tunggal dari DEC 6 mg/kg lebih efektif dibandingkan dengan dosis yang diberikan selama 12 hari. Melalui ultrasonography ditunjukan meskipun hanya dosis tunggal DEC, mampu membunuh cacing karena kondisi cacing masih sensitif terhadap obat. Ketika cacing tidak sensitif, pengulangan dosis tidak menunjukan efek pada cacing dewasa (sehingga lebih baik dosis tunggal dari pada pemberian selama 12 hari). Tetap mempertahankan pemberian dosis tunggal DEC tahunan (tiap tahun) untuk membasmi mikrofilaria merupakan cara yang baik untuk mecegah transmisi penyakit. Efek samping obat kebanyakan terjadi pada pasien yang memiliki mikrofilaria di dalam darah dan mengalami penghancuran parasit (cacing) yang cepat ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot (myalgia), nyeri tenggorokan atau batuk yang berakhir 24 hingga 48 jam. biasanya dalam derajat yang ringan dan membutuhkan terapi symptomatic (sesuai gejala yang timbul). b. Ivermectin Obat ini bekerja langsung langsung pada mikrofilaria dan dalm dosis tunggal tunggal 200 -400 ugm/kg menjaga hasil tes hitung darah mikrofilaria pada tingkat yang rendah meskipun setelah satu tahun, sama seperti DEC. Efek samping obat terlihat pada pasien dengan microfilaraemic mirip mir ip dengan efek samping pada DEC tetapi lebih ringan karena membersihkan parasitaemia dengan cara perlahan. Ivermectin merupakan alternatif obat yang digunakan pada pasien yang mengalami onchocerciasis untuk pencegahan filariasis karena lebih aman dan manjur, ketika dibandingkan dengan DEC.
c. Albendazole Merupakan golongan obat antihelmintic (anti cacing), obat ini memperlihatkan efek penghancuran cacing filaria dewasa ketika diberikan dalam dosis 400 mg 2 kali sehari selama dua minggu. Kematian cacing dewasa merangsang reaksi skrotum yang hebat pada bancroftian filariasis diarea yang telah terjadi sumbatan. Albendazol tidak memperlihatkan aksi langsung melawan mikrofilaria dan tidak secara langsung menurunkan hasil tes hitung darah mikrofilaria. Ketika diberikan dalam dosis tunggal 400 mg bersama dengan DEC atau Ivermectin, efek penghancuran oleh obat terlihat lebih nyata (jelas). Albendazole yang dikombinasi dengan DEC atau invermectin direkomendasikan dalam program eliminasi filariasis global. Albendazole tidak hanya mencegah transmisi di komunitas filariasis tetapi juga memiliki keuntungan tambahan untuk membersihkan cacing intestinal(kecacingan).
H. Penatalaksanaan
Tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah: 1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara. pa yudara. 2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan. 3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. 4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular. 5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur. (Depkes RI, 2005) Penata laksanaan kasus filariasis : 1. Dilakukan pada semua kasusnklinis baik di daerah endemis maupun di luar daerah endemis. 2. Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari untuk pengobatan individual.
3. Semua kasus klinis ditatalaksanakan dengan 5 komponen dasar, yaitu : pencucian, pengobatan, dan perawatan luka, melatih otot-otot (exercise), meninggalkan bagian yang bengkak bengkak (elevasi), memakai alas kaki yang nyaman. (Depkes, 2009)
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien mencakup nama, alamat, umur, status, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, tempat tanggal lahir, nomor RM, diagnosa medis. 2. Identitas penanggung jawab mencakup nama, alamat, tempat tanggal lahir, status, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan pasien. 3. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah pasien mengeluh demam berulang-ulang selama beberapa hari. Demam hilang bila istirahat dan demam akan muncul lagi ketika bekerja berat. b. Riwayat Penyakit Sekarang Klien biasanya merasakan nyeri berulang-ulang, panas, dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki kearah ujung kaki. c. Riwayat Penyakit Dahulu d. Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit filariasis tidak termasuk penyakit keturunan, karena penyebab utama filariasis yaitu dari infeksi cacing filaria yang ditularkan lewat nyamuk.
4. Activity Daily Living a. Aktifitas / Istirahat Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktivitas (Perubahan TD, frekuensi jantung) b. Sirkulasi Tanda : Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer, perpanjangan pengisian kapiler c. Integritas dan Ego Gejala : Stress berhubungan dengan perubahan fisik, mengkuatirkan penampilan, putus asa, dan sebagainya Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah d. Integumen Tanda : Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, turgor jelek e. Makanan / Cairan Gejala : Anoreksia, permeabilitas cairan Tanda : Turgor kulit buruk, edema f. Hygiene Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri g. Neurosensoris Gejala : Pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera peraba, kelemahan otot. Tanda : Ansietas, refleks tidak normal. h. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala Tanda : Bengkak, penurunan rentang gerak i. Keamanan Gejala : Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat malam Tanda : Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe j. Seksualitas Gejala : Menurunnya libido Tanda : Pembengkakan daerah skrotalis k. Interaksi Sosial Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian Tanda : Perubahan interaksi, harga diri rendah, menarik diri B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum Klien tampak lemah dan kesadaran composmentis 2. TTV Tekanan Darah : Normal (120/80 mmHg) Nadi : Takikardi (>100 kali per menit) RR : Normal (16-20 kali per menit) Suhu : Hipertermi (>37,5˚C) (>37,5 ˚C) 3. Pemeriksaan diagnostic Menggunakan sediaan darah malam, diagnosis praktis juga dapat menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Jika pasien sudah terdeteksi kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler
diperlukan untuk mendeteksi pengerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau kelenjer mammae wanita. C. Diagnosa Keperawatan Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe 2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah bening 3. Mobilitas fisik terganggu t erganggu berhubungan dengan pembengkakan pembengkakan pada anggota tubuh 4. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada kulit D. Intervensi Intervensi
NO 1
Diagnosa Keperawatan Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe Nyeri hilang
Tujuan dan Kriteria Hasil Untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien TTV dalam keadaan normal
Intervensi
Rasional
a. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan / atur posisi), ajarkan teknik relaksasi. b. Observasi nyeri (kualitas, intensitas, durasi dan frekuensi nyeri). c. Anjurkan pasien untuk melaporkan dengan segera apabila ada nyeri. d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan (obat anelgetik)
a. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan koping. b. Menentukan intervensi selanjutnya dalam mengatasi nyeri c. Nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan merangsang sistem syaraf simpatis, mengakibatkan kerusakan
lanjutan d. Diberikan untuk menghilangkan nyeri. 2.
Peningkatan suhu tubuh Suhu tubuh dalam berhubungan dengan rentang (36,5-37,5˚C) (36,5-37,5˚C) peradangan pada kelenjar getah bening
a. Berikan kompres a. .Mempengaruhi pada daerah pusat pengaturan frontalis dan axial. suhu di b. Monitor vital sign, hipotalamus, terutama suhu mengurangi tubuh panas tubuh yang c. Pantau suhu mengakibatkan lingkungan dan darah modifikasi vasokonstriksi lingkungan sesuai sehingga kebutuhan, pengeluaran misalnya sediakan panas secara selimut yang tipis konduksi d. Anjurkan kien b. Untuk untuk banyak mengetahui minum air putih kemungkinan e. Anjurkan klien perubahan tandamemakai pakaian tanda vital tipis dan menyerap c. Dapat membantu keringat jika panas dalam tinggi mempertahankan f. Kolaborasi dengan / menstabilkan tim medis dalam suhu tubuh pemberian terapi pasien. pengobatan (anti d. Diharapkan piretik) keseimbangan cairan tubuh dapat terpenuhi e. Dengan pakaian tipis dan menyerap keringat maka akan mengurangi penguapan f. Diharapkan dapat menurunkan panas dan mengurangi infeksi
4
Mobilitas fisik Mampu melakukan Lakukan Retang terganggu berhubungan kegiatan sehari-hari Pergerakan Sendi (RPS) dengan pembengkakan secara mandiri pada anggota tubuh Tingkatkan tirah baring / duduk.
Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kekakuan sendi Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk penyembuhan Berikan lingkungan tirah baring lama yang tenang. dapat meningkatkan Tingkatkan aktivitas kemampuan sesuai toleransi. Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien .Evaluasi respon pasien dan memudahkan terhadap aktivitas 1. pilihan intervensi Meningkatkan kekuatan kelelahan dan otot dan mencegah membantu kekakuan sendi keseimbangan
5
Kerusakan integritas Mempertahankan kulit berhubungan keutuhan kulit, lesi dengan bakteri, defisit pada kulit dapat hilang imun, lesi pada kulit
Ubah posisi di tempat tidur dan kursi sesering mungkin (tiap 2 jam sekali).
Gunakan pelindung kaki, bantalan busa/air pada waktu berada di tempat tidur dan pada waktu duduk di kursi. Periksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
Anjurkan pasien untuk melakukan rentang gerak Kolaborasi : Rujuk pada ahli kulit. Meningkatkan sirkulasi,
Mengurangi resiko abrasi kulit dan penurunan tekanan yang dapat menyebabkan kerusakan aliran darah seluler. Tingkatkan sirkulasi udara pada permukaan kulit untuk mengurangi panas/ kelembaban.
Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah – daerah – daerah yang beresiko terinfeksi dan nekrotik. Meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan
dan mencegah terjadinya dekubitus.
E. Implementasi F. Evaluasi
partisipasi pasien. Mungkin membutuhkan perawatan profesional untuk masalah kulit yang dialami.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 2009, Mengenal Filarisis (Penyakit Kaki Gajah) Depkes, 2005, Mengenal Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) Kemenkes RI, 2010, Vilariasis di Indonesia Vol 1, Jakarta : Bulletin Jendela Epidemiologi Pohan, Herdiman T, 2009, Filariasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid III. Jakarta: Internal Publishing Preparing and Implementing a National Plan to Eliminate Lymphatic Filariasis, WHO, 2000