LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN FAKTOR PEMBATAS BIOTA PERAIRAN
Oleh: Nurhalimah (1522810008)
Dosen Pembimbing: Awalul Fatiqin, M.Si
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2018
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bumi terdiri atas sebagian besar dari lingkungan aquatik, mempunyai pengaruh sangat besar terhadap lingkungan daratan terutama yang berbatasan langsung. Di samping itu, lingkungan aquatik diketahui pula mempunyai peranan penting dalam siklus materi kimia. Kehidupan dan pola-pola peri kehidupan yang ada di dalamnya pun berbeda sangat mendasar dengan keunikan tersendiri dibanding dengan lingkungan daratan. Oleh karena alasan mendasar itulah kita harus mencoba memahami lingkungan aquatik dan organisme yang ada di dalamnya, yaitu ekosistem aquatik. Beberapa lingkungan akuatik yang terdapat dibumi diantaranya yaitu ekosistem perairan tawar. Menurut Utomo dan Chalif, (2014) ekosistem perairan tawar adalah lingkungan perairan yang terdapat di daratan. Perairan darat adalah perairan yang terdapat di permukaan daratan dan umumnya letaknya lebih tinggi dari permukaan laut. Perairan darat ini pula mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, sampai setinggi air di permukaan laut. Di samping itu perairan darat biasanya hanya sedikit mengandung larutan mineral dibanding perairan laut. Secara umum perairan darat dengan berbagai cara akan dipengaruhi oleh sifat daratan yang ada di sekelilingnya sehingga pada perairan darat tertentu dapat mempunyai ciri-ciri khusus yang khas. Oleh karena keberadaannya di daratan, ekosistem ini masih terpengaruh oleh iklim daratan, seperti halnya musim hujan, kemarau, angin, dan lain-lain. Keadaan-keadaan inilah yang bertindak sebagai salah satu pendorong terjadinya perbedaan mendasar dari ke hidupan dan peri kehidupan yang ada di dalamnya. Pentingnya pemantauan terhadap kualitas ekosistem perairan tawar yang sangat berpengaruh dengan keberadaan mahluk hidup yang ada didalamnya maka perlu dilakukan pengukuran faktor-faktor yang membatasi keberdaan mahluk hidup yang ada didalamnya. Ekosistem danau merupakan salah satu ekosistem perairan tawar. Menurut Utomo dan Chalif, (2014) danau dikategorikan sebagai perairan tergenang.
Berdasarkan hal tersebut pada percobaan kali ini akan dilakukan pegukuran terhadap faktor pembatas biota perairan di Danau Jakabaring Kota Palembang, Sumatera Selatan. B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui kualitas perairan ditinjau dari beberapa faktor fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi keberadaan biota perairan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Danau
Sebagian besar air tawar yang ada di permukaan bumi tersimpan dalam bentuk massa es yang sangat besar di daerah kutub dan sebagai gletser di daerah pegunungan tinggi. Selain itu, air tawar juga terdapat dalam tanah yang muncul sebagai mata air, mengalir di permukaan sebagai sungai, dan menggenang dalam danau dan kolam yang jumlahnya + 0,3% dari total volume air. Jumlah yang sedikit inilah yang dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia dan jasad hidup lainnya (Barus, 2007). Berdasarkan kandungan nutrisinya, Welch (1980) “dalam” Fitra (2008) menggolongkan danau menjadi 3 jenis, yaitu : 1.
Danau Oligotropik, yaitu danau yang sangat dalam, miskin akan nutrient (bahan organik yang tersuspensi) di dasar perairan seperti kalsium, nitrogen dan fosfor, material humus sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali, kandungan oksigennya tinggi dan merata di setiap kedalaman serta banyak ditumbuhi oleh tumbuhan air yang besar (makrohidrofita).
2.
Danau Eutropik, merupakan danau yang relatif dangkal, kaya akan nutrisi seperti kalsium, nitrogen dan fosfor, oksigen terlarut pada stratifikasi kedalaman sangat bervariasi, rendah atau tidak ada sama sekali, dan biasanya sangat padat ditumbuhi oleh tumbuhan makrohidrofita.
3.
Danau Distropik, merupakan danau yang dangkal dan temperatur bervariasi, sedikit mengandung nutrien, material humus sangat banyak, oksigen terlarut hampir tidak ada pada daerah-daerah yang dalam dan sedikit dijumpai tumbuhan air yang besar-besar.
B. Faktor pembatas ekosistem air tawar
1.
Suhu Air Suhu air mempunyai sifat sebagai stabilisator karena sifatnya yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dibandingkan di udara. Dengan adanya keadaan inilah jarang
sekali kita mendapatkan adanya perbedaan fluktuasi suhu yang mencolok pada perairan. Diketahui pula daerah perairan yang lebih luas biasanya lebih dapat mempengaruhi kecilnya fluktuasi suhu. Walaupun temperatur/suhu air kurang bervariasi, tetap saja suhu merupakan faktor pembatas karena organisme air yang ada umumnya bersifat stenothermal (toleransinya sempit). Adanya perubahan berupa kenaikan suhu dapat menyebabkan kenaikan tingkat metabolisme organisme yang ada di dalamnya sehingga diperlukan adaptasi lebih lanjut, di samping juga akan mendorong terjadinya perubahan pola sirkulasi stratifikasi dan gas terlarut. Selanjutnya, akan mempengaruhi kehidupan di dalam air. Suhu air paling baik dan efisien diukur dengan menggunakan sensor elektronis, seperti thermistor. Pembacaan
dan
pencatatan
langsung
dari
thermistor
akan
lebih
memudahkan mahasiswa pemula untuk mengambil profil suhu dari habitat aquatik. Secara umum suhu/temperatur sangat berpengaruh terhadap organisme yang berada dalam perairan, terlebih lagi organisme air baik hewan maupun tumbuhan yang tergolong dalam kelompok stenothermal (kisaran suhu yang sempit). Adanya perbedaan suhu meskipun tidak terlalu besar sudah cukup mengganggu metabolisme organisme air. Untuk daerah perairan yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu dalam, suhu perairan lebih mudah dipengaruhi oleh sinar matahari maupun angin yang berhembus. Tetapi untuk perairan dalam dan luas, secara umum tidak begitu terpengaruh. Kalaupun ada hanya pada tingkat lebih ke arah permukaan saja. Untuk itu, pada perairan dengan tipe seperti ini wajar bila kita te mukan jenis-jenis organisme tertentu sesuai dengan kedalaman tertentu pula (Utomo dan Chalif, 2014). 2.
Turbiditas/Kekeruhan Penetrasi cahaya sering sekali dipengaruhi oleh zat terlarut dalam air. Akibat penetrasi yang terbatas, akan ikut pula membatasi habitat aquatik tertentu yang masih merupakan zona fotosintesis. Kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sangat mungkin dianggap sebagai faktor pembatas. Dengan tingkat penetrasi yang terbatas menjadikan semakin terbatas pula organisme untuk melakukan
fotosintesis sehingga kurangnya fotosintesis ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut. Di samping itu, kekeruhan yang terlalu tinggi menyebabkan metabolisme organisme menjadi terganggu. Sebaliknya, apabila kekeruhan disebabkan oleh organisme (terutama yang dimaksudkan adalah plankton maupun jenis alga tertentu), ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktivitas yang cukup tinggi (Utomo dan Chalif, 2014). 3.
Cahaya Cahaya yang dimaksud di sini adalah cahaya yang dapat digunakan untuk proses fotosintesis. Seperti sudah diketahui sebelumnya bahwa daya tembus cahaya ke dalam air dipengaruhi oleh partikel terlarut dan yang tersuspensi. Semakin ke dalam cahaya yang menembus air akan makin berkurang intensitasnya dan berubah komposisi spetrumnya. Misalkan, spektrum cahaya merah hanya dapat menembus sampai kedalaman 4 m, sedangkan spektrum cahaya biru dapat menembus sampai 70 m. Dengan semakin terbatasnya cahaya matahari yang mampu menembus kedalaman air, semakin terbatas pula kemampuan tumbuhan sejalan dengan kedalaman tersebut. Berarti semakin terbatas pula kandungan oksigen terlarut. Secara otomatis organisme yang berada di kedalaman tersebut harus men yesuaikan diri terhadap keterbatasan oksigen terlarut. Inilah yang mendasari cahaya juga bertindak sebagai faktor pembatas perairan, khususnya pada perairan dalam (Utomo dan Chalif, 2014).
4. pH Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan. Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik umumnya berkisar antara 7 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik. pH air dapat
mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi ketersediaan unsur hara serta toksinitas dari unsur renik (Barus, 2007).
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM A. Waktu dan Tempat
Praktikum ekologi perairan mengenai faktor pembatas biota perairan ini dilaksanakan pada hari Selasa, 29 April 2018 bertempat di Danau Jakabaring Palembang, Sumatera Selatan.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu eigmant grab, secchi disk , pH meter, termometer, tali, gunting dan sampel air.
C. Cara Kerja
1. Pengukuran Suhu a. Sampel air danau dimasukkan kedalam botol b. Masukkan termometer kedalam sampel air dan biarkan selama 30 menit c. Catat hasil 2. Pengukuran pH a. Siapkan alat pengukur Ph b. Masukkan sampel air danau ke dalam botol c. Tombol power pada alat pH meter dinyalakan dan ujung sensor kedalam sampel air yang akan diukur pH nya d. Angka yang terdapat pada layar dilihat dan ditunggu hingga angkanya stabil e. Catat hasil pengukuran 3. Pengukuran kecerahan a. Piringan secchi disk dimasukkan kedalam danau sampai piringan tepat hilang
dari
kedalamannya.
pandangan
pengamat,
kemudian
dicatat
hasil
b. Kemudian secchi disk diturunkan sedikit lebih jauh, kemudian angkat perlahan-lahan kedalamannya.
sampai
muncul
kembali
dan
dicatat
hasil
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Tabel 1. Hasil Pengukuran Faktor Pembatas Biota Perairan
Parameter
Nilai
Kimia
Ph
3,30
Kecerahan
190 cm
Suhu
29,5 OC
Fisik
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan faktor pembatas biota perairan di Danau Jakabaring dapat dilihat dari data hasil pada tabel 1. Diantaranya yaitu dilakukan pengukuran pH. Menurut Utomo dan Chalif (2014), Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan. Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa nilai pH di Danau Jakabaring mencapai 3,30. Angka tersebut menunjukkan bahwa Danau Jakabaring memiliki pH asam. Nilai pH atau derajat keasaman yang rendah atau bersifat asam didanau tersebut dapat mengganggu keberadaan dari biota perairan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan teori menurut Mainassy (2017), bahwa kondisi perairan yang bersifat asam atau basa dapat membahayakan kelangsungan hidup organisme di perairan tersebut. Karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi. Selain itu menurut Effendie (2003), kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan mempunyai kisaran pH 5-9. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa pH perairan di Danau Jakabaring kurang baik untuk mendukung kelangsungan hidup organisme didalamnya.
Kemudian pada praktikum ini selain dilakukan pengukuran pH juga dilakukan
pengukuran
kecerahan
perairan
yang
dilakukan
dengan
menggunakan sacchi disk . Menurut Sembiring (2008) “dalam” Mainassy (2017), kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas fotosintesis dan produksi primer dalam suatu perairan. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa sacchi disk yang dimasukkan kedalam perairan dapat terlihat hingga kedasar perairan dengan kedalaman 190 cm. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa cahaya masih dapat menembus hingga kedasar perairan sehingga sangat mendukung kehidupan organisme yang berfotosintesis. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang jernih. Selain itu menurut Mainassy (2017), faktor yang mempengaruhi kecerahan adalah partikel-partikel terlarut dalam lumpur. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Setelah dilakukan pengukuran kecerahan dan pH selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap suhu perairan. Menurut Utomo dan Chalif (2014), Suhu merupakan faktor pembatas karena organisme air yang ada, umumnya bersifat stenothermal (toleransinya sempit). Adanya perubahan berupa kenaikan suhu dapat menyebabkan kenaikan tingkat metabolisme organisme yang ada di dalamnya sehingga diperlukan adaptasi lebih lanjut, di samping juga akan mendorong terjadinya perubahan pola sirkulasi stratifikasi dan gas terlarut. Selanjutnya, akan mempengaruhi kehidupan di dalam air . Dari hasil pengukuran dengan menggunakan termometer diketahui bahwa suhu perairan di danau jakabaring mencapai 29,5oC. Suhu ini masih dapat dikatakan baik karena tidak melebihi batas suhu terendah maupun tertinggi bagi kehidupan organisme perairan. Hal ini sesui dengan teori menurut Romimohtarto dan Juana (2009), yang menyatakan bahwa suhu yang berkisar antara 27-30oC baik untuk kehidupan organisme perairan. Pada praktikum kali ini juga dilakukan percobaan mengenai cara penggunaan eigmant grab.
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kondisi suhu dan kecerahan perairan Danau Jakabaring cukup baik untuk mendukung kelangsungan hidup biota perairan akan tetapi kondisi pH perairan danau yang asam kurang baik bagi keberadaan biota perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, T. A. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Limnologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius Fitra, E. 2008. Analisis Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik Di Perairan Parapat Danau Toba. Tesis, sekolah pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Mainassy, M. 2017. Pengaruh Parameter Fisika Dan Kimia Terhadap Kehadiran Ikan Lompa (Thryssa Baelama Forsskai) Diperairan Pantai Apui Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada. 19 (2): 61-66. Utomo, S dan Chalif, S. 2014. Modul Ekologi Perairan. Website: repository.uc.id. Diakses: Minggu, 10 juni 2018.
