BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT), adalah perusahaan pertambangan Tembaga-Emas dibagian Barat Daya Pulau Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Pada tahun 1990, PT NNT menemukan cabakan tembaga porpiri dalam jumlah besar di daerah tersebut, yang kemudian diberi nama Batu Hijau. Pada aktivitas penggalian bijih tembaga dan emas dilakukan dari Pit di tambang terbuka. Penambangan batuan, baik bijih maupun batuan kadar rendah dari proyek Batu Hijau mencapai lebih dari 600.000 ton per hari. Bijih yang ditambang rata-rata mengandung 0,53 % Cu dan 0,4 gram/ton Au. PT. NNT mengolah rata-rata 120.000 ton bijih tembaga-emas perhari hingga menjadi konsentrat. Penambangan dimulai dengan pemboran dan peledakan batuan di lubang Pit. Batuan bijih kemudian diangkut menggunakan haul truck ke primary crusher dan stockpile yang terletak di pinggir Pit. Penghancuran di primary crusher menghasilkan batuan dengan ukuran maks 15 cm. Dari sini batuan dikirim ke pabrik pengolahan (concentrator) dengan menggunakan conveyor sepanjang 5,4 km. Di concentrator batuan bijih digiling menggunakan SAG Mills dan Ball Mills dengan campuran air laut/tawar untuk memperoleh batuan dengan ukuran 200 micron. Bijih halus ini kemudian dikirim ke tangki flotasi untuk proses pemisahan konsentrat dengan tailing melalui proses fisika dengan bantuan reagents. Tailing dikirim ke teluk senunu melalui jaringan pipa untuk penempatan bawah laut pada kedalaman 120 m. Konsentrat slurry kemudian dialirkan ke tangki CCD untuk pembersihan akibat campuran air laut. Setelah itu konsentrat ini dikirim ke benete melalui pipa sepanjang 17.6 km untuk pengeringan hingga 90% di Filter Plant sebelum ditempatkan di gudang pengapalan.
1.2. Tujuan dan Maksud Tujuan dari penulisan laporan ini menggambarkan bagaimana pengelolaan dan pengendalian lingkungan yang diterapkan PT. Newmont Nusa Tenggara di Site Batu Hijau dalam memenimalkan pencemaran terhadap lingkungan, pemantauan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. Maksud dari penulisan laporan ini menganalisis program pengelolaan dan pengendalian lingkungan PT. Newmont Nusa Tenggara di site Batu Hijau. 1.3. Waktu dan Tempat Waktu Pelaksanaan kegiatan ekskursi ini berlangsung selama 2 hari dari tanggal 23-24 Mei 2016. Kegiatan ekskursi ini berjumlah 11 orang dan didampingi pembimbing 1 orang. Tempat pelaksanaan kegiatan Ekskursi Mahasiswa Magister Teknik Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta berlokasi di area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Site Batu Hijau. 1.4. Status Kepemilikan Saham PT. NNT Saham PT. NNT dimiliki oleh empat grup yaitu, Nusa Tenggara Partnership B.V (NTP), PT. Multi Daerah Bersaing (PT MDB), PT Pukuafu Indah (PT. PI) dan PT. Indonesia Masbaga Investama. Saat ini, sebesar 7% saham asing yang dimiliki Nusa Tenggara Partnership tengah ditawarkan untuk proses divestasi.
Gambar 1.1. Status Kepemilikan Saham PT. NNT
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1. Lokasi dan Kesampaian Daerah Proyek Batu Hijau terletak tepatnya di Kecamatan Maluk, Jereweh dan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pulau Sumbawa adalah bagian dari pulau sebelah selatan kepulauan Indonesia, disebelah timur Pulau Lombok dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Di lepas pantai selatan Sumbawa, dasar laut menurun curam dan berakhir di Cekungan Lombok (>4.000 m di bawah permukaan laut), sekitar 70 km dari garis pantai. Selain kondisi topografi yang curam Pulau Sumbawa ditandai oleh medan perbukitan, daerah aktivitas gempa dan iklim tropis (rata-rata curah hujan sebesar 2.500 mm/th). Secara geografis daerah ini terletak pada 116o24’0” BT - 116o33’0” BT dan 8o30’0” LS - 9o3’0” LS. Untuk dapat mencapai lokasi penambangan dapat ditempuh melalui perjalanan darat dari kota Mataram selama dua jam dengan menggunakan angkutan darat menuju pelabuhan Kayangan, Lombok Timur.
Gambar 2.1. Lokasi Project Area Batu Hijau
Lokasi pertambangan berada pada pedalaman pulau sekitar 450 km di atas permukaan laut, 15 km dari pelabuhan khusus PT. NNT di Teluk Benete dan sekitar 10 km dari Pesisir Selatan Sumbawa. Seluruh kegiatan penambangan dan pengeloaan mineral serta saran dan prasarana tambang site Batu Hijau bertempat pada satu lokasi dengan luas 400 km persegi. Bijih yang ditambang oleh PT. NNT rata-rata mengandung 0,53% tembaga dan 0,4 gram per ton emas. Penambangan batuan, baik bijih maupun batuan yang berkadar rendah, rata-rata mencapai 600.000 ton/hari. Bijih tembaga-emas yang diolah melalui proses pengolahan konsentrat, rata-rata mencapai 120.000 ton/hari. 2.2. Kondisi Geologi Kondisi geologi di site Batu Hijau PT Newmont Nusa Tenggara terdari dari beberapa kondisi geologi A, B, C, D, E, F dan G. dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kondsi A Lithology (Jenis Batuan) Volcanic fine grain (Vjg), porfiritik, berbutir
halus-sedang,
rounded, hornblende
finokris, tertanam
angular-sub felspar, dalam
dan massa
dasar halus. Alteration (ubahan) dari mineral mafik terubah menjadi biotit sekunder, klorite dan magnetit (biotit alteration). Mineralisasi dapat berupa Kalkopyrite, bornit, dan pyrit tersebar diseminated dan mengisi urat-urat kuarsa. Au (emas) 1,24 gr/ton, Cu (Tembaga) 0,61 %, Ag (Perak) 1.60 gr/ton. 2. Kondisi B Lithology (Jenis Batuan) Equigragnular quartz diorite (Qde), porfiritik, berbutir halus-sedang, sub rounded, terdiri atas kuarsa, feldspas dan mineral mafik. Alteration (ubahan) terubuh kuat, mineral mafik dan
feldspar terubah menjadi klorit dan serisit (pale green mica alteration). Mineralisasi berupa kalkopyrite, bornite tersebar disseminated dan mengisi urat-urat kuarsa. Au (Emas) 1,82 gr/ton, Cu (Tembaga) 1.93 %, Ag (Perak) 3,70 gr/ton. 3. Kondisi C Lithology (Jenis Batuan) Intermediate tonalite (Ti), porfiritik, berbutir halus-sedang, sub rounded terdiri atas kuarsa, feldspar dan mineral mafik. Alteration (ubahan) mineral mafik dan feldspar terubah menjadi biotit sekunder, klorit dan magnetit (biotit alteration-pole green mica). Mineralisasi Kalkopyirite, bornit tersebar disseminated dan mengisi uraturat kuarsa. Au (Emas) 2,87 gr/ton, Cu (Tembaga) 1,48 %, Ag (Perak) 5.10 gr/ton. 4. Kondisi D Lithology (Jenis Batuan) Intermediate tonalite (Ti), porfiritik, berbutir halus-sedang, sub rounded terdiri atas kuarsa, feldspar dan mineral mafik. Alteration (ubahan) mineral mafik dan feldspar terubahn menjadi biotit sekunder, klorit dan serisit. Mineralisasi berupa kalkopyirite, bornit tersebar disseminated dan mengisi urat-urat kuarsa. Au (Emas) 2,46 gr/ton, Cu (Tembaga) 1,10%, Ag (Perak) 4,30 gr/ton 5. Kondisi E Lithology (Jenis Batuan) Volcanic fine grain (Vjg), porfiritik, berbutir rounded
halus-sedang, fenokris
angular-sub
feldspar
dan
horblende tertanam dalam massa dasar halus. Alteration (ubahan) mineral mafik terubah menjadi klorit dan serisit (Pale green mica alteration. Mineralisasi Kalkopyirite, bornitem dan pyrite tersebar disminated dan mengisi urat-urat kuarsa. Au (Emas) 0,01 gr/ton, Cu (Tembaga) 0,06%, Perak (Ag) 0,2 gr/ton.
Gambar 2.2. Alterasi (Ubahan) Mineral 6. Kondisi F Lithology (Jenis Batuan) Equigranular quartz diorite (Qde), porfiritik, berbutir halus-sedang, sub rounded terdiri atas kuarsa, feldspar
dan
mineral
mafik.
Alteration berupa mineral mafik dan feldspar terubah menjadi klorit dan serisit. Mineralisasi dapat berupa kalkopyrite, bornit tersebar disseminated dan mengisi urat-urat kuarsa. Au (Emas) 0,01 gr/ton, Cu (Tembaga) 0,05%, Ag (Perak) 0,3 gr/ton.
7. Kondisi G Lithology (Jenis Batuan) Intermediate
tonalite
(Ti),
profiritik, berbutir halus-sedang, sub rounded terdiri atas kuasa, feldspar
dan
mineral
mafik.
Alteration dapat berupa mineral mafik dan feldspar terubah menjadi biotit
sekunder,
magnetit
klorite
(secondary
dan biotit
alteration). Mineralisasi dapat berupa urat kuarsa hadir intensif tetapi tidak disertai mineralisasi (barren ore). Au (Emas) 0,08 gr/ton, Cu (Tembaga) 0,05%, Ag (Perak) 0,3 gr/ton. 8. Kondisi H Lithology (Jenis Batuan) Young
tonalite
(Ty)
porfiritik,
berbutir sedang-kasar, sub rounded terdiri atas kuarsa, feldspar dan mineral mafik. Alteration dapat berupa mineral mafik dan feldspar (sebagai terubah menjadi biotit sekunder, klorite dan magnetit (partian biotite alteration). Au (Emas) 0,09 gr/ton, Cu (Tembaga) 0,05 %, Ag (Perak) 0,4 gr/ton. Mineralisasi pada umumnya rekahan-rekahan halus urat-urat kuarsa.
Gambar 2.1. Kondisi Geologi Site Batu Hijau
Gambar 2.2. Mineralization Au (Emas)
Gambar 2.3. Mineralization Cu (Tembaga) BAB III KEGIATAN PERTAMBANGAN
3.1. Kegiatan Penambangan Kegiatan penambangan PT Newmont Nusa Tenggara, (PT. NNT) dilakukan dengan metode tambang terbuka (open pit mine) (Gambar 3.1). Pada saat pit digali baik batuan yang mengandung mineral maupun batuan limbah harus diambil. Proses penambangan di Batu Hijau diawali dengan kegiatan pengeboran dan peledakan batuan dilubang Pit. Pemberian batas dilapangan dilakukan untuk membedakan bijih dan batuan sisa sebelum dilakukan pengangkutan. Bahan galian diangkut ke beberapa lokasi yang telah disiapkan sesuai dengan klasifikasinya. Batuan bijih yang ditambang kemudian diangkut menggunakan haul truck ke primary crusher dan stockpile yang terletak dipinggir Pit.
Gambar 3.1. Open Pit Mining PT Newmont Nusa Tenggara Penghancuran di primary crusher menghasilkan batuan dengan ukuran maks 15 cm. dari sini batuan dikirim ke pabrik pengolahan (concentrator) dengan
menggunakan conveyor sepanjang 5,4 km. Batuan yang dikirim oleh conveyor menuju concentrator digiling menggunakan SAG Mills dan Ball Mills dengan campuran air laut/tawar untuk memperoleh batuan dengan ukuran 200 micron. Bijih halus hasil pengolahan SAG Mills dan Ball Mills kemudian dikirim ke tangki flotasi untuk memperoleh pemisahan konsentrat dengan tailing melalui proses fisika dengan bantuan reagents. Tailing hasil pengolahan tersebut dikirim ke Teluk Senunu melalui jaringan pipa untuk penempatan bawah laut pada kedalaman 125 m. Konsentrat slurry kemudian dikirim ke tangki CCD untuk pembersihan akibat campuran air laut. Setelah itu konsentrat ini dikirim ke Benete sebelum ditempatkan di gudang pengapalan. Dari semua proses penambangan dan alur produksi ini terdapat sisa batuan halus menyerupai lumpur yang disebut tailing.
Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Penambangan 3.2. Kegiatan Pengolahan
Bijih diremukkan di dalam 2 buah gyratory crusher primer dan kemudian ditimbun di stockpile antara (surge pile). Dari surge pile, bijih diumpan oleh apron feeder ke ban berjalan sepanjang 5,6 km menuju tempat penimbunan di area mill yang disebut coarse ore stockpile. Lalu bijih diumpankan oleh belt feeder menuju ke dua jalur sirkuit penggilingan di sirkuit konsentrator. Dari sirkuit ini bijih di olah sebagai slurry (lumpur) dengan menggunakan air laut sebagai air proses dan juga memanfaatkan air tambang pada kolam Santong 3 sebanyank 25% kebutuhan air proses. Masing-masing sirkuit terdiri dari 1 mesin penggilingan semi autogenous atau SAG mill dan 2 mesin Ball mill yang dioperasikan pada sirkuit tertutup. Konsentrat akhir dari proses pengolahan selanjutnya dicuci dan dikentalkan dalam sirkuit CCD (counter current decantation), pencucian ini dilakukan untuk menurunkan kandungan klorida dalam slurry, sedangkan pengentalan dilakukan untuk memperkecil volume slurry konsentrat. Setelah konsentrat dikentalkan kemudian dipompa melalui saluran pemipaan ke filtration plant yang beralokasi dekat dengan pelabuhan. Tujuan utama dari proses pengolahan bijih adalah memisahkan mineral berharga dari bijih dengan menggunakan proses fisika, bukan kimia.
Gambar 3.2. Gyratory Crusher Adapun 4 tahapan utama dalam proses pengolahan bijih meliputi crushing (peremukan), griding (penggerusan), flotation (pengapungan) untuk memisahkan mineral dengan batuan sisa dan penempatan tailing.
3.2.1. Crushing (Peremukan) Bijih dari lokasi penambangan dikirim melalui truk pengangkut ke dua buah kantung curah (dump pocket) yang masing-masing berkapasitas 500 ton, 2 mesin hydraulic rock breaker dipasang di dinding dalam dump pocket untuk memperkecil ukuran menjadi butiran bijih bergaris tengah 15 cm. Setelah itu bijih akan dimasukkan ke dalam sirkuit grinding.
Gambar 3.3. SAG Mill (Kiri) Ball Mill (Kanan) 3.2.2. Grinding (Penggerusan) Bijih yang dimasukkan kedalam sirkuit grinding yang di dalamnya terdapat Semi Autogenous Grinding (SAG) Mill dan Ball Mill. Air laut dan/atau air tawar kemudian ditambahkan untuk memudahkan penghancuran bijih. Bola-bola besi yang terdapat di dalam SAG Mill dan Ball Mill yang berputar berfungsi untuk menumbuk dan menggerus bijih hingga ukuran tidak lebih besar dari butiran pasir. Partikel bijih halus yang bercampur dengan air membentuk slurry atau lumpur yang kemudian dipompakan ke tangka flotasi pengapungan. 3.2.3. Flotation (Pengapungan) Pada tahap flotasi, reagen organic dalam dosis rendah ditambahkan bersama kapur ke dalam slurry untuk membantu proses perolehan mineral berharga. Reagen secara reaktif bereaksi dengan permukaan mineral berharga sehingga menjadikan bersifat menolak air (hydrophobic). Mineral berharga yang mengandung tembaga, emas dan perak tersebut kemudian melekat pada gelembung udara yang terbentuk di dalam tangki pengapungan dan selanjutnya
gelembung udara tersebut mengangkut mineral berharga bergerak dari dasar tangka dan mengapung di bagian atas tangka flotasi menjauhi air.
Tabel 3.1. Jenis Reagen Yang Digunakan Dalam Proses Pengapungan PT NNT Jenis Reagen Kapur
Volume/Dosis per 1 ton bijih 1.5 -2.5 kg
Pengumpul Utama (MBT mercaptobenzothiazole + DTP dthiophosphate) Pengumpul Sekunder (amylxanthate) Frother (campuran dari ikatan alcohol dan glycol methyl ether)
Pemakaian
3 – 4 gram
Untuk mengontral kadar pH sampai 8,5 Proses Pengapungan
5 - 10 gram
Proses Pengapungan
15 – 20 gram
Stabilize air bubbles in flotation cells
Mineral ini diambil sebagai konsentrat yang selanjutnya dikeringkan dan dikapalkan ke sejumlah smelter (pabrik peleburan) dalam bentuk pasir hitam. Partikel halus seperti pasir bercampur air yang tersisa di dalam tangki tersebut diambil yang disebut tailing.
Gambar 3.4. Alur Pengolahan
3.3. Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan 3.3.1. Pengelolaan dan Pengendalian Tailing Tailing adalah sisa batuan yang telah digiling/digerus halus, setelah konsentrat yang sebagian besar terdiri dari tembaga, emas dan perak di dalamnya diambil. Konsentrat ini dikapalkan ke pabrik peleburan untuk pemrosesan akhir dan produksi logam. Tailing dihasilkan oleh instalasi pengolahan bijih dalam bentuk slurry setelah bercampur dengan air proses. Proses pengolahan batuan bijih di PT. NNT tidak menggunakan merkuri ataupun sianida melainkan menggunakan bahan kimia berbasis alkohol organik yang terurai dengan mudah dan cepat. Tailing berbentuk lumpur (slurry) dan mengandung 20-45% partikel padat bercampur air laut dan/atau air tawar yang digunakan dalam proses pengolahan bijih. Proses pengolahan bijih PT. NNT tidak menggunakan merkuri ataupun sianida melainkan menggunakan bahan kimia berbasis alkohol yang akan terurai dengan cepat. Untuk memisahkan mineral berharga dari bijih, PT. NNT menggunakan proses fisika standard untuk memisahkan mineral berharga dari bijih. Empat tahapan utama dalam proses pengolahan bijih meliputi peremukan (crushing), penggerusan (grinding), pengapungan (flotation) untuk pemisahan mineral dan penanganan konsentrat. Tailing yang dihasilkan merupakan produk sampingan (sisa) dari proses pengapungan. Sirkuit peremukan memperkecil ukuran bijih (yang berupa batuan yang mengandung mineral bernilai ekonomis yang dapat diambil), yang dikirim dari kegiatan penambangan terbuka menjadi butiran bijih bergaris tengah kurang dari 15 cm. Dari peremukan bijih masuk ke sirkuit penggerusan, di mana ditambahkan air laut dan/atau air larian. Sirkuit
penggerusan ini menggunakan Semi Autogenous Grinding (SAG) Mill dan ball mill atau bola-bola besi yang berfungsi untuk memperkecil ukuran batuan yang telah diremukkan itu hingga seukuran butiran pasir. Partikel bijih halus yang dicampur dengan air di sirkuit penggerusan ini disebut slurry atau lumpur, yang kemudian dipompakan ke proses flotasi/pengapungan. Di bagian flotasi ini, reagen organik dan kapur ditambahkan bersama kapur untuk proses perolehan mineral berharga dari bijih. Reagen secara selektif bereaksi dengan permukaan mineral berharga yang telah digerus harus tersebut dan menjadikannya bersifat hydrophobic (menolak air). Fraksi mineral dari bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak melekat pada gelembung udara yang terbentuk dan mengapung ke permukaan tangki. Selanjutnya gelembung udara mengangkut mineral berharga bergerak dari dasar tangki ke permukaan tangki flotasi. Mineral yang "mengapung" ini kemudian dipisahkan dari sisa batuan yang telah digerus halus dan diambil sebagai "konsentrat". Konsentrat berisi tembaga, emas dan perak dengan persentase lebih tinggi dari bijih yang mula-mula masuk fasilitas pengolahan. Selanjutnya konsentrat dikapalkan dan diangkut ke sejumlah smelter (pabrik peleburan) di seluruh dunia dalam bentuk pasir hitam untuk pengambilan akhir kandungan tembaga, emas dan peraknya. Partikel halus seperti pasir bercampur air (slurry) yang tersisa di dalam tangki flotasi setelah mineral berharga dalam bentuk konsentrat tersebut diambil, itulah yang disebut tailing. Tailing mengandung sejumlah kecil mineral sisa yang tidak dapat diambil oleh proses flotasi. Partikel tailing memiliki sifat atau karateristik yang mirip dengan pasir yang banyak ditemukan di Pulau Sumbawa. Hasil uji toksisitas oleh P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseonografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) maupun pengujian TCLP secara berkala telah membuktikan bahwa tailing tidak menunjukkan adanya unsur/elemen yang signifikan untuk digolongkan sebagai bahan beracun. PT NNT pada tahun 1999 telah melakukan kajian mengenai pembuangan tailing yaitu kajian pembuangan tailing di darat dan dilaut. Dari kajian tersebut berdasarkan berbagai pertimbangan dipilih alternatif pembuangan tailing dilaut. Pembuangan tailing dilaut lebih dikenal dengan metode Sub-marine Tailing
Disposal (STD). Perusahaan PT NNT menerapkan metode STD dinilai lebih efesien dari segi biaya dalam pengelolaan lingkungan di darat. Dimana asumsi pembuangan limbah tailing dibawah laut terdapat lapisan termoklin (lapisan yang membagi 2 massa air di perairan sebagai lapisan pembatas antara air yang berada dipermukaan dan yang berada dibawahnya, yang pada umumnya memiliki fluktuasi suhu yang sangat tajam dibandingkan dengan lapisan air lainnya) yang dapat menahan tailling agar tetap mengendap dan tidak naik ke permukaan dan mengkontaminasi ikan (biota laut). 1. Penempatan Tailing di Dasar Laut PT. NNT menerapkan system penempatan tailing di dasar laut yang telah dirancang-bangun dengan baik dan dikelola serta dipantau secara berkesinambungan untuk memastikan system tersebut beroperasi dengan benar. Beberapa faktor utama yang dipertimbangkan atas penempatan tailing di dasar laut pada saat melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Proyek Batu Hijau. 1. Penempatan tailing di darat akan menimbulkan dampat terhadap lebih dari 2.310 hektar hutan dan tanah pertanian produktif. 2. Tingkat curah hujan tahunan yang melebihi 2500 mm/th akan menyebabkan air di dalam dam penampung tailing di darat sangat sulit dikelola. 3. Dam penampung tailing yang dibangun di daerah yang dirawan gempa dapat mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 4. Tailing yang ditempatkan di bawah zona photic laut yang produktif akan meminimalkan dampat terhadap lingkungan. 2. Sistem Kerja Penempatan di Dasar Laut Tailing yang berbentuk slurry (campuran air dan sisa gilingan batuan) mengalir secara gravitasi melalui pipa dari pabrik pengolahan bijih menuju ke tepi Ngarai Laut Senanu. Ujung pipa ini berada pada 125 meter di bawah permukaan laut dan berjarak 3,2 km dari tepi pantai, sehingga tailing akan tenggelam dan mengalir menuruni dinding curam Ngarai Laut
Senunu layaknya sungai dibawah laut, sehingga mencapai cekungan Lombok pada kedalaman 4000 m.
Gambar 3.5. Penempatan Tailing di Dasar Laut 3. Program Pemantauan Sitem penempatan tailing di dasar laut PT. NNT dipantau secara ekstensif untuk memastikan agar system bekerja sesuai rancang-bangun guna meminimalkan potensi dampak terhadap lingkungan.
Pada 2004 dan
2009, para ahli dari Centre for Environmental Contaminants Research, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) Australia bersama tim pengkaji dari Indonesia secara independen meneliti dan mengkaji data pemantauan PTNNT terkait mutu air, sedimen, dan ikan di sekitar daerah penempatan tailing sampai ke perairan Lombok dan Selat Alas. Penelitian itu menemukan bahwa tailing tidak menyebar ke arah lingkungan pesisir Sumbawa, atau mengarah ke Selat Alas dan Lombok, ataupun ke air permukaan. Kadar logam di jaringan tubuh ikan yang
diambil dari Ngarai Senunu berada dalam kisaran normal, sama dengan kadar yang ditemukan pada tubuh ikan yang diambil dari lokasi kontrol maupun dari pasar-pasar ikan yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Lombok. Hasil studi tersebut menegaskan bahwa kandungan logam terlarut di semua lokasi dan semua kedalaman berada di bawah ketentuan baku mutu yang ditetapkan. Hasil penelitian independen ini menegaskan hasil pemantauan PTNNT dan bahwa tailing tidak mencemari air laut di area tersebut. Pada 2003 dan 2009, Pusat Penelitian Oseanongrafi-Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(P2O-LIPI)
melakukan penelitian di laut dalam untuk memetakan tapak tailing dan dampak penempatan tailing di dasar laut terhadap ekosistem laut termasuk mutu air dan komunitas bentos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tailing mengalir dari Ngarai Laut Senunu ke arah Cekungan Lombok sebagaimana diprediksi dalam ANDAL PTNNT dan dampak terhadap mutu air hanya terbatas pada air di dasar Ngarai Senunu. Mutu air di luar area campuran tailing berada pada tingkat konsentrasi awal dan mematuhi baku air laut yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Tabel 3.3 Program Pengelolaan dan Pemantauan Sistem Penempatan Tailing
4. Pencegahan Tumpahan Tailing Prosedur pengawasan jaminan dan kendali mutu diterapkan untuk memastikan keutuhan jaringan pipa tailing darat dan pipa lepas pantai. Di darat, PTNNT menempatkan jaringan pipa tailing pada sebuah ruang (koridor) terbatas, sehingga bilamana terjadi kerusakan jaringan pipa, tumpahan akan langsung tertampung dalam koridor dan dibersihkan. PTNNT memiliki dua jalur pipa tailing laut, satu pipa digunakan untuk operasi dan satu lagi digunakan sebagai cadangan. Jika terjadi kebocoran jaringan pipa laut, pabrik langsung dihentikan dan lumpur tailing dialihkan ke pipa cadangan. Meski demikian, strategi pengoperasian yang diterapkan tidak menunggu hingga pipa laut mulai bocor sebelum lumpur tailing dialihkan ke jaringan pipa laut kedua. Pemeriksaan bagian dalam jaringan pipa darat dan laut dilakukan dua kali setahun selama jadwal penghentian pabrik
pengolahan
secara
keseluruhan.
Jika
hasil
pemeriksaan
memperkirakan jaringan pipa laut yang beroperasi akan mencapai ketebalan minimum dinding pipa sebelum jadwal penghentian pabrik berikutnya, jaringan pipa kedua akan dioperasikan operasi sementara jaringan pipa yang sebelumnya diganti seluruhnya dengan yang baru dan menjadi pipa cadangan. Strategi ini telah meminimalkan kemungkinan bocornya pipa laut. 3.3.2. Pengendalian Pencemaran Air
Pengelolaan air limbah di areal penambangan PT NNT dilakukan dengan melakukan kajian pola aliran permukaan yang masuk ke areal tambang. Kajian ini dimaksudkan untuk menetapkan titik penaatan air limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Pengelolaan air tambang Batu Hijau dapat dilakukan dengan meminimalkan area yang berpotensi menghasilkan run off (air permukaan) yang bersifat asam, memaksimalkan pemisahan air permukaan dari hutan di hulu daerah lubang tambang dan air dari daerah penimbunan batuan, mengumpulkan air yang berpotensi terkena dampak kegiatan penambangan, memanfaatkan air yang terkumpul untuk keperluan pabrik (re use) atau dilepas ke badan sungai apabila dalam kondisi normal dengan mengikuti ketentuan perundangan yang berlaku, mengumpulkan air rembesan dari daerah timbunan bijih batuan sementara untuk proses di instalasi pengolahan air. Air permukaan yang berasal dari hulu (hutan) yang menuju ke daerah penambangan sedapat mungkin dialirkan dan ditangkap melalui saluran atau pipa. Air di hulu diupayakan tidak terpengaruh oleh kegiatan tambang dan sekaligus menguragi air asam tambang. Air asam tambang yang terbentuk pada kegiatan penambangan dapat dilakukan dengan pengelolaan yang dimulai dari pembuatan kolam-kolam penampung sedimen, sistem drainase, pompanisasi dan sistem pengolahan air. Pada akhirnya sistem air tambang berujung pada santong, air akan dipompa dan dialirkan ke pabrik untuk dapat dimanfaatkan kembali
Gambar 3.6. Sistem Pengololan Air Tambang Santong 3.3.3. Pengendalian Pencemaran Udara Pengendalian pencemaran udara dilakukan untuk mengurangi pencemaran dari aktivitas penambangan maupun aktivitas penunjang kegiatan penambangan yang dilakukan dengan penyiraman jalan-jalan tambang untuk mengurangi polusi debu. Sedangkan untuk kegiatan penunjang operasional telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana sampling agar memenuhi baku mutu emisi yang sesuai dengan peraturan.
Gambar 3.7. Kegiatan Penyiraman Debu 3.3.4. Pengelolaan Limbah B3 PT NNT, dalam operasionalnya menghasilkan beberapa jenis limbah baik itu limbah domestik maupun limbah berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 dominan yang dihasilkan diantaranya adalah tailing, pelumas bekas, fly ash dan bottom ash. Khusus untuk tailing perusahaan melakukan pengelolaan dengan metode dumping/penempatan tailing di dasar laut teluk senunu. Kegiatan ini telah memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup berupa KepMen LH No. 92 Tahun 2011.
Sebagai sebuah perusahaan tambang terintergrasi PT.NNT melakukan beberapa kegiatan pengelolaan limbah B3: 1. Penyimpanan sementara limbah B3 Limbah B3 yang dihasilkan disimpan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengelolaan lanjutan, terdapat 18 shelter penyimpanan sementara limbah B3 sebagai titik awal limbah dihasilkan sebelum limbah ditransfer ke Gudang penyimpanan utama yang berlokasi di Benete dengan izin Keputusan Bupati Sumbawa Barat No. 171 Tahun 2013 2. Pemanfaatan minyak pelumas bekas dan abu batubara PT. NNT melakukan pemanfaatan limbah B3sebagai perwujudan dari metode 3R (reuse recycle rcovery). Limbah yang dimanfaatkan antara lain minyak pelumas bekas sebagai bahan substitusi solar dalam peledakan (ANFO) serta sebagai bahan bakar di PLTU. Sebagian abu batubara (fly ash dan bottom ash) dari PLTU juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan beton dan paving block. Kegiatan pemanfaataan tersebut telah dilengkapi dengan izin: KepMen LH No. 489 Tahun 2009 (izin ANFO), Kep Men LH No. 36 Tahun 2011 (Izin Pemanfaatan pelumas bekas di PLTU Benete) Kep Men LH No. 179 Tahun 2010 (izin pemanfaatan abu batubara). Dalam upaya melakukan 3R PT.NNT juga melakukan inovasi untuk memperpanjang masa pakai pelumas bekas dengan melakukan penyaringan menggunakan alat bernama kidney loop 3. Penimbunan abu batubara Fly ash dan Bottom ash yang dihasilkan dari PLTU ditimbun di area penimbunan khusus kategori II (Secure Landfill Single Liner) yang memiliki izin dari KLH Kep Men LH No. 110 Tahun 2010 4. Pengolahan limbah B3 medical di insinerator PT.NNT dalam operasional di site memiliki rumah sakit yang menghasilkan limbah medis yang dikelola dengan metode thermal menggunakan insinerator yang juga memiliki izin Kep Men LH No. 127 Tahun 2009 5. Pembuangan/dumping tailing. Tailing merupakan limbah dari pengolahan bijih di pabrik pengolahan. Tailing tersebut dialirkan dari pabrik dengan menggunakan
pipa khusus (pipa darat) sepanjang 7 km ke bibir pantai dan selanjutnya disambung dengan pipa laut sepanjang 2 km ke teluk senunu.
BAB IV KEGIATAN REKLAMASI
4.1. Pelaksanaan Kegiatan Reklamasi Proses reklamasi Batu Hijau dilakukan segera setelah lahan bekas tambang siap atau daerah timbunan batuan sisa selesai timbung. Kegiatan reklamasi dimulai dari penyiapan dan pelapisan tanah bawah, tanah pucuk, persiapan lahan hingga penanaman pohon, perawatan sampai dengan pemantauan.
Gambar 4.1. Kegiatan Pemadatan Area Rencana Reklamasi
Gambar 4.2. Soil Placement Design Penyiapan lahan dilakukan dengan re-contouring bekas tambang atau re sloping permukaan timbunan dengan sudut muka lereng 2H:1V dan kemiringan timbunan keseluruhan minimum (kemiringan inter ramp) 2,5 H:1V untuk mencapai kestabilan dari timbunan kemudian dilakukan penempatan tanah dan dilanjutkan dengan revegatasi yang bertujuan untuk membantu menstabilkan permukaan timbunan batuan penutup dan mengurangi erosi.
Gambar 4.2. Jaring Pada Lereng Reklamasi