TUGAS HOLISTIC AND TRANSCULTURAL NURSING Praktek Keperawatan/Kesehatan Keperawatan/Kesehatan Peka Budaya : Khitan Perempuan di Madura Dosen Pengampu : Dra. Suharyati Samba, S. Kp., M.Kes
OLEH: Yosi Oktarina NIM : 220120120024
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN AJARAN 2012-2013
KHITAN PEREMPUAN DI MADURA Pendahuluan
Budaya menggambarkan sifat non-fisik seperti nilai, keyakinan, sikap, atau adat istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada satu definisi tunggal untuk budaya. Budaya juga merupakan kumpulan dari keyakinan, praktik, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, norma, adat istiadat, dan ritual yang dipelajari dari keluarga dari keluarga selama sosialisasi bertahun-tahun (Potter & perry, 2005). Kebudayan juga meliputi perilaku, peran, dan praktik keagamaan yang diwariskan turun menurun. Salah satu bentuk praktik kesehatan yang dipengaruhi oleh agama adalah khitan (Kencana W, 2011). Di beberapa wilayah Indonesia praktek sirkumsisi tidak hanya dilakukan kepada pria namun juga wanita. Praktek khitan pada wanita tidak hanya terkait dengan agama namun juga erat kaitannya dengan nilai, tradisi dan budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Praktek sunat pada wanita sejatinya tidak hanya menimbulkan pertentangan pada tingkat lokal bahkan sampai tingkat internasional. Hal ini dapat dilihat dari kasus yang saya ambil dari sebuah artikel seperti dibawah ini. Deskripsi Kasus
Kejadian ini saya ambil dari sebuah artikel yang berjudul “Larangan Khitan Perempuan” yang dimuat pada Kompas.com pada tanggal 29 Juli 2011. Dalam artikel itu dijelaskan bahwa secara historis, praktik khitan bagi perempuan telah ada sebelum agama Islam lahir. Khitan perempuan menjadi tradisi di banyak masyarakat. Berdasarkan riset Population Council, di Indonesia, khitan perempuan dilakukan di berbagai daerah, seperti Banten, Gorontalo, Makassar, Padang Sidimpuan, Madura, Padang, Padang Pariaman, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Bone, Gorontalo, dan Bandung. Alat untuk menyunat adalah pisau (55 persen), gunting (24 persen), sembilu (bambu) atau silet (5 persen), jarum (1 persen), serta sisanya sekitar 15 persen pinset, kuku atau jari penyunat, koin, dan kunyit. Caranya adalah dengan pemotongan klitoris, yaitu insisi (22 persen) dan eksisi (72 persen) menggunakan gunting, serta mengerik dan menggores klitoris (6 persen) menggunakan bambu atau silet. Praktik khitan bagi perempuan menimbulkan banyak korban, umumnya karena pendarahan. Penulis Mesir Nawal el Sadawi banyak menulis tentang kematian gadis dan anak perempuan akibat praktik ini. Penelitian
International Planned Parenthood Federation tahun 2001 menyebutkan, dampak khitan sangat beragam, seperti depresi, nyeri saat berhubungan seksual, mengurangi kenikmatan seksual, infeksi saluran kemih, radang panggul kronik, frigiditas, pendarahan, dan kematian. Pembahasan
Sunat perempuan dikenal dengan istilah Internasional yaitu female genital cutting atau female genital mutilation. WHO mendefinisikan FGC sebagai semua tindakan/prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genitalia perempuan (Mswela, 2010) WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu tipe: (i) Clitoridotomy; (ii) Clitoridectomy; dan (iii) Infibulasi/Pharaonic; dan (iv) tidak terklasifikasi. Pertama, Tipe I Clitoridotomy. Y aitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian
atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah hoodectomy. Kedua, Tipe II Clitoridectomy. yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora, tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula Ketiga, Tipe III Infibulasi/Pharaonic. Circumcision/Khitan Ala Firaun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGC. Keempat. Tidak terklasifikasi. T ermasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja
ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan atau labia; meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit; serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGC di atas. Meskipun pemberlakuan khitan perempuan di Indonesia hanya pada batas tipe 4 (Barber, 2011) Menurut WHO dampak yang ditimbulkan dari female genital cutting atau female genital mutilation terbagi menjadi tiga yakni dampak jangka pendek, menengah, dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan diantaranya timbul syok hemoragik dan nyeri, trauma pada jaringan, retensi urin, infeksi, septicemia, tetanus
bahkan kematian. Dampak jangka menengah yaitu ulserasi, infeksi pada pelvis, infeksi saluran kemih, keloid, dan emosional terganggu maupun masalah perilaku pada anakanak. Sedangkan dampak jangka menengah yang bisa ditimbulkan diantaranya adalah kista epidermal, infeksi saluran kemih kronik dan kerusakan ginjal, peradangan pada pelvis, penurunan hasrat seksual, fetal hipoksia, kematian maternal, fistula vagina, trauma pada perineal dan vagina pada proses melahirkan, trauma, stress, dan depresi (Barber, 2011)
Ada beberapa alasan yang mendasari praktek khitan pada perempuan. Alasan yang paling umum yakni agama. Sedangkan, berkaitan dengan kultur dan tradisi alasan-alasan lainnya yang mendasari bahwa praktek khitan pada perempuan perlu dilakukan disebabkan karena klitoris dianggap sesuatu yang kotor dan dapat meracuni bayi saat proses melahirkan, organ genitalia wanita dianggap kotor, sunat pada perempuan dapat menambah gairah seks, dan wanita tidak bisa menikah jika belum di khitan (Kontoyannis, 2010) Dari deskripsi kasus diatas dapat dilihat bahwa praktek kesehatan sunat pada perempuan ini sudah ada sejak lama bahkan sebelum agama islam masuk. Masyarakat Madura sendiri dikenal sebagai masyarakat yang taat dan patuh terhadap ajaran Agama Islam juga berpegang teguh terhadap tradisi dan adat istiadat, salah satunya adalah teradisi sunat perempuan dan setelah Islam masuk tradisi sunat perempuan semakin kuat mengakar dalam masyarakat. Salah satu dasar hukum dilaksanakannya sunat perempuan adalah kaidah fiqiyah dan mengqiyaskan hukum sunat perempuan kepada hukum sunat laki-laki (zamroni Imam, 2011)
Hal ini yang menjadi pegangan hukum sunat bagi perempuan, selain itu mayoritas Masyarakat Madura menganggap bahwa seorang perempuan belum masuk islam jika belum disunat. Pemahaman seperti ini dipegang teguh oleh sebagian besar orang Madura terkait dengan pelaksanaan sunat perempuan (Zamroni Imam, 2011). Bila terdapat
kepercayaan dalam suatu agama yang mengajarkan hadits tentang sesuatu hal seperti sunat pada perempuan sama hukumnya dengan sunat pada laki maka bagi masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti ini serta merta tidak dapat kita persalahkan. Keyakinan seperti ini dapat memberikan kenyamanan bagi pasien dan keluarga itu sendiri. Maka dari itu, pentingnya
keterlibatan antara pemerintah, petugas kesehatan, pemuka agama, maupun tokoh masyarakat untuk dapat duduk bersama mencari solusi yang terbaik sehingga tidak terjadi friksi antara budaya religious masyarakat dengan pemerintah maupun petugas kesehatan. Praktek kesehatan peka budaya juga tidak dapat dipisahkan dari prinsip moral dan etika. Prinsip etik khususnya otonomi seseorang harus kita hargai dan tidak bisa kita abaikan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan menentukan tindakan atau keputusannya sendiri berdasarkan rencana yang mereka pilih. Dengan menghargai mereka artinya mencakup menghormati perbedaan individu dan makna pribadi mereka (Potter & Perry, 2005). Perawat yang mengikuti prinsip otonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan meskpiun saat pilihan tersebut tampak tidak mendukung kepentingan terbaik klien (Blais, Katheleen dkk, 2007) Pelarangan terhadap praktek sunat pada wanita tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja, meskipun banyak negara yang sudah mengecam praktek ini namun faktanya praktek sunat perempuan masih banyak ditemukan dan berlangsung sampai saat ini dibeberapa wilayah di Indonesia. Dalam kondisi ini tahap negoisasi budaya dapat kita lakukan yang artinya pengambilan keputusan dimana budaya asli dimodifikasi atau dinegoisasi untuk lebih sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan. Berikut beberapa pasal yang ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636 Tahun 2010 :
Pasal 1 Ayat 1 : Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Pasal 2 Ayat 1 : Sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu. Pasal 2 Ayat 2 : Tenaga kesehatan tertentu yang dapat memberikan pelayanan sunat perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik, atau surat izin kerja. Pasal 4 Ayat 1 : Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan persyaratan:
a.di ruangan yang bersih; b.tempat tidur/meja tindakan yang bersih; c.alat yang steril; d.pencahayaan yang cukup; dan e.ada air bersih yang mengalir. Pada kasus diatas dapat dilihat bahwa tujuan pemerintah mengeluarkan peraturan ini adalah untuk mengatur praktik dari sunat perempuan itu sendiri yang bertujuan menjamin keamanan dan perlindungan sistem reproduksi wanita sehingga kejadian yang tidak dinginkan seperti perdarahan, infeksi, maupun komplikasi lainnya dapat dihindari.
Kesimpulan
Budaya bersifat sangat kompleks. Terdiri dari nilai, keyakinan, sikap dan adat, agama, perilaku yang diyakini dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Keanekaragaman budaya patut
dipahami
dan
dihargai.
Banyak
segi
budaya
yang
mempengaruhi
praktik
kesehatan/keperawatan itu sendiri. Maka, pelayanan keperawatan/kesehatan yang diberikan harus dapat disesuaikan dengan budaya itu sendiri agar tidak terjadi benturan antara pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat itu sendiri. Daftar Pustaka
Barber, Gillian. (2010). Female Genital Mutilation : A review ; Vol. 21 ;No. 2. Practice Nursing Blais Kathleen K et all. (2007). Praktik Keperawatan Profesional : Konsep & Praktik . Jakarta : EGC Kencana Wulan & Hastuti, M. (2011 ). Pengantar Etika Keperawatan. Jakarta : PT. Prestasi Pustakarya Kontoyannis M. (2010). Female Genital Mutilation Vol. 4. ; Health Science Journal Mswela M. (2010 ). Female Genital Mutilation : Medico-Legal Issues Vol 29. Medicine and Law Potter & Perry. (2005) Fundamental Keperawatan : konsep, proses, dan praktik . Jakarta : EGC
Per aturan Menteri Kesehatan No. 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan Zamroni Imam (2011). Sunat Perempuan Madura (Belenggu Adat, Normativitas Agama, dan Hak Asasi Manusia). Vol. 19; No. 2 ;Tahun 2011. ; Karsa