Pasal 57 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke II, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, 2004, hlm . 103.
Pasal 14 PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1975 tentang Perkawinan
Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1 Regeling op de Gemengde Huwalijken S. 1898 No. 158, yang terkenal dengan singkatan G.H.R
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja GrafindoPersada, 1997, Halaman 36
Abdul Kadir Muhammad, hukum perdata indonesia, citra aditya bakti, hlm. 109
K. Wantjik Saleh S.H. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hlm. 45-46
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata: Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm.21
Lihat ketentuan dalam KUHPerdata pasal 1330
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 326.
Penjelasan UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4 huruf d UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Purnadi purbacaraka & Agus Brotosusilo, sendi-sendi hukum perdata internasional (suatu orientasi), cetakan kedua, jakarta: rajawali, 1989, hlm. 17
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing (Bandung : Alumni, 1992), hlm.326
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet.5, (Bandung : Binacipta, 1987), hlm. 68.
Indonesia, Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 9 tahun 1992, LN No. 33 tahun 1992, TLN No. 3474. Untuk selanjutnya cukup disebut UU 9/1992.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Visa, Izin Masuk, dan Keimigrasian, PP No. 32 tahun 1994, LN No. 55 tahun 1994, TLN No. 3563. Untuk selanjutnya cukup disebut PP 32/1994.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peratiuran Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Keimigrasian, PP No. 18 tahun 2005, LN No. 40 tahun 2005. Untuk selanjutnya cukup disebut PP 18/2005.
"Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia." , 18 (delapan belas) Februari 2008.
UU No.12 tahun 2006 Pasal 4 huruf d
UU No.12 tahun 2006 Pasal 5 ayat (1)
Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002
Pasal 41 UU No.12 Tahun 2006
Pasal 45 UU No.1 tahun 1974
Pasal 47 UU No.1 tahun 1974
Pasal 48 UU No.1 tahun 1974
Pasal 229 KUHPerdata
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya da orang Indonesia.
Menurut hasil survey online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002 dari 574 responden yang terjaring 95,19% adalah perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan pernikahan dengan warga negara asing (WNA). Sebagian besar adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat libur, bekas teman sekolah/kuliah dan sahabat pena.
Menurut ketentuan Pasal 57 UU no.1 tahun 1974 pengertian perkawinan campuran didefinisikan sebagai "yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaaan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewargaan Indonesia".
Masalah perceraian termasuk dalam bidang status personal, dimana perceraian yang dilakukan antara pasangan yang berkewarganegaraan sama menjadi tidak masalah, tetapi menjadi kurang dan sedikit ada masalah jika pasangan suami istri tersebut mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Disamping itu juga terdapat akibat hukum lain yang ditimbulkan karena perceraian dalam perkawinan campuran antar Warga Negara antara lain sebagai berikut(sudargo gautama,2005) :
Akibat terhadap Harta Benda bersama setalah kawin
Akibat terhadap Hak Perwalian anak dari hasil perkawinan campuran antar Warga Negara
Akibat terhadap status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak
Ada kalanya perceraian dari perkawinan campuran tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya. Hal ini karena adanya kesepakatan yang dibuat antara pihak suami dan istri baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga proses peradilan menjadi cepat dan tidak berlarut-larut.
Berkaitan dengan uraian dan gambaran kasus dari perkawinan campuran antar warga negara yang saat ini telah menjadi tren dikalangan masyarakat baik kelas bawah maupun kelas atas, maka perlu diadakan penelitian secara normatif yang dikaji dari bahan hukum primer dan sekunder mengenai akibat hukum perceraian dari perkawinan campuran antar warga negara.
Identifikasi Masalah
Bagaimanakah kedudukan anak akibat perceraian dari perkawinan campuran?
Akibat Hukum Perceraian Perkawinan Campuran terhadap Hak Asuh Anak ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN
2.1.1 Pengertian perkawinan campuran
Perkawinan Campuran menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah "Yang dimaksud dalam perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pada Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa Perkawinan dapat putus karena :
Kematian, Kematian seseorang merupakan gejala alam sebagai kodrat makhluk hidup karena kematian itu tidak dapat dihindarkan dan merupakan suatu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan suami-isteri yang bersangkutan.
Perceraian, Pasal 14 PP No 9 tahun 1975 menjelaskan bahwa putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan thalaq oleh seorang suami pada perkawinan yang diselenggarakan menurut agama islam. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidak stabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.
Atas keputusan Pengadilan, yaitu berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut GHR Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Yang dimaksud hukum yang berlainan, adalah disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama. Dengan adanya pembatasan pada perbedaan kewarganegaraan itu, maka perkawinan antara dua orang yang berlainan golongan (umpamanya; Bumi putera dan Timur Asing) atau berlainan agama (umpama: Islam dan Kristen) tapi sama-sama warganegara Indonesia, tidak merupakan Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan, yang menurut G.H.R adalah perkawinan campuran. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GHR dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.
Adapun yang disebut dengan perkawinan internasional yaitu suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.
Berdasarkan rumusan tersebut perkawinan campuran yang dimaksud oleh undang-undang perkawinan di atas dapat disimpulkan unsur-unsur perkawinan campuran antara lain :
Perkawinan antara pasangan yang tunduk pada hukum perkawinan yang berbeda karena berbeda kewarganegaraan.
Salah satu pihak adalah warga negara indonesia (WNI).
Pihak lainnya bukan warga negara indonesia (WNA).
Perkawinan dilangsungkan di Indonesia atau dilangsungkan di luar negeri (pasal 56 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan).
2.1.2 Putusnya Perkawinan Campuran Karena Perceraian
Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999). Atau dengan kata lain perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 apabila hendak melakukan perceraian maka tunduk pada UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 untuk pengadilan negeri (bagi yang non muslim), dan ditambah dengan kompilasi hukum islam serta UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama bila perkara diajukan melalui pengadilan agama (bagi yang muslim). Alasan-alasan perceraian diatur dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 :
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dari hal-hal diatas putusnya perkawinan campuran karena perceraian tersebut akan membawa suatu konsekuensi hukum, salah satunya adalah mengenai status anak dari perkawinan campuran tersebut.
Maka ditentukan dalam pasal 58, bahwa orang yang melakukan perkawinan campuran itu, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah berlaku.
2.2 TINJAUAN TENTANG ANAK
2.2.1 Pengertian Anak
Definisi anak dalam pasal 1 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, karena anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2.2.2 Akibat Perawinan Campuran Kedudukannya terhadap anak
Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No. 62 tahun 1958 bahwa anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru yaitu UU No. 12 tahun 2006 bahwa anak akan memiliki dua kewarganegaraan, dalam artian bisa mengikuti kewarganegaraan bapak atau ibunya.
Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran, dengan perkawinan yang sah sama-sama diakui sebagai warga negara indonesia. Sebelum berusia 18 maka ia mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun apabila setelah berusia 18 tahun maka anak berhak menentukan sendiri kewarganegaraannya. Pada pasal 1b UU No 62 tahun 1958 menyatakan WNI adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI, dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum anak itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin dibawah 18 tahun. Hal ini berarti Indonesia berdasarkan UU tersebut menganut asas ius sanguinis (keturunan), sehingga bila terjadi perkawinan antara WNI dengan WNA, maka anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Adapun Asas-asas dalam menentukan kewarganegaraan yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 ini sebagai berikut :
asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran
asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang
asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 4 huruf d UU Nomor 12 tahun 2006 yang menerangkan bahwa warga negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan Ibu Warga Negara Indonesia.
2.2.3 Akibat Perceraian Perawinan Campuran Terhadap Anak
Disini apabila terjadi perceraian terhadap orang tua yang melakukan perkawinan campuran, maka masalah terhadap pengurusan terhadap anak menjadi masalah. Dalam pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu :
baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewaijban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
Berdasarkan kedua ketentuan diatas, dapat terlihat meskipun masing-masing pihak telah bercerai namun tanggung jawab dalam hal pengasuhan anak berada pada kedua pihak, sedangkan pembiayaan bekas suamilah yang paling bertanggung jawab, sehingga dengan tanggung jawab inilah masa depan anak dapat terjamin, karena segala sesuatunya yang terpenting adalah kepentingan terbaik si anak.
BAB III
PEMBAHASAN
Pengaturan Status Hukum Anak Akibat Perceraian Perkawinan Campuran
3.1 Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 1b UU 62/1958 menyatakan, WNI adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI, dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum anak itu berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelum ia kawin di bawah 18 (delapan belas) tahun. Hal ini berarti Indonesia berdasarkan UU No 62/1958 menganut asas ius sanguinis (keturunan), sehingga bila terjadi perkawinan antara WNI dengan WNA, maka anak-anak akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik adanya masalah Hukum Perdata Internasional (HPI) yaitu adanya unsur asing dalam perkawinan campuran. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan kewarganegaraan antara suami dan istri. Dilihat dari segi Hukum Perdata Internasional, Indonesia menganut asas/prinsip nasionalitas atau prinsip kewarganegaraan dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. Asas/prinsip ini berdasarkan pada Pasal 16 Algemene Bepaligen van Wetgeving (AB), yang isinya menyatakan bagi WNI dimanapun ia berada akan berlaku hukum nasional Indonesia. Hal ini berlaku secara analogi bagi orang asing yang berada di Indonesia.
Dalam hal kewarganegaraan yang diterima anak-anak dalam Undang- Undang ini terdapat pengecualiannya. Kekecualiannya itu ialah apabila negara asing si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi anak-anak yang dilahirkan, sehingga anak menjadi "stateless", "apatride", tanpa kewarganegaraan. Dalam hal terjadi seperti itu, karena dalam Undang-Undang ini tidak mengenal adanya stateless/apatride maka ibu si anak dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar si anak menjadi WNI mengikuti kewarganegaraan ibunya. Hal itu juga diberlakukan apabila perkawinan kedua orang tuanya putus karena perceraian.
Pasal 3 UU 62/1958, memberi kemungkinan bagi si ibu untuk memohonkan kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya. Permohonan tersebut baru boleh diajukan dalam waktu 1 (satu) tahun sesudah anak yang bersangkutan berumur 18 (delapan belas) tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. Setelah itu Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu denganpersetujuan Dewan Menteri dan kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
Ketentuan yang diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang ini, terdapat kelemahan karena dengan adanya ketentuan tersebut maka si anak sampai umur 18 (delapan belas) tahun berada dalam keadaan tidak menentu, menghadapi kemungkinan di deportasi ke luar negeri. Hal ini disebabkan karena si anak sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun merupakan warga negara asing. Bagi si anak akan diberlakukan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Keimigrasian jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Keimigrasian.
Kedudukan anak dalam PP No.32/1994 diatur dalam Pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyatakan bahwa Anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin dapat mengikuti status Izin Tinggal orang tuanya. Selanjutnya anak yang lahir di Indonesia berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin dari ibu warga negara Indonesia dan ayahnya tidak atau belum memiliki Izin Keimigrasian, dapat diberikan Izin Tinggal Terbatas.
Pada Pasal 46 intinya mengenai Izin Tinggal yang diberikan untuk anak, diberikan setelah anak tersebut berada secara sah atau lahir di wilayah Republik Indonesia. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut di atas dilanggar, maka berdasarkan Pasal 42 UU 9/1992, orang asing tersebut dapat dideportasi ke luar Indonesia.
Ketentuan-ketentuan keimigrasian tersebut mencerminkan ketidakadilan bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan perempuan warga negara Indonesia dengan laki-laki asing. Anak-anak hanya akan memperoleh Izin Tinggal Terbatas karena statusnya orang asing sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini rentan sekali terhadap bahaya dideportasi ke luar negeri. Dalam PP 32 Tahun 1994 menyatakan bahwa Izin Tinggal Terbatas itu jangka waktunya 1 (satu) tahun dan perpanjangan Izin Tinggal Terbatas tersebut dapat dilakukan paling banyak 5 (lima) kali berturut-turut namun hal tersebut berubah dengan adanya PP 18 Tahun 2005 maka Izin Tinggal Terbatas jangka waktunya menjadi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut.
Dalam ketentuan UU 62/1958, anak yang lahir dari perkawinan campuranbisa menjadi WNI dan bisa menjadi WNA:
Menjadi WNI
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI (Pasal 1 huruf b UU 62/1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
Menjadi WNA
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNI dengan pria WNA. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan paspor di kedutaan besar ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada Pasal 3 UU 62/1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
UU 62/1958 menganut asas kewarganegaraan tunggal dan anti apatride.Jadi seseorang tidak diperkenankan memiliki dwi kewarganegaraan, karena itu orang tua harus menentukan kewarganegaraan anaknya menjadi WNA atau WNI.Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU 62/1958, hilangnyakewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa/belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah. Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa/belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
UU 62/1958 tersebut secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidaksesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.
Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi denganperkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Hal tersebut juga seiring dengan telah ikut sertanya Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 18 Desember 1979 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women/CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984, yang mewajibkan negara-negara peserta memberi kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan kewarganegaraan anak-anak mereka.Dengandemikian perlunya UU Kewarganegaraan baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia, maka lahirnya UU 12/2006 pengganti dari UU 62/1958 merupakan suatu langkah maju dalam hal pengaturan mengenai kewarganegaraan Republik Indonesia.
3.2. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Dalam penjelasan umum UU 12/2006 memuat asas-asas kewarganegaraanumum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut :
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. UU Kewarganegaraan yang baru ini tetap menganut asas kewarganegaraan tunggal, dan juga tidak menginginkan terjadinya tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewargangeraan ganda (bipatride), yang diberikan kepada anak-anak dalam Undang-Undang ini, adalah kewarganegaraan ganda terbatas, terbatas karena nantinya setelah anak-anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Pada dasarnya menurut UU 12/2006 seorang anak yang dilahirkan di dalam suatu perkawinan campuran tanpa memperdulikan status si ayah WNI dan ibu WNA atau ayah WNA dan ibu WNI atau si ayah apatride atau negara si ayahtidak memberikan kewarganegaraan kepada si anak, anak itu tetap dapat memperoleh status WNI. Pada Pasal 25 UU 12/2006 hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Mengenai persoalan status anak hasil perkawinan campuran, Undang undang nomor 12 tahun 2006 ini telah memberi jalan keluar yang dirasa sangat menguntungkan bagi Ibu Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Ayah Warga Negara Asing. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang undang nomor 12 tahun 2006 anak yang dilahirkan oleh perempuan Warga Negara Indonesia yang menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing, memperoleh status kewarganegaraan yaitu Warga Negara Indonesia. Hal ini berarti status anak tidak mengikuti status kewarganegaraan ayahnya, tercantum dalam pasal 4 huruf d UU Nomor 12 tahun 2006 yang ditulis sebagai berikut : "warga negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan Ibu Warga Negara Indonesia.
Tidak hanya mengatur status kewarganegaraan anak hasilperkawinan yang sah, Undang undang nomor 12 tahun 2006 juga mengatur statuskewarganegaraan anak luar kawin yang diakui ayah Warga Negara Asing. Hal initercantum dalam pasal 5 ayat (1) yaitu sebagai berikut : "Anak Warga Negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia".
Bila negara sang Ayah yangberkewarganegaraan asing tersebut menganut asas ius sanguinis, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda. Ketentuanhukum mengenai hal ini juga sudah diatur dalam pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) UUnomor 12 tahun 2006. Dalam ketentuan tersebut nampak bahwa Indonesia memberidua kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan campurankhususnya bagi anak yang ketentuan negara ayahnya menganut asas ius sanguinis iniberarti anak-anak tersebut mendapatkan dua kewarganegaraan ayah dan ibunya,sampai berumur 18 tahun. Setelah itu, mereka harus menentukan kewarganegaraanyang akan dipilihnya. Ini berarti hak wanita yang menikah dengan pria asing, sebagaiwarga negara Indonesia diakui dan dilindungi pemerintah. Nasib anak-anak juga jadilebih jelas.
Bila anak yang berkewarganegaraan ganda terbatas ini mengalamimasalah berkaitan dengan kewarganegaraannya maka untuk menentukkan statuspersonalnya akan dipakai kewarganegaraan yang nyata dan efektif. Maksudnyakewarganegaraan mana yang lebih efektif digunakan si anak dalam kehidupan sehari-hari. Ini berkaitan dengan tempat ia tinggal, hubungan kekeluargaan dan sebagainya.Bila ternyata salah satu orang tua meninggal, hukum warisan yang berlaku untukanak berkewarganegaraan ganda terbatas adalah Hukum Nasional si pewaris saat ia meninggal.
Akibat Hukum Perceraian Perkawinan Campuran terhadap Hak Asuh Anak
Ketentuan Undang undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan memberikan jalan keluar bagi anak hasil perkawinan campuran antar warga negara, yakni memberikan kewarganegraan ganda sampai dengan anak usia 18 tahun seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 dan juga mengakomodir kepentingan seorang ibu Warga Negara Indonesia yang ingin mengasuh anak kandungnya hasil dari perkawinan campuran dinegaranya sendiri tanpa dibebani dengan kewajiban- kewajiban yang memberatkan oleh Negara. Hal tersebut terutama bila terjadi perceraian. Dalam UU nomor 12 tahun 2006 tidak diatur mengenai perwalian, sehingga apabila terjadi perceraian dalam perkawinan campuran antar warga negara maka diproses melalui pengadilan dan mengenai hak perwalian diputus oleh hakim.
Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah.
Sementara itu, pewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Setiap tahunnya bila keluarga perkawinan campuran itu tinggal di Indonesia, anak-anak yang dilahirkan harus terus-menerus berurusan dengan pihak imigrasi. Tiap tahunnya, mereka harus memperpanjang KITAS. Rumitnya masalah keimigrasian untuk anak yang lahir dari perkawinan campuran ini sama ruwetnya pada saat orang tua mereka harus mengurus perceraian. Penentuan hak asuh anak ada di pengadilan agama/ pengadilan negeri. Bila ibu memenangkan hak asuh, sang Ibu tak bisa langsung berlega hati. Masih ada upaya dari ayah WNA untuk naik banding kasasi ke tingkat pengadilan lebih tinggi.
Pada tahun 2006 lalu terbit UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Sesuai UU Kewarganegaraan 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006, otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
Apabila ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campur yang berbeda kewarganegaraan, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua. Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu dan mendapat kewarganegaraan Indonesia.
Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke depannya tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Apabila dihubungkan dengan pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dan berdasarkan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974:
Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Serta berdasarkan Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974:
Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa: "Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya."
Berdasarkan pasal 229 KUHPerdata, bahwa: "Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orangtua atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orangtua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orangtua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orangtua, dengan mengindahkan putusan-putusan Hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orangtua.
Penetapan ini tidak berlaku sebelum hari putusan perceraian perkawinan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum itu tidak usah dilakukan pemberitahuan, dan tidak boleh dilakukan perlawanan atau banding.
Terhadap penetapan ini, bapak atau ibu yang tidak diangkat menjadi wali boleh melakukan perlawanan, bila dia tidak hadir atas panggilan yang dimaksud dalam alinea pertama. Perlawanan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya.
Bapak atau ibu yang setelah hadir atas panggilan tidak diangkat menjadi wali,atau yang perlawanannya ditolak, dalam tiga puluh hari setelah hari termasuk dalam alinea kedua, dapat naik banding mengenai penetapan itu.
Alinea keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan para orangtua."
Jadi, penentuan hak asuh anak yang diberikan adalah berdasarkan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, akan diberikan kepada orang tua bersama (joint custody) hanya bila ada perselisihan mengenai penguasaannya maka pengadilan akan memutuskan kepada siapa hak asuh akan diberikan. Namun, patokan baik oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama akan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Di Pengadilan Negeri tidak ada pengaturan yang tegas mengenai hak asuh, namun anak yang masih kecil akan diberikan kepada pihak ibu. Dan untuk pemberian nafkah terhadap anak tetap merupakan kewajiban sang ayah.
Kesimpulan:
Kedua orang tua tetap berhak mengasuh dan memelihara anak yang dihasilkan dari perkawinan mereka berdasarkan kepentingan si anak, tetapi apabila terjadi perselisihan, maka Pengadilan akan memutuskan dan menentukan siapakah yang lebih berhak untuk mengasuh si anak;
Ayah bertanggung jawab secara financial atas seluruh kebutuhan si anak, dan apabila Ayah nya tidak dapat memenuhhi kewajibannya, maka Pengadilan dapat menentukan apakah si Ibu dapat ikut memberikan nafkah Finansial bagi si Anak atau tidak.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran bukan merupakan suatu perkawinan antara dua orang yang berlainan agama atau hal lainnya, namun yang di maksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara wanita dan laki-laki yang berbeda kewarganegaraannya.
Mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 apabila hendak melakukan perceraian maka tunduk pada UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 untuk pengadilan negeri (bagi yang non muslim), dan ditambah dengan kompilasi hukum islam serta UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama bila perkara diajukan melalui pengadilan agama (bagi yang muslim). Perceraian pada perkawinan campuran ini tentu berdampak pula pada status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No. 62 tahun 1958 bahwa anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru yaitu UU No. 12 tahun 2006 bahwa anak akan memiliki dua kewarganegaraan, dalam artian bisa mengikuti kewarganegaraan bapak atau ibunya. Namun setelah anak menginjak umur 18 tahun, maka anak tersebut bisa memilih sendiri kewarganegaraannya.
Selain itu mengenai pengasuhan anak, kedua orang tua tetap berhak mengasuh dan memelihara anak yang dihasilkan dari perkawinan mereka berdasarkan kepentingan si anak, tetapi apabila terjadi perselisihan, maka Pengadilan akan memutuskan dan menentukan siapakah yang lebih berhak untuk mengasuh si anak. Ayah bertanggung jawab secara financial atas seluruh kebutuhan si anak, dan apabila Ayah nya tidak dapat memenuhhi kewajibannya, maka Pengadilan dapat menentukan apakah si Ibu dapat ikut memberikan nafkah Finansial bagi si Anak atau tidak.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang sudah dikemukakan oleh kelompok kami, kami memberikan saran bahwa pada dasarnya anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran. Sehingga kedudukan anak akibat perkawinan campuran ini akan memiliki 2 (dua) kewarganegaraan. Untuk masalah anak yang memiliki dua kewarganegaraan, saran dari kelompok kami adalah setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan kepada KJRI (Kantor Jenderal Republik Indonesia) atau Perwakilan RI terdekat dari tempat tinggal pemohon, yang diserahkan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Sehingga anak tersebut memiliki kewarganegaraan yang berlandaskan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
PP No. 32 tahun 1994 tentang visa izin masuk dan izin keimigrasian.
PP No. 18 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan PP No.32 tahun 1994
PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1975 tentang Perkawinan.
Regeling op de Gemengde Huwalijken S. 1898 No. 158, yang terkenal dengan singkatan G.H.R
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke II, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, 2004
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, Jakarta, Raja GrafindoPersada, 1997.
Abdul Kadir Muhammad, hukum perdata indonesia, citra aditya bakti
K. Wantjik Saleh S.H. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata: Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1992.
Purnadi purbacaraka & Agus Brotosusilo, sendi-sendi hukum perdata internasional (suatu orientasi), cetakan kedua, jakarta: rajawali, 1989
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing (Bandung : Alumni, 1992).
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet.5, (Bandung : Binacipta, 1987)
"Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia." , 18 (delapan belas) Februari 2008.
19