MATA KULIAH
: MANAJEMEN PERTAMBANGAN
NAMA DOSEN
: Dr. Aryanti Virtanti ST., MT.
HUBUNGAN INDUSTRIAL
LUVIANI ALDILLA D621 14 304
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA 2017
1.
Definisi Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsure pengusah, pekerja dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hubungan industrial adalah keseimbangan antara tujuan dan kepentingan bagi pekerja dan pengusaha dalam proses produksi barang dan jasa di perusahaan. Artinya para pekerja dan pengusaha secara individu dan kolektif mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang sama, karena dengan sukses hubungan industrial, baik pekerja maupun pengusaha akan mendapat manfaat baik secara individual maupun bagi organisasi perusahaan. Hubungan kerja merupakan cikal bakal dari hubungan industrial. Suatu hubungan kerja dapat berkembang menjadi hubungan industrial apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kolektivitas dan organisasi kerja. Apabila terjadi hubungan kerja antara pihak-pihak secara kolektiv dalam suatu proses produksi, yaitu melibatkan sekelompok pekerja dan pemberi kerja dalam suatu organisasi kerja (perusahaan), maka hubungan kerja itu berubah menjadi hubungan industrial. Sebaliknya, suatu hubungan kerja yang masih bersifat perorangan atau belum melibatkan sekelompok orang dalam suatu organisasi kerja belum bisa disebut sebagai hubungan industrial. Selain itu, ada yang menyebutkan hubungan industrial merupakan suatu bentuk interaksi berbagai institusi, seperti serikat kerja, asosiasi pengusaha, prosesproses pelembagaan yang menyangkut tawar-menawar, arbitrasi, serta hasil tawar-menawar dan arbitrasi tersebut, berupa kesepakatan bersama maupun pemenuhan tuntutan (Gardner dan Palmer, 1994).
Gambar 1. Hubungan Industrial
Jadi, secara sederhana hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang atau jasa (Suwarto, 2000). Namun, hubungan industrial tidak hanya sekedar sistem hubungan diantara para pelaku ditempat kerja, tapi meliputi sekumpulan fenomena didalam maupun diluar tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan ketenagakerjaan. Dalam perkembangannya, hubungan industrial menyangkut hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas (Smeru, 2002). Tujuan hubungan industrial adalah meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, dimana keduanya saling berkaitan. Peningkatan produktifitas tidak bisa dicapai bila kesejahteraan pekerja tidak diperhatikan. Sebaliknya, kesejahteraan pekerja tidak bisa dipenuhi bila tidak terjadi peningkatan produktifitas perusahaan dan kerja. Sarana utama hubungan industrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
pada
tingkat
perusahaan
ialah
serikat
buruh,
Kesepakatan
Kerja
Bersama/Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, lembaga kerjasama bipartit, pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial. Kedua, sarana yang bersifat makro, yaitu serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama tripartid, peraturan perundang-undangan, penyelesaian industrial, dan pengenalan hubungan industrial bagi masyarakat luas (Smeru, 2002).
2.
Asal-usul Perkembangan Hubungan Industrial Hubungan industrial dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-18 seiring
munculnya revolusi industri. Awalnya hubungan industrial bersifat personal antara buruh dan pengusaha, bahkan hubungan yang terjalin bersifat kekeluargaan. Segala persoalan yang munculpun diselesaikan secara pribadi dan kekeluargaan. Intinya kala itu hubungan industrial belum melahirkan berbagai peraturan kompleks ditempat kerja. Revolusi industri menyebabkan perubahan besar dalam berproduksi. Perkembangan teknologi produksi dan bahan baku yang melimpah mempermudah peningkatan produksi yang mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. Dampaknya perusahaan lebih bertambah besar dan cara produksi lebih praktis dari sebelumnya. Seiring kompleksnya permasalahan yang muncul antara pekerja dan pengusaha dirasakan perlu adanya pengaturan hak dan kewajiban yang dipatuhi oleh kedua pihak agar tercipta harmonisasi dalam perusahaan.
Seiring perkembangannya terjadi pergeseran pandangan terhadap hubungan industrial. Pendekatan dalam bidang manajemen yang dikenal dengan scientific management muncul dipelopori oleh F. W. Taylor, pendekatan yang diungkapkannya mulai mengakui perbedaan di antara pekerja berdasarkan tingkat keterampilan yang dimiliki pekerja. Pandangan selanjutnya yang lebih modern dalam bidang manajemen dan hubungan industrial muncul pada tahun 1930-an. Dalam pandanagn ini, para pekerja mulai dipandang sebagai individu dan juga makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah, perkembangan hubungan industrial bukan saja ditentukan oleh perkembangan bidang manajemen tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan politik pada akhir abad sembilan belas dan permulaan abad dua puluh. Perkembangan politik saat itu didominasi oleh sistem politik demokrasi, dimana rakyat ikut berperan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut publik melalui lembagalembaga perwakilan. Hal tersebut membuat kondisi para buruh semakin terlindungi dengan adanya peraturan perundangan yang mengatur hak dan kwajiban antara pengusaha dan pekerja, seperti pengaturan tentang keselamatan kerja, pengupahan dan jam kerja.
3.
Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia
Gambar 2. Pola Hubungan Industrial di Asia
Perkembangan hubungan industrial di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode kolonial, periode pasca kemerdekaan dan demokrasi terpimpin, periode Orde Baru, dan periode pasca Orde Baru. a. Periode Kolonial Hubungan industrial mulai dikenal di indonesia bersamaan dengan pertumbuhan modal swasta di indonesia. Pertumbuhan modal swasta ini membuka peluang bagi orang-orang Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-bidang tertentu dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu, hubungan industrial lebih mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan perusahaanperusahaan swasta Eropa dan pemerintrah Belanda. Sementara itu, kaum buruh bumiputra ditempatkan pada status yang paling rendah dalam stratifikasi masyarakat kolonial sehingga hubungan antara kaum buruh bumiputra dengan manajemen perusahaan swasta Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak atau pihak penjajah dengan pihak yang dijajah. Namun di balik perkembangan hubungan industrial pada masa kolonial dimulai ketika berdiri serikat buruh pertama untuk orang Indonesia pada tahun 1908, yakni Serikat Buruh Kereta Api (VSTP – Vereeniging voor spoor en Tramweg Personeel). VSTP dikenal organisasi pelopor dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia dan berkembang sebagai wadah persatuan bagi seluruh buruh kereta api, baik swasta maupun pemerintahan. Setelah kepemimpinan VSTP dikendalikan oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Henk Sneevliet dan Semaun maka sistem hubungan industrial yang berlaku pada waktu itu mulai digugat.dan sejak saat itu, sampai tahun 1926, hubungan industrial lebih banyak diwarnai gejolak industrial berupa pemogokan yang menuntut perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Dan dari adanya penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pergeseran struktur ekonomi kolonial di Hindia Belanda dari kebijakan tanam paksa ke liberalisme ekonomi, tidak sepenuhnya di ikuti oleh perubahan struktur masyarakat yang kondusif.
b. Periode Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin Pada permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu masih diwarnai oleh orientasi politik. Setelah kemerdekaan terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang diprakarsai oleh para tokoh buruh dalam rangka ikut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ada dua
pemikiran yang muncul yang membuat BBI pecah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang memandang perlunya keterlibatan organisasi buruh dalam gerakan politik, salah satunya dengan mendirikan partai politik, yaitu Partai Buruh Indonesia. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa organisasi buruh tidak perlu disatukan dengan gerakan politik tetapi memusatkan perhatian pada bidang sosial-ekonomi, yang kemudian membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) yang kemudian bergabung dengan Gerakan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) dan berubah nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Setelah peristiwa G30 S/PKI, muncul dua wadah dalam lingkungan serikat buruh, yaitu Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang memusatkan perhatian pada aksi-aksi politik, dan Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang menitikberatkan pada masalahmasalah sosial-ekonomi. c. Periode Pemerintahan Orde Baru Pada masa ini terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali seperti pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia, dengan kata lain gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Pada dekade 1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami keletihan, fatigue, restrukturisasi dan cengkeraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai mengendur atau longgar, ditandai dengan munculnya fenomena dan eksperimen serikatserikat buruh di luar serikat buruh “resmi” atau diakui oleh negara.
Ini menunjukkan
bahwa telah terjadi perubahan hubungan-hubungan kelas: buruh – modal – negara. Pada era ini sumber pemogokan buruh industrial bisa disebabkan menjadi dua faktor, yaitu faktor-faktor yang bersumber pada struktur dasar industrial Indonesia dan faktor konsentrasi-industrial. Namun, upaya untuk memahami resistensi dan konflik industrial belum cukup hanya mendasarkan pada penjelasan terhadap konflik kelas di antara kapital dan buruh, tapi perlu memeriksa perkembangan industrialisasi Indonesia dan lebih khusus mencermati kontradiksi inheren dalam transisi dari kebijakan melihat ke dalam yang tercermin dalam kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI) menuju kebijakan memandang keluar Industri Berorientasi Ekspor (IBE), dan menuju kebijakan ekonomi pasar terbuka yang kompetitif.
4.
Kemunculan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) Kemunculan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dapat dikatakan merupakan
bagian dari restrukturisasi dimaksutkan, antara lain, untuk meredam ancaman akivitas
politik buruh terhadap stabilitas social politik yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Orde Baru menjalankan 2 langkah sekaligus, yaitu: a. Penataan pada aspek kelembagaan Orde baru meleburkan serikat-serikat buruh di Indonesia ke dalam wadah tunggal yang bernama Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) 1973, dan berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) 1985. Dengan begitu, dapat peleburan serikat-serikat. b. Penataan pada aspek Ideologi Pemerintah orde baru memperkenalkan sebuah konsep baru dalam hubungan industrial di Indonesia yang dikenal dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP adalah suatu konsep hubungan industrial yang disusun berdasarkan pertimbangan social- budaya dan nilai- nilai tradisional Indonesia. Konsep HIP berdasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu: a. Mitra dalam produksi b. Mitra dalam tanggung jawab c. Mitra dalam keuntungan, antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Beberapa hal yang membedakan HIP dengan hubungan industry lainnya adalah : a. Buruh bekerja bukan hanya untuk mencari nafkah,tetapi juga sebagai pengabdian manusia kepada tuhannya, sesame manusia, masyarakat, bangsa, dan Negara. b. Buruh bukan hanya sebagai factor produksi, tetapi juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. c. Buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama. d. Setiap perbedaan pendapat antara buruh dan pengusaha diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. e. Harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam perusahaan. Untuk mewujudkan HIP, diperlukan sarana utama, yaitu adanya : SP/SB, organisasi, pengusaha, lembaga kerja sama bipatrit, lembaga kerja sama tripatrit, perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), kesepakatan kerja bersama (KKB), peraturan penyelesaian perselisihan industrial, dan peraturan perundang-undangan. Orde baru memperkenalkan istilah karyawan yang mesti dibedakan dengan istilah buruh. istilah buruh, didefinisikan dengan konsep proletariat, yaitu suatu konsep yang merujuk pada hubungan konfliktual antara para majikan dan para buruh. Sebaliknya,
istilah karyawan dianggap memiliki arti persatuan (hubungan yang harmonis) antara para majikan, manajemen, dan para buruh, bersifat kooperatif, dan bebas dari konflik.
5.
Hubungan Industrial Pasca Orde Baru Salah satu perubahan penting akibat kebijakan desentralisasi ini adalah munculnya
sistem hubungan industrial yang memungkinkan para buruh bebas mendirikan serikat buruh pada tingkat perusahaan sesuai UU No.21/2000. Bersama dengan munculnya euforia politik di Indonesia pasca kejatuhan rezim Orde Baru, muncul perdebatan tentang-tentang relevansi sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP) di Indonesia. Terdapat sekurangkurangnya 2 pendapat, yaitu : a. Kalangan yang beranggapan bahwa HIP sudah tidak relevan diberlakukan di era otonomi daerah sekarang ini dan sudah saatnya
HIP direvisi dengan suatu
peradigma baru. b. Sebagian kalangan lain yang berpendapat bahwa HIP masih relevan atau ideal bagi buruh sehingga HIP masih bisa diterapkan. Berbagai gejolak industrial yang muncul pasca kejatuhan rezim Orde Baru tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan kepentingan mendasar antara pengusaha dengan buruh, namun dapat pula dipicu oleh masalah kecil atau kesalahpahaman, termasuk kesalahpahaman
dalam
memahami
peraturan
pemerintah
maupun
peraturan
perusahaan. Meskipun demikian, sebagian besar perselisihan masih dapat diselesaikan secara bipatrit meskipun kedua belah pihak masih dalam taraf belajar mengenai hubungan industrial dan kebebasan berserikat. Berdasarkan penelitian SMERU (2002), suatu hubungan industrial yang harmonis adalah hubungan kerja yang didasari oleh rasa saling percaya, saling menghargai dan dihargai, dan saling memberi. Factor –faktor yang dapat mempengaruhi hubungan indusrial antara lain adalah : gaya kepemimpinan pengusaha, pengetahuan pengusaha dan buruh mengenai hak dan kewajiban masing-masing serta penerapannya, iklim kerja yang mendukung, serta kesediaan pengusaha dan buruh untuk berunding. Berdasarkan temuan SMERU (2002), ada beberapa cara yang dapat dilakukan pihak perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan hubungan industrial yang lebih baik dan lebih harmonis, antara lain: a. Mengadakan tatap muka dengan buruh dan serikat buruh secara rutin. b. Menyediakan kotak saran agar buruh dapat memberi masukan tanpa harus menyertakan identitas.
c. Memilih kepala bagian personalia yang mampu meredam perselisihan dan dapat mengatur perundingan antara buruh, pengusaha, dan serikat buruh secara adil. d. Membuat program pendidikan atau pelatihan bagi buruh, termasuk untuk meningkatkan pemahaman buruh terhadap peraturan pemerintah. e. Mengutamakan penyelesaian secara bipatrit atau kesepakatan bersama melalui musyawarah antara buruh atau serikat buruh dengan pihak manajemen. f. Mengikuti pertemuan-pertemuan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) untuk memecahkan atau memberikan solusi tentang masalah ketenagakerjaan. g. Mengadakan kegiatan bersama, seperti rekreasi, olahraga, pemilihan karyawan teladan.
DAFTAR PUSTAKA
Haha Haryanto dkk. 2009. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia http://www.stekpi.ac.id/informasi/datas/users/1-hubungan%20industrial.pdf