EDISI 2011
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP DI BIDANG PERTAMBANGAN
PERPUSTAKAAN EMIL SALIM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
Daftar Isi
I. UNDANG-UNDANG 1 2
Halaman
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang RI Nomor No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1
54
II. PERATURAN PEMERINTAH 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PP RI. Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PP RI. Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun PP RI Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan PP RI Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan PP RI Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan PP RI Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara PP RI Nomor 70 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Noomor 59 tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi PP RI Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang PP RI Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
99 127 158 202 221 234 251 254 283
III. KEPUTUSAN PRESIDEN, INSTRUKSI PRESIDEN, PERATURAN PRESIDEN 1 2 3
Kepres Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Kepres Nomor 41 tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan Perpres RI Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan bawah Tanah
i
325 341 343
IV.
KEPUTUSAN / PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN BAPEDAL A. ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP / AMDAL 1 2 3 4 5 6
7 8
Per Men LH No. 08 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Per Men LH No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Per Men LH No. 12 Tahun 2007 tentang Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan / Kegiatan yang tidak Memiliki Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup. Per Men LH No. 5 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Per Men LH No. 24 Tahun 2009 tentang Panduan Penilaian Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Per Men LH No. 13 Tahun 2010 tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Permen LH No. 14 tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup bagi Usaha dan atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup Permen LH No. 17 tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup
355 396 433 443 479 541
560 597
B. PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kep Men LH No. 113/MENLH/2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batubara Kep Men LH No. 202 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga Per Men LH No. 04 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau kegiatan Pertambangan Bijih Timah Per Men LH No. 09 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau kegiatan Pertambangan Bijih Nikel Per Men LH No. 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi Per Men LH No. 13 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan tata cara Pengelolaan air Limbah bagi usaha dan / atau kegiatan Hulu Minyak dan Gas serta Panas Bumi dengan cara Injeksi Per Men LH No. 21 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pertambangan Bijih Besi Per Men LH No.34 Tahun 2009 tentang Baku mutu air limbah bagi usaha dan / atau kegiatan pertambangan bjih bauksit Per Men LH No. 19 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi ii
609 617 626 632 639 652 668 680 693
10
Per Men LH No. 2 Tahun 2011 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Gas Metana Batubara
705
C. PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. 1 2 3 4 5
Kep Men LH No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Kep Men LH No. 49 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Getaran Kep Men LH No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara Kep Men LH No. 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi Per Men LH No. 13 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha Dan / Kegiatan Minyak dan Gas Bumi
718 725 735 741 751
D. PENGENDALIAN PENCEMARAN KERUSAKAN LAUT 1
Per Men LH No. 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut
797
E. PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN 1 2 3
Kep Men Lh No. 43 Tahun 1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di daratan Per Men LH No. 23 Tahun 2008 tentang Pedoman teknis pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan emas rakyat PerMen LH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan akibat dugaan Pencemaran dan / atau Perusakan Lingkungan Hidup
811 827 857
F. PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) 1 2 3
Kep Men No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis Per Men LH No. 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Per Men LH No.33 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
iii
880 892 905
V. KEPMEN, PERMEN ESDM DAN KEHUTANAN 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13
Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No. 336.k Tahun 1996 Tentang : Jaminan Reklamasi Per Men Tenaga Kerja Nomor 15/MEN/VII/2005 tentang Waktu dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Pada Daerah OPerasi Tertentu Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 Tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Kebijakan Pembatasan Produksi Pertambangan Mineral Nasional Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 36 Tahun 2008 Tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Kebijakan Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2011 tentang Pedoman teknis Pembongkaran instalasi Lepas Pantai Minyak dan Gas Bumi Per Men Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Kep Men Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 0186/K/ 30/MEM/ 2011 tentang Pelimpahan Wewenang Menteri ESDM kepada Dirjen Mineral dan Batubara untuk Pemberian Izin Usaha Pertambangan dan Pemberian Surat Keterangan Terdaftar
iv
919 926 930 938 991 998 1014 1027 1063 1073 1083 1091
1111
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan; c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat
: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG BATUBARA.
TENTANG
PERTAMBANGAN
MINERAL
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
1
2.
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
11. 12.
13.
14. 15.
16.
17.
18. 19. 20.
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
2
21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara. 23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan. 25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. 32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. 35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. 36. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. 38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
3
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal 3 Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. BAB III PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 4 (1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 5 (1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. (2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. (3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi. (4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 6 (1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. penetapan kebijakan nasional;
4
b. c. d. e.
pembuatan peraturan perundang-undangan; penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi; j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik; k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat; m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara; n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan; p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN; q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional; r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional; t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan u. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya; f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi; g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
5
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi; i. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; j. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya; k. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota; l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota; m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 (1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota; f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota; g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
6
(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 10 Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah. Pasal 11 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 13 WP terdiri atas: a. WUP; b. WPR; dan c. WPN. Bagian Kedua Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 14 (1) Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 15 Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Pasal 17 Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 18 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:
7
a. b. c. d. e.
letak geografis; kaidah konservasi; daya dukung lindungan lingkungan; optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan tingkat kepadatan penduduk. Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 20 Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. Pasal 21 WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Pasal 22 Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun. Pasal 23 Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 24 Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Bagian Keempat Wilayah Pencadangan Negara
8
Pasal 27 (1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. (2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK. Pasal 28 Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau f. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar. Pasal 29 (1) WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk IUPK. Pasal 30 Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Pasal 31 Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 32 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lindungan lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.
9
BAB VI USAHA PERTAMBANGAN Pasal 34 (1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. (2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas: a. pertambangan mineral radioaktif; b. pertambangan mineral logam; c. pertambangan mineral bukan logam; dan d. pertambangan batuan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 35 Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilaksanakan dalam bentuk: a. IUP; b. IPR; dan c. IUPK. BAB VII IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 36 (1) IUP terdiri atas dua tahap: a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 37 IUP diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.
10
Pasal 39 (1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurangkurangnya: a. nama perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. rencana umum tata ruang; d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi; f. perpanjangan waktu tahap kegiatan; g. hak dan kewajiban pemegang IUP; h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; i. jenis usaha yang diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; k. perpajakan; l. penyelesaian perselisihan; m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. amdal. (2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya: a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu berlakunya IUP; h. jangka waktu tahap kegiatan; i. penyelesaian masalah pertanahan; j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang; k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang; l. perpanjangan IUP; m. hak dan kewajiban pemegang IUP; n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; o. perpajakan; p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi; q. penyelesaian perselisihan; r. keselamatan dan kesehatan kerja; s. konservasi mineral atau batubara; t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri; u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; v. pengembangan tenaga kerja Indonesia; w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara. Pasal 40 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara. (2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
11
(4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. (5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 41 IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP. Bagian Kedua IUP Eksplorasi Pasal 42 (1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. (2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 43 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP. (2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Pasal 44 Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 45 Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dikenai iuran produksi. Bagian Ketiga IUP Operasi Produksi Pasal 46 (1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. (2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
12
Pasal 47 (1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun. (2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun. (3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. (5) IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 48 IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pertambangan Mineral Paragraf 1 Pertambangan Mineral Radioaktif Pasal 50 WUP mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah dan pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pertambangan Mineral Logam Pasal 51 WIUP mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang.
13
Pasal 52 (1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
(2)
dilakukan
setelah
Pasal 53 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. Paragraf 3 Pertambangan Mineral Bukan Logam Pasal 54 WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Pasal 55 (1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
(2)
dilakukan
setelah
Pasal 56 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. Paragraf 4 Pertambangan Batuan Pasal 57 WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Pasal 58 (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
(2)
dilakukan
setelah
Pasal 59 Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
14
Bagian Kelima Pertambangan Batubara Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
(2)
dilakukan
setelah
Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VIII PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 64 Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 65 (1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IX IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 66 Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut: a. pertambangan mineral logam; b. pertambangan mineral bukan logam; c. pertambangan batuan; dan/atau d. pertambangan batubara.
15
Pasal 67 (1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
setempat,
baik
(2) Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota. Pasal 68 (1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada: a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare; b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare. (2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 69 Pemegang IPR berhak: a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 70 Pemegang IPR wajib: a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah; d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR. Pasal 71 (1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Pasal 73 (1) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. (2) Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. pengelolaan lingkungan hidup; dan c. pascatambang.
16
(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah kabupaten/kota wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri dan gubernur setempat. BAB X IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 74 (1) IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK. (3) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (4) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri. (5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. (6) Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (7) IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri. Pasal 75 (1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta. (3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. (4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Pasal 76 (1) IUPK terdiri atas dua tahap: a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (2) Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 77 (1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
17
(2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. Pasal 78 IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sekurangkurangnya wajib memuat: a. nama perusahaan; b. luas dan lokasi wilayah; c. rencana umum tata ruang; d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi; f. perpanjangan waktu tahap kegiatan; g. hak dan kewajiban pemegang IUPK; h. jangka waktu tahap kegiatan; i. jenis usaha yang diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; k. perpajakan; l. penyelesaian perselisihan masalah pertanahan; m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. amdal. Pasal 79 IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b sekurangkurangnya wajib memuat: a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu tahap kegiatan; h. penyelesaian masalah pertanahan; i. lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan pascatambang; j. dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang; k. jangka waktu berlakunya IUPK; l. perpanjangan IUPK; m. hak dan kewajiban; n. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; o. perpajakan; p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi; q. penyelesaian perselisihan; r. keselamatan dan kesehatan kerja; s. konservasi mineral atau batubara; t. pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; v. pengembangan tenaga kerja Indonesia; w. pengelolaan data mineral atau batubara; x. penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara; dan y. divestasi saham.
18
Pasal 80 IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK. Pasal 81 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri. (2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. (3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri. Pasal 82 Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi. Pasal 83 Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi: a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun. f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun. g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XI PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 85 Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 86 (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial.
19
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XII DATA PERTAMBANGAN Pasal 87 Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi lembaga riset negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian tentang pertambangan. Pasal 88 (1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan tingkat nasional. (3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XIII HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 90 Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Pasal 91 Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 92 Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif. Pasal 93 (1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. (2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. (3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
20
a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 95 Pemegang IUP dan IUPK wajib: a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. Pasal 96 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Pasal 97 Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah. Pasal 98 Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 99 (1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. (3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Pasal 100 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
21
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Pasal 101 Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 102 Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Pasal 103 (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 104 (1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK. (2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 105 (1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan. (2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi. (4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 106 Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
22
Pasal 107 Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 108 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. (2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 110 Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 111 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 112 (1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XIV PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 113 (1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi: a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya. (2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK.
23
(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. Pasal 114 (1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. (2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 115 (1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku. (2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. (3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. Pasal 116 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XV BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 117 IUP dan IUPK berakhir karena: a. dikembalikan; b. dicabut; atau c. habis masa berlakunya.
24
Pasal 118 (1) Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas. (2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya. Pasal 119 IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. Pasal 120 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IUPK telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut berakhir. Pasal 121 (1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 122 (1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 123 Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan opersi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN Pasal 124 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.
25
(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. (3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi: a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1) penyelidikan umum; 2) eksplorasi; 3) studi kelayakan; 4) konstruksi pertambangan; 5) pengangkutan; 6) lingkungan pertambangan; 7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau 8) keselamatan dan kesehatan kerja. b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1) penambangan; atau 2) pengolahan dan pemurnian. Pasal 125 (1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK. (2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri. (3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal. Pasal 126 (1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri. (2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu. Pasal 127 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri. BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH Pasal 128 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. (2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. (3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan b. bea masuk dan cukai. (4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. iuran tetap; b. iuran eksplorasi; c. iuran produksi; dan d. kompensasi data informasi.
26
(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; dan c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 129 (1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. (2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen); b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen). Pasal 130 (1) Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. (2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. Pasal 131 Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 132 (1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang. (2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 133 (1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke kas negara. BAB XVIII PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 134 (1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
27
Pasal 135 Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Pasal 136 (1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK. Pasal 137 Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 138 Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. BAB XIX PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan Pasal 139 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara. (3) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. (4) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 140 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
28
(3) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 141 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa: a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 142 (1) Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri. (2) Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 143 (1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Pasal 144 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat
29
Pasal 145 (1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XX PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Bagian Kesatu Penelitian dan Pengembangan Pasal 146 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan mineral dan batubara. Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan Pasal 147 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara. Pasal 148 Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. BAB XXI PENYIDIKAN Pasal 149 (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
30
g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. Pasal 150 (1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. (4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XXII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 151 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 152 Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 153 Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 154 Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
31
Pasal 155 Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 156 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 157 Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. BAB XXIII KETENTUAN PIDANA Pasal 158 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 159 Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 160 (1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 161 Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
32
Pasal 163 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. Pasal 164 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Pasal 165 Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan UndangUndang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). BAB XXIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 166 Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 167 WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK. Pasal 168 Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK. BAB XXV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 169 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-
33
lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara. Pasal 170 Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambatlambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 171 (1) Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Pasal 172 Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya UndangUndang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 173 (1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 174 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 175 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
34
Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4
35
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. 3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
36
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Standar nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas.
37
Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Yang dimaksud dengan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional adalah neraca yang menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, dan produksi mineral dan batubara secara nasional. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Kewenangan yang dilimpahkan adalah kewenangan dalam menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan batuan dalam satu kabupaten/kota atau lintas kabupaten/kota. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak.
38
Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Penetapan WPR didasarkan pada perencanaan dengan melakukan sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP. Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 23 Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait; dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Penetapan WPN untuk kepentingan nasional dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global. Yang dimaksud dengan komoditas tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, dan bauksit serta batubara. Konservasi yang dimaksud juga mencakup upaya pengelolaan mineral dan/atau batubara yang keberadaannya terbatas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sebagian luas wilayahnya adalah untuk menentukan persentase besaran luas wilayah yang akan diusahakan. Ayat (3)
39
Yang dimaksud dengan batasan waktu adalah WPN yang ditetapkan untuk konservasi dapat diusahakan setelah melewati jangka waktu tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan koordinasi adalah mengakomodasi semua kepentingan daerah yang terkait dengan WUPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan pertambangan mineral radioaktif adalah pertambangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran. Huruf b Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas.
40
Pasal 38 Huruf a Badan usaha dalam ketentuan ini meliputi juga badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Ayat (2)
41
Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun. Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia. Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Ayat (3) Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun. Ayat (4) Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 47 Ayat (1) Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia. Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas.
42
Pasal 51 Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas.
43
Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disertai dengan meterai cukup dan dilampiri rekomendasi dari kepala desa/lurah/kepala adat mengenai kebenaran riwayat pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan IPR. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup, termasuk reklamasi lahan bekas tambang. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Laporan disampaikan setiap 4 (empat) bulan. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1)
44
Yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan daerah adalah dalam rangka pemberdayaan daerah. Ayat (2) Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 78 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Jaminan kesungguhan termasuk di dalamnya biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas.
45
Pasal 79 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 80 Cukup jelas.
46
Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Huruf f Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun. Huruf g Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1)
47
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam kegiatan eksplorasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan sisa tambang meliputi antara lain tailing dan limbah batubara. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Ketentuan ini dimaksudkan mengingat usaha pertambangan pada sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air, baik pada kawasan hulu maupun hilir. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang berisi, antara lain, besaran, tata cara penyetoran dan pencairan, serta pelaporan penggunaan dana jaminan. Pasal 102 Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. Pasal 103 ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. ayat (2) Cukup jelas. ayat (3)
48
Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Ayat (1) Yang dimaksud dengan terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan dalam ketentuan ini adalah pengurusan izin pengangkutan dan penjualan atas mineral dan/atau batubara yang tergali. Ayat (2) Izin diberikan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi atas mineral dan/atau batubara yang tergali oleh instansi teknis terkait. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 106 Pemanfaatan tenaga kerja setempat tetap mempertimbangkan kompetensi tenaga kerja dan keahlian tenaga kerja yang tersedia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar operasi pertambangan. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia. Huruf b Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan.
49
Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Ayat (4) Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi daya dukung lingkungan wilayah yang dikaitkan dengan aktivitas kegiatan penambangan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Yang dimaksud dengan alasan yang jelas dalam ketentuan ini antara lain tidak ditemukannya prospek secara teknis, ekonomis, atau lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Yang dimaksud dengan peningkatan adalah peningkatan dari tahap ekplorasi ke tahap operasi produksi. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Ayat (1) Perusahaan nasional dapat mendirikan perusahaan cabang di daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
50
Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk menyelesaikan lahanlahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143
51
Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Ayat (1) Yang dimaksud dengan masyarakat adalah mereka yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas.
52
Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan Undang-Undang. Huruf c Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4959
53
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Mengingat
:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
PERLINDUNGAN
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
54
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20. 21.
22. 23. 24. 25. 26.
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
55
27. 28. 29. 30. 31.
32. 33. 34. 35.
36. 37.
38. 39.
Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Asas
Pasal 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
56
e. f. g. h. i. j.
mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global. Bagian Ketiga Ruang Lingkup
Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum. BAB III PERENCANAAN Pasal 5 Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion; dan c. penyusunan RPPLH. Bagian Kesatu Inventarisasi Lingkungan Hidup Pasal 6 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup: a. tingkat nasional; b. tingkat pulau/kepulauan; dan c. tingkat wilayah ekoregion. (2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi: a. potensi dan ketersediaan; b. jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan; d. pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan; dan f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Bagian Kedua Penetapan Wilayah Ekoregion Pasal 7 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. (2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c. iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
57
Pasal 8 Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam. Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9 (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota. (2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional. (3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan: a. RPPLH nasional; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion. (4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan: a. RPPLH provinsi; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 10 RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota. RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.
Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PEMANFAATAN Pasal 12 (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. (2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan;
58
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. BAB V PENGENDALIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan. (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masingmasing. Bagian Kedua Pencegahan Pasal 14 Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pasal 15 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. (3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
59
Pasal 16 KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Pasal 17 (1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Pasal 18 (1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 19 (1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. (2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 20 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri. Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Pasal 21 (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
60
a. b. c.
kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; kriteria baku kerusakan terumbu karang; kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 5 Amdal Pasal 22 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. (2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 23 (1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas: a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 24 Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pasal 25 Dokumen amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
61
d. e. f.
prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 26 (1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. (2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. Pasal 27 Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain. Pasal 28 (1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penguasaan metodologi penyusunan amdal; b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 29 (1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 30 (1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur: a. instansi lingkungan hidup; b. instansi teknis terkait; c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. organisasi lingkungan hidup. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. (3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.
62
Pasal 32 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. (2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal. (3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 6 UKL-UPL Pasal 34 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL. (2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL. Pasal 35 (1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria: a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan b. kegiatan usaha mikro dan kecil. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri. Paragraf 7 Perizinan Pasal 36 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 37 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 38 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
63
Pasal 39 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Pasal 40 (1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 8 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup Pasal 42 (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. (2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan c. insentif dan/atau disinsentif. Pasal 43 (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi: a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup; b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan d. internalisasi biaya lingkungan hidup. (2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi: a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi. (3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 9 Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 44 Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
64
Paragraf 10 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 45 (1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai: a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. (2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pasal 46 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup. Paragraf 11 Analisis Risiko Lingkungan Hidup Pasal 47 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. (2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 12 Audit Lingkungan Hidup Pasal 48 Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup. Pasal 49 (1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. (3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. Pasal 50 (1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. (2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup. Pasal 51 (1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup. (2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. (3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan: a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup; b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan
65
c.
merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup. (4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penanggulangan Pasal 53 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pemulihan Pasal 54 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 55 (1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VI PEMELIHARAAN Pasal 57 (1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer. (2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
66
a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. (3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Bagian Kesatu Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 58 (1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 59 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. (3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. (6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Dumping Pasal 60 Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 61 (1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VIII SISTEM INFORMASI Pasal 62 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
67
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 63 (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; g. mengembangkan standar kerja sama; h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik; j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara; n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah; o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s. menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional; v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup; y. menerbitkan izin lingkungan; z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. (2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
68
k.
mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. melaksanakan standar pelayanan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi. (3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; j. melaksanakan standar pelayanan minimal; k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota. Pasal 64 Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri. BAB X HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Kesatu Hak Pasal 65 (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 66 Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
69
Bagian Kedua Kewajiban Pasal 67 Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 68 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Bagian Ketiga Larangan Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. BAB XI PERAN MASYARAKAT Pasal 70 (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. BAB XII PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 71 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
70
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Pasal 72 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 73 Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 74 (1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang: a. melakukan pemantauan; b. meminta keterangan; c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; d. memasuki tempat tertentu; e. memotret; f. membuat rekaman audio visual; g. mengambil sampel; h. memeriksa peralatan; i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau j. menghentikan pelanggaran tertentu. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 78 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
71
Pasal 79 Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 80 (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. Pasal 81 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Pasal 82 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Pasal 85 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
72
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Pasal 86 (1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Pasal 87 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. (3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. (4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Paragraf 3 Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Pasal 89 (1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. Paragraf 4 Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 90 (1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Hak Gugat Masyarakat Pasal 91 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
73
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup Pasal 92 (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. Paragraf 7 Gugatan Administratif Pasal 93 (1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal; b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. (2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. BAB XIV PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN Bagian Kesatu Penyidikan Pasal 94 (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. (2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h. menghentikan penyidikan; i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual; j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
74
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. (3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. (5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum. Pasal 95 (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pembuktian Pasal 96 Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
75
paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
76
miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
77
Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 121 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup. (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
tahun, setiap tetapi belum tahun, setiap tetapi belum
Pasal 122 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Pasal 123 Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 124 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 125 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 126 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. Pasal 127 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
78
Disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140
79
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP I.
UMUM
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
2.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
3.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
4.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
80
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia. Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal. Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha. 5.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
6.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
7.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
8.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur: a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
81
e. f. g. h.
i. j. k.
9.
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; pendayagunaan pendekatan ekosistem; kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global; penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah: a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan
82
lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Huruf k Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Huruf m Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Huruf n Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas.
83
Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian: a. pencemaran air, udara, dan laut; dan b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi: a. perubahan iklim; b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
84
c. d. e. f. g.
peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Huruf b Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air . Huruf c Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Huruf d Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Huruf e Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Huruf f Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1)
85
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan. Huruf b Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. Huruf c Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk rekayasa genetik. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
86
Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal 26 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan tanggapan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi lingkungan hidup. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
87
Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam perencanaan pembangunan” adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Huruf b Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan” adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya. Huruf c Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Disinsentif merupakan pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam” adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter. Huruf b Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Yang dimaksud dengan “produk domestik regional bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Huruf c
88
Yang dimaksud dengan “mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah” adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf d Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan” adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan” adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup. Huruf b Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup” adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet. Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup” adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah. Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup” adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah lingkungan hidup” adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Huruf e Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf f Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup” adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “sistem label ramah lingkungan hidup” adalah pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup. Huruf h Cukup jelas.
89
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah B3. Ayat (2) Huruf a Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Huruf b Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih. Huruf c Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga nuklir. Dokumen audit lingkungan hidup memuat: a. informasi yang meliputi tujuan dan proses pelaksanaan audit; b. temuan audit; c. kesimpulan audit; dan d. data dan informasi pendukung. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas.
90
Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”remediasi” adalah upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan ”restorasi” adalah upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Huruf a Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain, konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst. Huruf b Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat membangun: a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan; b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau c. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b
91
Yang dimaksud dengan ”pengawetan sumber daya alam” adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan ”mitigasi perubahan iklim” adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
92
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 66 Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain, DDT, PCBs, dan dieldrin. Huruf c Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.
93
Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat serius” adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
94
Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup Jelas. Pasal 84 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 88 Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
95
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan dalam penyidikan. Ayat (4) Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101
96
Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik” adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundangundangan. Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik” adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku
97
fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
98
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya sadar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha dan/atau kegiatan;
b. bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan sedini mungkin;
c. bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. bahwa dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
e. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
99
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan;
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina secara teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa atau Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pasal 2 (1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. (2) Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.
f
/
100
/
(3) Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pendekatan studi terhadap kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan. Pasal 3 (1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, d. e. f. g. h. i.
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati; penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.
(2) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait. (3) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun. (4) Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. (5) Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib mencantumkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan setelah mempertimbangkan masukan dari instansi yang bertanggung jawab. Pasal 4 (1) Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup lagi. (2) Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kawasan.
f
/
101
/
Pasal 5 (1) Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain : a. jumlah manusia yang akan terkena dampak; b. luas wilayah persebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. (2) Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 6 (1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak perlu dibuat bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan darurat. (2) Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan darurat. Pasal 7 (1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab. (3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkannya. (4) Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. BAB II KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP Pasal 8
f
/
102
/
(1) Komisi penilai dibentuk : a. di tingkat pusat : oleh Menteri; b. di tingkat daerah : oleh Gubernur. (2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. di tingkat pusat berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
b. di tingkat daerah berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Tingkat I. (3) Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (4) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (5) Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibantu oleh tim teknis dari masing-masing sektor. (6) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya kepada instansi yang bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (7) Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah, ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat Menteri Dalam Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait. (8) Ketentuan mengenai tata kerja tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan lebih lanjut oleh Komisi Penilai Pusat. Pasal 9 (1) Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang perencanaan pembangunan nasional, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait, wakil Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil Kabupaten/Walikotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 10
f
/
103
/
(1) Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah, instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur. Pasal 11 (1) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria :
a. usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau menyangkut ketahanan dan b. c. d. e.
keamanan negara; usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi daerah tingkat I; usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain; usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah ruang lautan; Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di lintas batas negara kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain;
(2) Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 (1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi penilai daerah tingkat I. Pasal 13 Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan keamanan. BAB III TATA LAKSANA Bagian Pertama
f
/
104
/
Kerangka Acuan Pasal 14 (1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh pemrakarsa. (2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 15 (1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan :
a. di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I. (2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka acuan pembuatan analisis dampak lingkungan hidup. Pasal 16 (1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan. (2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (3) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud. (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan. Bagian Kedua Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup Pasal 17 (1) Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab. (2) Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
f
/
105
/
dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 18 (1) Analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, diajukan oleh pemrakarsa kepada :
a. di tingkat pusat : Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I. (2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 19 (1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dinilai : a. di tingkat pusat : oleh komisi penilai pusat; b. di tingkat daerah : oleh komisi penilai daerah. (2) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Pasal 20 (1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). (2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. Pasal 21 (1) Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada pemrakarsa untuk diperbaiki apabila kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup tidak
f
/
106
/
sesuai dengan pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (2) Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20. (3) Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan hidup atas usaha dan/atau kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20. Pasal 22 (1) Apabila hasil penilaian komisi penilai menyimpulkan bahwa :
a. dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau
b. biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar dari pada manfaat dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
c. maka instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak layak lingkungan. (2) Instansi yang berwenang menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan apabila instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 23 Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan disampaikan oleh :
a. di tingkat pusat : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi terkait yang berkepentingan, Gubernur dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
b. di tingkat daerah : Gubernur kepada Menteri, Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, dan instansi yang terkait. Bagian Ketiga Kadaluwarsa dan batalnya keputusan hasil Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Pasal 24 (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila
f
/
107
/
rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya keputusan kelayakan tersebut. (2) Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/atau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab. (3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung jawab memutuskan :
a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 25 (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatannya. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 26 (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 27 (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. BAB IV PEMBINAAN
f
/
108
/
Pasal 28 (1) lnstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan pembinaan teknis terhadap komisi penilai pusat dan daerah. (2) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari izin. Pasal 29 (1) Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilakukan dengan koordinasi instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. (2) Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dengan memperhatikan sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 30 Kualifikasi penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pemberian lisensi/sertifikasi dan pengaturannya ditetapkan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 31 Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau golongan ekonomi lemah dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memperhatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. BAB V PENGAWASAN Pasal 32 (1) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur. (2) lnstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan :
a. pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur. BAB VI KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 33
f
/
109
/
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pemrakarsa. (3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan. (4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab. (5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan. (6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 34 (1) Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (2) Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 35 (1) Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum. (2) Instansi yang bertanggung jawab wajib menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan. BAB VII PEMBIAYAAN Pasal 36 Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan :
a. di tingkat pusat : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
f
/
110
/
b. di tingkat daerah : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan daerah tingkat I Pasal 37 Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada pemrakarsa. Pasal 38 (1) Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. (2) Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab. (3) Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada saat diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini :
a. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang bersangkutan; atau
b. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, tetap dinilai oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus selesai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku secara efektif. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 41 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 42
f
/
111
/
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 59 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP UMUM Pembangunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Proses pelaksanaan pembangunan di satu pihak menghadapi permasalahan jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertambahan yang tinggi, tetapi dilain pihak ketersediaan sumber daya alam bersifat terbatas. Kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan meningkatkan permintaan atas sumber daya alam, sehingga timbul tekanan terhadap sumber daya alam. Oleh karena itu, pendayagunaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan harus disertai dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan adalah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang merupakan tujuan pengelolaan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sejak awal perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan perubahan rona lingkungan hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan hidup yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan pembangunan. Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat
f
/
112
/
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Dengan dimasukkannya analisis mengenai dampak lingkungan hidup ke dalam proses perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan, maka pengambil keputusan akan memperoleh pandangan yang lebih luas dan mendalam mengenai berbagai aspek usaha dan/atau kegiatan tersebut, sehingga dapat diambil keputusan optimal dari berbagai alternatif yang tersedia. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan salah satu alat bagi pengambil keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan merupakan kepentingan seluruh masyarakat. Diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan akan mengubah rona lingkungan hidup, sedangkan perubahan ini pada gilirannya akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan warga masyarakat yang akan terkena dampak menjadi penting dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan hak setiap orang untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat itu meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa warga masyarakat wajib dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Keterlibatan warga masyarakat itu merupakan pelaksanaan asas keterbukaan. Dengan keterlibatan warga masyarakat itu akan membantu dalam mengindentifikasi persoalan dampak lingkungan hidup secara dini dan lengkap, menampung aspirasi dan kearifan pengetahuan lokal dari masyarakat yang seringkali justru menjadi kunci penyelesaian persoalan dampak lingkungan hidup yang timbul. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Sebagai bagian dari studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Hal itu merupakan konsekuensi dari kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Konsekuensinya adalah bahwa syarat dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup harus dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Dampak besar dan penting merupakan satu kesatuan makna dari arti dampak penting. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5
f
/
113
/
Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Cukup jelas Angka 12 Cukup jelas Angka 13 Cukup jelas Angka 14 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Studi kelayakan pada umumnya meliputi analisis dari aspek teknis dan aspek ekonomis- finansial. Dengan ayat ini, maka studi kelayakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi komponen analisis teknis, analisis ekonomis-finansial, dan analisis mengenai dampak lingkungan hidup.. Oleh karena itu, analisis mengenai dampak lingkungan hidup sudah harus disusun dan mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab sebelum kegiatan konstruksi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat digunakan sebagai masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, di samping dapat digunakan sebagai masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup khususnya dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup juga merupakan dasar dalam sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System) usaha dan/atau kegiatan.
f
/
114
/
Ayat (2) Karena analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari studi kelayakan suatu usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi pada ekosistem tertentu, maka hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup tersebut sangat penting untuk dijadikan sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan wilayah Ayat (3) Usaha dan/atau kegiatan tunggal adalah hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan perizinan serta pembinaannya di bawah satu instansi yang berwenang. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dan melibatkan lebih dari satu instansi yang berwenang membidangi kegiatan dimaksud. Kriteria usaha dan/atau kegiatan terpadu meliputi :
a. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan, dan proses produksinya;
b. usaha dan/atau kegiatan tersebut berada dalam kesatuan hamparan ekosistem.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan kawasan adalah hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan. Kriteria usaha dan/atau kegiatan di zona pengembangan wilayah/kawasan meliputi:
a. berbagai usaha dan/atau kegiatan yang saling terkait perencanaannya antar satu dengan yang lainnya;
b. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak dalam/merupakan satu kesatuan zona rencana pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan:
c. usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak pada kesatuan hamparan ekosistem. Pasal 3 Ayat (1) Usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan kategori usaha dan/atau kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian penyebutan kategori usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak bersifat limitatif dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebutan tersebut bersifat alternatif, sebagai contoh seperti usaha dan/atau kegiatan :
a. pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan kereta api, dan pembukaan hutan; b. kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan; c. pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya;
f
/
115
/
d. kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau cara hidup e. f. g. h.
masyarakat setempat; kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan; penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang. Oleh karena itu, jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu ditinjau kembali. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Kriteria yang menentukan adanya dampak besar dan penting dalam ayat ini ditetapkan berdasarkan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Oleh karena itu, kriteria ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak bersifat limitatif. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1)
f
/
116
/
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan atau kondisi yang sedemikian rupa, sehingga mengharuskan dilaksanakannya tindakan segera yang mengandung risiko terhadap lingkungan hidup demi kepentingan umum, misalnya pertahanan negara atau penanggulangan bencana alam. Keadaan darurat ini tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang keadaan darurat Ayat (2) Keadaan darurat yang tidak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, misalnya pembangunan bendungan/dam untuk menahan bencana lahar, ditetapkan oleh menteri yang membidangi kegiatan dimaksud. Pasal 7 Ayat (1) Untuk melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan terdapat satu izin yang bersifat dominan, tanpa izin tersebut seseorang tidak dapat melakukan usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud. Misalnya izin usaha industri di bidang perindustrian, kuasa pertambangan di bidang pertambangan, izin penambangan daerah di bidang penambangan bahan galian golongan C, izin hak pengusahaan hutan di bidang kehutanan, izin hak guna usaha pertanian di bidang pertanian. Sedangkan keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah persyaratan yang diwajibkan untuk dapat menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari proses perizinan melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Izin merupakan suatu instrumen yuridis preventif. Oleh karena itu, keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, sebagaimana telah diterbitkan oleh instansi yang bertanggungjawab wajib dilampirkan pada permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
f
/
117
/
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan lingkungan hidup di komisi penilai daerah dapat berarti wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan wilayah dengan maksud agar terdapat keterpaduan kebijaksanaan penggelolaan lingkungan hidup, khususnya pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kebijaksanaan dan program pengendalian dampak lingkungan hidup di daerah. Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi sebagai anggota komisi penilai daerah adalah untuk memantapkan kualitas hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam penilaian analisis mengenai dampak lingkungan. Adanya wakil yang ditunjuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan instansi yang ditugasi dibidang pertanahan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup secara lintas sektor yang ada di daerah. Adapun wakil yang ditunjuk dari bidang kesehatan di daerah dikarenakan pada akhirnya dampak semua kegiatan selalu berakhir pada aspek kesehatan. Duduknya wakil organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilai merupakan aktualisasi hak warga masyarakat untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan. Duduknya wakil masyarakat terkena dampak suatu usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha dan/atau kegiatan tersebut. Duduknya wakil instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan adalah untuk memberikan penilaian secara teknis usaha dan/atau kegiatan yang dinilai. Organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji adalah lembaga swadaya masyarakat. Ayat (2)
f
/
118
/
Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau kegiatan yang menyangkut ketahanan dan keamanan negara misalnya : pembangkit listrik tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga uap/panas bumi, eksploitasi minyak dan gas, kilang minyak, penambangan uranium, industri petrokimia, industri pesawat terbang, industri kapal, industri senjata, industri bahan peledak, industri baja, industri alat-alat berat, industri telekomunikasi, pembangunan bendungan, bandar udara, pelabuhan dan rencana usaha dan/atau kegiatan lainnya yang menurut instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dianggap strategis. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis ini menjadi bagian dari usaha dan/atau kegiatan terpadu/multisektor, maka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup menjadi wewenang komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup pusat. Huruf b Cukup jelas Huruf c Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain misalnya : rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di Pulau Sipadan, Ligitan dan Celah Timor. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14
f
/
119
/
Ayat (1) Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan hidup merupakan pegangan yang diperlukan dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Berdasarkan hasil pelingkupan, yaitu proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan dampak besar dan penting, kerangka acuan terutama memuat komponen-komponen aspek usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, serta komponen-komponen parameter lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jeias Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian dokumen kerangka acuan ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai ditetapkannya keputusan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Menolak untuk memberikan keputusan atas kerangka acuan adalah untuk melindungi kepentingan umum. Kerangka acuan merupakan dasar bagi penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Kerangka acuan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menghasilkan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Sedangkan kewajiban untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah untuk melindungi fungsi lingkungan hidup. Perlindungan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat I, dan
f
/
120
/
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II. Yang dimaksud dengan rencana tata ruang kawasan yang ditetapkan adalah baik rencana tata ruang kawasan tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden maupun rencana tata ruang kawasan perdesaan atau rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II. Termasuk dalam pengertian rencana tata ruang kawasan adalah rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang meliputi rencana terperinci (detail) tata ruang kawasan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dari analisis dampak lingkungan hidup dapat diketahui dampak besar dan penting yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Dengan mengetahui dampak besar dan penting itu dapat ditentukan :
a. cara mengendalikan dampak besar dan penting negatif dan mengembangkan dampak besar dan penting positif, yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan dampak lingkungan hidup; dan
b. cara memantau dampak besar dan penting tersebut, yang dicantumkan dalam rencana pemantauan lingkungan hidup. Apa yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup merupakan syarat dan kewajiban yang harus dilakukan pemrakarsa apabila hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Oleh karena itu, hasil penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup oleh Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menjadi dasar bagi instansi yang bertanggung jawab dalam memberikan keputusan kepada instansi yang berwenang.
f
/
121
/
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai dengan diterbitkannya keputusan kelayakan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Sejalan dengan cepatnya pengembangan pembangunan wilayah, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun kemungkinan besar telah terjadi perubahan rona lingkungan hidup, sehingga rona lingkungan hidup yang semula dipakai sebagai dasar penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak cocok lagi digunakan untuk memprakirakan dampak lingkungan hidup rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Ayat (2)
f
/
122
/
Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Perubahan desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong bagi usaha dan/atau kegiatan akan menimbulkan dampak besar dan penting yang berbeda. Oleh karena itu, keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah diterbitkan menjadi batal. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Terjadinya perubahan lingkungan hidup secara mendasar berarti hilangnya atau berubahnya rona lingkungan hidup awal yang menjadi dasar penyusunan analisis dampak lingkungan hidup. Keadaan ini menimbulkan konsekuensi batalnya keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1)
f
/
123
/
Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Bantuan yang dimaksud untuk golongan ekonomi lemah dapat berupa biaya penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau tenaga ahli untuk penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau bantuan lainnya. Bantuan diberikan oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Pengumuman merupakan hak setiap orang atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (2) Pengumuman oleh instansi yang bertanggung jawab dapat dilakukan, misalnya, melalui media cetak dan/atau media elektronik. Sedangkan pengumuman oleh pemrakarsa dapat dilakukan dengan memasang papan pengumuman di lokasi akan diselengarakannya usaha dan/atau kegiatan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Saran, pendapat dan tanggapan secara tertulis diperlukan agar terdokumentasi. Ayat (5) Semua saran dan pendapat yang diajukan oleh warga masyarakat harus tercermin dalam penyusunan kerangka acuan, dikaji dalam analisis dampak lingkungan hidup dan diberikan alternatif pemecahannya dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Ayat (6) Dalam
pengumuman
akan
diselenggarakannya
f
usaha
dan/atau
kegiatan
diberitahukan
/
124
/
sekurang-kurangnya, antara lain: tentang apa yang akan dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, jenis dan volume limbah yang dihasilkan serta cara penanganannya, kemungkinan dampak lingkungan hidup yang akan ditimbulkan. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Biaya penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup antara lain mencakup biaya untuk mendatangkan wakil-wakil masyarakat dan para ahli yang terlibat dalam penilaian mengenai analisis dampak lingkungan hidup, menjadi tanggungan pemrakarsa. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41
f
/
125
/
Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3838
f
/
126
/
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
a.
bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan semakin meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun;
b.
bahwa sampai saat ini terdapat beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi masih belum cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
c.
bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
3.
Undang- undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
4.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
5.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
6.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
127
7.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
8.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910) ;
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1.
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya;
2.
Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menggunakan dan atau membuang B3;
3.
Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di wilayah Republik Indonesia;
4.
Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan mahluk hidup lainnya;
5.
Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi atau memasukkan B3 ke dalam suatu wadah dan atau kemasan, menutup dan atau menyegelnya;
6.
Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3;
7.
Label adalah uraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3;
8.
Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sarana angkutan;
9.
B3 terbatas dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya;
10.
B3 yang dilarang dipergunakan adalah jenis B3 yang dilarang digunakan, diproduksi, diedarkan dan atau diimpor;
11.
Impor B3 adalah kegiatan memasukkan B3 ke dalam daerah kepabeanan Indonesia;
12.
Ekspor B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dari daerah kepabeanan Indonesia;
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan,
128
13.
Notifikasi untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor ke otoritas negara penerima dan negara transit apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan;
14.
Notifikasi untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas untuk B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor;
15.
Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
16.
Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
17.
Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dalam memberikan izin, pengawasan dan hal lain yang sesuai dengan bidangnya masing-masing;
18.
Komisi B3 adalah badan independen yang berfungsi memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah dalam pengelolaan B3 di Indonesia;
19.
Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
20.
Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
21.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2 Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Pasal 3 Pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengelolaan bahan radioaktif, bahan peledak, hasil produksi tambang serta minyak dan gas bumi dan hasil olahannya, makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika, dan prekursornya serta zat adiktif lainnya, senjata kimia dan senjata biologi.
Pasal 4 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
BAB II KLASIFIKASI B3 Pasal 5 (1)
B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. mudah meledak (explosive); b. pengoksidasi (oxidizing); c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable); d. sangat mudah menyala (highly flammable); e. mudah menyala (flammable); f. amat sangat beracun (extremely toxic); g. sangat beracun (highly toxic); h. beracun (moderately toxic); i. berbahaya (harmful); j. korosif (corrosive); k. bersifat iritasi (irritant); l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment); m. karsinogenik (carcinogenic);
129
teratogenik (teratogenic); mutagenik (mutagenic).
n. o. (2)
Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari : a. B3 yang dapat dipergunakan; b. B3 yang dilarang dipergunakan; dan c. B3 yang terbatas dipergunakan.
(3)
B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
BAB III TATA LAKSANA DAN PENGELOLAAN B3 Pasal 6 (1)
Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan atau pengimpor.
(2)
Kewajiban registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku 1 (satu) kali untuk B3 yang dihasilkan dan atau diimpor untuk yang pertama kali;
(3)
Registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang : a.
termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
b.
tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(4)
Instansi yang berwenang yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a menyampaikan tembusannya kepada instansi yang bertanggung jawab.
(5)
Instansi yang bertanggung jawab yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b menyampaikan tembusannya kepada instansi yang berwenang.
(6)
Tata cara registrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan sistem registrasi nasional B3 ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7 (1)
Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.
(2)
Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah adanya persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.
(3)
Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang berwenang di bidang perdagangan.
(1)
Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2)
Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3)
Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan notifikasi.
Pasal 8
130
negara
Pasal 9 (1)
Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2)
Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3)
Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.
(4)
Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5)
Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab: a.
mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan
b.
memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.
Pasal 10 Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11 Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety
Data Sheet) Pasal 12 Setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 13 (1)
Pengangkutan B3 wajib menggunakan sarana pengangkutan yang laik operasi serta pelaksanaannya sesuai dengan tata cara pengangkutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Persyaratan sarana pengangkutan dan tata cara pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang transportasi.
Pasal 14 Setiap B3 yang dihasilkan, diangkut, diedarkan , disimpan wajib dikemas sesuai dengan klasifikasinya.
Pasal 15 (1)
Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).
(2)
Tata cara pengemasan, pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
131
Pasal 16 (1)
Dalam hal kemasan B3 mengalami kerusakan untuk : a. B3 yang masih dapat dikemas ulang, pengemasannya wajib dilakukan oleh pengedar; b. B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan dapat menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan atau keselamatan manusia, maka pengedar wajib melakukan penanggulangannya.
(2)
B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3)
Dalam hal Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum tersedia, maka tata cara penanganan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu kepada kaidah ilmiah yang berlaku.
Pasal 17 (1)
Dalam hal simbol dan label mengalami kerusakan wajib diberikan simbol dan label yang baru.
(2)
Tanggung jawab pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kerusakan pada tahap : a. produksi, tanggung jawabnya ada pada produsen/penghasil; b. pengangkutan, tanggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan pengangkutan; c. penyimpanan, tangggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan penyimpanan.
(3)
Tata cara pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 18 (1)
Setiap tempat penyimpanan B3 wajib diberikan simbol dan label.
(2)
Tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan untuk : a. lokasi; b. konstruksi bangunan;
(3)
Kriteria persyaratan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 19
Pengelolaan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3.
Pasal 20 B3 yang kadaluarsa dan atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, wajib dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
132
BAB IV KOMISI B3 Pasal 21 (1)
Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah.
(2)
Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat terdiri dari beberapa Sub Komisi B3.
(3)
Susunan keanggotaan Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait, wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
(4)
Susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB V KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Pasal 22 (1)
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan kesehatan kerja.
dan
(2)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab kegiatan pengelolaan B3 wajib mengikutsertakan peranan tenaga kerjanya.
(4)
Peranan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 23 (1)
Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan pengawas B3 wajib dilakukan kesehatan secara berkala.
(2)
Uji kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan instansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
uji
oleh masing-masing
BAB VI PENANGGULANGAN KECELAKAAN DAN KEADAAN DARURAT Pasal 24 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3. Pasal 25 Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib mengambil langkahlangkah : a.
mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;
b.
menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;
c.
melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan
133
d.
memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi kejadian.
Pasal 26 Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.
Pasal 27 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk : a.
mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau
b.
memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar;
yang diakibatkan oleh B3. BAB VII PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 28 (1)
Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing.
(2)
Dalam hal tertentu, wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
(3)
Penyerahan wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan atau instansi yang berwenang di bidang tugasnya masingmasing.
Pasal 29 Pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Pasal 30 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib: a.
mengizinkan pengawas untuk memasuki lokasi kerja dan membantu terlaksananya tugas pengawasan;
b.
mengizinkan pengawas untuk mengambil contoh B3;
c.
memberikan keterangan dengan benar baik lisan maupun tertulis;
d.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pemotretan di lokasi kerja dan atau mengambil gambar.
Pasal 31 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
134
BAB VIII PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT Pasal 32 Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Pimpinan instansi yang berwenang, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.
Pasal 33 Setiap orang yang melakukan pengelolaan B3 wajib meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak B3 yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.
Pasal 34 Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dapat dilakukan dengan penyebarluasan pemahaman tentang B3. BAB IX KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 35 (1)
Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh kegiatan pengelolaan B3.
(3)
Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui media cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.
penanggung jawab
Pasal 36 Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai perundang-undangan yang berlaku.
dengan peraturan
BAB X PEMBIAYAAN Pasal 37 Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam : a. Pasal 6 ayat (6), Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2) ,Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (3)m, Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 32, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b.
Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
135
BAB XI SANKSI ADMINISTRASI Pasal 38 (1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 35 dikenakan sanksi administrasi.
(2)
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan berat dan ringannya jenis pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII GANTI KERUGIAN Pasal 39 (1)
(2)
(3)
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan atau kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini : a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang memyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkab oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 40 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang - undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 Apabila pada saat diundangkan Peraturan Pemerintah ini : a. masih terdapat B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia, maka B3 tersebut dapat diekspor ke negara yang memerlukannya sesuai dengan mekanisme ekspor yang berlaku; b. terdapat B3 yang telah beredar tetapi belum diregistrasikan maka wajib diregistrasikan oleh penyimpan, pengedar dan atau pengguna menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
136
Pasal 42 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan B3 yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal
: Jakarta : 26 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNO PUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 138
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Ttd Lambock V. Nahattands
137
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
UMUM Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi. Selama tiga dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran laut. Agar pengelolaan B3 tidak mencemari lingkungan hidup dan untuk mencapai derajat keamanan yang tinggi, dengan berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan peningkatan upaya pengelolaannya dengan lebih baik dan terpadu. Kebijaksanaan pengelolaan B3 yang ada saat ini masih diselenggarakan secara parsial oleh berbagai instansi terkait, sehingga dalam penerapannya masih banyak menemukan kendala. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan B3 secara terpadu yang meliputi kegiatan produksi, penyimpanan, pengemasan, pemberian simbol dan label, pengangkutan, penggunaan, impor, ekspor dan pembuangannya. Pentingnya penyusunan Peraturan Pemerintah ini secara tegas juga disebutkan dalam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka2 Cukup jelas Angka 3 Registrasi bertujuan untuk mengetahui jumlah B3 yang beredar di Indonesia agar dapat dilakukan pengawasan dari awal sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Registrasi merupakan langkah awal dalam pengelolaan B3. Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Contoh B3 yang mudah terbakar dengan simbol api. Angka 7 Label misalnya tulisan mudah meledak dan mudah terbakar. Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas
138
Angka 11 Cukup jelas Angka 12 Cukup jelas Angka 13 Cukup jelas Angka 14 Cukup jelas Angka 15 Cukup jelas Angka 16 Cukup jelas Angka 17 Cukup jelas Angka 18 Cukup jelas Angka 19 Cukup jelas Angka 20 Cukup jelas Angka 21 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Untuk dapat mengelola B3 dengan baik dan benar maka perlu diketahui klasifikasi B3 tersebut. Penjelasan klasifikasi dimaksud sebagai berikut : a. Mudah meledak (explosive), adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak. b. Pengoksidasi (oxidizing) Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai B3 pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar. c.
Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala dibawah 0 0C dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 0C.
d.
Sangat mudah menyala (highly flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 00C - 210C.
e.
Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :
1.
Berupa cairan
139
Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600C (1400 F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode “Closed-Up Test”.
2.
Berupa padatan B3 yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padatan diklasifikasikan B3 mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode “Seta Closed-Cup Flash Point Test” diperoleh titik nyala kurang dari 400C.
f.
Cukup jelas
g.
Cukup jelas
h.
Beracun (moderately toxic) B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Tingkatan racun B3 dikelompokkan sebagai berikut : Urutan 1 2 3 4 5 6
Kelompok Amat sangat beracun (extremly toxic) Sangat beracun (highly toxic) Beracun (moderately toxic) Agak beracun (slightly toxic) Praktis tidak beracun (practically nontoxic) Relatif tidak berbahaya (relatively harmless)
LD50 (mg/kg) <1 1 – 50 51 – 500 501 – 5.000 5001 - 15.000 > 15.000
i.
Berbahaya (harmful) adalah bahan baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.
j.
Korosif (corrosive) B3 yang bersifat korosif mempunyai sifat antara lain : (1)
Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit;
(2)
Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55 0C;
(3)
Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
k.
Bersifat iritasi (irritant) Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.
l.
Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment) Bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
140
m.
Karsinogenik (carcinogenic) adalah sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.
n.
Teratogenik (teratogenic) adalah sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.
o.
Mutagenik (mutagenic) adalah sifat bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Registrasi B3 dapat dilakukan dengan cara, antara lain, melalui surat menyurat ataupun melalui e-mail. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah, antara lain, untuk hasil produksi tambang, minyak dan gas bumi, serta hasil olahannya diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang energi dan sumber daya mineral. Huruf b Cukup jelas Ayat (4) Penyampaian tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab dimaksudkan sebagaimana wujud koordinasi agar impor dan peredaran B3 dapat diketahui oleh instansi yang bertanggung jawab. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Dalam penetapan sistem registrasi nasional, instansi yang bertanggung jawab akan membuat pedoman tentang tata cara registrasi yang antara lain memuat sistem registrasi, muatan data yang perlu disampaikan oleh penghasil dan atau pengimpor kepada instansi yang bertanggung jawab tentang pembuatan nomor registrasi. Pemberian nomor registrasi tersebut diperlukan sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dapat dengan mudah melakukan pengawasan dan mencegah terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan hidup.. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Otoritas negara pengekspor adalah instansi yang berwenang di bidang lingkungan hidup dari negara pengekspor. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) B3 baru adalah B3 yang baru pertama kali diimpor dan belum termasuk dalam daftar B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
141
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Huruf a Perubahan lampiran Peraturan Pemerintah ini dilakukan dalam waktu tertentu. Huruf b Berdasarkan ketentuan internasional, instansi yang berwenang dalam memberikan notifikasi B3 adalah instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan kewenangan menerbitkan izin impor merupakan kewenangan instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan. Oleh karena itu, notifikasi tersebut perlu diteruskan ke instansi tersebut untuk penerbitan atau penolakan izin impor. Penerbitan izin tersebut diberikan setelah perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini selesai dilakukan. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) berisi : a. merek dagang; b. rumus kimia B3; c. jenis B3; d. klasifikasi B3; e. teknik penyimpanan; dan f. tata cara penanganan bila terjadi kecelakaan. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Kemasan adalah tempat atau wadah untuk mengedarkan, menyimpan dan mengangkut B3. Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) dapat diperbanyak dengan cara menggandakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sesuai dengan kebutuhan. Pemberian symbol dan label pada setiap kemasan B3 dimaksudkan untuk mengetahui klasifikasi B3 sehingga pengelolaannya dapa dilakukan dengan baik guna mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari B3. Ayat (2) Ketentuan tentang cara pengemasan, pemberian simbol dan label yang akan ditetapkan oleh Kepala instansi yang betanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas
142
Ayat (2) Pengertian B3 yang dimaksud meliputi B3 yang masih dapat dikemas ulang dan B3 yang tidak dapat dikemas ulang. Ayat (3) Kaidah ilmiah adalah seperti hand book, text book, dan manual. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan adalah suatu tempat tersendiri yang dirancang sesuai dengan karakteristik B3 yang disimpan misalnya B3 yang reaktif (reduktor kuat) tidak dapat dicampur dengan asam mineral pengoksidasi karena dapat menimbulkan panas, gas beracun dan api. Juga tempat penyimpanan B3 harus dapat menampung jumlah B3 yang akan disimpan. Misalnya suatu kegiatan industri yang menghasilkan B3 harus menyimpan B3 ditempat penyimpanan B3 yang mempunyai kapasitas yang sesuai dengan B3 yang akan disimpan dan memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan perlindungan lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Sistem tanggap darurat adalah mekanisme atau prosedur untuk menanggulangi terjadinya malapetaka dalam pengelolaan B3 yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, sehingga bahaya yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin. Pasal 20 B3 kadaluarsa adalah B3 karena kesalahan dalam penanganannya (handling) menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau karakteristik sehingga B3 tersebut tidak sesuai dengan spesifikasinya. Sedangkan B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah B3 dalam proses produksinya tidak sesuai dengan yang diinginkan (ditentukan). Pasal 21 Ayat (1) Pemerintah yang dimaksud adalah instansi yang berwenang di bidangnya seperti perhubungan, pertanian, perindustrian dan perdagangan, energi dan sumber daya mineral dan kesehatan. Ayat (2) Contoh Sub Komisi B3 antara lain Sub Komisi Pestisida. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
143
Pasal 23 Ayat (1) Uji kesehatan pekerja dan pengawas B3 dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu tahun, dengan maksud untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja dan pengawas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya B3 ke lingkungan. Untuk mencegah meluasnya dampak B3 tersebut, kecelakaan B3 perlu ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Keadaan darurat adalah eskalasi atau peningkatan kecelakaan B3 sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.
Pasal 25 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat antara lain adalah aparat kecamatan dan atau aparat desa/lurah. Huruf d Cukup jelas Pasal 26 Langkah-langkah penanggulangan antara lain dapat berupa instruksi yang diberikan aparat pemerintah daerah kepada masyarakat untuk menghindar dari lokasi kejadian dan menuju ke tempat yang lebih aman. Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Wewenang pengawasan masih dilakukan oleh pemerintah pusat karena pengelolaan B3 banyak berkaitan dengan lintas batas propinsi dan atau lintas batas negara. Yang dimaksud sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing misalnya di bidang pengangkutan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perhubungan dan di bidang lingkungan hidup dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup. Ayat (2) Hal tertentu adalah keadaan dimana pemerintah daerah sudah mampu melaksanakan pengawasan di bidang pengelolaan B3. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 29 Tanda pengenal dan surat tugas ini penting untuk menghindari adanya petugas-petugas pengawas palsu, atau untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanda pengenal minimal memuat nama, nomor induk pegawai, foto yang bersangkutan serta nama instansi pemberi tugas.
144
Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas
Pasal 32 Potensi dampak yang perlu diberitahukan kepada masyarakat bukan hanya dampak negatifnya saja tetapi juga dampak positif dari adanya usaha dan atau kegiatan pengelolaan B3 tersebut. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Penyebarluasan pemahaman tentang B3 dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Pasal 35 Ayat (1) Hak atas informasi tentang kegiatan di bidang pengelolaan B3 merupakan konsekuensi logis dari hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan B3 yang berdasarkan pada azas keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan B3, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan B3 yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan pengelolaan B3, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Peran dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan B3. Pasal 37 Sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/asosiasi tertentu. Pasal 38 Cukup jelas
Pasal 39 Ayat (1) Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
145
ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4153
146
LAMPIRAN I PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 74 TAHUN 2001 TANGGAL : 26 NOVEMBER 2001 Daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dipergunakan
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
1
540-59-0
Nama Bahan Kimia
1,2-dikloroetilena
Sinonim/ Nama Dagang
Rumus Molekul
Acetylene dichloride; 1,2dichloroethylene; 1,2-dichloroethene; 1,2dichloroethylene; sym-dichloroethylene; Dioform.
C2H2Cl2
C3H5NO
2
79-06-1
Akrilamida
Acrilylamide; 2-propenamide
3
107-13-1
Akrilonitril
Acrylonitrile; 2-propenitrile; Vinyl cyanide; Cyanoethylene; Acritet; Fumigrain; Ventox
C3H3N
4
107-02-8
Akrolein
Acrolein; 2-propenal; Acrilic aldehide; Acrylaldehyde; Acraldelhyde; Aqualin
C3H4O
5
107-18-6
Alil Alkohol
Allyl alcohol; 2-propen-1-ol; 1-propenol3; Vinyl carbinol.
C3H6O
6
‘7446-70-0
Aluminium chloride
Hexahydrate; Aluwets; Ahydrol; Drictor
7
7664-41-7
Amoniak
Ammonia
8
62-53-3
Anilin
Anilene; Benzanamine; Aniline oil; Phenylamine; Aminobenzene; Aminophen; Tyanol
AlCl3 NH3 C6H7N
9
‘7440-37-1
Argon
-
10
1327-53-3
Arsen (III) Oksida
Arsenous oxide; Arsenous acid; Arsenous acid anhydrid; Arsenous oxide, Arsenic sesquioxide white arsenic
As2O3
Ar
11
7784-34-1
Arsen Triklorida
Arsenic Trichloride; Butter of arsenic; Fuming liquid Arsenic.
AsCl3
12
7784-42-1
Arsin
Arsine; Arsenic tryhydride; Hydrogen arsenide
AsH3
13
79-10-7
Asam Akrilat
Acrylic acid; 2-propenic acid vinylformic
14
64-19-7
Asam Asetat
Acetic acid; Aci-Jel
C3H4O2 CH3COOH
15
64-18-6
Asam Formiat
Formic acid; Ameisensaure
CH2O2
16
7664-38-2
Asam Posfat
Phosphoric acid; Orthophosphoric acid
H3PO4
17
7647-01-0
Asam Klorida
Hydrochloric acid; Hydrogen cloride; Anhidrous hydrocloric acid
18
79-11-8
Asam Kloroasetat
Chloroacetic Acid; Chloroethanoic acid; Monochloroacetic acid; MCA.
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
19
144-62-7
Asam Oksalat
Oxalic acid; Ethanedioic acid
C2H2O4
20
79-21-0
Asam Perasetat
Pereatic acid; Ethaneperoxide bacid; peroxy acetic acid; Acetyl hydroperoxide
C2H4O3
21
7601-90-3
Asam Perklorat
Perchloric Acid.
22
88-89-1
Asam pikrat
Picric Acid; 2,4,6-trinitrophenol; Pieronitric
Nama Bahan Kimia
Sinonim/ Nama Dagang
263
147
HCl C2H3ClO2
Rumus Molekul
HClO4 C6H3N3O7
acid; Carbazotic acid; nitroxanthic acid. 23
74-90-8
Asam Sianida
Hydrogen cyanide; Hydrocyanic acid; Blausaure; Prussic acid
24
HCN
7664-93-9
Asam Sulfat
Sulfuric Acid; Oil of Vitriol
H2SO4
25
100-21-0
Asam Teraftalik
Teraphtalic acid; 1,4benzenedicarboxyclic acid; p-pthalic acid, Tepthol
C8H6O4
26
-
Asbestos
Amianthus; Chrysolite
27
74-86-2
Asetilen
Acetylene; Ethyne; Ethine
28
75-05-8
Asetonitril
Acetonitrile; Methyl cynide; Cyanomethane; Ethane nitrite
29
7446-09-5
Belerang dioksida
Sulphure dioxide; Sulfurous anhydride; Sulfurous oxide
SO2
30
100-44-7
Bensil Klorida
Benzil chloride; (chloromethyl)benzene; Alpha-chlorotoluena
C7H7Cl
31
71-43-2
Benzena
Benzene; Benzol; Cyclo hexatriene
C6H6
32
7637-07-02
Boron Trifluorida
Boron Trifluoride -
BF3
33
7726-95-6
Brom
Bromine
Br2
{Mg6(Si4O10)(OH)8} C2H2 C2H3N
34
106-97-8
Butana
n-butane
C4H10
35
19287-45-7
Diboran
Diborane; Boroethane; Diboronhexahydride
B2H6
36
111-42-2
Dietanolamine
Diethanolamine; 2,2-iminobisethanol; diethylolamine; bis(hydroxyethyl)amine
C4H11N
37
60-29-7
Dietil Eter
Diethyl ether; 1,1-oxybisethane; Ethoxyethane; Ether; Dietyl ether; Ethyle oxide; Sulfuric ether; Anesthetic ether
C4H10O
38
109-89-7
Dietilamina
Diethylamine; N-ethylethanamine
C4H11N
39
111-46-6
Dietilena Glikol
Dethylene glycol; Beryllium diethyl.
C4H10N
40
68-12-2
Dimetil Fornamida
Dimethyl Fornamide; DMF; DMFA.
C3H7NO
41
77-78-1
Dimetil Sulfat
Dimethyl sulphate; Sulfuric acid dimethyl ester; DMS
C2H6O4S
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
Sinonim/ Nama Dagang
Rumus Molekul
42
505-22-6
Dioksana
Dioxane
43
74-84-0
Etana
Dimethyl; Methyl methane; Ethyl hidride
44
141-43-5
Atanolamine
2-aminoethanol
C2H7NO
45
140-88-5
Etil Akrilat
Athyl acrylate; 2-propenoic acid ethyl ester; acrylic acid ethyl ester
C5H8O2
46
64-17-5
Etil Alcohol
Ethanol; Absolute alcohol; Anhydrous alcohol; Dehydrated alcohol; Ethyl hydrate; Ethyl hydroxide
C2H6O
47
75-00-3
Etil Klorida
Ethyl chloride; Chloroethane; Monochloroethane; chlorethyl; Aethylis chloridum; Ether chloradus; Etherhydrochloric; Ether muriatic; Kelene; Chelen; Anodynon; Chlory anesthetic; Narcotile
C2H5Cl
48
107-15-3
Etilena Diamina
Ethylene Diamine; 1,2-ethanediamine;
C2H8N2
Nama Bahan Kimia
264
148
C4H8O2 C2H4
1,2-diaminoethane. 49
107-21-1
Etilen Glikol
Ethylene glycol; 1,2-etahnediol
C2H6O2
50
75-21-8
Etilen Oksida
Ethylene oxide; Oxirane; Anprolene
C2H4O
51
74-85-1
Etilena
Ethylene; Ethane; Elayl; Olefiant gas
52
108-95-2
Fenol
Phenol; Carbolic acid; Phenic acid; Phenilic acid; Phenyl hidroxide; Hidroxybenzene; Oxybenzene
C2H4
53
50-00-0
Formaldehida
Formaldehyde; Oxomethane; oxymethylene; Methylene oxide; Formic aldehyde; Methyl aldehyde
CH2O
54
50-00-0
Formalin (larutan)
Formaldehyde Solution; Formalin, Formol, Morbicid; Veracur
CH2O
55
75-44-5
Fosgen
Phosgene; Carbonic dichloride; Carbonyl chloride; Chloroformyl chloride
CCl2O
56
85-44-9
Ftalik Anhidrida
Pthalic anhydride; 1,3isobenzofurandione
C8H4O3
57
98-01-1
Furfural
Furfural; 2-furancarboxyaldehide; 2furaldehide; Pyromuric aldehide; Artificial oil of ants; Fulfurol
C5H4O2
58
7782-41-4
Gas Fluor
Fluorine; F
59
56-81-5
Gliserol
Glyserol; 1,2,3-propanetriol; Glycerin; Trihydroxypropane; IFP; Opthalgan
60
111-30-8
Glutaraldehyde
Pentanediol
C5H8O2
61
100-97-0
Heksametilenatetramina
Hexamethylenetetramine; 2-methyl-1,3butadiene
C6H12N4
62
110-54-3
Heksana
Hexane -
C6H14 H4N2
C6H5OH
F2 C3H8O3
63
302-01-2
Hidrasin
Hydrazine; Hidrazine anhydrous
64
1333-74-0
Hidrogen
Hydrogen; Protium
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
65
7664-39-3
Hidrogen Flourida
Hydrogen Fluoro acid; Fluohydric acid
HF
66
7722-84-1
Hidrogen Peroksida
Hydrogen peroxide; Hydrogen dioxide; Hydroperoxide; Hioxyl
H2O2
67
7783-07-5
Hidrogen Selenida
Hydrogen Selenide; Selenium hydride.
H2Se
58
7783-06-4
Hidrogen Sulfida
Hydrogen sulphide; Sulfurated hydrogen; Hydrosulfuric acid
H2S
69
123-31-9
Hidrokwinon
Hydroquinone; 1,4-benzodiol; pdihydroxybenzene; Quinol; Aida; Black and white bleaching cream; Eldoquine; Eldopaque; Quinnone; Techquinol.
70
540-84-1
Isooktana
Iso octane; 2,2,4-trimethylpentane; Isobutyl trimethyl methane
C8H18
71
78-79-5
Isoprena
Methanamine; HMT; HMTA; Hexamine; 1,3,5,7-tetraazaadamantane; Aminororn; Ammoform; Cystamin; Cytogen; Formin; Uritore; Urotropin
C5H8
72
67-63-0
Isopropil alcohol
2-propanol
73
-
Nama Bahan Kimia
Sinonim/ Nama Dagang
Kalium Almuminium Sulfat -
265
149
H2 Rumus Molekul
C6H6O2
C3H8O KAl(SO4)2
74
1310-58-3
Kalium hidroksida
Potash
KOH
75
151-50-8
Kalium sianida
-
KCN
76
124-38-9
Karbon dioxida
Carbonic acid gas
CO2
77
75-15-0
Karbon disulfida
Carbon disulfide; Carbon bisulfide; Dithio carbonic anhydride
CS2
78
7440-44-0
Karbon hitam
Amorphous
79
630-08-0
Karbonmonoksida
Carbon monoxide
80
7782-50-5
Klor
Chlorine
81
67-66-3
Kloroform
Chloroform; Trichloromethane.
C CO Cl2 CHCl3
82
123-73-9
Kroton Aldehida
Croton Aldehyde.
83
106-42-3
Ksilena
Xylene; Dimethylbenzene; Xylol
84
108-78-1
Melamina
Melamine; 1,3,5-triazine; 2,4,6-triamine; 2,4,6-triamino-s-triazine; Cyanurotriamide.
C3H6N6
85
7487-97
Merkuri klorida
Mercuric Choride; Mercury bichloride; Corrosive sublimate; Mercury perchloride; Corrosive mercury chloride
HgCl2
86
21908-53-2
Merkuri Oksida
Mercuric oxide
HgO
87
74-82-8
Methane
-
CH4
88
67-56-1
Metanol
Methylalcohol; Carbinol; Wood spirit; Wood alcohol
CH3OH
89
96-33-3
Metil Akrilat
Methyl acrilate; 2-propenoic acid methyl ester; acrylic acid methyl ester
C4H6O2
90
78-93-3
Metil Etil Keton
Methyl ethyl ketone; 2-butanone; Ethylmethyl ketone; MEK; 2-oxobutane
C4H8O
91
624-83-9
Metil Iso Sianat
Methyl isocyanate; Isocyanatomethane; Isocyanic acid methyl ester; MIC
CH3-NCO
92
74-93-1
Metil Merkaptan
Methanethiol; Mercaptomethane; Thiomethyl alcohol; Methyl sufhydrate
93
75-09-2
Metilen Klorida
Dichloromethane; Methylene dichloride; Methylene bichloride.
CH2CL2
94
108-10-1
Metilisobutilketon
Isopropylacetone; 4 methyl-2-pentanone; Methyl isobutyl ketone; Hexone
C6H12O
95
141-43-5
Monoetanolamina
2-aminoethanol; monoethanolamine; beta-aminiethyl alcohol; 2hydroxyethylamine; Ethylolamine; Colamine
C2H7NO
96
26628-22-8
Natrium Asida
Sodium Azide; Smite
97
1330-43-4
Natrium borat kristal
Sodium biborate; Sodium pyro borat; Sodium tetra borat
Na2B4O7
98
1310-73-2
Natrium Hidroksida
Sodium hydroxide; Caustic soda; Soda lye, Sodium hydrate
NaOH
99
7681-52-9
Natrium Hipoklorit
Sodium Hypochlorite -
NaOCl
100
7775-11-3
Natrium Kromat
Sodium chromate(VI); Neutral sodium chromate
101
142-82-5
n-Heptana
n-Heptane -
102
13463-39-3
Nikel Karbonil
Nickel carbonyl; Nikel tetracarbonyl
Ni(CO)4
103
54-11-5
Nikotin
Nicotine; Nicorette
C10H14N2
266
150
C4H6O C5H4(CH3)2
CH4S
NaN3
Na2CrO4 C7H16
98-95-3
105
7727-37-9
106
10102-44-0
Nitrogen Dioksida
Nitrogen dioxide
107
71-23-8
n-Propil Alkohol
n-propyl alcohol; 1-propanol; Popylic alcohol; Optal
C3H8O
108
95-48-7
O-kresol
Cresol-O; 2-methylphenol; o-cresylic acid; o-hydroxytoluene; Tolanol; Barnard; Meyer.
C7H8O
109
95-53-4
O-toluidine
2-methylbenzamine; 2-aminotoluena; 2methylaniline
C7H9N
110
10028-15-6
Ozon
Ozone; Triatomic oxygen
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
111
106-46-7
p-Diklorobenzena
Paracide; PDB; Paradichlorobenzene; Para-zene; Di chloricide; Paramoth
C6H4Cl2
112
87-86-5
Pentaklorofenol
Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20
C6HCl5O
113
109-66-0
Pentana
n-pentana
C5H12
114
7761-88-8
Perak nitrat
-
AgNO3
C5H5N
115
Nitrobenzena
Mitrobenzol; Essence of mirbane; Oil of mirbane
Nitrogen
Nitrogen
C6H5NO2
104
Nama Bahan Kimia
N2
Sinonim/ Nama Dagang
NO2
O3 Rumus Molekul
Petroleum eter
116
110-86-1
Piridin
Pyridine -
117
1314-56-3
Posfor Pentaoksida
Phosphorouspentaoxide; Phosphoric anhydride; Disphosphorous pentoxide
P2O5
118
7719-12-2
Posfor Triklorida
Phosphorous trichloride; Phosphoric chloride
PCl3
119
74-98-6
Propana
n-propana
C3H8
120
75-56-9
Propilen Oksida
Propylene Oxide; Methyl oxirane; Propene oxide.
C3H6O
121
108-46-3
Resorsinol
1,3-benzenediol; m-dihydroxybenzene; Resorcin
C6H6O2
122
7646-85-7
Seng Klorida
Zinc Chloride; Butter zinc.
123
110-82-7
Sikloheksana
Cyclohexane; Hexahydrobenzene; Hexamethylene; Hexanapthene
124
108-94-1
Sikloheksanon
Cyclohexanone; Ketohexamethylene; Pimelic ketone; Hytrol; Hytrol O; Anone; Nadone
C6H12
ZnCl2 C6H10O
125
109-99-1
Tetrahidrofuran
Diethylene oxide; Tetra methylene oxide
C4H8O
126
127-18-4
Tetrakloroetilena
Tetrachloroethane; Perchloroethylene; Ethylene tetrachloride; Tetra chloro ethylene; Nema; Tetracap; Tetropil; Perclene; Ankilostin; Didakene
C2Cl4
127
7439-92-1
Timbal (timah hitam)
Lead.
128
1309-60-6
Timbal dioksida
Lead dioxide; Lead oxide brown; Lead peroxide; Lead superoxide
PbO2
129
78-00-2
Timbal Tetraetil
Tetraethyl Lead; Tetraethylplumbune; Lead tetraethyl, TEL
C8H20PB
130
108-88-3
Toluena
Methylbenzene; Totuol; Phenylmethane; Methacida
C6H5CH3
267
151
Pb
131
584-84-9
Toluena-2,4-diisosianat
Toluene-2,4-diisocyanate; 2,4diisocyanatoluena; 2,4-tolylena diisocyanate; TDT; Nacconate 100.
C9H6N2O2
132
118-96-7
Trinitrotoluena
TNT; Alpha-trinitrotoluol; symtrynitrotoluene; 1-methyl-2,4,6trinitrobenzene; Trotyl; Tolit; Trilit
C7H5N3O6
133
1314-62-1
Vanadium Pentoksida
Vanadium Pentoxide; Vanadic anhydride.
V2O5
134
108-05-4
Vinil Asetat
Acetic acid ethenyl ester; acetic acid vinyl ester
C4H6O2
135
-
HCFC – 21
Dichlorofluoromethane
CHFCl2
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
136
-
HCFC – 22
*)
Chlorodifluoromethane
CHF2Cl
137
-
HCFC – 31
*)
Chlorofluoromethane
CH2FCl
138
-
HCFC – 121 *)
Tetrachlorofluoroethane
C2HFCl4
139
-
HCFC – 122 *)
Trichlorodifluoroethane
C2HF2Cl3
*)
Nama Bahan Kimia
Sinonim/ Nama Dagang
Rumus Molekul
140
-
HCFC – 123
*)
Dichlotrifluoroethane
C2HF3Cl2
141
-
HCFC – 123 **
*)
Dichlotrifluoroethane
CHCl2CF3
142
-
HCFC – 124
*)
Chlorotetrafluoroethane
C2HF4Cl
143
-
HCFC – 124**
*)
Chlorotetrafluoroethane
CHFClCF3
144
-
HCFC – 131
*)
Trichlorofluoroethane
C2H2FCl3
145
-
HCFC – 132
*)
Dichlorodifluoroethane
C2H2F2Cl2
146
-
HCFC – 133
*)
Chlorotrifluoroethane
C2H2F3Cl
147
-
HCFC – 141
*)
Dichlorofluoroethane
C2H3FCl2
148
-
HCFC – 141b** *)
Dichlorofluoroethane
CH3CFCl2
149
-
HCFC – 142
*)
Chlorodiluoroethane
C2H3F2Cl
150
-
HCFC – 142b** *)
Chlorodiluoroethane
CH3CF2Cl
151
-
HCFC – 151
*)
Chlorofluoroethane
C2H4FCl
152
-
HCFC – 221
*)
Hexachlorofluoropropane
C3HFCl6
153
-
HCFC – 222
*)
Pentachlorodifluoropropane
C3HF2Cl5
154
-
HCFC – 223
*)
Tetrachlorotrifluoropropane
C3HF3Cl4
155
-
HCFC – 224
*)
Trichlorotetrafluoropropane
C3HF4Cl3
156
-
HCFC – 225
*)
Dichloropentafluoropropane
C3HF5Cl2
157
-
HCFC – 225ca**
*)
Dichloropentafluoropropane
CF3CF2CHCl2
158
-
HCFC – 225cb**
*)
Dichloropentafluoropropane
CF2ClCF2CHClF
159
-
HCFC – 226
160
-
HCFC – 231
*)
Pentachlorofluoropropane
C3H2FCl5
161
-
HCFC – 232
*)
Tetrachlorodifluoropropane
C3H2F2Cl4
162
-
HCFC – 233
*)
Trichlorotrifluoropropane
C3H2F3Cl3
163
-
HCFC – 234
*)
Dichlorotetraflouropropane
C3H2F4Cl2
164
-
HCFC – 235
*)
Chloropentaflouropropane
C3H2F5Cl
165
-
HCFC – 241
*)
Tetrachlorofluoropropane
C3H3FCl4
166
-
HCFC – 242
*)
Trichlorodifluoropropane
C3H3F2Cl3
167
-
HCFC – 243
*)
Dichlorotrifluoropropane
C3H3F3Cl2
*)
Chlorohexafluoropropane
268
152
C3HF6Cl
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
168
-
HCFC – 244
*)
Chlorotetrafluoropropane
C3H3F4Cl
169
-
HCFC – 251
*)
Trichlorofluoropropane
C3H4FCl3
170
-
HCFC – 252
*)
Dichlorodifluoropropane
C3H4F2Cl2
171
-
HCFC – 253
*)
Chlorotrifluoropropane
C3H4F3Cl
172
-
HCFC – 261
*)
Dichlorofluoropropane
C3H5FCl2
Nama Bahan Kimia
Sinonim/ Nama Dagang
Rumus Molekul
173
-
HCFC – 262
*)
Chlorodifluoropropane
C3H5F2Cl
174
-
HCFC – 271
*)
Chlorofluoropropane
C3H6FCl
175
-
CHFBr2
*)
176
-
CHF2Br - HBFC – 22B1 *)
Bromodifluoromethane
177
-
CH2FBr
Bromofluoromethane
178
-
C2HFBr4
*)
Tetrabromofluoroethane
179
-
C2HF2Br3
*)
Tribromodifluoroethane
180
-
C2HF3Br2
*)
Dibromotrifluoroethane
181
-
C2HF4Br
182
-
C2H2FBr3
*)
Tribromofluoroethane
183
-
C2H2F2Br2
*)
Dibromodifluoroethane
184
-
C2H2F3Br
185
-
C2H3FBr2
186
-
C2H3F2Br
*)
Bromodifluoroethane
187
-
C2H4FBr
*)
Bromofluoroethane
188
-
C3HFBr6
*)
Hexabromofluoropropane
189
-
C3HF2Br5
*)
Pentabromodifluoropropane
190
-
C3HF3Br4
*)
Tetrabromotrifluoropropane
191
-
C3HF4Br3
*)
Tribromotetrafluoropropane
192
-
C3HF5Br2
*)
Dibromopentafluoropropane
193
-
C3HF6Br
194
-
C3H2FBr5
195
-
C3H2F2Br
*)
Tetrabromodifluoropropane
196
-
C3H2F3Br
*)
Tribromotrifluoropropane
*)
Dicbromotetrafluoropropane
197
*)
*)
*) *)
*) *)
Dibromofluoromethane
Bromotetrafluoroethane
Bromotrifluoroethane Dibromofluoroethane
Bromohexafluoropropane Pentabromofluoropropane
-
C3H2F4Br
198
-
C3H2F5Br
No
No. Reg. Chemical Abstract Service
199
-
C3H3FBr4
*)
Tetrabromofluoropropane
200
-
C3H3F2Br3
*)
Tribromodifluoropropane
201
-
C3H3F3Br2
*)
Dibromotrifluoropropane
202
-
C3H3F4Br
203
-
C3H4FBr3
204
-
C3H4F2Br
*)
Bromopentafluoropropane
Nama Bahan Kimia
*) *) *)
Sinonim/ Nama Dagang
Bromotetrafluoropropane Tribromofluoropropane Dibromodifluoropropane
269
153
Rumus Molekul
205
-
C3H4F3Br
206
-
C3H5FBr2
207
-
C3H5F2Br
*) *) *)
Bromotrifluoropropane Dibromofluoropropane Bromodifluoropropane
208
-
C3H6FBr
*)
Bromofluoropropane
209
-
CH2BrCl
*)
Bromochloromethane
Catatan : *) adalah B3 dengan batas waktu yang boleh dipergunakan sampai dengan tahun 2040
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lambock V. Nahattands
270
154
LAMPIRAN II PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 74 TAHUN 2001 TANGGAL : 26 November 2001 TABEL 1. Daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dilarang dipergunakan No
No. Reg. Cmenical Abstract Serv.
Rumus
Nama Bahan Kimia
Molekul
Sinonim/Nama Dagang
1
309-00-2
Aldrin
HHDN
C12H8Cl6
2
57-74-9
Chlordane
CD68; Velsicol 1068; Toxichlor; Niran; Octachlor; Orthoclor; Synclor; Belt; Corodane.
C10H6Cl8
3
50-29-3
DDT
Dichlorodiphenyltrichloroethane; D-58; Chlorophenothane; Clofenotane; Dicophane; pentachlorin; p,p-DDT; Agritan; Gesapon; Gesarex; Gesarol; Guesapon; Neocid.
C14H9Cl5
4
60-57-1
Dieldrin
Compound 497; ENT 16225; HEOD; Insectiside No.497; Octalox
C12H8Cl6O
5
72-20-8
Endrin
Compound 269; ENT 17251; Mendrin; Nendrin; Hexadrin
C12H8Cl6O
6
76-44-8
Heptachlor
E3314, Velsicol 104; Drinox; Heptamul
7
2385-85-5
Mirex
C6-1283; ENT 25719; Dechlorane; Hexachloropentadienedimer
C10Cl12
8
8001-35-2
Toxaphene
Hercules 3956; Polychlorocamphene; Clorinatedcamphene; Campheclor; Altox; Geniphene; Motox, Penphene; Phenacide; Phenatox; Strobane-T; Toxakil.
C10H10Cl8
9
118-74-1
Hexachlorobenzene
Polychlorobenzene; Anticarie; Bunt-cure; Bunt-no-more; Julins Carbon Chloride
C6Cl6
10
1336-36-3
PCBs
Polychlorinated Biphenyls; Chlorobiphenyls; Aroclor; Clophen; Fenclor; Kenachlor; Phenochlor; Pyralene; Santotherm.
C12X
C10H5Cl7
X=H or Cl
TABEL 2. Daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang terbatas dipergunakan
No
No. Reg. Cmenical Abstract Serv.
Nama Bahan Kimia
Sinonim/Nama Dagang
Rumus Molekul
1
93-76-5
2,4,5-T
Esterone 245; Trioxone; Weedone.
C8H5Cl3O3
2
2425-06-1
Captafol
Difolatan
C10H9Cl4NO2S
3
6164-98-3
Chlordimeform (CDM)
CDM; Ciba-8514; Schering 36,268; Spanon; Fundal; Gulecton; Chlorophenamidine
C10H13ClN2
4
510-15-6
Chlorobenzilate
Compound 338; G23922; Acaraben; Akar; Folbex; Ethyl 4,4-dichloro benzilate; Ethyl 2-hydroxy2,2bis (4-chlorophenil)acetate.
C16H14Cl2O3
5
88-85-7
Dinoseb dan garam-garam dinoseb (DNBP)
DNBP; ENT 1122; WX-8365; Chemax PE; Dow General; Premerge; Subitex; Caldon; Basanite
C10H12N2O5
6
106-93-4
Ethylene Dibromida (EDB)
EDB, Dowfume WW.85; 1,2-dibromoethane; ethyleenebromide; sym-dibromoethane;
C2H4Br2
7
640-19-7
Fluoroacetamide
1081; Fluoroacetic acid amide; Monofluoroacetamide; Fussol; Fluorakil 100;
C2H4FNO
8
608-73-1
Hexachlorocyclohexane (HCH) dan campuran isomernya
ENT 7796; Gama-HCH; Gama-BHC; Gamahexachlor; Aparasin; Aphtirin; Esodern; Gammalin; Gamane; Ganniso; Gammaxene; Gexane; Jacutin; K-well Lindafoa; Lindatox; Laroxane; Quellada; Streunex; Tri-6; Vitou.
C6H6Cl6
9
58-89-9
Lindane
C6H6Cl6
155
No
Nama Bahan Kimia
No. Reg. Cmenical Abstract Serv.
10
Sinonim/Nama Dagang
Rumus Molekul
Senyawa merkuri termasuk: 1. Anorganik merkuri 2. Alkyl merkuri 3. Alkyloxyalkyl merkuri 4. Aryl merkuri
11
87-86-5
Pentachlorophenol
PCP; Ponta; Penchloroe; Santhophene 20.
C6HCl5O
12
6923-22-4
Monocrotophos (terlarut dalam formulasi melebihi 600 gr active ingredient/liter
5D9129; ENT 27129; Monocron; Azodrin; Nuracron.
C7H14NO5P
13
10265-92-6
Methamidophos (terlarut dalam formulasi melebihi 600 gr active ingredient/liter)
Bayer; ENT 27396; Otrho 9006; SRA 5172; Monitor; Tamaron
C2H8NO2PS
14
13171-21-6
Phosphamidon (terlarut dalam formulasi melebihi 1000 gr active ingredient/liter)
Ciba 570; ENT 25515; Dimecron
C10H19ClNO5P
15
298-00-0
Methyl-parathion (Emulsi dengan kandungan 19,5%, 40%, 50%, 60% active ingredient. Debu dengan kandungan 1,5%, 2%, 3% active ingredient)
E 601; ENT 17292; Dalf(Obsolute) Dimethyl parathion; parathion-methyl; Metron Penncap M; Metron; Folidol-M; Metacide Metaphos; Nitrox 80.
C8H10NO5PS
16
56-38-2
Parathion (seluruh formulasi : aerosol, dustable powder (DP), emulsifiable concentrate (EC), granular (GR) dan wettable powder (WP) kecuali capsule suspension (CS)
DNTP; 5NP; E-605; AC 3422; ENT 15108; Alkron; Alleron; Aphamile; Diethyl-p-nitrophenylmonothio phosphate; Etilon; Folidol; Fosferone; Niran; Raraphos; Rhodiatox; Thiphos
C10H14NO5PS
17
12001-28-4
Crocidolite
18
36355-01-8 (hexa- ) 27858-07-7 (octa- ) 13654-09-6 (deca- )
Polybrominated biphenyls (PBBs)
19
61788-33-8
Polychlorinated terphenyls (PCTs)
Chlorinated biphenyls; Chlorobiphenyls; Aroclor; Chlopen; Fenclor; Keneclor; Phenoclor; Pyrulene; Santotherm
20
126-72-7
Tris-BP
Tris(2,3-dibromopropyl) phosphate; Apex 462-5; Flammex AP; Flammex T 23P; Firemaster LVT23P; Firemaster T 23P; T 23P, Fyrol HB-32
C9H15Br6O4P
21
7439-97-6
Mercury/Air Raksa
Liquid Silver; Hydrargyrum; Liquid silver; Quicksliver
Hg
22
107-06-2
Ethylene Dichloride
1.2-dichloroethane; Sym-dichloroethane; Ethylene cloride; EDC; Dutch liquid; Brocide
C2H4Cl2
23
75-21-8
Ethylene Oxide
Oxirane; Orixane, Anprolene
C2H4O
24
56-23-5
CCL4 (Karbon Tetraklorida)
Tetrachloromethane; Perchloromethane; Necatorina; Bezinoform
CCl4
25
71-55-6
TCA (1,1,1 Trikhloroethane)
Methylchloroform; Chorothene
C2H3Cl3
26
75-69-4
CFC-11
Trichloromonofluoromethane; Fluorotrichloromethane; Freon 11; frigen 11; Areton 11
CCl3F
Brominated biphenyls; polybromobiphenyls
C12X X = H or Br
156
No
Nama Bahan Kimia
No. Reg. Cmenical Abstract Serv.
27
75-71-8
28
Sinonim/Nama Dagang
Rumus Molekul
CFC-12
Dichlorodifluoromethane; Areton 12; Freon 12; Frigen 12; Genetron 12; Halon; Isotron 2
CCl2F2
-
CFC-113
Trichlorotrifluoroethane
C2Cl3F
29
-
CFC-114
Dichlorotetrafluoroethane; Cryfluorane; Freon 114r; Frigen 114; Areton 114
C2Cl2F4
30
-
CFC-115
Chloropentafluoroethane
C2ClF5
31
-
CFC-13
Chlorotrifluoromethane
CClF3
32
-
CFC-112
Tetrachlorodifluoroethane
C2Cl4F2
33
-
CFC-111
Pentachlorofluoroethane
C2Cl5F
34
-
CFC-217
Chloroheptafluoropropane
C3Cl7F
35
-
CFC-216
Dichloroheksafluoropropane
C3Cl2F6
36
-
CFC-215
Trichloropentafluoropropane
C3Cl3F5
37
-
CFC-214
Tetrachlorotetrafluoropropane
C3Cl4F4
38
-
CFC-213
Pentachlorotifluoropropane
C3Cl5F3
39
-
CFC-212
Heksakchlorodifluoropopane
C3Cl6F2
40
-
CFC-211
Heptachlorofluoropropane
C3Cl7F
41
-
Halon-1211
Bromochlorodifluoromethane
CBrClF2
42
-
Halon-1301
Bromotrifluoromethane
CBrF3
43
-
Halon-2402
Dibromotetrafluoroethane
C2Rbr2F4
44
-
R-502 (Campuran mengandung turunan perhalogenasi dari HC Asiklik mengandung dua atau lebih halogen berbeda :
Bromomethane; Monobromomethane; Embafume
CH3Br
45
74-83-9
-
Mengandung HC, Asiklik perhalogenasi hanya fluor dan Khlor
-
Mengandung R-115/ HCFC-22 (Chlorodifluoro ethane)
Metil Bromida
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lambock V. Nahattands
157
!"#$&!'
* $&<=& ?!>?] #\&]x&!&]&! ]>!>?&! &x&\ | &~&> &x&\ || &~&> ^&! &x&\ |} &~&> | !^&!'!^&!' _#_Q|&!>!>&!'>&!&![Q\?#!>&[]&! Q&>?Q&! #Q"!>&< >!>&!' <&$"\">&x" ^&! ]\&x" ?>&!
!'"!'&>
* + &x&\ } &~&> !^&!'!^&!' &x&Q '&Q& [?$\"] !^_!x"&&!|}
+ !^&!'!^&!' _#_Q | &! >!>&!' >&!&! #$&Q&! '&Q& [?$\"] !^_!x"& &! _#_Q $&<&! #$&Q&! '&Q& [?$\"] !^_!x"&_#_Qx$&'&"#&!&>\&<^"?$&<^!'&! !^&!'!^&!'_#_Q&!|>!>&!'!>&[&! Q&>?Q&!#Q"!>&<!''&!>"!^&!'!^&!'_#_Q &! | >!>&!' Q?$&<&! >&x !^&!'!^&!' _#_Q | &! >!>&!' >&!&! #!@&^" !^&!'!^&!' #$&Q&! '&Q& [?$\"] !^_!x"& &! | _#_Q $&<&! #$&Q&! '&Q& [?$\"]!^_!x"&_#_Q|| *
!>&[]&! * + +++
158
&x&\ &\[Q&>?Q&![#Q"!>&<"!"~&!'^"#&]x?^^!'&!* + <&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! &^&\&< ?[&~& ?!>?] ##?\"<]&!##[Q>&<&!]&!^&!#!"!']&>]&!?!'x" >&! ^&! \&<&! x<"!''& ^&~& ^?]?!' [Q_^?]>"">&x ^&! [Q&!&!!~& ^&\ #!^?]?!' x"x># [!~&!''& ]<"^?[&!>>&[>Q@&'&+ +
]\&x" >&! &^&\&< ?x&<& ?!>?] ##[Q$&"]" &>&? ##?\"<]&! ]#$&\" \&<&! ^&! '>&x" >&! ~&!' Q?x&]&'&Q^&[&>$Q?!'x"x{&Q&_[>"#&\xx?&"^!'&! [Q?!>?]&!!~&+
+
'>&x" &^&\&< ?x&<& ?!>?] ##[Q$&"]" ^&! ##?\"<]&! '>&x" ~&!' Q?x&] #\&\?" ]'"&>&! [!&!&! ^&! [#\"<&Q&&! [&^& \&<&! $]&x [!''?!&&!]&=&x&!>&!+
|+
&Q&< \"Q&! ?!'&" ~&!' x\&!@?>!~& ^"x"!']&> &^&\&< x?&>? ="\&~&< ^&Q&>&! ~&!' #Q?[&]&! x&>? ]x&>?&! ^!'&! x?!'&" ^&! &!&] x?!'&"!~& ~&!' $Q?!'x" #![?!' #!~"#[&! ^&! #!'&\"Q]&! &"Q ~&!' $Q&x&\ ^&Q" {?Q&< @&! ] ^&!&? &>&? ] \&?> x{&Q& &\" ~&!' $&>&x ^" ^&Q&> #Q?[&]&! [#"x&< >_[_'Q&"x ^&! $&>&x ^" \&?> x[&" ^!'&! ^&Q&< [Q&"Q&!~&!'#&x"<>Q[!'&Q?<&]>"">&x^&Q&>&!+
}+
!'\_\&&!&^&\&<?[&~&#&!?x"&^&\#!'&>?Q $?!'&! >"#$&\ $&\"] &!>&Q& x?#$Q^&~& &\ ^!'&! #&!?x"& ^" ^&\ ^&! x'&\& &]>"">&x!~& &'&Q >Q=?@?^ ]\x>&Q"&! ^&! ]xQ&x"&! ]_x"x># xQ>& #!"!']&>!~& ]#&!&&>&! x?#$Q^&~& &\ $&'" #&!?x"&x{&Q&$Q]\&!@?>&!+
+
?>&! ^&! \&<&! ]Q">"x &^&\&< >&! ^&! \&<&! ~&!' $Q&^& ^" ^&\ ^&! ^" \?&Q ]&=&x&! >&! ~&!' x?^&< >"^&] $Q?!'x" \&'" x$&'&" #^"& [!'&>?Q >&>& &"Q ^&! ?!x?Q [Q_^?]>"">&x \&<&! x<"!''& #!~$&$]&! >Q'&!''?!~&]x"#$&!'&!]_x"x>#+
+&=&x&!+++
159
+
&=&x&! >&! &^&\&< ="\&~&< >Q>!>? ~&!' ^">?!@?] ^&!&>&? ~&!' ^">>&[]&! _\< #Q"!>&< ?!>?] ^"[Q>&<&!]&!]$Q&^&&!!~&x$&'&">&!>>&[+
+
$_"x&x" &^&\&< ?[&~& [!&!&! @!"x [_<_! >&! [&^& ]&=&x&! >&! Q?x&] ~&!' $Q?[& \&<&! ]_x_!' &\&!'&\&!' &>&? x#&] $\?]&Q ?!>?] #!'#$&\"]&! ?!'x">&!+
+
!'<"@&?&!&^&\&<?[&~&[#?\"<&!\&<&!]Q">"x^"\?&Q ]&=&x&!>&!?!>?]#!'#$&\"]&!?!'x"\&<&!+
+ !'&~&&! >&!&! &^&\&< ]'"&>&! ##[Q$&!~&] ]Q&'&! ^!'&! {&Q& [#&!&&>&! Q?&!' >?#$?< x{&Q&_[>"#&\#\&\?"[!&!&![_<_!+ + #\"<&Q&&! >&! &^&\&< ]'"&>&! ?!>?] #!@&'& #!'&!]&! ^&! #!"!']&>]&! ]?&\">&x >&!&! <&x"\ ]'"&>&! Q$_"x&x" [!'<"@&?&! @!"x >&!&! ^&! [!'&~&&!>&!&!+ + !''?!&&! ]&=&x&! >&! ?!>?] ][!>"!'&! [#$&!'?!&! ^" \?&Q ]'"&>&! ]>&!&! ~&!' x\&!@?>!~& ^"x$?> [!''?!&&! ]&=&x&! >&! &^&\&< [!''?!&&! ?!>?] >?@?&! x>Q&>'"x ~&!' >"^&] ^&[&> ^"\&]]&! &!>&Q& \&"! ]'"&>&! [Q>$&!'&! [#$&!'?!&! @&Q"!'&! \"x>Q"] >\[_! "!x>&\&x" &"Q ^&! ][!>"!'&! Q\"'" xQ>& ][!>"!'&! [Q>&<&!&! ]&!&!+ + #Q"!>&< ?x&> ~&!' x\&!@?>!~& ^"x$?> #Q"!>&< &^&\&< Qx"^! [?$\"] !^_!x"& ~&!' ##'&!' ]]?&x&&! [#Q"!>&<&! !'&Q& [?$\"] !^_!x"& x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ !^&!'!^&!' &x&Q '&Q& [?$\"]!^_!x"&&!|}+ |+ #Q"!>&< ^&Q&< &^&\&< '?$Q!?Q $?[&>"=&\"]_>& ^&! [Q&!']&> ^&Q&< x$&'&" ?!x?Q [!~\!''&Q& [#Q"!>&<&!^&Q&<+ }+ !>Q"&^&\&<#!>Q"~&!'^"xQ&<">?'&x^&!>&!''?!' @&=&$^"$"^&!']>&!&!+ + !>Q" >]!"x &^&\&< #!>Q" ~&!' ^"xQ&<" >?'&x ^&! >&!''?!' @&=&$ ^" $"^&!' !Q'" ^&! x?#$Q ^&~& #"!Q&\+ + !>Q" >Q]&"> &^&\&< #!>Q" ~&!' ^"xQ&<" >?'&x ^&! >&!''?!' @&=&$ ^" $"^&!' [Q>&!"&! \"!']?!'&! <"^?[ ^&!&>&?^&\!'Q"+ &x&\+++
160
| &x&\ <&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! #Q?[&]&! $&'"&! ^&Q" [!'\_\&&!>&!+ &x&\ !>?] #!~\!''&Q&]&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ^">>&[]&! [_\& ?#?# ]Q">Q"& ^&! x>&!^&Q Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x">&!+ &x&\|
_\&?#?#Q<&$"\">&x"^&!Q]\&x">&!x$&'&"#&!& ^"#&]x?^^&\&x&\##?&>* &+ [Q"!x"[ [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&!^&!
$+ [!^]&>&! [!~\!''&Q&&! Q]\&x">&!+
Q<&$"\">&x"
^&!
Q"!x"[ x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> "*
&+ x"x># [!'&!''&Q&! ~&!' $Q]x"!$?!'&! PXOWL \HDUV $+ ]@\&x&!]=!&!'&! {+ [#&<&!x"x>#>!?Q"&\ ^+ &!^"\$"&~&FRVWVKDULQJ + [!Q&[&!x"x>#"!x!>" + [#$Q^&~&&! #&x~&Q&]&> ]\#$&'&&! '+ [!^]&>&![&Q>"x"[&>"^&! <+ >Q&!x[&Q&!x"^&!&]?!>&$"\">&x+
^&!
]&[&x">&x
!^]&>&!+++
161
} !^]&>&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&>"&x[]* &+ [_\">"] $+ x_x"&\ {+ ]_!_#" ^+ ]_x"x>#^&! + ]\#$&'&&!^&!_Q'&!"x&x"+
&x&\} Q">Q"& ^&! x>&!^&Q Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\#\"[?>"&x[]* &+ ]&=&x&! $+ ]\#$&'&&!^&! {+ >]!_\_'"+ x[] ]&=&x&! #\"[?>" ][&x>"&! [!&!'&!&! ]&=&x&! ~&!' ^">!>?]&! #\&\?" &!&\"x"x [Q!{&!&&! $Q^&x&Q]&!]_x"x>#]@\&x&!x>&>?x[!'?&x&&! \&<&!^&!$Q^&x&Q]&!?!'x"]&=&x&!+ x[] ]\#$&'&&! #\"[?>" x?#$Q^&~& #&!?x"& ~&!' ]_#[>! _Q'&!"x&x" ~&!' ]>" #!?Q?> ]Q&!']& ]=!&!'&!#&x"!'#&x"!'^&!>&>&$?!'&!]Q@&+ | x[] >]!_\_'" #\"[?>" [!Q&[&! >]!_\_'" ~&!' ^">!>?]&! _\< ]xx?&"&! \&<&! &>&? >&[&] x>#[&> >"!']&> [&Q>"x"[&x" #&x~&Q&]&> ^&! [!~^"&&! "![?> ~&!'{?]?[+
&x&\ ]\&x" >&! x\&"! #!''?!&]&! ]Q">Q"& ^&! x>&!^&Q x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ } <&Q?x #!''?!&]&! ]Q">Q"&^&!x>&!^&Q* &+ ]&Q&]>Q"x>"]\_]&x"]'"&>&! $+ @!"x]'"&>&! {+ [!&>&&!\&<&! ^+ [!'!^&\"&!Q_x"^&!\"#$&< + Q'>&x"^&! + [!'#$&!'&!x_x"&\]_!_#"+ &x&\+++
162
&x&\
>!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [!~?x?!&! [_\& ?#?# ]Q">Q"& ^&! x>&!^&Q Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\x[&"^!'&!&x&\ ^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&'"&!x&>? #?#
&x&\
'"&>&! Q<&$"\">&x" ^&[&> ^"\&]?]&! ^" ^&\ ^&! ^" \?&Q]&=&x&!>&!+ '"&>&! Q<&$"\">&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! ^"\&]?]&! ^" x#?& >&! ^&! ]&=&x&! >&! ]{?&\" {&'&Q &\ ^&!_!&"!>">&!!&x"_!&\+ '"&>&!Q<&$"\">&x"^"\?&Q]&=&x&!>&!^"\&]?]&!^" x#?&\&<&!]Q">"x+ &x&\
\?Q?< >&! ]&=&x&! >&! ^&! \&<&! ]Q">"x x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &~&> ^&! &~&> $Q&^&^&\$$Q&[&="\&~&<+ '"&>&!Q<&$"\">&x"x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\ ^"\&]?]&! ^!'&! #!''?!&]&! x$&'&" ?!"> [!'\_\&&!+
x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> $Q^&x&Q]&! ="\&~&<~&!'^"[Q"_Q">&x]&!+ &x&\
~&!' ^"[Q"_Q">&x]&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &~&>^">>&[]&!_\<!>Q"$Q^&x&Q]&!]Q">Q"&[&\"!' x^"]">##?&>* &+ ]_!^"x"x[x""]$"_"x"] $+ x_x"&\]_!_#" {+ \&<&!]Q">"x[&^&$&'"&!\?^&! ^+ ="\&~&<>&!~&!'Q!>&![Q?$&<&!"]\"#+ [Q"_Q">&xx$&'&"#&!&^"#&]x?^&~&>[&^&^">>&[]&! _\<!>Q"x>\&<$Q]__Q^"!&x"^!'&!#!>Q">Q]&">+
&x&\+++
163
&x&\ <&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^"x\!''&Q&]&! #\&\?" >&<&[&!* &+ [Q!{&!&&!^&! $+ [\&]x&!&&!+ <&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"x\!''&Q&]&! $Q^&x&Q]&! [_\& ?#?# ]Q">Q"& ^&! x>&!^&Q Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\+ &'"&!^?& Q!{&!&&! &Q&'Q& #?# &x&\ Q!{&!&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^^&\&x&\&~&>Q^"Q"&>&x* &+ !{&!& ]!"] <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! &Q&< \"Q&!?!'&" ] $+ !{&!& !'\_\&&! <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! ^&! {+ !{&!& &!&! <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! ! + &Q&'Q& !{&!&]!"] <&$"\">&x"?>&! ^&! &<&!&Q&<\"Q&!?!'&"
&x&\
] x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ ?] x>"&[ ="\&~&< [!'\_\&&! ^"x?x?! ^&!^">>&[]&!_\<!>Q"+
] +++
164
] x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"x?x?!^!'&!#!'&{?[&^&* &+ Q!{&!&]>&!&!!&x"_!&\ $+ Q!{&!&>&>&Q?&!'^&! {+ Q!{&!& [!'\_\&&! >Q[&^? ^&! Q!{&!& [!'\_\&&!x?#$Q^&~&&"Q+ ] [&\"!'x^"]">##?&>* &+ Q!{&!&[#?\"<&!>&!^&!\&<&! $+ [!'!^&\"&!Q_x"^&!x^"#!>&x" {+ [!'#$&!'&!x?#$Q^&~&&"Q^&! ^+ ]\#$&'&&!+ | &\[!~?x?!&! ] x$&'&"#&!&^"#&]x?^ [&^& &~&> !>Q" ^&[&> $Q]__Q^"!&x" ^!'&! "!x>&!x">Q]&">+ } >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" >&>& {&Q& [!~?x?!&! ] ^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&Q&'Q& !{&!&!'\_\&&! <&$"\">&x"?>&!^&! &<&!
&x&\|
!{&!& !'\_\&&! <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\Q&>" {+ Q!{&!&[!'\_\&&!>&!^&! ^+ [_>!x"x?#$Q^&~&~&!'>Qx^"&&!>&Q&\&"!>!&'& x&Q&!&[Q&x&Q&!&^&![!^&!&&!+ !{&!& !'\_\&&! <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! >Q^"Q"&>&x* &+ !{&!& !'\_\&&! <&$"\">&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! ^&! $+ !{&!&!'\_\&&! <&$"\">&x"^"\&<&! +
&x&\}
x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> ##?&> ]$"@&]&! ^&! x>Q&>'" \_]&x" @!"x ]'"&>&! ]\#$&'&&! [#$"&~&&! ^&! >&>&=&]>?+ [&^&>&![Q_^?]x"^&!>&!\"!^?!'^">>&[]&! _\<$?[&>"=&\"]_>&+ [&^&>&!]_!xQ&x"^">>&[]&!_\<!>Q"+
|>!>?&!+++
165
| >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" >&>& {&Q& [!~?x?!&! ^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&x&\ x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> ##?&> ]$"@&]&! ^&! x>Q&>'" \_]&x" @!"x ]'"&>&! ]\#$&'&&! [#$"&~&&! ^&! >&>&=&]>?+ ^">>&[]&!_\<$?[&>"=&\"]_>&+ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" >&>& {&Q& [!~?x?!&! ^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+ &Q&'Q&| !{&!&&!&! <&$"\">&x"?>&!^&! &<&!
&x&\ !{&!& &!&! <&$"\">&x" ?>&! ^&! &<&! ! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\ ##?&> Q&!{&!'&! ]'"&>&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^>"\ \_]&x" ^&! _\?# ]'"&>&! "x"] ]$?>?<&! $"&~& >&>& =&]>? ]\#$&'&&! [#$"!&&! [\&>"<&! [!^["!'&![!~?\?<&![#&!>&?&!^&!&\?&x"+
&x&\ !{&!& &!&! <&$"\">&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! ! ~&!' >\&< ^"$$&!" <&] &>&? ""! ^"x?x?! _\< [#'&!'<&]&>&?[#'&!'""!+ ! ~&!'$\?# ^"$$&!"<&]&>&? ""!^"x?x?!_\< !>Q"+
&x&\ !{&!& &!&! <&$"\">&x" ^" \&<&! ! ^">>&[]&! _\<$?[&>"=&\"]_>&+ &x&\+++
166
&x&\ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" >&>& {&Q& [!~?x?!&! ! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ x[&" ^!'&!&x&\^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+ &'"&!>"'& \&]x&!&&! &Q&'Q& #?# &x&\ \&]x&!&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^^&\&x&\&~&>&!^&!&>&? $+ \&<&!+ &\ #\&]x&!&]&! ]'"&>&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^&[&> ^"\&]?]&! ]'"&>&! [!^?]?!' Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&!+ \&]x&!&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^"\&]x&!&]&! _\< #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>&^&!&>&?[#'&!'<&]&>&?""!+ &x&\ <&$"\">&x">&!^"\&]x&!&]&!xx?&" ! + <&$"\">&x"\&<&!^"\&]x&!&]&!xx?&" ! + &Q&'Q& <&$"\">&x"?>&! &x&\ <&$"\">&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &~&>&!* &+ Q$_"x&x" $+ [#\"<&Q&&!>&!&! {+ [!'&~&&!>&!&!&>&? ^+ [!Q&[&!>]!"]]_!xQ&x">&!&<+ &x&\|+++
167
&x&\| $_"x&x"x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\&!\"!^?!' $+ >&![Q_^?]x"&>&? {+ >&!]_!xQ&x"+ $_"x&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! \"!^?!' ^">?@?]&! ?!>?] ##?\"<]&! ?!'x" [_]_] x$&'&" [Q\"!^?!'&! x"x># [!~&!''& ]<"^?[&! ?!>?] #!'&>?Q >&>& &"Q #!{'&< $&!@"Q #!'!^&\"]&! Q_x" #!{'&< "!>Q?x" &"Q\&?>^&!##\"<&Q&]x?$?Q&!>&!&<+ $_"x&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^">?@?]&! ?!>?] #!"!']&>]&! [Q_^?]>"">&x ]&=&x&! >&! [Q_^?]x"+ | $_"x&x" ^" ^&\ ]&=&x&! >&! ]_!xQ&x" ^">?@?]&! ?!>?] [#$"!&&! <&$">&> ^&! [!"!']&>&! ]&!]&Q&'&!<&~&>"+ } $_"x&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> #\"[?>" ]'"&>&! [Qx#&"&![#$"$">&! [!&!&! [#\"<&Q&&! >&!&! [!'&!&! ^&! ]'"&>&! [!^?]?!'+ &x&\} #\"<&Q&&! >&!&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\&<?!>?]]&=&x&!>&!]_!xQ&x" $+ [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& &>&? x&>?&! !'\_\&&! ?>&! ?!>?] ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^&!>&!\"!^?!' {+ [#Q"!>&< [Q_"!x" &>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& ?!>?] >&! >&! Q&~& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~&&>&? ^+ [#'&!' <&] &>&? ""! ?!>?] ]&=&x&! >&! ~&!' >\&<^"$$&!"<&]&>&?""!+ ?#$Q ^&!& ?!>?] ^"$$&!]&!][&^&*
#\&]?]&!
[#\"<&Q&&!
&+ #Q"!>&<?!>?]]&=&x&!>&!]_!xQ&x" $+ [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& &>&? x&>?&! !'\_\&&! ?>&! ?!>?] ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^&!>&!\"!^?!'
{+[#Q"!>&<+++
168
{+ [#Q"!>&< [Q_"!x" &>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& ?!>?] >&! >&! Q&~& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~&&>&? ^+ [#'&!' <&] &>&? ""! ?!>?] ]&=&x&! >&! ~&!' >\&<^"$$&!"<&]&>&?""!+ #\"<&Q&&! >&!&! [&^& >&! [Q_^?]x" ^&! >&! \"!^?!' ^"^&!&" _\< #Q"!>&< ^&! ^"\&]x&!&]&! x@&] >&![Q>&x[&"^!'&!>&!]>"'&+ | #\"<&Q&&! >&!&! [&^& >&! [Q_^?]x" ^&! >&! \"!^?!'x>\&<>&!]>"'&^"xQ&<]&!_\<#Q"!>&< ][&^& [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& &>&? x&>?&! !'\_&&!?>&!+ }#\"<&Q&&!>&!&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ^"\&]?]&!#\&\?"* &+ [Q&=&>&!^&! $+ [!'!^&\"&!<&^&![!~&]">+ &x&\ !'&~&&! >&!&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ ?@?]&! ?!>?] #!"!']&>]&! [Q_^?]>"">&x >&!+ !'&~&&!>&!&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ^"\&]?]&! #\&\?" [#&!&&>&! Q?&!' >?#$?< x{&Q& _[>"#&\ ^!'&! ##[Q$&!~&] @?#\&< ^&! ]Q&'&! @!"x>&!&!+ !'&~&&! >&!&! ^"\&]x&!&]&! [&^& >&! Q&=&!' $&"] ^" >&! [Q_^?]x" >&! \"!^?!' #&?[?! >&! ]_!xQ&x"]{?&\"[&^&{&'&Q&\^&!_!&"!>">&! !&x"_!&\+ | !'&~&&! >&!&! #\"[?>" ]'"&>&! [Qx#&"&![#$"$">&! [!&!&! [#\"<&Q&&! >&!&!^&![!'&!&!+ &x&\+++
169
&x&\ !Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ ]!"x+ \&"! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x{&Q& x"["\ >]!"x x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> [!Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x">&!&<^&[&>^"\&]?]&!#\&\?">]!"]]"#"&="+ &Q&'Q& <&$"\">&x" &<&!
&x&\
<&$"\">&x" \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &~&>&!* &+ [!'<"@&?&! $+ [#\"<&Q&&!>&!&! {+ [!'&~&&!>&!&!&>&? ^+ [!Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x{&Q& '>&>" ^&! x"["\>]!"x[&^&\&<&!]Q">"x^&!>"^&][Q_^?]>"+
&x&\
!'<"@&?&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &! ^">?@?]&! ?!>?] ##?\"<]&! ^&! #!"!']&>]&! [Q_^?]>"">&x \&<&!~&!']_!^"x"!~&Q?x&]&'&Q^&[&>$Q?!'x"x{&Q& _[>"#&\+ !'<"@&?&! ^"\&]?]&! ^!'&! {&Q& ##$&!'?! >&! <&]>&!]_>&&>&?[!'<"@&?&!\"!']?!'&!+ !'<"@&?&! #\"[?>" ]'"&>&! [Qx#&"&![#$"$">&! [!&!&![#\"<&Q&&!>&!&!^&![!'&!&!+
&x&\
#\"<&Q&&! >&!&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ &< ]&$?[&>!]_>&&>&?[#'&!'<&]+
#\"<&Q&&!++
170
| #\"<&Q&&!>&!&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ^"\&]?]&!#\&\?"* &+ [Q&=&>&!^&! $+ [!'!^&\"&!<&^&![!~&]">+
&x&\ !'&~&&! >&!&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ ?@?]&! ?!>?] #!"!']&>]&! [Q_^?]>"">&x \&<&!+ !'&~&&!>&!&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ^"\&]?]&! #\&\?" [#&!&&>&! Q?&!' >?#$?< x{&Q& _[>"#&\ ^!'&! ##[Q$&!~&] @?#\&< ^&! ]Q&'&! @!"x>&!&!+ !'&~&&!>&!&!^"\&]x&!&]&![&^&>&!<&]+ | !'&~&&! >&!&! #\"[?>" ]'"&>&! [Qx#&"&![#$"$">&! [!&!&! [#\"<&Q&&! >&!&!^&![!'&!&!+
&x&\ !Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x$&'&"#&!& ^"#&]x?^^&\&x&\&>"^&!&>&? $+ x"["\>]!"x+
\&"! x{&Q& '>&>" ^&! x"["\ >]!"x x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> [!Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&<^&[&>^"\&]?]&!#\&\?">]!"]]"#"&="+ &x&\
>!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" >&>& {&Q& [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ x[&" ^!'&! &x&\ ^"&>?Q ^!'&! [Q&>?Q&! !>Q"+ &Q&'Q&|+++
171
} &Q&'Q&| '"&>&!!^?]?!' <&$"\">&x"?>&!^&! &<&!
&x&\|
!>?]#!^?]?!']'"&>&!Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&! x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\&~&>^"\&]?]&! ]'"&>&!~&!'#\"[?>"* &+ [!'#$&!'&![Q$!"<&! $+ >]!_\_'"Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&! {+ [!{'&<&! ^&! [!&!''?\&!'&! ]$&]&Q&! >&! ^&!\&<&! ^+ [!~?\?<&! + [\&>"<&! + [#$Q^&~&&!#&x~&Q&]&> '+ [#$"!&&!^&!&>&? <+ [!'&=&x&!+ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" ]'"&>&! [!^?]?!' Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^& &~&>^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&Q&'Q&} \&]x&!& <&$"\">&x"?>&!^&! &<&! &x&\}
<&$"\">&x" >&! [&^& ]&=&x&! >&! ]_!xQ&x" ^"\&]x&!&]&!_\<#Q"!>&<]{?&\">&!>&!Q&~&+ <&$"\">&x" >&! [&^& >&! >&! Q&~& ^"\&]x&!&]&! _\< [#Q"!>&< [Q_"!x" &>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>&xx?&"^!'&!]=!&!'&!!~&+ <&$"\">&x" >&! [&^& >&! ]_!xQ&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^[&^&&~&>^&!&~&>^"\&]x&!&]&!^!'&! ]>!>?&!<&Q?x* &+ #!&!@!"x>?#$?<&!&x\"x>#[&> $+ #!&! >?#$?<&! ~&!' xx?&" ]&^&&! <&$">&> x>#[&>^&! {+ #!&!^!'&!$Q$&'&"@!"x>&!&!>&!+
&x&\
<&$"\">&x" [&^& ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^&! >&! \"!^?!' ~&!' <&] [!'\_\&&!!~& ^"\"#[&<]&! ][&^& &^&! x&<& "\"] '&Q& &>&? ^"$Q"]&! ""! [#&!&&>&! >&! &>&? ""! [!''?!&&! ]&=&x&! >&!^"\&]x&!&]&!_\<[#'&!'<&]&>&?""!+
<&$"\">&x"+++
172
<&$"\">&x" [&^& ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^&! >&! \"!^?!' ~&!' >"^&] ^"$$&!" <&] &>&? ""! ^"\&]x&!&]&! _\<[#Q"!>&<]&$?[&>!]_>&+
<&$"\">&x" [&^& ]&=&x&! >&! [Q_^?]x" ^&! >&! \"!^?!'x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&>^&!&~&> ^"\&]x&!&]&!^!'&!]>!>?&!* &+ @!"x >?#$?<&! ~&!' ^">&! <&Q?x xx?&" ^!'&! ?!'x"<"^Q__Q_\_'"x $+ >?#$?<&! ~&!' ^">&! ^&[&> $Qx"&> #_!_]?\>?Q &>&?{[?Q&!^&! {+ x@&?< #?!']"! #!'<"!^&Q" @!"x >?#$?<&! ]x_>"x &>&?@!"x>?#$?<&!&x"!'+
&x&\
<&$"\">&x" >&! [&^& ]&=&x&! >&! ~&!' ^"]\_\& _\<\#$&'&~&!'^"$Q"<&][!'\_\&&!]&=&x&!>&! ^!'&!>?@?&!]&x" [&^& ]&=&x&! >&! ~&!' ^"]\_\& _\< #&x~&Q&]&> ]?# &^&> x$&'&" >&! &^&> ^"\&]x&!&]&! _\< #&x~&Q&]&> ]?# &^&> ~&!' $Qx&!']?>&!+
&x&\
<&$"\">&x" \&<&! ]&$?[&>!]_>&+
^"\&]x&!&]&!
_\<
[#Q"!>&<
<&$"\">&x"\&<&!~&!'^"$$&!"<&]&>&x>&!&<#!@&^" ]=&@"$&!^&!>&!''?!'@&=&$[#'&!'<&]+
&x&\
#'&!' <&] &>&? [#'&!' ""! ^&\ #\&]x&!&]&! Q<&$"\">&x" >&! ^&!&>&? \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^^&\&x&\&x&\^&!&x&\&~&> ^&[&> ##"!>& [!^["!'&! [\&~&!&! ^&! ^?]?!'&! ^&Q" #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& ^&!&>&? \#$&'& x=&^&~& #&x~&Q&]&>+ !^["!'&! [\&~&!&! ^&! ^?]?!'&! #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" &>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"$Q"]&! ?!>?] ]'"&>&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^!'&! >?@?&! [Q\"!^?!'&!^&!]_!xQ&x"+
&x&\|+++
173
&x&\|
!>?] ]'"&>&! Q<&$"\">&x" ~&!' >\&< $Q<&x"\ #&]& #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" &>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& ^&[&> ##$Q"]&! "!x!>" $&"] $Q?[& ]#?^&<&![\&~&!&!#&?[?![!'<&Q'&&!+ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [#$Q"&! "!x!>" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"&>?Q ^!'&! [Q&>?Q&!!>Q"+
&Q&'Q& #&!&&>&!&x"\ <&$"\">&x"?>&!^&! &<&!+
&x&\|
#&!&&>&! <&x"\ Q<&$"\">&x" >&! ~&!' ^"$"&~&" _\< #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& ^"&>?Q xx?&" ^!'&! ]>!>?&! [Q&>?Q&![Q?!^&!'?!^&!'&!+ #&!&&>&! <&x"\ Q<&$"\">&x" >&! ~&!' ^"\&]x&!&]&! _\< [#'&!' <&] &>&? ""! ^"&>?Q xx?&" ^!'&! ]>!>?&![Q&>?Q&![Q?!^&!'?!^&!'&!+ #&!&&>&! <&x"\ Q<&$"\">&x" \&<&! ^"\&]x&!&]&! _\< [#'&!'<&]&>&?[#'&!'""!+ | #&!&&>&! <&x"\ Q<&$"\">&x" \&<&! ~&!' ^"$"&~&" _\< #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" ^&!&>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>&^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&'"&!x&>? #?# &x&\|
]\&x" >&! ^"\&]?]&! [&^& \&<&! ^&! '>&x" >&! [&^& ]&=&x&! >&! ~&!' >\&< #!'&\" [Q?$&<&! [Q#?]&&! >&!&< ^&! [Q?$&<&! [!?>?[&! >&!&<+ Q?$&<&! [Q#?]&&! >&!&< ^&! [Q?$&<&! [!?>?[&! >&!&< x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^&[&> >Q@&^" &]"$&>* &+ [!''?!&&!]&=&x&!>&!&>&? $+ $!{&!&&\+ &x&\|+++
174
&x&\|
]\&x">&!#\"[?>"]'"&>&!* &+ "!!>&Q"x&x"\_]&x" $+ [!>&[&!\_]&x" {+ [Q!{&!&&!^&! ^+ [\&]x&!&&!Q]\&x"+
]\&x" >&! ^&[&> ^"\&]?]&! [&^& ]'"&>&! $]&x [Q>$&!'&! [#$&!'?!&! @&Q"!'&! \"x>Q"] >\[_! "!x>&\&x" &"Q ][!>"!'&! Q\"'" ][!>"!'&! [Q>&<&!&! ]&!&!&>&?$!{&!&&\+ &\ <&\ ]'"&>&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> [&^& ]&=&x&! $]&x &Q&\ [Q>$&!'&! #&]& ^"\&]?]&! xx?&" ^!'&! >&<&[&! ]'"&>&![Q>$&!'&!+ | ]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"\&]?]&! _\< [#'&!' ""! [!''?!&&! ]&=&x&! >&!?!>?]]'"&>&!^"\?&Q]>&!&!+
&'"&!^?& !!>&Q"x&x" _]&x"
&x&\||
!!>&Q"x&x" \_]&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> &! [!'?#[?\&! ^&>& ^&! "!_Q#&x" >Q<&^&[ x\?Q?< &Q&\ ]&=&x&! >&! ~&!' &]&! >Q'&!''? ^&!&>&? >Q'&!''? &]"$&> [!''?!&&!]&=&x&!>&!+ !!>&Q"x&x" \_]&x" ^"\&]?]&! #\&\?" x?Q~ ?!>?] ##[Q_\< ^&>& [Q"#Q #&?[?! [!'?#[?\&! ^&>& x]?!^Q $Q?[& ^&>& $"_"x"] ^&! x_x"&\ ]_!_#" xQ>& Q!{&!&]Q@&[!''?!&&!]&=&x&!>&!+ '"&>&! "!!>&Q"x&x" #!'<&x"\]&! ^&>& !?#Q"] ^&! ^&>& x[&x"&\ x\?Q?< &Q&\ ]&=&x&! >&! ~&!' &]&! >Q'&!''? ^&!&>&? >Q'&!''? &]"$&> [!''?!&&! ]&=&x&!>&!+ &'"&!>"'& !>&[&! _]&x" ]\&x"?>&!
&x&\|} !>&[&! \_]&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> &! [#"\"<&! ^&! [!?!@?]&! \_]&x" ~&!' >Q'&!''? x$&'&" &]"$&> [!''?!&&!]&=&x&!>&!~&!'x"&[^"Q]\&x"+
!>&[&!+++
175
!>&[&! \_]&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"\&]?]&! ^!'&! {&Q& #!'&!&\"x"x ^&! #!'&\?&x" ^&>&x[&x"&\^&!!?#Q"]<&x"\"!!>&Q"x&x"\_]&x"+ Q^&x&Q]&! <&x"\ &!&\"x"x ^&! &\?&x" ^&>& x[&x"&\ ^&! ^&>& !?#Q"] x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^">>&[]&!\?&x^&!\_]&x"Q]\&x"+
&'"&!#[&> Q!{&!&&! ]\&x"?>&!
&x&\| Q!{&!&&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\|&~&> ?] #!'<&x"\]&! Q!{&!& Q]\&x">&!+
!{&!& Q]\&x" >&! ^"x?x?! $Q^&x&Q]&! "!!>&Q"x&x" \_]&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ || ^&! [!>&[&! \_]&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\|}+
!{&!& Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&>^"x?x?!?!>?]@&!']&=&]>?}\"#&>&!~&!' ##?&>* &+ ]_!^"x" ]&=&x&! >&! x$\?# ^&! xx?^&< &]>"">&x $+ Q!{&!&[#$?]&&!]&=&x&!>&! {+ [Q_'QQ]\&x">&! ^+ Q&!{&!'&!>]!"xQ]\&x" + >&>&=&]>?[\&]x&!&&! + Q!{&!&$"&~&^&! '+ [>&\_]&x"^&![>&Q!{&!&]'"&>&!Q]\&x"+ !{&!& Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&>^"@&$&Q]&!\$"<\&!@?>^&\Q!{&!&>&!&!+
|
&x&\| !{&!& Q]\&x" ~&!' >\&< ^"x?x?! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> ^"\&]?]&! [!"\&"&! _\< #!>Q" >]!"x '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&"^!'&!]=!&!'&!!~&+
!>Q" >]!"x '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~& ^&\ #\&]?]&! [!"\&"&! Q!{&!& Q]\&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> #\"$&>]&! !>Q" ^&! ^&[&> #\"$&>]&! #!>Q" ~&!' ##$"^&!'"[!'\_\&&!\"!']?!'&!<"^?[+ !>Q" >]!"x '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~& ^&[&> #!~>?@?" Q!{&!& Q]\&x">&!+
&'"&!+++
176
&'"&!\"#& \&]x&!&&! ]\&x"?>&!
&x&\|
\&]x&!&&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\&x&\|&~&>&! $Q^&x&Q]&! Q!{&!& Q]\&x" ~&!' >\&< ^"x>?@?" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\&x&\|&~&>+ !'&!&! <&x"\ Q]\&x" >&! #!@&^" >&!''?!' @&=&$[#'&!'""![!''?!&&!]&=&x&!>&!+ &x&\|
!>?] #!@"! ]$Q<&x"\&! [\&]x&!&&! Q]\&x" >&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^^&\&x&\|[#'&!' ""! [!''?!&&! ]&=&x&! >&! =&@"$ ##$&~&Q ^&!& @"!&!Q]\&x"+
x&Q!~& ^&!& @"!&! Q]\&x" ^"?x?\]&! _\< [#'&!' ""! ^&! ^">>&[]&! _\< #!>Q" >]!"x '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~& x>\&< #!^&[&> [Q>"#$&!'&! ^&Q" !>Q"+
!>?] ^&!& @"!&! Q]\&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"?x?\]&! _\< [#'&!' ""! [!''?!&&! ]&=&x&! >&! ^&! <&Q?x #!^&[&> [Qx>?@?&! ^&Q" #!>Q" >]!"x '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&!]=!&!'&!!~&+
|
>!>?&! #!'!&" $x&Q&! $!>?] >&>& {&Q& [!#[&>&!^&![!{&"Q&!&>&?[\[&x&!^&!&@"!&! Q]\&x" ^"\&]?]&! xx?&" ^!'&! ]>!>?&! [Q&>?Q&! [Q?!^&!'?!^&!'&!+
&'"&!! !"\&"&!$Q<&x"\&! ]\&x"?>&!
&x&\}
!"\&"&! >Q<&^&[ [\&]x&!&&! Q]\&x" >&! ^"\&]?]&!_\<!>Q"^!'&!#\"$&>]&!#!>Q">]!"x ^&! #!>Q" ~&!' ##$"^&!'" [!'\_\&&! \"!']?!'&! <"^?[ '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~&+ !"\&"&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"^&x&Q]&! [&^& !_Q#& x>&!^&Q [Q_x^?Q ^&! ]Q">Q"& Q]\&x">&!+ !"\&"&!+++
177
!"\&"&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> #!@&^" ^&x&Q[!!>?&!]$Q<&x"\&!Q]\&x">&!+ | $Q<&x"\&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^&&~&>#!@&^"x&\&<x&>??!x?Q[!"\&"&!x\?Q?< ]=&@"$&! ^&\ [!'#$&\"&! ]&=&x&! >&! ^&Q" [!''?!&&!]&=&x&!>&!+ } >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [!"\&"&! ]$Q<&x"\&! Q]\&x">&!^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+
&'"&!>?@?< ]\&x"?>&!]"$&> !{&!&\
&x&\}
]\&x" >&! &]"$&> $!{&!& &\ ^&\ ]&=&x&! >&!^&[&>>Q@&^"* &+ x{&Q&#?Q!"&>&? $+ x$&'&" &]"$&> ]\&\&"&! [#'&!' <&] [!'\_\&&! &>&?""![#&!&&>&!>&!+ ]\&x" >&! [&^& &Q&\ $!{&!& &\ ^"\&]?]&! [&^&x#?&]&=&x&!>&!]{?&\"{&'&Q&\^&!_!& "!>">&!!&x"_!&\+ ]\&x" >&! [&^& &Q&\ $!{&!& &\ x{&Q& #?Q!" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> &!''?!'@&=&$#Q"!>&<^&![#Q"!>&<^&Q&<+ | ]\&x">&![&^&&Q&\$!{&!&&\x$&'&"&]"$&> ]\&\&"&! [#'&!' <&] [!'\_\&&! &>&? [#'&!' ""! [#&!&&>&! >&! ^&\ #!'\_\& ]&=&x&! >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> &!''?!'@&=&$[#'&!'<&]&>&?""!+ } #Q"!>&< [#Q"!>&< [Q_"!x" ^&!&>&? [#Q"!>&< ]&$?[&>!]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~& ^&[&> ##$Q"]&! &x"\">&x" ^&\ [\&]x&!&&! Q]\&x" >&! ~&!' ^"\&]?]&! _\< [#'&!' <&] [!'\_\&&! ^&!&>&?[#'&!'""![#&!&&>&!>&!+ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [^_#&! Q]\&x" >&![&^&&Q&\$!{&!&&\^"&>?Q ^!'&![Q&>?Q&! !>Q"+
&x&\} '"&>&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ^"\&]x&!&]&! ^!'&!#\"$&>]&![Q&!xQ>&#&x~&Q&]&>+
Q&!+++
178
Q&! xQ>& #&x~&Q&]&> ^&\ Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ^&[&> ^"\&]?]&! #\&\?" ]_!x?\>&x" [?$\"] ]#">Q&&!^&![!~[&"&!"!_Q#&x"+
&'"&!x&>? #?#
&x&\} !>Q" '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~&#\&]?]&!* &+ [#$"!&&! $+ [!'!^&\"&!^&! {+ [!'&=&x&!+ !>?] #!@"! >Q>"$!~& [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! !>Q" ^&\ #\&]x&!&]&! ]=!&!'&!!~& #\&]?]&! [#$"!&&! [!'!^&\"&! ^&! [!'&=&x&! >Q<&^&[ ]$"@&]&! '?$Q!?Q ^&! $?[&>"=&\"]_>&+
&'"&!^?& #$"!&&!^&!!'!^&\"&!
&x&\}|
#$"!&&!#\"[?>"[#$Q"&!* &+ [^_#&! $+ $"#$"!'&! {+ [\&>"<&! ^+ &Q&<&!^&!&>&? + x?[Q"x"+ #$Q"&![^_#&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ?@?]&! >Q<&^&[ [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" ^&!Q]\&x">&!+ #$Q"&! $"#$"!'&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ?@?]&!>Q<&^&[[!~?x?!&![Q_x^?Q^&! >&>&]Q@&+ #$Q"&![\&>"<&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ?@?]&!>Q<&^&[[&Q&["<&]>Q]&">+ #$Q"&! &Q&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> &! [!~?x?!&! Q!{&!& [Q_'Q^&!]'"&>&!~&!'$Qx"&>!&x"_!&\+
?[Q"x"+++
179
?[Q"x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ?@?]&! >Q<&^&[ [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x">&!+
&x&\}}
!'!^&\"&!#\"[?>"]'"&>&!* &+ #_!">_Q"!' $+ &\?&x" {+ [\&[_Q&!^&! ^+ >"!^&]\&!@?>+ '"&>&! #_!">_Q"!' x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ?] ##[Q_\< ^&>& ^&! "!_Q#&x" ]$"@&]&! ^&! [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x">&!+ '"&>&! &\?&x" x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ?] #!"\&" ]$Q<&x"\&! [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ~&!' ^"\&]?]&!x{&Q&[Q"_^"]+ | '"&>&! [\&[_Q&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ?] #!~\&Q&x]&! [!{&[&"&! ]"!Q@& ~&!' ^"]&">]&! ^!'&! [Q_xx [!{&[&"&! >?@?&! ^&!x&x&Q&!+ } '"&>&! >"!^&] \&!@?> x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> "!^&]\&!@?><&x"\#_!">_Q"!'^&! &\?&x" '?!& [!~#[?Q!&&! ]$"@&]&! ^&! [\&]x&!&&!Q<&$"\">&x"^&!Q]\&x">&!+ >!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [!"\&"&! ]$Q<&x"\&! [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! x{&Q& [Q"_^"] x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> ^"&>?Q ^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+ &x&\}
&x"\ [!'!^&\"&! ~&!' ^"\&]?]&! _\< !>Q" '?$Q!?Q ^&! $?[&>"=&\"]_>& x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\&x&\}}^">"!^&]\&!@?>"_\<[\&]x&!&Q<&$"\">&x" ^&!Q]\&x">&!+
\&]x&!& Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! #\&[_Q]&! [\&]x&!&&! <&x"\ [!'!^&\"&! ][&^& !>Q" '?$Q!?Q^&!$?[&>"=&\"]_>&+
&x&\}+++
180
| &x&\}
>!>?&! \$"< \&!@?> #!'!&" [^_#&! [#$"!&&! ^&! [!'!^&\"&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ }| x[&" ^!'&!&x&\}^"&>?Q^!'&![Q&>?Q&!!>Q"+ &'"&!>"'& !'&=&x&! &x&\} >!>?&! #!'!&" [!'&=&x&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ } &~&> ?Q ^&\ Q&>?Q&! #Q"!>&<>Qx!^"Q"+ &x&\}
#'&!' <&] &>&? ""! ~&!' >"^&] #\&]x&!&]&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\&x&\&~&>xQ>&[#'&!'""![!''?!&&! ]&=&x&! >&! ~&!' >"^&] #\&]x&!&]&! Q]\&x" >&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | &~&> ^"]!&"x&!]x"$Q?[&* &+ >'?Q&!^&!&>&? $+ [#$&>&\&!+ '?Q&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ [&^& &~&> Q" '?$Q!?Q &>&? $?[&>"=&\"]_>& xx?&"^!'&!]=!&!'&!!~&+
#$&>&\&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> [Q&>?Q&! ^&Q&< xx?&" ]>!>?&! [Q&>?Q&![Q?!^&!'?!^&!'&!+
|
#$&>&\&!x$&'&"#&!&^"#&]x?^[&^&&~&> ""! [#&!&&>&! >&! ^&!&>&? ""! ["!@ [&]&" [!''?!&&! ]&=&x&! >&! ^">Q$">]&! _\< [#$Q" ""! xx?&" ^!'&! ]=!&!'&!!~&+
+++
181
}
&x&\ <&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ~&!' >\&< ^"\&]x&!&]&! ^&\ $!>?] Q&]&! &x"_!&\ <&$"\">&x" ?>&! ^&!
&<&! &>&? [Q_'Q Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ~&!' \&"! >>&[ $Q\&]? ^&! ?!>?] [\&]x&!&&! x\&!@?>!~& <&Q?x^"xx?&"]&!^!'&![Q&>?Q&!#Q"!>&<"!"+ &\<&\ ] $\?#>Qx?x?!#&]& ] ~&!' &^& ^&\ $!>?] !{&!& <&$"\">&x" "#& &!^"&!''&[x$&'&" ] + &\ <&\ $\?# >Qx?x?! #&]& ! ^&[&> #!'&{?][&^& !{&!& <&$"\">&x" "#&&!+ | &x"\Q]\&x">&!~&!'>\&<^"!"\&"^&!^">Q"#&_\< #Q"!>&< xx?&" ^!'&! ]>!>?&! [Q&>?Q&! [Q?!^&!'?!^&!'&! x$\?# ^">>&[]&!!~& [Q&>?Q&! #Q"!>&<"!"^"!~&>&]&!x&<^&!$Q\&]?+ } &x"\ Q]\&x" >&! ~&!' $\?# ^"!"\&" &>&? >\&< ^"!"\&" >>&[" $\?# ^">Q"#& #Q"!>&< ^"&>?Q xx?&" ^!'&! ]>!>?&! [Q&>?Q&! [Q?!^&!'?!^&!'&! x>\&<$Q]__Q^"!&x"^!'&!!>Q"+
&x&\
&^&x&&>Q&>?Q&!#Q"!>&<"!"#?\&"$Q\&]?* &+ !~?x?!&! ] x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\<&Q?xx?^&<x\x&"[&\"!'\&x&>?>&! ^&! $+ !~?x?!&! x$&'&"#&!& ^"#&]x?^ ^&\ &x&\ | x[&" ^!'&! &x&\ <&Q?x x?^&< x\x&" [&\"!' \&^?&>&! &x&\
Q&>?Q&! #Q"!>&< "!" #?\&" $Q\&]? [&^& >&!''&\ ^"?!^&!']&!+ '&Q+++
182
'&Q x>"&[ _Q&!' #!'>&"!~& ##Q"!>&<]&! [!'?!^&!'&! Q&>?Q&! #Q"!>&< "!" ^!'&! [!#[&>&!!~&^&\ #$&Q&!'&Q& [?$\"]!^_!x"&+ ">>&[]&!^"&]&Q>& [&^&>&!''&\x#$Q >>^+ ++ "?!^&!']&!^"&]&Q>& [&^&>&!''&\x#$Q
>>^+
&\"!&!xx?&"^!'&!&x\"!~& [&\& "Q_Q?!^&!'?!^&!'&! "^&!'Q]_!_#"&!^&!!^?x>Q" >>^+ >"_&[>_?'Q_<_
183
+ &!'x&!^_!x"&^"]&Q?!"&"^&!#!^&[&>]&!&!&<^&Q"?<&!&!' &<& x&]]&~&&!&\$Q?[&>&!~&!'>"^&]>Q!"\&"<&Q'&!~&_\< ]&Q!&">?>&!<&Q?x^"?Q?x^&!^"#&!&&>]&!^!'&!x$&"]$&"]!~& $Q^&x&Q]&! &]<\&] #?\"& x$&'&" "$&^&< ^&! [Q=?@?^&! Q&x& x~?]?Q ][&^&?<&!&!'&<& x&+ &\ Q&!']& [!'\_\&&! >&! ?!>?] ##[Q_\< #&!&&> ~&!' _[>"#&\ ^&Q" >&! ^&! ]&=&x&! >&! $&'" ]x@&<>Q&&! #&x~&Q&]&> #&]& [&^& [Q"!x"[!~& x#?& >&! ^&! ]&=&x&! >&! ^&[&> ^"]\_\& ^!'&!>>&[##[Q<&>"]&!x"&>]&Q&]>Q"x>"]^&!]?>&&!!~&xQ>& ~&!'x\&Q&x^!'&!?!'x"[_]_]!~&~&">??!'x"]_!xQ&x"\"!^?!'^&! [Q_^?]x"+ \< ]&Q!& ">? ^&\ [!'\_\&&! >&! [Q\? ^"@&'& ]x"#$&!'&!]>"'&?!'x">Qx$?>+ ?#$Q^&~& &\ $Q?[& >&! >&!&< ^&! &"Q #Q?[&]&! ]]&~&&! &\ ~&!' <&Q?x >>&[ ^"@&'& ]\x>&Q"&!!~& _\< x$&$ ">? [!'\_\&&! >Q<&^&[ x?#$Q^&~& &\ ^!'&! x&>?&! ?!"> [!'\_\&&! <&Q?x ^"\&]x&!&]&! x{&Q& $"@&]x&!& x<"!''& ^&[&> #!^?]?!' [!"!']&>&! ]x@&<>Q&&!#&x~&Q&]&>+ !>?] #!@&'& ]\&!'x?!'&! ?!'x" [_]_] >&! ^&! ]_!^"x" >&! ^"\&]?]&! ?[&~& Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ~&!' ^"#&]x?^]&! ?!>?] ##?\"<]&! ##[Q>&<&!]&! ^&! #!"!']&>]&! ?!'x" >&! ^&! \&<&! x<"!''& ^&~& ^?]?!' [Q_^?]>"">&x ^&! [Q&!&!!~& ^&\ #!^?]?!'x"x>#[!~&!''&]<"^?[&!>>&[>Q@&'&+ !~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ^"?>&]&! [\&]x&!&&!!~& #\&\?" [!^]&>&! [&Q>"x"[&>" ^&\ Q&!']& #!'#$&!']&![_>!x"^&!##$Q^&~&]&!#&x~&Q&]&>+ <&$"\">&x" ^"x\!''&Q&]&! #\&\?" ]'"&>&! Q$_"x&x" ^&! [!'<"@&?&! xQ>& Q]\&x" >&! ]$Q<&x"\&!!~& ^">!>?]&! _\< $x&Q ]{"\!~& [&Q>"x"[&x"#&x~&Q&]&>+ !>?]+++
184
!>?] ][!>"!'&! [#$&!'?!&! $Qx"&> x>Q&>'"x &>&? #!~&!']?> ][!>"!'&! ?#?# ~&!' <&Q?x #!''?!&]&! ]&=&x&! >&! <&Q?x ^""#$&!'"^!'&!?[&~&Q]\&x"!~&+ Q&>?Q&! #Q"!>&< "!" #!'&>?Q >!>&!' Q<&$"\">&x" ~&!' ^"\&]?]&! #\&\?" ]'"&>&! Q$_"x&x" [!'<"@&?&! [#\"<&Q&&! [!'&~&&! >&!&! xQ>& [!Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x{&Q& '>&>" ^&! x"["\ >]!"x [&^& \&<&! ]Q">"x ^&! >"^&] [Q_^?]>"+ Q>& ]'"&>&! Q]\&x" >&! #\"[?>" ?x&<& ?!>?] ##[Q$&"]" &>&? ##?\"<]&! ]#$&\" \&<&! ^!'&! '>&x" >&! ~&!' Q?x&] &'&Q ^&[&> $Q?!'x" x{&Q&_[>"#&\xx?&"^!'&![Q?!>?]&!!~&+ ?!& ##$Q"]&! \&!^&x&! ]?# $&'" [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&! ~&!' $Q]&^"\&! #&]& [Q\? ^">>&[]&! ^!'&! Q&>?Q&!#Q"!>&<+
+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\| ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?Q?& "x>#[!'&!''&Q&!~&!'$Q]x"!$?!'&!PXOWL\HDUV ^"#&]x?^]&! &'&Q ^&\ [\&]x&!&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&!\&<&!^&[&>^"\&]x&!&]&!x{&Q&$Q]\&!@?>&!^!'&! #!^&x&Q]&! x"x># x"\"]?\>?Q xQ>& ]_!^"x" "]\"# ^&! {?&{&+
?Q?$+++
185
?Q?$ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! ]@\&x&! ]=!&!'&! &^&\&< $&<=& [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" [Q\? ^"^?]?!' _\< &]>_Q ]x"&[&! ]Q@& [\&]x&!& >"!']&> [!Q"#&&! #&x~&Q&]&>]$"@&]&!^&\x"x>#[!'\_\&&!>&!^&! x"x>#]\#$&'&&!+ ?Q?{ &!'^"#&]x?^^!'&![#&<&!x"x>#WHQXULDO&^&\&< ][&x>"&!<&]&>&x>&!&<+ ?Q?^ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &!^"\ $"&~& FRVW VKDULQJ &^&\&< $&<=& [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! "!x>&x" ~&!' ^"#"\"]" #&x~&Q&]&> x[Q>" >!&'& ]Q@& ^&[&> ^"<">?!' x$&'&" $"&~& x<"!''& ?[&~& Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^&[&> ##$Q"]&! ]?!>?!'&! $&'" '&Q&^&!#&x~&Q&]&>$&"][Q_Q&!'&!#&?[?!]\_#[_]+ ?Q? &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [!Q&[&! x"x># "!x!>" &^&\&< $&<=&^&\[!~\!''&Q&&!Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&! #Q"!>&< ^&[&> ##$Q"]&! ^?]?!'&! ^&\ $!>?] "!x>Q?#! ]$"@&]&! ~&!' #[? #!^_Q_!' >Q{&[&"!~& #&]x?^ ^&! >?@?&! Q<&$"\">&x" &!>&Q& \&"! ]#?^&<&! [Q""!&!&]xx[&x&Q^&![!'<&Q'&&!+ ?Q? &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [#$Q^&~&&! #&x~&Q&]&> ^&! ]&[&x">&x ]\#$&'&&! &^&\&< $&<=& [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! <&Q?x #[? ##$Q"]&! #&!&&> x?#$Q ^&~& >&! ][&^& #&x~&Q&]&> x{&Q& _[>"#&\ ^&! &^"\ #\&\?" [!'#$&!'&! ]&[&x">&x ^&! [#$Q"&! &]xx ^&\ Q&!']& [!"!']&>&! ]x@&<>Q&&!!~&+ ?Q?'+++
186
| ?Q?' &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [!^]&>&! [&Q>"x"[&>" &^&\&< =?@?^ ]"]?>xQ>&&! [Q&! #&x~&Q&]&> ^&! ["<&] >Q]&"> ^&\ #\&]x&!&]&! ]'"&>&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&!+ ?Q?< &!' ^"#&]x?^ ^!'&! >Q&!x[&Q&!x" ^&! &]?!>&$"\">&x &^&\&<$&<=&[!~\!''&Q&&!Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&! #?\&" ^&Q" [Q!{&!&&! [Qx"&[&! [\&]x&!&&! ^&! [!'!^&\"&! $Qx"&> >Q$?]& ^&! ^&[&> ^"&]xx _\< #&x~&Q&]&> \?&x ^&! <&x"\!~& ^&[&> ^"[Q>&!''?!'@&=&$]&!+ ~&> ?Q?& &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &x[] [_\">"] &^&\&< $&<=& Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&!#!'&]_#_^&x">]&!&!'\_$&\ x<"!''& #!@&^" [\?&!' ^&! ##[Q_\< ^?]?!'&! ^&! ]_#">#! [_\">"] ~&!' {?]?[ ^&\ [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x"+ ?Q?$ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &x[] x_x"&\ &^&\&< $&<=& Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^"<&Q&[]&! #[? ##$Q"]&! #&!&&> $&'" [!"!']&>&! ]_!_#" ]x@&<>Q&&!#&x~&Q&]&>+ ?Q?{ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &x[] ]_!_#" &^&\&< $&<=& Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&!^">?@?]&!?!>?]#!"!']&>]&! ]_!_#"^&![!^&[&>&!#&x~&Q&]&>x]">&Q>&!+ ?Q?^ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &x[] ]_x"x># &^&\&< $&<=& ^&\Q&!']&[!'\_\&&!^!'&!##[Q<&>"]&!^&~& ^?]?!' \&<&! ODQG FDSDELOLW\ ^&! ]xx?&"&! \&<&! ODQG VXLWDELOLW\ xQ>& ##[Q<&>"]&! ]&!]&Q&'&! @!"x ^&! >"!']&>]Q!>&!&!>Q<&^&[<&[!~&]">+ ?Q?+++
187
} ?Q? &!' ^"#&]x?^ ^!'&! &x[] ]\#$&'&&! ^&! _Q'&!"x&x" &^&\&< $&<=& Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! [Q\? #!^&[&> ][&x>"&! ]?# ?!>?] #!@"! ]\&!'x?!'&![!''?!&&!^&![!'\_\&&!\&<&!+ &x&\} x[] ]&=&x&! &x[] ]\#$&'&&! ^&! &x[] >]!_\_'" ^"\&]x&!&]&! ^&\ x&>? x"x># #&!&@#! ^&\ [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x"^&!Q]\&x">&!+ &x&\ ?Q?& &Q&]>Q"x>"]\_]&x"]'"&>&!#\"[?>""!_Q#&x"^&!^&>&]_!^"x" \_]&x" ~&!' ^"^&x&Q]&! [&^& $"_"x"] ^&! x_x"&\ ]_!_#" ~&!' ^"[Q\?]&! ?!>?] \$"< >Q@"!!~& ]$Q<&x"\&! Q]\&x" >&!+ ?Q?$ !"x ]'"&>&! $Q^&x&Q]&! $!>?] [!''?!&&! ]&=&x&! >&!+ ?Q?{ !&>&&!\&<&!&!>&Q&\&"!#\"[?>"]'"&>&!* &+ [!'"x"&!]#$&\"\&<&!$]&x[!''?!&&!]&=&x&!>&! $+ [!'&>?Q&![Q#?]&&!\&<&!UHJUDGLQJ^&! {+ [!#[&>&![!&$?Q&!>&!&<[?{?]+ ?Q?^ !'!^&\"&! Q_x" ^&! \"#$&< &!>&Q& \&"! #\"[?>" ]'"&>&! [#$?&>&!$&!'?!&![!'!^&\"Q_x"^&!\"#$&<@!"x@?#\&< ^&!]?&\">&x!~&xx?&"^!'&!Q!{&!&+ ?Q? ?]?[@\&x+ ?Q? !'#$&!'&! x_x"&\ ]_!_#" ^"\&]?]&! _\< [#'&!' ""! [!''?!&&! ]&=&x&! >&! ~&!' ]'"&>&!!~& #\"$&>]&! ^&! ##$Q"#&!&&>x_x"&\^&!]_!_#"#&x~&Q&]&>\_]&\+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\+++
188
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ~&> ?]?[@\&x+
~&> ?Q?& ?]?[@\&x+ ?Q?$ ?]?[@\&x+ ?Q?{ &!'^"#&]x?^^!'&! !{&!&!'\_\&&!Q[&^? &^&\&< ]_!x[ [#$&!'?!&! ~&!' #!'&]_#_^&x"]&! $Q$&'&" [Q&>?Q&! [Q?!^&!'?!^&!'&! ^&! ^"@&$&Q]&! x{&Q& #!~\?Q?< ^&! >Q[&^? ^&\ x?&>? Q!{&!& #&]Q_+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>| ?]?[@\&x ~&>} Q&>?Q&! !>Q" #!'&>?Q &!>&Q& \&"! #>_^ >]!"] ^&! [Q_x^?Q [!~?x?!&! [!"\&"&! ^&! [!'x&<&! xQ>& @&!']& =&]>?$Q\&]?!~& ] + &x&\| ~&> #Q?[&]&! Q!{&!& #&!&@#! ^&\ Q&!']& [!~\!''&Q&&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! xx?&" ^!'&! ]=!&!'&! #Q"!>&< ^&! [#Q"!>&< ^&Q&< $Q^&x&Q]&! ]>!>?&![Q&>?Q&![Q?!^&!'?!^&!'&!+
?Q?& ?]?[@\&x+
?Q?$+++
189
?Q?$ ?]?[@\&x+ ?Q?{ !{&!& [!'\_\&&! >&! x$&'&"#&!& ^"&>?Q ^&\ Q&>?Q&!#Q"!>&<>!>&!' &>&?>&!^&!!~?x?!&! !{&!&!'\_\&&!?>&!xQ>&#&!&&>&!?>&!+ ?Q?^ ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> &!{&!'&! ]'"&>&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! #Q?[&]&! ^x&"!>]!"x^&Q"x>"&[@!"x]'"&>&!~&!'^"Q!{&!&]&!^&\ ! + &x&\ &!'^"#&]x?^^!'&!<&]&^&\&<<&][!'\_\&&!>&!+ &!'^"#&]x?^^!'&!""!&^&\&<""![#&!&&>&!>&!^&!""! [!''?!&&!]&=&x&!>&!+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\+++
190
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\| ?]?[@\&x+
&x&\} ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>| ?]?[@\&x ~&>} ?Q?& '"&>&![Q&=&>&!&!>&Q&\&"!#\"[?>"* &+ [Q&=&>&! >&!&! $Q?[& [!~"&!'&! [!^&!'"Q&! [!~?\&!^&![#?[?]&!^&! $+ [Q&=&>&! $&!'?!&! ]_!xQ&x" >&!&< $Q?[& [Q$&"]&! [!~#[?Q!&&! ^&! #!@&'& x>&$"\">&x $&!'?!&!]_!xQ&x">&!&<+ ?Q?$ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [!'!^&\"&! <& ^&! [!~&]"> &^&\&< [Q\&]?&! >Q<&^&[ >&!&! ^&Q" '&!''?&! <& ^&! [!~&]"> ^!'&! [!''?!&&! [x>"x"^& ^&! "!x]>"x"^& x\]>" x[Q>" ?!'"x"^& <Q$"x"^& "!x]>"x"^& x[]>Q?# >Q$&>&x xQ>& [Q\&]?&! "x"] #&!?&\ ]?] <&<=&!$x&Q+ &x&\ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>+++
191
~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! >&! Q&=&!' &^&\&< >&! ~&!' ##"\"]" [_>!x" x$&Q&! >'&]&! [_<_! [Q <]>&Q ]?Q&!' ^&Q" >?@?<Q&>?x$&>&!'+
~&>| '"&>&! [#\"<&Q&&! >&!&! &!>&Q& \&"! #\"[?>" [Q&=&>&! ^&![!'!^&\"&!<&^&![!~&]">+
&x&\ ~&> !Q&[&!>]!"]]_!xQ&x">&!&<x{&Q&x"["\>]!"x&!>&Q&\&"! ^"\&]?]&! ^!'&! [#$?&>&! #$?!' [&Q"> $?!>? URUDN $&!'?!&![\"!^?!'>$"!'x?!'&"=&^?]^&!&?+ ~&> ]!"] ]"#"&=" ^"\&]?]&! ^!'&! {&Q& [#$Q"&! #?\x& $">?#!&>]"#"&&>&?VRLOFRQGLWLRQHU+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ?]?[@\&x+
&x&\ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?Q?& '"&>&![Q&=&>&!&!>&Q&\&"!#\"[?>"* &+ [Q&=&>&! >&!&! $Q?[& [!~"&!'&! [!^&!'"Q&! [!~?\&!^&![#?[?]&!^&! $+ [Q&=&>&! $&!'?!&! ]_!xQ&x" >&!&< $Q?[& [Q$&"]&! [!~#[?Q!&&! ^&! #!@&'& x>&$"\">&x $&!'?!&!]_!xQ&x">&!&<+ ?Q?$ &!'^"#&]x?^^!'&![!'!^&\"&!<&^&![!~&]"> &^&\&< [Q\&]?&! >Q<&^&[ >&!&! ^&Q" '&!''?&! <& ^&![!~&]">^!'&![!''?!&&![x>"x"^&^&!"!x]>"x"^& x\]>" x[Q>" ?!'"x"^& <Q$"x"^& "!x]>"x"^& x[]>Q?# >Q$&>&x xQ>& [Q\&]?&! "x"] #&!?&\ ]?] <&<=&!$x&Q+ &x&\ ~&> ?]?[@\&x+
~&>+++
192
~&> ?]?[@\&x+ ~&> &!'^"#&]x?^^!'&!>&!<&]&^&\&<>&!~&!'$Q&^&^" \?&Q ]&=&x&! >&! ^&! >?#$?< ^" &>&x >&!&< ~&!' ^"$$&!" <&]&>&x>&!&<~&!'\&"#^"x$?>>&!Q&]~&>+ ~&>| '"&>&! [#\"<&Q&&! >&!&! &!>&Q& \&"! #\"[?>" [Q&=&>&! ^&![!'!^&\"&!<&^&![!~&]">+ &x&\ ~&> ?Q?& !Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x{&Q& '>&>" &!>&Q& \&"!^"\&]?]&!^!'&![!&!&!'>&x">>&[$?^"^&~& >&!&!\_Q_!'x>Q"[Q?#[?>^&!#?\x&>&!&![!'?&> >Q&x+ ?Q?$ !Q&[&! >]!"] ]_!xQ&x" >&!&< x{&Q& x"["\ >]!"x &!>&Q& \&"! ^"\&]?]&! ^!'&! [#$?&>&! $&!'?!&! ^ [!'!^&\" ^ [!&<&! >Q&x x&\?Q&! [#$?&!'&! &"Q x?#?Q Qx&[&! #$?!' [&Q"> $?!>? URUDN $&!'?!&! [\"!^?!'>$"!'x?!'&"=&^?]^&!&?+ ~&> ]!"] ]"#"&=" ^"\&]?]&! ^!'&! {&Q& [#$Q"&! #?\x& $">?#!&>]"#"&&>&?VRLOFRQGLWLRQHU+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\| ~&> ?Q?& &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [!'#$&!'&! [Q$!"<&! &^&\&< ?x&<& [#?\"&&! [_<_! [!'#$&!'&! x?#$Q $!"< ]_!xQ&x" x?#$Q ^&~& '!>"] [Q_^?]x" $!"< ^"x>Q"$?x"$!"<^&![#$"$">&!+ ?Q?$+++
193
?Q?$ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! >]!_\_'" Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! &^&\&< #>_^& ^&! >]!"] ^&\ #\&]x&!&]&! ]'"&>&! Q<&$"\">&x" >Q#&x?] ^&\ [#$"$">&! [!&!&! ^&! [#$?&>&! $&!'?!&! ]_!xQ&x" >&!&< [#\"<&Q&&![Q\"!^?!'&!^&![!'&!&!+ ?Q?{ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [!{'&<&! ^&! [!&!''?\&!'&! ]$&]&Q&! >&! ^&! \&<&! &^&\&< ?x&<& ^&\ #!{'&< ##&^]&! #!'!^&\"]&! #!'&\?&x" &]"$&>]$&]&Q&!^&!##[Qx"&[]&!>"!^&]&!Q<&$"\">&x" &Q&\$]&x]$&]&Q&!>&!^&!\&<&!+ ?Q?^ ?]?[@\&x+ ?Q? ?]?[@\&x+ ?Q? &!'^"#&]x?^^!'&![#$Q^&~&&!#&x~&Q&]&>&^&\&< ?x&<& #!"!']&>]&! ]#[?&! ]\#$&'&&! #&x~&Q&]&>+ ?Q?' ?]?[@\&x+ ?Q?< ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ~&>
#$&'& ~&!' ^"$Q" <&] [!'\_\&&! ]&=&x&! >&! ^!'&! >?@?&!]&Q&\&"!* &+ \#$&'&[!^"^"]&! $+ \#$&'&[!\">"&!^&! {+ \#$&'&x_x"&\^&!]&'&&!+ ~&> ?]?[@\&x+ &x&\+++
194
&x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ~&> !^["!'&! &!>&Q& \&"! $Q?[& [#$Q"&! #_>"&x" #^"&x" ^&!&]xx^&\Q&!']&[!'#$&!'&!]\#$&'&&!+ \&~&!&!&!>&Q&\&"!$Q?[&[!~^"&&!^&>&^&!"!_Q#&x"+ ?]?!'&! &!>&Q& \&"! $Q?[& $&!>?&! >]!"x ^&!& [!~?\?<&! [\&>"<&! ^&! $"$"> >&!&! xx?&" ^!'&! ][Q\?&!^&!]#[?&!#Q"!>&<&>&?[#Q"!>&<^&Q&<+ ~&> '"&>&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^!'&! >?@?&! [Q\"!^?!'&! ^&! ]_!xQ&x" ^"?>&]&! ]&Q!& &^&!~& ]?!>?!'&! x_x"&\ x[Q>" [!'!^&\"&! $&!@"Q ^&! ]]Q"!'&! [!{'&<&!Q_x"xQ>&[#&!>&[&!]_!^"x">&>&&"Q+ &x&\| ~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! "!x!>" &^&\&< x?&>? "!x>Q?#! ]$"@&]&! ~&!' #[? #!^_Q_!' >Q{&[&"!~& #&]x?^ ^&! >?@?&! Q<&$"\">&x" >&! ^&! \&<&! ^&! x]&\"'?x #[? #!{'&<$Q>$&<\?&x!~&]Q?x&]&!^'Q&^&x"x?#$Q^&~& >&!^&!\&<&!\&<&!]Q">"x^&\x?&>?]_x"x>#+ !Q&[&! "!x!>" >Q'&!>?!' [&^& {"Q" ]<&x ^&Q&< $&"] ^&Q" x'" [_>!x" x?#$Q^&~& >&! ^&! \&<&! ]\#$&'&&! x_x"&\ $?^&~& ^&! ]#[?&! ]_!_#" ^&Q&< ~&!' x&\"!' ##[!'&Q?<" &!>&Q& ^&Q&< ~&!' x&>? ^!'&! ~&!' \&"!!~& x<"!''&[!'&>?Q&!!~&^"\&]?]&!x{&Q&!&x"_!&\+ ~&> Q&>?Q&! !>Q" ##?&> [_]_][_]_] ]>!>?&! [!'#$&!'&!"!x!>"Q<&$"\">&x">&!^&!\&<&!&!>&Q&\&"!* &+ x>&!^&Q^&!]Q">Q"&[!'#$&!'&!"!x!>" $+ $!>?]$!>?]"!x!>"^&! {+ >&>&{&Q&[!~\!''&Q&&!]$"@&]&!^&![!>&[&!"!x!>"+ &x&\| ?]?[@\&x+ &x&\|+++
195
&x&\| ~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [Q?$&<&! [Q#?]&&! >&!&< &^&\&< $Q?$&&!'&\[&^&]&=&x&!>&!+ Q?$&<&! $!>&!' &\ x$&'&" &]"$&> [!''?!&&! ]&=&x&! >&!&!>&Q&\&"!$Q?[&[#$&!'?!&!"!x>&\&x"&"Q]x[\_">&x" [Q>$&!'&! &>&? $!{&!& &\ ~&!' #!~$&$]&! [!?Q?!&! ]?&\">&x >&! x{&Q& ]_!_#" x_x"&\ ^&! ]_\_'" ^&\]x"#$&!'&!]_x"x>#+ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! [Q?$&<&! [!?>?[&! >&!&< &^&\&< $Q?$&&x" ~&!' x#?\& &^& [&^& ]&=&x&! >&!+ ~&> ?Q?& ?]?[@\&x+ ?Q?$ &!' ^"#&]x?^ ^!'&! $!{&!& &\ &^&\&< ]@&^"&! &\ ~&!' #!'&]"$&>]&! [Q?$&<&! $!>&!' &\ x<"!''&>Q@&^"[!?Q?!&!]?&\">&x>&!x{&Q&]_!_#" x_x"&\^&!]_\_'"^&\]x"#$&!'&!]_x"x>#+ &x&\| ?]?[@\&x+ &x&\|| ~&> ?]?[@\&x+ ~&> &>& [Q"#Q ^"]?#[?\]&! ^&Q" [!'?#[?\&! \&!'x?!' ^" \&[&!'&! x^&!']&! ^&>& x]?!^Q ^"$"\ ^&Q" ^&>& ~&!' x?^&<&^&+ &^&&! $"_"x"] [&\"!' x^"]"> $Q"x" @!"x >&!&< >$&\ x_\?# >&!&<[!''?!&&!\&<&!\?&x[!?>?[&!\&<&!@!"x\_Q&^&! &?!& >_[_'Q&" @?#\&< @&! >"[ "]\"# >&>& &"Q Q_x" ?!'x" >&!'>&x"^&!>"!''">#[&>+ &^&&! x_x"&\ ]_!_#" [&\"!' x^"]"> $Q"x" ^#_'Q&" [!^?^?] >"!']&> [!^&[&>&! #&x~&Q&]&> #&>& [!{&<&Q"&! x&Q&!&[Q&x&Q&!&?#?#$?^&~&^&!]\#$&'&&!#&x~&Q&]&>+ ~&>+++
196
| ~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! ^&>& !?#Q"] &^&\&< ^&>& ~&!' $Q=?@?^&!']&&>&?x"x>#&!']&+ &!'^"#&]x?^^!'&!^&>&x[&x"&\&^&\&<^&>&~&!'##"\"]" QQ!x" Q?&!' ]$?#"&! JHRUHIHUHQFH ^" #&!& $Q$&'&" ^&>& &>Q"$?>>Q\>&]^&\$Q$&'&"?!">x[&x"&\+ &x&\|} ?]?[@\&x+ &x&\| ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?Q?& _!^"x" ]&=&x&! >&! x$\?# ^&! xx?^&< &]>"">&x [!''?!&&!]&=&x&!>&!$Q"x""!_Q#&x">!>&!']_!^"x" ]?&!>">&>"^&!]?&\">&>"&=&\[!?>?[&!&Q&\[!''?!&&! ]&=&x&!>&!+ _!^"x" ]?&\">&>" ^&! ]_!^"x" ]?&!>">&>" &!>&Q& \&"! ]Q&[&>&! >'&]&! @!"x >&!&! >_[_'Q&" ]\Q!'&! [!?>?[&!\&<&!\_Q&&?!&+ ?Q?$ !{&!& [#$?]&&! ]&=&x&! >&! $Q"x" "!_Q#&x" >!>&!' \?&x ^&! \_]&x" [!''?!&&! ]&=&x&! >&! ~&!' &]&!^"\&]x&!&]&!+ ?Q?{ Q_'Q Q]\&x" >&! #\"[?>" [!~"&[&! ]&=&x&! >&! [!'&>?Q&! $!>?] ]&=&x&! >&! [!'!^&\"&! Q_x" ^&! x^"#!>&x" [!'\_\&&! \&["x&! >&!&< Q'>&x"^&![!'&!&!+ !~"&[&!]&=&x&!>&!#Q?[&]&!&]>"">&x[#"!^&<&! &>&? [#$Qx"<&! x\?Q?< [Q&\&>&! ^&! [Q&x&Q&!& ~&!' >"^&] ^"'?!&]&! \&'" [#$?&!'&! \"#$&<x[&< $Q&{?!$Q$&<&~& [#$?&!'&! &>&? [!'?$?Q&! xQ&[ [!?>?[&! $?]&&! ^&! #\&Q&!' &>&? #!?>?[ @&\&! #&x?]+ !'&>?Q&!+++
197
} !'&>?Q&!$!>?]]&=&x&!>&!^"\&]?]&!xx?&"^!'&! ]_!^"x" >_[_'Q&" ^&! <"^Q_\_'" #\"[?>" ]'"&>&! [!'&>?Q&! $!>?] \Q!' ^&! [!'&>?Q&! x&\?Q&! [#$?&!'&!&"Q+ !'!^&\"&! Q_x" ^&! x^"#!>&x" ^"\&]?]&! ^!'&! ##"!"#&\"x]&! &Q&\ ~&!' >Q'&!''? ##$&>&x"#!'?Q&!'" ]{[&>&! &"Q \"#[&x&! #!"!']&>]&!"!"\>Q&x"^&![!'_\&<&!&"Q~&!']\?&Q^&Q" \_]&x"$]&x&]>"">&x[!''?!&&!]&=&x&!>&!+ !'_\&<&! \&["x&! >&!&< #Q?[&]&! ]'"&>&! ?!>?] ##"x&<]&!>&!&<[?{?]^!'&!\&["x&!>&!&<\&"!+ '>&x" &^&\&< [!&!&! ]#$&\" ^!'&! @!"x@!"x >&!&! {[&> >?#$?< [&^& &=&\!~& ^&! [!~?\&![!']&~&&! ^!'&! @!"x >&!&! \_]&\+ '>&x" ^"\&]?]&! ^!'&! >&<&[&! [!~?x?!&! Q&!{&!'&! >]!"x [Qx"&[&! \&[&!'&! [!'&^&&! $"$"> [!&!&!^&![#\"<&Q&&!+ !'&!&! #\"[?>" [&>Q_\" [#&x&!'&! >&!^&>&!^& [Q"!'&>&! ^&! >&!^& \&Q&!'&! xQ>& #!'&!]&! <&x"\ Q]\&x"+ ?Q?^ &!{&!'&! >]!"x Q]\&x" >&! ^"'?!&]&! x$&'&" &{?&!^>&"\?!>?]#!!>?]&!\_]&x">&[&]+
_]&x" >&[&] #Q?[&]&! \_]&x" x>#[&> VLWH ~&!' &]&! ^"\&]?]&! ]'"&>&! Q]\&x" ^!'&! #!Q&[]&! >]!"] Q]\&x">Q>!>?+ ?Q? &>&=&]>?[\&]x&!&&!#\"[?>"@&!']&=&]>?[\&]x&!&&! ^&![!~\x&"&!]'"&>&!Q]\&x">&!+ ?Q?+++
198
?Q? !{&!&$"&~&#\"[?>"$"&~&\&!'x?!'#&?[?!$"&~&>"^&] \&!'x?!'~&!'^"]\?&Q]&!^&\[!~\!''&Q&&!]'"&>&! Q]\&x">&!x$&'&"^&x&Q[Q<">?!'&!$x&Q!~&^&!& @"!&!Q]\&x"^&!Q<&$"\">&x">&!+ !{&!& $"&~& ^"@&^"]&! ^&x&Q [Q<">?!'&! $x&Q!~& ^&!& @"!&!Q]\&x">&!+ ?Q?' >& \_]&x" ^&! [>& Q!{&!& ]'"&>&! Q]\&x" >&! ^"$?&>^!'&!x]&\&*}+x[&"^!'&!*++ ~&>| ?]?[@\&x+ ~&>}
&x&\| ?]?[@\&x+
&x&\| ?]?[@\&x+
&x&\| ~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! ##$&~&Q ^&!& @"!&! Q]\&x" &^&\&< ^&!& ~&!' ^">#[&>]&! &>&? ^"x^"&]&! _\< [#'&!' ""!x$&'&"@"!&!?!>?]#\&]?]&!Q]\&x"+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>| ?]?[@\&x+
&x&\} ?]?[@\&x+
&x&\} ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>|+++
199
~&>| ?]?[@\&x+ ~&>} &x"\">&x" &!>&Q& \&"! #\&\?" $"#$"!'&! >]!"x [\&>"<&! ^&! [!~?\?<&!+ ~&> ^_#&! ~&!' ^"&>?Q ^&\ [Q&>?Q&! !>Q" &!>&Q& \&"! #!'&>?Q>!>&!'[Q!{&!&&!^&![\&]x&!&&!+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\} ~&> ?]?[@\&x+ ~&> &!' ^"#&]x?^ ^!'&! ]$"@&]&! &^&\&< [!'&>?Q&! &>&? [!>&[&! [^_#&! ^&\ ]'"&>&! Q<&$"\">&x" ^&! Q]\&x" >&!+ \&]x&!&&! [#$"!&&! [!'!^&\"&! ^&! ^"\&]?]&!^!'&!$Q]__Q^"!&x"!>Q">]!"x+
[!'&=&x&!
&x&\}| ?]?[@\&x+ &x&\}} ?]?[@\&x+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\} ?]?[@\&x+ &x&\} ~&> ?]?[@\&x+ ~&>+++
200
~&> '?Q&! #Q?[&]&! \&!']&< &=&\ x$&'&" ^&x&Q ]_Q]x" &>&? [!'!&&!x&!]x"+ ~&> ?]?[@\&x+ ~&>| #$&>&\&! ""! [#&!&&>&! >&! ^&! &>&? ""! ["!@ [&]&" [!''?!&&!]&=&x&!>&!^"\&]?]&!&[&$"\&* &+ [#$Q"&! [Q""!&!!~& >"^&] xx?&" ^!'&! Q&>?Q&! #Q"!>&<"!"&>&? $+ [#'&!' ""! #\&!''&Q ]>!>?&! ~&!' $Q\&]? ^&\ Q&>?Q&!#Q"!>&<"!"+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ &x&\ ?]?[@\&x+ ||
201
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan; Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
202
Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Wilayah Pencadangan Negara yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Pasal 2 (1) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. (2) Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya: a. indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau b. potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. (3) Penyiapan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan: a. perencanaan WP; dan b. penetapan WP. BAB II PERENCANAAN WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 3 Perencanaan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a disusun melalui tahapan: a. inventarisasi potensi pertambangan; dan
203
b. penyusunan rencana WP. Bagian Kedua Inventarisasi Potensi Pertambangan
Pasal 4 (1) Inventarisasi potensi pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi potensi pertambangan yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana penetapan WP. (2) Potensi pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. (3) Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang: a. mineral radioaktif; b. mineral logam; c. mineral bukan logam; d. batuan; dan e. batubara. (4) Pengaturan mengenai komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 5 Inventarisasi potensi pertambangan dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan. Penyelidikan dan penelitian pertambangan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi. Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat: a. formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara; b. data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; c. data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yang masih berlaku, yang sudah berakhir, dan/atau yang sudah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya; dan/atau d. interpretasi penginderaan jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi. Pasal 6 Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan oleh: a. Menteri, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: 1. lintas wilayah provinsi; 2. laut dengan jarak lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan/atau 3. berbatasan langsung dengan negara lain; b. gubernur, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: lintas wilayah kabupaten/kota; dan/atau
204
laut dengan jarak 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai; c. bupati/walikota, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: 1. kabupaten/kota; dan/atau 2. laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. Dalam hal wilayah laut berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah penyelidikan dan penelitian masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah. Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur. Pasal 7 Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan secara terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 8 (1) Dalam melakukan kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan, Menteri atau gubernur dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah. (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan. (3) Dalam hal tertentu, lembaga riset negara dapat melakukan kerja sama dengan lembaga riset asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib: menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan; dan menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada Menteri atau gubernur yang memberi penugasan. Lembaga riset asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) wajib: menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan; dan menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada lembaga riset negara yang bekerja sama dengannya paling lambat pada tanggal berakhirnya kerja sama.
Pasal 10 Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menetapkan wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang akan dilaksanakan oleh lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah dan dituangkan dalam peta. Menteri dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
205
Gubernur dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/walikota setempat. Bupati/walikota dapat mengusulkan suatu wilayah penugasan untuk dilakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada Menteri atau gubernur. Pasal 11 Peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sebagai dasar dalam memberikan penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah. Pasal 12 (1) Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara. (2) Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh lembaga riset berdasarkan penugasan dari Menteri atau gubernur wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara. (3) Peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara. (4) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri. (5) Berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri melakukan evaluasi. (6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan oleh Menteri sebagai bahan penyusunan rencana WP. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri.
penugasan
penyelidikan
dan
penelitian
Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Wilayah Pertambangan Pasal 14 Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk digital. Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang di-delineasi dalam garis putus-putus. Rencana WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan WP.
BAB III
206
PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu Umum Pasal 15 Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian. Pasal 16 (1) WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dapat terdiri atas: a. WUP; b. WPR; dan/atau c. WPN. (2) WUP dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri. (3) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota. (4) Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/kota dan dalam 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur. (5) Untuk menetapkan WUP, WPR, dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan eksplorasi. (6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi berupa: a. peta, yang terdiri atas: 1. peta geologi dan peta formasi batuan pembawa; dan/atau 2. peta geokimia dan peta geofisika; b. perkiraan sumber daya dan cadangan. (7) Menteri dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (8) Gubernur dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/ walikota setempat. (9) Bupati/walikota dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan gubernur. Pasal 17 (1) Data dan informasi hasil eksplorasi yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota wajib diolah menjadi peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara.
207
(2) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat sebaran potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. (3) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta laporan hasil eksplorasi kepada Menteri. (4) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam bentuk lembar peta dan digital. Bagian Kedua Wilayah Usaha Pertambangan Paragraf 1 Umum Pasal 18 WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. WUP mineral radioaktif; b. WUP mineral logam; c. WUP batubara; d. WUP mineral bukan logam; dan/atau e. WUP batuan. Pasal 19 (1) WUP ditetapkan oleh Menteri. (2) Untuk WUP mineral radioaktif, penetapannya dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran. Paragraf 2 Penyusunan Rencana Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 20 (1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WUP berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara, formasi batuan pembawa mineral logam, dan/atau formasi batuan pembawa mineral radioaktif, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, mineral logam, batubara, mineral bukan logam, dan/atau batuan; c. memiliki potensi sumber daya mineral atau batubara; d. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara; e. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan; dan
208
g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Paragraf 3 Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 21 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WUP oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas: a. WIUP radioaktif; b. WIUP mineral logam; c. WIUP batubara; d. WIUP mineral bukan logam; dan/atau e. WIUP batuan. (3) Penetapan WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan WUP diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Pasal 22 (1) Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus memenuhi kriteria: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. (2) Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan berada pada: a. lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan oleh Menteri pada WUP; b. lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil ditetapkan oleh gubernur pada WUP; dan/atau c. kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan oleh bupati/walikota pada WUP. (3) Pada wilayah laut yang berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah kewenangan masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah. (4) Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur. (5) Penetapan WUP mineral bukan logam dan/atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
209
(6) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 23 (1) WIUP mineral logam dan/atau batubara ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (2) WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Dalam hal di WIUP mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUP terlebih dahulu. Pasal 25 Ketentuan mengenai pemberian WIUP diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Bagian Ketiga Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 26 (1) Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun; g. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
210
Pasal 27 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. (2) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur. (3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan pertimbangan berkaitan dengan data dan informasi yang dimiliki pemerintah provinsi yang bersangkutan. (4) Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperoleh pertimbangan. Bagian Keempat Wilayah Pencadangan Negara Paragraf 1 Umum Pasal 28 Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Paragraf 2 Penyusunan Rencana Penetapan Wilayah Pencadangan Negara Pasal 29 (1) Menteri menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; c. memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; dan d. untuk keperluan konservasi komoditas tambang; e. berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain; f. merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau g. berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Penetapan Wilayah Pencadangan Negara dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus
211
Pasal 30 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPN oleh Menteri setelah memperhatikan aspirasi daerah dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WUPK.
Pasal 31 (1) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi WUPK dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau f. penggunaan teknologi tinggi dan modal inventasi yang besar. Paragraf 4 Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Pasal 32 (1) Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) harus memenuhi kriteria: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk; (2) WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. WIUPK mineral logam; dan/atau b. WIUPK batubara. (3) Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUPK mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUPK berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 33 Dalam hal di WIUPK mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUPK terlebih dahulu. Pasal 34 Ketentuan mengenai pemberian WIUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
212
Bagian Kelima Delineasi Zonasi Untuk WIUP atau WIUPK Operasi Produksi Dalam Kawasan Lindung Pasal 35 (1) Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat didelineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. (2) Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. (3) Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara melakukan delineasi diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV DATA DAN INFORMASI Bagian Kesatu Pengelolaan Data dan Informasi Pasal 36 (1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengelola data dan/atau informasi kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan data dan/atau informasi meliputi kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan data dan/atau informasi. (3) Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan data dan/atau informasi usaha pertambangan kepada Pemerintah. (4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan milik negara dan dikelola oleh Menteri. (5) Hasil pengelolaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk: a. penetapan klasifikasi potensi dan WP; b. penentuan neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional; atau c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mineral dan batubara. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan data dan/atau informasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Sistem Informasi Geografis
213
Pasal 38 (1) WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK. (2) Sistem koordinat pemetaan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional. (3) Sistem informasi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diakses oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi WP diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 1. Instansi Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menggunakan sistem koordinat peta berdasarkan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional wajib menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. 2. Wilayah surat izin pertambangan daerah dan wilayah kuasa pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah atau Kuasa Pertambangan yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan menjadi WIUP dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. 3. Wilayah kontrak karya dan wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai wilayah pertambangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 41 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
214
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 28
215
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN I.
UMUM Kegiatan pertambangan di Indonesia secara nyata telah membuka dan mengembangkan wilayah terpencil. Dengan berkembangnya pusat pertumbuhan baru di beberapa wilayah, telah memberikan manfaat dalam pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diharapkan menjadi penggerak pembangunan, terutama di kawasan Timur Indonesia. Pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara harus berdasarkan praktek pertambangan yang baik dan benar dengan memperhatikan elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup. Kegiatan pertambangan mineral dan batubara memiliki potensi strategis untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Mineral dan batubara yang terkandung dalam Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Indonesia, keterdapatannya memiliki sifat yang tidak terbarukan, tersebar tidak merata, terbentuk jutaan tahun yang lalu, keberadaannya tidak kasat mata, keterdapatannya alamiah dan tidak bias dipindahkan. Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, pertambangan mineral dan batubara juga dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya waktu dan teknologi, karena itu dalam menetapkan Wilayah Pertambangan harus mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berada pada sekitar wilayah pertambangan mineral dan batubara, baik orang perseorangan, kelompok masyarakat, maupun koperasi untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, ditetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan yang mengatur penyelidikan dan penelitian pertambangan, perencanaan dan penetapan WP, WUP, WIUP, WPN, WUPK, WIUPK, WPR, data dan informasi, serta system informasi geografis.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2
216
Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” antara lain berupa kerja sama teknik antara Pemerintah dan pemerintah asing, baik dalam bentuk bilateral, regional, maupun multilateral. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Data dan informasi diolah dan dituangkan menjadi peta potensi mineral menggunakan standar nasional pengolahan data geologi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
217
Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Berkoordinasi dimaksudkan untuk menetapkan batas dan luas WIUP mineral logam dan/atau batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
218
Huruf a Yang dimaksud dengan “tepi dan tepi sungai” adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Komoditas tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, bauksit, dan batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
219
Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5110
220
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kawasan Hutan; Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 4. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
221
5. Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. 6. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat nonkomersial adalah penggunaan kawasan hutan yang bertujuan tidak mencari keuntungan. 7. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan hutan yang bertujuan mencari keuntungan. 8. Reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak berupa lahan kosong, alangalang, atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. 9. Reklamasi hutan adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat penggunaan kawasan hutan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. 10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. Pasal 2 Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Pasal 3 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan di dalam: a. kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 4 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. (2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. religi; b. pertambangan; c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
222
h. i. j. k. l.
fasilitas umum; industri terkait kehutanan; pertahanan dan keamanan; prasarana penunjang keselamatan umum; atau penampungan sementara korban bencana alam. Pasal 5
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan: a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: 1. penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan 2. penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: 1. turunnya permukaan tanah; 2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden. BAB II IZIN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan. (2) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan: a. izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi lahan, untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dengan ketentuan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:1 untuk nonkomersial dan paling sedikit 1:2 untuk komersial; b. izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dengan ketentuan: 1. penggunaan untuk nonkomersial dikenakan kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio 1:1; 2. penggunaan untuk komersial dikenakan kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai paling sedikit dengan ratio 1:1; c. izin pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi lahan atau tanpa kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan tanpa melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, dengan ketentuan hanya untuk:
223
1. kegiatan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, cek dam, embung, sabo, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika; 2. kegiatan survei dan eksplorasi. (3) Dalam hal kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 dilakukan pengambilan contoh ruah sebagai uji coba tambang untuk kepentingan kelayakan ekonomi, dikenakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b angka 2. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ratio lahan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ratio penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 7 (1) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan. (2) Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan dengan luasan tertentu kepada gubernur untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat nonkomersial. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 8 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan. Bagian Kedua Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 9 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diajukan oleh: a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur; c. bupati/walikota; d. pimpinan badan usaha; atau e. ketua yayasan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 10 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri melakukan penilaian.
224
(2) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan permohonan tidak memenuhi persyaratan, Menteri menyampaikan surat penolakan. (3) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan permohonan memenuhi persyaratan, Menteri menerbitkan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebelum menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. (4) Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kegiatan survei atau eksplorasi, Menteri menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan tanpa melalui persetujuan prinsip. Pasal 11 (1) Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. (2) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. melaksanakan tata batas terhadap kawasan hutan yang disetujui dan lahan kompensasi serta proses pengukuhannya; b. melaksanakan inventarisasi tegakan; c. membuat pernyataan kesanggupan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, dalam hal kompensasi berupa pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai; d. menyerahkan dan menghutankan lahan untuk dijadikan kawasan hutan, dalam hal kompensasi berupa lahan; dan e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 12 (1) Pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dapat mengajukan dispensasi kepada Menteri. (2) Dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk kegiatan yang sifatnya mendesak dan apabila ditunda mengakibatkan kerugian negara. (3) Dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama sesuai dengan jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan. Pasal 13 Dalam hal pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan telah memenuhi seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Menteri menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan penggunaan kawasan hutan diatur dengan peraturan Menteri. Bagian Ketiga Kewajiban Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 15 Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib:
225
a. b. c. d. e.
membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan; melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai; melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi; menyelenggarakan perlindungan hutan; melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; dan f. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 16 Berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan, pemegang izin dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan, dan/atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang: a. memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri; b. menjaminkan atau mengagunkan kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain. Bagian Keempat Jangka Waktu Izin Pasal 18
(1) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan diberikan sama dengan jangka waktu perizinan sesuai bidangnya dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya, izin pinjam pakai kawasan hutan diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. (3) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur kereta api umum, cek dam, embung, sabo, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika, serta religi berlaku selama digunakan untuk kepentingan dimaksud. (4) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dievaluasi oleh Menteri satu kali dalam 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan tidak lagi menggunakan kawasan hutan sesuai dengan izin pinjam pakai kawasan hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan dicabut. BAB III MONITORING DAN EVALUASI Pasal 19 (1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap: a. pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasanhutan; b. penerima dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan
226
c. pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan. (2) Dalam melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk atau gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi diatur dengan peraturan Menteri. BAB IV HAPUSNYA PERSETUJUAN PRINSIP ATAU IZIN Pasal 20 (1) Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) atau izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hapus apabila: a. jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan telah berakhir; b. dicabut oleh Menteri; c. diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan pernyataan tertulis; atau d. kawasan hutan yang dipinjam pakai berubah peruntukan menjadi bukan kawasan hutan atau berubah fungsi menjadi fungsi hutan yang penggunaannya dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan dikenai sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (3) Berdasarkan penyerahan kembali secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Menteri menerbitkan surat pencabutan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau keputusan pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan. Pasal 21 (1) Hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak membebaskan kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban: a. membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan; b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai atau reboisasi pada lahan kompensasi; c. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; d. membayar penggantian nilai tegakan, dan provisi sumber daya hutan, dan/atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan. (2) Pada saat hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan barang tidak bergerak termasuk tanaman yang telah ditanam dalam kawasan hutan yang dipinjam pakai maupun barang bergerak, kepemilikannya ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Barang bergerak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepemilikannya menjadi milik pemegang izin, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak hapusnya izin atau sejak
227
kegiatan reklamasi dinilai berhasil, wajib dikeluarkan dari kawasan hutan oleh pemegang izin. (4) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang izin yang izinnya hapus tidak mengeluarkan barang bergerak dari kawasan hutan, barang bergerak dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya izin diatur dengan peraturan Menteri. BAB V SANKSI Pasal 23 Setiap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenai sanksi berupa pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh Menteri. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diatur dengan peraturan Menteri. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini: a. Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan oleh Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan dalam persetujuan prinsip tetap dapat diproses menjadi izin pinjam pakai kawasan hutan dengan dibebani kewajiban sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini. b. Izin atau perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin atau perjanjian pinjam pakai kawasan hutan, kecuali terjadi perubahan peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan. Pasal 26 Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan yang mengatur pinjam pakai kawasan hutan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
228
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 30
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri ttd. Setio Sapto Nugroho
229
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN I. UMUM Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat menggunakan kawasan hutan meliputi kegiatan religi, pertambangan, instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi, jalan umum, jalan tol, jalur kereta api, sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi, sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah, fasilitas umum, industri terkait kehutanan, pertahanan dan keamanan, prasarana penunjang keselamatan umum, atau penampungan sementara korban bencana alam. Penggunaan kawasan hutan wajib mempertimbangkan batasan luas, jangka waktu tertentu, dan kelestarian lingkungan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Luas penggunaan kawasan hutan untuk pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan dibatasi guna menjamin kelestarian hutan dan keberlanjutan usaha di bidang kehutanan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1)
230
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang mempunyai tujuan strategis” adalah kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Ayat (2) Pemohon dalam mengusulkan kegiatan pembangunan di luar kehutanan harus sesuai dengan peraturan perundangundangan. Huruf a Kegiatan religi misalnya tempat ibadah, tempat pemakaman, dan wisata rohani. Huruf b Kegiatan pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara, dan panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kegiatan pertahanan dan keamanan misalnya antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai. Huruf k Prasarana penunjang keselamatan umum misalnya keselamatan lalulintas laut, lalulintas udara, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Huruf l Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Lokasi lahan kompensasi ditetapkan sesuai dengan atau diintegrasikan dalam proses perubahan rencana tata ruang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “survei dan eksplorasi” antara lain meliputi kegiatan pertambangan dan arkeologi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “contoh ruah” adalah suatu kegiatan eksplorasi tambang untuk mengambil contoh mineral dan batubara.
231
Ayat (4) Dalam peraturan Menteri paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. jenis pohon yang ditanam; dan b. penetapan lokasi yang akan direhabilitasi. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “badan usaha” adalah: 1) badan usaha milik negara; 2) badan usaha milik daerah; 3) badan usaha milik swasta yang berbadan hokum Indonesia; 4) bentuk usaha tetap; 5) koperasi. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Monitoring dilakukan sebagai pembinaan agar pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam izin. Ayat (2)
232
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Berubah fungsi hutan misalnya: a. izin pinjam pakai diberikan untuk kegiatan tambang terbuka pada hutan produksi, kemudian berubah menjadi hutan lindung. b. izin pinjam pakai diberikan untuk kegiatan tambang pada hutan produksi atau hutan lindung, kemudian berubah menjadi hutan konservasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5112
233
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan, Mineral, Batubara, Usaha Pertambangan, Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WIUPK, Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUP Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi, Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut IPR, Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut IUPK, Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUPK Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUPK Operasi Produksi, Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Operasi Produksi, Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan 234
dan Penjualan, Reklamasi, Kegiatan Pascatambang yang selanjutnya disebut Pascatambang, dan Pemberdayaan Masyarakat adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II PEMBINAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Bagian Kedua Pembinaan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasal 3 Pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara. Pasal 4 Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
235
Pasal 5 (1) Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. pedoman tata laksana; dan b. pedoman pelaksanaan. (2) Pedoman tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi pedoman struktur dan tata kerja penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Pedoman pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: a. pedoman teknis pertambangan; b. pedoman penyusunan laporan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan; c. pedoman penyusunan rencana kerja dan anggaran biaya; d. pedoman impor barang modal, peralatan, bahan baku, dan/atau bahan pendukung pertambangan; e. pedoman penyusunan rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan; f. pedoman pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar tambang; g. pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan; h. pedoman penyusunan laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, reklamasi, dan pascatambang; i. pedoman evaluasi terhadap laporan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan; j. pedoman penyusunan laporan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan k. pedoman evaluasi laporan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 6 (1) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan terhadap penyelenggara pengelolaan usaha pertambangan. (2) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Pasal 7 Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c paling sedikit meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan teknis manajerial, teknis pertambangan, dan pengawasan di bidang mineral dan batubara. 236
Pasal 8 (1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan/atau perguruan tinggi serta lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah provinsi, perguruan tinggi, serta lembaga lainnya setelah mendapat akreditasi dari komite akreditasi yang dibentuk oleh Menteri. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta pemberian akreditasi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 11 (1) Pembinaan terhadap perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dilakukan oleh Menteri melalui pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pembinaan Atas Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 12 (1) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan paling sedikit terhadap: a. pengadministrasian pertambangan; b. teknis operasional pertambangan; dan c. penerapan standar kompetensi tenaga kerja pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
237
BAB III PENGAWASAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Bagian Kedua Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasal 14 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) meliputi pengawasan terhadap: a. penetapan WPR; b. penetapan dan pemberian WIUP mineral bukan logam dan batuan; c. pemberian WIUP mineral logam dan batubara; d. penerbitan IPR; e. penerbitan IUP; dan f. penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pemegang IPR dan IUP. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 15 (1) Hasil pengawasan yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disampaikan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan tembusannya disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. (2) Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menindaklanjuti hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri melakukan pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
238
Bagian Ketiga Pengawasan Atas Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 16 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan terhadap: a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengelolaan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa serta rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK; dan o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. Pasal 17 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan melalui: a. evaluasi terhadap laporan rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IPR, dan IUPK; dan/atau b. inspeksi ke lokasi IUP, IPR, dan IUPK. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. Pasal 18 (1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang dilakukan oleh bupati/walikota disampaikan kepada gubernur dan Menteri. (2) Gubernur melakukan evaluasi atas hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan hasil evaluasinya kepada Menteri. Pasal 19 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang dilakukan oleh gubernur disampaikan kepada Menteri.
239
Pasal 20 (1) Menteri melakukan evaluasi atas hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada gubernur atau bupati/walikota dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 21 (1) Pengawasan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a untuk: a. IUP atau IUPK Eksplorasi dilakukan paling sedikit terhadap: 1. pelaksanaan teknik eksplorasi; dan 2. tata cara penghitungan sumber daya dan cadangan. b. IUP atau IUPK Operasi Produksi paling sedikit terhadap: 1. perencanaan dan pelaksanaan konstruksi termasuk pengujian alat pertambangan (commisioning); 2. perencanaan dan pelaksanaan penambangan; 3. perencanaan dan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian; dan 4. perencanaan dan pelaksanaan pengangkutan dan penjualan. (2) Pengawasan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. Pasal 22 (1) Pengawasan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b paling sedikit meliputi: a. realisasi produksi dan realisasi penjualan termasuk kualitas dan kuantitas serta harga mineral dan batubara; b. kewajiban pemenuhan kebutuhan mineral atau batubara untuk kepentingan dalam negeri; c. rencana dan realisasi kontrak penjualan mineral atau batubara; d. biaya penjualan yang dikeluarkan; e. perencanaan dan realisasi penerimaan negara bukan pajak; dan f. biaya pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau batubara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23 (1) Pengawasan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c paling sedikit meliputi: a. perencanaan anggaran; b. realisasi anggaran; c. realisasi investasi; dan d. pemenuhan kewajiban pembayaran. 240
(2) Pemenuhan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit meliputi: a. iuran tetap untuk WIUP mineral logam, WIUP batubara WPR, atau WIUPK; b. iuran produksi mineral logam, batubara, dan mineral bukan logam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. pembayaran sebesar 10% (sepuluh persen) dari keuntungan bersih bagi pemegang IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 24 (1) Pengawasan pengelolaan data mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, paling sedikit meliputi pengawasan terhadap kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan data dan/atau informasi. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 25 (1) Pengawasan konservasi sumber daya mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e paling sedikit meliputi: a. recovery penambangan dan pengolahan; b. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal; c. pengelolaan dan/atau pemanfaatan batubara kualitas rendah dan mineral kadar rendah; d. pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral ikutan; e. pendataan sumber daya serta cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang; dan f. pendataan dan pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. Pasal 26 (1) Pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf f terdiri atas: a. keselamatan kerja; b. kesehatan kerja; c. lingkungan kerja; dan d. sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya dilakukan oleh Inspektur Tambang berkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
241
Pasal 27 (1) Pengawasan keselamatan operasi pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf g paling sedikit meliputi: a. sistem dan pelaksanaan pemeliharaan/perawatan sarana, prasarana, instalasi, dan peralatan pertambangan; b. pengamanan instalasi; c. kelayakan sarana, prasarana instalasi, dan peralatan pertambangan; d. kompetensi tenaga teknik; dan e. evaluasi laporan hasil kajian teknis pertambangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang dan dapat berkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 28 (1) Pengawasan pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf h paling sedikit meliputi: a. pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai dengan dokumen pengelolaan lingkungan atau izin lingkungan yang dimiliki dan telah disetujui; b. penataan, pemulihan, dan perbaikan lahan sesuai dengan peruntukannya; c. penetapan dan pencairan jaminan reklamasi; d. pengelolaan pascatambang; e. penetapan dan pencairan jaminan pascatambang; dan f. pemenuhan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang dan berkoordinasi dengan pejabat pengawas di bidang lingkungan hidup dan di bidang reklamasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 29 (1) Pengawasan pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i dilakukan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun. (2) Penggunaan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dilaksanakan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi pelaksana usaha jasa pertambangan mineral dan batubara serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. Pasal 30 (1) Pengawasan pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf j paling sedikit meliputi: a. pelaksanaan program pengembangan; 242
b. pelaksanaan uji kompetensi; dan c. rencana biaya pengembangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 (1) Pengawasan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf k paling sedikit meliputi: a. program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; b. pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan c. biaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32 (1) Pengawasan kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf m paling sedikit meliputi: a. fasilitas umum yang dibangun oleh pemegang IUP atau pemegang IUPK untuk masyarakat sekitar tambang; dan b. pembiayaan untuk pembangunan atau penyediaan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 33 (1) Pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf n paling sedikit meliputi: a. luas wilayah; b. lokasi penambangan; c. lokasi pengolahan dan pemurnian; d. jangka waktu tahap kegiatan; e. penyelesaian masalah pertanahan; f. penyelesaian perselisihan; dan g. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 34 (1) Pengawasan jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf o paling sedikit meliputi: a. jenis komoditas tambang; 243
b. kuantitas dan kualitas produksi untuk setiap lokasi penambangan; c. kuantitas dan kualitas pencucian dan/atau pengolahan dan pemurnian; dan d. tempat penimbunan sementara (run of mine), tempat penimbunan (stock pile), dan titik serah penjualan (at sale point). (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara serta pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pelaksanaan Pengawasan Pasal 36 (1) Pengawasan oleh Inspektur Tambang dilakukan melalui: a. evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau sewaktuwaktu; b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu; dan c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan. (2) Dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Tambang melakukan kegiatan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian. (3) Dalam melakukan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Inspektur Tambang berwenang: a. memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat; b. menghentikan sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan mineral dan batubara apabila kegiatan pertambangan dinilai dapat membahayakan keselamatan pekerja/buruh tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; dan c. mengusulkan penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf b menjadi penghentian secara tetap kegiatan pertambangan mineral dan batubara kepada Kepala Inspektur Tambang. Pasal 37 (1) Pengawasan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dilakukan melalui: a. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; dan/atau b. verifikasi dan evaluasi terhadap laporan dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat yang ditunjuk berwenang memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat. Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan pejabat dan pengangkatan Inspektur Tambang diatur dengan Peraturan Menteri. 244
BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 85 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, Ttd, Setio Sapto Nugroho
245
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Pemanfaatan kekayaan alam berupa mineral dan batubara harus dikelola secara profesional dan transparan agar memiliki nilai tambah bagi peningkatan pendapatan nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan mineral dan batubara yang memenuhi prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tetapi juga dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan harus dilakukan berdasarkan pedoman dan standar yang baku agar diperoleh kejelasan dan kepastian bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang mineral dan batubara. Pembinaan dan pengawasan dilakukan selain terhadap kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, pertambangan rakyat juga dilakukan terhadap pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kegiatan usaha pertambangan. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) 246
Bimbingan, supervisi, dan konsultasi dalam ketentuan ini dapat berupa sosialisasi, penyuluhan, lokakarya, inspeksi bersama, seminar, dan pertemuan teknis di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ayat (2) Sesuai dengan kebutuhan dalam ketentuan ini dilakukan berdasarkan penilaian Menteri atau atas permintaan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya dalam ketentuan ini termasuk lembaga pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh swasta atau masyarakat. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
247
Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Keselamatan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. manajemen risiko; b. program keselamatan kerja yang meliputi, antara lain, pencegahan kecelakan, peledakan, kebakaran, dan kejadian lain yang berbahaya; c. pelatihan dan pendidikan keselamatan kerja; d. administrasi keselamatan kerja; e. manajemen keadaan darurat; f. inspeksi keselamatan kerja; g. pencegahan dan penyelidikan kecelakaan. Huruf b Kesehatan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. program kesehatan pekerja/buruh yang meliputi, antara lain, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, pertolongan pertama pada kecelakaan, serta pelatihan dan pendidikan kesehatan kerja; b. higienis dan sanitasi; c. ergonomis; d. pengelolaan makanan, minuman, dan gizi pekerja/buruh; dan/atau e. dianogsis dan pemeriksaan penyakit akibat kerja. Huruf c Lingkungan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. pengendalian debu; b. pengendalian kebisingan; c. pengendalian getaran; d. pencahayaan; e. kualitas udara kerja; f. pengendalian radiasi; g. pengendalian faktor kimia; h. pengendalian faktor biologi; dan i. kebersihan lingkungan kerja. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 248
Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Fasilitas umum dalam ketentuan ini misalnya jalan umum, sekolah, dan klinik. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Kepala Inspektur Tambang” adalah pejabat yang secara ex officio menduduki jabatan: 1. direktur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang keteknikan pertambangan mineral dan batubara di Pemerintah; 2. kepala dinas teknis provinsi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara di pemerintah provinsi; 3. kepala dinas teknis kabupaten/kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara di pemerintah kabupaten/kota. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas.
249
Pasal 39 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5142
250
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebutuhan penyediaan tenaga listrik cenderung meningkat sehingga perlu meningkatkan ketersediaan tenaga listrik; b. bahwa energi panas bumi adalah salah satu sumber energi yang dapat digunakan untuk penyediaan tenaga listrik sehingga perlu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi badan usaha yang melakukan kegiatan usaha panas bumi untuk penyediaan tenaga listrik; c. bahwa ketentuan mengenai jangka waktu pengembalian wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi belum memberikan waktu yang cukup bagi badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha panas bumi untuk melakukan kegiatan eksploitasi sehingga jangka waktunya perlu diperpanjang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777); MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI. Pasal I Ketentuan Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777), diubah sebagai berikut: “Pasal 86 Dalam hal pemegang kuasa, izin, dan/atau kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 belum melakukan kegiatan eksploitasi dalam wilayah kerjanya sampai dengan tanggal 31 Desember 2014, pemegang
251
kuasa, izin, dan/atau kontrak wajib mengembalikan wilayah kerja tersebut kepada Pemerintah.” Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 121 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, Ttd, Setio Sapto Nugroho
252
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI I.
UMUM Berdasarkan ketentuan Pasal 85 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi bahwa keberadaan kuasa, izin, dan kontrak di bidang usaha panas bumi sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa kuasa, izin, dan kontrak tersebut berakhir. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 jika dalam batas waktu paling lambat sampai dengan tanggal 21 Oktober 2010 badan usaha yang bersangkutan belum melakukan kegiatan eksploitasi, wilayah kerjanya wajib dikembalikan kepada Pemerintah. Dalam kenyataanya, belum dilaksanakan kegiatan eksploitasi oleh badan usaha disebabkan oleh permasalahan birokrasi dalam penerbitan rekomendasi dan perizinan di bidang pengusahaan panas bumi sehingga badan usaha tidak dapat melaksanakan kegiatan eksploitasi sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007. Hal ini dapat menganggu upaya Pemerintah menjamin ketersediaan dan terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat. Untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin ketersediaan dan terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat bagi badan usaha dipandang perlu untuk memperpanjang jangka waktu penyerahan wilayah kerja, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 86.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5163
253
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 101 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Reklamasi dan Pascatambang;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PASCATAMBANG.
TENTANG
REKLAMASI
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan . . .
254
-2-
1. Pertambangan, Mineral, Batubara, Pertambangan Mineral, Pertambangan Batubara, Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut IUPK, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUP Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUPK Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUPK Operasi Produksi, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Operasi Produksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, Reklamasi, Kegiatan Pascatambang yang selanjutnya disebut Pascatambang, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II PRINSIP REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Pasal 2 (1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang. (3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi. (4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode: a. penambangan terbuka; dan b. penambangan bawah tanah. Pasal 3 (1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib memenuhi prinsip: a. perlindungan dan pertambangan; dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
b. keselamatan dan kesehatan kerja. (2) Pelaksanaan . . .
255
-3-
(2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip: a. perlindungan pertambangan;
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan c. konservasi mineral dan batubara. Pasal 4 (1) Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, paling sedikit meliputi: a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, meliputi: a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja/buruh; dan b. perlindungan setiap pekerja/buruh dari penyakit akibat kerja. (3) Prinsip konservasi mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, meliputi: a. penambangan yang optimum; b. penggunaan metode dan teknologi pengolahan dan pemurnian yang efektif dan efisien; c. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marjinal, mineral kadar rendah, dan mineral ikutan serta batubara kualitas rendah; dan d. pendataan . . .
256
-4-
d. pendataan sumber daya serta cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang serta sisa pengolahan dan pemurnian. (4) Dalam hal mineral ikutan dari sisa penambangan, pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mengandung radioaktif, wajib melakukan analisis keselamatan radiasi untuk tenorm dan melaksanakan intervensi terhadap paparan radiasi yang berasal dari tenorm sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III TATA LAKSANA REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1)
(2)
Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Pasal 6
(1)
(2)
(3)
Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (4) Rencana . . .
257
-5-
(4)
Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sesuai dengan: a. prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. sistem dan kelayakan;
metode
penambangan
berdasarkan
studi
c. kondisi spesifik wilayah izin usaha pertambangan; dan d. ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Rencana Reklamasi Pasal 7 (1)
Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(2)
Dalam rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat rencana reklamasi untuk masing-masing tahun.
(3)
Dalam hal umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang.
(4)
Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling sedikit memuat: a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang; b. rencana pembukaan lahan; c. program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat sementara dan/atau permanen; d. kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir; dan e. rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
(5)
Lahan di luar bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi: a. tempat penimbunan tanah penutup; b. tempat . . .
258
-6-
b. tempat penimbunan sementara dan tempat penimbunan bahan tambang; c. jalan; d. pabrik/instalasi pengolahan dan pemurnian; e. bangunan/instalasi sarana penunjang; f. kantor dan perumahan; g. pelabuhan khusus; dan/atau h. lahan penimbunan dan/atau pengendapan tailing. Pasal 8 Dalam hal reklamasi berada di dalam kawasan hutan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, perencanaan reklamasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana reklamasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Rencana Pascatambang Pasal 10 Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 memuat: a. profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang; b. deskripsi kegiatan pertambangan, meliputi keadaan cadangan awal, sistem dan metode penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang; c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial; d. program pascatambang, meliputi: 1. reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang; 2. pemeliharaan hasil reklamasi; 3. pengembangan . . .
259
-7-
3. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan 4. pemantauan. e. organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang; f. kriteria keberhasilan pascatambang; dan g. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Pasal 11 Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi dalam menyusun rencana pascatambang harus berkonsultasi dengan instansi Pemerintah, instansi pemerintah provinsi dan/atau instansi pemerintah kabupaten/kota yang membidangi pertambangan mineral dan batubara, instansi terkait lainnya, dan masyarakat. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana dan kriteria keberhasilan pascatambang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PERSETUJUAN RENCANA REKLAMASI DAN RENCANA PASCATAMBANG Bagian Kesatu Persetujuan Rencana Reklamasi Pasal 13 (1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi diterbitkan.
(2)
Dalam hal rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (3) Pemegang . . .
260
-8-
(3)
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 14
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana reklamasi yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 apabila terjadi perubahan atas: a. sistem dan metode penambangan yang telah disetujui; b. kapasitas produksi; c. umur tambang; d. tata guna lahan; dan/atau e. dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan reklamasi tahun berikutnya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas perubahan rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak menerima pengajuan perubahan rencana reklamasi. Dalam hal perubahan rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan pengajuan perubahan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi harus menyampaikan kembali perubahan rencana reklamasi yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 15 . . .
261
-9-
Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan rencana reklamasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Persetujuan Rencana Pascatambang Pasal 16 (1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana pascatambang yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 11 dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi diterbitkan.
(2)
Dalam hal rencana pascatambang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 11, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan rencana pascatambang kepada pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
(3)
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 17
(1)
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana pascatambang apabila terjadi perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2)
Perubahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri . . .
262
- 10 -
(3)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas perubahan rencana pascatambang yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 11 dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak menerima pengajuan perubahan rencana pascatambang.
(4)
Perubahan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sebelum akhir kegiatan penambangan. Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan rencana pascatambang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PELAKSANAAN DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Reklamasi Tahap Eksplorasi Pasal 19 (1)
Pelaksanaan reklamasi pada lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi dilakukan pada lahan yang tidak digunakan pada tahap operasi produksi.
(2)
Lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lubang pengeboran, sumur uji, parit uji, dan/atau sarana penunjang.
(3)
Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai memenuhi kriteria keberhasilan. Bagian Kedua
Reklamasi dan Pascatambang Tahap Operasi Produksi Pasal 20 (1)
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai memenuhi kriteria keberhasilan. (2) Dalam . . .
263
- 11 -
(2)
Dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang. Pasal 21
Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu. Bagian Ketiga Pelaporan dan Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pasal 22 (1)
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. Pasal 23
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan reklamasi secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. Pasal 24 Dalam hal reklamasi berada di dalam kawasan hutan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, penilaian keberhasilan reklamasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 25 . . .
264
- 12 -
Pasal 25 (1)
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan pascatambang setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir.
(2)
Dalam hal seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan pascatambang.
(3)
Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. Pasal 26
(1)
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pascatambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. Pasal 27
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan pascatambang secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan evaluasi reklamasi serta pascatambang diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI . . .
265
- 13 -
BAB VI JAMINAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu Umum Pasal 29 (1)
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan: a. jaminan reklamasi; dan b. jaminan pascatambang.
(2)
Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan b. jaminan reklamasi tahap operasi produksi. Bagian Kedua Jaminan Reklamasi Pasal 30
(1)
Jaminan reklamasi tahap eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi yang disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi.
(2)
Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka.
(3)
Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap eksplorasi disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31
(1)
Jaminan reklamasi tahap operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi. (2) Jaminan . . .
266
- 14 -
(2)
Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. rekening bersama pada bank pemerintah; b. deposito berjangka pada bank pemerintah; c. bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional; atau d. cadangan akuntansi.
(3)
Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana reklamasi disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32
Penempatan Jaminan Reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dan IUPK untuk melaksanakan reklamasi. Pasal 33 Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan reklamasi. Pasal 34 (1)
Dalam hal jaminan reklamasi tidak menutupi untuk menyelesaikan reklamasi, kekurangan biaya untuk penyelesaian reklamasi menjadi tanggung jawab pemegang IUP atau IUPK.
(2)
Dalam hal terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk penyelesaian reklamasi, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP atau IUPK setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 35
Pemegang IUP atau IUPK dapat mengajukan permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan tingkat keberhasilan reklamasi. Pasal 36 . . .
267
- 15 -
Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan reklamasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Jaminan Pascatambang Pasal 37 (1)
Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana pascatambang.
(2)
Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan setiap tahun dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah.
(3)
Penempatan jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana pascatambang disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 38
Penempatan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi untuk melaksanakan pascatambang. Pasal 39 Apabila berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan pascatambang menunjukkan pascatambang tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan pascatambang sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan pascatambang. Pasal 40 Dalam hal jaminan pascatambang tidak menutupi untuk menyelesaikan pascatambang, kekurangan biaya untuk penyelesaian pascatambang menjadi tanggung jawab pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. Pasal 41 . . .
268
- 16 -
Pasal 41 Dalam hal kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang telah ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pasal 42 Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan pencairan jaminan pascatambang kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan program dan rencana biaya pascatambang. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan pascatambang diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII REKLAMASI DAN PASCATAMBANG BAGI PEMEGANG IPR Pasal 44 (1)
Pemerintah kabupaten/kota sebelum menerbitkan IPR pada wilayah pertambangan rakyat, wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang untuk setiap wilayah pertambangan rakyat.
(2)
Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 45
(1)
Bupati/walikota menetapkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 untuk pemegang IPR. (2) Pemegang . . .
269
- 17 -
(2)
Pemegang IPR bersama dengan bupati/walikota wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang pada wilayah pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII PENYERAHAN LAHAN REKLAMASI DAN LAHAN PASCATAMBANG Pasal 47 (1)
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan lahan yang telah direklamasi kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Pemegang IUP dan IUPK dapat mengajukan permohonan penundaan penyerahan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik sebagian atau seluruhnya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila lahan yang telah direklamasi masih diperlukan untuk pertambangan. Pasal 48
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi yang telah selesai melaksanakan pascatambang wajib menyerahkan lahan pascatambang kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan lahan yang telah selesai direklamasi dan lahan yang telah selesai dilakukan pascatambang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX . . .
270
- 18 -
BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 50 (1)
Pemegang IUP, IUPK, atau IPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 3 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 41, Pasal 45 ayat (2), Pasal 47 ayat (1), atau Pasal 48 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau c. pencabutan IUP, IUPK, atau IPR.
(3)
Pemegang IUP, IUPK, atau IPR yang dikenai sanksi administratif berupa pencabutan IUP, IUPK, atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, tidak menghilangkan kewajibannya untuk melakukan reklamasi dan pascatambang.
(4)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 51
(1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemegang IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
BAB X . . .
271
- 19 -
BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 Rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang yang disampaikan oleh pemegang Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, dan pemegang IUP yang telah memperoleh persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku dan wajib menyesuaikan rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 53 (1)
Pemegang Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, dan pemegang IUP Eksplorasi yang belum menempatkan jaminan reklamasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib menempatkan jaminan reklamasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2)
Pemegang Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, dan pemegang IUP Operasi Produksi yang belum menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini, wajib menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 54
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
272
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 138
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
273
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG I. UMUM Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Kegiatan pertambangan jika tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain: penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim mikro. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang yang tepat serta terintegrasi dengan kegiatan pertambangan. Kegiatan reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus menunggu proses pertambangan secara keseluruhan selesai dilakukan. Praktik terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus-menerus dan terpadu pada seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Perencanaan dan pelaksanaan yang tepat merupakan rangkaian pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga akan mengurangi dampak negatif akibat kegiatan usaha pertambangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 . . .
274
-2-
Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang disesuaikan dengan status lahan dan tata ruang saat dokumen lingkungan hidup disusun. Tata guna lahan sesudah ditambang disesuaikan dengan lahan pascatambang sesuai dengan peruntukan kesepakatan dengan pemilik lahan dan tata ruang. Huruf b Pembukaan lahan dalam ketentuan ini antara lain kegiatan pembersihan lahan (land clearing) dan penggalian untuk keperluan tambang, timbunan, jalan, kolam sedimen, dan sarana penunjang.
Huruf c. . .
275
-3-
Huruf c Program reklamasi terhadap lahan terganggu mencakup program pemulihan untuk kurun waktu 5 (lima) tahun yang dirinci setiap tahun meliputi: lokasi lahan yang akan direklamasi, teknik dan peralatan yang akan digunakan dalam reklamasi, sumber material pengisi untuk back filling, revegetasi, pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan bekas tambang, pemeliharaan, pemantauan dan rincian biaya reklamasi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pascatambang. Biaya tidak langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan reklamasi, administrasi, dan supervisi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e . . .
276
-4-
Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya pascatambang pada tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, fasilitas penunjang, pemeliharaan dan peralatan, sosial dan ekonomi, serta pemantauan. Biaya tidak langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan pascatambang, administrasi, dan supervisi. Pasal 11 Konsultasi dalam ketentuan ini adalah dalam rangka tukar pikiran untuk mendapatkan saran terhadap penyusunan program rencana pascatambang. Instansi terkait lainnya dalam ketentuan ini antara lain instansi Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, kehutanan, atau tata ruang. Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah warga masyarakat yang terkena dampak langsung kegiatan usaha pertambangan. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
277
-5-
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Batas waktu 2 (dua) tahun dimaksudkan untuk memberikan waktu yang mencukupi bagi pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi untuk mempersiapkan pelaksanaan pascatambang, seperti lelang pelaksana kegiatan, pengaturan peralatan dan karyawan, dan lain-lainnya. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang” yaitu Kepala Teknik Tambang. Pasal 21 Pelaksanaan reklamasi wajib dilaksanakan secepatnya untuk menghindari kerusakan lahan yang lebih parah dan untuk efisiensi penggunaan peralatan, bahan, dan sumber daya manusia. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 . . .
278
-6-
Pasal 25 Ayat (1) Pelaksanaan pascatambang dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan pengakhiran kegiatan usaha pertambangan atau secara sekaligus dan menyeluruh setelah seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. Ayat (2) Berakhirnya kegiatan usaha pertambangan sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pascatambang, dapat terjadi karena ketidaklayakan usaha pertambangan secara permanen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan reklamasi. Biaya pelaksanaan reklamasi dalam ketentuan ini berdasarkan pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga.
dihitung
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan reklamasi. Biaya . . .
279
-7-
Biaya pelaksanaan reklamasi dalam ketentuan ini berdasarkan pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga.
dihitung
Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud rekening bersama (escrow account) dalam ketentuan ini merupakan rekening antara pemegang IUP atau IUPK dengan Menteri, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan reklamasi. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Jaminan Pascatambang dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan pekerjaan pascatambang. Biaya . . .
280
-8-
Biaya pelaksanaan pascatambang dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan pascatambang yang dilakukan oleh pihak ketiga. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan pascatambang. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Lahan yang telah direklamasi adalah lahan yang telah memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi berdasarkan evaluasi oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat memberikan penundaan penyerahan lahan sepanjang sesuai dengan perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dengan pemegang hak atas tanah atau izin pinjam pakai kawasan hutan. Pasal 48 . . .
281
-9-
Pasal 48 Dinyatakan selesai melaksanakan pascatambang apabila telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang berdasarkan evaluasi oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5172
282
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANC BIAYA OPERAS1 YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUM1
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas hulu dilaksanakan dan Bumi, kegiatan usaha dikendalikan melalui kontrak kerja sama;
b.
bahwa dalam pelaksanaan kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, modal yang ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap merupakan biaya operasi yang dapat dikernbalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menghasilkan produksi komersial;
C.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 1 D Undang-Undang Nomor . 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi; Mengingat
283
...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan' Keernpat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lernbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 152);
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BIAYA OPERAS1 YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: I . Minyak bumi, gas burni, minyak dan gas bumi, eksplorasi, eksploitasi, kontrak kerja sama, Badan Pelaksana, wilayah kerja, wilayah hukum pertarnbangan Indonesia, dan kegiatan usaha hulu adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sarna dengan Badan Pelaksana. 3. Operator . . .
284
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
3. Operator adalah kontraktor atau dalam ha1 kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama. 4. Operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) minyak dan gas bumi. 5. Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan / atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody
transfer point). 6. First Tmnche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh Badan Pelaksana danlatau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use). 7. Investment Credit yang selanjutnya disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu. 8. Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara Badan Pelaksana dan kontraktor setelah dikurangi F?'P, insentif investasi Cjika ada), dan pengembalian biaya operasi. 9. Biaya bukan modal (non capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan yang rnempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible drilling cost. 10. Biaya modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang mernpunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui penyusutan. 11. Rencana kerja dan anggaran adalah suatu perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan oleh kontraktor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja. 12. Kontrak . . .
285
PRESIDEN REPUBLIK I N D O N E S I A
12. Kontrak bagi hasil adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. 13. Kontrak jasa adalah suatu bentuk kontrak kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan. 14. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama, baik secara langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja. 15. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan. 16. Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat D M 0 adalah kewajiban penyerahan bagian kontraktor berupa minyak clanlatau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 17, Imbalan D M 0 adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan minyak danlatau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya rneliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi. 18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pefnerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.
(1) Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja. (2) Pelaksanaan . . .
286
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-5(2) Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.
(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan rnenjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana. (2) Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.
(1) Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor wajib menyusun rencana kerja dan anggaran sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran. (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)terdiri atas: a. pengeluaran rutin; dan b. pengeluaran proyek. (3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana. (4) Persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi kontraktor untuk melaksanakan operasi perminyakan.
Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana dimaksud dalarri Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum dilaksanakan wajib mendapatkan persetujuan atorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan Pelaksana.
287
PWESIDEN REPUBL-IK INDONESIA
(1) Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial. (2) Produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui ~ e r s e t u j u a n Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan.
(3) Dalam ha1 wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi komersial, terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban kontraktor sepenuhnya.
(1) Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan dengan lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (2) Penetapan besaran minimum bagian negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. BAB I1 PENGHASILAN BRUT0 DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR Bagian Kesatu Penghasilan Bruto Kontraktor
(1) Penghasilan bruto kontraktor terdiri atas: a. penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil; atau b. penghasilan dalam rangka kontrak jasa; dan c. penghasilan lain di luar kontrak kerja sama. (2) Penghitungan
288
...
FRESIDEN FZEPLIBLIK I N D O N E S I A
(2) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak danlatau gas bumi bagian kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak danlatau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi ditambah minyak danlatau gas bumi tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau karena ha1 lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DM0 minyak dan/atau gas bumi ditarhbah Imbalan DM0 ditambah varian harga atas lifling. (3) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai realisasi penjualan atas minyak danlatau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi. (4) Penghasilan lain di luar kontrak kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. uplift atau imbalan lain yang sejenis; dan/atau b. penghasilan yang berasal dari pengalihan participating interest. Pasal 10 (1) Untuk menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP. (2) Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran insentif investasi. Bagian Kedua Biaya Operasi Pasal 11 (1) Biaya operasi terdiri atas:
a. biaya eksplorasi; b. biaya eksploitasi; dan c. biaya lain. (2) Biaya eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. biaya pengeboran terdiri atas: 1. biaya . . .
289
PFZESIDEN R E P U B L I K INDONESIA
1. biaya pengeboran eksplorasi; dan 2, biaya pengeboran pengembangan; b. biaya geologis dan geofisika terdiri atas: 1. biaya penelitian geologis; ban 2. biaya penelitian geofisika; c, biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi; dan d. biaya penyusutan. (3) Biaya eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. biaya langsung produksi untuk: 1. minyak bumi; dan 2. gas bumi. b. biaya pemrosesan gas bumi; c. biaya utility terdiri atas: 1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan I 2. biaya uap, air, dan listrik; d. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi; dan e. biaya penyusutan. (4) Biaya umum dan administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d terdiri atas: a. biaya administrasi dan keuangan; b. biaya pegawai; c, biaya jasa material; d. biaya transportasi; e. biaya umum kantor; dan f. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
-
(5) Biaya lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan b. biaya kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu. Pasal 12
290
PRESIDEN R E P U B L I K INDONESIA
Pasal 12 (1) Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan: a , dikeluarkan untuk mendapatkan, rnenagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dab terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia; b. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan; c . pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik; d. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal5 dan Pasal6. (2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) huruf a wajib memenuhi syarat: a. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi perminyakan yang menjadi milik negara; b. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang: 1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri; 2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan 3. tidak rutin; c. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawanl pekerja dalam bentuk natural kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; d. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
e. untuk
291
...
PRESIDEN
R E P U B L I K lNDONESIA
-
10e . untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya pada masa eksplorasi; f. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat: 1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia; * 2. kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan 3. besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri. (3) Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri. Pasal 13 Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan meliputi: a , biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham; b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia; c. harta yang dihibahkan; d, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan; e. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara; f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham; g. biaya . . .
292
PRESlDEN K E P U B L I K INDONESIA
g. biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA); h. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama; i. biaya konsultan pajak; j. biaya pemasaran minyak dan/atau 'gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana; k. biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat; 1. biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi; m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing; n. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan
participating interest; o. biaya bunga atas pinjaman; p. pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang ditanggung kontraktor atau di-gross up; q. pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran; r. surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian; s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor; t. transaksi yang: 1. merugikan negara; 2. tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam ha1 tertentu; atau 3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
u. bonus. . . 293
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-
u. v.
w. x.
12 bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah; biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak; insentif interest recovery; dan biaya audit komersial. Pasal 14
Dalam ha1 terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalarn rangka pelaksanaan operasi perminyakan dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan sebagai pengurang biaya operasi. Pasal 15 (1) Barang yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya operasi pada saat barang digunakan. (2) Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan barang yang diperoleh pertama. Pasal 16 (1) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. (2) Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan
(placed into service). (3) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam ha1 harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.
Pasal 17 . . .
294
PRESlDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 17 (1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarltan masa manfaat ekonomis. (2) Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia. (3) Dalam ha1 total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana. (4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 18 (1) Kontraktor dapat merhbebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 19 (1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) , Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan.
295
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 20 (1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun kalender terdiri atas: a. b. c.
(2)
(3)
(4)
(5)
biaya bukan modal tahun berjalan; penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan oleh Pemerintah. Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya. Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas bumi dibebankan pada produksi gas bumi. Dalam ha1 terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersarna dialokasikan sesuai proporsi nilai relatif hasil produksi. Dalarn ha1 suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara Badan Pelaksana dan kontraktor.
(7) Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi, sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi. (8) Dalam ha1 pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan: a. biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil produksi minyak bumi; b. biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai penjualan gas bumi. BAB I11 . . .
296
PRESlDEN REPUBLIK INDONESIA
BAB I11 PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN
Penghasilan kontraktor untuk kontrak bagi hasil diakui pada titik penyerahan.
(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan menggunakan harga minyak mentah Indonesia.
(2) Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung berdasarkan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(2) Dalam ha1 penjualan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi diperoleh melalui proses lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung berdasarkan hasil penjualan yang diterima dikurangi komponen biaya penjualan. BAB IV PENGHITUNGAN BAG1 HASIL
(1) Dalam ha1 tidak terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. (2) Dalam
297
.
PRESlDEN REPUBLIK INDONESIA
Dalam ha1 terdapat FTP tetapi tidak terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan. Dalam ha1 terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifing dikurangi FTP dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan. Dalam ha1 tidak terdapat FTP tetapi terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan. Insentif investasi dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dikonversi menjadi: a. minyak bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; atau b. gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi. Bagian kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor sebelum pajak penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split, Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pernerintah yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikafi dengan equity to be split yang didalamnya belum termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor. IContraktor wajib memenuhi kewajiban DM0 dengan menyerahkan 25% (dua puluh lirna persen) bagiannya dari produksi minyak bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kontraktor mendapat imbalan D M 0 atas penyerahan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB V . .
298
.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-
17BAB V PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Dalam ha1 jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak. (3) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor,
dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan. (4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak penghasilan pada saat kontrak ditandatangani. (5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(6) Dalam ha1 kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Atas pemenuhan kewajiban pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat ( 5 ) , dan ayat (6) diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak,
8. Sebelum 299
...
PRESlbEN REPUBLIK INDONESIA
(8) Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan, dapat diterbitkan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara, (9) Icetentuan rnengenai penerbitan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. (10)Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. (11)Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa, berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (3) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yang belum dikembalikan. (2) Ketentuan mengenai jumlah maksimum pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah imbalan yang diberikan oleh Pemerintah kepada kontraktor diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Dalam ha1 jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak. (4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
300
PRESJDEN REPUBLIK INDONESIA
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VI PENGHASILAN DI LUAR KONTRAK KERJA SAMA Pasal 27 (1) Atas penghasilan lain kontraktor berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (4) huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. (2) Atas penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (4) huruf b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif: a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa eksplorasi; atau b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa eksploitasi. (3) Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrak kerja sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama. (4) Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) ,ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam rangka membagi risiko dalam masa eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria: a. tidak . . .
301
PRESIDEN REPUBLlK INDONESIA
a. tidak mengalihkan
seluruh participating
interest yang
dimilikinya; b. participating interest telah dirniliki lebih dari 3 (tiga) tahun; c. di wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi); dan d. pengalihan participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. BAB VII PEMBUKUAN KONTRAKTOR
(1) Pembukuan atau pencatatan h a m s diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. (2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan, dan sesuai prinsip kontrak bagi hasil. (4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokurnen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 belum dikembalikan.
(1) Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumi setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pelaksana, (2) Sebelum . . .
302
PRESIDE N REPUBLIK INDONESIA
Sebelum menetapkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) , auditor Pemerintah atas nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Dalam ha1 besaran biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), auditor Pemerintah dan Badan Eelaksana wajib menyelesaikan perbedaan tersebut.
BAB VIII ICEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR
(1) Setiap kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib: a. mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak; b. melaksanakan pembukuan; c. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh); d. membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting yang sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim; e. memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan . (2) Dalam* ha1 terjadi pengalihan participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam ha1 pengalihan participating interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada kontraktor yang baru. (4) Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
303
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
(1) Setiap operator pada suatu wilayah kerja wajib: a. mendaftarkan kontrak kerja sama untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda dengan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 1 ayat (1)huruf a; b. melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/ atau pernungutan pajak; c. menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang bersangkutan. (2) Dalam ha1 terjadi pergantian operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada operator yang baru.
(1) Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dihitung berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gas burni.
(2) Dalam
hal Pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat berupa volume minyak burni dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
(3) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat.(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB IX KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA
(1) Badan Pelaksana wajib menerbitkan standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya yang digunakan pada kegiatan operasi perminyakan bersamaan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini. (2) Badan . . . 304
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
(2) Badan Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya operasi kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara periodik setiap tahun dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN
(1) Kontraktor harus melakukan transaksinya di Indonesia dan
menyelesaikan pembayarannya melalui sistem perbankan di Indonesia. (2) Transaksi dan penyelesaian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar Indonesia setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(1)Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu dapat rnenunjuk pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.
Dalam ha1 terjadi perubahan bentuk hukum danlatau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan saham danlatau ha1 lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. Kontrak
305
...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
a. Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan. b. Hal-ha1 yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk ketentuan mengenai: 1. besaran bagian penerimahn negara; 2. persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi; 3. biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan; 4. penunjukan
pihak ketiga yang independen melakukan verifikasi finansial dan teknis;
untuk
5, penerbitan surat ketetapan pajak penghasilan; 6. pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi;
7. pajak penghasilan kontraktor berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor; dan 8. penghasilan di luar kontrak kerja sama berupa uplij? dan/ atau pengalihan participating interest,
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. BAB XI1
KETENTUANPENUTUP
Kontrak kerja .sama dalam kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau diperpanjang setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar .
306
..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 25 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2010 MENTERI NUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIIC INDONESIA ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIIC INDONESIA TAHUN 20 10 NOMOR 139 . Salinan sesuai dengan aslinya SEK~E'I'ARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
r
Nugroho
307
PRESIDEN REPUBLlK INDONESIA
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 20 10 TENTANG
BIAYA OPERAS1 YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUM1 I.
UMUM
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat ( 3 )menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara termasuk minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis yang tak dapat diperbaharui. Mengingat minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan minyak dan gas bumi sampai saat ini dilakukan melalui sistem kontrak bagi hasil yang juga dianut oleh kebanyakan negara produsen minyak. Peraturan Pemerintah ini lebih menjamin penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak bagi hasil atau penghasilan lainnya menjadi lebih optimal, antara lain melalui:
a. biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto akan sam'a dengan biaya yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah; b. jenis, syarat, metode alokksi, dan batasan jumlah dari biaya tersebut akan diatur secara seksama agar penerimaan negara lebih optimal dan agar tercipta kepastian hukum; C. pajak-pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, pajak bumi dan bangunan (PBB),pajak daerah dan retribusi daerah yang selama ini menjadi beban Pemerintah diubah sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan pembayaran pajak tidak langsung tersebut sebagai komponen biaya; d. kontraktor diwajibkan membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama. Dengan . . .
308
PRESIDEN REPUBLIK I N D O N E S I A
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 mengamanatkan Pemerintah untuk rnenerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini deligan beberapa ketentuan peralihan. 11. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal2 Cukup jelas. Pasal3 Ayat (1) Dalam ha1 kontrak kerja sama di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya sedangkan kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal4 Ayat (1) Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor merupakan milik negara, sehingga pengeluaran tersebut merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor berdasarkan harga perolehan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5
309
...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 5 Yang dimaksud dengan kaidah praktek bisnis yang baik meliputi kaidah praktek bisnis yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah keteknikan yang baik meliputi: a. memenuhi ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. memproduksikan minyak dan gas bumi sesuai dengan kaidah pengelolaan reservoar yang baik; c , memproduksikan sumur minyak dan gas bumi dengan cara yang tepat; d. menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut yang tepat; e. meningkatkan usaha peningkatan kemampuan reservoar untuk mengalirkan fluida dengan teknik yang tepat; dan f. memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan. Ayat (2) Huruf a Pengeluaran rutin antara lain pembayaran gaji, pemeliharaan, dan biaya pasca operasi pertambangan. Huruf b
biaya
Pengeluaran proyek antara lain pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan survei seismik. Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Otorisasi pembelanjaan finansial adalah authorization for expenditure
(AFE).
Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 9
310
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Cukup jelas. Yang dimaksud dengan varian harga atas lifting adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak. mentah Indonesia rata-rata tertimbang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pengembangan wilayah kerja dalam ekstensifikasi dan intensifikasi.
ketentuan
ini meliputi
Pasal 11 Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini biasa dikenal dengan nama uniformity pn'nciple. Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b
311
...
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa: 1. fasilitas produksi; 2. gedung kantor, gudang, perumahan; 3. mesin dan peralatan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Huruf a Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran. Huruf b Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut h a m s mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara perighasilan dengan kegiatan operasi perminyakan di lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja yang bersangkutan di Indonesia. Dengan demikian, pengeluaran untuk mendapatkan, rnenagih, dan memelihara penghasilan yang bukan objek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dan/atau untuk penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, tidak boleh dibebankan sebagai biaya yang dapat dikembalikan. Huruf b . 312
..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek" adalah biaya yang terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di Indonesia dengan syarat: 1. tidak dapat dikerjakan oleh institusillembaga di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan 3. tidak rutin. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas.
.
Ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan paling sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan remunerasi. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c 313
...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-7-
Huruf c Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain: a. biaya personal dan konsultan yang berkaitan dengan due diligence; b. biaya eksternal untuk press release, promosi, dan penggantian logo perusahaan; c. biaya yang terkait dengan separation program dan retention program, biaya yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi (sepanjang sistem yang lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya yang terkait dengan perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan kebijakan tentang proyek yang sedang berjalan.
314
Huruf o . .
.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-8-
Huruf o Yang dimaksud dengan "bunga atas pinjaman" adalah bunga atas pinjaman untuk membiayai operasi perminyakan. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas.
Huruf r Yang dimaksud dengan "kesalahan perencanaan" adalah perbuatan kontraktor dalam menyusun rencana yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja. Pengertian kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja adalah setiap tindakan yang disengaja atau kecerobohan yang dilakukan oleh manajemen atau pejabat senior dari kontraktor yang: a. konsekuensi diketahui atau patut diketahui dapat mengakibatkan terjadinya kerugian orang atau terancamnya keamanan atau kepemilikan orang atau badan lain; atau b. secara fatal melanggar standar kehati-hatian yang dalam pengabaiannya atau ketidakpeduliannya yang fatal mengakibatkan konsekuensi yang merugikan. Huruf s Yang dimaksud dengan "kelalaian ltontraktor" adalah kelalaian berat (gross negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful
misconduct). Sebagian biaya konstruksi fasilitas produksi / peralatan yang tidak dapat dibebankan menjadi biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam hal: a. tidak dapat membuktikan bahwa kapasitas fasilitas produksi memenuhi target yang disepakati sehingga pembebanan hanya dapat dibebankan proporsional terhadap kapasitas terbukti; b. tidak dapat membuktikan bahwa unjuk kerja fasilitas produksi memenuhi kriteria yang ditetapkan sehingga pembebanan hanya dapat dilakukan proporsional terhadap unjuk kerja terbukti. c. pada masa konstrultsi terjadi perbaikan atau pembuatan ulang/penggantian seluruh dan/atau sebagian fasilitas produksi yang termasuk dalam pertanggungan asuransi construction all
risk; d. pada
315
...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
d. pada masa garansi terjadi kerusakan akibat kesalahan fabrikasil manufacturing, maka biaya perbaikan ataupun penggantian menjadi tanggung jawab kontraktor penyedia baranglj asa. Huruf t Angka 1 Yang dimaksud dengan "transaksi yang merugikan negara" adalah transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan lain-lain. Angka 2 Yang dimaksud dengan tidak melalui proses tender dalam ketentuan ini adalah seluruh pengadaan barang dan jasa wajib melalui proses tender sesuai kebutuhan yang berlaku, namun untuk pengadaan barang dan jasa untuk keperluan darurat dapat tidak melalui proses tender. Angka 3 Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Dalam ha1 adanya kepentingan nasional yang mendesak, antara lain kelangsungan produksi, percepatan peningkatan produksi minyak dan/atau gas bumi yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara, dapat dilakukan pengecualian terhadap ketentuan ini. Pasal 14 Yang dimaksud dengan penghasilan tambahan yang berasal dari hasil penjualan produk sampingan antara lain penjualan belerang dan penjualan kapasitas lebih dari tenaga listrik. Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 . . . 316
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 16 Ayat ( 1) Cukup jelas. Yang dimaksud dengan "placed into service" adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Badan Pelaksana. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan "tahun pajak" adalah tahun kalender. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Yang dimaksud dengan "kebijakan" adalah antara lain dalam rangka pengembalian biaya yang didasarkan atas keekonomian lapangan atau beberapa lapangan dalarn usulan satu rencana pengembangan lapangan (POD basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian dalam satu lapangan v e l d basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian satu sumur atau beberapa sumur dengan tidak membangun fasilitas produksi sendiri (put on production).
317
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan "biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya" adalah bagian dari saldo biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada awal tahun, sehingga dapat dikembalikan pada tahun berjalan sesuai dengan pola bagi hasil. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal2 1 Yang dimaksud dengan "titik penyerahan" adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan (transfer of title) minyak bumi dan/atau gas bumi dari Pemerintah kepada kontraktor. Pasal22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) .
318
..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-
12 -
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "harga minyak mentah Indonesia" adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh Menteri secara periodik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "komponen biaya penjualan" adalah biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemrosesan lebih lanjut gas sampai dengan penjualannya antara lain biaya pinjaman pembangunan kilang, biaya operasi kilang, transportasi, dan biaya pemasaran. Pasal24 Cukup jelas. Pasal25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas, Ayat (3) Yang dimaksud dengan "tarif pajak" sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang dipilih oleh kantraktor yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak kerja sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peratultan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) . . .
319
PRESIDEN REPUBLlK INDONESIA
Yang dimaksud dengan "surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah dilakukan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "surat . ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh birektur Jenderal Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk kepentingan internal manajemen kantor pusat. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal26 .
Cukup jelas.
Pasal27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Participating
interest
dilaksanakan
perundang-undangan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal28 Cukup jelas. Pasal29 Cukup jelas. Pasal30 Cukup jelas.
320
berdasarkan
peraturan
PRESlDEN REPUBLIK INDONESIA
Cukup jelas. Cukup jelas. Jika interest pada suatu wilayah kerja dimiliki oleh kontraktor A, kontraktor B, dan kontraktor C kemudian interest kontraktor A dialihkan kepada kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban kontraktor D sejak pengalihan interest tersebut berlaku efektif. Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Jika kontraktor A telah menandatangani kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dengan Pemerintah pada wilayah kerja X, maka kontraktor A yang juga bertindak selaku operator wajib mendaftarkan wilayah kerja tersebut untuk memperoleh NPWP yang berbeda dengan NPWP kontraktor itu sendiri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Jika kontraktor B menjadi operator menggantikan kontraktor A, maka kewajiban beralih kepada kontraktor B sejak pengalihan operator tersebut berlaku efektif. Pasal33 Cukup jelas.
321
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Yang dimaksud dengan "standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya" adalah suatu ukuran baik kualitatif dan/atau kuantitatif yang merupakan suatu rentang nilai yang mewakili kondisi keteknikan dan kewajaran unsur biaya barang dan jasa yang digunakan sebagai pembanding dalam proses persetujuan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial. Pembebanan biaya operasi didasarkan pada realisasi biaya yang dikeluarkan berdasarkan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya tersebut akan dievaluasi sesuai dengan keperluan. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah musibah karena alam yang menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau kerugian pada aset negara pada kegiatan eksplorasi danlatau eksploitasi minyak bumi dan/atau gas bumi. Cukup jelas. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara ljumlah pajak dan penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran penerimaan negara sebagairnana tercantum dalam kontrak kerja sama. Wuruf a Cukup jelas. Wuruf b Cukup jelas.
322
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal39
Cukup jelas. Pasal40 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONGSIA NOMOR 5 173
323
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010 KELOMPOIC HARTA BERWUJUD, MASA MANFAAT, DAN TARIF
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya SEICRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
324
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh Nomor Tanggal
: : :
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 32 TAHUN 1990 (32/1990) 25 JULI 1990 (JAKARTA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,
Menimbang: a.
bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi kehidupan dan perencanaan serta pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan juga mengandung fungsi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan serta nilai sejarah dan budaya bangsa, yang memerlukan pengaturan bagi pengelolaan dan perlindungannya;
b.
bahwa dengan semakin terbatasnya ruang, maka untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan ya ng berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian, upaya pengaturan dan perlindungan diatas perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pembangunan pola tata ruang;
c.
bahwa dalam rangka kebijaksanaanpembangunan pola tata ruang tersebut perlu ditetapkan adanya kawasan lindung dan pedoman pengelolaan kawasan lindung yang memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan;
Mengingat: 1.
Pasal 4 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) Und ang-undang Dasar 1945;
2.
Monumenten Ordonantie Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238);
325
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang peraturan Pokok -pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
5.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
6.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah )Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
7.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
8.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 198 2 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Anal isis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3338)
11.
Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG.
326
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1.
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelesta rian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan Pembangunan berkelanjutan.
2.
Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan l indung.
3.
Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
4.
Kawasan Bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.
5.
Kawasan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga mer upakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
6.
Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai.
7.
Sempadan Sungai adalah Kawasan sepanj ang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
8.
Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan tertentu disekeliling danau/waduk yang mempunyai manfa at penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
9.
Kawasan sekitar mata air adalah kawasan disekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi mata air.
10.
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas terten tu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
327
kawasan pengawetan peragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 11.
Kawasan suaka alam Laut dan Perairan lainya adalah daerah yang mewakili ekosistem khas di lautan maupu n perairan lainya, yang merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada.
12.
Kawasan Pantai berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan baka u (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
13.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwi sata dan rekreasi.
14.
Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya, pariwisata dan rekreasi.
15.
Taman Wisata Alam adalah kawasan Pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
16.
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi yang khas.
17.
Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam.
BAB II TUJUAN DAN SASARAN
Pasal 2 (1).
Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup.
(2).
Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah:
328
a.
Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan buday a bangsa;
b.
Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tepe ekosistem, dan keunikan alam.
BAB III RUANG LINGKUP
Pasal 3 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi: 1.
Kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya.
2.
Kawasan Perlindungan setempat.
3.
Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya.
4.
Kawasan Rawan Bencana Alam.
Pasal 4 Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1.
Kawasan Hutan Lindung.
2.
Kawasan Bergambut.
3.
Kawasan Resapan Air.
Pasal 5 Kawasan Perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari:
329
1.
Sempadan Pantai.
2.
Sempadan Sungai.
3.
Kawasan Sekitar Danau/Waduk.
4.
Kawasan Sekitar Mata Air.
Pasal 6 Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1.
Kawasan Suaka Alam.
2.
Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainya.
3.
Kawasan Pantan Berhutan Bakau.
4.
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
5.
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.
BAB IV POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN KAWASAN LINDUNG Bagian Pertama Kawasan yang memberikan Perlindungan Ka wasan Bawahannya
Pasal 7 Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Pasal 8 Kriteria kawasan hutan lindung adalah: a.
Kawasan Hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau;
330
b.
Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih dan/atau
c.
Kawasan Hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000 meter atau lebih.
Pasal 9 Perlindungan terhadap kawasan bergambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambaat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosiste m yang khas di kawasan yang bersangkutan.
Pasal 10 Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa.
Pasal 11 Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penenggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan.
Pasal 12 Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
331
Bagian kedua Kawasan Perlindungan setempat
Pasal 13 Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.
Pasal 14 Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Pasal 15 Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisi k pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Pasal 16 Kriteria sempadan sungai adalah: a.
Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
b.
Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter. Pasal 17
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk.
332
Pasal 18 Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Pasal 19 Perlindungan terhadap kawasan sekitaer mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.
Pasal 20 Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang -kurangnya dengan jarijari 200 meter di sekitar mata air.
Bagian Ketiga Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
Pasal 21 Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.
Pasal 22 Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.
333
Pasal 23 (1)
(2)
(3)
Kriteria cagar alam adalah: a.
Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistemnya;
b.
Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit -unit penyusun;
c.
Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum dig anggu manusia;
d.
Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas;
e.
Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu -satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Kriteria suaka margasatwa adalah: a.
Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya;
b.
Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c.
Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu;
d.
Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
a.
Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia;
b.
Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat permukiman penduduk;
c.
Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga d an kelestarian satwa;
d.
Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan.
334
(4)
(5)
Kriteria daerah perlindungan plasma nutfah adalah: a.
Areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi ya ng telah ditetapkan;
b.
Merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut;
c.
Mempunyai luas cukup dan lapangannya tidak membahayakan.
Kriteria daerah pengungsian satwa: a.
Areal yang ditunjuk merupakan wilayah kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut.
b.
Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa tersebut.
Pasal 24 Perlindungan terhadap kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, keperluan pariwisata dan ilmu pengetahuan.
Pasal 25 Kriteria kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah kawasan berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem.
335
Pasal 26 Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha bu didaya di belakangnya.
Pasal 27 Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.
Pasal 28 Perlindungan terhadap taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dilakukan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran.
Pasal 29 Kriteria taman nasional, taman hutan r aya dan taman nasional dan wisata alam adalah berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tunbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.
Pasal 30 Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsi berupa peninggalan peninggalan sejarah, bangunan erkeologi dan monumen nasional, dan keragaman bentuk geologi, yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.
336
Pasal 31 Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagian Keempat Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 32 Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiata nnya dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia.
Pasal 33 Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidetifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
BAB V PENETAPAN KAWASAN LINDUNG
Pasal 34 (1)
Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah -wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan.
(2)
Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan
337
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung. (3)
Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000, dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II.
(4)
Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Pasal 35 Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan antar sektor, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim Pengelolaan Tata Ruang Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian.
Pasal 36 (1)
Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung.
(2)
Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada masyarakat.
BAB VI PENGENDALIAN KAWASAN LINDUNG
Pasal 37 (1)
Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.
(2)
Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.
338
(3)
Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terha dap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak lingkungan.
(4)
Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.
Pasal 38 (1)
Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
(2)
Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut dapat diizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3)
Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dala m ayat (2) dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan.
(4)
Apabila penambangan bahan galian dilakukan, penambang bahan galian tersebut wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup dan melaksanakan rehabil itasi daerah bekas penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi kembali.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang, setelah mendapat pertimbangan dari Ti m Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
Pasal 39 (1)
Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung.
339
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban.
(3)
Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya.
(4)
Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib diajukan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 40 (1)
Selambat-lambatnya dua tahun setelah Keputusan Presiden ini ditetapkan, setiap Pemerintah Daerah Tingkat I sudah harus menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan kawasan lindung, dan segera sesudah itu Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkannya lebih lanjut bagi daerah masing -masing.
(2)
Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila dipandang perlu dapat disempurnakan dalam wak tu setiap lima tahun sekali.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Juli 1990 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SOEHARTO ______________________________________
340
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERIZINAN ATAU PERJANJIAN DI BIDANG PERTAMBANGAN YANG BERADA DI KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah selesainya proses penelitian terhadap kelayakan keberlangsungan perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dipandang perlu untuk menetapkan jenis dan jumlah perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan dengan Keputusan Presiden; Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4374); MEMUTUSKAN : Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PERIZINAN ATAU PERTAMBANGAN YANG BERADA DI KAWASAN HUTAN.
PERJANJIAN
DI
BIDANG
PERTAMA : Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. KEDUA : Pelaksanaan usaha bagi KETIGA : Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Mei 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
341
LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TANGGAL 12 MEI 2004 DAFTAR PERIZINAN ATAU PERJANJIAN DI BIDANG PERTAMBANGAN YANG BERADA DI KAWASAN HUTAN YANG TELAH DITANDATANGANI SEBELUM BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN YANG DAPAT MELANJUTKAN KEGIATANNYA SAMPAI BERAKHIRNYA PERIZINAN ATAU PERJANJIANNYA Lokasi
Luas Wilayah Perizinan (Ha)
Tanggal Penandatanganan
Jenis Izin
Nama Perusahaan
Bahan Galian
82/EK/KEP4/1967 7 April 1967
7 April 1967
KKG-I
Tembaga, Emas, dmp
Produksi
Papua
Mimika
1
B392/Pres/12/1991 26 Desember 1991
KKG-V
Tembaga, Emas, dmp
Eksplorasi
Papua
2
B-121/Pres/9/1971 22 September 1971
Freeport Indonesia Comp Freeport Indonesia Comp Karimun Granit
Granit
Produksi
Kepulauan Riau
Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya Karimun
3
B-745/Pres/12/1995 29 Desember 1995
KKG-II
INCO Tbk.
Nikel
Produksi
4
097B/Ji.292/U/1990 5 Oktober 1990
PKP2B G-I
Indominco Mandiri
Batubara
Produksi
Sulsel, Sulteng, Sultra Kaltim
Luwu Utara, Kolaka, Kendari, Morowali Kutai Timur, Kota Bontang
5
1053.K/20.13/MPE/ 1997 9 Juli 1997 B-43/Pres/11/1986 6 November 1986
Nikel
Produksi
Maluku Utara
Halmahera Tengah
39.040
Lampung Selatan Tanggamus, Lampung Barat Halmahera Utara, Halmahera Barat
12.790
No.
Persetujuan Pemerintah
7
B-143/Pres/3/1997 17 Maret 1997
30 Desember 1991 4 Oktober 1971 15 Januari 1996 5 Oktober 1990 9 Juli 1997 2 Desember 1986 28 April 1997
8
B-53/Pres/1/1988 19 Januari 1988
19 Februari 1998
KK GVII
9
850/A.I/1997 20 November 1997
20 November 1997 B-53/Pres/1/1988 19 Februari 19 Januari 1988 1998 B-53/Pres/1/1988 19 Februari 19 Januari 1988 1998 B-53/Pres/1/1988 19 Februari 19 Januari 1988 1998 1170/20.01/UPG/1999 7 7 September 1999 September 1999
KPK2B G-III
6
10 11 12 13
Keterangan dmp KK PKP2B KP G-I G-II G-III G-IV G-V G-VI G-VII
: : : : : : : : : : : :
KKG-II
KP
KK GIV KK GVI
KK GVII KK GVII KK GVII KP
Aneka Tambang Tbk (A) Natarang Mining
Tahap Kegiatan
Provinsi
Kabupaten/ Kota
10.000
202.950 2.761
218.528 25.121
Emas dmp
Konstruksi
Lampung
Nusa Halmahera Minerals Pelsart Tambang Kencana Interex Sacra Raya
Emas dmp
Produksi Konstruksi Eksplorasi Eksplorasi
Maluku Utara Kalsel
Kotabaru, Banjar, Tanah Laut
201.000
Batubara
Studi Kelayakan
Kaltim dan Kalsel
Pasir Tabalong
15.650
Weda Bay Nickel Gag Nikel
Nikel
Maluku Utara Papua
Halmahera Tengah Sorong
13.136
Sarikmas Mining Aneka Tambang Tbk (B)
Emas dmp
Eksplorasi (Detail) Eksplorasi (Detail) Eksplorasi (Detail) Eksplorasi (Detail)
Sumut
Mandailing Natal
66.200
Sulawesi Tenggara
Kendari
14.570
Emas dmp
Nikel
Nikel
dan mineral pengikutnya Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Kuasa Pertambangan Generasi I Generasi II Generasi III Generasi IV Generasi V Generasi VI Generasi VII PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
342
29.622
76280
.i .g o m ha
de
NOMOR 28 T AHUN 2011 TENTANG
PENGGUNAAN KAWAS AN HUT AN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH
pk
um
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa unt uk melaksanakan ket ent uan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemer int ah No mor 24 Tahun 2010 t ent ang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden t ent ang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2 . U nd a ng - U nd a ng N o mo r 4 1 T a hu n 1 9 9 9 t e nt a ng Ke h u t a n a n (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mo r 3888) sebaga imana t elah diubah dengan Undang- Undang No mo r 1 9 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggant i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 t ent ang Perubahan At as Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
343 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
Menet apkan:
MEMUTUSKAN :
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGGUNAAN KAWAS AN
de
pk
um
HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH T ANAH.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan : 1.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk meng at ur t at a air , mencegah banjir , mengenda likan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
2.
Penambangan bawah tanah di hutan lindung adalah penambangan yang kegiat annya
dilakukan
di
bawah
t anah
(t idak
langsu ng
berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) at au terowo ngan ( t u n ne l ) at a u t e r o wo ng a n bu nt u (a d i t ) t er ma s u k s a r a n a d a n prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung. 3.
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hut an, invest as i sert a perangkat yang ber hubungan dengan pengelolaan hutan.
4.
Reklamasi areal bekas penambangan bawah tanah adalah usaha unt uk memulihkan kembali fungsi pokok hut an lindung yang terganggu akibat penambangan bawah tanah.
5.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
344 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
usaha dan/atau kegiat an yang direncanakan pada lingkungan hid up yang d iper lu kan bag i pro ses pengambilan keput usan tentang
6.
de
Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan yang selanjut nya disebut PNBP Penggunaan Kawasan Hutan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
pk
um
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7.
Menteri adalah ment eri yang diserahi t ugas dan bert anggung jawab di bidang kehutanan.
8.
L e m b a g a R E D D + ( Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation) ad a la h le mba g a ya ng d i be nt u k o le h P r e s id e n u nt uk
me ngo o r d ina s ik a n
per e nca na a n,
p e la k s a naa n ,
dan
pemantauan REDD+.
Pasal 2 (1)
Di dala m kawasan hut an lindung dapat dilakukan keg iat a n penambangan dengan metode penambangan bawah tanah.
(2)
Penggunaan
kawasan
p e na m b a n g a n
bawah
hutan t a na h
lindung d ila kuk a n
untuk tanpa
kegiatan me ngu ba h
peruntukan dan fungsi pokok kawasan hutan lindung.
Pasal 3 (1) Penggunaan
kawasan
hutan
lindung
untuk
kegiatan
penambangan bawah tanah harus mendapatkan izin dari Menteri. ( 2 ) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui 2 (dua)
tahap yaitu : a.
per set ujua n pr ins ip ; dan
345 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m
de
pk
um
ha
b. izin p injam pakai kawasan hut an lindung.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN IZIN Pasal 4
I zin
penggunaan
kawasan
hutan
lindung
untuk
keg iat an
penambangan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat diajukan oleh pimpinan perusahaan yang berbentuk badan huku m Indonesia yang telah memiliki perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan.
Pasal 5 (1)
P e r mo ho na n
izin
p e nggu na a n
kawasan
hut an
lindu ng
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan secara tertulis oleh pemohon kepada Menteri dengan tembusan kepada : a.
menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral;
(2)
b.
menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup;
c.
gubernur setempat ; dan
d.
bupat i/ wa l iko t a set empat .
Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut : a.
kelayakan usaha di bidang pertambangan yang dinyatakan di dalam Studi Kelayakan berdasarkan hasil eksplorasi yang telah disesuaikan dengan fungsi hutan lindung, yang disahkan oleh gubernur atau bupati/walikota mendapat kan
sesuai
kewenangan
per t imbanga n
t eknis
masingmas ing d ar i
set ela h
Menteri
yang
bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral; b.
keputusan kelayakan lingkungan berdasarkan hasil penilaian AMDAL yang disesuaikan dengan fungsi pokok hutan lindung,
346 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
yang diterbitkan oleh Menteri yang bertanggung j awab d i bidang lingkungan hidup;
c.
rekomendasi
bupat i/walikota
dan
gubernur
setempat
yang
um
didasarkan pada pert imbangan t eknis dar i inst ansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan;
d.
pertimbangan teknis dari badan usaha milik negara (BUMN)
pk
yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiat an pengelo laan hut an, apabila areal yang d imo ho n merupakan areal kerja BUMN tersebut;
de
e.
rencana penggunaan kawasan hutan lindung dan rencana kerja yang dilampiri dengan peta lokasi dan luas kawasan hutan lindung yang dimohon serta citra satelit terbaru dengan resolusi minimal 15 m;
f.
izin at au perjanjian di sektor pertambangan; dan
g.
pernyataan kesanggupan di hadapan notaris untuk memenuhi semua kewajiban dan menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan pinjam pakai.
Pasal 6 (1)
Menteri melakukan pengkajian teknis terhadap permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2)
Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan atas permohonan izin tersebut.
(3)
Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung yang memuat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon.
(4)
Persetujuan prinsip diberikan untuk jangka waktu paling lama 2(dua) tahun sejak ditetapkannya persetujuan prinsip, dan dapat diperpanjang
347 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
berdasarkan hasil evaluasi oleh Menteri.
(5)
Kewajiban pemohon yang telah mendapatkan persetujuan prinsip
de
pk
um
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : a.
dala m hal pemo ho n yang mendapat perset ujuan p r ins ip pinjam pakai kawasan hut an lindung dengan ko mpensas i lahan bagi pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah
aliran
sungai
dan/atau
pulau,
menyediakan
da n
menyerahkan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:2. b.
dala m hal pemo ho n yang mendapat perset ujuan p r ins ip pinjam pakai kawasan hutan lindung pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30 % (tiga puluh per seratus) dari l u a s d a e r a h a l i r a n s u n g a i d a n / a t a u p u l a u , m e m b u a t per n yat aan kesanggu pan me mba yar P NBP P enggunaan Kawasan Hut an dan pernyat aan kesanggupan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio paling sedikit 1:1.
c.
menanggung biaya pengukuran, pemetaan, pemancangan t anda batas, invent arisasi t egakan dan penggant ian nilai tegakan atas kawasan hutan lindung yang dipinjam pakai;
d.
membayar Provisi Sumber Daya Hut an (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e.
membayar penggant ian
biaya
investasi pengelolaan hutan
akibat penggunaan kawasan hutan sesuai dengan luas areal dan jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan; dan f.
membuat pernyataan kesanggupan di hadapan notaris untuk melaksanakan reklamasi dan reboisasi kawasan hutan lindung yang sudah dipergunakan, perlindungan hutan, pencegahan terjadinya perusakan
hutan,
erosi,
tanah
longsor,
kebakaran
hutan,
348 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan untuk me lak u k an mo nit or ing dan eva luas i, mena nggung bia ya pengukuhan
de
pk
um
lahan kompensasi, dan melaksanakan reboisasi lahan kompensasi.
Pasal 7 (1) Ap a bila
seluru h
kewajiban
dalam
p e r se t u ju a n
pr ins ip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) telah dipenuhi oleh pemohon, Menteri menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. ( 2 ) Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan studi kelayakan dan dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan. ( 3 ) P e r p a n j a ng a n
iz in
p in ja m p aka i ka wasa n
hu t a n
lindu ng
d id a s a r k a n p a d a ha s i l e va lu a s i ya ng d i la k u k a n o le h T i m Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 8 Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan lindung berhak untuk : a.
menempat i dan mengelo la serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan penambangan bawah tanah dalam kawasan hutan lindung; dan
b.
memanfaatkan hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan p e l a k s a na a n
keg iat a n
pe na mba ng a n
ba w a h
t a na h
serta
membangun sarana dan prasarana pendukung pada kawasan hutan lindung.
349 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
Pasal 9
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan lindung wajib untuk:
de
pk
um
a.
melaksanakan
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan
sesuai
Dokumen Rencana Pengelo laan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL);
b.
melakukan kegiatan penambangan bawah tanah sesuai dengan perencanaan di dalam dokumen studi kelayakan;
c.
melakukan reklamasi dan/atau reboisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d.
melakukan perlindungan hutan di kawasan hutan lindung yang dipinjam pakai;
e.
membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai bag i pemegang izin pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30 % (t iga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f.
menanggung
bia ya
pe ngukuha n
lahan
k o mp e n sa s i
dan
melaksanakan reboisasi lahan kompensasi bagi pemegang izin pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan g.
melaporkan pelaksanaan kegiatan secara periodik kepada: -
Menteri;
-
Menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral; dan
-
Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup; dengan tembusan kepada gubernur dan bupati/walikota setempat.
350 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
Pasal 10
P e mega ng iz i n p in ja m pa ka i k awa sa n hut an l i ndu ng d i lar a n g a.
t er jad in ya a mble sa n ( subsidence) per muk aa n t ana h; at au
b.
berubahnya fungsi pokok hutan lindung secara permanen.
Pasal 11 Izin pinjam pakai kawasan hut an lindung dapat dialihkan kepada pihak lain setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.
de
pk
um
melakukan kegiatan penambangan bawah tanah yang mengakibatkan:
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI Pasal 12 ( 1)
Ment er i me mbe nt uk T im u nt uk me lak ukan mo nit or ing d a n evaluasi kegiatan pengunaan kawasan hutan lindung.
( 2)
Keanggotaan Tim Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud pada a yat ( 1) t er dir i dar i u nsur Ke me nt er ia n Ke hu t ana n, Kement erian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kement erian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga REDD+, para pakar terkait, dan unsur-unsur terkait di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
BAB V BERAKHIRNYA IZIN DAN PENYERAHAN KEMBALI KAWASAN HUTAN LINDUNG Pasal 13 (1)
Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung berakhir dalam hal : a.
jangka wakt u berakhir ;
b.
diserahkan kemba li o leh pemegang izin sebelum jangk a waktunya berakhir; atau
351 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m
dicabut o leh Ment er i.
ha
c.
( 2 ) B e r a k h ir n ya
izin p in jam pakai kawasan
se baga i ma na d i maksud
( 1) t idak
lindu ng
me mb e bask a n
kewajiban pemegang izin untuk menyelesaikan seluruh kewajiban yang
um
pk
de
pad a a yat
hut an
belum terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 14 Pengembalian kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a atau huruf b diterima oleh Menteri setelah dipenuhi kewajiban reklamasi dan/atau reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c.
Pasal 15 Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dicabut oleh Menteri dalam hal pemegang izin : a.
tidak memenuhi salah satu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e; atau
b.
melanggar ketentuan Pasal 10 atau Pasal 11.
Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan bidang pertambangan.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 (1)
Pemegang perizinan at au perjanjian di bidang pertambangan yang Studi Kelayakan Penambangan Bawah Tanah-nya sudah disahkan
352 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha
tetapi belum mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebelum Peraturan Presiden ini ditetapkan, maka studi kelayakannya
(2)
de
Pemegang perizinan at au perjanjian di bidang pertambangan yang AMDAL- nya masih ber laku t et api belum mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan lindung pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, wajib dilakukan koreksi terhadap Rencana Pengelolaan
pk
um
masih berlaku.
Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) terutama yang berkaitan dengan fungsi pokok hutan lindung. (3)
Pemegang perizinan at au perjanjian di bidang pert ambangan yang AMDAL-nya masih dalam proses penilaian Komisi Penilai AMDAL Daerah pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, maka Komisi Penilai AMDAL Daerah wajib menyerahkan seluruh proses penilaia n kepada Komisi Penilai AMDAL Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 Selama Lembaga REDD+ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) belum t erbent uk, perannya dilaksanakan oleh Sat uan Tugas P er s ia p a n P e m be nt u ka n Ke le mba g aa n RE DD + ya ng d ibe nt u k berdasarkan Keput usan Presiden No mor 19 Tahun 2010 t ent ang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+.
353 www.djpp.depkumham.go.id
.i .g o m ha um
pk
de
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada t anggal 19 Mei 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
354 www.djpp.depkumham.go.id
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang
: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan sehingga perlu diperbaharui; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
355 2429
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 1 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif. Pasal 2 (1) Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (2) Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. (3) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. (4) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini. (5) Ringkasan Eksekutif disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.
356 2430
(6) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 3 Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sedang dalam proses dan/atau sudah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini mengacu pada Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya.
Pasal 4 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2006 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd. Hoetomo, MPA.
357 2431
Lampiran I : Nomor Tanggal
: :
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup 08 Tahun 2006 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Kerangka Acuan selanjutnya disebut KA-ANDAL adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi Penilai AMDAL. 2. Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KAANDAL baik KA-ANDAL kegiatan tunggal, KA-ANDAL kegiatan terpadu/multisektor maupun KA-ANDAL kegiatan dalam kawasan. 3. Tujuan dan fungsi KA-ANDAL 3.1.Tujuan penyusunan KA-ANDAL adalah: a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL; b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia. 3.2.Fungsi dokumen KA-ANDAL adalah: a. Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi yang membidangi rencana usaha dan/atau kegiatan, dan penyusun studi AMDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan; b. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL untuk mengevaluasi hasil studi ANDAL.
358 2432
4. Dasar pertimbangan penyusunan KA-ANDAL 4.1.Keanekaragaman ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup pada umumnya sangat beraneka ragam. Keanekaragaman rencana usaha dan/atau kegiatan dapat berupa keanekaragaman bentuk, ukuran, tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor lingkungan hidup, pengaruh manusia, dan sebagainya. Karena itu, tata kaitan antara keduanya tentu akan sangat bervariasi pula. Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan hidup pun akan berbeda-beda. Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan manakah yang harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup manakah yang perlu diamati selama menyusun ANDAL. 4.2.Keterbatasan sumber daya Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, seperti antara lain: keterbatasan waktu, dana, tenaga, metode, dan sebagainya. KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumber daya tersebut tanpa mengurangi mutu pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL ditonjolkan upaya untuk menyusun prioritas manakah yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL dapat terpenuhi meski sumber daya terbatas. 4.3.Efisiensi Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan prakiraan dan evaluasi dalam ANDAL sesuai hasil pelingkupan. Melalui cara ini ANDAL dapat dilakukan secara efisien. Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini kemudian disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL. 5. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab, dan penyusun studi ANDAL. Namun dalam pelaksanaan penyusunan KA-ANDAL (proses pelingkupan) harus senantiasa melibatkan para pakar serta masyarakat yang berkepentingan sesuai Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. KA-ANDAL ini merupakan dokumen penting untuk memberikan rujukan tentang kedalaman studi ANDAL yang akan dicapai. 6. Pemakai hasil ANDAL dan hubungannya dengan penyusunan KA-ANDAL Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. Bagian lain dari studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan adalah aspek teknis dan aspek ekonomis-finansial.
359 2433
Hasil studi kelayakan adalah untuk proses pengambilan keputusan dan dapat digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Karena itu, dalam menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami bahwa hasilnya nanti akan merupakan bagian dari studi kelayakan yang akan digunakan oleh pengambil keputusan dan perencana. Sungguhpun demikian, berlainan dengan bagian studi kelayakan yang menggarap faktor penunjang dan penghambat terlaksananya suatu usaha dan/atau kegiatan ditinjau dari segi ekonomi dan teknologi, ANDAL lebih menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup. Karena itu, penyusun KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir penyusunan ANDAL di bawah ini sehingga akhirnya dapat memberikan masukan yang diperlukan oleh perencana dan pengambil keputusan:
x x x x
Pengumpulan data dan informasi tentang Rencana usaha dan/atau kegiatan Rona lingkungan hidup Kegiatan lain di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan Saran, tanggapan dan pendapat masyarakat
Proyeksi perubahan rona lingkungan hidup sebagai akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan
Penentuan besaran dan sifat penting dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan
Evaluasi dampak penting terhadap lingkungan hidup
Rekomendasi/saran tindak lanjut untuk pengambil keputusan, perencanaan dan pengelola lingkungan hidup berupa: x Alternatif komponen usaha dan/atau kegiatan x Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup x Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
7. Wawasan KA-ANDAL Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas wawasan lingkungan hidup yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
360 2434
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL menurut pihak-pihak yang terlibat; b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam studi ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi masing-masing alternatif dari komponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik dari segi lingkungan hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk mencegah timbulnya dampak negatif yang lebih besar; c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah lingkungan hidup, maka menjadi penting memperhatikan komponen-komponen lingkungan hidup yang berciri: i. Komponen lingkungan hidup yang ingin dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya, seperti: a) b) c) d) e) f) g)
Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer; Sumber daya air; Keanekaragaman hayati; Kualitas udara; Warisan alam dan warisan budaya; Kenyamanan lingkungan hidup; Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan lingkungan hidup.
ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar dan perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat di sekitar suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain: a) b) c) d) e)
Fungsi ekosistem; Pemilikan dan penguasaan lahan; Kesempatan kerja dan usaha; Taraf hidup masyarakat; Kesehatan masyarakat.
d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini perlu dipahami sejak dini dalam proses penyusunan KA-ANDAL agar studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah dan sistematis. Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam penyusunan KAANDAL terutama dalam proses pelingkupan. 8. Proses pelingkupan Pelingkupan merupakan proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan. Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL karena melalui proses ini dapat dihasilkan:
361 2435
a. Dampak penting hipotetik terhadap lingkungan hidup yang dipandang relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan hal-hal atau komponen lingkungan hidup yang dipandang kurang penting untuk ditelaah; b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan: batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif; c. Batas waktu kajian yang merupakan rentang waktu yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan prakiraan perubahan kualitas/kondisi lingkungan tanpa adanya proyek dan dengan adanya proyek. d. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metode yang digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia (dana dan waktu). Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi ANDAL yang akan dilakukan. 8.1.Pelingkupan dampak penting Pelingkupan dampak penting dilakukan melalui serangkaian proses berikut: 1) Identifikasi dampak potensial Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk mengidentifikasi segenap dampak lingkungan hidup (primer, sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Pada tahapan ini hanya diinventarisasi dampak potensial yang mungkin akan timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau penting tidaknya dampak. Dengan demikian pada tahap ini belum ada upaya untuk menilai apakah dampak potensial tersebut merupakan dampak penting. Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan (observasi). Selain itu identifikasi dampak potensial juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode identifikasi dampak berikut ini: a) penelaahan pustaka; dan/atau b) analisis isi (content analysis); dan/atau c) interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-lain); dan/atau d) metode ad hoc; dan/atau e) daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif); dan/atau f) matrik interaksi sederhana; dan/atau g) bagan alir (flowchart); dan/atau h) pelapisan (overlay); dan/atau i) pengamatan lapangan (observasi). 2) Evaluasi dampak potensial Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan/meniadakan dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotesis yang dipandang perlu dan relevan
362 2436
untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL. Daftar dampak penting potensial ini disusun berdasarkan pertimbangan atas hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan, instansi yang bertanggungjawab, dan para pakar. Pada tahap ini daftar dampak penting hipotesis yang dihasilkan belum tertata secara sistematis. Metode yang digunakan adalah interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming). Kegiatan evaluasi dampak potensial ini terutama dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan (yang dalam hal ini dapat diwakili oleh konsultan penyusun AMDAL), dengan mempertimbangkan hasil konsultasi dan diskusi dengan pakar, instansi yang bertanggungjawab serta masyarakat yang berkepentingan. 3) Klasifikasi dan prioritas dampak penting Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk mengelompokkan/mengorganisir dampak penting yang telah dirumuskan dari tahap sebelumnya dengan maksud agar diperoleh klasifikasi dan prioritas dampak penting hipotetik yang akan dikaji lebih lanjut dalam dokumen ANDAL. Dalam melakukan klasifikasi dan prioritas, perlu memperhatikan hal berikut: a) Kebijakan atau peraturan yang menjadi dasar untuk arahan kajian AMDAL selanjutnya, seperti standar/baku mutu dan lain-lain. b) Konsep saintifik dari kajian yang akan dilakukan. Dampak penting hipotetik tersebut dirumuskan melalui 2 (dua) tahapan. Pertama, segenap dampak penting dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut keterkaitannya satu sama lain. Kedua, dampak penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut berdasarkan kepentingannya. Sebagai contoh : Rencana pembuangan limbah cair dari industri petrokimia ke sungai akan menimbulkan dampak penting hipotetik berupa peningkatan kadar BOD, COD, dan TSS, sementara dari proses produksi akan menimbulkan dampak penting hipotetik berupa emisi SO2 dan NOx. Dampak penting hipotetik dari masing-masing parameter tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi; penurunan kualitas air sungai dan penurunan kualitas udara ambien. Selanjutnya terhadap 2 (dua) dampak penting tersebut diurut berdasarkan kepentingannya, misalnya: (1) Penurunan kualitas udara ambien, (2) Penurunan kualitas air sungai. 8.2.Pelingkupan wilayah studi dan batas waktu kajian Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas wilayah studi ANDAL sesuai hasil pelingkupan dampak penting, dan dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya, waktu dan tenaga, serta saran pendapat dan tanggapan dari masyarakat yang berkepentingan. a. Lingkup wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batasbatas ruang sebagai berikut:
363 2437
1) Batas proyek Batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha dan/atau kegiatan akan melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan operasi. Dari ruang rencana usaha dan/atau kegiatan inilah bersumber dampak terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk dalam hal ini alternatif lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Posisi batas proyek ini agar dinyatakan juga dalam koordinat. 2) Batas ekologis Batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan menurut media transportasi limbah (air, udara), dimana proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar. Termasuk dalam ruang ini adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang secara ekologis memberi dampak terhadap aktivitas usaha dan/atau kegiatan. 3) Batas sosial Batas sosial adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem dan struktur sosial), sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar akibat suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam studi ANDAL, mengingat adanya kelompok-kelompok masyarakat yang kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan mengalami perubahan mendasar akibat aktivitas usaha dan/atau kegiatan. Mengingat dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan menyebar tidak merata, maka batas sosial ditetapkan dengan membatasi batas-batas terluar dengan memperhatikan hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek, ekologis serta komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan ekologis namun berpotensi terkena dampak yang mendasar dari rencana usaha dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial. 4) Batas administratif Batas administrasi adalah ruang dimana masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut. Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi pemerintahan atau batas konsesi pengelolaan sumber daya oleh suatu usaha dan/atau kegiatan (misalnya, batas HPH, batas kuasa pertambangan).
364 2438
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana, waktu, dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah studi yang dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai. 5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL adalah ruang yang merupakan kesatuan dari keempat wilayah di atas, namun penentuannya disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan sumber data, seperti waktu, dana, tenaga, teknik, dan metode telaahan. Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik tolak pada ruang bagi rencana usaha dan/atau kegiatan, kemudian diperluas ke ruang ekosistem, ruang sosial dan ruang administratif yang lebih luas. b. Lingkup batasan waktu kajian ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batasan waktu pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan. Batasan waktu kajian adalah batas waktu kajian yang akan digunakan dalam melakukan prakiraan dan evaluasi dampak dalam kajian ANDAL. Batas waktu tersebut minimal dilakukan selama umur rencana usaha dan/atau kegiatan berlangsung. Penentuan batas waktu kajian ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan penentuan perubahan rona lingkungan tanpa adanya rencana usaha dan/atau kegiatan atau dengan adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL bukan merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau tidaknya suatu kajian AMDAL.
B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN BAB I. PENDAHULUAN Bab pendahuluan mencakup : 1.1
Latar belakang Uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan.
1.2
Tujuan dan Manfaat Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan saat ini yang melatarbelakangi diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan, b. Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas kekurangan-kekurangan yang ada saat ini,
365 2439
c. Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut. Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang disampaikan oleh pemrakarsa. Sebagai catatan, bagian ini “bukan” menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi, kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional. 1.3 Peraturan Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.
BAB II. RUANG LINGKUP STUDI 2.1
Lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah dan alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan. a. Status dan lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah 1. Uraikan secara singkat status studi AMDAL, apakah dilaksanakan secara terintegrasi, bersamaan atau setelah studi kelayakan teknis dan ekonomis. Uraian ini diperlukan sebagai dasar untuk menentukan kedalaman informasi yang diperlukan dalam kajian AMDAL. 2. Uraikan secara singkat kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang setempat; 3. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak sesuai dengan jenis-jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun. Uraian ini dibuat sesuai dengan tahapan kegiatan; 4. Uraikan secara singkat mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di sekitar rencana lokasi beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup. Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan beserta kegiatan-kegiatan lain yang berada di sekitarnya. b. Alternatif-alternatif yang akan dikaji dalam ANDAL Kajian AMDAL merupakan studi kelayakan dari aspek lingkungan hidup, maka komponen rencana usaha dan/atau kegiatan harus memiliki beberapa alternatif, antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana pendukung. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam AMDAL dapat merupakan
366 2440
alternatif-alternatif yang telah direncanakan sejak semula atau yang dihasilkan selama proses kajian AMDAL berlangsung. Adapun fungsi dan manfaat dari kajian alternatif dalam AMDAL adalah: 1. Memastikan bahwa pertimbangan lingkungan telah terintegrasi dalam proses pemilihan alternatif selain faktor ekonomis dan teknis. 2. Memastikan bahwa pemrakarsa dan pengambil keputusan telah mempertimbangkan dan menerapkan prinsip-prinsip pencegahan pencemaran (pollution prevention) dalam rangka pengelolaan lingkungan. 3. Memberi peluang kepada pemangku kepentingan yang tidak terlibat secara penuh dalam proses pengambilan keputusan, untuk mengevaluasi berbagai aspek dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan dan bagaimana proses dari suatu keputusan yang akhirnya disetujui. 4. Memberikan kerangka kerja untuk pengambilan keputusan yang transparan dan berdasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Dokumen Kerangka Acuan ANDAL berisi penjelasan secara ringkas kerangka kerja proses pemilihan alternatif tersebut. Penjelasan pada bagian ini belum terlalu rinci namun dapat memberikan gambaran secara sistematis dan logis terhadap proses dihasilkannya alternatif-alternatif yang akan dikaji yang mencakup: 1. penjelasan dasar pemikiran dalam penentuan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mengkaji alternatif (misalnya apakah lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan akan melewati kawasan lindung, permukiman penduduk, memotong jembatan dan sungai dan lain-lain), 2. penjelasan prosedur yang akan digunakan untuk melakukan pemilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia, termasuk cara identifikasi, prakiraan dan dasar pemikiran yang digunakan untuk memberikan pembobotan, skala atau peringkat serta cara-cara untuk mengintepretasikan hasilnya, 3. penjelasan alternatif-alternatif yang telah dipilih yang akan dikaji lebih lanjut dalam dokumen ANDAL, 4. pencantuman pustaka-pustaka yang akan atau sudah digunakan sebagai sumber informasi dalam pemilihan alternatif. 2.2
Lingkup rona lingkungan hidup awal Uraikan dengan singkat rona lingkungan hidup di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Deskripsi rona lingkungan hidup menguraikan data yang terkait atau relevan dengan dampak yang mungkin terjadi dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Deskripsi ini didasarkan data sekunder yang bersifat aktual dan didukung oleh hasil observasi lapangan. Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup tersebut dilakukan untuk masing-masing alternatif lokasi.
367 2441
2.3
Pelingkupan a. Proses Pelingkupan Pelingkupan merupakan suatu proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting hipotesis yang terkait dengan rencana kegiatan. Pelibatan masyarakat merupakan bagian proses pelingkupan. Prosedur pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL harus mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Pelingkupan umumnya dilakukan melalui tiga tahap yaitu: identifikasi dampak, evaluasi dampak, dan klasifikasi dan prioritas (lihat gambar 1). Dalam melakukan proses tersebut sebaiknya menggunakan metode dari berbagai literatur.
Deskripsi Rencana Kegiatan
Prioritas Dampak Penting Hipotetik
Dampak Penting Hipotetik
Dampak Potensial Rona Lingkungan Hidup
Identifikasi Dampak Potensial
Evaluasi Dampak Potensial
Klasifikasi & Prioritas
Gambar 1. Contoh bagan alir proses pelingkupan Dalam proses pelingkupan, beberapa hal berikut sudah harus teridentifikasi secara jelas: komponen rencana usaha dan/atau kegiatan, komponen lingkungan yang terkena dampak serta interaksi kedua komponen tersebut, dampak potensial yang akan terjadi (termasuk urutan dampak: primer, sekunder, tersier dan lain-lain), sifat dampak, parameter-parameter dari komponen lingkungan yang terkena dampak, sumber data rona lingkungan untuk masing-masing parameter komponen lingkungan yang terkena dampak, lokasi pengambilan contoh uji (sampel) dan data, metode-metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data, analisis data, prakiraan dampak dan evaluasi dampak, tenaga ahli yang dibutuhkan serta waktu pelaksanaan studi AMDAL. Dalam proses pelingkupan terhadap suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang diidentifikasi berpotensi menimbulkan risiko terhadap lingkungan, maka
368 2442
proses pelingkupannya difokuskan pada potensi risikonya terhadap lingkungan, dan dapat ditetapkan suatu kajian tambahan berupa kajian risiko lingkungan (environmental risk assessment) yang merupakan bagian dari dokumen AMDAL. Dalam proses pelingkupan tersebut, harus dijelaskan juga dasar penentuan dampak penting hipotetik, batas wilayah studi dan batas waktu kajian. Dampak-dampak potensial yang tidak dikaji lebih lanjut, juga harus dijelaskan alasan-alasannya dengan dasar argumentasi yang kuat kenapa dampak potensial tersebut tidak dikaji lebih lanjut. Proses pelingkupan harus dilakukan untuk masing-masing alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung atau alternatif teknologi proses produksi). b. Hasil proses pelingkupan Hasil proses pelingkupan mencakup dampak penting hipotetik, lingkup wilayah studi dan batas waktu kajian. 1. Dampak Penting Hipotetik Berisi uraian mengenai dampak penting hipotetik akibat rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dikaji dalam ANDAL sesuai hasil pelingkupan. 2. Lingkup wilayah studi dan batas waktu kajian Wilayah studi ini merupakan resultante dari batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan administratif setelah mempertimbangkan kendala teknis yang dihadapi. Batasan ruang lingkup wilayah studi penentuannya disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan sumber data, seperti waktu, dana, tenaga, teknis, dan metode telaahan. Setiap penentuan masing-masing batas wilayah (proyek, ekologis, sosial dan administratif) harus dilengkapi dengan justifikasi yang kuat. Bab ini harus dilengkapi dengan peta batas wilayah studi yang dapat menggambarkan batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan administratif. Dalam proses pelingkupan, harus teridentifikasi secara jelas batas waktu kajian yang akan digunakan dalam melakukan prakiraan dan evaluasi dampak dalam kajian ANDAL. Batas waktu tersebut minimal dilakukan selama umur rencana usaha dan/atau kegiatan berlangsung. Penentuan batas waktu kajian ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan penentuan perubahan rona lingkungan tanpa adanya rencana usaha dan/atau kegiatan atau dengan adanya rencana usaha dan/atau kegiatan.
369 2443
Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL “bukan” merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau tidaknya suatu kajian AMDAL.
BAB III. METODE STUDI Bab ini berisi metode-metode yang digunakan untuk pelaksanaan studi ANDAL yang dapat menjawab berbagai dampak penting hipotetik hasil proses pelingkupan. 3.1
Metode pengumpulan dan analisis data Bagian ini berisi metode pengumpulan data primer dan sekunder yang sahih serta dapat dipercaya (reliable) untuk digunakan sebagai masukan dalam melakukan prakiraan besaran dan sifat penting dampak. Metode pengumpulan dan analisis data harus relevan dengan metode prakiraan dampak yang digunakan, sehingga data yang dikumpulkan relevan dan representatif dengan dampak penting hipotetik yang akan dianalisis dalam proses prakiraan dampak yaitu : a. Cantumkan secara jelas metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, dan tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan harus sesuai Standar Nasional Indonesia atau sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. b. Uraikan metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses analisis data. Khusus untuk analisis data primer yang memerlukan pengujian di laboratorium, maka harus dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.
3.2
Metode prakiraan dampak penting Bagian ini menjelaskan metode prakiraan dampak yang digunakan untuk memprakirakan besaran dan sifat penting dampak dalam studi ANDAL untuk masing-masing dampak penting hipotetik, termasuk rumus-rumus dan asumsi prakiraan dampaknya disertai argumentasi/alasan pemilihan metode tersebut. Metode prakiraan besaran dampak yang dapat digunakan antara lain: a. Metode perhitungan matematis Jika menggunakan metode perhitungan matematis, maka: 1. Harus dapat dijelaskan sumber data yang digunakan dan tunjukkan bahwa sumber data yang digunakan tersebut benar-benar valid. 2. Jelaskan kesahihan dari model matematis yang digunakan dengan menyampaikan uraian bahwa model matematis tersebut telah memperoleh pengakuan dari berbagai literatur profesional yang relevan.
370 2444
b. Percobaan/eksperimen Jika percobaan digunakan, maka uraikan secara jelas setiap tahapan percobaan. Di samping itu, rancangan percobaan harus representatif dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikaji.
c. Model simulasi visual dan peta Jika menggunakan model simulasi visual dan peta, maka harus ada deskripsi tertulis yang menjelaskan keterkaitan hasil simulasi atau perubahan dampak terhadap fungsi ruang dan waktu. d. Metode analogi Jika menggunakan metode analogi, maka: i. Uraikan secara jelas bahwa analogi yang digunakan tersebut benar-benar terjadi. ii. Jelaskan bahwa karakteristik dari kegiatan yang dianalogikan sesuai dengan karakteristik dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji. e. Penilaian ahli (Professional Judgement) Jika menggunakan penilaian ahli, maka harus ada penjelasan secara ilmiah, data-data pendukung, kualifikasi dan pengalaman dari ahli yang memberikan penilaian dalam memprakirakan besaran dampak. Metode yang digunakan untuk memprakirakan sifat penting dampak agar menggunakan pedoman penentuan dampak penting sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. 3.3
Metode evaluasi dampak penting Bagian ini menguraikan metode-metode yang lazim digunakan dalam studi ANDAL untuk mengevaluasi dampak penting yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir, overlay). Metode-metode tersebut digunakan secara triangulasi untuk digunakan sebagai: a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai alternatif usaha dan/atau kegiatan; b. identifikasi dan perumusan arah pengelolaan dampak penting lingkungan hidup yang ditimbulkan.
BAB IV. PELAKSANAAN STUDI 4.1. Pemrakarsa Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
371 2445
4.2. Penyusun studi AMDAL Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari masing-masing anggota penyusun AMDAL. Perlu diketahui bahwa Ketua tim penyusun studi AMDAL harus bersertifikat AMDAL Penyusun dan sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan anggota tim penyusun lainnya harus mempunyai keahlian yang sesuai dengan lingkup studi AMDAL yang akan dilakukan. 4.3. Biaya studi Bagian ini menguraikan prosentase jenis-jenis biaya yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi AMDAL termasuk komponen biaya untuk pelaksanaan konsultasi masyarakat. Uraian tersebut juga harus mencerminkan perbandingan antara biaya studi AMDAL dan biaya investasi keseluruhan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.4. Waktu studi Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggung jawab. DAFTAR PUSTAKA Bagian ini menguraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk keperluan penyusunan dokumen KA-ANDAL. Pengambilan (pencuplikan) sumber referensi harus mengikuti tata cara penulisan akademis yang dikenal secara luas. Hal ini termasuk konsistensi uraian pada bab-bab sebelumnya dan daftar pustaka. LAMPIRAN Bagian ini melampirkan informasi tambahan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud seperti penjelasan rinci proses pelingkupan, pengumuman studi AMDAL, butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (masyarakat berkepentingan) dan pengolahan data hasil konsultasi, foto-foto rona lingkungan hidup. Disamping itu, lampiran harus mencantumkan biodata singkat personil penyusun AMDAL dan surat pernyataan bahwa personil tersebut benar-benar melakukan penyusunan dan ditandatangani di atas materai, serta copy sertifikat pelatihan AMDAL. Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian KAANDAL dilampirkan pada laporan akhir. Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ir. Rachmat Witoelar.
ttd Hoetomo, MPA.
372 2446
Lampiran II Nomor Tanggal
: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup : 08 Tahun 2006 : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 2. Fungsi pedoman penyusunan dokumen ANDAL Pedoman penyusunan ANDAL digunakan sebagai dasar penyusunan ANDAL, baik AMDAL kegiatan tunggal, AMDAL kegiatan terpadu/multisektor maupun AMDAL kegiatan dalam kawasan.
B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL) Dokumen ANDAL harus disertai dengan abstrak lebih kurang 2 (dua) halaman yang berisi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan berbagai kemungkinan dampak penting baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi. Abstrak juga harus mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan, perencana, dan pengelola rencana usaha dan/atau kegiatan.
373 2447
BAB I. PENDAHULUAN Bab Pendahuluan mencakup : 1.1
Latar belakang Uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan.
1.2
Tujuan dan Manfaat Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Identifikasi kekurangan-kekurangan kondisi saat ini yang melatarbelakangi diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan, b. Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas kekurangan-kekurangan yang ada saat ini, c. Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut. Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang disampaikan oleh pemrakarsa. Sebagai catatan, bagian ini bukan menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi, kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional.
1.3
Peraturan Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.
BAB II. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN 2.1
Identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari : a. Pemrakarsa : 1. Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan; 2. Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
374 2448
b. Penyusun ANDAL : 1. Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi dan rujukannya; 2. Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL. 2.2
Uraian rencana usaha dan/atau kegiatan Uraian rencana usaha dan/atau kegiatan memuat tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang harus dilaksanakan. a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan dapat memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya, seperti pemukiman (lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan lingkungan hidup alami yang terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Hutan lindung, cagar alam, suaka alam, suaka marga satwa, sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung lainnya yang terletak dekat lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan harus diberikan tanda istimewa dalam peta; b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini beroperasi. Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta dengan skala memadai; c. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, serta hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang sudah ada di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan kereta api, dermaga dan sebagainya); d. Tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi, jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu pasca operasi. 1. Tahap pra-konstruksi/persiapan Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan pada tahap pra-konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan pada kegiatan selama masa persiapan (pra-konstruksi) yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup. 2. Tahap konstruksi (a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.
375 2449
Misalnya: (1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal tenaga kerja, dan kualifikasi pendidikan; (2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari rencana usaha dan/atau kegiatan; (3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang dapat menimbulkan dampak lingkungan hidup; (4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan. (b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana pengendalian dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa. Di samping itu, bila ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi; (c) Uraikan tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan, gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan konstruksi berakhir. 3. Tahap Operasi (a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup. Misalnya: (1) Identifikasi bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak penting lingkungan hidup serta cara pengangkutan dan penyimpanannya (misal: pestisida serta bahan berbahaya dan beracun lainnya); (2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan diserap langsung oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi; (3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah selama operasi baik yang bersifat fisik maupun sosial; (4) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair maupun gas dan rencana-rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini perlu diuraikan pula sifat-sifat limbah B3 maupun non B3. (b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan selama masa operasi. Termasuk dalam hal ini rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi. 4. Tahap Pasca Operasi Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan pada tahap pasca operasi.
376 2450
Misalnya: (a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan sebagainya; (b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan setelah masa operasi berakhir; (c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir; (d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha dan/atau kegiatan berakhir. 2.3
Alternatif-alternatif yang dikaji dalam ANDAL Kajian AMDAL merupakan studi kelayakan dari aspek lingkungan lingkungan hidup, maka komponen rencana usaha dan/atau kegiatan dapat memiliki beberapa alternatif, antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana pendukung. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam AMDAL dapat merupakan alternatif-alternatif yang telah direncanakan sejak semula atau yang dihasilkan selama proses kajian AMDAL berlangsung. Sebagaimana dalam dokumen KA-ANDAL, bagian ini menjelaskan proses pemilihan alternatif-alternatif dan uraian rinci komponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dikaji lebih lanjut dalam ANDAL sebagai berikut : a. Dokumen ANDAL harus menjelaskan secara lebih rinci proses pemilihan alternatif. Penjelasan disini harus dapat memberikan gambaran secara sistematis dan logis terhadap proses dihasilkannya alternatif-alternatif yang dikaji. Bagian ini menguraikan identifikasi terhadap alternatif-alternatif yang telah dipertimbangkan pada dokumen KA-ANDAL. Alternatif-alternatif yang tidak akan dikaji lebih lanjut dalam studi ANDAL dijelaskan alasan-alasannya secara singkat mengapa alternatif-alternatif tersebut tidak dikaji lebih lanjut. b. Bagian selanjutnya menjelaskan secara rinci dan mendalam alternatif-alternatif yang telah dipilih. Kajian dilakukan secara mendalam, objektif dan seimbang untuk masing-masing alternatif. Kajian tersebut dilakukan pada bab prakiraan dan evaluasi dampak dan harus dapat dipahami dengan jelas perbandingan masing-masing alternatif tersebut.
2.4
Keterkaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan kegiatan lain disekitarnya Uraikan mengenai kegiatan-kegiatan yang berada di sekitar rencana lokasi beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya, baik dampak rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah ada atau sebaliknya, termasuk dampak kumulatifnya. Dalam hal terdapat beberapa alternatif rencana lokasi, maka uraian kegiatankegiatan yang berada di sekitar lokasi dilakukan untuk masing-masing alternatif lokasi tersebut.
BAB III. RONA LINGKUNGAN HIDUP Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rona lingkungan hidup selengkap mungkin. Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup tersebut dilakukan untuk masing-masing alternatif. Uraian rona lingkungan hidup meliputi:
377 2451
(1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang mengungkapkan secara mendalam komponen-komponen lingkungan hidup yang berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan. Uraian rona lingkungan hidup agar menggunakan data yang mewakili setidak-tidaknya kondisi 2 (dua) musim. Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan ekonomis perlu mendapat perhatian; (2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah atau yang akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk potensi. Penyajian kondisi sumber daya alam ini perlu dikemukakan dalam peta dan atau label dengan skala memadai dan bila perlu harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto; (3) Data dan informasi rona lingkungan hidup Uraikan secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini agar dibatasi pada komponen-komponen lingkungan hidup yang berkaitan dengan, atau berpotensi terkena dampak penting.
BAB IV. RUANG LINGKUP STUDI Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak penting yang ditelaah serta wilayah studi berdasarkan hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL (termasuk bila ada alternatif-alternatif) serta hal-hal lain yang ditemukan selama melakukan studi ANDAL, seperti perubahan jumlah dampak penting yang ditelaah, atau batas wilayah studi. Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun dengan mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen Kerangka Acuan. 4.1. Dampak penting yang ditelaah Uraikan secara singkat mengenai dampak penting yang akan ditelaah dalam dokumen ANDAL mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen KA-ANDAL Uraian dalam bagian ini agar menginformasikan kronologi proses pelingkupan dimulai dari identifikasi sampai akhirnya dihasilkan dampak penting yang ditelaah. Uraian tersebut agar dilengkapi dengan bagan alir proses pelingkupan. 4.2. Wilayah studi dan batas waktu kajian Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil pengamatan di lapangan. Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang memadai.
378 2452
Batas waktu kajian mengacu pada batas waktu hasil pelingkupan sebagaimana ditentukan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL. BAB V. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING Dalam bab ini dilakukan prakiraan terhadap besaran dan sifat penting dampak. Dalam melakukan prakiraan besaran dampak, maka hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan data yang menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dari waktu ke waktu (time series data). Dalam bab ini hendaknya dimuat: (1) Prakiraan secara cermat besaran dampak usaha dan/atau kegiatan pada saat prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi terhadap lingkungan hidup. Telaahan ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan antara kondisi kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan dengan adanya usaha dan/atau kegiatan, dan kondisi kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan tanpa adanya usaha dan/atau kegiatan dalam batas waktu yang telah ditetapkan, dengan menggunakan metode prakiraan dampak; (2) Penentuan sifat penting dampak mengacu pada pedoman penentuan dampak penting sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Dalam melakukan telaahan butir 1 dan 2 tersebut perlu diperhatikan dampak yang bersifat langsung dan atau tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya usaha dan/atau kegiatan. Sedang dampak tidak langsung adalah dampak yang timbul sebagai akibat berubahnya suatu komponen lingkungan hidup dan/atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran dampak pada berbagai komponen lingkungan hidup sebagai berikut: a. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen sosial; b. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial; c. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen biologi, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada komponen sosial; d. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada aspek fisikkimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada komponen sosial; e. Dampak penting berlangsung saling berantai di antara komponen sosial itu sendiri; f. Dampak penting pada butir a, b, c dan d yang telah diutarakan selanjutnya menimbulkan dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan. (4) Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misalnya: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi proses produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada bab V angka 1 dan 2 di atas dilakukan untuk masing-masing alternatif yang terdapat dalam bab II angka 2.3. huruf b;
379 2453
(5) Dalam melakukan analisis prakiraan besaran dampak penting agar digunakan metodemetode formal secara matematis. Penggunaan metode non formal hanya dilakukan bilamana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia formula-formula matematis atau hanya dapat didekati dengan metode non formal.
BAB VI. EVALUASI DAMPAK PENTING Dalam bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak penting dari masing-masing alternatif rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk memutuskan kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 6.1 Telaahan terhadap dampak penting a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan hidup yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar sebagaimana dikaji pada Bab VI, dilakukan dengan menggunakan metode-metode evaluasi yang lazim (antara lain metode matrik -Leopold, Lohani & Thanh, Sorensen, Battelle, Fisher & Davies, metode overlay dan metode lainnya yang memiliki dasar referensi) dan sesuai dengan kaidah metode evaluasi dampak penting dalam AMDAL sesuai keperluannya; b. Evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah telaahan secara totalitas terhadap beragam dampak penting hipotetik lingkungan hidup yang dimaksud pada Bab V, dengan sumber usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun negatif) ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling pengaruhmempengaruhi, sehingga diketahui sejauhmana perimbangan dampak penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif; c. Dampak-dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari evaluasi disajikan sebagai dampak-dampak penting yang harus dikelola. d. Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi proses produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c di atas dilakukan untuk masing-masing alternatif. 6.2 Pemilihan alternatif terbaik Dalam hal kajian AMDAL memberikan beberapa alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung atau alternatif teknologi proses produksi), maka dalam sub bab ini sudah harus memberikan rekomendasi pilihan alternatif terbaik serta dasar pertimbangan pemilihan alternatif terbaik tersebut.
380 2454
6.3 Telaahan sebagai dasar pengelolaan Dalam bagian ini, telaahan sebagai dasar pengelolaan dilakukan untuk alternatif terbaik yang terpilih pada bab VI angka 6.2 di atas. Telaahan tersebut meliputi: a. Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin timbul. Misalnya, mungkin saja dampak penting timbul dari rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena rencana usaha dan/atau kegiatan itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan sebagainya; b. Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti apakah dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung terus selama rencana usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau antara dampak-dampak satu dengan dampak yang lainnya akan terdapat hubungan timbal balik yang antagonistis dan sinergistis. Apabila dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang waktu ambang batas (misal: baku mutu lingkungan) dampak penting mulai timbul. Apakah ambang batas tersebut akan mulai timbul setelah rencana usaha dan/atau kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-konstruksi dan akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau kegiatan. Atau mungkin akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari satu generasi; c. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok yang akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan antara perubahan yang diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha dan/atau kegiatan pembangunan; d. Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting ini, apakah hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan internasional, melewati batas negara Republik Indonesia; e. Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan berada di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana alam. Dalam sub bab ini harus menyampaikan arahan yang jelas mengenai rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang akan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dampak penting terhadap alternatif terbaik yang dipilih. Arahan pengelolaan dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan yang menimbulkan dampak, baik komponen kegiatan yang paling banyak memberikan dampak turunan (dampak yang bersifat strategis) maupun komponen kegiatan yang tidak banyak memberikan dampak turunan. Arahan pemantauan dilakukan terhadap komponen lingkungan yang relevan untuk digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi penaatan (compliance), kecenderungan (trendline) dan tingkat kritis (critical level) dari suatu pengelolaan lingkungan hidup.
381 2455
6.4 Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan merupakan pernyataan secara jelas terhadap kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk alternatif terbaik pada bab VI angka 6.2 dan 6.3.
DAFTAR PUSTAKA Dalam hal ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-pernyataan penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang baku. LAMPIRAN Lampiran berisikan hal-hal sebagai berikut: 1. Ringkasan dasar-dasar teori, asumsi-asumsi yang digunakan, tata cara, rincian proses dan hasil perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam prakiraan besaran dan sifat penting dampak serta evaluasi dampak. 2. Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian AMDAL dilampirkan pada laporan akhir. 3. Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat akan disusun dokumen ANDAL, RKL dan RPL; 4. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup, usulan rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan dampak lingkungan hidup penting yang akan ditimbulkannya; 5. Diagram, peta, gambar, grafik, hasil analisis laboratorium, data hasil kuesioner dan tabel lain yang belum tercantum dalam dokumen; 6. Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan susuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Hoetomo, MPA.
382 2456
Lampiran III
:
Nomor Tanggal
: :
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup 08 Tahun 2006 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RKL adalah upaya penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 2. Lingkup rencana pengelolaan lingkungan hidup Dokumen RKL merupakan dokumen yang memuat upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan hidup mencakup 4 (empat) kelompok aktivitas : a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah dampak negatif lingkungan hidup melalui pemilihan atas alternatif, tata letak (tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek; b. Pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimisasi, atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat usaha dan/atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha dan/atau kegiatan berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek); c. Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat meningkatkan dampak positif sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik
383 2457
kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut menikmati dampak positif tersebut; d. Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis) sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis) sebagai akibat usaha dan/atau kegiatan. 3. Kedalaman rencana pengelolaan lingkungan hidup Mengingat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan bagian dari studi kelayakan, maka dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan untuk pencegahan/penanggulangan/pengendalian dampak. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan literatur tentang "basic design" untuk pencegahan/penanggulangan/pengendalian dampak. Hal ini tidak lain disebabkan karena : a. Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan (proyek) relatif masih umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang rinci, dan masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini tidak lain karena pada tahap ini memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana proyek dipandang patut atau layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan ekonomi; sebelum investasi, tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan lebih banyak. Keterbatasan data dan informasi tentang rencana usaha atau kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh pada bentuk kegiatan pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL; b. Pokok- pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan pengelolaan lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi konsultan rekayasa dalam menyusun rancangan rinci rekayasa. Di samping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam arti komponen lingkungan hidup yang dikelola adalah yang hanya mengalami perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL. 4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup Rencana pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa pencegahan dan penanggulangan dampak negatif, serta peningkatan dampak positif yang bersifat strategis. Rencana pengelolaan lingkungan hidup harus diuraikan secara jelas, sistimatis, serta mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut : a. Rencana pengelolaan lingkungan hidup memuat pokok-pokok arahan, prinsipprinsip, kriteria pedoman, atau persyaratan untuk mencegah, menanggulangi, mengendalikan atau meningkatkan dampak penting baik negatif maupun positif yang bersifat strategis; dan bila dipandang perlu, lengkapi pula dengan acuan literatur tentang rancang bangun penanggulangan dampak dimaksud;
384 2458
b. Rencana pengelolaan lingkungan hidup dimaksud perlu dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pembuatan rancangan rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup; c. Rencana pengelolaan lingkungan hidup mencakup pula upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan karyawan pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui kursus-kursus yang diperlukan pemrakarsa berikut dengan jumlah serta kualifikasi yang akan dilatih; d. Rencana pengelolaan lingkungan hidup juga mencakup pembentukan unit organisasi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk melaksanakan RKL. Aspek- aspek yang perlu diutarakan sehubungan dengan hal ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan wewenang unit, serta jumlah dan kualifikasi personalnya. 5. Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini dikenal seperti: teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi. 6. Format dokumen RKL Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan RPL, dan ketiganya dinilai sekaligus maka format dokumen RKL langsung berorientasi pada keempat pokok rencana pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana pada butir 1 di atas.
B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN LINGKUNGAN HIDUP
DOKUMEN
RENCANA
PENGELOLAAN
Pernyataan pelaksanaan Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani di atas kertas bermaterai.
BAB I. PENDAHULUAN 1. Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara umum dan jelas. Pernyataan ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat dan jelas; 2. Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan peraturan perundangundangan di bidang lingkungan yang relevan, serta komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup; 3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya rencana pengelolaan lingkungan.
385 2459
BAB II. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal seperti : teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi. a. Pendekatan teknologi Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola dampak penting lingkungan hidup. b. Pendekatan sosial ekonomi Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan peran pemerintah. c. Pendekatan institusi Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan hidup. Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan
BAB III. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut: 3.1 Dampak penting dan sumber dampak penting a. Uraikan secara singkat dan jelas komponen atau parameter lingkungan hidup yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar menurut hasil ANDAL. b. Sumber Dampak Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting : 1. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana usaha dan/atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting; 2. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen lingkungan hidup yang lain, maka jelaskan secara singkat komponen dampak penting tersebut. 3.2 Tolok ukur dampak Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau kegiatan berdasarkan baku mutu standar (ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan); keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah, lazim digunakan, dan/atau telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok ukur yang diutarakan adalah yang digunakan dalam ANDAL.
386 2460
3.3 Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting yang bersifat strategis berikut dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut tercegah/tertanggulangi/terkendali. 3.4 Pengelolaan Lingkungan hidup Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan/atau institusi. 3.5 Lokasi pengelolaan lingkungan hidup Jelaskan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan sifat persebaran dampak penting yang dikelola. Lengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar dengan skala yang memadai. 3.6 Periode pengelolaan lingkungan hidup Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan: sifat dampak penting yang dikelola (lama berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya dampak). 3.7 Institusi pengelolaan lingkungan hidup Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan hidup cantumkan institusi atau kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah, Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang meliputi : a. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan hidup; b. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; c. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh sektor terkait; d. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota; e. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi pengelolaan lingkungan hidup. Institusi pengelolaan lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi : a. Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan pihak lain, maka cantumkan pula institusi dimaksud;
387 2461
b. Pengawas pengelolaan lingkungan hidup Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan perundangundangan yang berlaku; c. Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan pengelolaan lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka. LAMPIRAN Pada bagian ini lampirkan tentang : 1. Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut: Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL seperti peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain), rancangan teknik (engineering design), matrik serta data utama yang terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan susuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Hoetomo, MPA.
388 2462
Lampiran IV
:
Nomor Tanggal
: :
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup 08 Tahun 2006 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)
A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RKL adalah upaya penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 2. Lingkup rencana pemantauan lingkungan hidup Pemantauan lingkungan hidup dapat digunakan untuk memahami fenomenafenomena yang terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek (untuk memahami perilaku dampak yang timbul akibat usaha dan/atau kegiatan), sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada skala masalah yang dihadapi. Pemantauan merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, sistematis dan terencana. Pemantauan dilakukan terhadap komponen lingkungan yang relevan untuk digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi penaatan (compliance), kecenderungan (trendline) dan tingkat kritis (critical level) dari suatu pengelolaan lingkungan hidup. 3. Kedalaman rencana pemantauan lingkungan hidup Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup, yakni :
389 2463
(a) Komponen/parameter lingkungan hidup yang dipantau hanyalah yang mengalami perubahan mendasar, atau terkena dampak penting. (b) Aspek-aspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampak lingkungan hidup yang dirumuskan dalam dokumen RKL; (c) Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan/atau terhadap komponen/parameter lingkungan hidup yang terkena dampak. Dengan memantau kedua hal tersebut sekaligus akan dapat dinilai/diuji efektivitas kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan; (d) Pemantauan lingkungan hidup harus layak secara ekonomi. Walau aspek-aspek yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja (seperti diuraikan pada butir (a) sampai (c), namun biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepanjang usia usaha dan/atau kegiatan; (e) Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu dipantau, mencakup : 1) 2) 3) 4)
Jenis data yang dikumpulkan; Lokasi pemantauan; Frekuensi dan jangka waktu pemantauan; Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data); 5) Metode analisis data. (f) Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan lingkungan hidup. Kelembagaan pemantauan lingkungan hidup yang dimaksud di sini adalah institusi yang bertanggungjawab sebagai penyandang dana pemantauan, pelaksana pemantauan, pengguna hasil pemantauan, dan pengawas kegiatan pemantauan.
B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)
DOKUMEN
RENCANA
PEMANTAUAN
BAB I. PENDAHULUAN Pendahuluan mencakup : 1.1.Latar belakang pemantauan lingkungan hidup a. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana pemantauan lingkungan hidup baik ditinjau dari kepentingan pemrakarsa, pihak-pihak yang berkepentingan maupun untuk kepentingan umum dalam rangka menunjang program pembangunan;
390 2464
b. Uraikan secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan pemantauan lingkungan hidup yang akan diupayakan pemrakarsa sehubungan dengan pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan; c. Uraikan tentang kegunaan dilaksanakannya pemantauan lingkungan hidup baik bagi pemrakarsa usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang berkepentingan, maupun bagi masyarakat.
BAB II . RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut : a. Dampak penting yang dipantau Cantumkan secara singkat : 1. Jenis komponen atau parameter lingkungan hidup yang dipandang strategis untuk dipantau; 2. Indikator dari komponen dampak penting yang dipantau. b. Sumber dampak Uraikan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting. c. Parameter lingkungan hidup yang dipantau Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau. Parameter ini dapat meliputi parameter dari aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial, serta aspek kesehatan masyarakat. d. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak penting lingkungan hidup, dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola, bentuk rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan dampak penting turunan yang ditimbulkannya. e. Metode pemantauan lingkungan hidup Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau indikator dampak penting, yang mencakup : 1. Metode pengumpulan dan analisis data Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan data sehubungan dengan tingkat ketelitian yang disyaratkan dalam Baku Mutu Lingkungan Hidup.
391 2465
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses analisis data. Selain itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang dipantau, dan sebagai umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Perlu diperhatikan bahwa metode pengumpulan dan analisis data sejauh mungkin konsisten dengan metode yang digunakan disaat penyusunan ANDAL. 2. Lokasi pemantauan lingkungan hidup Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala yang memadai dan menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pemantauan sejauh mungkin konsisten dengan lokasi pengumpulan data disaat penyusunan ANDAL. 3. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut dengan frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau (instensitas, lama dampak berlangsung, dan sifat kumulatif dampak). f. Institusi pemantauan lingkungan hidup Pada setiap rencana pemantauan lingkungan hidup cantumkan institusi atau kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan pemantauan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan lingkungan hidup meliputi : 1. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup; 2. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh sektor terkait; 3. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah; 4. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota; 5. Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi pemantauan lingkungan hidup. Institusi pemantau lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi : 1. Pelaksana pemantauan lingkungan hidup Cantumkan institusi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan sebagai penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan hidup; 2. Pengawas pemantauan lingkungan hidup Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RPL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan perundangundangan yang berlaku;
392 2466
3. Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup; Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.
LAMPIRAN Pada bagian ini lampirkan tentang : 1. Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut: Dampak Penting Yang Dipantau, Sumber Dampak, Tujuan Pemantauan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (yang meliputi Metode Pengumpulan Data, Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup, Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan Lingkungan Hidup, serta Metode Analisis), dan Institusi Pemantau Lingkungan Hidup. 2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena menunjang isi dokumen RPL.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan susuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Hoetomo, MPA.
393 2467
Lampiran V
:
Nomor Tanggal
: :
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup 08 Tahun 2006 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN RINGKASAN EKSEKUTIF
PENYUSUNAN DOKUMEN RINGKASAN EKSEKUTIF BAB I PENDAHULUAN a.
Latar Belakang Kegiatan Pada bagian ini uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan ditinjau dari tujuan dan manfaat proyek. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1 Identifikasi kekurangan-kekurangan kondisi saat ini yang melatarbelakangi diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan; 2 Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas kekurangan-kekurangan yang ada saat ini; 3 Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut. Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang disampaikan oleh pemrakarsa.
b.
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pada bagian ini uraikan secara singkat rencana kegiatan yang meliputi lokasi kegiatan, jenis kegiatan, besaran kegiatan dan tahapan kegiatan.
c.
Alternatif-alternatif yang dikaji dalam ANDAL Pada bagian ini uraikan secara singkat alternatif-alternatif rencana kegiatan (antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana pendukung), termasuk proses pemilihan alternatif terbaik. Uraikan secara sistematis dan logis terhadap proses dihasilkannya alternatif terbaik.
394 2468
d.
Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan merupakan pernyataan secara jelas terhadap kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk alternatif terbaik yang terpilih.
e.
Waktu pelaksanaan Pada bagian ini tuliskan waktu pelaksanaan atau jadual rencana kegiatan untuk setiap jenis kegiatan dan tahapan kegiatan (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi).
f.
Pemrakarsa kegiatan Pada bagian ini tuliskan nama pemrakarsa yang meliputi: nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
BAB II DAMPAK PENTING TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas dampak penting yang harus dikelola sesuai hasil evaluasi dampak. BAB III UPAYA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak-dampak penting lingkungan hidup yang ditimbulkan sebagaimana dimaksud pada bab II. Uraian tersebut dapat dibuat dalam bentuk tabel dengan rincian sebagai berikut: a.
Pengelolaan lingkungan hidup (Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Teknik Pengelolaan, Lokasi Pengelolaan, Waktu Pengelolaan dan Pelaksana Pengelolaan).
b.
Pemantauan lingkungan hidup (Jenis Dampak, Sumber Dampak, Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau, Metode Pemantauan, Lokasi Pemantauan, Waktu Pemantauan, Pelaksana Pemantauan, Pengawas Pemantauan dan Pelaporan Hasil Pemantauan). Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ir. Rachmat Witoelar.
ttd Hoetomo, MPA.
395 2469
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga dipandang perlu diadakan perubahan terhadap Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
396 2470
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP. Pasal 1
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. Pasal 2 Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pasal 3 Dalam hal skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil daripada skala/besaran yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini akan tetapi atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup, maka Bupati atau Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut sebagai Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
397 2471
Pasal 4 Bupati atau Walikota atau Gubernur dan/atau masyarakat dapat mengajukan usulan secara tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup mengenai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, untuk ditetapkan sebagai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pasal 5 Menteri Negara Lingkungan Hidup mempertimbangkan penetapan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup terhadap usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 6 Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup bagi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini setelah mendengar dan memperhatikan saran serta pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait. Pasal 7 (1)
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini dapat berkurang dalam hal: a. dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat ditanggulangi berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau b. dalam kenyataannya jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2)
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak diwajibkan dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
(3)
Dalam menentukan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri wajib mempertimbangkan saran dan masukan dari sektor terkait dan pendapat para ahli.
398 2472
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang dikecualikan dari jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 8
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini dapat ditinjau kembali paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Pasal 9 Khusus untuk bidang rekayasa genetika, ketentuan tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M Peraturan Menteri ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Presiden yang mengatur Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Pasal 10 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
399 2473
.
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Tanggal : JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP 1. Pendahuluan Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan: a. Potensi dampak penting Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL. Potensi dampak penting bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan: (1) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting. (2) Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai landasan kebijakan tentang AMDAL. b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul. 2. Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup A. Bidang Pertahanan Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan skala/besaran sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini berpotensi menimbulkan risiko lingkungan dengan terjadinya ledakan serta keresahan sosial akibat kegiatan operasional dan penggunaan lahan yang cukup luas. No Jenis Kegiatan 1 Pembangunan Pangkalan TNI AL
2
Skala/Besaran Kelas A dan B
Pembangunan Pangkalan TNI AU
Kelas A dan B
1
400 2474
Alasan Ilmiah Khusus Kegiatan pengerukan dan reklamasi berpotensi mengubah ekosistem laut dan pantai. Kegiatan pangkalan berpotensi menyebabkan dampak akibat limbah cair dan sampah padat. Kegiatan pangkalan berpotensi menyebabkan
.
3
Pembangunan Pusat Latihan Tempur - Luas
> 10.000 ha
dampak akibat limbah cair, sampah padat dan kebisingan pesawat. Bangunan pangkalan dan fasilitas pendukung, termasuk daerah penyangga, tertutup bagi masyarakat. Kegiatan latihan tempur berpotensi menyebabkan dampak akibat limbah cair, sampah padat dan kebisingan akibat ledakan.
B. Bidang Pertanian Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air akibat kegiatan pembukaan lahan, persebaran hama, penyakit dan gulma pada saat beroperasi, serta perubahan kesuburan tanah akibat penggunaan pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan penyebaran penyakit endemik. Skala/besaran yang tercantum dalam tabel di bawah ini telah memperhitungkan potensi dampak penting kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan bentang alam. Skala/besaran tersebut merupakan luasan rata-rata dari berbagai ujicoba untuk masing-masing kegiatan dengan mengambil lokasi di daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi. No 1.
2.
Jenis Kegiatan Budidaya tanaman pangan dan hortikultura a. Semusim dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas b.Tahunan dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas Budidaya tanaman perkebunan
Skala/Besaran
Alasan Ilmiah Khusus Kegiatan akan berdampak terhadap ekosistem, hidrologi dan bentang alam.
> 2.000 ha
> 5.000 ha
a. Semusim dengan atau tanpa unit pengolahannya: - Dalam kawasan budidaya non kehutanan, luas - Dalam kawasan budidaya kehutanan, luas
> 3.000 ha Semua besaran 2
401 2475
.
b.Tahunan dengan atau tanpa unit pengolahannya: - Dalam kawasan budidaya non kehutanan, luas - Dalam kawasan budidaya kehutanan, luas
> 3.000 ha Semua besaran
C. Bidang Perikanan Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tambak udang, ikan adalah perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi, dan bentang alam. Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis dan kelimpahan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berada di kawasan tersebut. No 1.
Jenis Kegiatan Skala/Besaran Usaha budidaya perikanan a. Budidaya tambak udang/ikan tingkat teknologi maju dan madya dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas > 50 ha
a. Usaha budidaya perikanan terapung (jaring apung dan pen system): - Di air tawar (danau) Luas, atau Jumlah
> 2,5 ha > 500 unit
3
402 2476
Alasan Ilmiah Khusus Rusaknya ekosistem mangrove yang menjadi tempat pemijahan dan pertumbuhan ikan (nursery areas) akan mempengaruhi tingkat produktivitas daerah setempat. Beberapa komponen lingkungan yang akan terkena dampak adalah: kandungan bahan organik, perubahan BOD, COD, DO, kecerahan air, jumlah phytoplankton maupun peningkatan virus dan bakteri. Semakin tinggi penerapan teknologi maka produksi limbah yang diindikasikan akan menyebabkan dampak negatif terhadap perairan/ekosistem di sekitarnya. Perubahan kualitas perairan. Pengaruh perubahan arus dan penggunaan ruang perairan. Pengaruh terhadap estetika perairan.
.
- Di air laut Luas, atau Jumlah
> 5 ha > 1.000 unit
Mengganggu alur pelayaran.
D. Bidang Kehutanan Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem hutan, hidrologi, keanekaragaman hayati, hama penyakit, bentang alam dan potensi konflik sosial. No 1.
Jenis Kegiatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan a. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) dari Hutan Alam (HA)
Skala/Besaran
b.Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) dari Hutan Tanaman (HT)
Alasan Ilmiah Khusus
Semua besaran
Pemanenan pohon dengan diameter tertentu berpotensi merubah struktur dan komposisi tegakan. Mempengaruhi kehidupan satwa liar dan habitatnya.
> 5.000 ha/etat
Usaha hutan tanaman dilaksanakan melalui sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) berpotensi menimbulkan dampak erosi serta perubahan komposisi tegakan (menjadi homogen), satwa liar dan habitatnya.
E. Bidang Perhubungan No 1.
2.
Jenis Kegiatan Pembangunan Jaringan Jalan Kereta Api - Panjang
Skala/Besaran
> 25 km
Konstruksi bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah
Semua besaran
4
403 2477
Alasan Ilmiah Khusus Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi, gangguan lalu lintas, kebisingan, getaran, gangguan pandangan, ekologis dan dampak sosial. Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan kestabilan lahan (land subsidence), air tanah serta gangguan berupa dampak terhadap emisi, lalu lintas,
.
3.
Pembangunan terminal terpadu Moda dan Fungsi - Luas 2 ha
4.
a. Pengerukan perairan dengan Capital Dredging - Volume
> 500.000 m3
b.Pengerukan perairan sungai Semua besaran dan/atau laut dengan capital dredging yang memotong material karang dan/atau batu
5.
Pembangunan pelabuhan dengan salah satu fasilitas berikut: a. Dermaga dengan bentuk konstruksi sheet pile atau open pile - Panjang, atau - Luas
> 200 m > 6.000 m2
b.Dermaga dengan konstruksi masif
Semua besaran
c. Penahan gelombang (talud) dan/ atau pemecah gelombang (break water) 5
404 2478
kebisingan, getaran, gangguan pandangan, gangguan jaringan prasarana sosial (gas, listrik, air minum, telekomunikasi) dan dampak sosial di sekitar kegiatan tersebut. Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi, gangguan lalu lintas, kebisingan, getaran, ekologis, tata ruang dan sosial. Berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap sistem hidrologi dan ekologis yang lebih luas dari batas tapak kegiatan itu sendiri, perubahan batimetri, ekosistem, dan mengganggu proses-proses alamiah di daerah perairan (sungai dan laut) termasuk menurunnya produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial. Kegiatan ini juga akan menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas pelayaran perairan. Kunjungan kapal yang cukup tinggi dengan bobot sekitar 5.000-10.000 DWT serta draft kapal minimum 4-7 m sehingga kondisi kedalaman yang dibutuhkan menjadi –5 s/d –9 m LWS. Berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap perubahan arus pantai/pendangkalan dan sistem hidrologi, ekosistem, kebisingan dan dapat mengganggu proses-proses alamiah di daerah pantai (coastal processes). Berpotensi menimbulkan dampak terhadap ekosistem, hidrologi, garis pantai dan
.
- Panjang
> 200 m
d.Prasarana pendukung pelabuhan (terminal, gudang, peti kemas, dan lain-lain) - Luas > 5 ha
6.
7.
e. Single Point Mooring Boey - Untuk kapal
> 10.000 DWT
Reklamasi (pengurugan): - Luas, atau - Volume
> 25 ha > 500.000 m3
Kegiatan penempatan hasil keruk (dumping) di darat: - Volume, atau - Luas area dumping
> 500.000 m3 > 5 ha
6
405 2479
batimetri serta mengganggu proses-proses alamiah yang terjadi di daerah pantai. Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi, gangguan lalulintas, aksesibilitas transportasi, kebisingan, getaran, gangguan pandangan, ekologis, dampak sosial dan keamanan disekitar kegiatan serta membutuhkan area yang luas. Kunjungan kapal yang cukup tinggi dengan bobot sekitar 5.000 – 10.000 DWT serta draft kapal minimum 4-7m sehingga kondisi kedalaman yang dibutuhkan menjadi –5 s/d –9 m LWS. Berpotensi menimbulkan dampak berupa gangguan alur pelayaran, perubahan batimetri, ekosistem, dan mengganggu proses-proses alamiah di daerah pantai terutama apabila yang dibongkar muat minyak mentah yang berpotensi menimbulkan pencemaran laut dari tumpahan minyak. Berpotensi menimbulkan dampak terhadap sistem geohidrologi, hidrooseanografi, dampak sosial, ekologis, perubahan garis pantai, kestabilan lahan, lalu lintas serta mengganggu proses-proses alamiah di daerah pantai. Menyebabkan terjadinya perubahan bentang lahan yang akan mempengaruhi ekologis, hidrologi setempat.
.
Semua besaran Termasuk kegiatan yang kelompok bandar berteknologi tinggi, harus udara (A, B, dan C) memperhatikan ketentuan beserta hasil studi keselamatan penerbangan rencana induk yang dan terikat dengan konvensi telah disetujui internasional. Berpotensi menimbulkan dampak berupa kebisingan, getaran, dampak sosial, keamanan negara, emisi dan kemungkinan bangkitan transportasi baik darat dan udara. Adanya ketentuan KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan) yang membatasi pemanfaatan ruang udara serta berpotensi menimbulkan dampak sosial. Termasuk kegiatan berteknologi tinggi, harus memenuhi aturan keselamatan penerbangan > 200 m dan terikat dengan konvensi internasional. Berpotensi menimbulkan > 2000 m2 dampak kebisingan, 50 liter/detik getaran, dampak sosial, (dari 1 sumur keamanan negara, emisi sampai dengan 5 dan kemungkinan sumur dalam satu bangkitan transportasi baik area < 10 ha) darat dan udara, mobilisasi penumpang meningkat. Dampak potensial berupa limbah padat, limbah cair, udara, dan bau yang dapat mengganggu kesehatan. Pengoperasian jenis pesawat yang dapat dilayani oleh bandara.
8.
Pembangunan bandar udara baru beserta fasilitasnya (untuk fixed wing maupun rotary wing)
9.
Pengembangan bandar udara beserta salah satu fasilitas berikut: a. Landasan pacu - Panjang b.Terminal penumpang atau terminal kargo - Luas c. Pengambilan air tanah
10.
Perluasan bandar udara beserta/atau fasilitasnya: a. - Pemindahan penduduk, atau > 200 KK - Pembebasan lahan > 100 ha 7
406 2480
Termasuk kegiatan berteknologi tinggi, harus memenuhi aturan keselamatan penerbangan
.
b.Reklamasi pantai: - Luas, atau - Volume urugan c. Pemotongan bukit dan pengurugan lahan dengan volume
> 25 ha > 100.000 m3 500.000 m3
dan terikat dengan konvensi internasional. Berpotensi menimbulkan dampak kebisingan, getaran, dampak sosial, keamanan negara, emisi dan kemungkinan bangkitan transportasi baik darat dan udara.
F. Bidang Teknologi Satelit No 1.
Jenis Kegiatan Pembangunan fasilitas peluncuran satelit
Skala/Besaran Semua besaran
Alasan Ilmiah Khusus Kegiatan ini memerlukan persyaratan lokasi yang khusus (sepi penduduk, di daerah katulistiwa/ekuator, dekat laut), teknologi canggih, dan tingkat pengamanan yang tinggi. Bangunan peluncuran satelit dan fasilitas pendukung, termasuk daerah penyangga, tertutup bagi masyarakat.
Skala/Besaran Semua besaran
Alasan Ilmiah Khusus Industri semen dengan Proses Klinker adalah industri semen yang kegiatannya bersatu dengan kegiatan penambangan, dimana terdapat proses penyiapan bahan baku, penggilingan bahan baku (raw mill process), penggilingan batubara (coal mill) serta proses pembakaran dan pendinginan klinker (Rotary Kiln and Clinker Cooler). Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh:
G. Bidang Perindustrian No 1.
Jenis Kegiatan Industri semen (yang dibuat melalui produksi klinker)
8
407 2481
.
2.
Industri pulp atau industri kertas yang terintegrasi dengan industri pulp, kecuali pulp dari kertas bekas dan pulp untuk kertas budaya
Semua besaran
Debu yang keluar dari cerobong. Penggunaan lahan yang luas. Kebutuhan air cukup besar (3,5 ton semen membutuhkan 1 ton air). Kebutuhan energi cukup besar baik tenaga listrik (110 – 140 kWh/ton) dan tenaga panas (800 – 900 Kcal/ton). Tenaga kerja besar (+ 1-2 TK/3000 ton produk). Potensi berbagai jenis limbah: padat (tailing), debu (CaO, SiO2, Al2O3, FeO2) dengan radius 2-3 km, limbah cair (sisa cooling mengandung minyak lubrikasi/pelumas), limbah gas (CO2, SOx, NOx) dari pembakaran energi batubara, minyak dan gas. Proses pembuatan pulp meliputi kegiatan penyiapan bahan baku, pemasakan serpihan kayu, pencucian pulp, pemutihan pulp (bleaching) dan pembentukan lembaran pulp yang dalam prosesnya banyak menggunakan bahan-bahan kimia, sehingga berpotensi menghasilkan limbah cair (BOD, COD, TSS), limbah gas (H2S, SO2, NOx, Cl2) dan limbah padat (ampas kayu, serat pulp, lumpur kering). Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh: Penggunaan lahan yang luas (0,2 ha/1000 ton produk).
9
408 2482
.
3.
4.
Industri petrokimia hulu
Semua besaran
Kawasan Industri (termasuk komplek industri yang terintegrasi)
Semua besaran
10
409 2483
Tenaga kerja besar. Kebutuhan energi besar (0,2 MW/1000 ton produk). Industri petrokimia hulu adalah industri yang mengolah hasil tambang mineral (kondensat) terdiri dari Pusat Olefin yang menghasilkan Benzena, Propilena dan Butadiena serta Pusat Aromatik yang menghasilkan Benzena, Toluena, Xylena, dan Etil Benzena. Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh: Kebutuhan lahan yang luas. Kebutuhan air cukup besar (untuk pendingin 1 l/dt/1000 ton produk). Tenaga kerja besar. Kebutuhan energi relatif besar (6-7 kW/ton produk) disamping bersumber dari listrik juga energi gas. Potensi berbagai limbah: gas (SO2 dan NOx), debu (SiO2), limbah cair (TSS, BOD, COD, NH4Cl) dan limbah sisa katalis bekas yang bersifat B3. Kawasan industri (industrial estate) merupakan lokasi yang dipersiapkan untuk berbagai jenis industri manufaktur yang masih prediktif, sehingga dalam pengembangannya diperkirakan akan menimbulkan berbagai dampak penting antara lain disebabkan: Kegiatan grading (pembentukan muka tanah) dan run off (air larian).
.
Pengadaan dan pengoperasian alat-alat berat. Mobilisasi tenaga kerja (90 – 110 TK/ha). Kebutuhan pemukiman dan fasilitas sosial. Kebutuhan air bersih dengan tingkat kebutuhan rata-rata 0,55 – 0,75 l/dt/ha. Kebutuhan energi listrik cukup besar baik dalam kaitan dengan jenis pembangkit ataupun trace jaringan (0,1 MW/ha). Potensi berbagai jenis limbah dan cemaran yang masih prediktif terutama dalam hal cara pengelolaannya. Bangkitan lalu lintas. 5.
Industri galangan kapal dengan 50.000 DWT sistem graving dock
Sistem graving dock adalah galangan kapal yang dilengkapi dengan kolam perbaikan dengan ukuran panjang 150 m, lebar 30 m, dan kedalaman 10 m dengan sistem sirkulasi. Pembuatan kolam graving ini dilakukan dengan mengeruk laut yang dikhawatirkan akan menyebabkan longsoran ataupun abrasi pantai. Perbaikan kapal berpotensi menghasilkan limbah cair (air ballast, pengecatan lambung kapal dan bahan kimia B3) maupun limbah gas dan debu dari kegiatan sand blasting dan pengecatan.
6.
Industri amunisi dan bahan peledak
Semua besaran
11
410 2484
Industri amunisi dan bahan peledak merupakan industri yang dalam proses produksinya menggunakan
.
7.
Kegiatan industri yang tidak termasuk angka 1 s/d 6 Penggunaan areal: a. Urban: - Metropolitan, luas - Kota besar, luas - Kota sedang, luas - Kota kecil, luas
> 5 ha > 10 ha > 15 ha > 20 ha
b.Rural/pedesaan, luas
> 30 ha
bahan-bahan kimia yang bersifat B3, disamping kegiatannya membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi. Besaran untuk masing-masing tipologi kota diperhitungkan berdasarkan: Tingkat pembebasan lahan. Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah, kapasitas resapan air tanah, tingkat kepadatan bangunan per hektar, dan lain-lain. Umumnya dampak yang ditimbulkan berupa: Bangkitan lalu lintas. Konflik sosial. Penurunan kualitas lingkungan.
H. Bidang Pekerjaan Umum Beberapa kegiatan pada bidang Pekerjaan Umum mempertimbangkan skala/besaran kota yang menggunakan ketentuan berdasarkan jumlah populasi, yaitu: kota metropolitan : > 1.000.000 jiwa kota besar : 500.000-1.000.000 jiwa kota sedang : 200.000-500.000 jiwa kota kecil : 20.000-200.000 jiwa No 1.
Jenis Kegiatan Pembangunan Bendungan/Waduk atau Jenis Tampungan Air lainnya: - Tinggi, atau
Skala/Besaran > 15 m
- Luas genangan
> 200 ha 12
411 2485
Alasan Ilmiah Khusus Termasuk dalam kategori “large dam” (bendungan besar). Pada skala ini dibutuhkan spesifikasi khusus baik bagi material dan desain konstruksinya. Pada skala ini diperlukan quarry/burrow area yang besar, sehingga berpotensi menimbulkan dampak. Dampak pada hidrologi.
Kegagalan bendungan pada luas genangan
.
sebesar ini berpotensi mengakibatkan genangan yang cukup besar dibagian hilirnya. Akan mempengaruhi pola iklim mikro pada kawasan sekitarnya dan ekosistem daerah hulu dan hilir bendungan/waduk. Dampak pada hidrologi. 2.
Daerah Irigasi a. Pembangunan baru dengan luas
> 2.000 ha
b.Peningkatan dengan luas tambahan
> 1.000 ha
13
412 2486
Mengakibatkan perubahan pola iklim mikro dan ekosistem kawasan. Selalu memerlukan bangunan utama (headworks) dan bangunan pelengkap (oppurtenants structures) yang besar dan sangat banyak sehingga berpotensi untuk mengubah ekosistem yang ada. Mengakibatkan mobilisasi tenaga kerja yang signifikan pada daerah sekitarnya, baik pada saat pelaksanaan maupun setelah pelaksanaan. Membutuhkan pembebasan lahan yang besar sehingga berpotensi menimbulkan dampak sosial. Berpotensi menimbulkan dampak negatif akibat perubahan ekosistem pada kawasan tersebut. Memerlukan bangunan tambahan yang berpotensi untuk mengubah ekosistem yang ada. Mengakibatkan mobilisasi manusia yang dapat
.
c. Pencetakan sawah, luas (perkelompok)
3.
Pengembangan Rawa: Reklamasi rawa untuk kepentingan irigasi
> 500 ha
> 1.000 ha
4.
Pembangunan Pengaman Pantai dan perbaikan muara sungai: - Jarak dihitung tegak lurus pantai
> 500 m
5.
Normalisasi Sungai (termasuk sodetan) dan Pembuatan Kanal Banjir a. Kota besar/metropolitan - Panjang, atau - Volume pengerukan
> 5 km > 500.000 m3
14
413 2487
menimbulkan dampak sosial. Memerlukan alat berat dalam jumlah yang cukup banyak. Perubahan Tata Air. Berpotensi mengubah ekosistem dan iklim mikro pada kawasan tersebut dan berpengaruh pada kawasan di sekitarnya. Berpotensi mengubah sistem tata air yang ada pada kawasan yang luas secara drastis. Pembangunan pada rentang kawasan pantai selebar > 500 m berpotensi mengubah ekologi kawasan pantai dan muara sungai sehingga berdampak terhadap keseimbangan ekosistem yang ada. Gelombang pasang laut (tsunami) di Indonesia berpotensi menjangkau kawasan sepanjang 500 m dari tepi pantai, sehingga diperlukan kajian khusus untuk pengembangan kawasan pantai yang mencakup rentang lebih dari 500 m dari garis pantai. Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai yang menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial, dan gangguan. Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan dan dampak.
.
b.Kota sedang - Panjang, atau - Volume pengerukan
> 10 km > 500.000 m3
c. Pedesaan - Panjang, atau - Volume pengerukan
> 15 km > 500.000 m3
6.
Pembangunan Jalan Tol
> 5 km
7.
Pembangunan dan/atau peningkatan jalan dengan pelebaran yang membutuhkan pengadaan tanah a. Kota besar/metropolitan - Panjang, atau - Pembebasan lahan b.Kota sedang - Panjang, atau - Pembebasan lahan c. Pedesaan - Panjang, atau - Pembebasan lahan a. Pembangunan subway/underpass, terowongan/tunnel
8
Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai yang menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial, dan gangguan. Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan dan dampak. Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai yang menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial, dan gangguan. Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan dan dampak. Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial. Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.
> 5 km > 5 ha 10 km 10 ha 30 km 30 ha
> 2 km
b.Pembangunan jembatan
> 500 m
15
414 2488
Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan kestabilan lahan (land subsidence), air tanah serta gangguan berupa dampak terhadap emisi, lalu lintas, kebisingan, getaran, gangguan pandangan, gangguan jaringan prasarana sosial (gas, listrik, air minum,
.
telekomunikasi) dan dampak sosial di sekitar kegiatan tersebut. 9.
Persampahan a. Pembangunan TPA sampah domestik Pembuangan dengan sistem control landfill/ sanitary landfill termasuk instalasi penunjangnnya - Luas kawasan TPA, atau - Kapasitas total b.TPA di daerah pasang surut, - Luas landfill, atau - Kapasitas total c. Pembangunan transfer station - Kapasitas
> 10 ha > 10.000 ton > 5 ha > 5.000 ton
> 1.000 ton/hari
d.Pembangunan Instalasi Pengolahan sampah terpadu - Kapasitas
500 ton/hari
e. Pengolahan dengan insinerator - Kapasitas
500 ton/hari
f. Composting Plant - Kapasitas
100 ton/hari
g.Transportasi sampah dengan kereta api - Kapasitas
500 ton/hari
16
415 2489
Dampak potensial adalah pencemaran gas/udara, risiko kesehatan masyarakat dan pencemaran dari leachate Dampak potensial berupa pencemaran dari leachate, udara, bau, vektor penyakit dan gangguan kesehatan. Dampak potensial berupa pencemaran udara, bau, vektor penyakit dan gangguan kesehatan. Dampak potensial berupa pencemaran dari leachate (lindi), udara, bau, gas beracun, dan gangguan kesehatan. Dampak potensial berupa fly ash dan bottom ash, pencemaran udara, emisi biogas (H2S, NOx, SOx, COx, dioxin), air limbah, cooling water, bau dan gangguan kesehatan. Dampak potensial berupa pencemaran dari bau dan gangguan kesehatan. Dampak potensial berupa pencemaran dari air sampah dan sampah yang tercecer, bau, gangguan kesehatan dan aspek sosial masyarakat di daerah yang dilalui kereta api
.
10
11
Pembangunan Perumahan/Permukiman a. Kota metropolitan, luas b.Kota besar, luas c. Kota sedang dan kecil, luas
> 25 ha > 50 ha > 100 ha
Air Limbah Domestik a. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), termasuk fasilitas penunjangnya - Luas, atau - Kapasitasnya
2 ha 11 m3/hari
Besaran untuk masingmasing tipologi kota diperhitungkan berdasarkan: Tingkat pembebasan lahan. Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah, kapasitas resapan air tanah, tingkat kepadatan bangunan per hektar. Tingkat kebutuhan air sehari-hari. Limbah yang dihasilkan sebagai akibat hasil kegiatan perumahan dan pemukiman. Efek pembangunan terhadap lingkungan sekitar (mobilisasi material dan manusia). KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB (koefisien luas bangunan). Setara dengan layanan untuk 100.000 orang. Dampak potensial berupa bau, gangguan kesehatan, lumpur sisa yang tidak diolah dengan baik dan gangguan visual. Setara dengan layanan untuk 100.000 orang.
b.Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) limbah domestik termasuk fasilitas penunjangnya - Luas, atau - Beban organik c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah, luas layanan - Luas layanan, atau - Debit air limbah
3 ha 2,4 ton/hari
500 ha 16.000 m3/hari
17
416 2490
Setara dengan layanan 100.000 orang. Setara dengan 20.000 unit sambungan air limbah. Dampak potensial berupa gangguan lalu lintas, kerusakan prasarana umum, ketidaksesuaian atau nilai kompensasi
.
12.
13.
14.
15.
Pembangunan saluran drainase (primer dan/atau sekunder) di permukiman a. kota besar/ metropolitan, panjang b.kota sedang, panjang
Jaringan air bersih di kota besar/metropolitan a. Pembangunan jaringan distribusi - Luas layanan b.Pembangunan jaringan transmisi - Panjang Pengambilan air dari danau, sungai, mata air permukaan, atau sumber air permukaan lainnya - Debit pengambilan Pembangunan Pusat Perkantoran, Pendidikan, Olahraga, Kesenian, Tempat Ibadah, Pusat perdagangan/ perbelanjaan relatif terkonsentrasi - Luas lahan, atau - Bangunan
5 km 10 km
Berpotensi menimbulkan gangguan lalu lintas, kerusakan prasarana dan sarana umum, pencemaran di daerah hilir, perubahan tata air di sekitar jaringan, bertambahnya aliran puncak dan perubahan perilaku masyarakat di sekitar jaringan. Pembangunan drainase sekunder di kota sedang yang melewati permukiman padat Berpotensi menimbulkan dampak hidrologi dan persoalan keterbatasan air.
> 500 ha
> 10 km Setara kebutuhan air bersih 200.000 orang. Setara kebutuhan kota sedang. > 250 l/dt
> 5 ha >10.000 m2
Besaran diperhitungkan berdasarkan: Pembebasan lahan. Daya dukung lahan. Tingkat kebutuhan air sehari-hari. Limbah yang dihasilkan. Efek pembangunan terhadap lingkungan sekitar (getaran, kebisingan, polusi udara, dan lain-lain). KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB. (koefisien luas bangunan) Jumlah dan jenis pohon yang mungkin hilang. Khusus bagi pusat perdagangan/perbelanjaan
18
417 2491
.
16.
Pembangunan kawasan pemukiman untuk pemindahan penduduk/transmigrasi (Pemukiman Transmigrasi Baru Pola Tanaman Pangan) - Luas lahan
> 2000 ha
relatif terkonsentrasi dengan luas tersebut diperkirakan akan menimbulkan dampak penting: Konflik sosial akibat pembebasan lahan (umumnya berlokasi dekat pusat kota yang memiliki kepadatan tinggi). Struktur bangunan bertingkat tinggi dan basement menyebabkan masalah dewatering dan gangguan tiang-tiang pancang terhadap akuifer sumber air sekitar. Bangkitan pergerakan (traffic) dan kebutuhan permukiman dari tenaga kerja yang besar. Bangkitan pergerakan dan kebutuhan parkir pengunjung. Produksi sampah. Berpotensi menimbulkan dampak yang disebabkan oleh: Pembebasan lahan. Tingkat kebutuhan air. Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah, kapasitas resapan air tanah, tingkat kepadatan bangunan per hektar, dan lain-lain.
I. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral No A 1
Jenis Kegiatan MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS BUMI Mineral, Batubara, dan panas bumi - Luas perizinan (KP), atau - Luas daerah terbuka untuk pertambangan
Skala/Besaran
Alasan Ilmiah Khusus
200 ha 50 ha (kumulatif/tahun)
Dampak penting terhadap lingkungan antara lain: merubah bentang alam, ekologi dan hidrologi. Lama kegiatan juga akan
19
418 2492
.
2.
Tahap eksploitasi: a. Eksploitasi dan pengembangan uap panas bumi dan/atau Pengembangan panas bumi
55 MW
b.Batubara/gambut - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan
1.000.000 ton/tahun 4.000.000 ton
c. Bijih Primer - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan e. Bahan galian bukan logam atau bahan galian golongan C - Kapasitas, dan/atau
memberikan dampak penting terhadap kualitas udara, kebisingan, getaran apabila menggunakan peledak, serta dampak dari limbah yang dihasilkan. Berpotensi menimbulkan dampak terhadap air, udara, flora, fauna, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar. Jumlah pemindahan material berpengaruh terhadap intensitas dampak yang akan terjadi.
Jumlah pemindahan material 400.000 ton/tahun berpengaruh terhadap 1.000.000 ton intensitas dampak yang akan terjadi. Jumlah pemindahan material berpengaruh terhadap 300.000 ton/tahun intensitas dampak yang akan 1.000.000 ton terjadi.
250.000 m3/tahun 1.000.000 ton
- Jumlah material penutup yang dipindahkan f. Bahan galian radioaktif, Semua besaran termasuk pengolahan, penambangan dan pemurnian
20
419 2493
Jumlah pemindahan material berpengaruh terhadap intensitas dampak yang akan terjadi.
Sampai saat ini bahan radioaktif digunakan sebagai bahan bakar reaktor nuklir maupun senjata nuklir. Oleh sebab itu, selain dampak penting yang dapat ditimbulkan, keterkaitannya dengan masalah pertahanan dan keamanan menjadi alasan mengapa kegiatan ini wajib dilengkapi AMDAL untuk semua besaran.
.
g.Pengambilan air bawah tanah 50 liter/detik (dari (sumur tanah dangkal, sumur 1 sumur sampai tanah dalam, dan mata air) dengan 5 sumur dalam satu area < 10 ha) h.Tambang di laut Semua besaran
3.
Melakukan penempatan tailing di bawah laut (Submarine Tailing Disposal)
Semua besaran
4.
Melakukan pengolahan bijih dengan proses sianidasi atau amalgamasi
Semua besaran
Potensi perubahan dan gangguan sistem hidrogeologi.
Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan batimetri, ekosistem pesisir dan laut, mengganggu alur pelayaran dan proses-proses alamiah di daerah pantai termasuk menurunnya produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan terhadap nelayan dan masyarakat sekitar. Memerlukan lokasi khusus dan berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan batimetri, ekosistem pesisir dan laut, mengganggu alur pelayaran dan proses-proses alamiah di daerah pantai termasuk menurunnya produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan terhadap nelayan dan masyarakat sekitar. Sianida dan air raksa merupakan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berpotensi menimbulkan pencemaran air permukaan, air tanah dan udara.
B. MINYAK DAN GAS BUMI 1.
Eksploitasi Migas dan Pengembangan Produksi a Di darat: - Lapangan minyak
5.000 BOPD
21
420 2494
Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur pengeboran. Potensi ledakan.
.
- Lapangan gas
.
2.
30 MMSCFD
b Di laut - Lapangan Minyak - Lapangan Gas
15.000 BOPD 90 MMSCFD jumlah total lapangan semua sumur
Transmisi MIGAS di laut - Panjang, atau - Bertekanan
100 km 16 bar
22
421 2495
Pencemaran udara, air dan tanah. Potensi kerusakan ekosistem. Pertimbangan ekonomis. Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur pengeboran. Potensi ledakan. Pencemaran udara, air dan tanah. Pertimbangan ekonomis. Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur pengeboran. Potensi ledakan. Pencemaran udara, air. Pertimbangan ekonomis. Perubahan Ekosistem laut. Termasuk distribusinya dilakukan dari rumah ke rumah. Pemanfaatan lahan yang tumpang tindih dengan aktifitas nelayan dianggap cukup luas lintas kabupaten/kota juga dapat mengganggu aktivitas nelayan. Penyiapan area konstruksi dapat menimbulkan gangguan terhadap daerah sensitif. Pengoperasian pipa rawan terhadap gangguan aktivitas lalu lintas kapal buang sauh, penambangan pasir. Tekanan operasi pipa cukup tinggi sehingga berbahaya terhadap kegiatan/aktifitas nelayan, tambang pasir dan alur pelayaran.
.
3.
4.
Pembangunan kilang: - LPG - LNG - Minyak
50 MMSCFD 550 MMSCFD 10.000 BOPD
10.000 ton/tahun
Kilang minyak pelumas bekas (termasuk fasilitas penunjang)
C. LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI 1. Pembangunan jaringan transmisi
> 150 kV
23
422 2496
Potensi konflik sosial. Merupakan industri strategis. Potensi dampak dari sarana penunjang khusus. Proses pengolahan menggunakan bahan yang berpotensi menghasilkan limbah yang bersifat turunan. Berpotensi menghasilkan limbah gas, padat dan cair yang cukup besar. Membutuhkan area yang cukup luas. Khusus LNG, berpotensi menghasilkan limbah gas H2S. Potensi perubahan dan gangguan sistem geohidrologi. Berpotensi mengubah ekosistem yang lebih luas. Potensi konflik sosial. Merupakan industri strategis. Potensi dampak dari sarana penunjang khusus. Proses pengolahan menggunakan bahan yang berpotensi menghasilkan limbah yang bersifat turunan. Berpotensi menghasilkan limbah gas, padat dan cair yang cukup besar. Membutuhkan area yang cukup luas. Potensi perubahan dan gangguan sistem geohidrologi.
Keresahan masyarakat karena harga tanah turun
.
2.
Pembangunan a. PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU
100 MW (dalam satu lokasi)
Adanya medan magnet dan medan listrik. Aspek sosial, ekonomi dan budaya terutama pada pembebasan lahan dan keresahan masyarakat. Berpotensi menimbulkan dampak pada: Aspek fisik kimia, terutama pada kualitas udara (emisi, ambient dan kebisingan) dan kualitas air (ceceran minyak pelumas, limbah bahang) serta air tanah. Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama pada saat pembebasan lahan dan pemindahan penduduk.
b. Pembangunan PLTP 55 MW (pengembangan Panas Bumi)
Berpotensi menimbulkan dampak pada: Aspek fisik-kimia, terutama pada kualitas udara (bau dan kebisingan) dan kualitas air. Aspek flora fauna. Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama pada pembebasan lahan.
c. Pembangunan PLTA dengan: - Tinggi bendung, atau 15 m - Luas genangan, atau 200 ha - Kapasitas daya (aliran 50 MW langsung)
Perubahan fungsi lahan. Berpotensi menimbulkan dampak pada: - Aspek fisik-kimia, terutama pada kualitas udara (bau dan kebisingan) dan kualitas air. - Aspek flora fauna. - Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama pada pembebasan lahan. Termasuk dalam kategori “large dam” (bendungan besar).
24
423 2497
.
Kegagalan bendungan (dam break), akan mengakibatkan gelombang banjir (flood surge) yang sangat potensial untuk merusak lingkungan di bagian hilirnya. Pada skala ini dibutuhkan spesifikasi khusus baik bagi material dan desain konstruksinya. Pada skala ini diperlukan quarry/burrow area yang besar, sehingga berpotensi menimbulkan dampak. Dampak pada hidrologi. d.Pembangunan pembangkit listrik dari jenis lain (antara lain: OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), Surya, Angin, Biomassa, Gambut,dan lain-lain)
10 MW
Membutuhkan areal yang sangat luas. Dampak visual (pandang). Dampak kebisingan. Khusus penggunaan gambut berpotensi menimbulkan gangguan terhadap ekosistem gambut.
J. Bidang Pariwisata Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi, bentang alam dan potensi konflik sosial. No
Jenis Kegiatan
Skala/Besaran
1.
a. Kawasan Pariwisata b.Taman Rekreasi
Semua besaran > 100 ha
2.
Lapangan golf (tidak termasuk driving range)
Semua besaran
25
424 2498
Alasan Ilmiah Khusus Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan fungsi lahan/kawasan, gangguan lalu lintas, pembebasan lahan, dan sampah. Berpotensi menimbulkan dampak dari penggunaan pestisida/herbisida, limpasan air permukaan (run off), serta kebutuhan air yang relatif besar.
.
K. Bidang Pengembangan Nuklir Secara umum, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan dan penggunaan teknologi nuklir selalu memiliki potensi dampak dan risiko radiasi. Persoalan kekhawatiran masyarakat yang selalu muncul terhadap kegiatan-kegiatan ini juga menyebabkan kecenderungan terjadinya dampak sosial. No 1
2.
Jenis Kegiatan Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir: a. Reaktor Penelitian - Daya
Skala/Besaran
> 100 kW
b.Reaktor Daya (PLTN)
Semua instalasi
Pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir non reaktor a. Fabrikasi bahan bakar nuklir - Produksi
Alasan Ilmiah Khusus
Potensi dampak pengoperasian reaktor penelitian dengan daya < 100 kW terbatas pada lokasi reaktor. Keamanan konstruksi. Berisiko tinggi. Dampak radiasi pada tahap decomisioning (pasca operasi). Transportasi, penyimpanan, pengelolaan dan pembuangan bahan bakar bekas dan limbah bahan radioaktif.
> 125 elemen bakar/tahun
b.Pengolahan dan pemurnian uranium - Produksi c. Pengelolaan limbah radioaktif (mencakup penghasil, penyimpan, dan pengolahan) d.Pembangunan Iradiator (Kategori II s/d IV) - Aktivitas sumber
> 100 ton yellow cake/tahun Semua instalasi
> 37.000 TBq (100.000 Ci)
26
425 2499
Efluen gas radioaktif yang terlepas dapat terakumulasi dalam berbagai komponen ekosistem.
Membutuhkan air pendingin yang telah didemineralisasi dalam kolam beton. Air pendingin juga berfungsi sebagai perisai radiasi. Jika air
.
e.Produksi Radioisotop
Semua instalasi
pendingin berkurang, akan terjadi pengurangan perisai terhadap radiasi. Jika air pendingin kualitasnya menurun, akan terjadi korosi yang dapat menyebabkan terlepasnya zat radioaktif ke dalam air. Semua tahapan dalam proses berpotensi mencemari dan membahayakan lingkungan dalam bentuk paparan radiasi.
L. Bidang Pengelolaan Limbah B3 Kegiatan yang menghasilkan limbah B3 berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, terutama kegiatan yang dipastikan akan mengkonsentrasikan limbah B3 dalam jumlah besar sebagaimana tercantum dalam tabel. Kegiatan-kegiatan ini juga secara ketat diikat dengan perjanjian internasional (konvensi basel) yang mengharuskan pengendalian dan penanganan yang sangat seksama dan terkontrol. No 1.
Jenis Kegiatan Skala/Besaran Pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai kegiatan utama a. Setiap kegiatan pengumpulan Semua besaran limbah B3 sebagai kegiatan utama, tidak termasuk kegiatan skala kecil seperti pengumpul minyak kotor dan slope oil, timah dan flux solder, minyak pelumas bekas, aki bekas, solvent bekas, limbah kaca terkontaminasi limbah B3. b.Setiap kegiatan pemanfaatan Semua besaran limbah B3 sebagai kegiatan utama. c.Setiap kegiatan pengolahan limbah B3 sebagai kegiatan utama. 27
426 2500
Alasan Ilmiah Khusus Berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
.
- Pengolahan dengan insinerator. - Pengolahan secara biologis (land farming, biopile, composting, bioventing, biosparging, bioslurping, alternate electron acceptors, fitoremediasi). e.Setiap kegiatan penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama.
Semua besaran Semua besaran
Semua besaran
M. Bidang Rekayasa Genetika Kegiatan-kegiatan yang menggunakan hasil rekayasa genetik berpotensi menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia dan keseimbangan ekosistem. No 1.
2.
Jenis Kegiatan Introduksi jenis-jenis tanaman, hewan, dan jasad renik produk bioteknologi hasil rekayasa genetika Budidaya produk bioteknologi hasil rekayasa genetika
Skala/Besaran Semua besaran
Alasan Ilmiah Khusus Lihat penjelasan diatas.
Semua besaran
Lihat penjelasan diatas.
28
427 2501
.
Daftar Singkatan: m m2 m3 km km2 ha l dt kW kWh kV MW TBq BOPD MMSCFD
= = = = = = = = = = = = = = =
DWT KK LPG LNG ROW BOD COD DO TSS TDS
= = = = = = = = = =
meter meter persegi meter kubik kilometer kilometer persegi hektar liter detik kilowatt kilowatt hour kilovolt megawatt Terra Becquerel barrel oil per day = minyak barrel per hari million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki kubik per hari dead weight tonnage = bobot mati kepala keluarga Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan right of way = daerah milik jalan (damija) biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi dissolved oxygen = oksigen terlarut total suspended solid = total padatan tersuspensi total dissolved solid = total padatan terlarut
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
29
428 2502
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Tanggal :
DAFTAR KAWASAN LINDUNG Kawasan Lindung yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Pasal 37 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kawasan Hutan Lindung. Kawasan Bergambut. Kawasan Resapan Air. Sempadan Pantai. Sempadan Sungai. Kawasan Sekitar Danau/Waduk. Kawasan Sekitar Mata Air. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa). 9. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang atau terumbu karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem). 10. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove). 11. Taman Nasional. 12. Taman Hutan Raya. 13. Taman Wisata Alam.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
429 2503
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Tanggal :
KRITERIA PENAPISAN JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TIDAK TERMASUK DALAM DAFTAR JENIS USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP Penapisan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak terdapat dalam daftar jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: Langkah 1 Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut, terkait lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan: Apakah lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan:
Ya/Tidak/Ragu-ragu Jelaskan secara ringkas
1. Akan mengubah tata guna lahan yang ada? 2. Akan mengubah kelimpahan, kualitas dan daya regenerasi sumber daya alam yang berada di lokasi? 3. Akan mengubah kapasitas absorbsi lingkungan alami, khususnya daerah berikut? a. Lahan basah b. Daerah pesisir c. Area pegunungan dan hutan d. Kawasan lindung alam dan taman nasional e. Kawasan yang dilindungi oleh peraturan perundangan yang berlaku f. Daerah yang memiliki kualitas lingkungan yang telah melebihi batas ambang yang ditetapkan g. Daerah berpopulasi padat h. Lansekap yang memiliki nilai penting sejarah, budaya atau arkeologi
430 2504
Apakah hal tersebut akan berdampak penting? Ya/Tidak/Ragu-ragu Kenapa?
Langkah 2 Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut untuk menilai karakteristik rencana usaha dan/atau kegiatan. Apakah rencana usaha dan/atau kegiatan:
Ya/Tidak/Ragu-ragu Jelaskan secara ringkas
Apakah hal tersebut akan berdampak penting? Ya/Tidak/Ragu-ragu Kenapa?
1. Akan mengubah bentuk lahan dan bentang alam? 2. Akan mengeksploitasi sumber daya alam, baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui? 3. Dalam proses dan kegiatannya akan menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya? 4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya? 5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya? 6. Akan mengintroduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik? 7. Akan membuat dan menggunakan bahan hayati dan non-hayati? 8. Akan menerapkan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup? 9. Akan mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara?
Jawaban “YA” merupakan indikasi bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
431 2505
Langkah 3 Lakukan penentuan dampak penting untuk setiap jawaban ”YA” dari daftar pertanyaan pada Langkah 1 dan Langkah 2 menggunakan kriteria penentuan dampak penting berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
jumlah manusia yang akan terkena dampak; luas wilayah persebaran dampak; intensitas dan lamanya dampak berlangsung; banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; sifat kumulatif dampak; dan berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Langkah 4 Pelajari apakah dalam 10 tahun terakhir hasil implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dari jenis usaha dan/atau kegiatan dimaksud menunjukkan bahwa: a. usaha dan/atau kegiatan dimaksud senantiasa menimbulkan dampak penting negatif yang hampir serupa di seluruh wilayah Indonesia. b. tidak tersedia ilmu pengetahuan dan teknologi, tata cara atau tata kerja untuk mengelola dampak penting negatif usaha dan/atau kegiatan dimaksud, baik yang bersifat terintegrasi dengan proses produksi maupun terpisah dari proses produksi. Langkah 5 Bila hasil analisis langkah 4 menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir dampak lingkungan usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak dikenali karakter dampaknya dan tidak tersedia ilmu pengetahuan, teknologi dan tata cara untuk mengatasi dampak penting negatifnya, maka usaha dan/atau kegiatan dimaksud yang semula tergolong tidak wajib AMDAL dapat digolongkan sebagai usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
432 2506
SALINAN
¡¢ ¢ £ ¤
¥ ¦ £ ! § § ! ¨! ¦" ¨! #!¨#¨¨! $ ¥ ¦ !§§ £!§§ ! ¨! "¨¤ ! § #!¨#¨¨! $ ¥ ¦ ! !¦ ! ¤ ¨ ¨ !"! § " ! ! £ ! § ¨ "¨ !¨! #!¨#¨¨! $ ¥ ¦ ! ! % ¤ % ¤ % ¨ ! !
#! ¨#¨ ! £ ! ¨! #! ¨#¨ ! $
¡¥ © ## ¢& ¡'' ¨#¨ ! ª ¨! # ¡'' ## «(¤ ¨! ###&«'')$
433 2507
¢¥ © ## &¢ ¢ * ª ¨! # ¢ * ## ¡¢¬¤ ¨! # ## **& ) ¨ © ## ( ¢ ¬ © ##&¢ ¬ © ## &¢ ¢ * " © ª¨! #¢ ¬## ¡ (¤ ¨! # ##*¬*()$ &¥ ## ¢ ¡''' ¨!! ª ¨! # ¡''' ## ¬'¤ ¨! # ## &(&()$ *¥ ## &( ¢ ¤ #+¤ £ # ª ¨! # ¢ ## (¢¤ ¨! ###* & )$ ¬¥ ¨! # ## ' ¢ ¬ !¤ ¤ ,¤ ¤ " ¨! #¤ ¨ ! ## '*¢ «$ «¥ ##(«¢ ¢ # ¨! § ¨#¨ !
§! $
!
£ ¥
434 2508
¨¡ ¨ § ! ¡¥ #! ¨#¨ ! § ¨"§ ¨ #!§%# £ ! !" +¨ ! £ ! § ¨ "¨ ¨! ¨!©¨! ¨#¨ ! £ ! ¨! ¥ ¢¥ £ ! § ¨ "¨ ¨ £ ! § ¨ ¨!! ! %! ! !#! #¥ &¥ #! ¨#¨ ¨! ¨ #! § ¨ ! ! ª) § ¨#¨ ! § ! ª ©)¥ *¥ ¨ § §¨! ¨! ¥ ¨ ¢ ª¡) "¦ £ ! § "¨ ! ¨! #! ¨#¨ ¨! ¦" § ¥ ª¢) ¨ ¨!! § ¤ "¦ £ ! !#¨¥ ª&) § ! § ª¡) ¦" ¨! %!¨§ ¨! £!§! !"¥ ¨ & ª¡) ¨! § ¨ ¨ ¥ ª¢) ,#§ ¨ ¨ ¥
435 2509
¨ * "¦ £ ! ! ¨ ¨ ¢ § ª¡) "! ## ! ¤ ¤ £-¨!# !¦§¥ ¨¬ ª¡) ¤ ¤ £-¨!# ¨!! ¨ #! § "!#¨"¦ £ ! !¦§¥ ª¢) ¨!!¨ ¥ £ ! § #¨ ! % §! ¨ £ §! ! !¨# §! ¤ !¨ §!¤ #¨¤ ¨ ¤ £ #¨¨ § ª&)$ ¥ £ ! § ¨#! ¨ ¦¨§ #+$ ¥ £ ! § ¨#! ¦¨§ ¨ ¡¢ ª ¨)¨$ ¥ £!§ ¨¥ ª&) ¨!! ¨ £ ! § ¥ ¨#!¨ ¦¨§!£!#$ ¥ ¨!£!#$ ¥ ¦¨§ ¨ ¨ " ¡¢ ª ¨) ¨ ¨ ! ! ¨ ¨ £ ! !¨ ! #+ ¡£& ª) ¦¨§ !¦ #+ ! !£!#¥ ª*) £-¨!# ¨!! ¨ £ ! ¨ !¦ £ ! §ª¢) §ª&)¥
ª¬) ! ! ¨!! £ ! # !# !¨¤ # ¨ !¨ # !#¤ ¨¤ !#¨# !§ !¤ ¨ #!%¤ ¨ !¥
436 2510
¨« ¨!! ¦ ¨! ¨ § ¨!! #¨ £ £-¨!# ! ¨¨¬§ª&) §ª*)¥ ¨ " ¦" ! § !¦" ¨ ¨ £!¥ ¨ ( § ! ! "¦ £ ! ! ! © ¨ ! § £ !! ¨! ! £!§¥ ¨ ' ¨ ! § ¨ § ¨ !! "¦ £!¥
¨ ¡ ¨ ¨! ¨ !¥
! .! ¨ ¢¬¢ ! ¤
¥ -#¨¥
437 2511
! ## ¡¢¢ ¨ ¢¬ ¢ ª) ¡ ! ª ) ! #¨ ! #+£ £ #! ¨! #! ¨#¨ ! ª) ! § ¨ "¨ ! ¨! #! ¨#¨ ¨!¥ ¢ #+£ £ # ¨¨ § ¨#¨ ¨! ¦"! ¨!! #¨ + £ ! § ! ¨ ! ¦" § #!¨#¨ ! ª)¥ & ¨ + #¨ £ # ! ! #+¥ ¨"§#+!+%!¨+§ ¨!! #¨ £ # ¨ ! ! ! ¥ * ¨+%! %+§ ¨!!#¨#+¤ ! ! +¨ ! ¥ ! ¨ % + ¤ ! ! ! § #! ¨#¨ ! ª) § ! ! #+£ £ #¥ ¬ ¨! ¨ ! #! ¨#¨ ! ª) ¨!! #¨ § ¨#¨ ¨! ! ¤ #+¤ £ # !¦§¥!% %!%¤¨ !! ¨!! #¨ !" § ¨ ¨!! ¨ £ ©¥ ¨ #! ¨#¨ ! ª) ! ¨!! #¨ # ¨ ! #¨ ¨! §%! ££-¨!#¥ « "¦ £ ! § ! ! § #! ¨#¨ !
438 2512
ª) ¨!! !" %# ! ª)¥
#! ¨#¨
¨ § #! ¨#¨ !
ª) !! §¨#¨¨! ! ¨!! ¨¥ ¨ ¨!¤ § ¨#¨ ¨! ¨!! +%! ¨ ! " #¨ ( # ¨ § ¨!! #¨ £ #¤ ¦"! !¨!§¨#¨¨! #+¥ ' ¨¨ #!¨#¨ ! ª) § ¨!!#¨¨! ¨ §¤ !! -¨!# !¦§ ! ! !¨! #!¨#¨ ! ª)¥ #! ¨#¨ ! ª) § ! #¨ #+ £ # ! ! ! ¥ ! ¨ #! ¨#¨ ! ª) § ! £ # !! #+¥ ¡ ¨!©¨! ¨#¨ ¨! § ¨#!¨#¨ !
ª) ¨!! © ¨ # ¥ ! #! ¨#¨ ! ª)¦" ! ¨! £!¥ ¡¡ ¨ !¦" § ¨ #! ¨#¨ ! ª) ¦" ¨!! #¨ "¦ £! ¨#!!¨ ! § ¨#¨ ¨! !¦§¥ ¡¢ ¨! ! #! ¨#¨ ! ª) ¨! %!% ¢ ª ) "! ¨ !¥ ! ¤ ¥-#¨¥
439 2513
! ## ¡¢¢ ¨ ¢¬¢
, ª) ,# #!¨#¨ ! ª) ¨ #!§¨§¦" ¨ § #!¨#¨ ! ª)¥ !¤§ "!!¨! #! ¨#¨ ! ª) %#¨ §¨+ §§ ¨!§¨#¥§ " ! #§ £ § ¥ #!¨#¨ ! ª) !§ ¨©¨! ¡¥ ¨ %#! ¤ § ¨ ¨! ¨¨!!¥ ¢¥ ! %#! !§¨ ¥ §¨"¨$
! !
!
¥ ¨#¨ ¨! § ¨!! ª¨ ! ¨!! ¨#¨ ¨!¤ ¨ %#! ¨)¥ 45 "+¨ !§"¨ ! ! ¨! § ¨ £!§ !"¨¥ "+¨ ! ¨!! ¨!!ª!%!) "£¨!©¨!¨#¨ ¨!§ ¨!!! !¥ %! ! !" !# ¨§
440 2514
! !¥ ¨## ¨¨ ! !! #¨¨ § ¨!¨!£+#¨ !! ¥
¨+¨¨"§" ¨#¨ ¨! ¨!¥ *¥ ¨#¨ ! ! ¥
¨#¨! ! ¨! !§ ¥ ! § ¨! ! § ! ! !$ ¥ #¨#! ! !¤!!!##§! ! !! $ ¥ "¨#¨¨! $ ¥ §¨#¨¨! $ ¥ #!!¨#¨¨!ª¤!¤)$ %¥ # ¨#¨ ¨! § ! ¨ !¨#¨ ¨!!$ ¥ ¨#¨¨! ¤§ ¡) ¢)
¨! § "¦ ¨!! ¨#¨ ¨!$ ¦¨#¨¨!¥
! ª) ! ¨! !§ ¥ ! § ¨! ! § ! ! !¤ ¥ ¨! § ¥ "¨!
441 2515
¥ # ¨! ¤§ ¡) # ¨ ¨ $ ¢) #!¨! $ &) .!¦! %!¥ ¥ ¨! ¤§ ¡) ¨! § "¦ ¨!! ¨!$ ¢) ¦¨!¥ ! ¤ ¥-#¨¥
442 2516
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang: a. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, saat ini dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penyempurnaan; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, perlu penjabaran lebih lanjut ketentuan yang berkaitan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
443 2517
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006; 6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 2. Kerangka acuan yang selanjutnya disingkat KA adalah ruang lingkup kajian AMDAL yang merupakan hasil pelingkupan. 3. Analisis dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
444 2518
5.
6. 7.
8.
9.
Rencana pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Komisi Penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup kabupaten/kota. Instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup provinsi. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. BAB II PEMBENTUKAN, TUGAS, DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI Bagian Pertama Pembentukan Komisi Penilai
Pasal 2 (1). Komisi penilai dibentuk oleh: a. Menteri untuk komisi penilai pusat; b. gubernur untuk komisi penilai provinsi; c. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota. (2). Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh: a. tim teknis komisi penilai yang selanjutnya disebut tim teknis; dan b. sekretariat komisi penilai. (3). Tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibentuk oleh: a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk tim teknis pusat; b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi untuk tim teknis provinsi; c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang berbentuk kantor untuk tim teknis kabupaten/kota. Bagian Kedua Susunan Keanggotaan Komisi Penilai
(1)
Pasal 3 Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari: a. ketua merangkap anggota;
445 2519
(2)
(3)
(4)
b. sekretaris merangkap anggota; dan c. anggota. Ketua komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh: a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai pusat; b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai provinsi; c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang berbentuk kantor untuk komisi penilai kabupaten/kota. Sekretaris komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh: a. pejabat setingkat eselon II yang membidangi AMDAL di Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai pusat; b. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai provinsi; c. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi penilai kabupaten/kota. Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. komisi penilai pusat, dengan keanggotaan dari unsur-unsur Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, instansi di bidang kesehatan, instansi di bidang pertahanan keamanan, instansi di bidang penanaman modal, instansi di bidang pertanahan, instansi di bidang ilmu pengetahuan, departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha dan/atau lembaga pemerintah non departemen yang terkait, wakil provinsi yang bersangkutan, dan/atau wakil kabupaten/kota yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu; b. komisi penilai provinsi, dengan keanggotaan dari unsur-unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi, instansi lingkungan hidup provinsi, instansi di bidang penanaman modal daerah, instansi di bidang pertanahan di daerah, instansi di bidang pertahanan keamanan di daerah, instansi di bidang kesehatan daerah provinsi, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di provinsi, wakil dari kabupaten/kota yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan,
446 2520
organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu; c. komisi penilai kabupaten/kota, dengan keanggotaan dari unsurunsur wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, wakil dari instansi di bidang lingkungan hidup daerah, wakil dari instansi di bidang penanaman modal daerah, wakil dari instansi di bidang pertanahan daerah, wakil dari instansi di bidang kesehatan daerah, wakil dari instansi-instansi terkait lainnya di daerah, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari organisasi lingkungan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari masyarakat yang terkena dampak, dan anggota-anggota lain yang dipandang perlu. Pasal 4 Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh sekretaris komisi penilai; dan b. anggota yang terdiri atas: 1. wakil dari instansi lingkungan hidup; 2. wakil dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; 3. ahli terkait usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; dan 4. ahli terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan dari usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Bagian Ketiga Tugas Komisi Penilai
(1)
(2)
Pasal 5 Komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mempunyai tugas: a. menilai KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan b. memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan KA dan kelayakan lingkungan hidup atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada: 1. Menteri untuk komisi penilai pusat; 2. gubernur untuk komisi penilai provinsi; 3. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi penilai wajib mengacu pada: a. kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; b. rencana tata ruang wilayah; dan c. kepentingan pertahanan keamanan.
447 2521
(1) (2)
(3)
(1)
(2)
Pasal 6 Ketua komisi penilai bertugas melakukan koordinasi proses penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL. Sekretaris komisi penilai bertugas: a. membantu tugas ketua dalam melakukan koordinasi proses penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan b. menyusun rumusan hasil penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL yang dilakukan komisi penilai. Anggota komisi penilai bertugas memberikan saran, pendapat dan tanggapan berupa: a. kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari instansi Pemerintah; b. kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah, bagi anggota yang berasal dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; c. pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi anggota yang berasal dari perguruan tinggi; d. pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi ahli; e. kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat; f. aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi anggota yang berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 7 Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a mempunyai tugas menilai secara teknis KA, ANDAL, RKL, dan RPL berdasarkan permintaan komisi penilai. Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kesesuaian lokasi dengan rencana tata ruang wilayah; b. kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis di bidang AMDAL; c. kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan di bidang teknis sektor bersangkutan; d. ketepatan dalam penerapan metoda penelitian/analisis; e. kesahihan data yang digunakan; f. kelayakan desain, teknologi dan proses produksi yang digunakan; dan g. kelayakan ekologis.
Pasal 8 Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b mempunyai tugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan, penyediaan informasi pendukung, dan tugas lain yang diberikan oleh komisi penilai.
448 2522
Pasal 9 Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berkedudukan di: a. unit kerja eselon II yang membidangi AMDAL di Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk sekretariat komisi penilai pusat; b. instansi lingkungan hidup provinsi untuk sekretariat komisi penilai provinsi; c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk sekretariat komisi penilai kabupaten/kota. (2) Sekretariat komisi penilai dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada ketua komisi penilai yang dijabat oleh pejabat eselon setingkat lebih rendah daripada sekretaris komisi penilai. (1)
BAB III KEWENANGAN KOMISI PENILAI Bagian Pertama Komisi Penilai Pusat
(1)
(2)
Pasal 10 Komisi penilai pusat berwenang menilai dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria: a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV yang berlokasi: 1. lebih dari satu wilayah provinsi; 2. di wilayah sengketa dengan negara lain; 3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau 4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain. Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada gubernur. Bagian Kedua Komisi Penilai Provinsi
Pasal 11 Komisi penilai provinsi berwenang menilai dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria: a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis yang penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
449 2523
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV yang berlokasi: 1. lebih dari satu wilayah kabupaten/kota; 2. di lintas kabupaten/kota; dan/atau 3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Bagian Ketiga Komisi Penilai Kabupaten/Kota Pasal 12 Komisi penilai kabupaten/kota berwenang menilai dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah kabupaten/kota dan memenuhi kriteria: a. jenis usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis yang penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau b. jenis usaha dan/atau kegiatan yang penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Kewenangan penilaian AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi komisi penilai kabupaten/kota yang memiliki lisensi sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri yang mengatur mengenai tata laksana lisensi komisi penilai AMDAL kabupaten/kota.
(1)
Bagian Keempat Penyelenggaraan Kewenangan
(1)
(2)
Pasal 13 Kewenangan komisi penilai pusat, provinsi, dan kabupaten/kota terhadap dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan pendekatan studi AMDAL kawasan atau AMDAL terpadu didasarkan atas kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang di dalamnya terdapat rencana usaha dan/atau kegiatan yang kewenangannya berada pada lebih dari 1 (satu) komisi penilai, kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan dimaksud diselenggarakan oleh:
450 2524
a. komisi penilai provinsi, dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan merupakan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota; atau b. komisi penilai pusat, dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan merupakan kewenangan pusat dan provinsi dan/atau kabupaten/kota. Pasal 14 Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kewenangan penilaian suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL, kepala instansi lingkungan hidup provinsi dan/atau kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota mengajukan permohonan klarifikasi secara tertulis kepada Menteri untuk mendapatkan penetapan kewenangan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan dimaksud.
(1)
(2)
(3)
Pasal 15 Instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang bertindak sebagai pemrakarsa, wakil instansi yang bersangkutan tidak dapat melakukan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Dalam hal instansi lingkungan hidup bertindak sebagai pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur/bupati/walikota menunjuk ketua dan sekretaris komisi penilai dari instansi lain di daerah yang bersangkutan yang menduduki jabatan setara dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), untuk melakukan penilaian dokumen AMDAL. Dalam hal penilaian dokumen AMDAL dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekretariat komisi penilai tetap berkedudukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 16 Anggota tim teknis dan/atau anggota komisi penilai yang menyusun dokumen AMDAL tidak dapat melakukan penilaian terhadap dokumen AMDAL yang disusunnya.
(1)
(2)
Pasal 17 Kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi atau lisensinya dicabut, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup diterbitkan oleh gubernur. Komisi penilai kabupaten/kota yang telah memiliki lisensi namun belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan bupati/walikota untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh bupati/walikota.
451 2525
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Komisi penilai provinsi dalam penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bersama-sama dengan anggota komisi penilai kabupaten/kota dengan komposisi yang mengutamakan unsurunsur komisi penilai kabupaten/kota yang bersangkutan. Gubernur wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada bupati/walikota apabila komisi penilai kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) telah memiliki lisensi dan mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL setelah dilakukan pembinaan. Pasal 18 Komisi penilai provinsi yang belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atas permintaan gubernur untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai pusat dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh gubernur. Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Komisi penilai pusat dalam menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamasama dengan anggota komisi penilai provinsi dengan komposisi yang mengutamakan unsur-unsur komisi penilai provinsi yang bersangkutan. Menteri wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada gubernur apabila komisi penilai provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL setelah dilakukan pembinaan. Pasal 19 Provinsi daerah pemekaran yang belum mempunyai komisi penilai untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi daerah induk. Komisi penilai provinsi daerah pemekaran yang telah memiliki komisi penilai namun belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi induk daerah yang bersangkutan. Gubernur provinsi induk wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada gubernur provinsi daerah pemekaran apabila komisi penilai provinsi daerah pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL.
452 2526
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Pasal 20 Kabupaten/kota daerah pemekaran yang belum memiliki lisensi, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai kabupaten/kota induk daerah yang bersangkutan yang telah memiliki lisensi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup diterbitkan oleh bupati/walikota daerah induk. Komisi penilai kabupaten/kota daerah pemekaran yang telah memiliki lisensi namun belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan bupati/walikota untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai kabupaten/kota induk daerah yang bersangkutan yang memiliki lisensi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh bupati/walikota daerah pemekaran. Bupati/walikota daerah induk wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada bupati/walikota daerah pemekaran apabila komisi penilai kabupaten/kota daerah pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah memiliki lisensi dan mampu menyelenggarakan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 21 Kabupaten/kota daerah induk yang belum memiliki lisensi, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi. Kabupaten/kota daerah induk yang telah memiliki lisensi namun belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). BAB IV TATA KERJA KOMISI PENILAI Bagian Pertama Penilaian Dokumen KA Paragraf 1 Prosedur Penerimaan
(1)
Pasal 22 KA yang dinilai oleh: a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri melalui sekretariat komisi penilai pusat; b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi; dan
453 2527
(2) (3)
(4)
(5)
c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai kabupaten/kota. Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi dokumen KA. Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan kepada pemrakarsa terhadap dokumen KA yang telah memenuhi kelengkapan administrasi dan sudah digandakan sejumlah anggota komisi penilai yang diundang. Tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan dokumen. Dokumen KA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dilakukan penilaian oleh komisi penilai dan pengambilan keputusan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota atas hasil penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Paragraf 2 Penilaian oleh Tim Teknis
(1) (2) (3)
(4)
(5) (6)
Pasal 23 Tim teknis melakukan penilaian KA atas permintaan ketua komisi penilai. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis. Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat penilaian KA, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk oleh ketua tim teknis. Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai. Hasil penilaian KA oleh tim teknis disampaikan pada rapat komisi penilai. Paragraf 3 Penilaian oleh Komisi Penilai
(1) (2)
(3)
Pasal 24 Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai KA. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi penilai. Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
454 2528
(4) (5)
(1)
(2)
(3)
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai. Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi. Pasal 25 Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2) wajib dihadiri oleh: a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan b. tim penyusun dokumen AMDAL. Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir. Pasal 26 Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat dalam rapat komisi penilai. Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari masyarakat dalam proses penentuan ruang lingkup kajian ANDAL. Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja setelah hari rapat komisi penilai. Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian. Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Paragraf 4 Perbaikan oleh Pemrakarsa
(1)
(2)
Pasal 27 Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan KA berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan menyerahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi penilai sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara rapat penilaian atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai diterima. Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan
455 2529
(3)
(4)
berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi setelah mendengarkan saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan menyempurnakan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), tidak termasuk dalam hitungan 75 (tujuh puluh lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya dokumen dimaksud kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk dilakukan penyempurnaan, dokumen KA tersebut dinyatakan kadaluarsa. Paragraf 5 Penolakan
Pasal 28 Dalam hal rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan dan/atau peraturan perundang-undangan, komisi penilai wajib menolak KA dimaksud. Paragraf 6 Keputusan
(1)
(2)
(3)
Pasal 29 Keputusan kesepakatan KA diterbitkan oleh: a. Menteri untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat; b. gubernur untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai provinsi; dan c. bupati/walikota untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai kabupaten/kota. Penerbitan keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan hasil rapat penilaian komisi penilai. Keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kesepakatan tentang ruang lingkup kajian ANDAL yang akan dilaksanakan. Paragraf 7 Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi
(1)
Pasal 30 Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai pusat disampaikan oleh Menteri kepada: a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
456 2530
b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; c. gubernur yang bersangkutan; d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. (2) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi disampaikan oleh gubernur kepada: a. Menteri; b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi; c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi; d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. (3) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada: a. gubernur yang bersangkutan; b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota; d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota; (4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta dokumennya dapat diakses oleh masyarakat. Bagian Kedua Penilaian Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL Paragraf 1 Prosedur Penerimaan Dokumen
(1)
(2) (3)
Pasal 31 ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh: a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri melalui sekretariat komisi penilai pusat; b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi; c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai kabupaten/kota. Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi dokumen ANDAL, RKL, dan RPL. Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan kepada pemrakarsa terhadap dokumen ANDAL, RKL, dan RPL yang telah memenuhi kelengkapan administrasi dan sudah digandakan
457 2531
(4) (5)
sejumlah anggota komisi penilai yang diundang. Tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan dokumen. Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan penilaian dan pengambilan keputusan atas hasil penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 2 Penilaian oleh Tim Teknis
(1) (2) (3)
(4)
(5) (6)
Pasal 32 Tim teknis melakukan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL atas permintaan ketua komisi penilai. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis. Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat tim teknis ANDAL, RKL, dan RPL, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk oleh ketua tim teknis. Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai. Hasil penilaian ANDAL, RKL, dan RPL oleh tim teknis disampaikan pada rapat komisi penilai. Paragraf 3 Penilaian oleh Komisi Penilai
(1) (2)
(3)
(4) (5)
(1)
Pasal 33 Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai ANDAL, RKL, dan RPL. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi penilai. Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai. Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi. Pasal 34 Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) wajib dihadiri oleh:
458 2532
(2)
(3)
(1) (2) (3)
(4)
(5)
a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan b. tim penyusun dokumen AMDAL. Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir. Pasal 35 Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat dalam rapat komisi penilai. Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari masyarakat. Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja setelah hari rapat komisi penilai. Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian. Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Paragraf 4 Perbaikan oleh Pemrakarsa
(1)
(2)
(3)
Pasal 36 Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan ANDAL, RKL, dan RPL berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan menyerahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi penilai sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara rapat penilaian atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai diterima. Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi penilai setelah mendengarkan saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan menyempurnakan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak termasuk dalam hitungan 75 (tujuh puluh lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5).
459 2533
(4)
Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan ANDAL, RKL dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya dokumen dimaksud kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk dilakukan penyempurnaan, dokumen ANDAL, RKL, dan RPL dimaksud dinyatakan kadaluarsa. Paragraf 5 Penyampaian Berita Acara Rapat Penilaian dan Dokumen
(1)
(2)
Pasal 37 Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara rapat penilaian dan dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) kepada: a. Menteri, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi penilai pusat; b. gubernur, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi penilai provinsi; dan c. bupati/walikota, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi penilai kabupaten/kota. Berita acara dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Paragraf 6 Keputusan
(1)
(2)
(1)
Pasal 38 Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan diterbitkan oleh: a. Menteri, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat; b. gubernur, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai provinsi; dan c. bupati/walikota, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai kabupaten/kota. Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan: a. dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan; dan b. pertimbangan terhadap saran, pendapat dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat. Pasal 39 Keputusan kelayakan lingkungan hidup menjadi batal atas kekuatan Peraturan Menteri ini apabila: a. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi;
460 2534
(2)
b. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai kabupaten/kota yang lisensinya dicabut; dan/atau c. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai pusat, provinsi, atau kabupaten/kota yang melakukan penilaian tidak sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12. Keputusan kelayakan lingkungan hidup dapat dibatalkan oleh Menteri dan/atau gubernur apabila diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai kabupaten/kota yang mengalami perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan lisensi dan tidak dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada instansi lingkungan hidup provinsi. Paragraf 7 Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi
(1)
(2)
(3)
Pasal 40 Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai pusat disampaikan oleh Menteri kepada: a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; c. gubernur yang bersangkutan; d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai provinsi disampaikan oleh gubernur kepada: a. Menteri; b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi; c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi; d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada: a. gubernur yang bersangkutan; b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota; dan d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota.
461 2535
(4)
Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta dokumennya dapat diakses oleh masyarakat. BAB V PEMBIAYAAN
Pasal 41 Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai dibebankan pada: a. anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai pusat; b. anggaran instansi lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai provinsi; dan c. anggaran instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai kabupaten/kota.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 Penilaian dokumen AMDAL suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai pusat, provinsi atau kabupaten/kota atau telah diajukan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota, namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, tetap dinilai oleh komisi penilai pusat, provinsi atau kabupaten/kota sampai ditetapkannya keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1994 tentang Pelingkupan; 2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 54 Tahun 1995 tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu/Multisektor dan Regional; 3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 55 Tahun 1995 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional; 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 57 Tahun 1995 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha dan/atau Kegiatan Terpadu/Multisektor; dan
462 2536
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 44 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 16 Juli 2008
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum, ttd Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
463 2537
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 05 Tahun 2008 Tanggal : 16 Juli 2008 JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS DAN PERTAHANAN KEAMANAN YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH KOMISI PENILAI PUSAT A.
Bidang Pertahanan No. 1. 2. 3.
B.
Jenis Kegiatan Pembangunan Pangkalan TNI AL Pembangunan Pangkalan TNI AU Pembangunan Pusat Latihan Tempur - Luas
Skala/Besaran Kelas A dan B Kelas A dan B > 10.000 ha
Bidang Perhubungan No. 1.
2.
3.
Jenis Kegiatan Pembangunan pelabuhan internasional dengan salah satu fasilitas berikut: a. Dermaga dengan bentuk konstruksi sheet pile atau open pile - Panjang, atau - Luas b. Dermaga dengan konstruksi masif c. Penahan gelombang (talud) dan/ atau pemecah gelombang (break water) - Panjang d. Prasarana pendukung pelabuhan (terminal, gudang, peti kemas, dan lain-lain) - Luas e. Single Point Mooring Boey - Untuk kapal Pembangunan bandar udara internasional baru beserta fasilitasnya (untuk fixed wing maupun rotary wing)
Pengembangan bandar udara internasional beserta salah satu fasilitas berikut: a. Landasan pacu - Panjang b. Terminal penumpang atau terminal kargo - Luas
464 2538
Skala/Besaran
> 200 m > 6.000 m2 Semua besaran
> 200 m
> 5 ha
> 10.000 DWT Semua besaran kelompok bandar udara (A, B, dan C) beserta hasil studi rencana induk yang telah disetujui
> 200 m > 2000 m2
No.
4.
Jenis Kegiatan c. Pengambilan air tanah
Perluasan bandar udara internasional beserta/atau fasilitasnya: a. - Pemindahan penduduk, atau - Pembebasan lahan b. Reklamasi pantai: - Luas, atau - Volume urugan c. Pemotongan bukit dan pengurugan lahan dengan volume
C.
> 25 ha > 100.000 m3 ≥ 500.000 m3
Jenis Kegiatan Pembangunan fasilitas peluncuran satelit
Skala/Besaran Semua besaran
Bidang Perindustrian No. 1.
E.
> 200 KK > 100 ha
Bidang Teknologi Satelit No. 1.
D.
Skala/Besaran 50 liter/detik (dari 1 sumur sampai dengan 5 sumur dalam satu area < 10 ha)
Jenis Kegiatan Industri amunisi dan bahan peledak
Skala/Besaran Semua besaran
Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral No. A. 1.
2.
Jenis Kegiatan MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS BUMI Mineral, Batubara, dan Panas Bumi yang berlokasi di hutan lindung: - Luas perizinan (KP), atau - Luas daerah terbuka untuk pertambangan Tahap eksploitasi yang berlokasi di hutan lindung: a. Eksploitasi dan pengembangan uap panas bumi dan/atau Pengembangan panas bumi b. Batubara/gambut - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan c. Bijih Primer - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan
465 2539
Skala/Besaran
200 ha 50 ha (kumulatif/tahun)
55 MW
1.000.000 ton/tahun 4.000.000 ton
400.000 ton/tahun 1.000.000 ton
No.
3.
4.
B.
MINYAK DAN GAS BUMI
1.
Eksploitasi MIGAS dan Pengembangan Produksi: a. Di darat: - Lapangan minyak - Lapangan gas b. Di laut - Lapangan Minyak - Lapangan Gas
2.
3.
4.
F.
Jenis Kegiatan d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan e. Bahan galian bukan logam atau bahan galian golongan C - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan Tahap eksploitasi bahan galian radioaktif, termasuk pengolahan, penambangan dan pemurnian Melakukan penempatan tailing di bawah laut (Submarine Tailing Disposal)
Transmisi MIGAS di laut - Panjang, atau - Bertekanan Pembangunan kilang: - LPG - LNG - Minyak Kilang minyak pelumas bekas (termasuk fasilitas penunjang)
Skala/Besaran
300.000 ton/tahun 1.000.000 ton
250.000 m3/tahun 1.000.000 ton Semua besaran
Semua besaran
5.000 BOPD 30 MMSCFD
15.000 BOPD 90 MMSCFD jumlah total lapangan semua sumur 100 km 16 bar ≥ ≥ ≥ ≥
50 MMSCFD 550 MMSCFD 10.000 BOPD 10.000 ton/tahun
Bidang Pengembangan Nuklir No. 1.
2.
Jenis Kegiatan Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir: a. Reaktor Penelitian - Daya b. Reaktor Daya (PLTN) Pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir non reaktor a. Fabrikasi bahan bakar nuklir - Produksi
466 2540
Skala/Besaran
> 100 kW Semua instalasi
> 125 elemen bakar/tahun
No.
Jenis Kegiatan b. Pengolahan dan pemurnian uranium - Produksi c. Pengelolaan limbah radioaktif (mencakup penghasil, penyimpan, dan pengolahan) d. Pembangunan Iradiator (Kategori II s/d IV) - Aktivitas sumber e. Produksi Radioisotop
G.
2.
2.
2.
> 37.000 TBq (100.000 Ci) Semua instalasi
Jenis Kegiatan Skala/Besaran Setiap kegiatan pengolahan limbah B3 sebagai kegiatan utama. Semua besaran - Pengolahan dengan insinerator. Semua besaran - Pengolahan secara biologis (land farming, biopile, composting, bioventing, biosparging, bioslurping, alternate electron acceptors, fitoremediasi). Setiap kegiatan penimbunan limbah B3 Semua besaran sebagai kegiatan utama.
Bidang Rekayasa Genetika No. 1.
1.
> 100 ton yellow cake/ tahun Semua instalasi
Bidang Pengelolaan Limbah B3 No. 1.
H.
Skala/Besaran
Jenis Kegiatan Introduksi jenis-jenis tanaman, hewan, dan jasad renik produk bioteknologi hasil rekayasa genetika
Skala/Besaran Semua besaran
Budidaya produk bioteknologi hasil rekayasa genetika
Semua besaran
Catatan: Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum,
RACHMAT WITOELAR.
ttd Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
467 2541
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 05 Tahun 2008 Tanggal : 16 Juli 2008 JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH KOMISI PENILAI PROVINSI A.
Bidang Kehutanan No. 1.
B.
Jenis Kegiatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan a. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) dari Hutan Alam(HA) b. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) dari Hutan Tanaman (HT)
Skala/Besaran Semua besaran > 5.000 ha/etat
Bidang Perhubungan No. 1.
2.
3.
Jenis Kegiatan Pembangunan pelabuhan nasional dan/atau regional dengan salah satu fasilitas berikut: a. Dermaga dengan bentuk konstruksi sheet pile atau open pile - Panjang, atau - Luas b. Dermaga dengan konstruksi masif c. Penahan gelombang (talud) dan/ atau pemecah gelombang (break water) - Panjang d. Prasarana pendukung pelabuhan (terminal, gudang, peti kemas, dan lain-lain) - Luas e. Single Point Mooring Boey - Untuk kapal Pembangunan bandar udara baru di luar kategori internasional beserta fasilitasnya (untuk fixed wing maupun rotary wing)
Pengembangan bandar udara di luar kategori internasional beserta salah satu fasilitas berikut: a. Landasan pacu - Panjang b. Terminal penumpang atau terminal kargo
468 2542
Skala/Besaran
> 200 m > 6.000 m2 Semua besaran
> 200 m
> 5 ha
> 10.000 DWT Semua besaran kelompok bandar udara (A, B, dan C) beserta hasil studi rencana induk yang telah disetujui
> 200 m > 2000 m2
No.
Jenis Kegiatan
Skala/Besaran
- Luas c. Pengambilan air tanah
4.
Perluasan bandar udara di luar kategori internasional beserta/atau fasilitasnya: a. - Pemindahan penduduk, atau - Pembebasan lahan b. Reklamasi pantai: - Luas, atau - Volume urugan c. Pemotongan bukit dan pengurugan lahan dengan volume
C.
2.
Jenis Kegiatan Industri pulp atau industri kertas yang terintegrasi dengan industri pulp, kecuali pulp dari kertas bekas dan pulp untuk kertas budaya Industri petrokimia hulu
Jenis Kegiatan Pembangunan Bendungan/Waduk atau Jenis Tampungan Air lainnya: - Tinggi, atau - Luas genangan
≥ 500.000 m3
Skala/Besaran Semua besaran
Semua besaran
Skala/Besaran
> 15 m > 200 ha
Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral No. Jenis Kegiatan A. LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI 1. Pembangunan PLTA dengan: - Tinggi bendung, atau - Luas genangan 2.
F.
> 25 ha > 100.000 m3
Bidang Pekerjaan Umum No. 1.
E.
> 200 KK > 100 ha
Bidang Perindustrian No. 1.
D.
50 liter/detik (dari 1 sumur sampai dengan 5 sumur dalam satu area < 10 ha)
Pembangunan pembangkit listrik dari Gambut
Skala/besaran
15 m 200 ha 10 MW
Bidang Pengelolaan Limbah B3 No. 1.
Jenis Kegiatan Setiap kegiatan pengumpulan limbah B3 skala provinsi sebagai kegiatan utama, tidak termasuk kegiatan skala
469 2543
Skala/besaran Semua besaran
No.
2.
Jenis Kegiatan kecil seperti pengumpul minyak kotor dan slope oil, timah dan flux solder, minyak pelumas bekas, aki bekas, solvent bekas, limbah kaca terkontaminasi limbah B3. Setiap kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama.
Skala/besaran
Semua besaran
Catatan: 1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salian sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum,
RACHMAT WITOELAR.
ttd Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
470 2544
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 05 Tahun 2008 Tanggal : 16 Juli 2008
JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH KOMISI PENILAI KABUPATEN/KOTA A.
Bidang Perhubungan No. 1.
B.
2. 3.
> 200 m > 6.000 m2 Semua besaran
> 200 m
> 5 ha
> 10.000 DWT
Jenis Kegiatan Industri semen (yang dibuat melalui produksi klinker) Kawasan Industri (termasuk komplek industri yang terintegrasi) Industri galangan kapal dengan sistem graving dock
Skala/besaran Semua besaran Semua besaran Semua besaran
Bidang Pekerjaan Umum No. 1.
D.
Skala/besaran
Bidang Perindustrian No. 1.
C.
Jenis Kegiatan Pembangunan pelabuhan lokal dengan salah satu fasilitas berikut: a. Dermaga dengan bentuk konstruksi sheet pile atau open pile - Panjang, atau - Luas b. Dermaga dengan konstruksi masif c. Penahan gelombang (talud) dan/ atau pemecah gelombang (break water) - Panjang d. Prasarana pendukung pelabuhan (terminal, gudang, peti kemas, dan lain-lain) - Luas e. Single Point Mooring Boey - Untuk kapal
Jenis Kegiatan Pembangunan Jalan Tol
Skala/besaran Semua besaran
Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral No. A. 1.
Jenis Kegiatan MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS BUMI Mineral, Batubara, dan Panas Bumi
471 2545
Skala/Besaran
No.
2.
Jenis Kegiatan yang berlokasi di luar hutan lindung: - Luas perizinan (KP), atau - Luas daerah terbuka untuk pertambangan Tahap eksploitasi yang berlokasi di luar hutan lindung: a. Eksploitasi dan pengembangan uap panas bumi dan/atau Pengembangan panas bumi b. Batubara/gambut - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan c. Bijih Primer - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan e. Tambang di laut
B. 1. 2.
E.
LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI Pembangunan jaringan transmisi a. Pembangunan PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU b. Pembangunan PLTP (pengembangan Panas Bumi) c. Pembangunan PLTA dengan Kapasitas daya (aliran langsung) d. Pembangunan pembangkit listrik dari jenis lain (antara lain: OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), Surya, Angin, Biomassa, dan lainlain)
Skala/Besaran 200 ha 50 ha (kumulatif/tahun)
55 MW
1.000.000 ton/tahun 4.000.000 ton
400.000 ton/tahun 1.000.000 ton
300.000 ton/tahun 1.000.000 ton Semua besaran
> 150 kV 100 MW (dalam satu lokasi) 55 MW 50 MW 10 MW
Bidang Pengelolaan Limbah B3 No. 1.
Jenis Kegiatan Setiap kegiatan pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota sebagai kegiatan utama, tidak termasuk kegiatan skala kecil seperti pengumpul minyak kotor dan slope oil, timah dan flux solder, minyak pelumas bekas, aki bekas, solvent bekas, limbah kaca terkontaminasi limbah B3.
472 2546
Skala/besaran Semua besaran
Catatan: 1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum, ttd Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
473 2547
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 05 Tahun 2008 Tanggal : 16 Juli 2008
JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG MERUPAKAN KEWENANGAN KOMISI PENILAI KABUPATEN/KOTA A.
Bidang Pertanian No. 1.
2.
Jenis Kegiatan Budidaya tanaman pangan dan hortikultura a. Semusim dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas b. Tahunan dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas Budidaya tanaman perkebunan a. Semusim dengan atau tanpa unit pengolahannya: - Dalam kawasan budidaya non kehutanan, luas - Dalam kawasan budidaya kehutanan, luas b. Tahunan dengan atau tanpa unit pengolahannya: - Dalam kawasan budidaya non kehutanan, luas - Dalam kawasan budidaya kehutanan, luas
B.
Skala/besaran
> 2.000 ha
> 5.000 ha
> 3.000 ha Semua besaran
> 3.000 ha Semua besaran
Bidang Perikanan No. 1.
Jenis Kegiatan Usaha budidaya perikanan a. Budidaya tambak udang/ikan tingkat teknologi maju dan madya dengan atau tanpa unit pengolahannya - Luas b. Usaha budidaya perikanan terapung (jaring apung dan pen system): - Di air tawar (danau) Luas, atau Jumlah - Di air laut Luas, atau Jumlah
474 2548
Skala/besaran
> 50 ha
> 2,5 ha > 500 unit
> 5 ha > 1.000 unit
C.
Bidang Perhubungan No. 1.
2. 3.
4.
5.
6.
D.
Skala/besaran > 25 km Semua besaran
2 ha
> 500.000 m3 Semua besaran
> 25 ha > 500.000 m3
> 500.000 m3 > 5 ha
Bidang Perindustrian No. 1.
E.
Jenis Kegiatan Pembangunan Jaringan Jalan Kereta Api - Panjang Konstruksi bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah Pembangunan terminal terpadu Moda dan Fungsi - Luas a. Pengerukan perairan dengan Capital Dredging - Volume b. Pengerukan perairan sungai dan/atau laut dengan capital dredging yang memotong material karang dan/atau batu Reklamasi (pengurugan): - Luas, atau - Volume Kegiatan penempatan hasil keruk (dumping) di darat: - Volume, atau - Luas area dumping
Jenis Kegiatan Kegiatan industri yang tidak termasuk termasuk kegiatan industri wajib AMDAL yang menggunakan areal: a. Urban: - Metropolitan, luas - Kota besar, luas - Kota sedang, luas - Kota kecil, luas b. Rural/pedesaan, luas
Skala/besaran
> > > > >
5 ha 10 ha 15 ha 20 ha 30 ha
Bidang Pekerjaan Umum No 1.
2.
Jenis Kegiatan Daerah Irigasi a. Pembangunan baru dengan luas b. Peningkatan dengan luas tambahan c. Pencetakan sawah, luas (perkelompok) Pengembangan Rawa: Reklamasi rawa untuk kepentingan irigasi
475 2549
Skala/besaran > 2.000 ha > 1.000 ha > 500 ha
> 1.000 ha
No 3.
4.
Jenis Kegiatan Pembangunan Pengaman Pantai dan perbaikan muara sungai: - Jarak dihitung tegak lurus pantai Normalisasi Sungai (termasuk sodetan) dan Pembuatan Kanal Banjir a. Kota besar/metropolitan - Panjang, atau - Volume pengerukan b. Kota sedang - Panjang, atau - Volume pengerukan
5.
6.
7.
c. Pedesaan - Panjang, atau - Volume pengerukan Pembangunan dan/atau peningkatan jalan dengan pelebaran yang membutuhkan pengadaan tanah a. Kota besar/metropolitan - Panjang, atau - Pembebasan lahan b. Kota sedang - Panjang, atau - Pembebasan lahan c. Pedesaan - Panjang, atau - Pembebasan lahan a. Pembangunan subway/underpass, terowongan/tunnel b. Pembangunan jembatan Persampahan a. Pembangunan TPA sampah domestik Pembuangan dengan sistem control landfill/ sanitary landfill termasuk instalasi penunjangnnya - Luas kawasan TPA, atau - Kapasitas total b. TPA di daerah pasang surut, - Luas landfill, atau - Kapasitas total c. Pembangunan transfer station - Kapasitas d. Pembangunan Instalasi Pengolahan sampah terpadu - Kapasitas e. Pengolahan dengan insinerator - Kapasitas f. Composting Plant - Kapasitas g. Transportasi sampah dengan kereta api - Kapasitas
476 2550
Skala/besaran
> 500 m
> 5 km > 500.000 m3 > 10 km > 500.000 m3 > 15 km > 500.000 m3
> 5 km > 5 ha 10 km 10 ha 30 km 30 ha > 2 km > 500 m
> 10 ha > 10.000 ton > 5 ha > 5.000 ton > 1.000 ton/hari
500 ton/hari 500 ton/hari 100 ton/hari 500 ton/hari
No 8.
9.
Jenis Kegiatan Pembangunan Perumahan/Permukiman a. Kota metropolitan, luas b. Kota besar, luas c. Kota sedang dan kecil, luas Air Limbah Domestik a. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), termasuk fasilitas penunjangnya - Luas, atau - Kapasitasnya Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) limbah domestik termasuk fasilitas penunjangnya - Luas, atau - Beban organik
> 25 ha > 50 ha > 100 ha
2 ha 11 m3/hari
3 ha 2,4 ton/hari
b.
10.
11.
12.
13.
14.
Pembangunan sistem perpipaan air limbah, luas layanan Luas layanan, atau Debit air limbah Pembangunan saluran drainase (primer dan/atau sekunder) di permukiman a. kota besar/ metropolitan, panjang b. kota sedang, panjang Jaringan air bersih di kota besar/metropolitan a. Pembangunan jaringan distribusi - Luas layanan b. Pembangunan jaringan transmisi - Panjang Pengambilan air dari danau, sungai, mata air permukaan, atau sumber air permukaan lainnya - Debit pengambilan
Skala/besaran
Pembangunan Pusat Perkantoran, Pendidikan, Olahraga, Kesenian, Tempat Ibadah, Pusat perdagangan/ perbelanjaan relatif terkonsentrasi - Luas lahan, atau - Bangunan Pembangunan kawasan pemukiman untuk pemindahan penduduk/transmigrasi (Pemukiman Transmigrasi Baru Pola Tanaman Pangan) - Luas lahan
477 2551
500 ha 16.000 m3/hari
5 km 10 km
> 500 ha > 10 km
> 250 l/dt
> 5 ha >10.000 m2
> 2000 ha
F.
Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral No.
Jenis Kegiatan MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS A. BUMI 1. Bahan galian bukan logam atau bahan galian golongan C - Kapasitas, dan/atau - Jumlah material penutup yang dipindahkan 2. Pengambilan air bawah tanah (sumur tanah dangkal, sumur tanah dalam, dan mata air) 3.
G.
Melakukan pengolahan bijih dengan proses sianidasi atau amalgamasi
Skala/besaran
250.000 m3/tahun 1.000.000 ton 50 liter/detik (dari 1 sumur sampai dengan 5 sumur dalam satu area < 10 ha) Semua besaran
Bidang Pariwisata No. 1. 2.
Jenis Kegiatan a. Kawasan Pariwisata b. Taman Rekreasi Lapangan golf (tidak termasuk driving range)
Skala/besaran Semua besaran > 100 ha Semua besaran
Catatan: 1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum, ttd Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
478 2552
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan penilaian dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) perlu menetapkan panduan penilaian dokumen AMDAL; b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Panduan Penilaian Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 1
479
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; 8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; 9. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; 10. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 2. Kerangka acuan analisis dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat KA-ANDAL adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan. 3. Analisis dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 2
480
5.
Rencana pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 6. Uji administrasi adalah penilaian terhadap kelengkapan administrasi. 7. Uji tahap proyek adalah penilaian terhadap kesesuaian dengan tata ruang dan tahapan rencana usaha dan/atau kegiatan. 8. Uji konsistensi adalah penilaian konsistensi penyusunan dokumen AMDAL, termasuk dokumen ringkasan eksekutif. 9. Uji keharusan adalah penilaian terhadap dokumen AMDAL dalam pemenuhan aspek keharusan yang berisi dan mengkaji aspek dampak penting, besaran dampak, sifat penting dampak, kelayakan lingkungan hidup dan pengelolaan, serta pemantauan dampak penting. 10. Uji kedalaman adalah penilaian terhadap dokumen AMDAL terhadap kajian dampak penting hipotetik dengan menggunakan metode pengumpulan dan analisis data, dan metode prakiraan dan evaluasi dampak yang tepat. 11. Uji relevansi adalah penilaian terhadap dokumen AMDAL dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dikaitkan dengan rekomendasi dalam AMDAL. Pasal 2 Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi penilai AMDAL dalam melakukan penilaian dokumen AMDAL. Pasal 3 (1) Penilai dokumen AMDAL menilai secara berurutan semua dokumen yang merupakan bagian dari dokumen AMDAL yang terdiri atas: a. dokumen KA-ANDAL; b. dokumen ANDAL; c. dokumen RKL; d. dokumen RPL; dan e. dokumen Ringkasan Eksekutif. (2) Penilai dokumen AMDAL dari instansi pemerintah harus memenuhi persyaratan: a. berpendidikan sarjana; dan/atau b. sudah memperoleh sertifikat pelatihan penyusunan AMDAL, pelatihan penilaian AMDAL atau pelatihan yang sejenis. Pasal 4 (1) Penilaian dokumen KA-ANDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas 3 (tiga) aspek penilaian yang meliputi: a. uji administrasi; b. uji tahap proyek; c. uji kualitas dokumen yang meliputi: 1. uji konsistensi; 2. uji keharusan; dan 3. uji kedalaman. (2) Penilaian dokumen ANDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri atas 4 (empat) aspek penilaian yang meliputi: 3
481
a. uji administrasi; b. uji tahap proyek; c. uji kualitas dokumen yang meliputi: 1. uji konsistensi; 2. uji keharusan; 3. uji kedalaman; dan 4. uji relevansi. d. kelayakan lingkungan untuk ANDAL, RKL, dan RPL. (3) Penilaian dokumen RKL dan RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan huruf d terdiri atas 2 (dua) aspek penilaian yang meliputi: a. uji administrasi; b. uji kualitas dokumen yang meliputi: 1. uji konsistensi; 2. uji keharusan; 3. uji kedalaman; dan 4. uji relevansi. (4) Penilaian dokumen ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e terdiri atas: a. uji konsistensi; b. uji keharusan; c. uji kedalaman; dan d. uji relevansi. Pasal 5 (1) Penilaian dokumen AMDAL dilakukan sesuai dengan skema tahapan penilaian dokumen AMDAL sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Penilaian dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan sesuai dengan panduan sebagaimana tercantum dalam: a. Lampiran II untuk penilaian KA-ANDAL; b. Lampiran III untuk penilaian dokumen ANDAL; c. Lampiran IV untuk penilaian dokumen RKL; d. Lampiran V untuk penilaian dokumen RPL; dan e. Lampiran VI untuk penilaian dokumen Ringkasan Eksekutif. (3) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 6 (1) Uji administrasi dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Uji konsistensi dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4
482
Pasal 7 Dalam melakukan penilaian dokumen AMDAL, selain menggunakan skema tahapan dan panduan penilaian dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, penilai dokumen AMDAL dapat menggunakan pedoman atau panduan penyusunan AMDAL lainnya seperti panduan kajian aspek sosial dalam AMDAL, panduan kajian aspek kesehatan masyarakat dalam AMDAL, dan panduan pelingkupan di bidang AMDAL. Pasal 8 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian Dokumen Analisis Mengenai Dampak lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 3 Juli 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
5
483
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 SKEMA TAHAPAN PENILAIAN DOKUMEN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP A. PENDAHULUAN Skema tahapan penilaian dokumen AMDAL ini merupakan pengantar bagi penilai dokumen AMDAL untuk dapat menggunakan panduan dalam Peraturan Menteri ini. Penilaian dokumen AMDAL meliputi 4 (empat) aspek berikut: 1. Uji administrasi dokumen AMDAL Dokumen AMDAL yang diajukan pemrakarsa harus memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. 2. Uji tahap proyek Uji tahap proyek yang dimaksudkan adalah bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan yang diajukan masih berada pada tahap perencanaan (studi kelayakan) serta lokasinya harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) setempat. 3. Uji kualitas dokumen AMDAL meliputi: a. Uji Konsistensi Uji konsistensi yang dimaksudkan adalah menilai konsistensi penyusunan dokumen AMDAL maupun pelaksanaan kajian AMDALnya, termasuk dokumen Ringkasan Eksekutif (RE). b. Uji Keharusan Uji keharusan yang dimaksudkan adalah menilai bahwa suatu dokumen AMDAL telah memenuhi aspek keharusan, dimana suatu dokumen AMDAL wajib berisi dan mengkaji: • Dampak penting; • Besaran dampak; • Sifat penting dampak; • Kelayakan lingkungan hidup; • Pengelolaan dan pemantauan dampak penting. Kelima aspek uji keharusan tersebut harus termuat dalam dokumen Ringkasan Eksekutif (RE).
1
484
c. Uji Kedalaman Uji kedalaman yang dimaksudkan adalah menilai bahwa pengkajian dampak penting hipotetik dalam dokumen AMDAL sudah menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang tepat, termasuk metode prakiraan dan evaluasi dampak. Hal ini dilakukan oleh seseorang dengan keahlian di bidang tertentu. d. Uji Relevansi Uji relevansi yang dimaksudkan adalah menilai bahwa parameter yang dikelola dan dipantau serta upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup relevan dengan yang direkomendasikan dalam ANDAL (bab evaluasi). Uji relevansi difokuskan pada komponen dampak penting yang menimbulkan banyak dampak turunan, perbaikan atau modifikasi teknologi dengan menerapkan 4R (reduce, reuse, recycle, recovery), pencegahan timbulnya dampak negatif dan akan berpengaruh positif terhadap penghematan biaya pengelolaan secara keseluruhan. 4. Kelayakan Lingkungan Hidup untuk ANDAL, RKL dan RPL, termasuk RE Prinsip untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan adalah: a. Dampak penting negatif yang akan ditimbulkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau b. Biaya penanggulangan dampak penting negatif lebih besar dari pada manfaat dampak penting positif yang akan ditimbulkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dinyatakan tidak layak lingkungan. B. SKEMA TAHAPAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL Secara skematik tahapan penilaian dokumen AMDAL adalah sebagaimana gambar 1. Keterangan: 1 Dalam hal suatu dokumen KA-ANDAL atau ANDAL, RKL, RPL dan RE tidak sesuai dengan persyaratan administrasi, maka dokumen tersebut wajib dikembalikan kepada pemrakarsa untuk dilengkapi dan terhadap dokumen tersebut tidak dapat dilakukan penilaian dokumennya dalam rapat tim teknis atau rapat komisi penilai AMDAL. Dokumen yang memenuhi persyaratan administrasi selanjutnya dapat dilakukan penilaian dalam rapat tim teknis atau rapat komisi penilai AMDAL. 2 Apabila rencana lokasi suatu usaha dan/atau kegiatan terletak pada lokasi yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota, maka terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan wajib ditolak sebagaimana ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4) PP 27/1999 tentang AMDAL. 2
485
PEMRAKARSA Dokumen KA-ANDAL atau ANDAL, RKL, RPL dan RE UJI ADMINISTRASI [gunakan format dalam lampiran VII]
Sesuai persyaratan administrasi?
Tidak
1
Ya
Sesuai dengan RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota?
Tidak
2
DITOLAK
Ya
UJI TAHAP PROYEK
Usaha dan/atau kegiatan sedang dan/atau telah dilakukan konstruksi dan/atau operasi dan/atau pasca operasi?
Ya DITOLAK
3
Tidak UJI KUALITAS [gunakan format dalam lampiran VIII untuk uji konsistensi]
1. 2. 3. 4.
Lakukan Lakukan Lakukan Lakukan
uji uji uji uji
konsistensi keharusan kedalaman relevansi
Dokumen sesuai dengan persyaratan mutu dokumen
Tidak
4
Masukan untuk perbaikan dokumen
Ya Rencana usaha dan/atau kegiatan disepakati atau layak lingkungan hidup? Ya
Tidak
5
DITOLAK
6
Dokumen dijadikan lampiran SK Kesepakatan KA-ANDAL atau SK Kelayakan Lingkungan
Gambar 1. Skema tahapan penilaian dokumen AMDAL 3
486
3 Komisi penilai AMDAL wajib menolak suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dan/atau telah dilakukan konstruksi dan/atau operasi dan/atau pasca operasi karena AMDAL adalah kajian untuk suatu usaha dan/atau kegiatan yang masih dalam tahap perencanaan sebagaimana diatur dalam PP 27/1999 tentang AMDAL. 4 Dalam hal penilaian terhadap dokumen AMDAL menunjukkan bahwa dokumen belum memenuhi kaidah mutu dokumen AMDAL, maka hasil penilaian tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perbaikan dokumen AMDAL oleh pemrakarsa apabila rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dinyatakan disepakati dokumen KA-ANDALnya atau dinyatakan layak lingkungan hidup. 5 Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang dinyatakan tidak layak lingkungan hidup, maka seluruh masukan dan dokumen yang disampaikan menjadi bagian dari lampiran atas keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 6 Dokumen KA-ANDAL yang telah memenuhi persyaratan administrasi, uji tahap proyek dan uji mutu dokumen, maka dokumen tersebut selanjutnya dijadikan lampiran dalam surat keputusan kesepakatan KAANDAL. Bagi dokumen ANDAL, RKL, RPL dan Ringkasan Eksekutif yang telah memenuhi persyaratan administrasi, uji tahap proyek, uji mutu dokumen dan ditetapkan layak lingkungan hidup, maka dokumen tersebut selanjutnya dijadikan lampiran dalam surat keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
4
487
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 PANDUAN PENILAIAN KERANGKA ACUAN (KA-ANDAL) A. UJI ADMINISTRASI Periksa kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi antara lain: 1. Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian perizinan atau bukti formal yang menyatakan bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan secara prinsip dapat dilakukan. 2. Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian perizinan atau bukti formal yang dapat berupa surat atau dokumen yang diterbitkan oleh pejabat di instansi yang berwenang, yang menyatakan bahwa rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan secara prinsip dapat dilaksanakan pada rencana lokasi tersebut; 3. Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian peta-peta terkait untuk memastikan bahwa telah memenuhi kaidah kartografi (antara lain legenda, arah, skala, koordinat, sumber, notasi dan/atau warna) dan informatif. Peta-peta dimaksud antara lain: peta tata ruang, peta tata guna lahan, peta batas wilayah studi, peta pengambilan contoh uji (sampling), peta rencana lokasi, peta geologi, peta topografi (lokasi di darat), peta batimetri (lokasi di laut) dan peta-peta terkait lainnya. 4. Lakukan pemeriksaan terhadap bukti dokumentasi pengumuman yang menjadi kewajiban pemrakarsa sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses AMDAL. 5. Lakukan pemeriksaan terhadap bukti telah dilakukannya konsultasi dan/atau diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (masyarakat berkepentingan); 6. Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan registrasi kompetensi konsultan penyusun AMDAL dan sertifikat kompetensi ketua dan anggota tim penyusun dokumen AMDAL sesuai persyaratan sertifikasi kompetensi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan dilakukan juga terhadap daftar riwayat hidup dan surat pernyataan yang menyatakan bahwa ketua dan masingmasing anggota tim benar-benar menyusun dokumen AMDAL dimaksud yang ditandatangani di atas kertas bermaterai. 7. Lakukan pemeriksaan terhadap sistematika penulisan dokumen KAANDAL sesuai dengan pedoman penyusunan AMDAL. 1
488
Uji administrasi dapat dilakukan sebagaimana Lampiran VII Peraturan Menteri ini. Apabila dokumen KA-ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya dalam rapat Komisi Penilai AMDAL. Sebaliknya apabila belum lengkap, maka pemrakarsa wajib untuk melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. B. UJI TAHAP PROYEK 1. Kesesuaian dengan tata ruang Lakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan tidak bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah setempat. 2. Rencana usaha dan/atau kegiatan masih dalam tahap perencanaan Lakukan pemeriksaan terhadap tahapan rencana usaha dan/atau kegiatan masih dalam tahap perencanaan (studi kelayakan) atau pada tahap desain teknis rinci (DED, detailed engineering design). Apabila usaha dan/atau kegiatan yang diajukan untuk dinilai dokumen AMDALnya telah dilakukan konstruksi dan/atau operasi dan/atau pasca operasi, maka usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib ditolak dokumen AMDALnya serta tidak dapat dilakukan penilaian di Komisi Penilai AMDAL. Terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut dilakukan mekanisme lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku. C. UJI KUALITAS DOKUMEN 1. Uji Konsistensi Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi antara dampak penting hipotetik dari hasil pelingkupan (termasuk parameter yang akan dikaji) dengan metode studi yang akan digunakan. Metode studi meliputi metode pengumpulan dan analisis data, prakiraan besaran dampak, prakiraan sifat penting dampak, dan evaluasi dampak untuk setiap dampak penting hipotetik. Matrik uji konsistensi antara dampak penting hipotetik dengan metode studi terdapat dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini. 2. Uji Keharusan Lakukan pemeriksaan terhadap keberadaan proses pelingkupan dengan hasil berupa dampak penting hipotetik, batas wilayah studi dan batas waktu kajian. Dampak penting hipotetik tersebut dilengkapi dengan metode studi yang akan digunakan dalam melakukan penentuan: a. Besaran dampak; b. Sifat penting dampak; dan c. Evaluasi dampak. 2
489
3. Uji Kedalaman Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan dan relevansi metode studi yang digunakan (metode pengumpulan dan analisis data, metode prakiraan besaran dampak, metode prakiraan sifat penting dampak dan metode evaluasi dampak). Catatan: • Untuk melihat keabsahan dan relevansi suatu metode perlu ditetapkan kedalaman studi yang akan dilakukan. • Uji kedalaman lazimnya dilakukan oleh penilai dengan keahlian di bidang tertentu. D. ISI DOKUMEN 1. Pendahuluan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kesesuaian aspek-aspek yang dinilai dalam pendahuluan, mencakup: 1.1. Penjelasan uraian latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan; 1.2. Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian antara latar belakang rencana usaha dan/atau kegiatan dengan tujuan dan manfaat diadakannya rencana usaha dan/atau kegiatan; 1.3. Lakukan pemeriksaan terhadap relevansi, keabsahan dan alasan peraturan-peraturan digunakan sebagai acuan. Contoh: Peraturan
Alasan Penggunaan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
Peraturan yang dimaksud digunakan untuk mengatur agar pedoman penyusunan KA-ANDAL, ANDAL, RKL, RPL dan Ringkasan Eksekutif sesuai dengan kaidahkaidah penyusunan dokumen AMDAL
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
Peraturan tersebut diacu sebagai dasar untuk pembuangan air limbah bagi kegiatan MIGAS. Catatan: Contoh ini adalah untuk kegiatan Pembangunan Lapangan Minyak dan Gas
3
490
2. Ruang lingkup studi 2.1. Lakukan pemeriksaan terhadap lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah dan alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan, mencakup: a. Status dan lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah: 1). Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan mengenai status studi AMDAL dengan tahapan rencana usaha dan/atau kegiatan. Catatan: Pada bagian ini dipastikan bahwa studi AMDAL dilaksanakan sebagai bagian dari studi kelayakan atau setelah studi kelayakan atau pada tahap master plan atau desain teknis rinci (detailed engineering design, DED). Dalam hal studi AMDAL dilaksanakan pada tahap studi kelayakan, maka kemungkinan studi AMDAL masih memiliki beberapa alternatif, baik berupa alternatif lokasi, teknologi proses, desain, bahan baku dan/atau bahan penolong. Informasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang masih dalam tahap studi kelayakan lazimnya belum rinci. Dengan demikian studi AMDAL disusun berdasarkan desain dasar (basic design). Apabila studi AMDAL disusun setelah desain teknis rinci (detailed engineering design, DED) maka deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan harus rinci pula. 2). Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang wilayah setempat. Dalam hal rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan tidak sesuai dengan RTRW, maka terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib ditolak sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3). Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian antara rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun dengan tahapan rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak (prakonstruksi, konstruksi, operasi dan/atau pasca operasi). 4). Lakukan pemeriksaan terhadap keterkaitan dan/atau interaksi antara kegiatan yang ada di sekitar rencana lokasi dengan dampak-dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup. Catatan: Dalam melakukan pemeriksaan agar melihat peta yang dapat menggambarkan lokasi rencana dan/atau kegiatan beserta 4
491
kegiatan-kegiatan lain yang berada di sekitarnya. Keterkaitan dan/atau interaksi di atas dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan untuk mengetahui ada tidaknya dampak kumulatif dalam suatu wilayah. 5). Lakukan pemeriksaan terhadap jadwal pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan. Catatan: Jadwal pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan selain digunakan untuk memastikan tahapan kegiatan, juga dapat digunakan untuk melihat akumulasi dampak pada 1 lokasi dan rentang waktu dalam melakukan evaluasi dampak dalam ANDAL (bab evaluasi). b. Alternatif-alternatif yang akan dikaji dalam KA-ANDAL; Lakukan pemeriksaan terhadap ada atau tidaknya alternatif lokasi, alternatif desain, alternatif proses, alternatif tata letak bangunan, alternatif sarana pendukung. Apabila rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatifalternatif tersebut di atas maka: 1). Lakukan pemeriksaan terhadap dasar pemikiran dilakukannya alternatif antara lain: • alternatif lokasi: adanya hambatan dalam pelaksanaan kegiatan (misalnya: lokasi rencana kegiatan melewati atau berada di kawasan konservasi); • alternatif proses: keinginan untuk melakukan efisiensi proses tetapi dengan kendala biaya tinggi (capital cost). 2). Lakukan pemeriksaan terhadap faktor-faktor pengambilan keputusan yang diusulkan oleh pemrakarsa untuk digunakan sebagai dasar pemilihan alternatif. 3). Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian antara prosedur (cara identifikasi, prakiraan dan dasar pemikiran yang digunakan untuk pembobotan, skala/peringkat dan cara-cara untuk menginteprasikan) dengan pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia. 4). Lakukan pemeriksaan terhadap adanya pernyataan yang menunjukkan bahwa alternatif-alternatif yang telah dipilih akan dikaji lebih lanjut dalam dokumen ANDAL; 5). Lakukan pemeriksaan dan relevansi pustaka-pustaka yang digunakan sebagai sumber informasi dalam melakukan pemilihan alternatif.
5
492
Catatan: Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tidak memiliki alternatif-alternatif sebagaimana tersebut di atas maka pada bagian ini disampaikan alasan atau faktor-faktor yang digunakan oleh pemrakarsa untuk memutuskan atau memilih alternatif yang diajukan. 2.2. Lingkup rona lingkungan hidup awal Lakukan pemeriksaan data rona lingkungan hidup awal yang akan digunakan dan relevansinya dengan dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari proses pelingkupan. Catatan: • Data rona lingkungan hidup awal yang terkait dengan musim harus mewakili kondisi 2 musim (musim kemarau dan musim hujan). Khusus untuk pengukuran perubahan kondisi lingkungan di laut maka data rona lingkungan hidup awal yang disampaikan sedapat mungkin mewakili 4 musim (musim barat, musim barattimur, musim timur, musim timur-barat); • Data rona lingkungan hidup awal yang disampaikan harus relevan dan dapat digunakan untuk melakukan kajian terhadap dampak penting hipotetik; • Data rona lingkungan hidup awal yang disampaikan harus dapat menggambarkan (representatif) kondisi ekosistem dimana rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan akan dilakukan; • Data rona lingkungan hidup awal dapat berupa data primer atau data sekunder; • Dalam hal suatu rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatif lokasi maka data rona lingkungan hidup awal harus mewakili masing-masing alternatif rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan. 2.3. Pelingkupan a. Lakukan pemeriksaan terhadap pelingkupan dampak penting hipotetik dengan melakukan pemeriksaan hal-hal sebagai berikut: 1) Kejelasan dasar penentuan dampak penting hipotetik beserta alasannya dalam proses evaluasi dampak potensial pada pelingkupan; 2) Konsistensi antara dampak potensial dan dampak penting hipotetik, termasuk klasifikasi dan prioritas dampak penting hipotetik untuk memastikan bahwa proses pelingkupan dilakukan secara konsisten, misalnya konsistensi antara matrik, bagan alir dampak dan bagan alir proses pelingkupan serta uraian proses pelingkupan; Catatan: • Dalam proses pelingkupan harus memperhatikan komponen rencana kegiatan, komponen lingkungan, kegiatan lain di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan, serta saran, pendapat, dan 6
493
•
• •
tanggapan masyarakat dari pengumuman dan proses konsultasi publik. Dalam bagian ini lazimnya disampaikan: a) Matrik identifikasi dampak, b) Bagan alir dampak, dan c) Bagan alir proses pelingkupan; Dalam hal suatu rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatif maka proses pelingkupan dilakukan untuk masingmasing alternatif tersebut; Untuk membantu penilaian proses pelingkupan sebaiknya dapat menggunakan panduan pelingkupan.
b. Lakukan pemeriksaan terhadap pelingkupan batas wilayah studi dan batas waktu kajian dengan melakukan pemeriksaan hal-hal sebagai berikut: 1) Batas wilayah studi adalah merupakan hasil/resultante dari penampalan (overlay) dari batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administratif. Pemeriksaan batas wilayah studi terutama dilakukan terhadap dasar ilmiah yang digunakan dalam penetapan batas wilayah masing-masing komponen penyusun wilayah studi; Catatan: Aspek yang harus diperhatikan terkait batas proyek antara lain kejelasan luas tapak dan titik koordinat. Jika suatu kegiatan meliputi beberapa tapak maka luas dan titik koordinat untuk masing-masing tapak harus dijelaskan juga. Selain itu dijelaskan pula kondisi lingkungan dan kegiatan lain yang berbatasan langsung dengan tapak rencana usaha dan/atau kegiatan. Aspek yang harus diperhatikan terkait batas ekologis adalah persebaran pencemar dan/atau dampak melalui, antara lain: • media air dengan memperhatikan antara lain: debit (sungai), arah dan kecepatan arus; • media udara dengan memperhatikan antara lain: arah dan kecepatan angin; • media tanah dengan memperhatikan antara lain: permeabilitas, porositas, kelerengan, dan erodibilitas. • makhluk hidup sebagai vektor antara lain: nyamuk, tikus, lalat dan anjing. Aspek yang harus diperhatikan terkait batas sosial adalah masyarakat yang terkena dampak sosial secara langsung akibat rencana usaha dan/atau kegiatan dan/atau berada dalam area batas ekologis dan/atau berada di sekitar tapak proyek; Aspek minimal yang harus diperhatikan dalam penilaian terkait batas administrasi adalah batas administrasi pemerintahan terkecil atau batas konsesi pengelolaan sumber daya suatu 7
494
usaha dan/atau kegiatan yang ditetapkan secara proporsional sesuai dengan skala rencana usaha dan/atau kegiatan dimaksud; 2) Batas waktu kajian yang akan digunakan untuk memprakirakan perubahan kualitas lingkungan untuk masing-masing dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari proses pelingkupan; Catatan: • Penetapan batas waktu kajian untuk masing-masing dampak harus memperhatikan antara lain: sumber dampak, tahapan kegiatan dan lama terjadinya dampak. • Batas waktu kajian ditentukan oleh kemampuan metodologi dan ketersediaan data untuk memprediksi dampak. • Batas waktu kajian tidak sama dengan umur proyek. • Batas waktu kajian dapat dinyatakan antara lain dalam bentuk tahun, bulan, minggu, hari atau tahapan kegiatan yang dilengkapi dengan dasar ilmiah atau pertimbangan dalam penentuan batas waktu kajian tersebut. 3. Metode studi Periksa kejelasan, ketepatan dan konsistensi terhadap aspek-aspek dalam metode studi, mencakup: 3.1. Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan metode pengumpulan dan analisis data serta rencana pengambilan contoh uji, dengan melakukan pemeriksaan hal-hal sebagai berikut: a. Konsistensi antara metode pengumpulan dan analisis data dengan dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari proses pelingkupan; b. Keabsahan metode pengumpulan dan analisis data dengan memeriksa antara lain: • jenis peralatan, instrumen dan tingkat ketelitian alat serta rumus yang digunakan; • penetapan metode pemilihan, jumlah dan subyek responden, isi kuesioner yang harus disesuaikan dengan dampak penting hipotetik yang dikaji; • petunjuk pelaksanaan wawancara mendalam (indepth interview), kelompok diskusi terfokus (focus group discussion). c. Kejelasan rencana pengambilan contoh uji antara lain: • jumlah contoh uji (sampel) dan replikasinya; • waktu/periode pengambilan contoh uji; • lokasi pengambilan contoh uji; • pelaksana pengambilan contoh uji. d. Kejelasan dan ketepatan peta lokasi pengambilan contoh uji bahwa penetapan titik-titik lokasi pengambilan contoh uji tersebut mewakili rona lingkungan hidup awal terhadap ekosistem dimana rencana usaha dan/atau kegiatan berlokasi. 8
495
Penetapan titik lokasi pengambilan contoh uji tersebut harus dilengkapi penjelasan dasar ilmiah dan justifikasinya; e. Pastikan peta lokasi pengambilan contoh uji (sampel) konsisten dengan peta batas ekologis, peta batas sosial dan peta tapak proyek sebagaimana dimaksud dalam peta batas wilayah studi; f. Kejelasan contoh uji (sampel) dan parameter yang akan diukur. Catatan: • Dalam hal dilakukan penggunaan data primer maka yang perlu diperhatikan adalah ketepatan penentuan lokasi pengambilan contoh uji (peta lokasi pengambilan contoh uji), parameter dan jumlah contoh uji serta jenis alat beserta alasan-alasannya; • Dalam hal dilakukan penggunaan data sekunder maka yang perlu diperhatikan adalah ketepatan penentuan jenis data dan keabsahan sumber data. 3.2. Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan metode prakiraan dampak penting, meliputi: a. Konsistensi antara dampak penting hipotetik yang akan dikaji dengan metode prakiraan dampak; b. Ketepatan metode prakiraan besaran dampak yang digunakan dalam menentukan prakiraan besaran dampak beserta alasan penggunaannya; c. Ketepatan metode prakiraan besaran dampak berdasarkan tingkat kedalaman yang disepakati oleh Komisi Penilai AMDAL. Catatan: • Apabila menggunakan metode analogi, maka pastikan ada penjelasan mengenai jenis kegiatan dan lokasi kegiatan yang dianalogikan serta kesesuaiannya dengan dampak lingkungan yang dianalogikan. Hal ini untuk memastikan bahwa dampak penting hipotetik tersebut dapat dianalogikan atau tidak. Apabila tidak dapat dianalogikan maka metode analogi tersebut tidak dapat digunakan. • Apabila menggunakan penilaian ahli maka perlu diperiksa riwayat hidup ahli tersebut. Pastikan bahwa tenaga ahli yang bersangkutan memiliki keahlian dan pengalaman dalam menilai besaran atau sifat penting dampak tersebut. Apabila hal tersebut di atas tidak terpenuhi maka penggunaan penilaian ahli tidak dapat dilakukan. d. Ketepatan kriteria yang digunakan dalam penentuan sifat penting dampak. Catatan: • Penentuan sifat penting dampak setidaknya menggunakan 6 kriteria dampak penting sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PP 27/1999. 9
496
• Kriteria tersebut tidak bersifat limitatif tetapi dapat menggunakan kriteria tambahan lainnya sebagaimana disepakati dalam rapat komisi penilai AMDAL, misalnya baku mutu. 3.3. Lakukan pemeriksaan terhadap ketepatan metode-metode yang digunakan untuk melakukan evaluasi dampak penting. Catatan: Metode-metode yang digunakan untuk melakukan evaluasi dampak penting, harus dapat digunakan untuk: • Melakukan evaluasi dampak secara holistik, yaitu melakukan evaluasi terhadap seluruh dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari proses pelingkupan; • Melakukan penilaian terhadap kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan; • Melakukan pemilihan alternatif terbaik (lokasi, proses, teknologi, bahan baku, bahan penolong, dll) apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki berbagai alternatif yang akan dikaji. Apabila menggunakan metode matrik atau metode yang memerlukan skala atau bobot, maka pastikan ada penjelasan indeks skala kualitas lingkungan untuk masing-masing parameter yang akan dikaji dan apabila lokasi kegiatan tersebut memiliki ekosistem yang berbeda maka indeks skala kualitas lingkungan tersebut juga mewakili masing-masing ekosistem. Penetapan indeks skala kualitas lingkungan ini wajib disertai dengan referensi atau justifikasi ilmiah. 4. Pelaksanaan studi Periksa aspek-aspek yang harus dinilai dalam pelaksanaan studi, mencakup: 4.1. Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan identitas pemrakarsa, antara lain: nama dan alamat instansi/perusahaan maupun penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan; 4.2. Lakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan tim penyusun studi AMDAL, mencakup: a. Keabsahan nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan; b. Keabsahan nama dan keahlian dari masing-masing anggota tim penyusun AMDAL. Catatan: Persyaratan setiap tim yang akan menyusun dokumen AMDAL adalah wajib dipimpin oleh seorang ketua tim yang memiliki sertifikat kompetensi sebagai ketua tim dan 2 (dua) anggota tim yang memiliki sertifikat kompetensi sebagai ketua dan/atau 10
497
anggota tim. Tim penyusunan dokumen AMDAL adalah lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL yang telah teregistrasi oleh Lembaga Registrasi Kompetensi (LRK) Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dalam hal penyusunan dokumen AMDAL tidak dilakukan oleh tim sebagaimana tersebut di atas, maka Komisi Penilai AMDAL wajib menolak dokumen yang diajukan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 4.3. Lakukan pemeriksaan terhadap ada tidaknya biaya studi yang dianggarkan pemrakarsa dalam penyusunan dokumen AMDAL dalam bentuk prosentase biaya studi. Catatan: Komponen yang harus dilihat adalah prosentase biaya studi yang dibutuhkan dalam penyusunan studi AMDAL yang dibandingkan dengan total investasi. Dalam bab ini yang perlu diperhatikan adalah kejelasan mengenai biaya studi AMDAL digunakan, antara lain: untuk pelaksanaan konsultasi masyarakat, pelaksanaan pengambilan data di lapangan, pengujian di laboratorium, survey lapangan, remunerasi tenaga ahli, penyusunan laporan, dan lainlain; 4.4. Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan jadwal waktu pelaksanaan studi, meliputi: a. kejelasan tentang rencana pelaksanaan studi; b. kejelasan dan ketepatan alokasi waktu yang sesuai dengan jadwal pembangunan dan/atau pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 5. Daftar Pustaka Lakukan pemeriksaan terhadap relevansi daftar pustaka yang digunakan mencakup sumber informasi yang berhubungan dengan: a. Rencana usaha dan/atau kegiatan; b. Metode-metode studi yang digunakan; Catatan: Penulisan daftar pustaka wajib dilakukan sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. 6. Lampiran Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan aspek-aspek dalam lampiran, mencakup: a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
11
498
Catatan: Peta–peta yang perlu dilampirkan antara lain: peta tata ruang, peta tata guna lahan, peta wilayah studi, peta titik lokasi pengambilan contoh uji (sampling), peta rencana lokasi, peta geologi, peta topografi serta peta pendukung lainnya yang dianggap dapat memperjelas rencana usaha dan/atau kegiatan. b. Keabsahan daftar biodata tim penyusun AMDAL; c. Keabsahan sertifikat kompetensi penyusunan dokumen AMDAL bagi ketua tim dengan kualifikasi sebagai ketua dan setidaknya 2 (dua) anggota tim dengan kualifikasi sebagai anggota yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi (LSK); d. Keabsahan tanda bukti registrasi kompetensi bagi lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL (konsultan AMDAL) yang diterbitkan oleh lembaga registrasi kompetensi (LRK); e. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen KAANDAL (misal: keputusan perizinan, kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat, dan lain-lain); f. Surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai yang menyatakan bahwa masing-masing anggota tim adalah personil yang melakukan penyusunan dokumen AMDAL; g. Bukti-bukti visual (foto-foto, sketsa, gambar) dan relevansinya dengan rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
12
499
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 PANDUAN PENILAIAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL) A. UJI ADMINISTRASI Periksa kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup: 1. Pemenuhan kelengkapan administrasi sebagaimana kelengkapan administrasi dokumen KA-ANDAL; 2. Surat Keputusan Kesepakatan KA-ANDAL yang telah disahkan oleh instansi yang bertanggungjawab; 3. Pastikan bahwa dokumen yang diserahkan terdiri dari ANDAL, RKL, RPL dan Ringkasan Eksekutif; Catatan: • Pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi yang wajib dipenuhi dalam dokumen ANDAL adalah sama dengan yang dilakukan pada dokumen KA-ANDAL dengan tambahan 2 (dua) hal tersebut di atas; • Pemeriksaan kelengkapan administrasi dapat menggunakan form uji administrasi seperti pada lampiran VII Peraturan Menteri ini; • Apabila dokumen ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya. Sebaliknya apabila belum lengkap, maka pemrakarsa harus melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 4. Pastikan dokumen ANDAL disertai dengan abstrak yang berisi rencana usaha dan/atau kegiatan dan masukan penting yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan, perencanaan, dan pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan. B. UJI TAHAP PROYEK 1. Rencana usaha dan/atau kegiatan masih dalam tahap perencanaan Lakukan pemeriksaan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan untuk memastikan bahwa masih dalam tahap perencanaan (studi kelayakan) atau pada tahap desain teknis rinci (DED, detailed engineering design). Periksa pada bab rencana usaha dan/atau kegiatan sub bab uraian rencana usaha dan/atau kegiatan dan sub bab alternatif-alternatif yang dikaji dalam ANDAL, apakah ada alternatif lokasi, alternatif desain, alternatif proses, alternatif bahan baku, dan/atau alternatif bahan penolong.
500
1
Catatan: Apabila rencana usaha dan/atau kegiatan dilaksanakan masih dalam tahap studi kelayakan, maka deskripsi kegiatan mungkin belum terlalu rinci. Namun apabila rencana usaha dan/atau kegiatan sudah dalam tahap desain teknis rinci (DED, detailed engineering design) maka deskripsi kegiatannya harus rinci. Deskripsi rinci dimaksud tidak termasuk formula, paten atau hal-hal yang terkait dengan rahasia perusahaan, tetapi hanya hal-hal yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan. C. UJI KUALITAS DOKUMEN 1. Uji Konsistensi Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi antara dampak penting hipotetik (termasuk parameter yang dikaji) dengan metode prakiraan dampak, rona lingkungan awal, prakiraan besaran dampak, sifat penting dampak, evaluasi dampak serta rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Uji konsistensi dilakukan menggunakan form sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini. 2. Uji Keharusan Lakukan pemeriksaan terhadap kajian yang dilakukan, yaitu: a. Dampak penting hipotetik pada bab ruang lingkup studi sub bab dampak penting; b. Besaran dampak pada bab prakiraan dampak penting; c. Sifat penting dampak pada bab prakiraan dampak penting; d. Kelayakan lingkungan hidup pada bab evaluasi dampak sub bab rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan hidup. Catatan: • Aspek pada huruf a, b, c dan d di atas harus ada dalam dokumen ANDAL. • Dalam hal terdapat dampak penting hipotetik tambahan di luar dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari proses pelingkupan yang termaktub dalam dokumen KA-ANDAL, maka kajian terhadap dampak penting hipotetik tersebut wajib disampaikan dalam dokumen ANDAL disertai alasan ilmiah dan pertimbangannya. 3. Uji Kedalaman Uji kedalaman dilakukan untuk memastikan bahwa kajian AMDAL dilakukan dengan mendasarkan pada data dan metodologi yang sahih serta sesuai dengan kaidah ilmiah dalam pelaksanaan studi kelayakan lingkungan hidup (AMDAL). Uji kedalaman dilakukan terhadap aspek-aspek berikut: a. Lakukan pemeriksaan terhadap alternatif terpilih dengan menggunakan kaidah-kaidah pemilihan alternatif, apabila rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatif;
501
2
Catatan: Pemeriksaan terhadap kajian alternatif juga dilakukan untuk memastikan bahwa kriteria pengambilan keputusan yang telah disepakai dalam dokumen KA-ANDAL digunakan; • Kaidah-kaidah pemilihan alternatif, antara lain: dengan membandingkan 2 (dua) atau lebih alternatif tersedia menggunakan metode kualitatif dan/atau kuantitatif (metode skala, metode rating, metode ranking, metode pembobotan, dan lain-lain). •
b. Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi metode-metode yang akan digunakan dan dinyatakan absah dalam dokumen KA-ANDAL, yaitu metode pengumpulan dan analisis data, prakiraan besaran dan sifat penting dampak, evaluasi dampak, dan pemilihan alternatif (bila ada alternatif). Catatan: Dalam hal metode studi yang digunakan tidak sesuai dengan metode studi yang termaktub dalam dokumen KA-ANDAL, maka pemeriksaan dilakukan juga terhadap keabsahan metode tersebut beserta alasan perubahannya. c. Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan data yang dikumpulkan, termasuk: • Pemeriksaan terhadap sumber dan waktu dihasilkannya data untuk data sekunder; • Pemeriksaan terhadap data primer yang dihasilkan termasuk pemeriksaan terhadap hasil analisis laboratorium, jawaban atas kuesioner dan penanggung jawab dalam menghasilkan data primer; • Pemeriksaan bahwa data primer yang dihasilkan (termasuk parameter dan lokasi pengambilan contoh uji) sesuai dengan kesepakatan dalam dokumen KA-ANDAL. d. Lakukan pemeriksaan terhadap dampak penting hipotetik yang akan dilakukan kajian secara mendalam pada bab ruang lingkup studi. Apabila terdapat tambahan dampak penting hipotetik yang akan dilakukan kajian lebih lanjut, periksa alasan ilmiah atau pertimbangan yang menjadi dasar untuk dilakukan kajian terhadap dampak penting hipotetik tersebut; e. Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi batas wilayah studi pada bab ruang lingkup studi sub bab wilayah studi untuk memastikan bahwa batas wilayah studi telah sesuai dengan batas wilayah studi dalam dokumen KA-ANDAL. Dalam hal terjadi perbedaan antara batas wilayah studi dalam dokumen ANDAL dengan dokumen KAANDAL maka perubahan batas wilayah studi tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya.
502
3
f. Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi batas waktu kajian pada bab ruang lingkup studi sub bab batas waktu kajian untuk memastikan bahwa batas waktu kajian setiap dampak penting hipotetik telah sesuai dengan batas waktu kajian dalam dokumen KAANDAL. Dalam hal terjadi perbedaan antara batas waktu kajian dalam dokumen ANDAL dengan dokumen KA-ANDAL maka perubahan batas waktu kajian tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya. g. Lakukan pemeriksaan terhadap prakiraan besaran dampak pada bab prakiraan dampak untuk memastikan prakiraan besaran dampak menggunakan metode prakiraan besaran dampak yang sahih sebagaimana termaktub dalam dokumen KA-ANDAL dan dilakukan sesuai dengan kaidah prakiraan besaran dampak. Dalam hal terjadi perbedaan antara metode prakiraan besaran dampak dalam dokumen ANDAL dengan dokumen KA-ANDAL, maka perubahan metode prakiraan besaran dampak tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya. h. Lakukan pemeriksaan terhadap prakiraan sifat penting dampak pada bab prakiraan dampak untuk memastikan prakiraan sifat penting dampak menggunakan metode prakiraan sifat penting dampak dan dilakukan sesuai dengan kaidah prakiraan sifat penting dampak sebagaimana termaktub dalam dokumen KA-ANDAL. Dalam hal terjadi perbedaan antara metode prakiraan sifat penting dampak dalam dokumen ANDAL dengan dokumen KA-ANDAL, maka perubahan metode prakiraan sifat penting dampak tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya. i. Lakukan pemeriksaan terhadap evaluasi dampak pada bab evaluasi dampak untuk memastikan evaluasi dampak menggunakan metode evaluasi dampak dan dilakukan sesuai dengan kaidah evaluasi dampak sebagaimana termaktub dalam dokumen KA-ANDAL. Dalam hal terjadi perbedaan antara metode evaluasi dampak dalam dokumen ANDAL dengan dokumen KA-ANDAL, maka perubahan metode evaluasi dampak tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya. Pemeriksaan terhadap evaluasi dampak untuk memastikan bahwa evaluasi dampak dilakukan dan menggunakan metode yang dapat menjelaskan bahwa evaluasi dampak dilakukan secara holistik. Catatan: Uji kedalaman lazimnya dilakukan oleh penilai dengan keahlian di bidang tertentu. 4. Uji Relevansi Uji relevansi dilakukan untuk memastikan: • Kesesuaian antara arahan upaya pengelolaan lingkungan hidup dengan dampak penting yang timbul; dan
503
4
•
Kesesuaian antara arahan upaya pemantauan lingkungan hidup dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan dampak penting yang timbul.
D. KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP Lakukan pemeriksaan terhadap rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan hidup pada bab evaluasi dampak penting sub bab rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan untuk memastikan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Catatan: Penilaian kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan didasarkan atas hasil telaahan terhadap dampak penting, pemilihan alternatif terbaik, dan telaahan sebagai dasar pengelolaan, termasuk rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKL dan RPL). Dalam Pasal 22 PP 27/1999 dinyatakan bahwa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan dinyatakan tidak layak lingkungan apabila: a. Dampak besar dan negatif penting yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau b. Biaya penanggulangan dampak besar dan negatif penting lebih besar daripada manfaat dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping 2 (dua) hal yang diatur dalam Pasal 22 PP 27/1999 tersebut di atas, maka beberapa hal penting yang turut dipertimbangkan dalam melakukan penilaian kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan adalah: a. Bahwa daya dukung lingkungan dari rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan tidak dilampaui. Daya dukung lingkungan dapat diketahui dengan menghitung daya dukung dari rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan, atau dapat digunakan merujuk pada baku mutu ambien untuk air, udara, tanah dan laut. b. Bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan mempengaruhi dan/atau mengubah kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. c. Bahwa nilai sosial atau pandangan masyarakat (emic view) tidak terganggu akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Nilai sosial dapat berupa kebiasaan gotong-royong, dan pandangan masyarakat dapat berupa keyakinan akan kekeramatan suatu tempat atau menilai penting terhadap suatu sumber daya alam tertentu. d. Bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan mempengaruhi dan/atau mengganggu entitas ekologis yang merupakan entitas dan/atau spesies kunci (key species) dan/atau memiliki nilai penting secara ekologis (ecological importance).
504
5
e. Bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan mempengaruhi dan/atau mengganggu entitas ekologis yang memiliki nilai penting secara ekonomi (economic importance). f. Bahwa lokasi dan/atau pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan tidak mempengaruhi dan/atau menimbulkan gangguan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang telah berada di sekitar rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan, termasuk gangguan terhadap tata ruang atau kawasan lindung (protected and spatial planing significance). g. Bahwa akibat emisi dan/atau buangan dari rencana usaha dan/atau kegiatan berpotensi melampaui baku mutu ambien untuk air, udara, tanah dan laut. h. Bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan berpotensi mengganggu entitas ekologis yang memiliki nilai penting ilmiah (scientific importance). i. Bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan berpotensi memberikan berbagai dampak turunan yang tidak dapat diprakirakan sebelumnya (induced impact). E. ISI DOKUMEN 1. Pendahuluan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kesesuaian aspek-aspek yang dinilai dalam pendahuluan, mencakup: 1.1. Penjelasan uraian latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan; 1.2. Kejelasan dan konsistensi uraian tujuan dan manfaat rencana usaha dan/atau kegiatan yang telah dirumuskan dalam dokumen KA-ANDAL. 1.3. Relevansi, keabsahan dan alasan peraturan-peraturan tersebut digunakan sebagai acuan. Berbagai peraturan perundangan yang dinilai antara lain: peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan, dampak yang ditimbulkan, pertanahan, baku mutu lingkungan dan lain-lain. Hal ini penting mengingat peraturan perundangan tersebut akan terkait erat dengan prediksi dan evaluasi dampak penting serta pelaksanaan RKL dan RPL; Catatan: Segala peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan serta menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan studi ANDAL harus disertai dengan alasan mengapa peraturan perundang-undangan tersebut digunakan dalam studi ANDAL.
505
6
2. Rencana usaha dan/atau kegiatan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan tentang aspek-aspek yang dinilai dalam rencana usaha dan/atau kegiatan, mencakup: 2.1. keabsahan identitas pemrakarsa dan penyusun; 2.2. uraian rencana usaha dan/atau kegiatan, mencakup: a. Batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan, antara lain: luasan lahan dan koordinat; b. Hubungan antara rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini beroperasi; c. Kejelasan tata letak usaha dan/atau kegiatan harus sesuai dengan peta tata ruang dan peta wilayah studi serta dilengkapi dengan peta layout kegiatan yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun dalam rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan dan peta situasi yang memuat hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang sudah ada di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Peta-peta tersebut harus sesuai dengan kaidah kartografi (misalnya: skala, legenda, arah mata angin, sumber, dan lain-lain); Catatan: Rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan sebaiknya menggunakan koordinat lokasi (menggunakan GPS, Global Positioning System). d. Kejelasan uraian tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi, jangka waktu masa operasi, hingga rencana tahap pasca operasi, mencakup: 1) Metode dan teknik pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting seperti: − jenis dan spesifikasi peralatan atau instrumen yang digunakan; − jumlah, asal, dan kualifikasi tenaga kerja pada tahap prakonstruksi, konstruksi dan operasi; − bahan baku utama, penunjang dan bahan penolong, sifatsifatnya (karakteristik) berikut lokasi pengambilan, sistem pengangkutan dan penyimpanannya; − neraca bahan (material balance) dan neraca air (water balance);
506
7
2)
3)
4)
5)
− sarana pengendalian dampak, baik yang direncanakan terintegrasi dengan proses maupun yang terpisah; − komposisi, karakteristik dan jumlah dari masing-masing buangan limbah (padat, cair dan gas) berikut upaya penanggulangannya; − upaya-upaya yang akan dilakukan pada tahap pasca operasi. Tahap pra-konstruksi − uraian secara mendalam yang difokuskan pada kegiatan selama masa pra-konstruksi yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup. Tahap konstruksi − uraian secara mendalam yang difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup; − uraian tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana pengendalian dampak, bila unit atau sarana dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa; − uraian tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan, gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan konstruksi berakhir. Tahap operasi − uraian tentang rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi; − uraian secara mendalam yang difokuskan pada kegiatan selama masa operasi yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup; − uraian rencana rehabilitasi dan/atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan selama masa operasi, yaitu bagi kegiatan yang melakukan rehabilitasi dan/atau reklamasi lahan. Termasuk rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi. Tahap pasca operasi − Uraian tentang rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap pasca operasi; − Uraian rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir; − Uraian rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha dan/atau kegiatan berakhir. Catatan: • Tahapan rencana usaha dan/atau kegiatan di atas (prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi) merupakan tahapan yang normatif. • Dalam hal suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tidak memiliki tahap pasca operasi (seperti kegiatan
507
8
pembangunan jalan, pelabuhan, dll), maka terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak perlu diberikan tahap pasca operasinya. e. Lakukan pemeriksaan terhadap jadwal pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan. Catatan: Jadwal pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan dapat disampaikan sesuai dengan tahapan kegiatan (pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi). Jadwal pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan selain digunakan untuk memastikan tahapan kegiatan, juga dapat digunakan untuk melihat akumulasi dampak pada 1 (satu) lokasi dan rentang waktu terjadinya dampak lingkungan dalam melakukan evaluasi dampak dalam ANDAL (bab evaluasi). 2.3. Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi alternatifalternatif yang dikaji dalam ANDAL. Bagian ini menjelaskan proses pemilihan alternatif-alternatif pada dokumen KA-ANDAL yang akan dikaji lebih lanjut pada dokumen ANDAL. Dalam hal terdapat alternatif di luar alternatif yang telah disepakati dalam dokumen KA-ANDAL, maka pada bagian ini menjelaskan uraian rinci alternatif rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Penjelasan tersebut termasuk kriteria pengambilan keputusan yang akan digunakan untuk melakukan pemilihan terhadap alternatif baru tersebut. 2.4. Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan kegiatan lain yang dinilai berhubungan erat dan/atau tumpang tindih serta interaksinya dengan kegiatan proyek atau adanya kawasan yang dilindungi. Catatan: Bila deskripsi usaha dan/atau kegiatan mencantumkan alternatif lokasi, maka untuk masing-masing alternatif lokasi diberikan penjelasan secara rinci kegiatan di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan beserta dampak yang ditimbulkannya. 3. Rona lingkungan hidup Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan data dan informasi tentang aspek-aspek kondisi rona lingkungan awal di rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan, mencakup: 3.1. Uraian komponen-komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak penting sesuai dokumen KA-ANDAL dan temuan komponen lingkungan lain selama pelaksanaan studi harus diulas secara lebih
508
9
rinci dengan menggunakan data minimal kondisi 2 musim (musim kemarau dan musim hujan). Khusus untuk pengukuran perubahan kondisi lingkungan di laut maka sebaiknya data rona lingkungan hidup awal yang disampaikan mewakili 4 musim (musim barat, musim barat-timur, musim timur, dan musim timur-barat); 3.2. Kondisi sumber daya alam yang ada di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah maupun yang belum dimanfaatkan dan memiliki keterkaitan secara langsung dengan rencana usaha dan/atau kegiatan; 3.3. Data dan informasi rona lingkungan hidup awal bahwa komponen lingkungan hidup yang disampaikan berkaitan dengan atau berpotensi terkena dampak penting. 4. Ruang lingkup studi Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan mengenai aspek-aspek yang dinilai dalam ruang lingkup studi, serta disesuaikan dengan dokumen KA-ANDAL mencakup: 4.1. Dampak penting hipotetik yang akan ditelaah, meliputi kronologi proses pelingkupan yang dimulai dari identifikasi sampai akhirnya dihasilkan dampak penting hipotetik yang ditelaah; Catatan: • Kronologi proses pelingkupan lazimnya disampaikan dalam bentuk: matrik identifikasi dampak, bagan alir dampak, dan bagan alir proses pelingkupan. • Dalam hal terdapat dampak penting tambahan di luar dampak penting yang dihasilkan dari proses pelingkupan yang termaktub dalam dokumen KA-ANDAL, maka kajian terhadap dampak penting tersebut wajib disampaikan dalam dokumen ANDAL disertai dasar ilmiah dan pertimbangan bahwa terhadap dampak penting tambahan tersebut harus dilakukan kajian. 4.2. Wilayah studi dan batas waktu kajian beserta dasar ilmiah dalam penentuan wilayah studi dan batas waktu kajian tersebut. Catatan: • Batas wilayah studi ANDAL, digambarkan dalam peta dengan skala yang memadai dan sesuai dengan kaidah kartografi. • Dalam hal batas wilayah studi dan/atau batas waktu kajian mengalami perubahan sehingga tidak sesuai dengan dokumen KA-ANDAL, maka perubahan tersebut wajib dilengkapi dengan dasar ilmiah dan pertimbangannya. 5. Prakiraan dampak penting Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi aspek-aspek dalam prakiraan dampak penting, mencakup:
509
10
5.1. Analisis terhadap perbedaan antara kondisi kualitas lingkungan hidup dengan adanya usaha dan/atau kegiatan, dengan kondisi kualitas lingkungan hidup tanpa adanya usaha dan/atau kegiatan untuk masing-masing dampak penting hipotetik sesuai hasil pelingkupan dan metode yang disampaikan dalam dokumen KAANDAL; Catatan: • Dalam melakukan prakiraan besaran dampak harus memperhatikan data rona lingkungan hidup awal dan kesesuaiannya dengan metode yang disepakati dalam dokumen KA-ANDAL; • Prakiraan besaran dampak wajib dilakukan sesuai dengan batas waktu kajian yang telah ditetapkan dalam dokumen KA-ANDAL untuk masing-masing dampak penting hipotetik. 5.2. Penentuan sifat penting dampak. Penentuan sifat penting dampak harus mengacu kepada pedoman penentuan dampak penting sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Catatan: Dalam hal penentuan sifat penting dampak menggunakan tambahan kriteria lain diluar peraturan perundangan yang berlaku dan disepakati dalam dokumen KA-ANDAL, maka lakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kriteria lain tersebut digunakan dalam melakukan prakiraan sifat penting dampak. 5.3. Penyampaian mekanisme aliran dampak dari berbagai komponen lingkungan hidup, mencakup: a. Kegiatan yang menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen sosial; b. Kegiatan yang menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial; c. Kegiatan yang menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen biologi, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada komponen sosial; d. Kegiatan yang menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik-kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada komponen sosial; e. Dampak penting yang berlangsung saling berantai di antara komponen sosial itu sendiri; f. Dampak penting pada huruf a, b, c, dan d yang telah diutarakan selanjutnya menimbulkan dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan.
510
11
5.4. Alternatif rencana usaha dan/atau kegiatan. Lakukan pemeriksaan sebagaimana langkah pemeriksaan pada angka 5.1. sampai dengan 5.3. di atas untuk masing-masing alternatif. Catatan: Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tidak memiliki alternatif, maka pada bagian ini disampaikan bahwa kegiatan tersebut tidak memiliki alternatif. Pastikan bahwa metode yang digunakan sesuai dengan metode yang termaktub dalam dokumen KA-ANDAL. Bagi dampak lingkungan hidup yang akan diprakirakan menggunakan metode formal atau metode matematis, pastikan bahwa hasil perhitungan yang menggunakan metode tersebut telah dilakukan. Bagi dampak lingkungan hidup yang diprakirakan menggunakan metode analogi, pastikan bahwa dampak lingkungan hidup yang diprakirakan telah dilakukan analogi dengan dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan yang identik. Bagi dampak lingkungan hidup yang menggunakan penilaian ahli (professional judgement), pastikan bahwa dampak lingkungan hidup tersebut diprakirakan oleh orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut. 6. Evaluasi dampak penting Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi aspek-aspek yang dinilai pada evaluasi dampak penting, mencakup: 6.1. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan hidup yang diprakirakan mengalami perubahan sebagaimana dikaji dalam bab prakiraan dampak penting; Catatan: Telaahan secara holistik termasuk melakukan kajian atas dampak yang ditimbulkan akibat usaha dan/atau kegiatan yang terjadi pada ruang dan waktu yang sama. 6.2. Rekomendasi pemilihan alternatif terbaik dan dasar pertimbangan pemilihan alternatif terbaik, apabila rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatif; Catatan: Hasil kajian secara holistik dan kausatif sedapat mungkin menghasilkan pilihan yang paling rasional atas berbagai alternatif dari rencana usaha dan/atau kegiatan. 6.3. Telaahan yang digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk alternatif terbaik yang terpilih;
511
12
Catatan: Telaahan sebagai dasar pengelolaan lingkungan hidup harus disampaikan dalam bentuk ukuran efektifitas rencana pengelolaan terhadap dampak lingkungan tersebut, seperti pemenuhan baku mutu untuk dampak lingkungan hidup yang memiliki baku mutu atau ukuran minimalisasi dampak yang dapat dilakukan akibat rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. 6.4. Uraian rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan. Catatan: Penilaian kelayakan lingkungan hidup wajib didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk alternatif terbaik pada angka 6.2. dan 6.3. di atas. 7. Daftar pustaka Lakukan pemeriksaan terhadap daftar pustaka dan kesesuaiannya dengan penggunaan pustaka tersebut dalam penyusunan dokumen AMDAL, serta ketepatan penulisan sesuai dengan kaidah penulisan kepustakaan ilmiah yang mutakhir. 8. Lampiran Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan aspek-aspek dalam lampiran, mencakup: a. Keabsahan daftar biodata tim penyusun AMDAL; b. Keabsahan sertifikat kompetensi penyusunan dokumen AMDAL bagi ketua tim dengan kualifikasi sebagai ketua dan setidaknya 2 (dua) anggota tim dengan kualifikasi sebagai anggota yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi (LSK); c. Keabsahan tanda bukti registrasi kompetensi bagi lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL (konsultan AMDAL) yang diterbitkan oleh lembaga registrasi kompetensi (LRK); Catatan: Pemeriksaan untuk lampiran a, b, dan c dilakukan apabila terjadi perubahan baik anggota tim penyusun AMDAL maupun lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL (konsultan AMDAL). d. Ringkasan dasar-dasar teori, asumsi-asumsi yang digunakan, tata cara, rincian proses dan hasil perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam prakiraan besaran dan sifat penting dampak serta evaluasi dampak; e. Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian AMDAL (bagi dokumen ANDAL final); f. Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat akan disusun dokumen ANDAL, RKL dan RPL;
512
13
g. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup dan hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen ANDAL; h. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya, diagram, gambar, grafik, hasil analisis laboratorium, kuesioner, dan tabel lain yang belum tercantum dalam dokumen; i. Hal-hal lain yang dilampirkan dan dianggap perlu atau relevan (misal: keputusan perizinan, kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi dan hasil pengisian kuesioner, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat, dan lain-lain). MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
513
14
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 PANDUAN PENILAIAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) A. UJI ADMINISTRASI Periksa kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup: 1. Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel; 2. Peta atau gambar terkait antara lain: peta lokasi pengelolaan dampak penting. 3. Surat pernyataan pelaksanaan dari pemrakarsa yang berisi pernyataan kesanggupan untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani diatas kertas bermaterai (untuk dokumen RKL dan RPL final). B. UJI KUALITAS DOKUMEN 1. Uji Konsistensi Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi dampak penting (termasuk parameternya) yang akan dikelola antara dokumen ANDAL dengan dokumen RKL. Uji konsistensi juga dilakukan terhadap dampak, sumber dampak, tolok ukur, tujuan, upaya pengelolaan, lokasi, periode, dan institusi pelaksana pengelolaan lingkungan hidup. Catatan: Matrik uji konsistensi antara dampak penting dengan upaya pengelolan dampak penting terdapat dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini. 2. Uji Keharusan Lakukan pemeriksaan terhadap dampak-dampak yang dikelola untuk memastikan seluruh dampak penting telah disampaikan rencana pengelolaan lingkungan hidupnya dalam dokumen RKL. Catatan: • Pengelolaan dampak lingkungan hidup minimal yang wajib disampaikan adalah dampak lingkungan hidup primer. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila dampak lingkungan hidup primer telah dilakukan pengelolaan secara efektif, maka dampak turunannya (sekunder, tersier) telah terkelola dengan sendirinya; • Dampak primer yang memberikan banyak dampak turunan (sekunder, tersier) dikenal dengan dampak yang bersifat strategis;
514
1
•
Seluruh dampak penting wajib dilakukan pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaannya dimuat dalam dokumen RKL. Dalam hal suatu rencana usaha dan/atau kegiatan mencantumkan rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk dampak yang bersifat tidak penting, maka hal tersebut dimungkinkan.
3. Uji Kedalaman Uji kedalaman dilakukan untuk memastikan bahwa setiap metode dan/atau cara dan/atau teknik untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup terhadap dampak penting dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, dilakukan sesuai dengan kaidah pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan benar untuk kegiatan yang dimaksud. Catatan: • Uji kedalaman termasuk melakukan penilaian atas upaya pengelolaan lingkungan hidup untuk memastikan upaya tersebut dapat mengurangi atau menanggulangi dampak penting negatif dan meningkatkan dampak penting positif. • Penilaian dapat mengacu misalnya untuk kegiatan tambang pada teknik-teknik pengelolaan tambang yang baik (best mining practices), sedangkan untuk kegiatan industri pada teknik-teknis pengelolaan industri yang benar (best industrial practices). 4. Uji Relevansi Uji relevansi dilakukan untuk memastikan: • Kesesuaian antara upaya pengelolaan lingkungan hidup dengan dampak penting yang timbul; • Kesesuaian antara lokasi pengelolaan dengan lokasi timbulnya dampak; • Kesesuaian antara periode pengelolaan dengan waktu terjadinya dampak; • Ketepatan institusi yang melakukan pengawasan, institusi penerima laporan, dan dampak lingkungan hidup; C. ISI DOKUMEN 1. Pendahuluan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan pada lingkup RKL, mencakup: 1.1. Uraian tentang maksud dan tujuan dilaksanakannya RKL; 1.2. Uraian tentang kebijakan pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup; 1.3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya rencana pengelolaan lingkungan hidup. 2. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Lakukan pemeriksaaan terhadap kejelasan dan relevansi pendekatan yang digunakan dalam menangani dampak penting, mencakup:
515
2
a. Pendekatan teknologi yang digunakan untuk mengelola dampak penting lingkungan; b. Pendekatan sosial ekonomi yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi; c. Pendekatan institusi atau mekanisme yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan. Catatan: Pendekatan teknologi, sosial ekonomi dan/atau institusi dapat disampaikan untuk pengelolaan dampak lingkungan hidup yang tidak penting dan/atau dampak lingkungan hidup yang telah direncanakan upaya pengelolaannya. 3. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan informasi pada rencana pelaksanaan RKL, mencakup: 3.1. Dampak penting dan sumber dampak penting, yaitu: a. Komponen atau parameter lingkungan hidup yang akan dikelola wajib sesuai dengan dampak penting hasil kajian dalam dokumen ANDAL; b. Sumber penyebab timbulnya dampak penting yang akan dikelola wajib sesuai dengan sumber dampak penting berdasarkan hasil kajian dalam dokumen ANDAL. Catatan: Pemeriksaan pada angka 3.1 di atas dilakukan terhadap uraian singkat jenis usaha dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting, baik dampak penting sebagai akibat langsung atau tidak langsung akibat rencana usaha dan/atau kegiatan. 3.2. Tolok ukur dampak; Lakukan pemeriksaan terhadap tolok ukur dampak yang digunakan untuk mengukur komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau kegiatan. Tolok ukur dampak lazimnya didasarkan pada baku mutu standar, keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah, dan/atau telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Catatan: • Tolok ukur yang digunakan dalam dokumen RKL harus sesuai dengan tolok ukur yang disampaikan dalam dokumen ANDAL. • Tolok ukur yang digunakan merupakan ukuran untuk menilai ketaatan dan/atau efektifitas upaya pengelolaan lingkungan hidup;
516
3
•
Keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah diberlakukan terutama bagi tolok ukur yang tidak dan/atau belum ditetapkan baku mutunya.
3.3. Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan terhadap tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk memastikan bahwa tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup tersebut dapat menghilangkan dan/atau meminimalisasi dampak dari sumber dampak penting terutama yang berasal dari dampak primer. 3.4. Pengelolaan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang digunakan untuk memastikan upaya penanganan dampak lingkungan hidup yang akan timbul telah menggunakan pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan/atau institusi yang relevan. 3.5. Lokasi pengelolaan lingkungan; Lakukan pemeriksaan ketepatan rencana lokasi pengelolaan lingkungan hidup untuk memastikan rencana pengelolaan lingkungan hidup dilakukan pada sumber dampak dan/atau pada lokasi yang memungkinkan dampak yang timbul dapat dihilangkan dan/atau diminimalisasi dengan memperhatikan sifat persebaran dampak yang dikelola. Pastikan rencana lokasi pengelolaan lingkungan hidup disampaikan dalam bentuk peta, sketsa atau gambar dengan skala yang memadai dan sesuai dengan kaidah kartografi. 3.6. Periode pengelolaan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan ketepatan dan relevansi jangka waktu atau periode kegiatan pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan dengan memperhatikan: sifat dampak penting yang dikelola (lama dampak berlangsung, sifat kumulatif dampak, waktu terjadinya dampak, dan berbalik tidaknya dampak). 3.7. Keberadaan dan komitmen institusi yang terlibat dalam: a. Pelaksanaan RKL; Lakukan pemeriksaan kejelasan institusi pelaksana yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup serta penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. b. Pengawasan pelaksanaan RKL; Lakukan pemeriksaan kejelasan dan ketepatan instansi yang berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RKL; c. Pelaporan. Lakukan pemeriksaan kejelasan dan ketepatan instansi-instansi yang akan menerima laporan hasil kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
517
4
4. Daftar Pustaka Lakukan pemeriksaan terhadap daftar pustaka dan kesesuaiannya dengan penggunaan pustaka tersebut dalam penyusunan dokumen RKL, serta ketepatan penulisan sesuai dengan kaidah penulisan kepustakaan ilmiah yang mutakhir. 5. Lampiran Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan aspek-aspek dalam lampiran, mencakup: a. Ringkasan rencana pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk tabel (matrik pengelolaan lingkungan hidup meliputi: jenis dampak, sumber dampak, tolok ukur dampak, tujuan pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan institusi pengelolaan lingkungan hidup); b. Data dan informasi yang dianggap penting merujuk dari hasil studi ANDAL seperti: peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain), rancangan teknik (engineering design), matrik serta data utama yang terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
518
5
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 PANDUAN PENILAIAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL) A. UJI ADMINISTRASI Periksa kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup: 1. Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel; 2. Peta atau gambar terkait antara lain: peta lokasi pemantauan dampak penting dan peta pengambilan contoh uji untuk pemantauan dampak penting. B. UJI KUALITAS DOKUMEN 1. Uji Konsistensi Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi dampak penting (termasuk parameternya) yang akan dipantau antara dokumen ANDAL dengan dokumen RPL. Uji konsistensi juga dilakukan terhadap dampak, sumber dampak, parameter, tujuan, metode, dan institusi pelaksana pemantauan lingkungan hidup. Catatan: Matrik uji konsistensi antara dampak penting dengan upaya pemantauan dampak penting terdapat dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini. 2. Uji Keharusan Lakukan pemeriksaan terhadap dampak-dampak yang dipantau untuk memastikan seluruh dampak penting telah disampaikan rencana pemantauan lingkungan hidupnya dalam dokumen RPL. Catatan: Seluruh dampak penting wajib dilakukan pemantauan lingkungan hidup dan pemantauannya dimuat dalam dokumen RPL. Dalam hal suatu rencana usaha dan/atau kegiatan mencantumkan rencana pemantauan lingkungan hidup untuk dampak yang bersifat tidak penting, maka hal tersebut dimungkinkan. 3. Uji Kedalaman Uji kedalaman dilakukan untuk memastikan bahwa setiap metode dan/atau cara dan/atau teknik untuk melakukan pemantauan lingkungan hidup terhadap dampak penting dari suatu rencana usaha
519
1
dan/atau kegiatan, dilakukan sesuai dengan kaidah pemantauan lingkungan hidup yang baik dan benar untuk kegiatan yang dimaksud. Uji kedalaman termasuk memastikan bahwa frekuensi pemantauan untuk masing-masing dampak penting dilakukan sesuai dengan kebutuhan untuk melakukan pemantauan terhadap dampak penting tersebut. 4. Uji Relevansi Uji relevansi dilakukan untuk memastikan: • Kesesuaian antara pemantauan lingkungan hidup dengan dampak penting yang timbul, termasuk kesesuaian dampak penting yang dipantau, parameter, metode pemantauan dan frekuensinya; dan • Kesesuaian antara lokasi pemantauan dengan lokasi timbulnya dampak. C. ISI DOKUMEN 1. Pendahuluan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan pada lingkup RPL, mencakup: 1.1. Uraian tentang maksud dan tujuan dilaksanakannya RPL; 1.2. Uraian tentang kebijakan pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan dalam pemantauan lingkungan hidup; 1.3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya rencana pemantauan lingkungan hidup. 2. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan informasi pada rencana pelaksanaan RPL, mencakup: 2.1. Dampak penting yang dipantau, yaitu: a. Jenis komponen atau parameter yang dipantau; Lakukan pemeriksaan terhadap relevansi dan kejelasan antara parameter yang dipantau dengan parameter yang dikelola dalam dokumen RKL. b. Indikator dari komponen dampak penting yang dipantau Lakukan pemeriksaan terhadap indikator komponen lingkungan yang dipantau dan relevansinya dengan komponen lingkungan hidup yang dipantau. Catatan: • Indikator komponen lingkungan adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dari dampak lingkungan hidup tertentu, seperti perubahan kualitas air dapat ditunjukkan melalui biota (ikan, eceng gondok, dan/atau daphnia). • Indikator komponen lingkungan hidup dimungkinkan sama dengan parameter lingkungan hidup yang dipantau.
520
2
2.2. Sumber dampak; Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian dan kejelasan antara sumber dampak dengan dampak penting yang dipantau. 2.3. Parameter yang dipantau; Lakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian dan ketepatan parameter lingkungan yang digunakan dalam pemantauan. 2.4. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan tujuan dipantaunya dampak penting dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola, bentuk rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan dampak turunan yang ditimbulkannya. Catatan: Tujuan pemantauan lingkungan hidup adalah untuk mengetahui efektifitas pengelolaan lingkungan hidup dan perubahan kualitas lingkungan hidup akibat dampak lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 2.5. Metode pemantauan lingkungan hidup, mencakup: a. Lakukan pemeriksaan terhadap keabsahan dan kesesuaian metode pengumpulan dan analisis data, yaitu: 1) Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan dan analisis data termasuk antara lain jenis peralatan, instrumen, atau formulir isian yang digunakan; 2) Tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data dengan mengacu kepada tingkat ketelitian yang disyaratkan dalam baku mutu lingkungan hidup; 3) Tolok ukur yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang dipantau sudah sesuai dengan metode yang digunakan dalam dokumen ANDAL. b. Lokasi pemantauan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan terhadap relevansi antara lokasi pemantauan dengan sumber dampak rencana usaha dan/atau kegiatan c. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup; Lakukan pemeriksaan terhadap relevansi jangka waktu dan frekuensi per satuan waktu dari kegiatan pemantauan lingkungan yang dilaksanakan dengan memperhatikan: sifat penting dampak yang dipantau (intensitas dampak, lama dampak berlangsung, dan/atau sifat kumulatif dampak). 2.6. Keberadaan dan komitmen institusi yang terlibat dalam: a. Pelaksanaan RPL; Lakukan pemeriksaan kejelasan institusi pelaksana yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan pemantauan lingkungan hidup serta penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan hidup.
521
3
b. Pengawasan pelaksanaan RPL; Lakukan pemeriksaan kejelasan dan ketepatan instansi yang berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RPL. c. Pelaporan. Lakukan pemeriksaan kejelasan dan ketepatan instansi-instansi yang akan menerima laporan hasil kegiatan pemantauan lingkungan hidup. 3. Daftar Pustaka Lakukan pemeriksaan terhadap daftar pustaka dan kesesuaiannya dengan penggunaan pustaka tersebut dalam penyusunan dokumen RPL, serta ketepatan penulisan sesuai dengan kaidah penulisan kepustakaan ilmiah yang mutakhir. 4. Lampiran Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan kelengkapan aspek-aspek dalam lampiran, mencakup: a. Ringkasan rencana pemantauan lingkungan hidup dalam bentuk tabel (matrik pemantauan lingkungan hidup meliputi: dampak penting yang dipantau, sumber dampak, tujuan pemantauan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup yang meliputi metode pengumpulan dan analisis data, lokasi pemantauan lingkungan hidup, jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup), dan institusi pemantau lingkungan hidup); b. Data dan informasi yang dianggap penting merujuk dari hasil studi ANDAL seperti: peta-peta (lokasi pemantauan lingkungan hidup, dan lain-lain), matrik serta data utama yang terkait dengan rencana pemantauan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RPL. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
522
4
Lampiran VI Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 PANDUAN PENILAIAN RINGKASAN EKSEKUTIF (RE) A. UJI KUALITAS DOKUMEN 1. Uji Konsistensi Lakukan pemeriksaan terhadap konsistensi antara dampak penting (termasuk parameternya), pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup antara dokumen ANDAL, RKL, RPL dengan dokumen RE. 2. Uji Keharusan Lakukan pemeriksaan terhadap hal-hal penting yang dilakukan kajian dalam dokumen AMDAL, meliputi: a. Dampak penting; b. Kelayakan lingkungan hidup; c. Pengelolaan dan pemantauan dampak penting. 3. Uji Kedalaman Lakukan pemeriksaan terhadap kajian-kajian dalam dokumen RE untuk memastikan bahwa dokumen RE sudah memuat seluruh aspek-aspek penting yang ada dalam dokumen ANDAL, RKL, dan RPL. 4. Uji Relevansi Lakukan pemeriksaan terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dalam dokumen RE untuk memastikan bahwa dokumen RE sudah memuat seluruh upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang ada dalam dokumen RKL, dan RPL. B. ISI DOKUMEN 1. Pendahuluan Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi pada RE, mencakup: a. Uraian tentang latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan, meliputi: • Identifikasi latar belakang diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan; • Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan latar belakang tersebut; • Sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut; b. Uraian tentang rencana usaha dan/atau kegiatan;
523
1
c. Uraian tentang alternatif-alternatif yang dikaji dalam dokumen ANDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang memiliki alternatif atau alternatif terpilih yang diajukan untuk dilakukan kajiannya dalam penyusunan dokumen AMDAL; d. Uraian mengenai rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan hidup; e. Waktu pelaksanaan kegiatan (pra-konstruksi, konstruksi, operasi, pasca operasi); f. Identitas pemrakarsa kegiatan. 2. Dampak Penting Terhadap Lingkungan Hidup Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi dampak penting yang harus dikelola sesuai dengan hasil evaluasi dampak. 3. Upaya Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup Lakukan pemeriksaan terhadap kejelasan dan konsistensi rencana pelaksanaan pengelolaan dan pemantuan lingkungan hidup yang dibuat dalam bentuk tabel, mencakup: a. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (jenis dampak, sumber dampak, tolok ukur dampak, tujuan pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, periode pengelolaan lingkungan hidup dan institusi pengelolaan lingkungan hidup); b. Rencana pemantauan lingkungan hidup (dampak penting yang dipantau, sumber dampak, tujuan pemantauan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup (yang meliputi metode pengumpulan data, lokasi pemantauan lingkungan hidup, jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup serta metode analisis), dan institusi pemantau lingkungan hidup). MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
524
2
Lampiran VII Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 FORM UJI ADMINISTRASI DOKUMEN AMDAL NAMA DOKUMEN
:
PEMRAKARSA
:
PENYUSUN
:
A. DOKUMEN KA-ANDAL NO. 1.
2.
3.
KELENGKAPAN ADMINISTRASI Dokumen perizinan atau bukti formal yang menyatakan bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan secara prinsip dapat dilakukan.
KETERANGAN
Dokumen lengkap
Dokumen tidak lengkap Perizinan atau bukti formal yang dapat berupa surat atau dokumen yang diterbitkan oleh pejabat di instansi yang berwenang, yang menyatakan bahwa rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan secara prinsip dapat dilaksanakan pada rencana lokasi tersebut.
Dokumen lengkap
Dokumen tidak lengkap Peta-peta terkait: harus memenuhi kaidah kartografi (antara lain legenda, arah, skala, koordinat, sumber, notasi dan/atau warna) dan informatif Peta tata ruang:
Ada dan Sesuai
Tidak ada Peta tata guna lahan:
Ada dan sesuai
Tidak ada Peta wilayah studi (batas proyek, batas ekologis, batas sosial, batas administrasi, batas wilayah studi):
Ada dan sesuai
Tidak ada
525
1
Peta pengambilan contoh uji (sampling):
Ada dan sesuai
Tidak ada Peta rencana lokasi:
Ada dan sesuai
Tidak ada Peta geologi:
Ada dan sesuai
Tidak ada Peta topografi (darat) atau batimetri (laut)
Ada dan sesuai
Tidak ada Peta-peta lain yang terkait
Ada dan sesuai
Tidak ada
4.
5.
6.
7.
Catatan: Peta yang disampaikan harus sesuai dengan kebutuhan rencana usaha dan/atau kegiatan Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL sudah terdapat bukti dokumentasi pengumuman yang menjadi kewajiban pemrakarsa sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses AMDAL?
Ada
Tidak ada Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL sudah terdapat bukti telah dilakukannya konsultasi dan/atau diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (masyarakat berkepentingan)?
Ada
Tidak ada Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL terdapat tanda bukti registrasi kompetensi lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL yang sah dan diterbitkan oleh lembaga registrasi kompetensi (LRK)?
Ada
Tidak ada Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL terdapat tanda bukti persyaratan sertifikasi kompetensi ketua dan anggota tim penyusun dokumen AMDAL yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku?
526
2
Ada
Tidak ada
8.
Catatan: Dalam setiap tim penyusun dokumen AMDAL wajib diketuai oleh 1 (satu) orang dengan sertifikat kompetensi berkualifikasi ketua tim, dan 2 (dua) orang anggota tim dengan sertifikat kompetensi berkualifikasi ketua dan/atau anggota tim. Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL terdapat: 1. daftar riwayat hidup (ijazah terakhir dan riwayat pekerjaan yang terkait dengan AMDAL)
Ada
Tidak ada 2. surat pernyataan yang menyatakan bahwa ketua dan masing-masing anggota tim benar-benar menyusun dokumen AMDAL dimaksud yang ditandatangani di atas kertas bermaterai?
9.
Ada
Tidak ada Apakah di dalam dokumen KA-ANDAL terdapat BAB: a. PENDAHULUAN
Ada
Tidak ada b. RUANG LINGKUP STUDI
Ada
Tidak ada c. METODE STUDI
Ada
Tidak ada d. PELAKSANA STUDI
Ada
Tidak ada e. DAFTAR PUSTAKA
Ada
Tidak ada f. LAMPIRAN
Ada
Tidak ada
527
3
10.
11.
Apakah dalam dokumen KA-ANDAL terdapat penjelasan proses pelingkupan
Ada
Tidak ada Foto-foto rona lingkungan hidup yang dapat menggambarkan tapak proyek
Ada
Tidak ada Catatan: Foto-foto ini tidak wajib, namun dapat disertakan sesuai dengan kebutuhan
B. DOKUMEN ANDAL, RKL dan RPL NO.
KELENGKAPAN ADMINISTRASI
KETERANGAN
1. Dokumen/SK KA-ANDAL yang telah disetujui
Ada
Tidak ada 2. Dokumen ANDAL dilengkapi dengan dokumen RKL, RPL, Ringkasan Eksekutif (termasuk lampiran)
Ada
Tidak ada 3. Ringkasan dasar-dasar teori, asumsi-asumsi yang digunakan, tata cara, rincian proses dan hasil perhitungan yang digunakan dalam prakiraan dampak, sifat penting dampak dan evaluasi dampak
Ada
Tidak ada Catatan; Ringkasan dan rincian perhitungan dimaksud disesuaikan dengan kajian terhadap dampak penting hipotetik yang dilakukan 4. Foto-foto rona lingkungan hidup yang dapat menggambarkan tapak proyek
Ada
Tidak ada Catatan: Foto-foto ini tidak wajib, namun dapat disertakan sesuai dengan kebutuhan
528
4
5. Diagram, peta, gambar, grafik, hasil analisis laboratorium, data hasil kuesioner (ANDAL)
Ada
Tidak ada Catatan; Disesuaikan dengan kebutuhan 6. Apakah di dalam dokumen ANDAL terdapat BAB: a. PENDAHULUAN
Ada
Tidak ada b. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
Ada
Tidak ada c. RONA LINGKUNGAN AWAL
Ada
Tidak ada d. RUANG LINGKUP STUDI
Ada
Tidak ada e. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING
Ada
Tidak ada f. EVALUASI DAMPAK PENTING
Ada
Tidak ada g. DAFTAR PUSTAKA
Ada
Tidak ada h. LAMPIRAN
Ada
Tidak ada Abstraksi
Ada
Tidak ada 7. Apakah di dalam dokumen RKL terdapat BAB: a. PENDAHULUAN
Ada
Tidak ada b. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
529
5
Ada
Tidak ada c. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Ada
Tidak ada d. LAMPIRAN
Ada
Tidak ada 8. Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel
Ada
Tidak ada 9. Peta-peta (lokasi pengelolaan, dll)
Ada
Tidak ada 10. Apakah di dalam dokumen RPL terdapat BAB: a. PENDAHULUAN
Ada
Tidak ada b. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Ada
Tidak ada c. DAFTAR PUSTAKA
Ada
Tidak ada d. LAMPIRAN
Ada
Tidak ada 11. Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel
Ada
Tidak ada 12. Peta-peta (lokasi pemantauan, peta-peta yang mendukung lainnya)
Ada
Tidak ada MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
530
6
Lampiran VIII Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 24 Tahun 2009 Tanggal : 3 Juli 2009 A. MATRIK UJI KONSISTENSI DOKUMEN KA-ANDAL NAMA KEGIATAN/PROYEK PEMRAKARSA PENILAI & INSTANSI
: : :
[CONTOH PENGISIAN] NO.
1.
PARAMETER YANG DIKAJI/ DATA YANG DIBUTUHKAN
DAMPAK PENTING HIPOTETIK
METODE PENGUMPULAN DATA
METODE ANALISIS DATA
METODE PRAKIRAAN BESARAN DAMPAK
METODE PRAKIRAAN SIFAT PENTING DAMPAK
METODE EVALUASI
[Dipetik dari Bab Ruang Lingkup Studi Dokumen KA sub bab 2.3. Pelingkupan]
[Dapat dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data, jika ada]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.2. Metode Prakiraan Dampak]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.2. Metode Prakiraan Dampak]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.3. Metode Evaluasi Dampak]
[Halaman II-37]
a.
[Halaman III-7]
[Halaman III-17]
[Halaman III-24]
[Halaman III-32]
[Halaman III-46]
Penurunan kualitas air sungai akibat pembuangan limbah cair dari industri kelapa sawit
-
SNI 6989.57:2008 (untuk semua parameter tersebut)
SNI 06-2530-1991 SNI 06-6989.152004 SNI 06-6989.032004 SNI 06-6989.102004 SNI 06-6989.112004
Rumus pengenceran:
6 kriteria dampak penting
Matrik Leopold yang dimodifikasi
Kualitas air sungai untuk parameter: BOD5, COD, TSS, Minyak dan Lemak, pH
Data sekunder atau
V1C1 = V2C2
Catatan: Indeks besaran dan sifat penting dampak (magnitude and importance) yang digunakan
1
531
b. Data terkait sungai - Panjang, lebar & kedalaman - Kecepatan arus - Debit, dll c.
2.
[Dipetik dari Bab Ruang Lingkup Studi Dokumen KA sub bab 2.3. Pelingkupan]
[Halaman II-37] Penurunan kualitas udara ambient akibat pembakaran cangkang kosong dari industri kelapa sawit Catatan: Dalam dokumen tidak jelas paramater emisi akibat pembakaran cangkang kosong
Volume limbah cair kelapa sawit yang akan dibuang ke sungai [Diperiksa pada Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data, jika ada]
dalam matriks Leopold termodifikasi harus dinyatakan secara jelas berikut landasan ilmiahnya
primer
Data sekunder dari hasil studi kelayakan teknis
[Diperiksa pada Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data]
[Diperiksa pada Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.2. Metode Prakiraan Dampak]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.2. Metode Prakiraan Dampak]
[Dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.3. Metode Evaluasi Dampak]
Kualitas udara ambient untuk parameter: - debu, - SOx, - NOx.
Tidak disebutkan parameter atau data yang dikumpulkan, dan metode pengumpulan data
Tidak disebutkan parameter atau data yang dianalisis, dan metode analisis data
[Halaman III-27]
[Halaman III-32]
[Halaman III-46]
Metode Gaussian untuk memprediksi persebaran emisi
6 kriteria dampak penting
Matrik Leopold yang dimodifikasi
b. Data terkait angin - Arah angin - Kecepatan angin - Kelembaban, dll
Tidak dijelaskan parameter atau data yang akan dikumpulkan, sumber data, dan metode pengumpulan data
c.
Tidak dijelaskan parameter atau data yang akan dikumpulkan, sumber data, dan metode pengumpulan data
a.
Kecepatan dan konsentrasi pencemar yang akan diemisikan dari pembakaran cangkang kosong dari industri kelapa sawit
2
532
Catatan: Parameter dan data tersebut di atas tidak termaktub dalam dokumen
3.
...
Catatan:
Apabila dalam dokumen tidak ditemukan aspek yang dievaluasi/dinilai, maka dalam kolom tersebut diberikan uraian bahwa aspek tersebut tidak ada, tidak relevan, tidak memadai atau uraian yang menjelaskan kekurangan atau hal yang harus dilengkapi atas dokumen yang dievaluasi/dinilai.
3
533
B. MATRIK UJI KONSISTENSI DOKUMEN AMDAL (ANDAL, RKL, RPL) NAMA KEGIATAN/PROYEK PEMRAKARSA PENILAI & INSTANSI
: : :
[CONTOH PENGISIAN] ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL) NO.
1.
DAMPAK PENTING HIPOTETIK
PARAMETER YANG DIKAJI/ DATA YANG DIBUTUHKAN
METODE PRAKIRAAN DAMPAK [BESARAN & SIFAT PENTING]
RONA LINGKUNGAN AWAL
RENCANA PENGELOLAAN
PRAKIRAAN DAMPAK BESARAN DAMPAK
SIFAT PENTING DAMPAK
EVALUASI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP
(RKL)
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
(RPL)
[Dipetik dari Bab Ruang Lingkup Studi Dokumen ANDAL sub bab 4.1. Dampak Penting yang ditelaah]
[Dapat dipetik dari Bab Metode Studi Dokumen KA sub bab 3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data, jika ada]
[Diperiksa dalam lampiran ANDAL. Kolom ini dapat diisi dengan format uji konsistensi KA-ANDAL]
[Dapat dipetik dari Bab Rona Lingkungan Hidup Dokumen ANDAL, jika ada]
[Dipetik dari Bab Prakiraan Dampak Dokumen ANDAL]
[Dipetik dari Bab Prakiraan Dampak Dokumen ANDAL]
[Dipetik dari Bab Evaluasi Dampak Dokumen ANDAL]
[Dipetik dari Bab Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Dokumen RKL]
[Dipetik dari Bab Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Dokumen RKL]
[Halaman IV-7]
a.
[Lampiran 3]
[Halaman III-10] a. Kualitas air sungai untuk parameter: - BOD5, [4,1 ppm] - COD, [32 ppm] - TSS, [299 ppm] - Minyak dan Lemak, [nihil] - pH [6,6]
[Halaman V-12]
[Halaman V-14]
[Halaman VI-15]
[Halaman III-7]
[Halaman II-7]
Dalam prakiraan besaran dampak disampaikan perubahan kualitas air sungai: - BOD5,[4,1 Æ5,7 ppm] - COD, [152 Æ 174 ppm] - TSS, [299 Æ
Dalam dokumen hanya disebutkan dampak bersifat penting, tanpa ada penjelasan dan justifikasi dasar penetapan pentingnya dampak tersebut.
Evaluasi dampak menggunakan matrik Leopold yang dimodifikasi, tetapi tidak dijelaskan sumber angkaangka indeks yang digunakan dalam matrik
Pengelolaan limbah cair operasi pabrik pengolahan kelapa sawit akan dilakukan dengan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) sesuai dengan baku mutu
Pemantauan akan dilakukan di hulu dan di hilir titik pembuangan air limbah dan pada outlet pembuangan limbah cair di sungai untuk parameter: - BOD5,
Penurunan kualitas air sungai akibat pembuangan limbah cair dari industri kelapa sawit
-
Kualitas air sungai untuk parameter: BOD5, COD, TSS, Minyak dan Lemak, pH
Dalam lampiran disampaikan metode prakiraan besaran dampak menggunakan rumus pengenceran V1N1 = V2N2, dan prakiraan sifat penting dampak
4
534
menggunakan 6 kriteria dampak penting Data terkait sungai - Panjang, lebar & kedalaman - Kecepatan arus - Debit, dll
b.
c.
c.
b.
Volume limbah cair kelapa sawit yang akan dibuang ke sungai
Data terkait sungai
Data fisik sungai tidak ada Volume limbah cair kelapa sawit yang akan dibuang ke sungai
Data proyeksi volume limbah cair tidak ada
313 ppm] - Minyak dan Lemak, [nihil Æ 0,07 ppm] - pH [6,6 Æ 6,6] Prakiraan besaran dampak tidak menggunakan prinsip prakiraan besaran dampak, yaitu membandingkan perubahan kualitas lingkungan dengan dan tanpa proyek (with vs without project).
tersebut. Dalam dokumen hanya diberikan penjelasan bahwa besaran dampak dibagi menjadi kecil = 1, sedang = 3, besar = 5, dan tidak penting = 1, penting sedang = 3, sangat penting = 5.
pengelolaan limbah cair untuk industri kelapa sawit.
- COD, - TSS, - Minyak dan Lemak, - pH Pemantauan dilakukan sebulan 1 (satu) kali. Peta dan titik pemantauan terlampir. Catatan: Dalam dokumen tidak disebutkan parameter biologis yang dipantau, sedangkan ini penting untuk memantau perubahan kualitas air sungai.
2. 3. 4.
Catatan: Contoh di atas adalah hasil penilaian terhadap contoh dokumen ANDAL, RKL dan RPL yang tidak konsisten dan tidak menyampaikan landasan ilmiah untuk menentukan besaran dan sifat penting dampak serta nilai indeks yang digunakan dalam melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan metode matriks.
5
535
C. KESIMPULAN HASIL PENILAIAN ATAS DOKUMEN ANDAL, RKL DAN RPL NAMA DOKUMEN NAMA PEMRAKARSA KOMISI PENILAI KONSULTAN PENYUSUN TIM PENYUSUN Ketua Tim : Anggota :
DAMPAK PENTING HIPOTETIK: KOMENTAR:
METODOLOGI: KOMENTAR:
PRAKIRAAN DAMPAK: 1. Apakah kajian besaran dan sifat penting dampak terdapat dalam Bab Prakiraan Dampak?
Ya
Tidak
Catatan: Prakiraan besaran dan sifat penting dampak wajib dilakukan dalam Bab Prakiraan Dampak.
536
6
2. Apakah kajian besaran dampak membandingkan antara besaran dampak dengan dan tanpa proyek (with and without project)?
Ya
Tidak
Catatan: Prakiraan besaran dengan membandingkan antara besaran dampak dengan dan tanpa proyek merupakan PRINSIP PRAKIRAAN BESARAN DAMPAK dalam AMDAL. 3. Apakah dalam menentukan sifat penting dampak ♦ Menggunakan Kep-BAPEDAL No.056/1994 atau PP 27/1999 dalam Bab Prakiraan Dampak? ♦ Menggunakan kriteria lain selain Kep-BAPEDAL No.056/1994 atau PP 27/1999 dalam Bab Prakiraan Dampak?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Catatan: Prakiraan Sifat Penting Dampak wajib dilakukan dalam Bab Prakiraan Dampak. KOMENTAR:
EVALUASI DAMPAK 1. Apakah evaluasi dampak bersifat holistik?
Tidak
Ya
2. Apakah terdapat Arahan Kelayakan Lingkungan Hidup?
Ya
Tidak
3. Apakah terdapat Arahan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
Ya
Tidak
4. Apakah terdapat Arahan Pemantauan Lingkungan Hidup?
Ya
Tidak
KOMENTAR:
537
7
RKL: 1. Apakah semua dampak penting (atau bersifat strategis) dikelola?
Ya
Tidak
2. Apakah pengelolaan lingkungan hidup menggunakan 3 pendekatan (teknologi, sosial-ekonomi, institusional)?
Ya
Tidak
3. Apakah semua dampak yang dikelola memiliki tolok ukur pengelolaan dampak?
Ya
Tidak
4. Apakah upaya pengelolaan dampak dinyatakan secara jelas?
Ya
Tidak
5. Apakah lokasi, periode, biaya, pelaksanaan dan pengawas upaya pengelolaan dampak dinyatakan secara jelas?
Ya
Tidak
KOMENTAR:
RPL: 1. Apakah semua dampak penting dipantau?
Ya
Tidak
2. Apakah semua komponen/parameter yang dipantau dinyatakan secara jelas?
Ya
Tidak
3. Apakah metode dan cara pemantauan merujuk pada metode/cara pemantauan sesuai peraturan yang berlaku atau standar?
Ya
Tidak
4. Apakah metode dan cara pemantauan dampak dinyatakan secara jelas?
Ya
Tidak
5. Apakah lokasi, jangka waktu, frekuensi dan pelaksana pemantauan dampak dinyatakan secara jelas?
Ya
Tidak
KOMENTAR:
538
8
KONSISTENSI: KOMENTAR:
KETERANGAN (HASIL PENILAIAN KESELURUHAN/KELAYAKAN LINGKUNGAN):
Catatan: Kolom pertanyaan berikut ini digunakan apabila rencana usaha dan/atau kegiatan memiliki alternatif Jika AMDAL disusun sebagai bagian dari Studi Kelayakan: 1. Apakah terdapat alternatif-alternatif KETERANGAN:
2. Apakah Prakiraan Dampak dilakukan untuk setiap alternatif lokasi/proses produksi/teknologi? KETERANGAN:
539
9
3. Apakah Evaluasi Dampak dilakukan dengan membandingkan setiap alternatif lokasi/proses produksi/teknologi?
Ya
Tidak
KETERANGAN:
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
540
10
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup Dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 2. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
541
melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL. 3. Pemrakarsa adalah penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. 4. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah kepala instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. 5. Kepala instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi. 6. Deputi Menteri adalah Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang amdal. 7. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal wajib memiliki UKL-UPL. (2) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat SPPL. Pasal 3 (1) Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL atau SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota berdasarkan hasil penapisan. (2) Penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan pedoman penapisan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) UKL-UPL disusun oleh pemrakarsa sesuai dengan format penyusunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. (2) SPPL disusun oleh pemrakarsa sesuai dengan format penyusunan sebagaimana tercatum dalam Lampiran III. (3) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 Pemrakarsa mengajukan UKL-UPL atau SPPL kepada: a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota;
542
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi: 1. lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; 2. di lintas kabupaten/kota; dan/atau 3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota; atau c. Deputi Menteri, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi: 1. lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi; 2. di wilayah sengketa dengan negara lain; 3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau 4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain. Pasal 6 (1) Pemrakarsa mengajukan UKL-UPL atau SPPL kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan UKL-UPL atau SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemrakarsa yang telah memenuhi format penyusunan UKL-UPL atau SPPL. (3) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri setelah menerima UKLUPL atau SPPL yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pemeriksaan UKL-UPL atau pemeriksaan SPPL yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani pemeriksaan UKL-UPL atau pemeriksaan SPPL. Pasal 7 (1) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri wajib: a. melakukan pemeriksaan UKL-UPL berkoordinasi dengan instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dan menerbitkan rekomendasi UKL-UPL paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya UKL-UPL; atau b. melakukan pemeriksaan SPPL dan memberikan persetujuan SPPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya SPPL.
543
(2) Dalam hal terdapat kekurangan data dan/atau informasi dalam UKLUPL atau SPPL serta memerlukan tambahan dan/atau perbaikan, pemrakarsa wajib menyempurnakan dan/atau melengkapinya sesuai hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri wajib: a. menerbitkan rekomendasi UKL-UPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya UKL-UPL yang telah disempurnakan oleh pemrakarsa; atau b. memberikan persetujuan SPPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya SPPL yang telah disempurnakan oleh pemrakarsa. (4) Dalam hal kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri tidak melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak menerbitkan rekomendasi UKL-UPL atau persetujuan SPPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), UKL-UPL atau SPPL yang diajukan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dianggap telah diperiksa dan disahkan oleh kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri. (5) Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diterbitkan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 8 (1) Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a digunakan sebagai dasar untuk: a. memperoleh izin lingkungan; dan b. melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Pejabat pemberi izin wajib mencantumkan persyaratan dan kewajiban dalam rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam izin lingkungan. Pasal 9 (1) Biaya penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL atau SPPL dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. (2) Biaya administrasi dan persuratan, pengadaaan peralatan kantor untuk menunjang proses pelaksanaan pemeriksaan UKL-UPL atau SPPL, penerbitan rekomendasi UKL-UPL atau persetujuan SPPL, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, dibebankan kepada: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pemeriksaan UKLUPL atau persetujuan SPPL yang dilakukan di Kementerian Lingkungan Hidup; atau 544
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pemeriksaan UKLUPL atau persetujuan SPPL yang dilakukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. Pasal 10 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2010 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 231 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
545
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010
PANDUAN PENAPISAN JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP I. Pendahuluan Penapisan terhadap jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) perlu dilakukan mengingat besarnya rentang jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal, wajib memiliki UKL-UPL. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur pula bahwa usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKLUPL, wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL). Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan SPPL diatur dengan peraturan Menteri. Secara skematik, pembagian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1
546
USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB AMDAL
Batas amdal
USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB UKL-UPL Batas UKL-UPL SPPL Gambar 1. Skema pembagian amdal, UKL-UPL dan SPPL Skema tersebut di atas dalam pelaksanaannya berbeda-beda untuk setiap daerah sehingga menimbulkan perbedaan pembebanan tanggung jawab bagi pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan untuk daerah yang berbeda walaupun jenis usaha dan/atau kegiatannya adalah sama. Untuk menjamin bahwa UKL-UPL dilakukan secara tepat, maka perlu dilakukan penapisan untuk menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKLUPL. Adapun usaha dan/atau kegiatan di luar daftar jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL dapat langsung diperintahkan melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai prosedur operasional standar (POS) yang tersedia bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, dan melengkapi diri dengan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL). Disamping itu, mekanisme perizinan telah berkembang ke arah lebih sempurna, sehingga dengan kondisi tersebut beban kajian lingkungan dapat didorong untuk dapat menjadi bagian langsung dari mekanisme penerbitan izin. Sebagai contoh, dalam setiap pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) telah termaktub kewajiban pemrakarsa untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup antara lain: wajib membuat 547
sumur resapan, berjarak tertentu dari batas daerah milik jalan (DAMIJA), dan lain-lain. UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan. II. Langkah dan kriteria penapisan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL Penapisan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL dilakukan dengan langkah berikut: LANGKAH PERTAMA
1. Pastikan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak termasuk dalam jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal. a. Pastikan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak termasuk dalam daftar jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal, baik yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup atau keputusan bupati/walikota sesuai kaidah penetapan wajib amdal; Catatan: Bupati/walikota atau Gubernur DKI Jakarta atas pertimbangan ilmiah dapat menetapkan suatu jenis usaha dan/atau kegiatan menjadi wajib amdal atas pertimbangan daya dukung, daya tampung dan serta tipologi ekosistem setempat menjadi lebih ketat dari daftar jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal dalam peraturan Menteri. b. Pastikan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak berlokasi di kawasan lindung; 548
Catatan: Usaha dan/atau kegiatan yang berbatasan dan/atau berlokasi di kawasan lindung wajib dilengkapi amdal. c. Pastikan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak berlokasi di lokasi yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan/atau rencana tata ruang kawasan setempat. Catatan: Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi tidak sesuai tata ruang wajib ditolak. LANGKAH KEDUA
2. Pastikan bahwa potensi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan telah tersedia teknologi untuk menanggulangi dampak tersebut. Catatan: Jika tidak tersedia teknologi penanganan dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, maka kemungkinan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib dilengkapi amdal.
LANGKAH KETIGA
3. Periksa peraturan yang ditetapkan oleh menteri departemen sektoral atau kepala lembaga pemerintah non departemen (LPND) tentang jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL untuk ditetapkan menjadi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL. Catatan: ! Dalam hal menteri departemen sektoral atau kepala lembaga pemerintah non departemen (LPND) belum menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL, maka lakukan penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL sebagaimana langkah keempat dan langkah kelima. ! Dalam hal menteri departemen sektoral atau kepala lembaga pemerintah non departemen (LPND) telah menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL tetapi tidak dilengkapi dengan skala/besaran, atau skala/besarannya ditentukan tetapi tidak ditentukan batas bawahnya, maka lakukan penetapan jenis 549
!
LANGKAH KEEMPAT
usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL sebagaimana langkah keempat dan langkah kelima. Dalam hal terjadi perubahan terhadap peraturan yang ditetapkan oleh menteri departemen sektoral atau kepala lembaga pemerintah non departemen (LPND) tentang jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL, maka ketentuan dalam langkah ketiga ini wajib mengikuti peraturan yang mengalami perubahan tersebut.
4. Lakukan penapisan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut untuk memastikan bahwa dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut memerlukan UKL-UPL atau SPPL dengan menjawab pertanyaan berikut: Apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan memberikan dampak terhadap lingkungan hidup dan memerlukan UKL-UPL berdasarkan kriteria berikut: ! Jenis kegiatan ! Skala/besaran/ukuran ! k Kapasitas produksi
Ya/Tidak Jelaskan!
! Luasan lahan yang dimanfaatkan ! Limbah dan/atau cemaran dan/atau dampak lingkungan ! Teknologi yang tersedia dan/atau digunakan ! Jumlah komponen lingkungan hidup terkena dampak ! Besaran investasi ! Terkonsentrasi atau tidaknya kegiatan ! Jumlah tenaga kerja ! Aspek sosial kegiatan Apabila diberikan jawaban "Ya" pada salah satu
550
kriteria tersebut, maka diindikasikan kegiatan tersebut wajib dilengkapi dengan UKL-UPL. LANGKAH KELIMA
5. Tetapkan jenis dan skala/besaran rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib dilengkapi dengan UKL-UPL atau surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL). Catatan: Pemerintah daerah dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL di luar jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKLUPL yang ditetapkan oleh menteri departemen sektoral atau kepala lembaga pemerintah non departemen (LPND).
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
551
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010 FORMAT PENYUSUNAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (UKL-UPL) UKL-UPL minimal berisi hal-hal sebagai berikut: I.
IDENTITAS PEMRAKARSA 1. 2. 3.
Nama perusahaan Nama pemrakarsa Alamat kantor, nomor telepon/fax
: ________________________________ : ________________________________ : ________________________________
II. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN 1. 2.
Nama rencana usaha dan/atau kegiatan Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
: ___________________________________ : ___________________________________
Keterangan: Tuliskan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain: nama jalan, desa, kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi tempat akan dilakukannya rencana usahan dan/atau kegiatan. Untuk kegiatan-kegiatan yang mempunyai skala usaha dan/atau kegiatan besar, seperti kegiatan pertambangan, perlu dilengkapi dengan peta lokasi kegiatan dengan skala yang memadai (1:50.000 bila ada) dan letak lokasi berdasarkan Garis Lintang dan Garis Bujur.
3.
Skala usaha dan/atau Kegiatan
: _______________________ (satuan)
Keterangan: Tuliskan ukuran luasan dan atau panjang dan/atau volume dan/atau kapasitas atau besaran lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang skala kegiatan. Sebagai contoh antara lain: 1. Bidang Industri: jenis dan kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan penolong, jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air 552 1
2. Bidang Pertambangan: luas lahan, cadangan dan kualitas bahan tambang, panjang dan luas lintasan uji seismik dan jumlah bahan peledak 3. Bidang Perhubungan: luas, panjang dan volume fasilitas perhubungan yang akan dibangun, kedalaman tambatan dan bobot kapal sandar dan ukuran-ukuran lain yang sesuai dengan bidang perhubungan 4. Pertanian: luas rencana usaha dan/atau kegiatan, kapasitas unit pengolahan, jumlah bahan baku dan penolong, jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air 5. Bidang Pariwisata: luas lahan yang digunakan, luas fasiltas pariwisata yang akan dibangun, jumlah kamar, jumlah mesin laundry, jumlah hole, kapasitas tempat duduk tempat hiburan dan jumlah kursi restoran 4.
Garis Besar Komponen Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Tuliskan komponen-komponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang diyakini akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Teknik penulisan dapat menggunakan uraian kegiatan pada setiap tahap pelaksanaan proyek, yakni tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi atau dengan menguraikan komponen kegiatan berdasarkan proses mulai dari penanganan bahan baku, proses produksi, sampai dengan penanganan pasca produksi. Contoh: Kegiatan Peternakan Tahap Prakonstruksi : a. Pembebasan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan yang dibebaskan dan status tanah). b. dan lain lain…… Tahap Konstruksi: a. Pembukaan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan, dan tehnik pembukaan lahan). b. Pembangunan kandang, kantor dan mess karyawan (jelaskan luasan bangunan). c. dan lain-lain….. Tahap Operasi: a. Pemasukan ternak (tuliskan jumlah ternak yang akan dimasukkan). b. Pemeliharaan ternak (jelaskan tahap-tahap pemeliharaan ternak yang menimbulkan limbah, atau dampak terhadap lingkungan
553 2
hidup). c. dan lain-lain… (Catatan: Khusus untuk usaha dan/atau kegiatan yang berskala besar, seperti antara lain: industri kertas, tekstil dan sebagainya, lampirkan pula diagram alir proses yang disertai dengan keterangan keseimbangan bahan dan air (mass balance dan water balance)) III. DAMPAK LINGKUNGAN YANG AKAN TERJADI. Uraikan secara singkat dan jelas mengenai: 1. kegiatan yang menjadi sumber dampak terhadap lingkungan hidup; 2. jenis dampak lingkungan hidup yang terjadi; 3. ukuran yang menyatakan besaran dampak; dan 4. hal-hal lain yang perlu disampaikan untuk menjelaskan dampak lingkungan yang akan terjadi terhadap lingkungan hidup. 5. ringkasan dampak dalam bentuk tabulasi seperti di bawah ini: SUMBER DAMPAK
JENIS DAMPAK
BESARAN DAMPAK
KETERANGAN (Tuliskan informasi lain yang perlu disampaikan untuk menjelaskan dampak lingkungan yang akan terjadi)
(Tuliskan kegiatan yang menghasilkan dampak terhadap lingkungan)
(Tuliskan dampak yang mungkin terjadi)
(Tuliskan ukuran yang dapat menyatakan besaran dampak)
Contoh:
Contoh:
Contoh:
1. Limbah cair
Terjadinya penurunan kualitas air Sungai XYZ akibat pembuangan limbah cair
Limbah cair yang dihasilkan adalah 50 liter/hari.
2. Limbah padat (kotoran)
Terjadinya penurunan kualitas air Sungai XYZ akibat pembuangan limbah padat
Limbah padat yang dihasilkan adalah 1,2
Kegiatan Peternakan pada tahap operasi Pemeliharaan ternak menimbulkan limbah berupa :
3.
Limbah gas akibat pembakaran sisa makanan ternak
3
m /minggu.
Penurunan kualitas udara akibat pembakaran
554 3
IV. PROGRAM PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP Uraikan secara singkat dan jelas: 1. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencegah dan mengelola dampak termasuk upaya untuk menangani dan menanggulangi keadaan darurat; 2. Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas pengelolaan dampak dan ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup; 3. Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur efektifitas pengelolaan lingkungan hidup dan ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup. V. TANDA TANGAN DAN CAP Setelah UKL-UPL disusun dengan lengkap, pemrakarsa wajib menandatangani dan membubuhkan cap usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
555 4
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010
FORMAT SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (SPPL) Kami yang bertanda tangan di bawah ini: ! Nama : ............................................................................ ! Jabatan : ............................................................................ ! Alamat : ............................................................................ ! Nomor Telp. : ............................................................................ Selaku penanggung jawab atas pengelolaan lingkungan dari: ! Nama perusahaan/Usaha : ......................................................... ! Alamat perusahaan/usaha : ......................................................... ! Nomor telp. Perusahaan : ......................................................... ! Jenis Usaha/sifat usaha : ......................................................... ! Kapasitas Produksi : ......................................................... ! Perizinan yang dimiliki : ......................................................... ! Keperluan : ......................................................... ! Besarnya modal : ......................................................... Dengan ini menyatakan bahwa kami sanggup untuk: 1. Melaksanakan ketertiban umum dan senantiasa membina hubungan baik dengan tetangga sekitar. 2. Menjaga kesehatan, kebersihan dan keindahan di lingkungan usaha. 3. Bertanggung jawab terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut. 4. Bersedia dipantau dampak lingkungan dari usaha dan/atau kegiatannya oleh pejabat yang berwenang. 5. Menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup di lokasi dan disekitar tempat usaha dan/atau kegiatan. 6. Apabila kami lalai untuk melaksanakan pernyataan pada angka 1 sampai angka 5 di atas, kami bersedia bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keterangan: a. Dampak lingkungan yang terjadi: 1. 2. 3. 4. 5. dst.
556
b. Pengelolaan dampak lingkungan yang dilakukan: 1. 2. 3. 4. 5. dst. SPPL ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan berakhirnya usaha dan/atau kegiatan atau mengalami perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Tanggal, Bulan, Tahun Yang menyatakan,
Menyetujui, Kepala Instansi Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten/Kota
Materai Rp. 6.000,Tanda tangan Cap perusahaan
NAMA (..................................................)
NAMA (..................................................)
NIP. Catatan: Contoh format di atas merupakan format minimum dan dapat dikembangkan.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
557
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010
FORMAT SURAT REKOMENDASI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (UKL-UPL) OLEH INSTANSI LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA kota, tanggal, bulan, tahun Nomor : Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Rekomendasi atas UKL-UPL Kegiatan ....................... oleh PT. ........................ di .................................
Kepada Yth. Direktur/Manager/Lainnya PT. ................ di Tempat
Menindaklanjuti surat Saudara Nomor ........................... tertanggal ..... perihal penyampaian Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) untuk kegiatan ..................., bersama ini diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi teknis yang telah dilakukan, maka terhadap UKL-UPL untuk kegiatan ................ tersebut secara teknis dapat disetujui. UKL-UPL yang telah disetujui merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari surat rekomendasi ini dan menjadi acuan bagi penanggung jawab kegiatan dalam menjalankan kegiatannya dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila terjadi pemindahan lokasi kegiatan, desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong atas usaha dan/atau kegiatan, terjadi bencana alam dan/atau lainnya yang menyebabkan perubahan lingkungan yang sangat mendasar baik sebelum maupun saat pelaksanaan kegiatan, maka penanggung jawab kegiatan wajib menyusun UKL-UPL atau AMDAL baru sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penanggung jawab PT........... wajib melakukan seluruh ketentuan yang termaktub dalam UKL-UPL dan bertanggungjawab sepenuhnya atas pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan dari kegiatan ....................
558 1
Penanggung jawab PT.......... wajib melaporkan pelaksanaan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam UKL-UPL tersebut kepada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ............... dan instansiinstansi sektor terkait (termasuk instansi pemberi izin) setiap ..... bulan sekali terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat rekomendasi ini. Selanjutnya Bupati/Walikota ..................., Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ......................., Kepala Instansi Sektor A .........., Kepala Instansi Sektor B, Kepala Instansi Sektor dst...... melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang wajib dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan yang tercantum dalam perizinan sebagaimana dimaksud. Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota .........................
.................................................... Tembusan Yth.: 1. Kepala Instansi Sektor A; 2. Kepala Instansi Sektor B; 3. Kepala Instansi dsb; 4. dst. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
559 2
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TETAPI BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun; b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
560
140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TETAPI BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Dokumen lingkungan hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan. 3. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DELH, adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal.
561
4. Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DPLH, adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL. 5. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah kepala instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. 6. Kepala instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi. 7. Deputi Menteri adalah Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang amdal. 8. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. BAB II TATA LAKSANA DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Bagian Pertama Kriteria Pasal 2 (1) DELH atau DPLH wajib disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria: a. telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; b. telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; c. lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan; dan d. tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun paling lama tanggal 3 Oktober 2011. (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta bantuan kepada konsultan dalam penyusunan DELH atau DPLH.
562
(4) Penyusunan DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata laksana sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedua Persyaratan Penyusunan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup Pasal 3 (1) Penyusun DELH harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat pelatihan penyusun dokumen amdal, sertifikat kompetensi penyusun dokumen amdal, dan/atau sertifikat auditor lingkungan hidup bagi penyusunan DELH yang dilakukan sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan sampai dengan tanggal 3 Oktober 2010; atau b. memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup yang teregistrasi bagi penyusunan DELH yang dilakukan antara tanggal 4 Oktober 2010 sampai 3 Oktober 2011. (2) Penyusunan DELH menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Ketiga Mekanisme Penetapan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup Pasal 4 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengajukan permohonan penyusunan DELH kepada: a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; atau c. Menteri melalui Deputi Menteri sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata kerja komisi penilai amdal. Pasal 5 (1) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada kepala instansi lingkungan hidup provinsi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi usulan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan usulan penetapan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
563
dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Menteri melalui Deputi Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan penyusunan. Pasal 6 Kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Menteri melalui Deputi Menteri dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. Pasal 7 Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dan menetapkan permohonan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan kepala instansi lingkungan hidup provinsi. Pasal 8 Dalam hal terjadi keberatan terhadap usulan permohonan dan/atau penetapan DELH, Menteri melakukan koordinasi dengan instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan/atau instansi lingkungan hidup provinsi untuk menyelesaikan keberatan yang diajukan. Pasal 9 (1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 dan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Deputi Menteri menetapkan usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun DELH. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk surat perintah penyusunan DELH. Bagian Keempat Mekanisme Penetapan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 10 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengajukan permohonan penyusunan DPLH kepada: a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi; atau c. Deputi Menteri
564
sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai UKL-UPL. Pasal 11 (1) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Dalam hal verifikasi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri menetapkan permohonan DPLH dalam bentuk surat perintah penyusunan DPLH. (3) Penyusunan DPLH menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kelima Penilaian Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 12 (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DELH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DELH. (3) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri setelah menerima DELH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penilaian terhadap DELH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian dokumen amdal. Pasal 13 (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DPLH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti
565
penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DPLH. (3) Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri setelah menerima DPLH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penilaian terhadap DPLH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian UKL-UPL. Pasal 14 (1) Penilaian, pengambilan keputusan, dan penerbitan surat keputusan terhadap DELH dan DPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13, dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan. (2) Dalam hal kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri tidak menerbitkan surat keputusan DELH atau DPLH dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DELH atau DPLH yang diajukan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dianggap telah dinilai dan disahkan oleh kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri. Pasal 15 Prosedur operasional standar untuk proses DELH atau DPLH sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Keenam Keputusan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 16 Keputusan DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) atau DELH atau DPLH yang dianggap telah dinilai dan disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) digunakan sebagai dasar bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 17 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian DELH dan DPLH yang dilakukan oleh instansi lingkungan hidup provinsi dan/atau kabupaten/kota.
566
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penilaian DELH dan DPLH yang dilakukan oleh instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
Pasal 18 Penyusunan DELH atau DPLH tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB IV PEMBIAYAAN Pasal 19
(1) Biaya penyusunan dan penyelenggaraan rapat penilaian DELH atau DPLH dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Biaya administrasi dan persuratan, pengadaan peralatan kantor untuk
menunjang proses pelaksanaan penilaian DELH atau DPLH, penerbitan penetapan DELH atau DPLH, penerbitan keputusan DELH atau DPLH, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, sosialisasi DELH atau DPLH, dibebankan kepada: a. APBN untuk DELH atau DPLH yang penilaiannya dilakukan di Kementerian Lingkungan Hidup; atau b. APBD untuk DELH atau DPLH yang penilaiannya dilakukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. (3) Biaya pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dibebankan kepada APBN dan/atau APBD. Pasal 20 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2010 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 232 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
567
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 14 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010 TATA LAKSANA PENYUSUNAN DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP (DELH) DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (DPLH) 1. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penyusunan DELH atau DPLH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai kewenangan penilaiannya atas DELH atau DPLH sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri melakukan verifikasi terhadap permohonan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menggunakan kriteria: a. telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; b. telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; c. lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan; dan d. tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka usaha dan/atau kegiatan dimaksud tidak dapat diproses melalui mekanisme DELH atau DPLH. 3. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri menggolongkan usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan penyusunan DELH atau DPLH mengacu pada Peraturan Menteri yang mengatur tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal. Apabila tergolong sebagai usaha dan/atau kegiatan wajib amdal, maka wajib DELH, atau apabila tergolong sebagai usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL, maka wajib DPLH. 4. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan DELH, maka:
568
a. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, (3) kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada kepala instansi lingkungan hidup provinsi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi usulan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan usulan penetapan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada Menteri melalui Deputi Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan penyusunan. b. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan provinsi, kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada Menteri melalui Deputi Menteri dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. c. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan Pusat, Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan menetapkan permohonan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan kepala instansi lingkungan hidup provinsi. 5. Dalam hal terjadi keberatan terhadap usulan permohonan dan/atau penetapan DELH, Menteri melakukan koordinasi dengan instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan/atau instansi lingkungan hidup provinsi untuk menyelesaikan keberatan yang diajukan. 6. Dalam hal tidak ada keberatan sebagaimana dimaksud pada angka 5, maka berdasarkan usulan penyusunan DELH dan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf c, Deputi Menteri menetapkan usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun DELH. Penetapan dimaksud diterbitkan dalam bentuk surat perintah penyusunan DELH. 7. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk menyusun DELH melakukan penyusunan DELH sesuai dengan format pada Lampiran II Peraturan Menteri ini. 8. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan DPLH, maka:
569
a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. b. dalam hal verifikasi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 2, kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri menetapkan permohonan DPLH dalam bentuk surat perintah penyusunan DPLH. 9. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk menyusun DPLH melakukan penyusunan DPLH sesuai dengan format pada Lampiran III Peraturan Menteri ini. 10. Dalam hal DELH telah selesai disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, maka: a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DELH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangannya. b. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DELH. c. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri setelah menerima DELH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas melakukan penilaian terhadap DELH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian dokumen amdal. Mekanisme penilaian dimaksud dilakukan dalam bentuk rapat dengan mengundang wakil dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut. 11. Dalam hal DPLH telah selesai disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, maka: a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DPLH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangannya. b. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DPLH. c. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri setelah menerima
570
DPLH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas melakukan penilaian terhadap DPLH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian UKL-UPL.
571
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penyusunan DELH/DPLH kepada: kepala instansi LH kabupaten/kota kepala instansi LH provinsi Deputi Menteri sesuai dengan kewenangannya
Apakah usaha dan/atau kegiatan memenuhi kriteria wajib DELH dan DPLH?
Gunakan kriteria wajib DELH dan DPLH dalam Pasal 2 ayat (1)
Tidak dapat diproses melalui mekanisme DELH atau DPLH
TIDAK
YA Gunakan Peraturan Menteri tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Amdal
Apakah usaha dan/atau kegiatan tergolong wajib amdal? TIDAK
YA
DPLH
DELH
usaha dan/atau kegiatan kewenangan kabupaten/kota
kepala instansi LH kabupaten/kota Pemberitahuan
usaha dan/atau kegiatan kewenangan provinsi
usaha dan/atau kegiatan kewenangan Pusat
YA Menteri berkoordinasi dengan instansi LH prov/kab/kota
kepala instansi LH kabupaten/kota menetapkan perintah menyusun DPLH
usaha dan/atau kegiatan kewenangan provinsi
kepala instansi LH prov. menetapkan perintah menyusun DPLH
usaha dan/atau kegiatan kewenangan Pusat
Deputi Menteri menetapkan perintah menyusun DPLH
Mengusulkan yang akan diperintahkan menyusun DELH
kepala instansi LH provinsi Pemberitahuan
usaha dan/atau kegiatan kewenangan kabupaten/kota
Mengusulkan yang akan diperintahkan menyusun DELH
Deputi Menteri memberitahukan usaha dan/atau kegiatan yang akan diperintahkan menyusun DELH
Penilaian DPLH
Ada keberatan dari kepala instansi LH provinsi/ kabupaten/kota?
Surat Keputusan (SK) atas hasil kajian DPLH
TIDAK Deputi Menteri menetapkan usaha dan/atau kegiatan yang akan diperintahkan menyusun DELH Penilaian DELH
Surat Keputusan (SK) atas hasil kajian DELH
SK dijadikan dasar pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Gambar Bagan alir proses DELH dan DPLH
572
12. Penilaian, pengambilan keputusan, dan penerbitan surat keputusan terhadap DELH dan DPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13, dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan. 13. Dalam hal kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri tidak menerbitkan surat keputusan DELH atau DPLH dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DELH atau DPLH yang diajukan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dianggap telah dinilai dan disahkan oleh kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri. 14. Keputusan DELH atau DPLH sebagaimana dimaksud dalam angka 12 atau DELH atau DPLH yang dianggap telah dinilai dan disahkan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 digunakan sebagai dasar bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. 15. Semua langkah-langkah pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam DELH diperlakukan setara dengan RKLRPL hasil proses AMDAL, dan semua langkah-langkah pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam DPLH diperlakukan setara dengan UKL-UPL. 16. Seluruh kewajiban yang tercantum dalam DELH dan DPLH wajib dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan dilaporkan secara berkala kepada instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. 17. Peraturan Menteri ini wajib disampaikan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau pihak terkait lainnya antara lain dalam bentuk sosialisasi.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
573
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 14 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010 FORMAT DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP (DELH) Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) paling sedikit berisi hal-hal sebagai berikut: 1. Pendahuluan Pada bab ini diinformasikan identitas perusahaan, perizinan yang telah dimiliki dan latar belakang kegiatan. 2. Ruang Lingkup Pada bab ini diinformasikan deskripsi kegiatan utama dan kegiatan pendukung yang meliputi: a. Kegiatan yang telah berjalan; b. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang pernah dilakukan (apabila tidak pernah melakukan pengelolaan lingkungan, hal ini agar diinformasikan di dalam bagian ini). 3. Kajian evaluasi terhadap kegiatan yang berjalan Pada bagian ini beberapa komponen yang perlu disajikan sebagai dasar untuk melakukan kajian evaluasi dampak, adalah sebagai berikut: a. Komponen kegiatan-kegiatan yang menimbulkan dampak atau sebagai sumber dampak, b. Data-data jenis, parameter, sifat, dan jumlah bahan pencemar/buangan/limbah yang dihasilkan oleh masing-masing sumber dampak, c. Data-data kondisi rona lingkungan atau kondisi eksisting lingkungan yang berpotensi terkena dampak, d. Baku mutu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan, e. Upaya pengelolaan dan pemantauan yang telah dilakukan apabila telah ada upaya-upaya tersebut, f. Informasi kegiatan dan kondisi lingkungan sekitar. Kajian Evaluasi seharusnya dapat menjawab keterkaitan antara komponen-komponen tersebut di atas, sehingga dapat dianalisis dan diambil kesimpulan mengenai dampak-dampak yang dihasilkan, pengaruhnya terhadap lingkungan serta upaya pengelolaan yang seharusnya dilakukan sehingga tidak mencemari lingkungan. Hasil evaluasi dan kesimpulan dijadikan arahan-arahan pengelolaan dan pemantauan yang kemudian digunakan sebagai dasar penetapan RKLRPL.
574
4. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup. Pada Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup diuraikan dan dilengkapi matrik yang berisi: a. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan yang mencakup dampak dan sumber dampak; b. Tolok ukur dampak, untuk mengukur komponen yang terkena dampak berdasarkan baku mutu standar; c. Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup; d. Upaya pengelolaan lingkungan hidup; e. Lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan (peta, sketsa, gambar); f. Periode pengelolaan lingkungan yang memuat kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan dilaksanakan; g. Institusi pengelolaan lingkungan hidup, yang memuat: i. Pelaksana yang bertanggungjawab melaksanakan pengelolaan lingkungan; ii. Pengawas pengelolaan lingkungan. Pada Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup diuraikan dan dilengkapi matrik yang berisi: a. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan yang mencakup dampak dan sumber dampak, b. Parameter lingkungan hidup yang dipantau c. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup d. Metode pemantauan lingkungan hidup, yang memuat: i. Metode pengumpulan dan analisis data; ii. Lokasi pemantauan lingkungan hidup; iii. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan. e. Institusi pemantauan lingkungan hidup, yang memuat: i. Pelaksana yang bertanggungjawab melaksanakan pemantauan lingkungan; ii. Pengawas pemantauan lingkungan. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
575
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 14 Tahun 2010
Tanggal
: 7 Mei 2010
FORMAT DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (DPLH) 1. Penanggung jawab kegiatan Nama Perusahaan
:
Alamat
:
2. Lokasi Kegiatan Wilayah administrasi pemerintahan :
Koordinat:____0____’____”BT/BB sampai_____0_____’_____”BT/BB ____0____’____”LU/LS sampai_____0_____’_____”LU/LS
576
Lain-lain:
3. Bidang Usaha dan/atau Kegiatan Pertahanan dan Keamanan
:
Perindustrian
:
Pertanian
:
Pertambangan dan Energi
:
Kehutanan dan Perkebunan
:
Pekerjaan Umum
:
Perhubungan
:
Pariwisata, Seni dan Budaya
:
Transmigrasi dan Pemukiman: Perambah Hutan
Kesehatan
:
577
Dan lain-lain (tuliskan)
4. Mulai beroperasi: ___/___/___
:
(tanggal/bulan/tahun)
5. Deskripsi usaha dan/atauKegiatan : a) Kegiatan utama:
b) Kegiatan pendukung:
578
c) Kapasitas:
d) Sarana penunjang:
579
Catatan: Berbagai informasi pendukung deksripsi kegiatan dapat disampaikan, baik berupa peta, gambar, foto, sketsa, tata letak, dll.
580
DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP USAHA DAN/ATAU KEGIATAN …………………………………………………………………………………………
MATRIKS PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
UPAYA PENGELOLAAN NO
DAMPAK LINGKUNGAN YANG HARUS DIKELOLA SERTA PARAMETERNYA
SUMBER DAMPAK
TOLOK UKUR
CARA/TEKNIK MENGELOLA
LOKASI PENGELOLAAN
TINDAKAN PERBAIKAN HASIL YANG PENGELOLAAN* DICAPAI (jika diperlukan)
6.a)
6.b)
7
8.a)
581
8.b)
8.c)
8.d)
*) Kolom tindakan perbaikan pengelolaan lingkungan hidup ini wajib diisi apabila upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan saat ini masih belum memadai untuk memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku (baku mutu, baku kerusakan dan lain-lain)
582
DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP USAHA DAN/ATAU KEGIATAN …………………………………………………………………………………………
MATRIKS PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
UPAYA PEMANTAUAN NO
DAMPAK LINGKUNGAN YANG HARUS DIPANTAU SERTA PARAMETERNYA
SUMBER DAMPAK
TOLOK UKUR
CARA/TEKNIK MEMANTAU
LOKASI PEMANTAUAN
HASIL YANG DICAPAI
TINDAKAN PERBAIKAN PEMANTAUAN* (jika diperlukan)
6.a)
6.b)
7
8.a)
583
8.b)
8.c)
8.d)
*) Kolom tindakan perbaikan pemantauan lingkungan hidup ini wajib diisi apabila upaya pemantauan lingkungan hidup yang dilaksanakan saat ini masih belum memadai untuk memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku (baku mutu, baku kerusakan dan lain-lain).
584
Catatan: Format tersebut di atas merupakan muatan minimum yang wajib dilengkapi dalam DPLH.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
585
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 14 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010 PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PELAKSANAAN DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP (DELH) DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (DPLH) Prosedur operasional standar ini terdiri dari beberapa contoh format atau lembar kerja yang dapat digunakan dalam pelaksanaan DELH atau DPLH yang meliputi: 1. FORMAT PERMOHONAN PENYUSUNAN DELH ATAU PENANGGUNG JAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
DPLH
DARI
2. FORMAT SURAT USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI PROVINSI BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI 3. FORMAT LAMPIRAN SURAT USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI KABUPATEN/KOTA 4. FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN/PERMINTAAN TANGGAPAN ATAS USULAN DELH DARI PROVINSI KEPADA KABUPATEN 5. FORMAT SURAT TANGGAPAN DARI KABUPATEN/KOTA KEPADA PROVINSI DAN PUSAT ATAS USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI PROVINSI 6. FORMAT SURAT KEPUTUSAN DELH LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA
OLEH
KEPALA
INSTANSI
7. FORMAT SURAT REKOMENDASI DPLH OLEH KEPALA INSTANSI LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA Contoh format di atas dapat kabupaten/kota, provinsi atau Pusat.
586
disesuaikan
dengan
kebutuhan
1. FORMAT PERMOHONAN PENYUSUNAN DELH ATAU PENANGGUNG JAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
DPLH
DARI
Kami yang bertandatangan di bawah ini: 1. Nama : 2. Jabatan : 3. Alamat Kantor : Selaku penanggung jawab atas kegiatan: 1. Nama Kegiatan : 2. Lokasi Tapak Kegiatan : 3. Skala/besaran kegiatan : ...........(ton/hari, dll), *) amdal/UKL-UPL 4. Kewenangan Penilaian : *) Kabupaten/Kota / Provinsi / KLH 5. Perizinan yang dimiliki : (sebutkan) 6. Kesesuai dengan RTRW : 7. Status kegiatan : tanggal....... bulan........tahun......... (dimulainya tahap konstruksi) Dengan ini mengusulkan kegiatan kami (data kegiatan terlampir) untuk ditetapkan sebagai kegiatan *) DELH atau DPLH. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya sesuai dengan jenis kegiatan yang kami lakukan. kota, hari, tanggal bulan tahun Nama Kegiatan ttd. dan Cap Perusahaan Nama penanggung jawab kegiatan Jabatan Keterangan:
*)
Coret yang tidak perlu
587
2. FORMAT SURAT USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI PROVINSI BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI kota, tanggal, bulan, tahun Nomor Lampiran Perihal
: Kepada Yth. : ...lembar usulan usaha dan/ Deputi Menteri Negara atau kegiatan wajib DELH Lingkungan Hidup Bidang : Usulan Penetapan Usaha ................................ dan/atau kegiatan wajib di DELH ..................... Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor…..tahun…… tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup, bersama ini kami usulkan usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam peraturan di atas, yaitu: 1. telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan; dan 4. tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun daftar usulan usaha dan/atau kegiatan dimaksud, adalah sebagaimana terlampir. Demikian disampaikan, dan atas perhatian serta kerja sama yang baik, diucapkan terima kasih. Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi ...................., Nama................... NIP. ....................
Tembusan Yth. : 1. Deputi MENLH Bidang ......... Kementerian Lingkungan Hidup, 2. Kepala Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ............., 3. Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional ...........
588
3. FORMAT LAMPIRAN SURAT USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI KABUPATEN/KOTA Kabupaten/Kota : ....................................... Provinsi : ....................................... No
Nama perusahaan
Alamat
Jenis kegiatan
Skala/ besaran kegiatan
Perizinan
589
Kesesuaian Tata Ruang
Waktu dimulainya kegiatan
4. FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN/PERMINTAAN TANGGAPAN ATAS USULAN DELH DARI PROVINSI KEPADA KABUPATEN kota, tanggal, bulan, tahun Nomor Lampiran Perihal
: Kepada Yth. : ...lembar usulan usaha dan/ Kepala Instansi Lingkungan atau kegiatan wajib DELH Hidup Kabupaten/Kota : Permintaan Verifikasi atas ................................ usulan usaha dan/atau di kegiatan wajib DELH ..................... Menindaklanjuti Surat kami Nomor….., tanggal ……., perihal Usulan Penetapan Usaha dan/atau Kegiatan Wajib DELH yang telah kami sampaikan kepada Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang ……….., bersama ini kami mohon tanggapan/klarifikasi atas usulan daftar usaha dan/atau kegiatan wajib DELH, daftar terlampir. Tanggapan/klarifikasi terhadap daftar usaha dan/atau kegiatan dimaksud, agar disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja kepada kami dan Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang ………......... Demikian disampaikan, dan atas perhatian serta kerja sama yang baik, diucapkan terima kasih. Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi ...............,
Nama................... NIP. .................... Tembusan Yth. : 1. Deputi MENLH Bidang ......... Kementerian Lingkungan Hidup, 2. Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional ....................
590
5. FORMAT SURAT TANGGAPAN DARI KABUPATEN/KOTA KEPADA PROVINSI DAN PUSAT ATAS USULAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN WAJIB DELH DARI PROVINSI kota, tanggal, bulan, tahun Nomor Lampiran Perihal
: : ... lembar usaha dan/atau kegiatan wajib DELH : Tanggapan atas usulan usaha dan/atau kegiatan wajib DELH Hidup
Kepada Yth. 1. Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang ............................. 2. Kepala Badan Lingkungan Provinsi .......... di Tempat
Menanggapi Surat Saudara Nomor….., tanggal ……., perihal Permohonan Verifikasi terhadap Usulan Usaha dan/atau Kegiatan Wajib DELH, bersama ini disampaikan bahwa pada prinsipnya kami menyatakan tidak berkeberatan atas usulan usaha dan/atau kegiatan wajib DELH yang telah diusulkan, sebagaimana terlampir. (Apabila terdapat hal keberatan, maka dapat disampaikan alasan-alasan dasar pertimbangan keberatan-keberatan dimaksud) Beberapa dasar pertimbangan keberatan atas usulan DELH dimaksud, adalah sebagai berikut: 1. ............... 2. ............... dst Demikian disampaikan, dan atas perhatian serta kerja sama yang baik, diucapkan terima kasih. Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ...............,
Nama................... NIP. .................... Tembusan Yth. : 1. Bupati/Walikota ....... (daerah yang bersangkutan), 2. Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional ....................
591
6. FORMAT SURAT KEPUTUSAN DELH LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA
OLEH
KEPALA
INSTANSI
KEPUTUSAN ...................................................... NOMOR:........... TAHUN ......... TENTANG DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP KEGIATAN ............................ DI .............................. OLEH PT. .............................. Menimbang:
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 121 Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup dan setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup. b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan; c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal ..... Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup; d. bahwa berdasarkan ketentuan ........................; e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu menetapkan Keputusan ............... tentang Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup Kegiatan .................... di............................ oleh PT. ...............
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor ........................................); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
592
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 4. Peraturan Pemerintah Nomor ...............................; 5. Peraturan Daerah Nomor .....................................; Memperhatikan: Hasil Rapat Pembahasan DELH kegiatan ....... di Kabupaten ....... oleh PT. .......... pada tanggal ............bulan.....tahun......; MEMUTUSKAN Menetapkan:
KEPUTUSAN ............... TENTANG DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP KEGIATAN ............ DI ................. OLEH PT. .............................
PERTAMA:
Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup Kegiatan ........ di ............... oleh PT............ dengan kegiatan antara lain: 1. ............................; 2. ............................; 3. ............................;
KEDUA:
Penanggung jawab PT. ............. dalam melakukan kegiatannya berkewajiban: 1. melakukan pengelolaan terhadap sumber dampak ...................; 2. melakukan pengelolaan terhadap ............................; 3. memiliki, melaksanakan, dan mengevaluasi secara periodik sistem tanggap darurat (emergency response) untuk menanggulangi kecelakaan, pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan hidup; 4. mengembangkan teknologi dan metode pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam dokumen RKL dan RPL sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pengelolaan lingkungan hidup; 5. meningkatkan kinerja pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (continuous improvement) sejalan dengan perkembangan teknologi di bidang pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
KETIGA:
Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup Kegiatan ........ di ............ oleh Penanggung jawab PT. ........... sebagaimana dimaksud dalam diktum ........ digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup.
593
KEEMPAT:
Penanggung jawab PT. ............ wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup setiap 6 (enam) bulan sekali kepada .................., Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup ..................., Dinas ..............dsb.
KELIMA:
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: .............. pada tanggal: Kepala Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten .........,
.................................... Disampaikan kepada Yth.: 1. Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2. Gubernur Provinsi ...................; 3. Bupati ....................................; 4. Kepala Dinas .........................; 5. Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional ....................; 6. dsb;
594
7. FORMAT SURAT REKOMENDASI DPLH OLEH KEPALA INSTANSI LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA kota, tanggal, bulan, tahun Nomor : Lampiran : 1 (satu) berkas dokumen Perihal : Rekomendasi atas DPLH Kegiatan ....................... oleh PT. ........................ di .................................
Kepada Yth. Direktur/Manager/Lainnya PT. ................ di Tempat
Menindaklanjuti surat Saudara Nomor ........................... tertanggal ..... perihal penyampaian Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) untuk kegiatan ..................., bersama ini diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi teknis yang telah dilakukan, maka terhadap DPLH untuk kegiatan ................ tersebut secara teknis dapat disetujui. DPLH yang telah disetujui merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari surat rekomendasi ini dan menjadi acuan bagi penanggung jawab kegiatan dalam menjalankan kegiatannya dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Apabila terjadi pemindahan lokasi kegiatan, desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong atas usaha dan/atau kegiatan, terjadi bencana alam dan/atau lainnya yang menyebabkan perubahan lingkungan yang sangat mendasar baik sebelum maupun saat pelaksanaan kegiatan, maka penanggung jawab kegiatan wajib menyusun UKL-UPL atau amdal baru sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penanggung jawab PT........... wajib melakukan seluruh ketentuan yang termaktub dalam DPLH dan bertanggungjawab sepenuhnya atas pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan dari kegiatan .................... Penanggung jawab PT.......... wajib melaporkan pelaksanaan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam DPLH tersebut kepada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ............... dan instansi-instansi sektor terkait (termasuk instansi pemberi izin) setiap ..... bulan sekali terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat rekomendasi ini.
595
Selanjutnya Bupati/Walikota ..................., Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota ......................., Kepala Instansi Sektor A .........., Kepala Instansi Sektor B, Kepala Instansi Sektor dst...... melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang wajib dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan yang tercantum dalam perizinan sebagaimana dimaksud. Demikian disampaikan, terimakasih.
atas
perhatiannya
diucapkan
Kepala Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten .........................
.................................................... Tembusan Yth.: 1. Bupati .........; 2. Kepala Dinas A; 3. Kepala Dinas B; 4. Kepala Dinas C; 5. Kepala Instansi dsb; 6. dst. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
596
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG AUDIT LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Audit Lingkungan Hidup; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Standardisasi Kompetensi Personil dan Lembaga Jasa Lingkungan; MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN TENTANG AUDIT LINGKUNGAN HIDUP.
HIDUP
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Auditor lingkungan hidup adalah seseorang yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan audit lingkungan hidup. 3. Lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa audit lingkungan hidup. 4. Kompetensi adalah kemampuan personil untuk mengerjakan suatu
597
1
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria kompetensi adalah suatu rumusan mengenai lingkup kemampuan personil yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap kerja serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan. Lembaga pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut LPK auditor lingkungan hidup, adalah lembaga yang memiliki sarana dan prasarana bagi pelatihan dalam audit lingkungan hidup dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Penilaian kompetensi adalah kegiatan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan, keterampilan personil dan sikap kerja yang memenuhi kriteria kompetensi yang telah ditetapkan. Sertifikat kompetensi adalah tanda pengakuan kompetensi seseorang yang memenuhi standar kompetensi tertentu setelah melalui uji kompetensi. Pengakuan penyetaraan adalah pengakuan terhadap kurikulum pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup atau sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup yang berasal dari luar negeri. Lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup yang selanjutnya disebut LSK auditor lingkungan hidup, adalah lembaga pelaksana penilaian kompetensi dan pelaksana sertifikasi kompetensi dalam audit lingkungan hidup. Registrasi kompetensi adalah rangkaian kegiatan pendaftaran dan dokumentasi terhadap lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan LPK audit lingkungan hidup yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Akreditasi adalah penilaian kelayakan lembaga Diklat dalam menyelenggarakan program Diklat tertentu yang ditetapkan dalam Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi pembina. Sistem manajemen mutu adalah suatu sistem yang dilaksanakan untuk menjaga kualitas dari suatu pelaksanaan kegiatan yang meliputi perencanaan, seleksi dan penugasan tenaga pelaksana, penerapan prosedur operasional standar, dokumentasi, evaluasi dan pelaporan. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2
(1) Audit lingkungan hidup meliputi: a. audit lingkungan hidup yang diwajibkan; atau b. audit lingkungan hidup yang bersifat sukarela.
598
2
(2) Audit lingkungan hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan kepada: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Ruang lingkup pengaturan audit lingkungan hidup meliputi: a. tata cara audit lingkungan hidup; b. kompetensi auditor lingkungan hidup, yang meliputi: 1. kualifikasi auditor lingkungan hidup; 2. kriteria kompetensi auditor lingkungan hidup; 3. pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup; dan 4. sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup; c. lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup; dan d. registrasi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan lembaga pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup. Pasal 4 (1) Peraturan Menteri ini mengatur mengenai: a. kompetensi auditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b; b. lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c; dan c. registrasi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan lembaga pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d. (2) Tata cara audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara audit lingkungan hidup. BAB II KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Audit lingkungan hidup dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup yang memiliki kompetensi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. (2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. auditor lingkungan hidup perorangan; dan/atau
599
3
b. auditor lingkungan hidup yang tergabung dalam lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup. Bagian Kedua Kualifikasi Auditor Lingkungan Hidup dan Kriteria Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup Pasal 6 Kualifikasi auditor lingkungan hidup terdiri atas: a. auditor utama; dan b. auditor. Pasal 7 (1) Kriteria kompetensi untuk kualifikasi auditor utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi kemampuan: a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup; b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup; d. menunjuk dan mengoordinasikan kegiatan auditor di bawah tanggungjawabnya sebagai auditor utama; e. merumuskan kesimpulan audit lingkungan hidup; f. mengoordinasikan penyusunan dan penyampaian laporan hasil audit lingkungan hidup; dan g. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK auditor lingkungan hidup. (2) Kriteria kompetensi untuk kualifikasi auditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dan huruf g. Bagian Ketiga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup Pasal 8 (1) Pelatihan kompetensi untuk calon auditor lingkungan hidup dilaksanakan oleh LPK auditor lingkungan hidup yang terakreditasi dan teregistrasi. (2) LPK auditor lingkungan hidup yang terakreditasi dan teregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki: a. status hukum atau berbadan hukum; b. pengelola LPK yang bersertifikat pengelola lembaga pendidikan dan pelatihan;
600
4
c. pengajar yang kompeten, termasuk pengajar di bidang metodologi dan teknik audit lingkungan hidup yang bersertifikat kompetensi dengan kualifikasi auditor utama dan/atau berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) kali melakukan audit lingkungan hidup; d. program pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup, yang meliputi: kurikulum baku, metode dan jangka waktu pelatihan, persyaratan peserta pelatihan, persyaratan kelulusan pelatihan kompetensi, serta prosedur baku untuk pelaksanaan pelatihan kompetensi dan evaluasinya; e. sarana dan prasarana pelatihan; dan f. sistem informasi publik mengenai pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup. (3) Menteri menerbitkan sertifikat akreditasi dan tanda bukti registrasi kepada LPK auditor lingkungan hidup yang memenuhi persyaratan. (4) Penerbitan sertifikat akreditasi dan tanda bukti registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara akreditasi dan registrasi LPK auditor lingkungan hidup. (1) (2) (3) (4)
(5)
Pasal 9 LPK auditor lingkungan hidup dapat menggunakan kurikulum di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d. Penggunaan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup. Menteri melakukan verifikasi terhadap kurikulum pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Menteri memberikan pengakuan penyetaraan terhadap kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Menteri dapat mendelegasikan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penetapan pengakuan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Deputi Menteri yang bertanggungjawab di bidang standardisasi. Bagian Keempat Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup Pasal 10
(1) Sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup meliputi kegiatan: a. penilaian kompetensi; dan b. penerbitan sertifikat kompetensi. (2) Penilaian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan kriteria kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (3) Penilaian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk kualifikasi auditor utama dan auditor dilakukan dengan menggunakan data dan/atau informasi yang meliputi:
601
5
(4)
(5)
(6)
(7)
a. latar belakang pendidikan; b. pelatihan di bidang audit lingkungan hidup; c. pengalaman kerja di bidang lingkungan hidup; dan d. pengalaman melakukan audit lingkungan hidup. Penerbitan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup dilakukan setelah lulus penilaian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku paling lama selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh LSK auditor lingkungan hidup yang ditunjuk oleh Menteri. Penilaian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan sertifikasi kompetensi ditetapkan oleh LSK auditor lingkungan hidup dengan persetujuan Menteri. Bagian Kelima Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup Pasal 11
(1) LSK auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) wajib memiliki: a. sistem manajemen mutu; b. penguji/penilai yang memiliki pengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang audit lingkungan hidup dan/atau 5 (lima) kali melakukan audit lingkungan hidup sebagai auditor utama; c. sistem informasi publik yang terkait dengan pelaksanaan sertifikasi kompetensi; dan d. mekanisme penanganan pengaduan dari pengguna jasa dan publik. (2) LSK auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan sertifikasi kompetensi kepada Menteri. BAB III LEMBAGA PENYEDIA JASA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP Pasal 12 Lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup wajib memenuhi persyaratan: a. berbadan hukum; b. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang tenaga tetap auditor lingkungan hidup yang memiliki sertifikat kompetensi dengan kualifikasi auditor utama; c. memiliki perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap auditor utama dan/atau auditor yang memiliki sertifikat kompetensi dan personil tidak
602
6
tetap lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan; d. memiliki sistem manajemen mutu; dan e. memiliki pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaan audit lingkungan hidup, termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan dan/atau menghindari konflik kepentingan. BAB IV REGISTRASI LEMBAGA PENYEDIA JASA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP DAN LEMBAGA PELATIHAN KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP Pasal 13 (1) Lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan LPK auditor lingkungan hidup yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib melakukan registrasi kompetensi kepada Kementerian Lingkungan Hidup. (2) Kementerian Lingkungan Hidup memberikan tanda registrasi kepada lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan LPK auditor lingkungan hidup yang telah melakukan registrasi. Pasal 14 (1) Kementerian Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai: a. tujuan registrasi kompetensi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan LPK auditor lingkungan hidup; b. tata laksana registrasi, penerbitan surat tanda registrasi, dan pemeliharaan registrasi; c. persyaratan dan prosedur mengikuti registrasi kompetensi; d. daftar registrasi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup yang meliputi: 1. nomor dan tanggal registrasi; 2. identitas lembaga penyedia jasa; 3. penanggung jawab teknis pelaksanaan audit lingkungan hidup; dan 4. daftar auditor lingkungan hidup yang memiliki sertifikat kompetensi dan ditugaskan untuk melakukan audit lingkungan hidup; e. daftar registrasi LPK auditor lingkungan hidup yang meliputi: 1. nomor dan tanggal registrasi; 2. identitas LPK auditor lingkungan hidup; 3. penanggung jawab pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup; dan 4. daftar pengajar tetap dan tidak tetap; dan
603
7
f. daftar pemegang registrasi yang dalam status dibekukan atau dicabut. (2) LPK auditor lingkungan hidup menyediakan informasi publik mengenai: a. tujuan pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup dan kurikulum yang digunakan; b. daftar pengajar tetap dan tidak tetap; c. persyaratan dan prosedur mengikuti pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup; d. jadwal dan tempat pelaksanaan pelatihan kompetensi yang disediakan untuk publik; dan e. daftar pemegang surat tanda tamat pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup. (3) LSK auditor lingkungan hidup menyediakan informasi publik mengenai: a. tujuan sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup; b. sistem penilaian kompetensi, penerbitan sertifikat kompetensi, dan pemeliharaan sertifikat; c. persyaratan dan prosedur sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup bagi pemohon; d. jadwal dan tempat pelaksanaan penilaian kompetensi yang disediakan untuk pemohon; dan e. daftar pemegang sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup, termasuk masa berlaku sertifikat dan daftar sertifikat yang dalam status dibekukan atau dicabut. (4) Kementerian Lingkungan Hidup, LPK auditor lingkungan hidup, dan LSK auditor lingkungan hidup wajib melakukan pemutakhiran informasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3). BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 15 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap LPK auditor lingkungan hidup dan LSK auditor lingkungan hidup. (2) Dalam melaksanakan pembinaan terhadap LPK auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pembinaan terhadap lembaga penyedia jasa auditor lingkungan hidup. (4) Menteri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan terhadap LPK auditor lingkungan hidup.
604
8
(5) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi antara lain: a. penyediaan informasi yang relevan dan mutakhir kepada lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup, LSK auditor lingkungan hidup, LPK auditor lingkungan hidup dan pengajar; b. penyediaan panduan teknis yang memuat tatacara dan penjelasan teknis audit lingkungan hidup; dan/atau c. bimbingan teknis kepada auditor utama, auditor, dan pengajar Pasal 16 (1) (2)
(3) (4)
Menteri melakukan pengawasan terhadap LPK auditor lingkungan hidup dan LSK auditor lingkungan hidup. Dalam melaksanakan pengawasan terhadap LPK auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu terhadap lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup, LPK auditor lingkungan hidup, dan LSK auditor lingkungan hidup. Pasal 17
(1)
(2)
(3)
(4)
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri berwenang membekukan registrasi kompetensi terhadap: a. lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau b. LPK auditor lingkungan hidup yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Menteri berwenang mencabut registrasi kompetensi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan/atau LPK auditor lingkungan hidup apabila: a. lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data hasil audit lingkungan hidup; atau b. setelah dibekukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan/atau LPK auditor lingkungan hidup tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b. Pada kondisi pembekuan atau pencabutan registrasi kompetensi, LPK auditor lingkungan hidup dilarang melaksanakan pelatihan kompetensi auditor lingkungan hidup. Pada kondisi pembekuan atau pencabutan registrasi kompetensi, lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dilarang
605
9
(5)
melaksanakan audit lingkungan hidup. Menteri menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan dan pencabutan registrasi kompetensi lembaga penyedia jasa audit lingkungan hidup dan LPK auditor lingkungan hidup. Pasal 18
(1) (2)
LSK auditor lingkungan hidup melakukan pengawasan terhadap auditor lingkungan hidup yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria pemeliharaan sertifikat kompetensi dan mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh LSK auditor lingkungan hidup setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal 19
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, LSK auditor lingkungan hidup berwenang membekukan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup apabila pemegang sertifikat tidak memenuhi kriteria pemeliharaan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, LSK auditor lingkungan hidup berwenang mencabut sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup apabila pemegang sertifikat melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data dalam pelaksanaan audit lingkungan hidup. Pada kondisi pembekuan atau pencabutan sertifikat kompetensi, auditor lingkungan hidup dilarang melakukan audit lingkungan hidup. Tata laksana pembekuan atau pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan tata laksana pembekuan dan pencabutan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup yang ditetapkan oleh LSK auditor lingkungan hidup setelah mendapat persetujuan Menteri. LSK auditor lingkungan hidup menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan atau pencabutan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup dan melaporkan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak pembekuan atau pencabutan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 20
(1) (2)
Biaya pelaksanaan pelatihan kompetensi dan sertifikasi kompetensi dibebankan kepada peserta. Standar biaya sertifikasi kompetensi ditetapkan oleh LSK auditor
606
10
(3) (4)
lingkungan hidup setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Biaya registrasi kompetensi dibebankan kepada pemohon. Biaya registrasi kompetensi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 21
(1)
(2)
(3)
Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 yang dilaksanakan oleh Menteri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Lingkungan Hidup. Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 yang dilaksanakan oleh gubernur atau bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dibebankan pada LSK auditor lingkungan hidup. BAB VII PENGAKUAN PENYETARAAN Pasal 22
(1)
(2)
(3) (4)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan auditor lingkungan hidup sebelum ditetapkannya LSK auditor lingkungan hidup, Menteri melakukan pengakuan penyetaraan terhadap sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup yang berasal dari luar negeri yang memenuhi persyaratan: a. kriteria kompetensi untuk sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup memenuhi kriteria kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. penilaian kompetensi untuk sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup memenuhi persyaratan sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4); dan c. sistem sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup memiliki pengawasan terhadap pemegang sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Personil yang memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kementerian Lingkungan Hidup disertai dengan data bukti pelatihan, pengalaman kerja, dan/atau sertifikasi kompetensi di bidang audit lingkungan hidup. Menteri membentuk tim verifikasi untuk melakukan penilaian terhadap data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Tim verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur: a. Kementerian Lingkungan Hidup; b. praktisi/pelaku audit lingkungan hidup;
607
11
c. pengguna jasa audit lingkungan hidup; dan d. pakar/akademisi di bidang audit lingkungan hidup. (5) Menteri menetapkan pengakuan penyetaraan berdasarkan rekomendasi tim verifikasi. (6) Menteri dapat mendelegasikan pembentukan tim verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penetapan pengakuan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Deputi Menteri yang bertanggungjawab di bidang standardisasi. (7) Menteri menyediakan informasi publik tentang personil yang memperoleh penetapan pengakuan penyetaraan dengan sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Setelah terbentuknya LSK auditor lingkungan hidup, LSK auditor lingkungan hidup menerbitkan sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup bagi personil yang telah memperoleh pengakuan penyetaraan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2010 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 395 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
608
12
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 113 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
609 2935
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA. Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara; 2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama; 3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah; 4. Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya; 5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batu bara; 6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan; 7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
610 2936
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara; 9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam usaha dan kegiatan penambangan batu bara; 10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini. (2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini. Pasal 3 (1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri. Pasal 4 (1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini. (2) Apabila Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Pasal 5 Apabila hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
611 2937
Pasal 6 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini. Pasal 7 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond). Pasal 8 (1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan pertambangan. (2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang : a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan penambangan tersebut. b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu bara sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance). Pasal 9 Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of compliance) yang baru.
612 2938
Pasal 10 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk : a.
melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurangkurangnya memeriksa pH air limbah dan mencatat debit air limbah harian;
b.
mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang dilaksanakan oleh pihak laboratorium yang telah terakreditasi;
c.
menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang diterbitkan. Pasal 12 (1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini. (2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku. Pasal 13 Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
613 2939
Pasal 14 Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di
: Jakarta
pada tanggal
: 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
614 2940
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 113 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003
BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA Parameter pH Residu Tersuspensi Besi (Fe) Total Mangan (Mn) Total
Satuan
Kadar Maksimum 6-9 400 7 4
mg/l mg/l mg/l
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakaan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
615 2941
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 113 Tahun 2003 Tanggal : 10 Juli 2003
BAKU MUTU AIR LIMBAH PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA
Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
pH Residu Tersuspensi mg/l Besi (Fe) Total mg/l Mangan (Mn) Total mg/l Volume air limbah maksimum 2m3 per ton produk batu bara
6-9 200 7 4
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
616 2942
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 202 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
617 2968
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA. Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang; 2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah; 3. Kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga adalah proses penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan dan atau pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia;
618 2969
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang berwujud cair; 5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga; 6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah; 7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2 (1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari : a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut; b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang ke badan air; c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang. (2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini. (3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini. Pasal 3 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri tersendiri. (2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
619 2970
Pasal 4 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena : a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi; b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan bijih emas dan atau tembaga sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi; maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri. Pasal 5 (1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 6 Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau UKL dan UPL.
620 2971
Pasal 7 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini. Pasal 8 (1)
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.
(2)
Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang : a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga tersebut; dan atau b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah.
titik penaatan
Pasal 9 Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.
621 2972
Pasal 10 Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga wajib untuk: a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah; b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan emas dan atau tembaga yang diterbitkan. Pasal 12 (1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini. (2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
622 2973
Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal : 13 Oktober 2004 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan ini sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
623 2974
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 202 Tahun 2004 Tentang : Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga Tanggal : 13 Oktober 2004 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
pH 6–9 TSS mg/L 200 Cu* mg/L 2 Cd* mg/L 0,1 Zn* mg/L 5 Pb* mg/L 1 As* mg/L 0,5 Ni* mg/L 0,5 Cr * mg/L 1 Hg* mg/L 0,005 Keterangan : • * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut • ** = jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru • Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air, maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan. • Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut, kadar parameter air limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumber air.
Metode Analisis** SNI 06-6989-11-2004 SNI 06-6989-3-2004 SNI 06-6989-6-2004 SNI 06-6989-18-2004 SNI 06-6989-7-2004 SNI 06-6989-8-2004 SNI 06-2913-1992 SNI 06-6989-22-2004 SNI 06-6989-22-2004 SNI 06-2462-1991
Ditetapkan di pada tanggal
: Jakarta : 13Oktober 2004
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan ini sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
624 2975
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 202 Tahun 2004 Tentang : Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga Tanggal : 13 Oktober 2004 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA Parameter pH TSS Cu* Cd* Zn* Pb* As* Ni* Cr * CN ** Hg *
Satuan
Kadar Maksimum 6–9 200 2 0,1 5 1 0,5 0,5 1 0,5 0,005
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Metode Analisis*** SNI 06-6989-11-2004 SNI 06-6989-3-2004 SNI 06-6989-6-2004 SNI 06-6989-18-2004 SNI 06-6989-7-2004 SNI 06-6989-8-2004 SNI 06-2913-1992 SNI 06-6989-22-2004 SNI 06-6989-14-2004 SNI 19-1504-1989 SNI 06-2462-1991
Keterangan : • * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut . • ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses • Cyanidasi. • CN dalam bentuk CN bebas. • *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru • Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air, maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 13 Oktober 2004 -------------------------------------------------Menteri Negara Lingkungan Hidup ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan ini seuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
625 2976
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH TIMAH MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Timah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
626 2986
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH TIMAH. Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih timah menjadi konsentrat atau logam timah dan meliputi juga kegiatan penutupan tambang; 2. Kegiatan penambangan bijih timah adalah pengambilan bijih timah yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka, maupun tambang bawah tanah; 3. Kegiatan pengolahan bijih timah adalah proses penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan pengeringan, peleburan dan/atau pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia; 4. Air limbah usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih timah dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih timah yang berwujud cair; 5. Baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah; 6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah; 7. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 (1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih timah meliputi:
627 2987
a. air limbah kegiatan penambangan bijih timah yang terkena dampak langsung kegiatan penambangan bijih timah sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung dengan kegiatan penambangan bijih timah; b. air limbah kegiatan pengolahan bijih timah yang dibuang ke badan air. (2) Baku mutu air limbah dan metode analisis bagi usaha dan/atau kegiatan penambangan dan pengolahan bijih timah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. (3) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta perubahan metode analisis Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 3 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penutupan tambang akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 4 Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih timah yang dilakukan di laut ditetapkan dengan Peraturan Menteri tersendiri Pasal 5 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan/atau pengolahan bijih timah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui karena: a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi; dan/atau b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan bijih timah sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi; maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib segera melaporkan dan menyampaikan kejadian tersebut disertai dengan rincian kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.
628 2988
Pasal 6 Apabila hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi UKL dan UPL. Pasal 7 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan/atau pengolahan bijih timah, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 8 (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah. (2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang: a. keluar dari sistem pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber lain selain dari kegiatan penambangan bijih timah; dan atau b. keluar dari sistem pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih timah sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan bijih timah. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi titik penaatan sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pasal 9 Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih
629 2989
timah dan/atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.
Pasal 10 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah wajib untuk: a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah, paling sedikit memeriksa pH dan TSS air limbah; b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; c. melakukan analisis air limbah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah yang diterbitkan. Pasal 12 (1) Dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih timah yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku. Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
630 2990
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Juni 2006 Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum, ttd Nadjib Dahlan,SH
631 2991
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH NIKEL MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Nikel;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
:
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 1
632 2992
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH NIKEL. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih nikel menjadi produk setengah jadi atau logam nikel dan meliputi juga kegiatan penutupan tambang; 2. Kegiatan penambangan bijih nikel adalah pengambilan bijih nikel yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka, maupun tambang bawah tanah; 3. Kegiatan pengolahan bijih nikel adalah proses penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan pengeringan, peleburan dan/atau pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia; 4. Air limbah usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih nikel dan/atau sisa dari kegiatan pengolahan bijih nikel yang berwujud cair; 5. Baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel; 6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah; 7. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
2
633 2993
Pasal 2 (1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih nikel meliputi: a. air limbah kegiatan penambangan bijih nikel yang terkena dampak langsung kegiatan penambangan bijih nikel sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung dengan kegiatan penambangan bijih nikel; b. air limbah kegiatan pengolahan bijih nikel yang dibuang ke badan air. (2) Baku mutu air limbah dan metode analisis bagi usaha dan/atau kegiatan penambangan dan pengolahan bijih nikel adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. (3) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta perubahan metode analisis Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 3 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penutupan tambang akan ditetapkan secara tersendiri dengan Peraturan Menteri. (2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan/atau pengolahan bijih nikel sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui karena: a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi; dan/atau b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan bijih nikel sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi; maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib segera melaporkan dan menyampaikan kejadian tersebut disertai dengan rincian kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.
3
634 2994
Pasal 5 (1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. (2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 6 Apabila hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi UKL dan UPL. Pasal 7 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan/atau pengolahan bijih nikel, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 8 (1)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel.
(2)
Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang: a. keluar dari sistem pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber lain selain dari kegiatan penambangan bijih nikel; dan atau b. keluar dari sistem pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih nikel sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan bijih nikel. 4
635 2995
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi titik penaatan sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pasal 9 Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel dan/atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru. Pasal 10 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel wajib untuk: a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah, paling sedikit memeriksa pH dan TSS air limbah; b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; c. melakukan analisis air limbah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel yang diterbitkan. Pasal 12 (1) Dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
5
636 2996
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku. Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 September 2006 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Hoetomo, MPA.
6
637 2997
Lampiran Nomor Tanggal
: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup : 09 Tahun 2006 : 13 September 2006
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH NIKEL Parameter
Satuan
pH TSS Cu* Cd* Zn* Pb* Ni* Cr(6+)* Cr total Fe* Co*
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Kadar Maksimum Penambangan Pengolahan 6-9 200 2 0,05 5 0,1 0,5 0,1 0,5 5 0,4
6-9 100 2 0,05 5 0,1 0,5 0,1 0,5 5 0,4
Metode Analisis** SNI 06-6989-11-2004 SNI 06-6989-3-2004 SNI 06-6989-6-2004 SNI 06-6989-18-2004 SNI 06-6989-7-2004 SNI 06-6989-8-2004 SNI 06-6989-22-2004 SNI 06-6989-53-2005 SNI 06-6989-14-2004 SNI 06-6989-4-2004 SNI 06-2471-1991
Keterangan : • * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut. • ** = Sesuai dengan SNI dan perubahannya. • Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut, kadar parameter air limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumber air. Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Hoetomo, MPA. 7
638 2998
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa salah satu usaha dan/atau kegiatan yang potensial menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
639 3023
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 6. Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8/M Tahun 2005 MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi adalah usaha dan/atau kegiatan di bidang minyak, gas, dan/atau panas bumi yang meliputi : eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (MIGAS) baik on shore maupun off shore, eksplorasi dan produksi panas bumi, pengilangan minyak bumi, pengilangan liquified natural gas (LNG) dan liquified petroleum gas (LPG), dan instalasi, depot dan terminal minyak.
2.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
3.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
640 3024
4.
Produksi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas bumi dengan jalan yang lazim.
5.
Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.
6.
Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan penyaluran kembali bahan bakar minyak (BBM) yang penerimaannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan pengairan (sungai, laut), sistem pipa, mobil tangki (bridgen) dan rail tank wagon (RTW).
7.
Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas lepas pantai (off-shore) adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment dari industri minyak dan gas yang berlokasi di laut.
8.
Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas darat (on-shore) adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment dari industri minyak dan gas yang berlokasi di darat.
9.
Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang ke lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi.
10. Air limbah adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan di bidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke lingkungan. 11. Air terproduksi adalah air (brine) yang dibawa ke atas dari strata yang mengandung hidrokarbon selama kegiatan pengambilan minyak dan gas bumi atau uap air bagi kegiatan panas bumi termasuk didalamnya air formasi, air injeksi dan bahan kimia yang ditambahkan untuk pengeboran atau untuk proses pemisahan minyak/air. 12. Air limbah drainase dek adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian dek, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi fasilitas lepas pantai (off-shore). 13. Air limbah domestik fasilitas lepas pantai (off-shore) adalah air limbah yang dibuang dari bak cuci piring, kamar mandi, tempat cuci pakaian, safety shower, tempat cuci tangan, tempat-tempat cuci dapur yang berada di fasilitas lepas pantai (off-shore). 14. Limbah sanitary adalah limbah yang berupa tinja dan air seni yang dibuang dari toilet dan kamar mandi yang berada di fasilitas lepas pantai (off-shore). 15. Air limbah drainase usaha dan/atau kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi fasilitas darat adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang
641 3025
berasal dari tangki dan langsung dengan semua produk sampingan atau eksplorasi dan eksploitasi
area kerja, dan air hujan yang bersinggungan bahan baku produk antara, produk akhir dan limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan minyak bumi fasilitas darat.
16. Air limbah drainase usaha dan/atau kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi. 17. Air limbah proses kegiatan pengolahan minyak bumi adalah air limbah dari fasilitas produksi yang menghasilkan produk-produk minyak. 18. Air limbah drainase usaha dan/atau kegiatan pengolahan minyak bumi adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan pengolahan minyak bumi. 19. Air pendingin (once through cooling water) adalah air limbah yang berasal dari aliran air yang digunakan untuk penghilangan panas dan tidak berkontak langsung dengan bahan baku, produk antara dan produk akhir. 20. Air limbah drainase kegiatan pengolahan LNG dan LPG terpadu adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan pengolahan LNG dan LPG terpadu. 21. Air limbah kegiatan instalasi, depot dan terminal minyak adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesantetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan instalasi depot dan terminal minyak. 22. Debit maksimum air limbah adalah diperbolehkan dibuang ke lingkungan.
debit
tertinggi
yang
masih
23. Kadar maksimum air limbah adalah diperbolehkan dibuang ke lingkungan.
kadar
tertinggi
yang
masih
24. Beban pencemaran maksimum adalah diperbolehkan dibuang ke lingkungan.
beban
tertinggi
yang
masih
25. Kondisi normal adalah kondisi operasi yang sesuai dengan parameter desain operasi. 26. Kondisi abnormal adalah kondisi operasi di luar parameter operasi normal dan masih dapat dikendalikan meliputi : start-up, shut-down dan up-set. 27. Kondisi darurat adalah kondisi operasi di luar parameter operasi normal dan tidak dapat dikendalikan.
642 3026
28. Instansi teknis adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. 29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup. Pasal 2 (1) Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi meliputi : a. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini; b. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini; c. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Minyak Bumi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini; d. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengilangan LNG dan LPG Terpadu sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini; dan e. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Instalasi, Depot dan Terminal Minyak sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini. (2) Lampiran sebagaimana dimasud pada ayat (1) merupaan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali usaha dan/atau kegiatan pengolahan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar. (4) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, khusus untuk parameter TDS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Pasal 3 Dalam kondisi normal, baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setiap saat tidak boleh dilampaui. Pasal 4 (1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan dari Menteri. (2) Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan penambahan parameter yang diajukan oleh Gubernur selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan tersebut dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis terkait.
643 3027
Pasal 5 (1) Daerah dapat menetapkan baku mutu air limbah lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. (2) Penetapan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. (3) Apabila daerah tidak menetapkan Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, maka berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 6 Apabila Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka untuk kegiatan tersebut berlaku baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Pasal 7 Apabila berdasarkan hasil kajian dampak pembuangan air limbah mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 5, atau Pasal 6, maka dalam persyaratan izin pembuangan air limbah diberlakukan baku mutu air limbah berdasarkan hasil kajian. Pasal 8 Ketentuan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 wajib dicantumkan ke dalam izin pembuangan air limbah. Pasal 9 (1) Dalam kondisi normal, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi wajib: a. melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang di buang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan; b. memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam sebulan di laboratorium yang terakreditasi; c. menyusun prosedur penanganan kondisi abnormal dan/atau darurat; dan
644 3028
d. khusus untuk kegiatan pengolahan MIGAS : 1) memasang alat ukur debit atau laju air limbah dan melakukan pencatatan debit harian air limbah tersebut; 2) menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian dan kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/ Walikota, Gubernur, Menteri dan instansi teknis. (2) Dalam kondisi abnormal atau darurat, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi wajib: a. melaporkan terjadinya kondisi abnormal dalam jangka waktu 2 x 24 jam dan kondisi darurat dalam jangka waktu 1 x 24 jam kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Menteri dan instansi teknis; b. menangani kondisi abnormal atau darurat dengan menjalankan prosedur penanganan yang telah ditetapkan, sehingga tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia, serta tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Pasal 10 Apabila baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini : a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku; b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, wajib disesuaikan dengan baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas Bumi, dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-09/MENLH/4/1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
645 3029
Pasal 12 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 8 Mei 2007
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA
646 3030
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS I. Baku Mutu Air Limbah dari Fasilitas Eksplorasi dan Produksi Migas di Lepas Pantai (Off-Shore). NO.
JENIS AIR LIMBAH
1.
Air Terproduksi
2.
Air limbah drainase dek
3.
Air limbah domestik
4.
Air limbah saniter
PARAMETER Minyak dan Lemak
KADAR
METODE PENGUKURAN
Maksimum 50 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
Minyak Bebas
Nihil
(1)
visual
Benda terapung dan buih busa
Nihil
(2)
visual
Residu Chlorine
1-2 mg/L
Standard Method 4500-Cl
Keterangan : (1) Tidak mengandung minyak bebas, dalam pengertian menyebabkan terjadinya lapisan minyak atau perubahan warna pada permukaan badan air penerima. (2) Tidak terdapat benda-benda yang terapung dan buih-buih busa.
II. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas dari Fasilitas Darat (On-Shore). NO. 1.
2.
JENIS AIR LIMBAH
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
Air Terproduksi
COD
200 mg/L 25 mg/L 0,5 mg/L
Air Limbah Drainase
Minyak dan Lemak Sulfida Terlarut (sebagai H2S) Amonia (sebagai NH3-N) Phenol Total Temperatur pH TDS Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
5 mg/L 2 mg/L 40 0 C 6–9 4000 mg/L 15 mg/L 110 mg/L
METODE PENGUKURAN SNI 06-6989:2-2004 atau SNI 06-6989:15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 06-6989.21-2005 SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.27-2005 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Plh. Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Barlin, SH, MS.
647 3031
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI PANAS BUMI NO
1.
2.
JENIS AIR LIMBAH
Air Terproduksi
Air limbah drainase
PARAMETER
Sulfida Terlarut (sebagai H2S) Amonia (sebagai NH3-N) Air Raksa (Hg) Total
Arsen (As) Total Temperatur pH Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
KADAR MAKSIMUM 1 mg/L 10 mg/L 0,005 mg/L
0,5 mg/L 45 0 C 6–9 15 110
METODE PENGUKURAN SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 19-1420-1989 atau SNI 06-2462-1991 atau SNI 06-2912-1992 atau APHA 3500-Hg APHA 3500-As SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Plh. Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Barlin, SH, MS.
648 3032
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN MINYAK BUMI I. Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Proses dari Kegiatan Pengolahan Minyak Bumi. PARAMETER BOD 5 COD
KADAR MAKSIMUM (mg/L) 80 160
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3) 80 160
20 0,5
20 0,5
8
8
Minyak dan Lemak Sulfida Terlarut (sebagai H2S) Amonia (sebagai NH3-N) Phenol Total Temperatur pH Debit Air Limbah Maksimum
0,8
0,8 45 0 C 6–9 1000 m3 per 1000 m3 bahan baku minyak
II. Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Pengolahan Minyak Bumi. No.
JENIS AIR LIMBAH
1.
Air Limbah Drainase
2.
Air Pendingin
METODE PENGUKURAN SNI 06-2503-1991 SNI 06-6989:2-2004 atau SNI 06-6989:15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 06-6989.21-2005 SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004
Drainase dan Air Pendingin Kegiatan
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/L)
METODE PENGUKURAN
Minyak dan Lemak Karbon Organik Total Residu Klorin
15 110 2
Karbon Organik Total
5
SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 Standard Method 4500-Cl SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Catatan : Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Proses.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Plh. Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Barlin, SH, MS.
649 3033
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU No. 1.
JENIS AIR LIMBAH Air limbah proses
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
25 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
Residu Chlorine
2 mg/L
Standard Method 4500-Cl
Temperatur
45
Minyak dan Lemak
pH 2.
Air limbah drainase
0
C
SNI 06-6989.23-2005
6–9
SNI 06-6989.11-2004
Minyak dan Lemak
15 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
Karbon Organik Total
110 mg/L
SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Catatan : Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah proses.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya Plh. Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Barlin, SH, MS.
650 3034
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK PARAMETER Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
25 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
110 mg/L
SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
6-9
SNI 06-6989.11-2004
pH
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Plh. Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Barlin, SH, MS.
651 3035
S A L INA N
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGELOLAAN AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI DENGAN CARA INJEKSI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (4) dan (5) Undang -Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengelolaan Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Hulu Minyak dan Gas serta Panas Bumi dengan Cara Injeksi;
Mengingat : 1. Undang -Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3699); 2. Undang -Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 3. Undang -Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang -Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
652 3092
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 6. Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGELOLAAN AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI DENGAN CARA INJEKSI.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1.
Usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi adalah usaha dan/atau kegiatan di bidang minyak, gas, dan/atau panas bumi yang meliputi: eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (MIGAS) baik on shore maupun off shore, eksplorasi dan produksi panas bumi, pengilangan minyak bumi, pengilangan liquified natural gas (LNG) dan liquified petroleum gas (LPG), dan instalasi, depot dan terminal minyak.
2.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas serta panas bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
3.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak, gas dan panas bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas serta panas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
653 3093
4.
Injeksi air limbah adalah penempatan atau pembuangan air limbah usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi ke dalam formasi tertentu di dalam perut bumi.
5.
Sumur injeksi adalah sumur yang digunakan untuk injeksi air limbah yang dapat berupa sumur baru yang khusus diperuntukkan sebagai sumur injeksi atau sumur yang dikonversikan menjadi sumur injeksi.
6.
Daerah Kajian (Area of Review) adalah luasan dengan radius sama dengan jarak lateral di mana tekanan di dalam zona target injeksi dapat menyebabkan perpindahan air limbah yang diinjeksikan atau fluida formasi ke dalam sumber air minum bawah tanah.
7.
Residu te rlarut (total dissolved solids) adalah total residu yang lolos dari saringan gelas fiber standar (standard glass fiber disk) dan tetap ada setelah diuapkan dan dikeringkan sampai berat konstan pada suhu 180 oC dan dapat digunakan sebagai ukuran kandungan garam terlarut dalam air.
8.
Penyekat (packer) adalah alat semacam sumbat yang dapat mengembang untuk memisahkan ruangan anulus diantara rangkaian pipa dan selubung untuk membatasi zona satu dengan zona lainnya agar tidak berhubungan.
9.
Pipa selubung (casing) adalah pipa baja yang dipasang di dinding sumur untuk menahan runtuhnya dinding lubang sumur.
10.
Pipa sembur (tubing) adalah rangkaian pipa baja yang digantungkan pada ujung atas rangkaian pipa selubung dan berfungsi sebagai pelindung rangkaian pipa produksi atau dapat berfungsi sebagai rangkaian pipa produksi.
11.
Kepala sumur (wellhead) adalah peralatan untuk mengontrol sumur yang terdiri atas kepala pipa selubung, kepala pipa sembur, dan silang sembur.
12.
Anulus (annulus) adalah ruang antara dua dinding silinder yang garis tengahnya berbeda.
13.
Akuifer adalah formasi geologi atau bagian dari suatu formasi yang mengandung sumber air bawah tanah.
14.
Integritas mekanik adalah keadaan di mana tidak ada kebocoran yang signifikan pada pipa selubung, pipa sembur, dan/atau penyekat pada sumur injeksi dan/atau tidak ada pergerakan air limbah ke sumber air minum bawah tanah melalui saluran vertikal (vertical channel) yang berhubungan dengan lubang sumur.
15.
Lapisan zona kedap (Confinement Zone) adalah formasi geologi yang terdiri atas kelompok formasi, suatu formasi, atau bagian dari suatu formasi yang bersifat kedap/impermeable sehingga dapat menyekat/mencegah berpindahnya air limbah yang diinjeksikan masuk ke dalam akuifer.
654 3094
16.
Lapisan zona penyangga (Containment Zone) adalah formasi geologi yang terdiri atas kelompok formasi, suatu formasi, atau bagian dari suatu formasi yang masih dapat menampung rembesan/limpahan air limbah yang diinjeksikan.
17.
Zona target injeksi (Target Zone) adalah suatu formasi geologi yang terdiri atas kelompok formasi, suatu formasi, atau bagian da ri suatu formasi yang mampu menampung air limbah yang akan diinjeksikan.
18.
Keadaan darurat adalah keadaaan yang mencakup di dalamnya bencana alam, semburan liar (blow out, shallow gas), kebakaran, dan kejadian force majeure lainnya.
19.
Mente ri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
20.
Menteri terkait adalah Menteri yang lingkup tugasnya di bidang minyak dan gas serta panas bumi.
21.
Instansi Teknis adalah instansi yang lingkup tugasnya di bidang pembinaan kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. BAB II RUANG LINGKUP Pasa l 2
(1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi wajib melakukan pengelolaan air limbah sehingga memenuhi persyaratan yang ditentukan sebelum dibuang ke lingkungan.
(2)
Pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara injeksi air limbah.
(3)
Air limbah yang dapat diinjeksikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa fluida yang dibawa ke atas dari strata yang mengandung hidrokarbon selama kegiatan pengambilan minyak dan gas serta panas bumi, dan dapat dicampur dengan air limbah yang berasal dari instalasi pengolahan yang merupakan bagian integral dari proses produksi, kecuali limbah tersebut dinyatakan sebagai limbah berbahaya dan beracun atau mengandung radioaktif.
Pasal 3 Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi: a. kegiatan injeksi air yang berkaitan dengan proses peningkatan produksi (enhanced recovery) minyak dan gas serta panas bumi; dan b. kegiatan pemeliharaan tekanan (pressure maintenance) dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi.
655 3095
dari
usaha
BAB III ZONA TARGET INJEKSI DAN DAERAH KAJIAN INJEKSI Pasal 4 (1) Injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan pada Zona Target Injeksi yang tidak berhubungan dengan akuifer sumber air minum bawah tanah yang dipisahkan oleh lapisan zona kedap. (2) Dalam menentukan zona target injeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan hulu minyak, gas, dan panas bumi harus menentukan Daerah Kajian Injeksi.
Pasal 5 Daerah Kajian Injeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan: a. untuk pengajuan izin 1 (satu) sumur injeksi maka Daerah Kajian Injeksi meliputi area dengan radius yang ditentukan berdasarkan jarak melintang dari sumur dengan titik di mana tekanan dari zona injeksi dapat menyebabkan perpindahan cairan air limbah atau cairan formasi ke dalam akuifer sumber air minum. b. untuk pengajuan izin lebih dari 1 (satu) sumur injeksi dalam 1 (satu) lapangan produksi yang sama, maka Daerah Kajian Injeksi meliputi batas terluar area proyek ditambah area dengan radius yang ditentukan berdasarkan jarak melintang dari sumur dengan titik dimana tekanan dari zona injeksi dapat menyebabkan perpindahan cairan air limbah atau cairan formasi ke dalam akuifer sumber air minum. Pasal 6 (1) Daerah Kajian Injeksi dihitung dengan memperhatikan: a. Konduktifitas hidrolik zona injeksi; b. Ketebalan zona injeksi; c. Waktu injeksi; d. Koefisien penyimpanan (storage coeficient); e. Debit injeksi; f. Tekanan hidrostatik zona injeksi; dan g. Tekanan hidrostatik akuifer sumber air minum. (2) Dalam hal penentuan Daerah Kajian Injeksi tidak dapat dihitung, maka : a. untuk pengajuan izin 1 (satu) sumur injeksi dalam 1 (satu) area batas terluar Daerah Kajian Injeksi adalah jarak melintang pada radius 450 meter dari sumur.
656 3096
b. untuk pengajuan izin lebih dari 1 (satu) sumur injeksi dalam 1 (satu) lapangan produksi yang sama, maka batas terluar Daerah Kajian Injeksi adalah batas proyek ditambah jarak melintang 450 meter tegak lurus dengan batas terluar proyek. Pasal 7 (1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi dilarang melakukan injeksi air limbah ke dalam akuifer sumber air minum bawah tanah.
(2)
Kriteria akuifer sumber air minum bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. b. c. d.
sedang digunakan sebagai sumber air minum; memiliki kuantitas air yang cukup untuk cadangan air minum; mengandung residu terlarut kurang dari 10.000 mg/l; dan tidak ditetapkan sebagai akuifer yang dapat digunakan sebagai zona target injeksi. Pasal 8
Akuifer dapat ditetapkan sebagai zona target injeksi apabila memenuhi kriteria: a. sedang tidak digunakan sebagai sumber air minum; b. tidak akan digunakan sebagai sumber air minum bawah tanah pada saat ini maupun pada masa mendatang karena: i. mengandung mineral, hidrokarbon atau sumber energi geothermal; ii. berada di dalam kedalaman yang menyebabkan tidak mungkin dilakukan pemanfaatan air layak minum secara ekonomi dan teknis, atau iii. sangat tercemar sehingga secara ekonomi dan teknologi tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air minum yang dapat dikonsumsi oleh manusia. c. mempunyai kandungan Residu Terlarut lebih besar dari 3.000 mg/l dan lebih kecil dari 10.000 mg/l namun tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber air minum. BAB IV PERIZINAN Pasal 9 (1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi yang akan melakukan injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib mendapatkan izin dari Menteri.
657 3097
(2)
Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat mengajukan permohonan izin untuk 1 (satu) sumur injeksi atau lebih dari 1 (satu) sumur injeksi yang terletak pada lapangan produksi yang sama.
(3)
Izin injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didasarkan pada kajian teknis injeksi air limba h dan memenuhi semua persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
(4)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh Tim yang terdiri dari wakil Kementerian Negara Lingkungan Hidup, wakil instansi teknis dan pakar di bidangnya.
(5)
Menteri menerbitkan atau menolak permohonan izin injeksi air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima dan dinyatakan lengkap.
(6)
Penolakan terhadap permohonan izin injeksi air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib disertai dengan alasan penolakan. Pasal 10
(1)
Dalam mengajukan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan harus dapat menunjukkan bahwa sumur injeksi memenuhi uji integritas mekanik.
(2)
Uji integritas mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui bahwa: a. tidak terjadi kebocoran yang signifikan pada pipa selubung, pipa sembur, dan pipa penyekat; dan b. tidak terjadi perpindahan cairan atau gas secara signifikan ke dalam sumber air minum bawah tanah melalui saluran-saluran vertikal yang berhubungan dengan lubang sumur injeksi.
(3)
Uji integritas mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima ) tahun.
(4)
Uji integritas mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada metode yang telah disetujui oleh instansi teknis atau metode yang secara ilmiah lazim digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas serta panas bumi.
(5)
Uji integritas mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk sumur injeksi yang sudah beroperasi dilakukan dengan menunjukkan dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa semen yang digunakan dapat mencegah terjadinya kebocoran.
658 3098
Pasal 11 (1)
Izin injeksi air limbah sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(2)
Perpanjangan izin injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diajukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum habis masa berlakunya izin.
(3)
Menteri menerbitkan surat keputusan perpanjangan atau menolak permohonan perpanjangan izin injeksi air limbah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan perpanjangan izin injeksi air limbah dari penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
(4)
Permohonan perpanjangan izin injeksi air limbah dilengkapi dengan evaluasi terhadap hasil pemantauan yang ditetapkan dalam perizinan selama 5 (lima) tahun terakhir dan telah memenuhi uji integritas mekanik.
BAB V PERSYARATAN INJEKSI DAN SUMUR INJEKSI Pasal 12 (1) Dalam rangka mencegah terjadinya perpindahan cairan air limbah dan cairan formasi yang dapat mencemari sumber air minum bawah tanah, setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan hulu minyak, gas, dan panas bumi wajib: a. mengkaji dan memperbaiki sumur yang tidak ditutup atau yang ditinggalkan secara tidak sempurna yang berada di dalam Daerah Kajian Injeksi. b. mengajukan rencana yang berisi langkah -langkah atau modifikasi yang akan dilakukan. (3) Dalam hal perbaikan terhadap sumur di dalam Daerah Kajian Injeksi yang berpotensi menyebabkan perpindahan cairan air limbah dan cairan formasi yang dapat mencemari sumber air minum bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a belum diselesaikan, maka kegiatan injeksi air limbah tidak dapat dilakukan.
Pasal 13 Injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus dilakukan melalui sumur injeksi yang memenuhi persyaratan konstruksi sebagai berikut:
659 3099
a. Sumur injeksi harus diberi pipa selubung dan semen untuk mencegah perpindahan cairan air limbah gas atau cairan formasi ke dalam sumber air minum bawah tanah; b. Pipa selubung permukaan harus mempunyai isolasi berupa semen sampai dengan permukaan dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang baku; c. Pipa selubung dan semen yang digunakan harus disesuaikan dengan perencanaan umur sumur; d. Sumur harus dilengkapi dengan tubing dan/atau penyekat mekanik; e. Kepala sumur dilengkapi dengan fasilitas penunjang, seperti alat ukur tekanan injeksi, kecepatan alir dan volume dari limbah yang diinjeksikan; dan f. Anulus harus dilengkapi dengan pengukur tekanan untuk memonitor kebocoran penyekat. Pasal 14 (1)
Injeksi air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan: a. Tekanan injeksi pada kepala sumur tidak boleh melebihi tekanan maksimum yang menyebabkan terjadinya rekahan baru atau merusak/merekah/memecah rekahan eksisting di lapisan zona kedap sehingga menyebabkan perpindahan cairan air limbah dan cairan formasi ke sumber air minum bawah tanah. b. Dalam kondisi apapun tekanan injeksi tidak diperbolehkan menyebabkan terjadinya perpindahan cairan air limbah atau cairan formasi ke dalam sumber air minum bawah tanah. c. Tidak diperbolehkan melakukan injeksi di antara ujung pipa selubung yang melindungi sumber air tana h dan lubang sumur.
(2)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memasang alat ukur pada setiap sumur injeksi sebagai berikut: a. Tekanan injeksi di kepala sumur; b. Tekanan pipa selubung; dan c. Debit (volume dan laju alir).
(3)
Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengoperasikan alat ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan fungsinya dan menjamin akurasi hasil pengukuran.
660 3100
BAB VI KEWAJIBAN Pasal 15 Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemantauan kinerja injeksi air limbah dengan ketentuan : a. Pemantauan tekanan injeksi sumur dengan frekuensi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu. b. Pemantuan tekanan selubung dengan frekuensi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. c. Pemantauan debit injeksi dan volume kumulatif air limbah injeksi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua ) minggu. d. Pemantauan karakteristik kimia-fisika limbah paling sedikit dilakukan diawal sebelum kegiatan injeksi dilakukan, kecuali ada perubahan yang signifikan pada jenis air limbah yang diinjeksikan. Pasal 16 Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib : a. melaporkan terjadinya kondisi darurat secara lisan dalam jangka waktu 1 x 24 jam dan secara tertulis dalam waktu 2 x 24 jam kepada Menteri, menteri terkait, Gubernur, Bupati/walikota, dan kepala instansi yang lingkup tugasnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. b. me nghentikan kegiatan injeksi dan melaporkan kepada Menteri paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal kejadian apabila ada kegagalan operasi yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan. c. menangani keadaan darurat dengan menjalankan prosedur penanganan yang telah ditetapkan sehingga tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia, serta tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. d. melaporkan hasil pemantauan terhadap persyaratan yang tercantum di dalam izin injeksi air limbah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri dan/atau Gubernur dengan tembusan kepada menteri terkait, dan kepala instansi yang lingkup tugasnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
661 3101
Pasal 17 Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi wajib: a. menutup sumur injeksi yang telah selesai masa operasinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melaporkannya kepada Menteri dan menteri terkait, dengan tembusan kepala instansi pemerintah daerah yang lingkup tugasnya di bidang lingkungan hidup di tingkat provinsi dan kabupaten/kota b. mencegah terjadinya pencemaran sumber air minum bawah tanah yang disebabkan oleh fasilitas sumur injeksi yang telah ditutup; dan c. membersihkan ceceran minyak atau limbah lain yang timbul akibat proses penutupan sumur injeksi. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pembuangan air limbah dengan cara injeksi sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan . Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 06 November 2007 Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Umum,
ttd Ir. Rachmat Witoelar. Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
662 3102
Lampiran : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2007 Tanggal : 06 November 2007
FORMULIR ISIAN IZIN PENGELOLAAN AIR LIMBAH KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI DENGAN TEKNIK INJEKSI I. DIISI PETUGAS A. TANGGAL PENERIMAAN Tgl Bln Thn
B. TANGGAL PERSETUJUAN Tgl Bln Thn
C. NOMOR IJIN
II. DIISI PEMOHON IZIN B. LOKASI KEGIATAN
A. PEMOHON/KUASA
D. IDENTITAS SUMUR
C.PERUSAHAAN
Nama
Nama Lokasi Dan Posisi
Nama
Bidang Usaha :
Alamat :
Alamat
Alamat
Akte Perindustrian
Kab/kota : Provinsi : No. Telepon/Fax : e-mail : A. BEROPERASI
No.
Lintang
Desa : Kecamatan : Kab/kota : Persetujuan Amdal Kab/kota : Provinsi : Provinsi No. Telepon/Fax : No. Telepon/Fax: III. STATUS SUMUR Tanggal Mulai Operasi B. MODIFIKASI C. RENCANA Tanggal Bulan Tahun
Bujur
IV. LOKASI SUMUR Jarak Terdekat ke (satuan meter) Badan Air Pemukiman Infrastruktur Vital / Peninggalan Arkeologis/Warisan Budaya/Tempat Keramat
V. LAMPIRAN Lengkapi Lampiran-Lampiran sebagaimana ditetapkan pada ketentuan tentang Lampiran di bawah. VI. PERNYATAAN BERTANGGUNGJAWAB Saya menyatakan, bahwa secara pribadi saya telah memeriksa dan memahami informasi yang dicantumkan dalam permohonan izin ini beserta lampiran-lampirannya, dan bertanggungjawab atas informasi tersebut. Saya menyatakan bahwa informasi tersebut benar, akurat dan lengkap. Saya juga mengetahui bahwa menyampaikan informasi yang palsu dan tidak benar dapat diancam sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tempat dan tanggal Nama :
Tanda Tangan:
1
663 3103
A. Metode Penentuan Daerah Kajian (Area of Review) Uraikan metode yang digunakan beserta perhitungan-perhitungan yang digunakan untuk menentukan luas daerah kajian. Jika tidak dapat mencantumkan metode yang digunakan untuk menghitung daerah kajian, maka luasan ditentukan pada radius 450 meter dari lubang sumur.
B. Peta Sumur dan Daerah Kajian (Area of Review) Lampirkan peta topografi dengan batas terluar 450 meter dari batas kepemilikan lahan. Peta tersebut harus menunjukkan lokasi sumur atau area operasi yang sedang diajukan izinnya beserta luasan daerah kajian untuk masing-masing sumur. Peta juga harus menunjukkan fasilitas pengelolaan lingkungan hidup, seperti struktur intake air minum, pembuangan air limbah, gudang penyimpanan bahan dan limbah B3 atau lokasi pembuangan limbah lainnya. Jika izin yang diajukan merupakan injeksi air limbah untuk area operasi maka peta harus menunjukan distribusi manifold untuk menginjeksikan air limbah, termasuk lokasi-lokasi pemantauan. Di dalam Daerah Kajian peta harus menggambarkan jumlah, nama dan lokasi semua sumur produksi, sumur pembuangan, sumur yang sudah dimatikan (abandon well), sumur kering, badan air permukaan seperti mata air, sungai dan danau, tambang, kuari, pemukiman, jalan, patahan baik yang telah diketahui atau diduga ada. Sebagai tambahan, peta juga harus dapat menggambarkan keberadaan badan air dan sumur air minum yang terletak dalam jarak 450 meter dari batas kepemilikan lahan.
C. Data Sumur dan Upaya Pengendalian Dampak Lampirkan data tiap-tiap sumur, termasuk jenis sumur, konstruksi, tanggal pengeboran, kedalaman, catatan penutupan (plugging) dan/atau completion dan informasi lain yang diperlukan. Jika sumur pembuangan yang diajukan adalah sumur baru maka harus disertai dengan uraian upaya-upaya yang diperlukan untuk mencegah perpindahan fluida ke dalam sumber air minum bawah tanah. Dalam hal kegiatan injeksi be roperasi melampaui tekanan fraktur (fracture pressure) dari formasi injeksi, penanggungjawab kegiatan harus menguraikan tentang sumur-sumur di dalam daerah kajian yang formasinya dipengaruhi oleh peningkatan tekanan akibat kegiatan injeksi. Uraian ini tidak diperlukan bagi pengajuan izin sumur pembuangan yang telah beroperasi.
2
664 3104
D. Peta dan Irisan Melintang Akuifer Air Minum Bawah Tanah Lampirkan peta-peta dan irisan melintang yang mengindikasikan batas vertikal dari seluruh akuifer yang dapat digunakan sebagai sumber air minum di dalam daerah kajian.
E. Nama dan Kedalaman Akuifer Yang Dapat Digunakan sebagai Sumber Air Minum Lampirkan peta yang menggambarkan nama geologi dan kedalaman sampai ke dasar dari akuifer yang dapat digunakan sebagai sumber air minum yang mungkin terpengaruh oleh kegiatan injeksi. F. Data Geologi Lapisan Zona Target Injeksi dan Lapisan Zona Kedap Lampirkan data geologi yang berkaitan dengan lapisan zona target injeksi dan lapisan zona kedap termasuk deskripsi lithologi, nama geologis, ketebalan, kedalaman dan tekanan fraktur. Lampirkan dan uraikan kondisi geologi yang menjelaskan gambaran geologi permukaan dan bawah permukaan dimana kegiatan injeksi limbah dilakukan dan harus mencakup parameter berikut ini: 1. Litologi, mencakup karakteristik fisika, kimia dan geologi batuan atau sedimen pada daerah kajian yang mencakup tipe/jenis batuan di permukaan dan batuan bawah permukaan di lapisan zona kedap dan lapisan zona target injeksi. 2. Stratigrafi, mencakup hubungan penyebaran litologi batuan atau proses sedimentasi secara lateral dan vertikal sehingga dapat memperlihatkan hubungan keterkaitan dan pelamparan/penyebaran pada daerah kajian. 3. Geodinamika, mencakup hubungan keterkaitan sifat fisik batuan pada dan/atau disekitar daerah kajian dengan kondisi struktur geologi, kondisi daerah kegempaan atau kondisi teknonik. 4. Hidrogeologi, mencakup keterkaitan pelamparan kondisi geologi pada dan/atau disekitar daerah kajian dengan kondisi pola aliran dan pengaliran air permukaan serta air bawah permukaan. Lampirkan data, peta, uraian atau perhitungan yang relevan sehingga dapat menjelaskan parameter lapisan zona target injeksi yang merupakan data kondisi bawah permukaan yang menggambarkan kemampuan lapisan untuk menerima/menampung limbah cair yang diinjeksikan dan harus mencakup parameter berikut ini: a) Karakteristik fisika meliputi porositas, permeabilitas, saturasi, tekanan rekah, tekanan formasi dan temperatur. 3
665 3105
b) Kapasitas tampung total lapisan zona target injeksi. c) Hubungan antar sumur untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya komunikasi antara sumur injeksi dan sumur-sumur lainnya disekitar daerah kajian. Informasi ini penting untuk memprakirakan keluarnya limbah yang diinjeksikan melalui sumur-sumur lainnya di sekitar daerah kajian akibat adanya perbedaan tekanan hasil penginjeksian dan tekanan dasar sumur pada sumur disekitar sumur injeksi.
G. Data Operasional Lampirkan dan jelaskan data operasional untuk masing-masing sumur seperti : 1. Debit injeksi rata -rata dan maksimum beserta volume fluida yang akan diinjeksikan. 2. Tekanan injeksi rata -rata dan maksimum. 3. Karakteristik fluida annulus. 4. Sumber dan karakteristik fisika dan kimia air limbah yang akan diinjeksikan.
H. Program Pengujian Formasi Uraikan tentang rencana program pengujian informasi, dimana pengujian bertujuan untuk mendapatkan data tentang tekanan fluida, prakiraan tekanan frakture, dan karakateristik fisika dan kimia lapisan zona target injeksi.
I. Prosedur Injeksi. Uraikan prosedur injeksi yang akan atau telah dilakukan termasuk pemompaan, sistem penampungan, pengaliran air limbah yang akan diinjeksi, tata letak fasilitas injeks, daerah aman operasi, diagram alir proses dan peralatan pendukung.
J. Prosedur Konstruksi Uraikan prosedur konstruksi yang dilakukan meliputi uraian detil tentang casing, pe ngeboran, prosedur logging, pemeriksaan deviasi, pengeboran, pengetesan dan coring serta rencana fluida annulus yang akan digunakan.
4
666 3106
K. Detil Konstruksi Lampirkan gambar skematik atau gambar lain yang sesuai untuk menjelaskan konstruksi fasilitas sumur injeksi di bawah dan di atas permukaan tanah.
L. Rencana Tanggap Darurat Uraikan rencana tanggap darurat untuk mengatasi kegagalan sumur injeksi dan mencegah terjadinya perpindahan fluida ke sumber air minum.
M. Rencana Pemantauan Uraikan rencana pemantauan yang akan dilakukan.
N. Rencana Penutupan Sumur Lampirkan rencana untuk penutupan sumur termasuk : 1. Uraian tentang tipe, jumlah dan penempatan (termasuk ketinggian bagian atas dan bawah) penutup yang akan digunakan; 2. Uraian tentang jenis, kualitas dan kuantitas semen yang akan digunakan; 3. Uraian tentang metode yang akan digunakan untuk menempatkan penutup (plugs) termasuk metode yang digunakan untuk menempatkan sumur ke dalam kondisi kesetimbangan sebelum ditempatkan plugs.
O. Dokumen Pengelolaan Lingkungan Lampirkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dokumen Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) atau dokumen Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) yang relevan dengan kegiatan injeksi air limbah. Menteri Negara Salinan sesuai dengan aslinya Lingkungan Hidup, Kepala Biro Umum, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Nadjib Dahlan, SH. NIP. 180 002 198
5
667 3107
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BESI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi berpotensi menimbulkan pencemaran air sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan pencemaran air melalui penetapan baku mutu air limbahnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Besi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
668 3216
3. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri; MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BESI. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi adalah serangkaian kegiatan yang terkait dengan pertambangan bijih besi yang meliputi kegiatan penambangan dan pengolahan bijih besi menjadi konsentrat serta penutupan tambang. 2. Kegiatan penambangan bijih besi adalah pengambilan bijih besi dalam bentuk masif atau bongkahan yang meliputi pembersihan dan pemindahan tanah penutup, penggalian, pengangkutan dan penimbunan material di stockpile baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. 3. Kegiatan pengolahan bijih besi adalah proses meningkatkan kadar
669 3217
besi dari bijih besi ke konsentrat meliputi penghancuran, penggilingan dan/atau pemurnian dengan metoda fisika dan/atau kimia. 4. Kegiatan penutupan tambang adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan bahan yang terganggu sebagai akibat dihentikannya kegiatan penambangan dan/atau pengolahan atau pemurnian untuk memenuhi kriteria sesuai dengan dokumen rencana penutupan tambang. 5. Bijih besi adalah sekumpulan mineral yang mengandung satu atau beberapa mineral yang secara ekonomis logam besinya dapat diambil dengan cara penambangan bijih besi dan penambangan pasir besi. 6. Kegiatan pengolahan pasir besi adalah proses meningkatkan kadar besi dari pasir besi ke konsentrat meliputi penggilingan dan/atau pemurnian dengan metoda fisika dan/atau kimia. 7. Kegiatan pendukung adalah kegiatan yang meliputi kegiatan pergudangan, transportasi, perbengkelan dan pembangkit listrik. 8. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. 9. Kadar maksimum air limbah adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan. 10. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. 11. Titik penaatan adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah. 12. Kondisi darurat adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi. 13. Kondisi tidak normal adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan bijih besi sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi. 14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 Air limbah dari: a. kegiatan b. kegiatan c. kegiatan d. kegiatan
usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi bersumber penambangan bijih besi; pengolahan bijih besi; pengolahan pasir besi; dan pendukung. Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi baku mutu air limbah yang berasal dari:
670 3218
a. kegiatan penambangan bijih besi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini; b. kegiatan pengolahan bijih besi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini; c. kegiatan pengolahan pasir besi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini; dan d. kegiatan pendukung sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini. (2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi wajib menaati baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan berdasarkan kadar maksimum. Pasal 5 (1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terlampaui karena kondisi darurat atau kondisi tidak normal maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan upaya penanggulangannya kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri. Pasal 6 (1) Pemerintahan daerah provinsi dapat menetapkan: a. baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada baku mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau b. parameter tambahan di luar parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan dari Menteri. (2) Menteri dapat menyetujui atau menolak parameter tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis terkait. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri tidak memberikan keputusan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, permohonan dianggap disetujui. (4) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. (5) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
671 3219
Pasal 7 Dalam hal hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Pasal 6, diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh (AMDAL) atau rekomendasi UKL dan UPL. Pasal 8 Dalam hal hasil kajian bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat daripada baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6 atau Pasal 7, maka dalam persyaratan izin pembuangan air limbah diberlakukan baku mutu air limbah berdasarkan hasil kajian. Pasal 9 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi wajib: a. melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang tidak melampaui baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini; b. menggunakan sistem saluran air limbah kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan; c. menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; d. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah dan melakukan pencatatan debit air limbah harian pada setiap titik penaatan; e. melakukan pencatatan pH harian air limbah pada setiap titik penaatan; f. memeriksa kadar parameter air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan di laboratorium terakreditasi atau yang ditunjuk oleh gubernur; g. menyampaikan laporan debit air limbah harian, pH harian, dan kadar parameter air limbah sebagaimana dimaksud dalam huruf d, huruf e, dan huruf f secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur, dan Menteri sesuai dengan format pelaporan pemantauan kualitas air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan ini; dan h. melaporkan kondisi darurat dan kondisi tidak normal serta upaya penanggulangannya kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesuai dengan format pelaporan kondisi darurat dan kondisi tidak normal sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan ini. (2) Pemasangan alat ukur debit atau laju alir limbah dan pencatatan debit air limbah harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak berlaku untuk usaha dan/atau kegiatan pendukung.
672 3220
(3) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus berada pada saluran air limbah yang keluar dari: a. pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke badan air; dan/atau b. pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih besi dan dari kegiatan lain dan/atau sumber air lain sebelum dibuang ke badan air. Pasal 10 (1) Pejabat pemberi izin wajib mencantumkan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, atau Pasal 8 dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ke dalam persyaratan izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh: a. bupati/walikota untuk izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi yang membuang air limbahnya ke sumber air; atau b. Menteri atau gubernur sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara perizinan pembuangan air limbah ke laut, untuk izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi yang membuang air limbahnya ke laut. Pasal 11 Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih besi yang ditetapkan lebih longgar dari Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan. Pasal 12 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 22 Mei 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
673 3221
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 21 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH BESI No
Parameter
Satuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
pH TSS Fe Mn Zn Cu Pb Ni
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Kadar Maksimum 6–9 200 5 1 5 1 0,1 0,5
9.
Cr(VI)
mg/l
0,1
Metode Analisis SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI
06-6989.11-2004 06-6989.3-2004 06-6989.49-2005 06-6989.41-2005 06-6989.49-2005 06-2514-1991 06-6989.45-2005 06-6989.47-2005 06-6989.48-2005 06-6989.53-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
674 3222
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 21 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH BESI No
Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
pH TSS Fe Mn Zn Cu Pb Ni
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6–9 50 5 1 5 1 0,1 0,5
9.
Cr(VI)
mg/l
0,1
Metode Analisis SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.3-2004
SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-6989.41-2005 SNI 06-6989.49-2005 SNI SNI SNI SNI SNI
06-2514-1991 06-6989.45-2005 06-6989.47-2005 06-6989.48-2005 06-6989.53-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
675 3223
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 21 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN PASIR BESI No
Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
1 2. 3.
pH TSS Fe
mg/l mg/l
6–9 50 5
4. 5. 6. 7. 8.
Mn Zn Cu Pb Ni
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
1 5 1 0,1 0,5
9.
Cr(VI)
mg/l
0,1
Metode Analisis SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.3-2004
SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-6989.41-2005 SNI 06-6989.49-2005 SNI SNI SNI SNI SNI
06-2514-1991 06-6989.45-2005 06-6989.47-2005 06-6989.48-2005 06-6989.53-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
676 3224
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 21 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENDUKUNG No.
Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
Metode Analisis
1.
TOC
mg/L
110
SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
2.
Minyak dan Lemak
mg/L
15
SNI 06-6989.10-2004
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
677 3225
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 21 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009 FORMAT PELAPORAN PEMANTAUAN KUALITAS AIR LIMBAH SERTA KONDISI DARURAT DAN KONDISI TIDAK NORMAL USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BESI A. Format Pelaporan Pemantauan Kualitas Air Limbah Kegiatan Pertambangan Bijih Besi LAPORAN PEMANTAUAN PERIODE : BULAN ........ TAHUN .......... IDENTITAS PERUSAHAAN NAMA PERUSAHAAN ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
:
Sumber Air Limbah Nama/Kode Titik Penaatan Koordinat Titik Penaatan
: : :
ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
: : : :
IDENTITAS SUMBER AIR LIMBAH
Tanggal Sampling :
Laboratorium Penguji: HASIL PEMANTAUAN
NO
PARAMETER
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
TSS Fe Mn Zn Cu Pb Ni
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
8. 9.
Cr (VI) Minyak dan Lemak TOC
mg/L mg/L
10. NO. 1. 2. 3. 4.
TANGGAL
SATUAN
mg/L
METODE ANALISIS
BAKU MUTU
KONSENTRASI
SNI 06-6989.3-2004 SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-6989.41-2005 SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-2514-1991 SNI 06-6989.45-2005 SNI 06-6989.47-2005 SNI 06-6989.48-2005 SNI 06-6989.53-2005 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310 PEMANTAUAN DEBIT DAN pH HARIAN DEBIT ( m3 / hari)
pH
KETERANGAN
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan, (___________________________) Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium
678 3226
KET
B. Format Pelaporan Kondisi Darurat dan Kondisi Tidak Normal Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Besi FORMAT PELAPORAN KONDISI DARURAT DAN KONDISI TIDAK NORMAL USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BESI
NAMA PERUSAHAAN ALAMAT KEGIATAN Kab/Kota : Provinsi : No. Telp/Fax. : Email : RINGKASAN KEJADIAN Tanggal mulai kejadian/jam Lokasi Ttitik penaatan Deskripsi Kondisi Darurat/ Kondisi Tidak Normal Penyebab Kejadian Apakah ada keluhan dari masyarakat karena kejadian ini Tindakan penanganan yang telah dilakukan Tindakan penanganan jangka panjang (pencegahan) yang direncanakan Catatan : lampirkan prosedur penanganan
Penanggung jawab Kegiatan (..................................) Catatan : Apabila kondisi tidak normal terjadi karena curah hujan diatas kondisi normal, lampirkan ringkasan data meteorologi 5 tahun terakhir.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
679 3227
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit berpotensi menimbulkan pencemaran air sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan pencemaran air melalui penetapan baku mutu air limbahnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (5) IndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Bauksit;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
1
680 3243
2. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut; MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT.
Pasal 1 2
681 3244
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit adalah serangkaian kegiatan penambangan, pengangkutan, dan pencucian bijih bauksit, kegiatan produksi alumina, serta kegiatan penutupan tambang. 2. Bijih bauksit adalah sekelompok mineral yang mengandung bahan heterogen yang didominasi oleh aluminium oksida (Al2O3). 3. Kegiatan penambangan bijih bauksit adalah pengambilan bijih bauksit yang meliputi pengupasan tanah penutup, penggalian dan pengangkutan. 4. Kegiatan pencucian bijih bauksit adalah proses untuk meningkatkan konsentrasi bijih bauksit meliputi pencucian dan pemisahan bijih bauksit dari unsur lain yang tidak diinginkan dan pengotor lainnya. 5. Kegiatan produksi alumina adalah pemrosesan lebih lanjut bijih bauksit yang tercuci menjadi alumina. 6. Kegiatan pendukung adalah kegiatan yang meliputi kegiatan transportasi, perbengkelan, dan pembangkit listrik yang menghasilkan air limbah yang terkontaminasi minyak. 7. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. 8. Kadar maksimum air limbah adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan. 9. Air limbah adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan dan pencucian bijih bauksit, kegiatan produksi alumina, serta kegiatan pendukung lainnya. 10. Titik penaatan adalah satu lokasi atau lebih yang dijadikan acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah. 11. Kondisi darurat adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi. 12. Kondisi tidak normal adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan Bijih Bauksit sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi. 13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 (1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi baku mutu air limbah untuk: a. kegiatan penambangan bijih bauksit sebagaimana tercantum dalam Lampiran I;
3
682 3245
b. kegiatan pencucian bijih bauksit sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; c. kegiatan produksi alumina sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; dan d. kegiatan pendukung sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. (2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kadar maksimum. Pasal 3 Setiap usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit wajib menaati baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 4 (1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setiap saat tidak boleh dilampaui. (2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui karena kondisi darurat atau kondisi tidak normal maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri mengenai kondisi tidak normal dan kondisi darurat tersebut serta upaya penanggulangannya dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesuai dengan Lampiran VB yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1)
(2)
(3)
Pemerintahan daerah provinsi dapat menetapkan: a. baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada baku mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); dan/atau b. parameter tambahan di luar parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan dari Menteri. Menteri dapat menyetujui atau menolak parameter tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis terkait. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri tidak memberikan keputusan terhadap permohonan
4
683 3246
(4) (5)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, permohonan dianggap disetujui. Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Pasal 6
Dalam hal hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 5, diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh AMDAL atau rekomendasi UKL dan UPL. Pasal 7 Dalam hal hasil kajian bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat daripada baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 5, atau Pasal 6, diberlakukan baku mutu air limbah berdasarkan hasil kajian. Pasal 8 (1) Semua air limbah yang dibuang ke lingkungan harus melewati titik penaatan. (2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada saluran air limbah yang keluar dari: a. sistem pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke badan air sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber lain selain dari kegiatan penambangan bijih bauksit tersebut; b. sistem pengolahan air limbah dari proses pencucian bijih bauksit sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber air lain selain dari kegiatan pencucian bijih bauksit tersebut; c. sistem pengolahan air limbah dari kegiatan pengolahan bijih bauksit (produksi alumina) sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan/atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan bijih bauksit (produksi alumina) tersebut; dan/atau d. sistem pengolahan air limbah dari kegiatan pendukung sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari
5
684 3247
kegiatan lain dan/atau sumber air lain selain dari kegiatan pendukung tersebut. Pasal 9 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit wajib: a. melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang tidak melampaui baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini; b. menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; c. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah dan melakukan pencatatan debit air limbah harian pada setiap titik penaatan; d. melakukan pencatatan pH harian air limbah pada setiap titik penaatan kecuali titik penaatan kegiatan pendukung; e. memeriksakan kadar parameter air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan di laboratorium terakreditasi dan teregristasi di Kementerian Negara Lingkungan Hidup; f. melaporkan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur, Menteri, dan instansi terkait mengenai debit air limbah harian, pH harian, dan kadar parameter air limbah sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan sesuai dengan Lampiran VA yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan (2) Pemasangan alat ukur debit atau laju alir limbah dan pencatatan debit air limbah harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk usaha dan/atau kegiatan pendukung. Pasal 10 (1) Bupati/Walikota wajib mencantumkan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) serta kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 9 ke dalam persyaratan izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih bauksit yang membuang air limbahnya ke sumber air. (2) Menteri atau gubernur yang diberikan delegasi oleh Menteri untuk memberikan izin pembuangan air limbah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut wajib mencantumkan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) serta kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 8 ke dalam persyaratan izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau 6
685 3248
kegiatan pertambangan bijih bauksit yang membuang air limbahnya ke laut. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 05 Oktober 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
7
686 3249
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 34 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH BAUKSIT No
Parameter Satuan
1. 2. 3. 4.
pH TSS Fe
mg/L Mg/L
Kadar Maksimum 6–9 200 5
Mn
Mg/L
2
Metode Analisis SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.3-2004 SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-6989.41-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
687 3250
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 34 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENCUCIAN BIJIH BAUKSIT No
Parameter
1 2. 3. 4. 5.
pH TSS Fe Cu Ni
mg/L mg/L mg/L mg/L
Kadar Maksimum 6–9 200 5 2 0,5
6. 7.
Mn Pb
mg/L mg/L
2 0,1
Satuan
Metode Analisis SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI SNI
06-6989.11-2004 06-6989.3-2004 06-6989.49-2005 06-2514-1991 06-6989.47-2005 atau 06-6989.48-2005 06-6989.41-2005 06-6989.45-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP. ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
688 3251
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 34 tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PRODUKSI ALUMINA No
Parameter Satuan
1 2. 3.
pH TSS COD
mg/L mg/L
Kadar Maksimum 6–9 50 100
4.
Fe
mg/L
5
5. 6.
Cu Ni
mg/L mg/L
2 0,5
Metode Analisis SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.3-2004 SNI 06-6989.2-2004 atau SNI 06-6989.15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-2514-1991 SNI 06-6989.47-2005 atau SNI 06-6989.48-2005
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
689 3252
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 34 tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENDUKUNG No. Parameter 1.
pH
2.
TSS
3.
COD
4.
Minyak Lemak
Satuan
Kadar Maksimum
Metode Analisis
6-9
SNI 06-6989.112004
mg/L
100
SNI 06-6989.32004
mg/L
100
SNI 06-6989.22004 atau SNI 066989.15-2004 atau APHA 5220
dan mg/L
15
SNI 06-6989.102004
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
690 3253
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 34 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009 VA. FORMAT PELAPORAN PEMANTAUAN KUALITAS AIR LIMBAH KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT LAPORAN PEMANTAUAN PERIODE : BULAN ........ TAHUN .......... IDENTITAS PERUSAHAAN NAMA PERUSAHAAN
:
ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : :
Sumber Air Limbah Nama / Kode Titik Penaatan Koordinat Titik Penaatan
: : :
ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : :
IDENTITAS SUMBER AIR LIMBAH
: : : Tanggal Sampling :
NO
Laboratorium Penguji: HASIL PEMANTAUAN
PARAMETER
SATUAN
1. 2.
TSS COD
mg/L mg/L
3. 4. 5. 6.
Mn Fe Cu Ni
mg/L mg/L mg/L mg/L
7 8.
Minyak dan Lemak Pb
mg/L mg/L
NO. 1. 2. 3., 4.
TANGGAL
METODE ANALISIS SNI 06-6989.3-2004 SNI 06-6989.2-2004 atau SNI 06-6989.152004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.41-2005 SNI 06-6989.49-2005 SNI 06-2514-1991 SNI 06-6989.47-2005 atau SNI 06-6989.482005
Hasil Analisis
BAKU MUTU
KETERANGAN
100 100
2 5 2 0,5
SNI 06-6989.10-2004 15 SNI 06-6989.45-2005 0,1 PEMANTAUAN DEBIT DAN pH HARIAN DEBIT ( m3 / hari)
pH
KETERANGAN
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan,
(___________________________)
Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium
691 3254
VB. FORMAT LAPORAN KONDISI DARURAT DAN KONDISI ABNORMAL USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT FORMAT LAPORAN KONDISI DARURAT DAN KONDISI ABNORMAL USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT
NAMA PERUSAHAAN ALAMAT KEGIATAN Kab/Kota : Provinsi : No. Telp/Fax. : Email : RINGKASAN KEJADIAN Tanggal mulai kejadian/jam Lokasi Ttitik penaatan Deskripsi Kondisi Darurat/ Kondisi Tidak Normal Penyebab Kejadian Apakah ada keluhan dari masyarakat karena kejadian ini? Tindakan penanganan yang telah dilakukan Tindakan penanganan jangka panjang (pencegahan) yang direncanakan Catatan : lampirkan prosedur penanganan Penanggung jawab Kegiatan (..................................)
Catatan : Apabila kondisi tidak normal terjadi karena curah hujan diatas kondisi normal, lampirkan ringkasan data meteorologi 5 tahun terakhir. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
692 3255
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
Mengingat
: a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi merupakan salah satu kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, sehingga perlu ditetapkan ketentuan mengenai baku mutu air limbah berdasarkan azas kehatihatian, keadilan, dan keterbukaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi; : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
693
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi adalah usaha dan/atau kegiatan di bidang minyak, gas, dan/atau panas bumi yang meliputi : eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (MIGAS) baik on shore maupun off shore, eksplorasi dan produksi panas bumi, pengilangan minyak bumi, pengilangan liquified natural gas (LNG) dan liquified petroleum gas (LPG), dan instalasi, depot dan terminal minyak. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan penyaluran kembali bahan bakar minyak (BBM) yang penerimaannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan pengairan (sungai, laut), sistem pipa, mobil tangki (bridgen) dan rail tank wagon (RTW). Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang ke lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. Air limbah adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan di bidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke lingkungan. Air terproduksi adalah air (brine) yang dibawa ke atas dari strata yang mengandung hidrokarbon selama kegiatan pengambilan minyak dan gas bumi atau uap air bagi kegiatan panas bumi termasuk didalamnya air formasi, air injeksi dan bahan kimia yang ditambahkan untuk pengeboran atau untuk proses pemisahan minyak/air. Air limbah drainase usaha dan/atau kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi fasilitas darat adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi fasilitas darat. Air limbah drainase usaha dan/atau kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi adalah semua air limbah yang berasal dari pencucian, tumpahan, selokan dan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari tangki dan area kerja, dan air hujan yang bersinggungan langsung dengan semua bahan baku produk antara, produk akhir dan produk sampingan atau limbah yang berlokasi dalam wilayah kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi.
694
9. 10. 11. 12.
13.
14. 15.
Debit maksimum air limbah adalah volume limbah tertinggi yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dalam waktu tertentu. Kadar maksimum air limbah adalah ukuran batas tertinggi suatu unsur pencemar dalam air limbah yang diperbolehkan di buang ke sumber air. Beban pencemaran maksimum adalah jumlah tertinggi suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air limbah dalam waktu tertentu. Kondisi abnormal keadaan di mana peralatan proses produksi dan/atau instalasi pengolahan air limbah tidak beroperasi sebagaimana mestinya karena adanya kerusakan dan/atau tidak berfungsinya peralatan tersebut Kondisi darurat keadaan tidak berfungsinya peralatan proses produksi dan/atau tidak beroperasinya instalasi pengolahan air limbah sebagaimana mestinya karena adanya bencana alam, kebakaran, dan/atau huru-hara. Instansi teknis adalah instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan lingkungan hidup. Pasal 2
(1) Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi meliputi : a. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini; b. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini; c. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Minyak Bumi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini; d. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengilangan LNG dan LPG Terpadu sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini; dan e. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Instalasi, Depot dan Terminal Minyak sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini. (2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas darat (on-shore) menghasilkan air terproduksi dengan kadar air terproduksi lebih dari 90 % dan membuang air terproduksi tersebut ke laut, baku mutu air terproduksi ditetapkan oleh Menteri melalui mekanisme perizinan pembuangan air limbah ke laut dengan mempertimbangkan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 3 (1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e merupakan batas kadar pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang ke lingkungan.
695
(2) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c merupakan batas kadar dan beban pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Pasal 4 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menaati baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan dari Menteri. (2) Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan penambahan parameter yang diajukan oleh gubernur paling lambat 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan tersebut dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis terkait. Pasal 6 (1) Pemerintah daerah dapat menetapkan baku mutu air limbah lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. (2) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. (3) Apabila pemerintah daerah tidak menetapkan baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 7 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pasal 8 Apabila berdasarkan hasil kajian dampak pembuangan air limbah mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7, berlaku baku mutu air limbah berdasarkan hasil kajian. Pasal 9 Ketentuan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, atau Pasal 8 wajib dicantumkan ke dalam izin pembuangan air limbah.
696
Pasal 10 (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi wajib: a. melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang di buang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan; b. memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam sebulan di laboratorium yang terakreditasi; c. menyusun prosedur penanganan kondisi abnormal dan/atau darurat; dan d. khusus untuk kegiatan pengolahan MIGAS : 1) memasang alat ukur debit atau laju air limbah dan melakukan pencatatan debit harian air limbah tersebut; 2) menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian dan kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/ Walikota, Gubernur, Menteri dan instansi teknis. e. melaporkan terjadinya kondisi abnormal dalam jangka waktu 2 x 24 jam dan kondisi darurat dalam jangka waktu 1 x 24 jam kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Menteri dan instansi teknis; f. menangani kondisi abnormal atau darurat dengan menjalankan prosedur penanganan yang telah ditetapkan, sehingga tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia, serta tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Pasal 11 (1) Baku mutu yang telah ditetapkan lebih ketat sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Baku mutu yang telah ditetapkan lebih longgar sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan dengan baku mutu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun setelah ditetapkan. Pasal 12 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas Bumi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
697
Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 30 Nopember 2010 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF.DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal: 30 Nopember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 582
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, ttd Inar Ichsana Ishak
698
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 19 Tahun 2010 Tanggal : 30 Nopember 2010 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS A. Baku Mutu Air Limbah dari Fasilitas Eksplorasi dan Produksi Migas di Lepas Pantai (Off-Shore). (1) NO.
JENIS AIR LIMBAH
PARAMETER
KADAR
Minyak dan Lemak
50 mg/L
METODE PENGUKURAN
1.
Air Terproduksi
SNI 06-6989.10-2004
2.
Air limbah drainase dek
Minyak Bebas
Nihil
(2)
Visual
(4)
3.
Air limbah domestik
Benda terapung dan buih busa
Nihil
(3)
Visual
(4)
4.
Air limbah saniter
Residu Chlorine
2 mg/L
Standard Method 4500-Cl
Keterangan : 1. Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas lepas pantai (off-shore) adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment, dan fasilitas pengolahan minyak dan gas dari industri minyak dan gas yang berlokasi di laut. 2. Tidak mengandung minyak bebas, dalam pengertian menyebabkan terjadinya lapisan minyak atau perubahan warna pada permukaan badan air penerima. 3. Tidak terdapat benda-benda yang terapung dan buih-buih busa. 4. Hasil pengamatan internal dicantumkan dalam logbook harian.
B. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas dari Fasilitas Darat (On-Shore) Lama. NO. 1.
2.
JENIS AIR LIMBAH Air Terproduksi
Air Limbah Drainase
PARAMETER COD
Minyak dan Lemak Sulfida Terlarut (sebagai H2S) Amonia (sebagai NH3-N) Phenol Total Temperatur pH TDS(3) Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
KADAR MAKSIMUM 300 mg/L
25 mg/L 1 mg/L 10 mg/L 2 mg/L 45 0 C 6–9 4000 mg/L 15 mg/L 110 mg/L
METODE PENGUKURAN SNI 06-6989:2-2004 atau SNI 06-6989:15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 06-6989.21-2005 SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.27-2005 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Keterangan : 1. Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas darat (on-shore) adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment, dan fasilitas pengolahan minyak dan gas dari industri minyak dan gas yang berlokasi di darat, termasuk fasilitas yang memiliki sumur produksi di laut tetapi proses pemisahan minyak dan/atau gas dengan air terproduksi dilakukan di darat.
699
7
2. Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas darat (on-shore) lama adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment, dan fasilitas pengolahan minyak dan gas dari industri minyak dan gas yang telah beroperasi atau tahap perencanaannya dilakukan sebelum tahun 1996. 3. Apabila air limbah terproduksi dibuang ke laut parameter TDS tidak diberlakukan.
C. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Migas dari Fasilitas Darat (On-Shore) Baru. NO. 1.
2.
JENIS AIR LIMBAH Air Terproduksi
Air Limbah Drainase
KADAR MAKSIMUM 200 mg/L
PARAMETER COD
Minyak dan Lemak Sulfida Terlarut (sebagai H2S) Amonia (sebagai NH3-N) Phenol Total Temperatur pH TDS(2) Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
25 mg/L 0,5 mg/L 5 mg/L 2 mg/L 40 0 C 6–9 4000 mg/L 15 mg/L 110 mg/L
METODE PENGUKURAN SNI 06-6989:2-2004 atau SNI 06-6989:15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 06-6989.21-2005 SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.27-2005 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Keterangan : 1. Fasilitas eksplorasi dan produksi minyak dan gas darat (on-shore) baru adalah fasilitas yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, pengeboran, sumur produksi, sumur injeksi, well treatment, dan fasilitas pengolahan minyak dan gas dari industri minyak dan gas yang tahap perencanaannya dilakukan setelah tahun 1996. 2. Apabila air limbah terproduksi dibuang ke laut parameter TDS tidak diberlakukan.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF.DR.IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, ttd Inar Ichsana Ishak
700
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 19 Tahun 2010 Tanggal : 30 Nopember 2010 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI PANAS BUMI NO. 1.
2.
JENIS AIR LIMBAH Air Terproduksi
Air limbah drainase
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
Sulfida Terlarut (sebagai H2S)
1 mg/L
Amonia (sebagai NH3-N) Air Raksa (Hg) Total
10 mg/L
SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 19-1420-1989 atau SNI 06-2462-1991 atau SNI 06-2912-1992 atau APHA 3500-Hg APHA 3500-As SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
0,005 mg/L
Arsen (As) Total Temperatur pH Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
0,5 mg/L 45 0 C 6–9 15 110
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF.DR.IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, ttd Inar Ichsana Ishak
701
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 19 Tahun 2010 Tanggal : 30 Nopember 2010 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN MINYAK BUMI A. Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Proses dari Kegiatan Pengolahan Minyak Bumi. KADAR MAKSIMUM (mg/L)
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3)(1)
BOD 5 COD
80 160
80 160
Minyak dan Lemak Sulfida Terlarut (sebagai H2S)
20 0,5
20 0,5
8
8
PARAMETER
Amonia (sebagai NH3-N) Phenol Total Temperatur pH Volume Air Limbah per satuan volume bahan baku maksimum
0,8
0,8 45 0 C 6–9 1000 m3 per 1000 m3 bahan baku minyak
METODE PENGUKURAN SNI 06-2503-1991 SNI 06-6989:2-2004 atau SNI 06-6989:15-2004 atau APHA 5220 SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-2470-1991 atau APHA 4500-S2SNI 06-6989.30-2005 atau APHA 4500-NH3 SNI 06-6989.21-2005 SNI 06-6989.23-2005 SNI 06-6989.11-2004
Keterangan : Beban pencemaran di hitung dengan menggunakan rumus : Cp x Qal Beban Pencemaran = -------------------- x 10-3 Q crude Beban pencemaran = satuan massa parameter pencemaran per satuan volume bahan baku (crude) yang di olah (gram/m3 crude yang diolah) Cp = konsentrasi (kadar) parameter hasil pengukuran (mg/L) Qal = debit air limbah (m3/bulan) Qcrude = debit bahan baku (crude) yang di olah (m3/bulan).
B. Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Drainase dan Air Pendingin Kegiatan Pengolahan Minyak Bumi. No.
JENIS AIR LIMBAH
1.
Air Limbah Drainase
2.
Air Pendingin
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/L)
METODE PENGUKURAN
Minyak dan Lemak Karbon Organik Total Residu Klorin
15 110 2
Karbon Organik Total
!5(2)
SNI 06-6989.10-2004 SNI 06-6989.28-2005 Standard Method 4500-Cl SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
Catatan : 1. Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi Baku Mutu Pembuangan Air Limbah Proses. 2. Dihitung berdasarkan perbedaan antara outlet dan inlet.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas,
PROF.DR.IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS.
ttd Inar Ichsana Ishak
702
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 19 Tahun 2010 Tanggal : 30 Nopember 2010 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU No. 1.
JENIS AIR LIMBAH Air limbah proses
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
25 mg/L
SNI 06-6989.102004
Residu Chlorine
2 mg/L
Standard Method 4500-Cl
Temperatur
45
SNI 06-6989.232005
Minyak dan Lemak
pH 2.
Air limbah drainase
Minyak dan Lemak Karbon Organik Total
0
C
6–9
SNI 06-6989.112004
15 mg/L
SNI 06-6989.102004
110 mg/L
SNI 06-6989.282005 atau APHA 5310
Catatan : Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah proses.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF.DR.IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, ttd Inar Ichsana Ishak
703
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 19 Tahun 2010 Tanggal : 30 Nopember 2010
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
Minyak dan Lemak
25 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
Karbon Organik Total
110 mg/L
SNI 06-6989.28-2005 atau APHA 5310
6-9
SNI 06-6989.11-2004
pH
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd PROF.DR.IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, ttd Inar Ichsana Ishak
704
705
706
707
708
709
710
711
712
713
714
715
716
717
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Kebisingan
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : 1.
bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2.
bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat kebisingan yang dihasilkan;
3.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan;
Mengingat : 1.
Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
718 3488
7.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
8.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
9.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
11.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Pasal 1 (1)
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1.
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
2.
Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB;
3.
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
719 3489
4.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
5.
Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2 Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 3 Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan diluar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.
Pasal 4 (1)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.
(2)
Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6 (1)
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib: 1.
mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan;
720 3490
2.
memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan;
3.
menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan Instansi Teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta Instansi lain yang dipandang perlu.
4.
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7 (1)
Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi: 1.
baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2.
baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Nopember 1996 Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
721 3491
LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996
BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Keterangan : disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
LAMPIRAN II KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996
METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN LINGKUNGAN
1. Metoda Pengukuran Pengukuran tingkat kebisingan dapat diiakukan dengan dua cara : 1) Cara Sederhana
722 3492
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi db (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik. 2) Cara Langsung Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dencan cara pada siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 10 jam (LS) pada selang waktu 06.00 - 22. 00 dan aktifitas dalam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 06.00. Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh : - L1 diambil pada jam 7.00 mewakli jam 06.00 - 09.00 - L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 - 11.00 - L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 - 17.00 - L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.- 22.00 - L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 - 24.00 - L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 - 03.00 - L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 - 06.00 Keterangan : - Leq : Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama. Satuannya adalah dB (A). - LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik - LS = Leq selama siang hari - LM = Leq selama malam hari = Leq selama siang dan malam hari. - LSM 2. Metode perhitungan: (dari contoh) LS dihitung sebagai berikut : LS = 10 log 1/16 ( T1.10
01L5
+.... +T4.1001L5) dB (A)
LM dihitung sebagai berikut : LM = 10 log 1/8 ( T5.10
01L5
+.... +T7.1001L5) dB (A)
Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus : LSM = 10 log 1/24 ( 16.10
01L5
+.... +8.1001L5) dB (A)
723 3493
3. Metode Evaluasi Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3 dB(A)
__________________________________
724 3494
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Getaran
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2.
bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran yang dihasilkan;
3.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran;
Mengingat : 1.
Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
725 3495
7.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
8.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
10.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT GETARAN
Pasal 1 (1)
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1.
Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan;
2.
Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia;
3.
Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia;
4.
Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat;
5.
Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
726 3496
6.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
7.
Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2 (1)
Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV Keputusan ini.
(2)
Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran V Keputusan ini.
Pasal 3 Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.
Pasal 4 (1)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2)
Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5 (1) (2)
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
727 3497
Pasal 6 (1)
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib: 1.
mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;
2.
memasang alat pencegahan terjadinya getaran;
3.
menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu.
4.
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7 (1)
Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi: 1.
baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2.
baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 Nopember 1996 Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja
728 3498
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN
Konversi : Percepatan = (2pf)2 x simpangan Kecepatan = 2pf x simpangan
p
= 3,14
2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan
729 3499
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASRKAN DAMPAK KERUSAKAN
730 3500
Keterangan : Kategori A Kategori B Kategori C Kategori D
: Tidak menimbulkan kerusakan : Kemungkinan keretakan plesteran (retak/terlepas plesteran pada dinding pemikul beban pada kasus khusus) : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban : Rusak dinding pemikul beban
2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan
731 3501
Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
BAKU TINGKAT GETARAN MEKENIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN
Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus dipakai.
732 3502
Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT
Lampiran V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN a.
Peralatan Pedoman yang dipakai ialah: 1) 2) 3) 4) 5)
b.
Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)
Cara pengukuran 1.
2.
Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan; a) Alat penangkap getaran dilelakkan pada lantai atau permukaan yang bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan filter. b) Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat: tidak dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran. c) Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekwensi 4 - 63 Hz atau dengan sapuan oleh alat pencatat getaran. d) Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik Lampiran 1.2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan
733 3503
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan kesahatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran puncak (Peak velocity). c.
Cara Evaluasi Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2 dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan. Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti pada Grafik ll.2
Defnisi : 1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan, diperhitungkan dan dimaksudkan untuk : a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban sementara) b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal. Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall) 2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin fungsi struktur. Misal : balok, kolom dan slab dari frame. 3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap. 4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau difungsikan untuk mendukung beban. Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu. Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur : 1. 2.
Kerusakan pada struktur, dapat mambahayakan stabilitas bangunan, atau roboh. (misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan). Kerusakan pada non struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa membahayakan penghuni (misal: robohnya dinding partisi, tidak merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).
Derajat kerusakan srtuktur : 1. 2.
3
Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan perkuatan. Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan bangunan. __________________________________
734 3504
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Menimbang : 1.
bahwa pencemaran udara dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
2.
bahwa untuk memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara, perlu disusun Indeks Standar Pencemar Udara;
3.
bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Indeks Standar Pencemar Udara;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
3.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
4.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
5.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
735 3510
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);
8.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
9.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
10.
Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;
12.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
13.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-15/MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru;
14.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-16/MENLH/4/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru;
15.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Indeks Standar Pencemar Udara
736 3511
Pasal 1 (1)
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1.
Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
2.
Menteri adalah Menteri yang diberi tugas mengelola lingkungan hidup; Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
3.
Kepala Bapedal adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
4.
Bupati/Walikotamadya Tingkat II;
5.
Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien Otomatis adalah stasiun pemantau kualitas udara ambien yang beroperasi secara terus menerus dan datanya dapat dipantau secara langsung.
adalah
Bupati/Walikotamadya/Kepala
Daerah
Pasal 2 (1)
Rentang Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
(2)
Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi.
Pasal 3 (1)
Indeks Standar Pencemar Udara dapat digunakan sebagai: 1.
bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu;
2.
bahan pertimbangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara.
737 3512
Pasal 4 (1)
Data Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien Otomatis.
(2)
Parameter Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: 1.
Partikulat (PM10);
2.
Karbon Monoksida (CO);
3.
Sulfur dioksida (SO2);
4.
Nitrogen dioksida (NO2);
5.
Ozon (O3);
Pasal 5 (1)
Kepala Bapedal wajib menyampaikan Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat secara nasional setiap hari.
(2)
Kepala Bapedal wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara secara nasional setiap 1 (satu) tahun sekali.
(3)
Gubernur wajib melaporkan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepala Bapedal setiap 1 (satu) tahun sekali.
(4)
Gubernur wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara di wilayahnya setiap 1 (satu) tahun sekali.
(5)
Bupati/Walikotamadya wajib menyampaikan hasil evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara di wilayahnya kepada Gubernur setiap 1 (satu) tahun sekali.
(6)
Bupati/Walikotamadya wajib menyampaikan Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat di daerahnya setiap hari.
(7)
Bupati/Walikotamadya wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara secara periodik di wilayahnya.
(8)
Apabila hasil evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara menunjukkan kategori tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka Gubernur dan/atau Bupati/Walikotamadya wajib melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara.
738 3513
Pasal 6 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah melakukan pembinaan teknis pelaksanaan Indeks Standar Pencemar Udara di wilayah masing-masing.
Pasal 7 Perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Di tetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 13 Oktober 1997 Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
739 3514
Pencemar
Udara
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 tanggal 13 Oktober 1997
INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA
__________________________________
740 3515
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP; Menimbang :
Mengingat
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi; 1. Undang–undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
741
1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI. Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi; 2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi; 3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi; 4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam uda ra ambien; 5. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk melaksanakan pembangunan fisik usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi; 6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan;
742
2
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya; 8. Kegiatan Kilang Minyak adalah kegiatan untuk memproduksi bahan bakar minyak beserta turunannya dari minyak hasil kegiatan eksploitasi melalui serangkaian proses kimia dan atau físika; 9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas dari hasil kegiatan eksploitasi gas alam melalui serangkaian proses físika dan atau kimia; 10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain; 11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan gas bumi tidak terlampaui; 12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2 Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam Keputusan ini meliputi jenis kegiatan eksplorasi dan produksi, kilang minyak, kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending). Pasal 3 Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan: a. b. c. d. e.
Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I; Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II; Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III; Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV; Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari 1 (satu) jenis (fuel blending), maka mengacu kepada perhitungan dalam Lampiran V.
743
3
Pasal 4 Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan. Pasal 5 Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi yang termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun yang diolah secara thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang berlaku. Pasal 6 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2: a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang mencakup pencegahan, pengolahan dan pemantauan yang antara lain alat pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundangundangan yang berlaku; b. wajib memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong tertentu yang pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi cerobong yang tidak dipasang peralatan Contiuous Emission Monitoring (CEM) wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan sekali; c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali untuk hasil pemanta uan dengan peralatan otomatis; d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) sekali bulan untuk pemantauan yang menggunakan peralatan manua l; e. wajib melaporkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta Menteri apabila ada keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui; f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;
744
4
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi sebagai sumber fugitive emission. Pasal 7 Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat dijadikan sebagai salah satu dasar kebijakan teknis dan non teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara. Pasal 8 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib dicantumkan dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini. Pasal 9 Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang kurangnya 5 (lima) tahun sekali. Pasal 10 Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka waktu selama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III, dan IV. Pasal 11 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal: 28 Juli 2003 --------------------------------------------Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan ini sesuai dengan aslinya, Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA. 745
5
LAMPIRAN I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS I. KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI No
Sumber
Bahan Bakar
Parameter
Baku Mutu Emisi satuan : mg/Nm3
1
Flare Stack
2
Boiler dan Steam Generator
3
Gas Turbin
4
Gathering Stasion Gas Vents
Opasitas
40%
Minyak
Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas
300 1200 1400 40%
Gas
Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas
1000 40%
Gas Minyak
Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2)
400 600
Total Reduced Sulfur (H2S) Hidrokarbon
100 (*) 5000 (**)
Catatan: 1. (*) Ground Level Concentration tidak boleh lebih dari 5 ppm. (**) Ground Level Concentration sesuai dengan Baku Mutu Udara Ambien di dalam PP 41/1999. 2. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 3. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 4. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O2 sebesar 3 %. 5. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95 % waktu operasi normal selama 3 bulan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA. 746
LAMPIRAN II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS II. KEGIATAN KILANG MINYAK No
Sumber
Bahan Bakar
Parameter
Baku Mutu Emisi
satuan : mg/Nm3
1
2
Catalitic Cracking Unit
Proses Heater, Boiler
Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Hidrokarbon
400 1500 1000 200
Minyak
Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas
300 1200 1400 40%
Gas
Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas
400 40%
3
Flare Stack
Opasitas
40%
4
Semua Sumber (kecuali flare)
Opasitas
40%
5
Gas Turbine
Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2)
400 600
Gas Minyak
Catatan: 1. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O2 sebesar 3 %. 4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95 % waktu operasi normal selama 3 bulan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 juli 2003 ---------------------------------------------------Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd Hoetomo, MPA. 747
LAMPIRAN III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS III. KEGIATAN KILANG LNG
No
Sumber
Bahan Bakar
Parameter
Baku Mutu Emisi Satuan : mg/Nm3
1
Boiler
Partikulat Sulfur Dioksida (SO2) Nitrogen Oksida (NO2) Opasitas
300 1200 1400 40%
2
Flare Stack
Opasitas
40%
3
Gas Turbine
Nitrogen Oksida (NO2) Nitrogen Oksida (NO2)
400 600
Gas Minyak
Catatan: 1. 2. 3. 4.
Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm). Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O2 sebesar 3 %. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95 % waktu operasi normal selama 3 bulan.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003 ----------------------------------------------------Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA.
748
LAMPIRAN IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN UNIT PENANGKAPAN SULFUR IV. KEGIATAN UNIT PENANGKAPAN SULFUR Sumber ton/hari
Parameter
Baku Mutu Emisi
satuan : %
Sulfur Plant Sulfur feed rate :
Sulfur Recovery (minimum)
< 2 < 10 < 50 > 50
70 85 95 97 satuan : mg/ Nm3
atau dengan persyaratan akhir
SO2
2600
Catatan: 1. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm) 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan 3. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95 % waktu operasi normal selama 3 bulan
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA. 749
LAMPIRAN V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 129 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 V. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN FUEL BLENDING (PENCAMPURAN BAHAN BAKAR /MIX FUEL)
BME (x,m) = [(BME(x,f1) * Q(f1)) + (BME(x,f2) * Q(f2))] / Qt
Catatan : BME (x,m)
=
Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar
BME(x,f1)
=
Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1
Q(f1)
=
Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem
BME(x,f2)
=
Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2
Q(f2) Qt
= =
Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem Kebutuhan Energi Total
Contoh perhitungan : Kegiatan Pengilangan minyak untuk unit Boiler, menggunakan bahan bakar campuran antara gas (fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sbb
Kebutuhan Energi Total Suplai energi actual dari bahan bakar gas Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan kilang minyak – parameter partikulat bahan bakar gas (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak) Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan kilang minyak – parameter partikulat bahan bakar oil/minyak (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak)
Qt Q(f1) Q(f2)
: :
5*106 KKal 2*106 KKal 3*106 KKal
BME(f1)
:
0 mg/Nm3
BME(f2)
300 mg/Nm3
BME(partikulat,m) = [0 * 2*106 ] + [ 300 * 3*106 ] / 5*106 = 180 mg/Nm3 Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA. 750
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pelestarian daya tampung lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan hidup; b. bahwa usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap emisi yang dibuang ke udara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang
:
751 3772
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853); MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. 2. Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi. 3. Kegiatan eksplorasi dan produksi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan serta menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 4. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagianbagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. 5. Kegiatan kilang Liquid Natural Gas (LNG) adalah kegiatan proses pengolahan gas alam menjadi fasa cair dengan proses
752 3773
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
pendinginan sampai suhu yang sangat rendah pada tekanan atmosfir. Kegiatan pengangkutan minyak dan gas adalah kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. Kegiatan penyimpanan minyak dan gas adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi dan/atau gas bumi. Kegiatan niaga minyak dan gas adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk niaga gas bumi melalui pipa. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien. Parameter utama adalah parameter yang di tetapkan sebagai baku mutu sesuai dengan karakteristik sumber emisinya. Faktor koreksi oksigen adalah koreksi perhitungan yang dilakukan terhadap hasil pengukuran menjadi suatu hasil perhitungan emisi terkoreksi terhadap konsentrasi oksigen terkoreksi yang ditetapkan. Metode perhitungan beban emisi adalah menghitung beban emisi berdasarkan data aktifitas yang diperoleh dengan cara menghitung sistem dan parameter tambahan lain yang diperoleh dari pengukuran laboratorium atau faktor standar. Metode pengukuran beban emisi adalah menghitung beban emisi berdasarkan pengukuran secara kontinyu konsentrasi dan aliran gas dari sumber emisi. Sumber emisi proses pembakaran adalah sumber emisi yang menghasilkan emisi dari reaksi exothermic antara bahan bakar dengan oksigen kecuali gas tersebut di bakar untuk pengolahan sulfur. Sumber emisi proses produksi adalah sumber emisi yang menghasilkan emisi selain dari proses pembakaran sebagai akibat reaksi yang disengaja maupun tidak disengaja antara bahan-bahan (senyawa) atau perubahannya termasuk proses dekomposisi bahan secara thermal dan pembentukan bahan yang digunakan sebagai bahan baku proses produksi. Sumber emisi fugitive adalah emisi yang secara teknis tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan emisi yang setara. Unit penangkapan sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain. Ketel uap (boiler) atau pembangkit uap (steam generator) atau pemanas proses (process heater) atau pengolahan panas (heater treater) adalah peralatan berbahan bakar cair maupun gas yang
753 3774
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
berfungsi menghasilkan air panas dan/atau uap dan/atau untuk kebutuhan pemindahan energi lainnya. Pembakaran suar bakar (flaring) adalah pembakaran secara kontinyu maupun yang tidak menerus dari gas-gas yang dihasilkan oleh kegiatan operasi minyak dan gas pada cerobong tetap (stationary stack) baik vertikal maupun horizontal. Venting adalah pelepasan gas-gas hidrokarbon yang disengaja dan bersifat kontinyu atau tidak menerus yang dihasilkan dari kegiatan operasi minyak dan gas, yaitu dari proses separasi fluida, ke udara terbuka melalui cerobong tetap. Turbin gas adalah mesin berbahan bakar cair maupun gas yang menggunakan aliran gas untuk menggerakkan bilah-bilah turbin yang terdiri dari kompresor, pembakar, dan turbin pembangkit tenaga. Mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine) atau motor bakar adalah mesin berbahan bakar cair maupun gas yang mengubah energi panas menjadi energi mekanis dengan menggunakan mesin timbal balik secara pengapian dengan percikan (spark ignition) atau pengapian dengan tekanan (compression ignition). Unit oksidasi thermal sulfur (Sulphur Thermal Oxidizer) atau insinerator gas kecut (acid gas incinerator), adalah unit proses pengolahan polutan gas yang mengandung sulfur secara oksidasi panas atau insinerasi. Unit pelepasan dehidrasi glicol (Glycol Dehidrator Vent) adalah system pelepasan hidrokarbon dan uap air yang diemisikan ke atmosfir yang berasal dari sistem pengeringan cairan yang memisahkan air dari gas atau gas alam cair. Pembakaran terbuka (Open Burning) adalah pembakaran liquid atau material padat secara sengaja yang mengandung hidrokarbon pada pit, drum, atau container terbuka, tidak termasuk cairan ikutan pada suar bakar tanah dan pembakaran untuk pelatihan pemadam kebakaran. Perengkahan katalitik alir (Fluid Catalytic Cracking Unit) adalah proses perengkahan minyak dengan menggunakan butiran katalis halus yang mengalir terus menerus antara reaktor dan regenerator dengan menggunakan udara, uap minyak dan uap air sebagai bahan pendorong. Regenator katalis unit perengkahan katalitik alir (Fluid Catalytic Cracking Unit Catalyst Regenerator) adalah satu atau lebih regenarator yang merupakan bagian dari unit perengkahan katalitik alir dimana proses regenerasi kokas bakar (Coke burnoff) dan katalis atau bahan kontak terjadi, termasuk regenerasi peniup api proses pembakaran (regenerator combustion air blower). Kokas bakar adalah arang yang dipisahkan dari permukaan Unit Perengkahan Katalitik Alir dengan proses pembakaran di dalam catalyst regenerator. Unit pengolahan ulang sulfur sistem claus (Claus sulfur Recovery Plant) adalah unit proses yang mengambil kembali sulfur dari
754 3775
30.
31. 32.
33. 34.
35.
36.
37.
hidrogen sulfida dengan suatu reaksi katalis fase uap dari sulfur dioksida dan hidrogen sulfida. Unit pentawaran (Sweetening Unit) adalah unit proses yang memisahkan H2S dan/atau CO2 dari aliran gas kecut (sour natural gas). Boil off gas adalah emisi gas metan dari LNG akibat panas udara ambien dan perubahan tekanan barometrik. Continuous Emission Measurement System yang selanjutnya disingkat CEMS adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menentukan kuantitas kadar suatu parameter emisi atau laju aliran melalui pengukuran secara periodik, yang digunakan baik secara in-situ di dalam cerobong maupun secara ekstraksi dengan alat pengukuran yang dipasang di dekat cerobong dan tidak termasuk di dalamnya adalah pengukuran yang didasarkan oleh pengambilan sampel secara individual dari cerobong. Kondisi normal adalah kondisi operasi yang sesuai dengan parameter desain operasi. Kondisi tidak normal adalah kondisi operasi di luar parameter operasi normal dan masih dapat dikendalikan terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan gas bumi terlampaui meliputi kondisi pada saat mematikan (shutdown), menghidupkan (start up), gangguan (upset) atau malfungsi. Kondisi darurat adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan pekerja dan atau masyarakat akibat pencemaran udara dari kegiatan dan atau usaha minyak dan gas bumi sehingga dapat mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadinya kondisi darurat pengendalian pencemaran udara untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan: a. eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi; b. unit pengolahan minyak; c. kilang LNG; dan d. pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan gas bumi.
755 3776
Pasal 3 (1) Emisi kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a bersumber dari: a. proses pembakaran yang meliputi emisi dari mesin pembakaran dalam, turbin gas, ketel uap, pembangkit uap, pemanas proses, pengolahan panas, dan suar bakar; b. proses produksi yang meliputi emisi dari unit pentawaran, unit penangkapan sulfur, unit oksidasi thermal sulfur atau insinerator gas kecut, dan unit pelepasan dehidrasi glicol; dan c. fugitive yang meliputi emisi akibat kebocoran katup, flensa (flange), pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, drain/blowdown, kebocoran dari peralatan proses produksi dan komponen-komponennya, emisi dari tangki timbun dan instalasi pengolahan air limbah, serta uji kepala selubung (casing head test). (2) Emisi unit pengolahan minyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b bersumber dari: a. proses pembakaran yang meliputi sumber emisi dari mesin pembakar dalam, turbin gas, ketel uap, pembangkit uap, pemanas proses, dan suar bakar; b. proses produksi yang meliputi emisi dari regenator katalis unit perengkahan katalitik alir, emisi dari proses decoking, kegiatan penangkapan sulfur, dan unit pengolahan ulang sulfur sistem claus; dan c. fugitive yang meliputi emisi akibat kebocoran katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran dari peralatan proses produksi dan komponen-komponennya, serta emisi dari tangki timbun dan instalasi pengolahan air limbah. (3) Emisi usaha dan/atau kegiatan kilang LNG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c bersumber dari: a. proses pembakaran yang meliputi emisi dari mesin pembakar dalam, turbin gas, ketel uap, pembangkit uap, pemanas proses, dan suar bakar; b. proses produksi yang meliputi emisi dari boil off gas dan insinerator gas kecut; dan c. fugitive yang meliputi emisi akibat kebocoran katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran dari peralatan proses produksi dan komponen-komponennya, serta emisi dari tangki timbun dan instalasi pengolahan air limbah. (4) Emisi kegiatan pengangkutan, penyimpanan, serta niaga minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d bersumber dari: a. proses pembakaran yang berasal dari mesin pembakar dalam; dan b. fugitive yang meliputi emisi akibat kebocoran dari katup, flensa, pompa, kompresor, alat pelepas tekanan, kebocoran dari peralatan proses produksi dan komponen-komponennya, serta emisi dari tangki timbun dan instalasi pengolahan air limbah.
756 3777
Pasal 4 (1) Baku mutu emisi bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi: a. baku mutu emisi yang bersumber dari proses pembakaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; b. Baku mutu emisi yang bersumber dari proses produksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; c. Baku mutu emisi yang bersumber dari proses percampuran bahan bakar lebih dari 1 (satu) jenis bahan bakar sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Baku mutu emisi sumber pembakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi: a. sumber emisi yang mempunyai kapasitas di bawah 100 hp; b. sumber emisi yang beroperasi secara kumulatif kurang dari 1000 jam per tahun; c. sumber emisi yang digunakan untuk kepentingan darurat, kegiatan perbaikan, atau kegiatan pemeliharaan yang secara akumulatif berlangsung kurang dari 200 jam per tahun; dan/atau d. sumber emisi yang digunakan untuk menggerakkan derek dan peralatan las serta sumber tenaga untuk kegiatan pemboran minyak atau gas. (3) Bagi emisi yang bersumber dari proses pembakaran dengan kapasitas < 25 MW atau satuan lain yang setara yang menggunakan bahan bakar gas: a. baku mutu untuk parameter sulfur dioksida sebagaimana tercantum dalam Lampiran I butir 1.a sampai dengan 1.c tidak berlaku, jika kandungan sulfur dalam bahan bakar kurang dari atau sama dengan 0,5 % berat; dan b. baku mutu untuk parameter total partikulat sebagaimana tercantum dalam Lampiran I butir 1.a sampai dengan 1.c tidak berlaku. (4) Baku mutu emisi yang bersumber dari proses pembakaran unit suar bakar sebagaimana tercantum dalam Lampiran I butir 1.d tidak berlaku untuk pilot flaring dan flaring dari kegiatan pemboran dan pemeliharaan sumur, casing gas, serta migrasi gas dari sumur minyak dan tangki timbun. Pasal 5 (1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaporkan sumber emisi yang tidak termasuk dalam sumber emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Baku mutu bagi sumber emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan mempertimbangkan kesesuaian karakteristik sumber emisi.
757 3778
Pasal 6 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melakukan: a. inventarisasi emisi; b. pengelolaan emisi; c. pemantauan emisi; d. pelaporan hasil pemantauan emisi; dan e. penanganan kondisi darurat pencemaran udara. Pasal 7 (1) Inventarisasi emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi kegiatan: a. identifikasi sumber emisi dan proses yang menyebabkan terjadinya emisi, termasuk nama atau kode yang digunakan untuk identitas sumber emisi, titik koordinat dan parameter emisi utama yang dihasilkan dari sumber emisi; b. penghitungan beban emisi parameter utama dan CO2 dari seluruh sumber emisi yang berada dalam area kewenangan kegiatannya; c. deskripsi metode yang digunakan untuk menghitung beban emisi; d. pencatatan dan uraian data aktifitas, faktor emisi, faktor oksidasi dan konversi dari masing-masing sumber emisi yang dihitung beban emisinya; e. pendokumentasian bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran perhitungan data aktifitas yang digunakan sebagai pendukung untuk perhitungan beban emisi; dan f. pendiskripsian pendekatan yang digunakan untuk mengambil contoh atau analisa untuk menentukan nilai kalori bersih (net calorific value), kandungan karbon (carbon content), faktor emisi (emission factors), faktor oksidasi, dan konversi (oxidation and conversion factor) untuk masing masing sumber emisi. (2) Penghitungan beban emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dilakukan dengan menggunakan: a. metode perhitungan beban emisi; atau b. metode pengukuran beban emisi. (3) Metode penghitungan beban emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Menteri. Pasal 8 (1) Pengelolaan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b terdiri atas: a. penetapan penanggung jawab kegiatan inventarisasi emisi, pengelolaan, pemantauan dan pelaporan sumber emisi serta penanganan kondisi darurat pencemaran udara; b. penyediaan, pengoperasian, pemeliharaan, dan perbaikan terhadap sarana dan prasarana yang mencakup pencegahan, pengolahan serta memastikan semua sistem berjalan dengan baik sehingga emisi yang dibuang, dalam kondisi normal memenuhi baku mutu;
758 3779
c. penyediaan, pencatatan, dan penyimpanan catatan atau log book yang berkaitan dengan kegiatan pengoperasian, pemeliharaan, dan perbaikan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara; dan d. pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi sebagai sumber emisi fugitive melalui inventarisasi dan penghitungan beban pencemaran dari sumber emisi fugitive serta pengecekan, pemeliharaan, dan perbaikan peralatan secara rutin untuk mencegah dan mengurangi emisi sumber fugitive. (2) Dalam melaksanakan pengelolaan emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dilarang: a. melakukan pembakaran secara terbuka cairan hidrokarbon atau material padat secara sengaja pada pit, drum, atau kontainer terbuka, tidak termasuk cairan hidrokarbon ikutan pada suar bakar tanah dan pembakaran untuk pelatihan pemadam kebakaran di area fire training ground; dan b. membuang gas ikutan (associated gas) secara langsung melalui venting kecuali dengan izin Menteri. (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi venting dari casing gas, migrasi gas dari sumur minyak dan gas, tangki penyimpanan produksi, gas – driven pneumatic device, gas driven injection pumps, compressor ancillary system, compressor seal system, pig launchers/receiver, well completion/ treatment/stimulation/ work over/testing/offloading, breather valves, dan pressure relief valves. (4) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi wajib mendokumentasikan secara lengkap alasan melakukan venting berdasarkan analisa risiko dan integritas sistem. Pasal 9 Pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dilakukan dengan: a. CEMS; atau b. manual. Pasal 10 (1) Usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas yang: a. sudah beroperasi atau sedang dalam tahap konstruksi pada saat ditetapkannya Peraturan Menteri ini, wajib memasang dan mengoperasikan CEMS pada salah satu cerobong dengan beban pencemaran tertinggi yang berasal dari sumber emisi proses pembakaran dengan kapasitas diatas 25 MW, yang penetapannya dihitung berdasarkan beban emisi pada tahap awal perencanaan pemasangan; b. akan dibangun sesudah ditetapkannya Peraturan Menteri ini, wajib memasang dan mengoperasikan CEMS pada cerobong sumber emisi dengan:
759 3780
1. proses pembakaran berbahan bakar fosil yang beroperasi secara kontinyu dengan kapasitas diatas 25 MW; 2. proses pembakaran berbahan bakar fosil dengan kapasitas diatas 25 MW atau kapasitas kurang dari 25 MW dengan kandungan Sulfur dalam bahan bakar lebih dari 2% dan beroperasi secara kontinyu; 3. regenerator katalis unit perengkahan katalitik alir, unit pengolahan ulang sulfur, dan carbon adsorber pada sistem pengolahan air limbah untuk kegiatan unit pengolahan minyak dan Kilang LNG; dan 4. unit pentawaran pada kegiatan pemprosesan gas yang memisahkan H2S di daratan (onshore natural gas processing). (2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a wajib: a. memasang alat pada CEMS yang dapat memantau dan mengukur parameter: 1. SO2, NOx, Opasitas, O2, CO dan laju alir serta menghitung sumber emisi proses CO2 dan Total Partikulat untuk pembakaran; 2. SO2, NOx, Opasitas, O2, CO dan laju alir serta menghitung CO2 dan Total Partikulat untuk sumber emisi regenator katalis unit perengkahan katalitik alir; 3. SO2 dan laju alir untuk sumber emisi unit pengolahan ulang Sulfur sistem claus; 4. hidrokarbon dan laju alir untuk sumber emisi proses carbon adsorber pada sistem pengolahan air limbah untuk kegiatan unit pengolahan minyak dan kilang LNG; atau 5. laju alir untuk sumber emisi dari unit pentawaran pada kegiatan pemrosesan gas yang memisahkan H2S di daratan (onshore natural gas processing). b. menyediakan dan mengoperasikan sarana pemantauan dan/atau pengambilan sampel dengan memperhatikan aspek kemudahan pengambilan data, keterwakilan sampel yang diambil, kesahihan data, dan keselamatan kerja; c. menyusun dan memelihara dokumen manual kontrol kualitas (Quality Control) dan jaminan mutu (Quality Assurance) untuk menjamin kualitas data CEMS yang dihasilkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; d. menghitung rata-rata hasil pemantauan dalam rata-rata jam dengan satuan yang disesuaikan dengan satuan baku mutu untuk parameter SO2, NOx, O2, CO, dan Laju Alir; e. menghitung rata-rata hasil pemantauan dalam rata-rata jam dengan satuan yang disesuaikan dengan satuan baku mutu untuk parameter opasitas dan temperatur dirata-ratakan per menit; f. menyimpan dan mendokumentasikan catatan asli yang berkaitan dengan aktifitas kalibrasi, perbaikan dan
760 3781
pemeliharaan, serta penyesuaian yang dilakukan termasuk rekaman digital dan/atau chart record; g. mendokumentasikan kondisi tidak normal dengan menjelaskan tanggal mulai kejadian, nama lapangan, fasilitas/unit, penyebab kejadian, keluhan masyarakat dan upaya penanganannya paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terjadinya kondisi tidak normal; dan h. menyimpan data sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 11 (1) Data hasil pemantauan CEMS dianggap sahih apabila: a. CEMS dioperasikan sesuai dengan spesifikasi kinerja seperti yang tertulis dalam manual; b. CEMS dioperasikan sesuai dengan kriteria quality assurance yang ditulis dalam manual; c. tidak terdapat bagian dari CEMS yang tidak berfungsi; d. kalibrasi atau zero drift dari alat pengukuran tidak melebihi 2 x calibration drift performance specification; e. kalibrasi atau pengecekan zero drift check alat pemantauan dilakukan sesuai dengan jadual yang ditulis dalam manual; f. sumber emisi beroperasi atau menghasilkan bahan pencemar sesuai parameter yang dipantau; g. data rata-rata dihitung berdasarkan data yang sah; h. data rata-rata 1 (satu) menit terdiri paling sedikit 75 persen hasil pembacaan data yang sah; i. data rata-rata 1 (satu) jam terdiri paling sedikit 75 persen hasil pembacaan data yang sah; dan j. data rata-rata harian terdiri paling sedikit 18 data rata-rata satu jam yang sah. (2) Data hasil pemantauan CEMS memenuhi baku mutu apabila 95% atau lebih data hasil pengukuran rata-rata harian selama 3 bulan memenuhi baku mutu. Pasal 12 (1) Pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b berlaku untuk emisi yang bersumber dari: a. proses pembakaran dengan kapasitas desain: 1. lebih kecil atau sama dengan 570 KW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun; 2. 570 KW sampai dengan 3 MW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; 3. lebih besar dari 3 MW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan; b. proses produksi, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
761 3782
(2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. mencatat dan mendokumentasikan data aktivitas kondisi operasi fasilitas atau sumber emisi seperti jumlah bahan bakar yang digunakan per satuan waktu, jumlah daya listrik yang dihasilkan per satuan waktu jika berkaitan dengan proses pembakaran untuk menghasilkan listrik, kandungan sulfur bahan bakar (% berat), nilai kalori netto bahan bakar, waktu operasional, dan heat input jika sumber emisi berkaitan dengan proses pembakaran; b. mengukur kandungan sulfur dalam bahan bakar fosil 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan bagi sumber emisi yang tidak menggunakan baku mutu emisi SO2 tetapi menggunakan parameter kandungan Sulfur dalam bahan bakar sebagai baku mutu; c. mendokumentasikan kondisi tidak normal dengan menjelaskan tanggal mulai kejadian, nama lapangan, fasilitas/unit, penyebab kejadian, keluhan masyarakat dan upaya penanganan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terjadinya kondisi tidak normal; d. menyediakan dan mengoperasikan sarana pemantauan dan/atau pengambilan sampel dengan memperhatikan aspek kemudahan pengambilan data, keterwakilan sampel yang di ambil, kesahihan data dan keselamatan kerja; e. mendokumentasikan tanggal sampling, laboratorium yang melakukan sampling, nama petugas yang bertanggung jawab terhadap sampling atau analisis; dan f. menyimpan hasil analisa laboratorium dan dokumen metode pengambilan sampel dan/atau metode yang digunakan laboratorium untuk menganalisis sampel. Pasal 13 (1) Pelaporan hasil pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi laporan: a. hasil inventarisasi emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f; b. hasil pemantauan CEMS sesuai dengan format pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.b., yang mencakup: 1. laporan hasil pemantauan rata-rata harian; 2. laporan lama waktu dan besaran kadar parameter hasil pengukuran yang melebihi baku mutu; 3. laporan penyebab terjadinya hasil pengukuran yang melebihi baku mutu; 4. laporan lama waktu CEMS tidak beroperasi; 5. laporan ringkasan kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf g. c. hasil pemantauan secara manual dan ringkasan kondisi tidak normal sesuai dengan format pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.a.
762 3783
(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan melaporkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota dan instansi yang tugasnya di bidang minyak dan gas bumi paling sedikit: a. 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk hasil inventarisasi emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan untuk hasil pemantauan CEMS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan c. 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan untuk hasil pemantauan secara manual dan ringkasan kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. Pasal 14 Penanganan kondisi darurat pencemaran udara sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf e meliputi : a. uraian tentang organisasi yang bertanggung jawab terhadap penanganan kondisi darurat, termasuk didalamnya struktur organisasi, peran dan tanggung jawab serta mekanisme pengambilan keputusan; b. prosedur untuk menganalisa resiko dan respon terhadap kondisi tanggap darurat; c. uraian tentang rencana dan prosedur tanggap darurat termasuk uraian detil peralatan dan lokasi, prosedur, pelatihan, prosedur peringatan dan sistem komunikasi; d. prosedur untuk melakukan tes, evaluasi dan modifikasi rencana tanggap darurat; e. melaksanakan penanganan tanggap darurat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan termasuk kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana; dan f. pemberitahuan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota dan instansi yang tugasnya di bidang minyak dan gas bumi apabila terjadi kondisi darurat paling lama 1 x 24 jam dan laporan tertulis paling lama 7 x 24 jam setelah kejadian sesuai dengan Lampiran V.c Peraturan Menteri ini. Pasal 15 Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi mensyaratkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak lebih ketat daripada baku mutu emisi sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, diberlakukan baku mutu emisi sumber tidak bergerak yang dipersyaratkan oleh AMDAL.
763 3784
Pasal 16 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Menteri ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 24 April 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
764 3785
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN 1.a. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Mesin Pembakaran Dalam
No 1.
2.
KAPASI TAS
BAHAN BAKAR
< 570 KWth
Minyak Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO) Gas Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO) Minyak Total Partikulat
> 570 KWth
Gas
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 1000
600 400
500 150
Sulfur Dioksida (SO2)
800
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO)
1000
Total Partikulat
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
765 3786
600
METODE SNI 19-7117.52005
SNI 19.7117.102005 SNI 19-7117.52005
SNI 19.7117.102005 SNI 19-7117.122005 SNI 19-7117.3.12005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.102005 atau Method 3, 3A dan 3B USEPA SNI 19-7117.122005 SNI 19-7117.3.12005 atau Method 6, 6C USEPA
No
KAPASI TAS
BAHAN BAKAR
PARAMETER Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO)
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 400
500
METODE SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.102005 atau Method 3, 3A dan 3B USEPA
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 13%.
766 3787
1.b. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Turbin Gas
No
1.
BAHAN BAKAR
Minyak
KADAR MAKSIMUM
PARAMETER Total Partikulat
100
Sulfur Dioksida (SO2)
650
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
450
Opasitas
20 %
Total Partikulat
2.
METODE
(mg/Nm3)
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
320
Gas
SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005 SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 197117.3.1-2005 SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 15% dalam keadaan kering.
767 3788
1.c. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Ketel Uap (Boiler), Pembangkit Uap (Steam Generator), Pemanas Proses (Process Heater), Pengolahan Panas (Heater Treater) No
1.
BAHAN BAKAR Minyak
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 150
Total Partikulat
1200
Sulfur Dioksida (SO2)
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Opasitas 2.
Gas
800
20 %
Total Partikulat
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
400
Opasitas
20 %
METODE
SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005 SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005
Keterangan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas.
768 3789
1.d. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Unit Suar Bakar
No
1.
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (%)
METODE
40
SNI 19.7117.112005
Opasitas
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
769 3790
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI
2.a. Baku Mutu Emisi Unit Penangkapan Sulfur No SULFUR FEED RATE (TON/HARI) 1. 2. 3. 4.
<2 2-10 10-50 > 50
MINIMUM SULFUR RECOVERY (%) 70 % 85 % 95 % 97 %
METODE
Metode Pengukuran Sulfur Feed Rate dan Efisiensi Recovery menggunakan metode USEPA 40 CFR Part 60 subpart 60.644 atau metode setara yang disetujui Kementerian Negara Lingkungan Hidup
2.b. Baku Mutu Emisi Unit Oksidasi Thermal Sulfur
No
PARAMETER
1.
Sulfur Dioksida (SO2)
BAKU MUTU EMISI (mg/Nm3) 2600
METODE SNI 19-7117.3.1-2005
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%.
770 3791
2.c. Baku Mutu Emisi Unit Pelepasan Dehidrasi Glicol. No 1.
PARAMETER VOC sebagai Total Petroleum Hidrokarbon
BAKU MUTU EMISI
METODE
Efisiensi pengolahan Emisi kandungan hidrokarbon minimum 95 %, atau
Perhitungan Neraca Massa
0,8 kg VOC sebagai TPH per mscf gas terhidrasi dirataratakan selama 24 jam
EPA Method 8260
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%.
2.d. Baku Mutu Emisi Regenator Katalis Unit Perengkahan Katalitik Alir
No
PARAMETER
1. 2.
Partikulat
BAKU MUTU (mg/Nm3) 400
Sulfur Dioksida (SO2)
1500
Nitrogen Oksida (NO2) Hidrokarbon
1000 200
3.
4.
METODE (%) SNI 19-7117.12-2005 SNI 19-7117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.5-2005 atau Method 7 , 7E USEPA -
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0 %.
771 3792
2.e. Baku Mutu Emisi Unit Pengolahan Ulang Sulfur Sistem Claus untuk sistem yang tidak dilengkapi dengan Insinerator gas BAKU METODE No PARAMETER MUTU (mg/Nm3) 1. Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 2. Kandungan Sulfur Tereduksi 450 SNI 19-7117.7-2005 3. Nitrogen Oksida (NO2) 1000 SNI 19-7117.5-2005 atau Method 7 , 7E USEPA 4. Hidrokarbon 200 5. Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 Keterangan: 1. Hasil pengukuran dinyatakan dalam kondisi kering dan koreksi O2 sebesar 0%. 2. Kandungan Sulfur Tereduksi adalah hydrogen sulfide (H2S), karbonil sulfide (COS) dan Karbon disulfide (CS2). 2.f.
No 1. 2.
3.
4.
Baku Mutu Emisi Unit Pengolahan Ulang Sulfur Sistem Claus untuk system yang dilengkapi dengan Insinerator gas BAKU METODE PARAMETER MUTU 3 (mg/Nm ) Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 SNI 19-7117.3.1-2005 atau 1500 Method 6, 6C USEPA Sulfur Dioksida (SO2) SNI 19-7117.5-2005 atau Nitrogen Oksida (NO2) 1000 Method 7 , 7E USEPA Hidrokarbon 200
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 0% MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
RACHMAT WITOELAR
ttd Ilyas Asaad.
772 3793
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN FUEL BLENDING (PENCAMPURAN BAHAN BAKAR /MIX FUEL) BME
(x,m)
= [(BME(x,f1) * Q(f1)) + (BME(x,f2) * Q(f2))] / Qt
Catatan : = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan BME pencampuran bahan bakar (x,m) BME(x,f1) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1 = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke Q(f1) sistem BME(x,f2) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2 = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke Q(f2) sistem Qt = Kebutuhan energi total
Contoh perhitungan : Kegiatan pengilangan minyak untuk unit ketel uap dengan kapasitas kurang dari 25 MW, menggunakan bahan bakar campuran antara gas (fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sebagai berikut :
Kebutuhan Energi Total Suplai energi actual dari bahan bakar gas Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyak – parameter partikulat bahan bakar gas (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak) Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyak – parameter partikulat bahan bakar oil/minyak (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak)
773 3794
Qt Q(f1) Q(f2)
:
5*106 KKal 2*106 KKal 3*106 KKal
BME(f1)
:
0 mg/Nm3
BME(f2)
:
300 mg/Nm3
BME(partikulat,m) = [0 * 2*106 ] + [ 300 * 3*106 ] / 5*106 = 180 mg/Nm3 Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
774 3795
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
DOKUMEN MANUAL KONTROL KUALITAS (QUALITY CONTROL) DAN JAMINAN MUTU (QUALITY ASSURANCE) Bagian I : Rencana Quality Control dan Quality Assurance 1. Kebijakan dan tujuan Quality Control dan Quality Assurance 2. Sistem kontrol dokumen 3. Acuan peraturan CEMS dan deskripsi sistem CEMS 4. Struktur organisasi dan penanggungjawab 5. Fasilitas, peralatan dan inventarisasi suku cadang 6. Metode dan prosedur : analisis dan akuisisi data 7. Kalibrasi dan pengawasan Kontrol Kualitas 8. Perawatan : preventif 9. Audit sistem 10. Audit kinerja 11. Program perbaikan (corrective action program) 12. Laporan 13. Daftar Pustaka Bagian II: Standard Operating Precedure 1. Start up dan operasi 2. Inspeksi system CEMS harian/perawatan preventif. 3. Prosedur kalibarasi 4. Prosedur perawatan preventif 5. Prosedur Audit 1: audit cylinder gas 6. Prosedur Audit 2: audit test akurasi relative 7. Prosedur Audit Sistem 8. Prosedur Back Up Data 9. Prosedur Pelatihan 10. Sistem Pengamanan CEMS 11. Prosedur Pelaporan Data Lampiran A. Spesifikasi CEMS dan acuan peraturan B. Metode test reference C. Form MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
ttd Ilyas Asaad.
775 3796
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009 FORMAT PELAPORAN PEMANTAUAN EMISI DAN KONDISI DARURAT PENCEMARAN UDARA KEGIATAN DAN/ATAU USAHA MINYAK DAN GAS BUMI V. a. Pemantauan Emisi Secara Manual LAPORAN PEMANTAUAN SECARA MANUAL EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE : SEMESTER ........ TAHUN .......... NAMA PERUSAHAAN ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
Nama Sumber Emisi Jenis Sumber Emisi Nama/Kode Cerobong Dimensi Cerobong - Diameter - Panjang x Lebar - Tinggi
IDENTITAS PERUSAHAAN : ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
IDENTITAS SUMBER EMISI Bahan Bakar : Kapasitas : Kandungan Sulfur : dalam Bahan Bakar Waktu Operasional : (jam) : :
Tanggal Sampling :
Laboratorium Penguji:
776 3797
: : : :
: : : :
HASIL PEMANTAUAN NO
PARAMETER
SATUAN
1.
Sulfur Dioksida (SO2)
mg/Nm3
2.
Nitrogen Oksida (NOx)
mg/Nm3
3.
Total Partikulat
mg/Nm3
4.
mg/Nm3
6.
Karbon Monoksida (CO) Karbon Dioksida (CO2) Opasitas
7.
Oksigen (O2)
%
8.
Laju Alir (v)
m/detik
5.
NO
METODE ANALISIS
BAKU MUTU
KONSENTRASI Terukur1 Terkoreksi2
mg/Nm3 %
RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL TANGGAL KEJADIAN DESKRIPSI KELUHAN KEJADIAN MASYARAKAT
UPAYA PENANGANAN
1. 2. 3. 4.
Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan,
(___________________________)
1
2
Konsentrasi terukur adalah konsentrasi yang diukur secara langsung secara manual sebelum dilakukan koreksi oksigen. Konsentrasi yang telah disesuaikan dengan faktor koreksi oksigen.
777 3798
V.b. Pemantauan Emisi Secara CEMS LAPORAN PEMANTAUAN SECARA CEMS EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE : SEMESTER ........ TAHUN .......... IDENTITAS PERUSAHAAN NAMA PERUSAHAAN
:
ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
IDENTITAS SUMBER EMISI Nama Sumber Emisi Jenis Sumber Emisi Nama / Kode Cerobong Dimensi Cerobong - Diameter - Panjang x Lebar3) - Tinggi
: : :
Bahan Bakar Kapasitas Kandungan Sulfur dalam Bahan Bakar Waktu Operasional (jam)
: : :
: : : :
HASIL PEMANTAUAN Parameter : ___________ No.
Tanggal
Konsentrasi rata-rata harian
Laju Alir rata-rata harian
(mg/Nm3)
(m/detik)
Prosentase Data Melebihi Baku Mutu (%)
4
Prosentase CEMS Tidak Beroperasi (%)5
Waktu Operasi Sumber Emisi (jam)
Parameter : ___________ No
Tanggal
Konsentrasi rata-rata harian
Laju Alir Rata-rata Harian
(mg/Nm3)
(m/detik)
Prosentase Data Melebihi Baku Mutu
Prosentase CEMS Tidak Beroperasi
(%)
(%)
Waktu Operasi Sumber Emisi (jam)
3)
Untuk cerobong yang berpenampang persegi.
4
Prosentase data melebihi bakumutu adalah jumlah data yang melebihi dibagi total data harian dan dinyatakan dalam persen (%). Prosentase CEMS tidak beroperasi adalah lama waktu CEMS tidak beroperasi (Kalibrasi, Problem CEMS) per hari dan dinyatakan dalam persen (%).
5
778 3799
No
RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL TANGGAL KEJADIAN DESKRIPSI KELUHAN KEJADIAN MASYARAKAT
1. 2. 3. 4.
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan,
(___________________________)
779 3800
UPAY A PENA NGAN AN
V.c. Pelaporan Kondisi Darurat Pengendalian Pencemaran Udara FORMAT LAPORAN KEADAAN DARURAT EMISI UDARA KEGIATAN USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK & GAS BUMI
NAMA PERUSAHAAN ALAMAT KEGIATAN Kab/Kota : Provinsi : No. Telp/Fax. : Email : RINGKASAN KEJADIAN Tanggal mulai kejadian/jam Lokasi (sebutkan nama lapangan) Fasilitas/Unit (sebutkan merk, tahun pembuatan, mulai dioperasikan, kapasitas desain dan operasional) Deskripsi keadaan darurat Penyebab kejadian Apakah kejadian sudah dapat diatasi?Jika ya, kapan? Apakah ada keluhan dari masyarakat karena kejadian ini? Tindakan koreksi yang telah dilakukan Tindakan koreksi jangka panjang (pencegahan) yang direncanakan Catatan : lampirkan prosedur penanganan Penanggung jawab Kegiatan
(..................................)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
780 3801
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN 1.a. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Mesin Pembakaran Dalam
No 1.
2.
KAPASI TAS
BAHAN BAKAR
< 570 KWth
Minyak Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO) Gas Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO) Minyak Total Partikulat
> 570 KWth
Gas
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 1000
600 400
500 150
Sulfur Dioksida (SO2)
800
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO)
1000
Total Partikulat
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
781 3802
600
METODE SNI 19-7117.52005
SNI 19.7117.102005 SNI 19-7117.52005
SNI 19.7117.102005 SNI 19-7117.122005 SNI 19-7117.3.12005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.102005 atau Method 3, 3A dan 3B USEPA SNI 19-7117.122005 SNI 19-7117.3.12005 atau Method 6, 6C USEPA
No
KAPASI TAS
BAHAN BAKAR
PARAMETER Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Karbon Monoksida (CO)
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 400
500
METODE SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.102005 atau Method 3, 3A dan 3B USEPA
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 13%.
782 3803
1.b. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Turbin Gas
No
1.
BAHAN BAKAR
Minyak
KADAR MAKSIMUM
PARAMETER Total Partikulat
100
Sulfur Dioksida (SO2)
650
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
450
Opasitas
20 %
Total Partikulat
2.
METODE
(mg/Nm3)
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
320
Gas
SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005 SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 197117.3.1-2005 SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 15% dalam keadaan kering.
783 3804
1.c. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Ketel Uap (Boiler), Pembangkit Uap (Steam Generator), Pemanas Proses (Process Heater), Pengolahan Panas (Heater Treater) No
1.
BAHAN BAKAR Minyak
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (mg/Nm3) 150
Total Partikulat
1200
Sulfur Dioksida (SO2)
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 Opasitas 2.
Gas
800
20 %
Total Partikulat
50
Sulfur Dioksida (SO2)
150
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2
400
Opasitas
20 %
METODE
SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005 SNI 197117.12-2005 SNI 197117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.52005 atau Method 7 , 7E USEPA SNI 19.7117.112005
Keterangan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas.
784 3805
1.d. Baku Mutu Emisi Proses Pembakaran dari Unit Suar Bakar
No
1.
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM (%)
METODE
40
SNI 19.7117.112005
Opasitas
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
785 3806
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI
2.a. Baku Mutu Emisi Unit Penangkapan Sulfur No SULFUR FEED RATE (TON/HARI) 1. 2. 3. 4.
<2 2-10 10-50 > 50
MINIMUM SULFUR RECOVERY (%) 70 % 85 % 95 % 97 %
METODE
Metode Pengukuran Sulfur Feed Rate dan Efisiensi Recovery menggunakan metode USEPA 40 CFR Part 60 subpart 60.644 atau metode setara yang disetujui Kementerian Negara Lingkungan Hidup
2.b. Baku Mutu Emisi Unit Oksidasi Thermal Sulfur
No
PARAMETER
1.
Sulfur Dioksida (SO2)
BAKU MUTU EMISI (mg/Nm3) 2600
METODE SNI 19-7117.3.1-2005
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%.
786 3807
2.c. Baku Mutu Emisi Unit Pelepasan Dehidrasi Glicol. No 1.
PARAMETER VOC sebagai Total Petroleum Hidrokarbon
BAKU MUTU EMISI
METODE
Efisiensi pengolahan Emisi kandungan hidrokarbon minimum 95 %, atau
Perhitungan Neraca Massa
0,8 kg VOC sebagai TPH per mscf gas terhidrasi dirataratakan selama 24 jam
EPA Method 8260
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%.
2.d. Baku Mutu Emisi Regenator Katalis Unit Perengkahan Katalitik Alir
No
PARAMETER
1. 2.
Partikulat
BAKU MUTU (mg/Nm3) 400
Sulfur Dioksida (SO2)
1500
Nitrogen Oksida (NO2) Hidrokarbon
1000 200
3.
4.
METODE (%) SNI 19-7117.12-2005 SNI 19-7117.3.1-2005 atau Method 6, 6C USEPA SNI 19-7117.5-2005 atau Method 7 , 7E USEPA -
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0 %.
787 3808
2.e. Baku Mutu Emisi Unit Pengolahan Ulang Sulfur Sistem Claus untuk sistem yang tidak dilengkapi dengan Insinerator gas BAKU METODE No PARAMETER MUTU (mg/Nm3) 1. Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 2. Kandungan Sulfur Tereduksi 450 SNI 19-7117.7-2005 3. Nitrogen Oksida (NO2) 1000 SNI 19-7117.5-2005 atau Method 7 , 7E USEPA 4. Hidrokarbon 200 5. Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 Keterangan: 1. Hasil pengukuran dinyatakan dalam kondisi kering dan koreksi O2 sebesar 0%. 2. Kandungan Sulfur Tereduksi adalah hydrogen sulfide (H2S), karbonil sulfide (COS) dan Karbon disulfide (CS2). 2.f.
No 1. 2.
3.
4.
Baku Mutu Emisi Unit Pengolahan Ulang Sulfur Sistem Claus untuk system yang dilengkapi dengan Insinerator gas BAKU METODE PARAMETER MUTU 3 (mg/Nm ) Partikulat 400 SNI 19-7117.12-2005 SNI 19-7117.3.1-2005 atau 1500 Method 6, 6C USEPA Sulfur Dioksida (SO2) SNI 19-7117.5-2005 atau Nitrogen Oksida (NO2) 1000 Method 7 , 7E USEPA Hidrokarbon 200
Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 0% MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
RACHMAT WITOELAR
ttd Ilyas Asaad.
788 3809
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN FUEL BLENDING (PENCAMPURAN BAHAN BAKAR /MIX FUEL) BME
(x,m)
= [(BME(x,f1) * Q(f1)) + (BME(x,f2) * Q(f2))] / Qt
Catatan : = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan BME pencampuran bahan bakar (x,m) BME(x,f1) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1 = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke Q(f1) sistem BME(x,f2) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2 = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke Q(f2) sistem Qt = Kebutuhan energi total
Contoh perhitungan : Kegiatan pengilangan minyak untuk unit ketel uap dengan kapasitas kurang dari 25 MW, menggunakan bahan bakar campuran antara gas (fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sebagai berikut :
Kebutuhan Energi Total Suplai energi actual dari bahan bakar gas Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyak – parameter partikulat bahan bakar gas (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak) Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyak – parameter partikulat bahan bakar oil/minyak (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak)
789 3810
Qt Q(f1) Q(f2)
:
5*106 KKal 2*106 KKal 3*106 KKal
BME(f1)
:
0 mg/Nm3
BME(f2)
:
300 mg/Nm3
BME(partikulat,m) = [0 * 2*106 ] + [ 300 * 3*106 ] / 5*106 = 180 mg/Nm3 Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
790 3811
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009
DOKUMEN MANUAL KONTROL KUALITAS (QUALITY CONTROL) DAN JAMINAN MUTU (QUALITY ASSURANCE) Bagian I : Rencana Quality Control dan Quality Assurance 1. Kebijakan dan tujuan Quality Control dan Quality Assurance 2. Sistem kontrol dokumen 3. Acuan peraturan CEMS dan deskripsi sistem CEMS 4. Struktur organisasi dan penanggungjawab 5. Fasilitas, peralatan dan inventarisasi suku cadang 6. Metode dan prosedur : analisis dan akuisisi data 7. Kalibrasi dan pengawasan Kontrol Kualitas 8. Perawatan : preventif 9. Audit sistem 10. Audit kinerja 11. Program perbaikan (corrective action program) 12. Laporan 13. Daftar Pustaka Bagian II: Standard Operating Precedure 1. Start up dan operasi 2. Inspeksi system CEMS harian/perawatan preventif. 3. Prosedur kalibarasi 4. Prosedur perawatan preventif 5. Prosedur Audit 1: audit cylinder gas 6. Prosedur Audit 2: audit test akurasi relative 7. Prosedur Audit Sistem 8. Prosedur Back Up Data 9. Prosedur Pelatihan 10. Sistem Pengamanan CEMS 11. Prosedur Pelaporan Data Lampiran A. Spesifikasi CEMS dan acuan peraturan B. Metode test reference C. Form MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
ttd Ilyas Asaad.
791 3812
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 13 Tahun 2009 Tanggal : 24 April 2009 FORMAT PELAPORAN PEMANTAUAN EMISI DAN KONDISI DARURAT PENCEMARAN UDARA KEGIATAN DAN/ATAU USAHA MINYAK DAN GAS BUMI V. a. Pemantauan Emisi Secara Manual LAPORAN PEMANTAUAN SECARA MANUAL EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE : SEMESTER ........ TAHUN .......... NAMA PERUSAHAAN ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
Nama Sumber Emisi Jenis Sumber Emisi Nama/Kode Cerobong Dimensi Cerobong - Diameter - Panjang x Lebar - Tinggi
IDENTITAS PERUSAHAAN : ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
IDENTITAS SUMBER EMISI Bahan Bakar : Kapasitas : Kandungan Sulfur : dalam Bahan Bakar Waktu Operasional : (jam) : :
Tanggal Sampling :
Laboratorium Penguji:
792 3813
: : : :
: : : :
HASIL PEMANTAUAN NO
PARAMETER
SATUAN
1.
Sulfur Dioksida (SO2)
mg/Nm3
2.
Nitrogen Oksida (NOx)
mg/Nm3
3.
Total Partikulat
mg/Nm3
4.
mg/Nm3
6.
Karbon Monoksida (CO) Karbon Dioksida (CO2) Opasitas
7.
Oksigen (O2)
%
8.
Laju Alir (v)
m/detik
5.
NO
METODE ANALISIS
BAKU MUTU
KONSENTRASI Terukur1 Terkoreksi2
mg/Nm3 %
RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL TANGGAL KEJADIAN DESKRIPSI KELUHAN KEJADIAN MASYARAKAT
UPAYA PENANGANAN
1. 2. 3. 4.
Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan,
(___________________________)
1
2
Konsentrasi terukur adalah konsentrasi yang diukur secara langsung secara manual sebelum dilakukan koreksi oksigen. Konsentrasi yang telah disesuaikan dengan faktor koreksi oksigen.
793 3814
V.b. Pemantauan Emisi Secara CEMS LAPORAN PEMANTAUAN SECARA CEMS EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE : SEMESTER ........ TAHUN .......... IDENTITAS PERUSAHAAN NAMA PERUSAHAAN
:
ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
ALAMAT KEGIATAN Jalan Kabupaten/Kota Provinsi No. Telp./Fax.
: : : :
IDENTITAS SUMBER EMISI Nama Sumber Emisi Jenis Sumber Emisi Nama / Kode Cerobong Dimensi Cerobong - Diameter - Panjang x Lebar3) - Tinggi
: : :
Bahan Bakar Kapasitas Kandungan Sulfur dalam Bahan Bakar Waktu Operasional (jam)
: : :
: : : :
HASIL PEMANTAUAN Parameter : ___________ No.
Tanggal
Konsentrasi rata-rata harian
Laju Alir rata-rata harian
(mg/Nm3)
(m/detik)
Prosentase Data Melebihi Baku Mutu (%)
4
Prosentase CEMS Tidak Beroperasi (%)5
Waktu Operasi Sumber Emisi (jam)
Parameter : ___________ No
Tanggal
Konsentrasi rata-rata harian
Laju Alir Rata-rata Harian
(mg/Nm3)
(m/detik)
Prosentase Data Melebihi Baku Mutu
Prosentase CEMS Tidak Beroperasi
(%)
(%)
Waktu Operasi Sumber Emisi (jam)
3)
Untuk cerobong yang berpenampang persegi.
4
Prosentase data melebihi bakumutu adalah jumlah data yang melebihi dibagi total data harian dan dinyatakan dalam persen (%). Prosentase CEMS tidak beroperasi adalah lama waktu CEMS tidak beroperasi (Kalibrasi, Problem CEMS) per hari dan dinyatakan dalam persen (%).
5
794 3815
No
RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL TANGGAL KEJADIAN DESKRIPSI KELUHAN KEJADIAN MASYARAKAT
1. 2. 3. 4.
_______________,_________20_ Penanggung Jawab Kegiatan,
(___________________________)
795 3816
UPAY A PENA NGAN AN
V.c. Pelaporan Kondisi Darurat Pengendalian Pencemaran Udara FORMAT LAPORAN KEADAAN DARURAT EMISI UDARA KEGIATAN USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK & GAS BUMI
NAMA PERUSAHAAN ALAMAT KEGIATAN Kab/Kota : Provinsi : No. Telp/Fax. : Email : RINGKASAN KEJADIAN Tanggal mulai kejadian/jam Lokasi (sebutkan nama lapangan) Fasilitas/Unit (sebutkan merk, tahun pembuatan, mulai dioperasikan, kapasitas desain dan operasional) Deskripsi keadaan darurat Penyebab kejadian Apakah kejadian sudah dapat diatasi?Jika ya, kapan? Apakah ada keluhan dari masyarakat karena kejadian ini? Tindakan koreksi yang telah dilakukan Tindakan koreksi jangka panjang (pencegahan) yang direncanakan Catatan : lampirkan prosedur penanganan Penanggung jawab Kegiatan
(..................................)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
796 3817
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran laut perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut; Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 4. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
Menetapkan:
MEMUTUSKAN : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE LAUT.
797 4110
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. 2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. 3. Air limbah adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair, dalam hal ini tidak termasuk air limbah yang mengandung radioaktif. 4. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air atau laut dari suatu usaha dan/atau kegiatan. 5. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum. 6. Pembuangan air limbah ke laut (discharge) adalah proses pembuangan sisa usaha dan/atau kegiatan dari proses produksi dalam bentuk cair ke laut yang dilakukan secara terus menerus dan/atau periodik. 7. Titik pembuangan adalah lokasi dikeluarkannya air limbah secara permanen yang ditentukan berdasarkan koordinat dan jarak dari instalasi proses produksi suatu industri. 8. Intake adalah titik atau fasilitas pengambilan air baku untuk proses produksi suatu industri. 9. Pesisir adalah daerah atau kawasan yang dipengaruhi perubahan pasang surut air laut. 10.Estuari adalah daerah pertemuan antara aliran sungai dan laut. 11.Pemantauan pengelolaan lingkungan adalah upaya yang dilakukan secara berkala untuk mengetahui proses pengelolaan dan dampak lingkungan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang mempengaruhi kinerja usaha dan/atau kegiatan tersebut.
798 4111
Pasal 2 (1)
Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan air limbah wajib mengolah air limbahnya sehingga memenuhi persyaratan yang ditentukan sebelum air limbah dibuang ke laut.
(2)
Persyaratan pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a. perhitungan daya tampung lingkungan laut; b. karakteristik air limbah yang dibuang; c. rona awal badan air (laut/estuari); d. dampak pembuangan; dan e. upaya pengendalian dampak dan rencana pemantauan.
Pasal 3 (1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan melakukan pembuangan air limbah ke laut wajib mendapatkan izin dari Menteri.
(2)
Menteri dapat mendelegasikan wewenang pemberian pembuangan air limbah ke laut kepada Gubernur.
izin
Pasal 4 Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan melakukan pembuangan air limbah ke laut wajib mengintegrasikan kajian pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini ke dalam kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau di dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup.
Pasal 5 (1)
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah beroperasi dan melakukan pembuangan air limbah ke laut tetapi belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib melakukan kajian pembuangan air limbah ke laut.
(2)
Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat untuk mengajukan permohonan izin pembuangan air limbah ke laut.
799 4112
Pasal 6 Pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pembuangan air limbah ke laut wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dalam izin usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 7 Izin pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus didasarkan pada hasil kajian pembuangan air limbah ke laut dan memenuhi semua persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 8 (1)
Permohonan izin pembuangan air limbah ke laut beserta persyaratannya disampaikan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan kepada Menteri atau Gubernur.
(2)
Menteri atau Gubernur menerbitkan atau menolak permohonan izin pembuangan air limbah ke laut selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima dan dinyatakan lengkap sesuai formulir sebagaimana tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini.
(3)
Penolakan terhadap permohonan izin pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disertai dengan alasan penolakan. Pasal 9
(1)
Izin pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(2)
Perpanjangan izin pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diajukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sebelum habis masa berlakunya izin pembuangan air limbah ke laut.
(3)
Menteri atau Gubernur menerbitkan surat keputusan perpanjangan atau penolakan perpanjangan izin pembuangan air limbah ke laut dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan perpanjangan izin pembuangan air limbah ke laut dari penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
800 4113
(4)
Permohonan perpanjangan izin pembuangan air limbah ke laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini dan hasil pemantauan pengelolaan lingkungan selama 1 (satu) tahun terakhir.
Pasal 10 Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaporkan hasil pemantauan terhadap persyaratan yang tercantum di dalam izin pembuangan air limbah ke laut paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Menteri dan/atau Gubernur dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang berwenang di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pasal 11 Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pembuangan air limbah ke laut sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 12 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
801 4114
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
:
Tanggal
:
FORMULIR ISIAN IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR KE LAUT I.
INFORMASI UMUM A.
Pemohon 1. Nama Pemohon
: .............................................................................
2. Jabatan
: .............................................................................
3. Alamat
: .............................................................................
4. Nomor Telepon/Fax.
: .............................................................................
5. Nama Perusahaan
: .............................................................................
6. Nama Penanggung Jawab Usaha dan/atau Kegiatan
: .............................................................................
7. Alamat
: .............................................................................
8. Nomor Telepon/Fax.
: .............................................................................
9. Bidang Usaha
: .............................................................................
10. Akte Pendirian
: .............................................................................
11. Nomor Persetujuan Prinsip
: .............................................................................
12. NPWP
: .............................................................................
13. Jenis Produksi
: .............................................................................
14. Kapasitas Produksi
: .............................................................................
1
802 4115
B.
Izin dan Dokumen Lingkungan yang telah diperoleh:
No.
Nama Izin dan Dokumen
1.
Dokumen AMDAL/UKL/UPL
2.
Izin yang berkaitan dengan
Instansi
Nomor
Pemberi Izin
Tanggal Berlaku
pengelolaan limbah lainnya C.
Sumber Air Baku No.
D.
Nama Sumber
Kapasitas Pengambilan
Keterangan
Intake 1. Jelaskan jumlah intake yang digunakan untuk pengambilan air baku dan sebutkan lokasi serta koordinat sesuai dengan tabel dibawah: KOORDINAT
Nomor/ Nama Intake
2.
Lintang Derajat
Menit
Sumber Air Baku
Bujur Detik
Derajat
Menit
Detik
Lampirkan gambar desain struktur fasilitas intake.
E. Proses Pengolahan 1.
Deskripsi dari sistem pengolahan IPAL termasuk uraian mengenai teknologi pengolahan air limbah yang digunakan, kapasitas terpasang dan kapasitas sebenarnya.
2.
Lampirkan lay out industri keseluruhan dan tandai unit-unit yang berkaitan dengan intake, unit proses pengolahan air baku, proses produksi penghasil air limbah, unit pengolahan air limbah dan saluran pembuangan (outfall).
3.
Gambarkan neraca air dengan menggunakan perhitungan debit rata-rata. Neraca air harus menggambarkan keseluruhan sistem pengambilan air baku (intake), proses pengolahan air bersih, pemanfaatan air baku untuk proses industri atau kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan air limbah, sistem pengolahan air limbah dan saluran pembuangan. Jika neraca air tidak bisa ditentukan, misalnya kegiatan pertambangan, maka gambarkan secara skematik sumber air limbah, sistem pengumpulan, unit pengolahan dan jumlah air bersih yang digunakan.
2
803 4116
4.
Lampirkan diagram alir pengolahan air limbah serta teknologi pengaliran air limbah dari IPAL ke laut.
5. F.
Uraikan pengelolaan sludge/flock/padatan yang terbentuk.
Produksi Untuk menghitung beban air limbah, berdasarkan produk yang dihasilkan cantumkan data sebagai berikut: No.
Rata-rata produksi harian
Nama produk
G.
Jumlah
Satuan
Nama saluran pembuangan/Outfall
1
Lokasi Titik Pembuangan 1. Jelaskan jumlah titik pembuangan yang digunakan untuk pembuangan air limbah dan sebutkan lokasi titik pembuangan beserta koordinatnya sesuai dengan tabel berikut: Untuk tiap saluran pembuangan/outfall, tuliskan koordinat lintang dan bujur No. Titik Pembuangan
Lintang
Derajat
Menit
Bujur
Detik
Derajat
Menit
Detik
Kedalaman
Badan Air
(m)
Penerima
2. Isilah jumlah air limbah yang dibuang. Jika jumlah titik pembuangan lebih dari 1(satu), jelaskan sumber air limbah dari masing-masing titik pembuangan, debit rata-rata air limbah dan proses pengolahan air limbah sebelum dibuang, sesuai dengan tabel dibawah:
Saluran Pembuangan/Outfall
1
Sumber Limbah Nama proses/
Debit
kegiatan
rata-rata
Deskripsi Pengolahan Air Limbah
Untuk menghitung beban air limbah dari produksi sebutkan saluran pembuangan yang terpengaruh
3
804 4117
3. Jelaskan sistem pembuangan air limbah, apakah bersifat intermiten atau musiman, dengan mengisi tabel berikut: Frekuensi Nama Saluran Pembuangan
hari
bulan
per
per
rata-
minggu
tahun
rata
Sumber Limbah
Aliran Debit
maksimum
bulanan
4. Jangka waktu pembuangan limbah dari :
Total volume
harian
bulanan
maksimum harian
tgl...../bl...../thn....... sampai dengan
tgl...../bln....../thn............ 5. Lampirkan gambar desain struktur fasilitas saluran pembuangan (outfall). H.
Lokasi Badan Air Penerima (Laut/Estuari) 1.
Jelaskan jarak badan air penerima dengan titik pembuangan air limbah sesuai dengan tabel berikut: Jarak dari
No.
Titik Pembuangan Air
Peruntukan Laut
Keterangan
Limbah (m)
1.
Kawasan suaka alam laut
2.
Kawasan konservasi laut
3.
Taman nasional laut
4.
Taman wisata alam
5.
Sempadan pantai
6.
Kawasan terumbu karang
7.
Kawasan mangrove
8.
Kawasan padang lamun
9.
Kawasan budidaya perikanan
10.
Kawasan pembuatan garam Rakyat
11.
Kawasan pemijahan dan pembiakan (Spawning and Nursery)
2.
Jika memungkinkan, lampirkan peta yang menggambarkan lokasi saluran pembuangan (outfall) terhadap peruntukan diatas.
I.
Karakteristik Air Limbah 1. Untuk kegiatan yang sudah berjalan, lengkapi data karakterisitik air limbah yang dibuang. Data yang digunakan harus dapat menggambarkan karakteristik fluktuasi air limbah yang dibuang sesuai dengan tabel berikut:
4
805 4118
No.
Parameter
Satuan
Minimum
Maksimum
Rata-rata
FISIK 1.
Temperatur
oC
2.
TDS
mg/L
3.
TSS
mg/L
KIMIA 1.
Salinitas
2.
pH
PSU
3.
Besi (Fe)
mg/L
4.
Mangan (Mn)
mg/L
5.
Barium (Ba)
mg/L
6.
Tembaga (Cu)
mg/L
7.
Seng (Zn)
mg/L
8.
Krom Heksavalen (Cr6+)
mg/L
9.
Krom total (Cr)
mg/L
10.
Kadmium (Cd)
mg/L
11.
Raksa (Hg)
mg/L
12.
Timbal (Pb)
mg/L
13.
Stanum (Sn)
mg/L
14.
Arsen (As)
mg/L
15.
Selenium (Se)
mg/L
16.
Nikel (Ni)
mg/L
17.
Kobalt (Co)
mg/L
18.
Sulfida (H2S)
mg/L
19.
Fluorida (F)
mg/L
20.
KlorinBebas (Cl2)
mg/L
21.
Amonia Bebas (NH3-N)
mg/L
22.
Nitrat (NO3-N)
mg/L
23.
Nitrit (NO2-N)
mg/L
24.
BOD 5
mg/L
25.
COD
mg/L
26.
Fenol
mg/L
27.
Minyak Nabati
mg/L
28.
Minyak Mineral
mg/L
29.
Radioaktivitas
2.
Jika terdapat parameter-parameter
lain yang dapat mempengaruhi secara
signifikan kualitas air, flora, fauna laut serta kesehatan manusia yang tidak diatur pada
tabel
tersebut,
sebutkan
parameter-parameter
tersebut,
kuantitasnya dalam air limbah dan dampak yang dapat ditimbulkannya.
806 4119
jelaskan
3.
Untuk unit pengolahan yang pada saat proses perizinan masih dalam tahap konstruksi, jelaskan karakteristik air limbah yang akan dibuang berdasarkan spesifikasi alat yang digunakan atau informasi lain yang relevan dan dapat dipercaya.
II.
PERNYATAAN PENANGGUNGJAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATAN Pernyataan dari penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan bahwa informasi yang disampaikan ini benar dan tidak direkayasa.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
6
807 4120
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
:
Tanggal
:
KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE LAUT I.
RONA AWAL BADAN AIR (LAUT/ESTUARI) Jelaskan dan lengkapi informasi tentang kondisi lingkungan perairan tempat pengambilan dan pembuangan limbah. A. Karakteristik Kimia Lampirkan data kualitas air laut dengan parameter seperti tercantum pada tabel di bawah ini. Data yang disampaikan harus dapat memberikan gambaran tentang kualitas air laut disekitar intake, outlet dan satu titik kontrol. Titik kontrol adalah titik pemantauan yang mewakili kondisi kualitas air
laut yang tidak terpengaruh oleh
aktifitas kegiatan dari perusahaan yang mengajukan ijin. Data kualitas air tambahan juga dapat diambil pada titik-titik yang potensial untuk digunakan sebagai titik pemantauan pada saat dilakukan pembuangan air limbah.
NO.
PARAMETER
SATUAN
FISIKA 1.
Kecerahan
M
2.
Kekeruhan
NTU
3.
TSS
mg/l
4.
Temperatur
5.
Lapisan Minyak
oC
KIMIA 1.
pH
2.
Salinitas
PSU
3.
Oksigen Terlarut (DO)
mg/l
4.
BOD 5
mg/l
5.
Amonia Total (NH3-N)
mg/l
6.
Fosfat (PO4-P)
mg/l
7.
Nitrat (NO3-N)
mg/l
8.
Sianida (CN)
mg/l
9.
Sulfida (H2S)
mg/l
10.
PAH (Poliaromatik Hidrokarbon)
mg/l
11.
Senyawa Fenol Total
mg/l
1
808 4121
LOKASI I
II
III
12.
PCB Total (Poliklor Bifenil)
μg/l
13.
Surfaktan (deterjen)
mg/l
14.
Minyak dan lemak
mg/l
15.
Pestisida
μg/l
16.
TBT (tributil tin)
μg/l
LOGAM TERLARUT 1. 2.
Raksa (Hg)
mg/l
Kromium heksavalen (Cr
6+)
mg/l
3.
Arsen (As)
mg/l
4.
Kadmium (Cd)
mg/l
5.
Tembaga (Cu)
mg/l
6.
Timbal (Pb)
mg/l
7.
Seng (Zn)
mg/l
8.
Nikel (Ni)
mg/l
BIOLOGI 1.
Coliform (total)9
MPN/100 ml
2.
Patogen
Sel/100 ml
3.
Plankton
Sel/100 ml
RADIO NUKLIDA 1.
Komposisi yang tidak diketahui
Bq/l
B. Biologi Jelaskan secara detail komunitas biologi (seperti: plankton, makrobentos, ikan demersal) di sekitar tempat pembuangan air limbah. Penjelasan karakteristik komunitas biologi mencakup
komposisi
spesies,
kelimpahan,
dominansi,
diversitas,
distribusi
ruang/waktu, pertumbuhan dan reproduksi, frekuensi timbulnya penyakit, struktur tropis, produktivitas, keberadaan spesies oportunis, bioakumulasi berbahaya dan beracun. C. Oseanografi Lampirkan deskripsi dan data sirkulasi arus air laut musiman. Data tersebut minimal harus menjelaskan : 1. 10 Persentil terendah dari kecepatan arus; 2. Kecepatan arus dominan berdasarkan musim; 3. Periode stratifikasi maksimum; 4. Periode pasang surut (jangka waktu dan frekuensi); 5. Profil densitas pada periode stratifikasi maksimum; dan 6. Bathymetri.
2
809 4122
II. DAMPAK PEMBUANGAN Lampirkan kajian/modeling yang dapat menggambarkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penyebaran air limbah di badan air; 2. Kajian harus dapat mengidentifikasi kondisi yang paling kritis akibat variasi kondisi oseanografi, kondisi musim biologi, jumlah/volume dan komposisi serta potensi bioakumulasi atau persistensi dari air limbah yang dibuang; 3. Penentuan Zone of Initial Dilution (ZID) yaitu suatu zona di mana organisme, termasuk bentos dapat terpapas oleh pencemar dengan konsentrasi yang melebihi baku mutu air laut secara terus menerus; 4. Potensi perpindahan polutan melalui proses biologi, fisika atau kimiawi; 5. Komposisi dan kerentanan komunitas biologi yang memungkinkan terpajan oleh air limbah, termasuk adanya spesies yang unik dan endemik, atau adanya spesies yang dilindungi oleh peraturan perundangan, atau adanya spesies kunci dalam struktur ekosistem tersebut; 6. Nilai penting badan air penerima air limbah terhadap komunitas biologi di sekitarnya, termasuk adanya daerah pemijahan, jalur perpindahan spesies migratori, atau daerah yang memiliki nilai penting dalam siklus hidup spesies tertentu; 7. Adanya lokasi akuatik khusus, termasuk kawasan suaka alam laut; 8. Potensi dampak terhadap kesehatan manusia, baik langsung maupun tidak langsung; 9. Keberadaan atau potensi lokasi sebagai daerah rekreasi atau perikanan, termasuk budidaya kerang, mutiara dan lainnya; dan 10. Faktor yang terkait dan relevan dengan akibat pembuangan air limbah ke laut.
III. MITIGASI Sebutkan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan, kesehatan manusia, navigasi, dan estetika selama pembuangan air limbah ke laut. Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Ir. Rachmat Witoelar. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
3
810 4123
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 Tentang : Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap usaha atau kegiatan penambangan; b. bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup; c. bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C yang perlu diprioritaskan pengendaliannya adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di daratan; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831); 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
811 4124
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. 14.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2816); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147); Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3340); Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3487); Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenal Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528); Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Stat Menteri Negara; Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; Keputusan Menteri Da Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan, Orgariisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA;
MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN
Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di antara perbukitan, ataupun dataran tinggi; 2. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung;
812 4125
3. 4.
5.
6. 7. 8.
Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD); Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan sehingga tidak dapat bertungsi sesuai dengan peruntukannya; Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi lingkungan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan; Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup; BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2 Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib untuk melaksanakan persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan baginya.
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Pasal 3 Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan: a. Pemukiman dan daerah industri; b. Tanaman tahunan; c. Tanaman pangan lahan basah; d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan; Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seperti tersebut dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 4 Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRWK). Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Gubernur/Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan peruntukan sebelum dilakukan penambangan.
813 4126
(1)
(2)
(3)
Pasal 5 Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C untuk jenis galian lain di luar bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan peruntukan Pasal 3 Keputusan ini. Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri. Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berdasarkan pertimbangan Kepala Bapedal.
Pasal 6 Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran: a. Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. b. Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi. c. Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal.
Pasal 7 Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses pemberian Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), selain berpedoman kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria kerusakan lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan Daerahnya (SIPDnya)
Pasal 8 Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis Lepas di dataran yang wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan lingkungan lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka persyaratan yang lebih ketat berlaku baginya.
Pasal 9 Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis Lepas di dataran wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada: a. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II; b. Kepala BAPEDAL; c. Menteri; d. Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda;
814 4127
e. f.
Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan Umum; Instansi terkait lain yang dipandang perlu.
Pasal 10 Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, BAPEDAL dan instarisi teknis melakukan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran.
Pasal 11 Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernun/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah mendapat pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.
(1)
(2)
Pasal 12 Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran: a. Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh Gubernur/Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini. b. Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah SIPD) setelah ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini. Berdasarkan basil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan pertimbangan dan Kepala Bapedal.
Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Di tetapkan di Jakarta Pada tanggal: 25 Oktober 1996 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd, Sarwono Kusumaatmadja.
815 4128
LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 43 TAHUN 1996 TANGGAL 25 OKTOBER 1996
Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran
816 4129
817 4130
LAMPIRAN II KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 43 TAHUN 1996 TANGGAL 25 OKTOBER 1996
PENJELASAN TEKNIS DAN TATA CARA PENGUKURAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN 1. TOPOGRAFI Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu : keadaan yang menggambarkan permukaan bumi terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lainlainnya. Bentuk akhir Topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek Topografi yang dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah : 1. Lubang galian 2. Dasar galian 3. Dinding galian 1.1. Lubang galian Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat penambangan galian golongan C. Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah : a. Kedalaman Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam (lihat Gambar 1)
818 4131
GAMBAR 1. KEDALAMAN LUBANG GALIAN
Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan. Penentuan batas kedalaman galian yang ditolelir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air tanah. Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih dangkal dibandingkan dengan musim kemarau. Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali. Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan (lihat Gambar 2)
819 4132
GAMBAR 2. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN SUMBER GALIAN
Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian (lihat Gambar 3)
GAMBAR 3. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN PEMBORAN
Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga
820 4133
permukaan tanahnya tetap kering. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 1 m di atas muka air tanah pada musim penghujan. Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik, minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi. Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase buruk tetapi sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi. Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan kering/ peternakan adalah areal berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi. b. Jarak Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD. Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan. Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/
821 4134
bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD (Gambar 4b).
GAMBAR 4a. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN
GAMBAR 4b. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN YANG BERSINGGUNGAN
1.2. Dasar Galian Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter Dasar galian ada 2(dua), yaitu : a. Perbedaan Relief Dasar Galian Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan material sisa galian. Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/tumpukan tersebut dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan dengan mengukur kedua permukaan tersebut (lihat Gambar 5)
822 4135
GAMBAR 5. SKETSA RELIEF DASAR GALIAN
Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan pemanfaatan lahan, sesuai dengan peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief tersebut dibatasi maksimum 1 m. Tumpukan yang kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya. b. Kemiringan Dasar Galian Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan. Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15%. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah
823 4136
tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan levelling atau waterpass. Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. 1.3. Dinding Galian Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati (lihat Gambar 6). Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %. Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran.
824 4137
GAMBAR 6. SKETSA RELIEF DINDING GALIAN YANG DISYARATKAN UNTUK SEMUA PERUNTUKAN
2. TANAH Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah-tanah yang sebelumnya terdapat diareal SIPD tersebut, yang dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang. Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ternak adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan. 3. VEGETASI Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau diareal pemukiman adalah 20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan.
825 4138
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukannya. Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang. Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan.
______________________________________
826 4139
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa kegiatan pertambangan emas rakyat yang dilakukan melalui kegiatan penambangan pada cebakan emas primer dan cebakan emas sekunder serta kegiatan pengolahannya berpotensi menurunkan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa dalam rangka pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan emas rakyat perlu menetapkan pedoman bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha dan/atau kegiatan pertambangan emas rakyat; c. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pelaksanaan urusan wajib pengendalian pencemaran air dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Teknis Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Pertambangan Emas Rakyat;
827 4161
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005, Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Kegiatan pertambangan emas rakyat adalah suatu usaha pertambangan emas yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecilkecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.
828 4162
2.
Pencegahan pencemaran adalah tindakan mencegah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
3.
Pencegahan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan mencegah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
4.
Cebakan primer adalah cebakan bahan galian yang terbentuk dari proses magmatis dengan ciri umum sebaran arah vertikal.
5.
Cebakan sekunder adalah cebakan bahan galian yang terbentuk melalui proses sedimentasi dari hasil pelapukan cebakan primer yang tersebar secara lateral mengikuti pola sebaran endapan hasil sedimentasi.
6.
Kegiatan penambangan emas adalah pekerjaan penggalian emas dari dalam bumi.
7.
Kegiatan pengolahan emas adalah pekerjaan untuk memperoleh emas dari batuan hasil penambangan serta untuk mempertinggi mutu emas.
8.
Air limpasan adalah air yang berasal dari air hujan yang mengalir di permukaan atau air yang keluar/meluap dari sistem penyaliran permukaan.
9.
Air kerja adalah air yang digunakan dalam proses kegiatan penambangan dan/atau pengolahan pertambangan emas rakyat. Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka memberikan pembinaan terhadap kegiatan pertambangan emas rakyat untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 3 (1) Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pada: a. kegiatan penambangan emas; dan b. kegiatan pengolahan emas. (2) Kegiatan penambangan emas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. kegiatan penambangan emas pada cebakan primer; dan b. kegiatan penambangan emas pada cebakan sekunder. (3) Kegiatan pengolahan emas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. kegiatan pengolahan emas pada cebakan primer; dan b. kegiatan pengolahan emas pada cebakan sekunder.
829 4163
Pasal 4 Pencegahan pencemaran kegiatan penambangan emas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara: a. membuat kolam pengendap untuk menampung air yang dipompa dari lubang tambang; b. melakukan pengolahan air di kolam pengendap sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga memenuhi baku mutu sebelum dialirkan ke sungai dan/atau rawa; dan c. menjaga kestabilan dinding lubang tambang. Pasal 5 Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan kegiatan penambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara: a. melakukan penambangan tidak di sempadan dan/atau bantaran sungai; b. membatasi laju pembukaan lahan; c. membatasi kedalaman penggalian dan tinggi timbunan dengan cara pembuatan jenjang; d. mengisi kembali (backfilling) kolong penambangan yang telah ditinggalkan; e. menghindari penggunaan merkuri atau sianida; f. melakukan proses pemisahan mineral secara fisika; g. mengalirkan lumpur pencucian ke kolam pengendap; dan h. melakukan pengolahan air di kolam pengendap sebagaimana dimaksud pada huruf g sehingga memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke sungai dan/atau rawa. Pasal 6 (1) Pencegahan pencemaran kegiatan pengolahan emas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan dengan cara: a. meminimalkan penggunaan merkuri atau sianida; b. mengalirkan tailing ke kolam penampungan yang berfungsi sebagai kolam pengendap untuk dapat diproses kembali; c. melakukan pengolahan air di kolam penampungan sebagaimana dimaksud pada huruf b sehingga memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke sungai dan rawa; d. menyimpan merkuri pada tempat yang tertutup, terhindar dari sinar matahari langsung, berada dalam suhu ruangan dan berada di bawah permukaan air minimal 1 cm (terendam) untuk ekstraksi; e. untuk amalgamasi harus menggunakan sistem retort, dilakukan pada tempat khusus yang dilengkapi cerobong dengan ketinggian minimal 2 meter lebih tinggi dari atap rumah di sekitar lokasi; dan
830 4164
f. untuk ekstraksi sianidasi, pH larutan harus dijaga pada kondisi basa dengan pH antara 10 sampai dengan 11 dan lokasi pengolahan berhubungan dengan udara luar. (2) Pengolahan emas pada penambangan cebakan sekunder, selain dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib pula dilakukan dengan cara mengolah bijih emas pada tempat khusus yang terisolasi dari sungai dan rawa. Pasal 7 Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pertambangan emas rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 dilakukan sesuai dengan pedoman teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 8 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
831 4165
Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 23 Tahun 2008 Tanggal : 31 Desember 2008
PEDOMAN TEKNIS PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT I. PENDAHULUAN Metode penambangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik cebakan emas primer atau sekunder yang dapat mempengaruhi cara pengelolaan lingkungan yang akan dilakukan untuk meminimalisir dampak kegiatan penambangan tersebut. Karakteristik cebakan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial yaitu emas yang diendapkan bersama dengan material sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau gelombang laut adalah karakteristik yang umum ditambang oleh rakyat, karena kemudahan penambangannya. Berdasarkan karakteristik endapan emas tersebut, metode penambangan terbuka yang umum diterapkan dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Tambang semprot (hydraulicking) 2. Pendulangan (panning) Di beberapa tempat juga ditemukan karakteristik cebakan primer tipe vein yang umumnya dilakukan dengan teknik penambangan bawah tanah terutama metode gophering atau lebih dikenal dengan coyoting (di Indonesia disebut lubang tikus atau lubang marmot). Terhadap batuan yang ditemukan, dilakukan proses peremukan batuan atau penggerusan, selanjutnya dilakukan sianidasi atau amalgamasi, sedangkan untuk tipe penambangan sekunder umumnya dapat langsung dilakukan sianidasi atau amalgamasi karena sudah dalam bentuk butiran halus.
832 4166
Cebakan Emas
Penambangan
Sekunder
Primer
TERBUKA
BAWAH TANAH
Tambang Semprot
Dredging
Gophering
Peremukan & Penggerusan
Kominusi
Separasi/ Konsentrasi
Pendulangan Sluicing/Spiral Concentrator
Amalgamasi
Ekstraksi
Sianidasi Au
Gambar 1. Alur Proses pengolahan bijih emas A. Penambangan Cebakan emas primer dapat ditambang secara tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Sementara cebakan emas sekunder umumnya ditambang secara tambang terbuka. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak akibat penambangan tergantung pada lokasi dilakukannya penambangan. Kerusakan lahan terjadi akibat dari tergerus/hilangnya lahan yang semula produktif menjadi tidak produktif. Penurunan kualitas tanah dapat terjadi karena tanah subur dipermukaan hilang atau tertutup oleh sedimen yang tidak subur. Sedangkan penurunan kualitas air diakibatkan tingginya kandungan sedimen tersuspensi sebagai akibat pembuangan tailing langsung ke badan air yang juga akan mempengaruhi kehidupan biota air.
833 4167
Hubungan antara kegiatan penambangan dengan potensi kerusakan komponen lingkungan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi Dampak Pada Komponen Lingkungan Akibat Penambangan Komponen Biota Kualitas Kualitas Lingkungan Lahan Udara Tanah Air Darat Aquatik
Penambangan
Terbuka Alluvial Sungai Alluvial Tepi Sungai Alluvial Darat Primer
¿ ¿ ¿
¿ ¿ ¿
¿ ¿ -/¿ -/¿
¿
¿ ¿ ¿ -/¿
Bawah Tanah Primer -/¿ Ket : ¿ = berpotensi dampak; - = tidak berpotensi dampak
-
B. Pengolahan Pada pengolahan batuan hasil penambangan, yang terdiri dari tahap kominusi, separasi dan ekstraksi dengan amalgamasi dan sianidasi, potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan mencakup kualitas tanah, kualitas air, biota dan udara. Selain itu, kandungan kimia dan logam dalam tailing juga merupakan sumber dampak yang lebih berbahaya. Dampak pada komponen udara terjadi karena penguapan logam berat dan bahan kimia lainnya. Matrik hubungan antara kegiatan pengolahan emas dengan potensi kerusakan komponen lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Potensi Dampak Terhadap Komponen Lingkungan dari Kegiatan Pengolahan Bijih Emas Komponen Lingkungan Lahan Pengolahan
Kualitas Tanah
Kualitas Air
Biota Darat Aquatik
sluice box, pendulangan
-
¿
¿
-
¿
Kominusi/peremukanpenggerusan
-
-
-
-
-
Udara
Amalgamasi
-
-
¿
-
¿
¿
Sianidasi
-
-
¿
-
¿
¿
-
¿
Pembakaran amalgam Ket : ¿ = berpotensi dampak; - = tidak berpotensi dampak
834 4168
II. KARAKTERISTIK PERTAMBANGAN EMAS A. Cebakan Primer Cebakan primer merupakan cebakan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Salah satu tipe cebakan primer yang biasa dilakukan pada penambangan skala kecil adalah bijih tipe vein (urat). Beberapa karakteristik dari bijih tipe urat yang mempengaruhi teknik penambangan antara lain: 1. Komponen mineral atau logam tidak tersebar merata pada badan urat. 2. Mineral bijih dapat berupa kristal-kristal yang kasar. 3. Kebanyakan urat mempunyai lebar yang sempit sehingga rentan dengan pengotoran (dilution). 4. Kebanyakan urat berasosiasi dengan sesar, pengisi rekahan, dan zona geser (regangan), sehingga pada kondisi ini memungkinkan terjadinya efek dilution pada batuan samping. 5. Perbedaan assay (kadar) antara urat dan batuan samping pada umumnya tajam, berhubungan dengan kontak dengan batuan samping, impregnasi pada batuan samping, serta pola urat yang menjari (bercabang). 6. Fluktuasi ketebalan urat sulit diprediksi, dan mempunyai rentang yang terbatas, serta mempunyai kadar yang sangat erratic (acak/tidak beraturan) dan sulit diprediksi. 7. Kebanyakan urat relatif keras dan bersifat brittle. Dengan memperhatikan karakteristik tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah tambang bawah tanah dengan metode Gophering. Nama lain untuk cara ini adalah coyoting (di Indonesia disebut lubang tikus atau lubang marmot), yaitu suatu cara penambangan yang tidak sistematis, tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan penambangan (development works) dan arah penggalian hanya mengikuti arah larinya cebakan bijih. Oleh karena itu ukuran lubang (stope) juga tidak tentu, tergantung dari ukuran cebakan bijih di tempat itu dan umumnya tanpa penyanggaan yang baik. Cara penambangan ini umumnya tanpa penyangga yang memadai dan penggalian umumnya dilakukan tanpa alat-alat mekanis. Metode penambangan ini umum diterapkan diberbagai daerah operasi pertambangan rakyat di Indonesia, seperti di Cineam, Tasikmalaya dan Sulawesi Utara. Penambangan dilakukan secara sederhana, tanpa development works, dan langsung menggali cebakan bijih menuruti arah dan bentuk alamiahnya. Bila cebakan
835 4169
bijih tersebut tidak homogen, kadang-kadang terpaksa ditinggalkan pillar yang tak teratur dari bagian-bagian yang miskin. Proses yang dilakukan dalam penambangan metode gophering: 1. Pembangunan lubang masuk ke tambang. Lubang masuk dibuat sangat sederhana dengan umumnya hanya dapat untuk akses 1 orang saja.
diameter
2. Pembangunan akses menuju badan bijih. Akses menuju badan bijih dibuat sesuai lokasi badan bijih yang menjadi target. Terdapat 2 cara untuk menuju badan bijih berdasarkan lokasi dari cebakan, yaitu: a. Menggunakan drift (lubang masuk horizontal), jika lokasi badan bijih relatif sejajar dengan jalan masuk utama. b. Menggunakan shaft (lubang masuk vertikal), jika lokasi badan bijih relatif di bawah jalan masuk utama. Seperti halnya lubang masuk ke tambang, akses menuju badan bijih dibuat secara sederhana, dengan lokasi kerja yang hanya cukup untuk dipakai satu orang saja dengan diameter sekitar 1 – 1,5 meter. Lubang masuk tersebut dibuat tanpa penyangga atau hanya dengan penyangga sederhana untuk daerah yang diperkirakan rawan runtuh. 3. Penggalian bijih emas Penggalian bijih emas dilakukan dengan mengikuti arah kemenerusan bijih. Alat yang dipakai untuk keperluan pemberaian batuan berupa alat gali manual, seperti belincong. 4. Pengangkutan bijih emas dari dalam tambang menuju ke luar tambang dilakukan secara manual. Jalur pengangkutan menggunakan jalan masuk utama. Khusus untuk akses menggunakan shaft, pengangkutan dibantu dengan sistem katrol. Penambangan metode gophering yang baik dilakukan dengan ketentuan: 1. Jalan masuk menuju urat bijih emas harus dibuat lebih dari satu buah, dan dapat dibuat datar/horizontal, miring/inclined maupun tegak lurus/vertikal sesuai dengan kebutuhan. 2. Ukuran jalan masuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan, disarankan diameter > 100 cm. 3. Lokasi jalan masuk berada pada daerah yang stabil (kemiringan < 30º) dan diusahakan tidak membuat jalan masuk pada lereng yang curam. 4. Lubang bukaan harus dijaga dalam kondisi stabil/tidak runtuh, bila diperlukan dapat dipasang suatu sistem penyanggaan yang harus dapat menjamin kestabilan lubang bukaan (untuk lubang masuk dengan kemiringan > 60º disarankan untuk selalu memasang penyangga).
836 4170
5. Kayu penyangga yang digunakan disarankan kayu kelas 1 (kayu jati, rasamala, dll). Ukuran diameter/garistengah kayu penyangga yang digunakan disarankan tidak kurang dari 7 cm. Jarak antar penyangga disarankan tidak lebih dari 0.75 x diameter bukaan (tergantung kelas kayu penyangga yang digunakan dan kekuatan batuan yang disangga).
a
b
c
Gambar 2. Bentuk Sistem Penyangga Pada Tambang Bawah Tanah Ket : (ukuran disesuaikan dengan lubang bukaan yang dibuat) a. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak depan. b. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak samping. c. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk tegak/vertikal
6. Sirkulasi udara harus terjamin sehingga dapat menjamin kebutuhan minimal 2 m3/menit, bila diperlukan dapat digunakan kompresor dengan penghantar berupa selang/pipa plastik. 7. Disekitar lubang masuk dibuat paritan untuk mencegah air masuk, dan paritan diarahkan menuju ke kolam pengendap dengan pengendapan dilakukan bertahap.
Gambar 3. Skema Lokasi Lubang Masuk Tambang
837 4171
Aktivitas penambangan cebakan emas primer skala kecil dengan menggunakan metode gophering seperti Gambar 4.
a. Lubang Masuk
b. Kegiatan Penambangan
Gambar 4. Aktivitas Penambangan Metode Gophering
B. Cebakan Sekunder Cebakan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial merupakan emas yang diendapkan bersama dengan material sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau gelombang laut. Karakteristik dari endapan emas aluvial akan menentukan sistem dan peralatan dalam melakukan kegiatan penambangan. Secara umum penambangan emas aluvial dilakukan berdasarkan atas prinsip: a. Butir emas sudah terlepas sehingga bijih hasil galian langsung mengalami proses pengolahan. b. Berdasarkan lokasi keterdapatan, pada umumnya kegiatan penambangan dilakukan pada lingkungan kerja berair seperti sungai-sungai dan rawa-rawa, sehingga dengan sendirinya akan memanfaatkan air yang ada di tempat sekitarnya. Dengan memperhatikan karakteristik endapan emas tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah dengan metode tambang terbuka dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Tambang semprot (hydraulicking) 2. Pendulangan (panning)
838 4172
a. Tambang Semprot
b. Tambang Semprot
c. Kapal Keruk
d. Pendulangan
Gambar 5. Pelaksanaan Tambang Semprot dan Pendulangan
Pada tambang semprot digunakan alat semprot (monitor) dan pompa untuk memberaikan batuan dan selanjutnya lumpur hasil semprotan dialirkan atau dipompa ke instalasi pencucian. Cara ini banyak dilakukan pada pertambangan skala kecil termasuk tambang rakyat dimana tersedia sumber air yang cukup, umumnya berlokasi di atau dekat sungai. Beberapa syarat yang menjadikan endapan emas aluvial dapat ditambang menggunakan metode tambang semprot antara lain: a. Kondisi/jenis semprotan air,
material
memungkinkan
terberaikan
oleh
b. Ketersediaan air yang cukup, c. Ketersediaan ruang pemisahan bijih.
untuk
penempatan
hasil
cucian
atau
Penambangan dengan cara pendulangan banyak dilakukan oleh pertambangan rakyat di sungai atau dekat sungai. Cara ini banyak dilakukan oleh penambang perorangan dengan menggunakan nampan pendulangan untuk memisahkan konsentrat atau butir emas dari mineral pengotornya.
839 4173
III.
PENGOLAHAN Pengolahan bijih emas dilakukan dengan tujuan memisahkan bijih emas dari mineral/batuan yang tidak berharga. Secara umum, emas di alam terdapat dalam bentuk terikat dalam batuan induknya maupun berupa emas native dalam berbagai ukuran. Pada kasus emas yang terikat dalam batuan induk, cara pengolahan yang dilakukan meliputi proses : A. Kominusi Kominusi merupakan kegiatan pengecilan ukuran bijih yang mengandung emas dengan tujuan untuk membebaskan (meliberasi) mineral emas dari mineral-mineral lain yang terkandung dalam batuan induk. Liberasi bijih ini menjadi sangat penting antara lain karena : 1. Dapat mengurangi kehilangan emas yang masih terperangkap dalam batuan induk. 2. Dapat dilakukan kegiatan konsentrasi bijih tanpa kehilangan emas berlebihan. 3. Dapat meningkatkan kemampuan ekstraksi emas, baik dengan amalgamasi maupun sianidasi. Perbedaan kondisi bijih dengan derajat liberasi baik dan ditunjukkan pada Gambar 6
Bijih dengan derajat liberasi yang jelek, masih banyak emas (bagian hitam) yang terikat pada batuan induk.
jelek
Bijih dengan derajat liberasi yang baik, sedikit emas (bagian hitam) yang terikat pada batuan induk.
Gambar 6. Ilustrasi Mengenai Derajat Liberasi
Proses kominusi ini terutama diperlukan pada pengolahan bijih emas primer, sedangkan pada bijih emas sekunder bijih emas merupakan emas yang terbebaskan dari batuan induk yang kemudian terendapkan. Derajat liberasi yang diperlukan dari masing-masing bijih untuk mendapatkan perolehan emas yang tinggi pada proses ekstraksinya berbeda-beda bergantung pada ukuran mineral emas dan kondisi keterikatannya pada batuan induk.
840 4174
Proses kominusi ini bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan-peralatan mekanis seperti jaw crusher, cone crusher, stamp mill, hammer mill, ball mill dan lain-lain maupun dengan menggunakan peralatan manual seperti palu.
a. Kominusi Dengan Roll Crusher
b. Mesin Pengecilan Ukuran
c. Kominusi Dengan Roll Crusher
d. Kominusi Dengan Jaw Crusher
e. Kominusi Manual Dengan Palu
f. Kominusi Dengan Ball Mill
Gambar 7. Beberapa Contoh Metode Kominusi
Proses kominusi ini dilakukan bertahap bergantung pada ukuran bijih yang akan diolah. Pada Tabel 3 menunjukkan tahapan proses kominusi dengan diameter umpan dan diameter produknya.
841 4175
Tabel 3. Ukuran Umpan dan Produk Pada Proses Kominusi Tahap Peremukan I (primary) Peremukan II Peremukan III Penggerusan
Ukuran Umpan (mm)
Ukuran Produk (mm)
300 - 1500 100 - 300 50 - 100 10 - 50
100 – 300 50 – 100 10 – 50 < 0.5
B. Konsentrasi Setelah ukuran bijih diperkecil, proses selanjutnya dilakukan proses konsentrasi dengan memisahkan mineral emas dari mineral pengotornya. Pada endapan emas aluvial, bijih hasil penggalian langsung memasuki tahap ini tanpa tahap kominusi terlebih dahulu. Prinsip konsentrasi/separasi sederhana yang digunakan dengan metode gravitasi. Metode ini memanfaatkan perbedaan massa jenis emas (19.5 ton/m3) dengan massa jenis mineral lain dalam batuan (yang umumnya berkisar 2.8 ton/m3). Metode gravitasi akan efektif bila dilakukan pada material dengan diameter yang sama/seragam, karena pada perbedaan diameter yang besar perilaku material ringan (massa jenis kecil) akan sama dengan material berat (massa jenis besar) dengan diameter kecil. Oleh karena itu proses pengecilan ukuran (kominusi) menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan baik. Peralatan konsentrasi yang menggunakan prinsip gravitasi yang umum digunakan pada pertambangan emas skala kecil antara lain adalah dulang, palong (sluice box), spiral konsentrator, meja goyang (shaking table) dan jig (Gambar 8).
842 4176
a. Dulang
b. Sluice Box
c. Spiral Concentrator
d. Meja Goyang/Shaking Table
Gambar 8. Pengolahan Limbah Sederhana Proses Amalgamasi
Palong/sluice box lebih banyak digunakan karena mempunyai effisiensi yang sama dengan peralatan konsentrasi yang lain namun mempunyai konstruksi yang lebih sedarhana daripada spiral konsentrator, meja goyang dan jig, serta dapat memproses lebih banyak bijih per hari daripada dulang. Hasil dari proses ini berupa konsentrat yang mengandung bijih emas dengan kandungan yang besar, dan lumpur pencucian yang terdiri atas mineral-mineral pengotor pada bijih emas. Konsentrat emas selanjutnya diolah dengan proses ekstraksi.
843 4177
1.
Sistem Pengolahan yang baik Prinsip umum pengolahan bijih emas Tidak Baik/Mencemari
Baik Penambangan Bijih
Amalgamasi Seluruh Bijih
Konsentrasi Gravitasi Amalgamasi Konsentrat
Amalgam + Hg lepas
tailing
Mineral BeratPemisahan Amalgam
Air Raksa dalam Tailing (hilang)
Air Raksa dalam Tailing (tersimpan)
Amalgam + Hg lepas
Air raksa terambil (penyaringan)
Air Raksa Terrecovery (daur ulang)
Amalgam Uap Air raksa (hilang)
Pembakaran di tempat terbuka
Pembakaran menggunakan Retort
Sponge Emas
Peleburan Kondensasi dan menggunakan filter Dore Emas
Tidak Baik/Mencemari
Baik
Gambar 9. Perbandingan Alur Proses pengolahan bijih emas yang baik dan tidak baik
2. Konsentrasi yang baik a. Tidak dibenarkan menggunakan merkuri dan sianida dalam proses ini. b. Dilarang menggunakan pelat amalgamasi dari tembaga. c. Konsentrat diperoleh dengan melakukan pencucian karpet yang sebaiknya dilakukan secara bertahap pada bak khusus. d. Tidak menggunakan merkuri untuk mencuci karpet.
844 4178
C. Ekstraksi (Amalgamasi dan Sianidasi) 1. Ekstraksi yang baik: a. Lokasi ekstraksi bijih harus terpisah dari lokasi kegiatan penambangan. b. Dilakukan pada lokasi khusus baik untuk amalgamasi ataupun sianidasi untuk meminimalkan penyebab pencemar bahan berbahaya akibat peresapan kedalam tanah, terbawa aliran air permukaan maupun gas yang terbawa oleh angin. c. Dilengkapi dengan kolam pengendap yang berfungsi baik untuk mengolah seluruh tailing hasil pengolahan sebelum dialirkan ke perairan bebas.
Gambar 10. Konstruksi Kolam Pengendap
d. Lokasi pengolahan bijih dan kolam pengendap diusahakan tidak berada pada daerah banjir. Sebagai panduan, perhitungan sederhana kebutuhan kolam pengendapan dilokasi pengolahan sebagai berikut: Luas kolam pengendap I (m2) = 20 x volume tailing yang dihasilkan setiap proses (m3).
845 4179
Asumsi : 1. 2.
Kedalaman kolam = 2 m Ukuran luas kolam pengendap II dapat lebih kecil dari kolam II (minimal 0.5 x luas kolam I).
Perkiraan Interval waktu pengerukan terutama untuk kolam pertama (hari) = (volume kolam pengendap I)/[volume tailing/hari (m3/hari)] Catatan : Kedalaman air pada titik keluaran minimal 0.5 m, kurang dari nilai tersebut kolam pengendap harus dikosongkan untuk menjaga kinerja pengendapan kolam tersebut. Contoh Perhitungan : Volume tailing per proses : Waktu proses : Luas kolam pengendap : Kedalaman kolam pengendap : Kapasitas kolam pengendap : : Perkiraan waktu pengurasan kolam pengendap, (asumsi waktu operasi : 8 jam/proses dan 2 x proses per hari)
1.6 8 - 12 32 2 48 30 15
m3 jam m2 m m3 proses hari
e. Gunakan merkuri dan sianida secukupnya. f. Bahan kimia ditempatkan pada ruangan tersendiri. g. Menggunakan perlengkapan yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Ekstraksi terdiri atas : a. Amalgamasi Amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara mencampur bijih emas dengan merkuri (Hg). Produk yang terbentuk adalah ikatan antara emas-perak dan merkuri yang dikenal sebagai amalgam. Merkuri akan membentuk amalgam dengan semua logam kecuali besi dan platina. Amalgamasi akan efektif pada emas yang terliberasi sepenuhnya maupun sebagian pada ukuran partikel yang lebih besar dari 200 mesh (0.074 mm). Tiga bentuk utama dari amalgam adalah AuHg2, Au2Hg and Au3Hg. 1) Metode pembentukan amalgam secara umum ada 2, yaitu : a) Seluruh bijih di amalgamasi pada proses menerus: merkuri dicampur dengan seluruh bijih dalam kotak
846 4180
pompa, dituangkan ke dalam sluice box selama proses konsentrasi, ditambahkan dalam sistem penggerusan (ball mill) atau seluruh bijih di amalgamasi dalam papan tembaga. b) Amalgamasi pada konsentrasi gravitasi hanya pada proses tidak menerus: merkuri dicampur dengan konsentrat dalam pengaduk, dulang maupun drum sehingga diperlukan pemisahan amalgam dari mineral berat. Proses penggerusan dan amalgamasi dengan ball mill berlangsung selama 8 hingga 12 jam. Sedangkan pada proses manual dengan dulang berkisar antara 15-30 menit. Hasil dari proses ini berupa amalgam basah (pasta) dan tailing. Amalgam basah kemudian ditampung di dalam suatu tempat yang selanjutnya didulang untuk pemisahan merkuri dengan amalgam. Terhadap amalgam yang diperoleh dari kegiatan pendulangan kemudian dilakukan kegiatan pemerasan (squeezing) dengan menggunakan kain parasut untuk memisahkan merkuri dari amalgam (filtrasi). Merkuri yang diperoleh dapat dipakai untuk proses amalgamasi selanjutnya. Jumlah merkuri yang tersisa dalam amalgan tergantung pada seberapa kuat pemerasan yang dilakukan. Amalgam dengan pemerasan manual akan mengandung 60 – 70 % emas, dan amalgam yang disaring dengan alat sentrifugal dapat mengandung emas sampai lebih dari 80 %. Pemurnian emas dari merkuri selanjutnya dilakukan dengan pembakaran amalgam untuk menguapkan merkuri, baik dengan pembakaran langsung maupun dengan retorting. Setelah merkuri menguap yang tertinggal berupa butiran emas. 2) Amalgamasi yang baik: a) Penambahan merkuri (amalgamasi) dilakukan hanya pada konsentrat akhir yang diperoleh dari pemisahan konsentrat dari bijih melalui proses konsentrasi gravitasi. Konsentrasi gravitasi dapat dilakukan dengan pendulangan, sluice box/palong, dan peralatan konsentrasi gravitasi yang lain. b) Untuk meningkatkan efisiensi proses amalgamasi, perlu didihindari faktor-faktor berikut: (1) derajat liberasi yang buruk sehingga menyebabkan permukaan emas tidak tersingkap. (2) permukaan emas kotor.
847 4181
(3) merkuri tidak teraktifasi sehingga tidak dapat menangkap emas. 3) Kolam Amalgamasi a) Amalgamasi harus dilakukan di kolam tertutup dengan lapisan kedap (semen, plastik, dll) di bawahnya, dan diupayakan jauh (minimal 50 m dan beda tinggi dari muka air badan perairan umum > 2 m) dari badan perairan umum (sungai, mata air dll), saluran air, danau dan sumur penduduk.
Gambar 11. Contoh Kolam Amalgamasi
b) Kolam amalgamasi ini harus diberi tanda/papan penamaan agar tidak digunakan untuk keperluan lain. 4) Penggunaan merkuri yang baik: a) Hindari kontak langsung ketika bekerja dengan merkuri, gunakanlah selalu sarung tangan. b) Simpanlah merkuri selalu dalam tempat tertutup rapat (bukan wadah dari aluminum).
yang
c) Selalu tambahkan air di atas cairan merkuri, kecuali pada merkuri yang sudah didaur ulang. d) Jangan sampai menumpahkan merkuri sangat sulit untuk membersihkannya.
karena
e) Gunakanlah merkuri sesedikit mungkin. 5) Pembakaran Amalgam/Retorting a) Selalu gunakan sistem retort yang baik. b) Jangan membakar raksa atau amalgam di dalam kamar atau ruangan tertutup, lakukanlah di luar atau di ruangan yang memiliki ventilasi yang baik. Lakukan pada bangunan khusus yang dilengkapi dengan cerobong, dengan ketinggian minimal 2 meter lebih tinggi terhadap atap bangunan.
848 4182
c) Ambil posisi berlawanan dengan arah angin ketika membakar amalgam. Jangan menghirup asapnya. Jangan makan atau merokok ketika menggunakan raksa. d) Beberapa saran untuk proses retorting yang baik adalah sebagai berikut: (1)
Ketika menggunakan retort untuk pertama kali, bakar seluruh bagian retort (dalam dan luar) dan dinginkan, ini akan menghilangkan minyak dan zinc (jika menggunakan baja galvanisasi). Tidak direkomendasikan untuk memakai retort baru dengan amalgam. (2) Tutupi interior untuk peleburan logam dengan lapisan tipis dari clay atau arang. (3) Tempatkan amalgam di dalam tempat peleburan (beberapa penambang membungkus dengan kertas). (4) Benamkan ujung pipa pendingin ke dalam segelas air. (5) Panasi seluruh bagian retort pada tempratur rendah selama 5–15 menit (jangan panaskan pipa pendingin). (6) Akan terlihat gelembung udara keluar dari dalam gelas melalui bagian bawah pipa pendingin. (7) Tingkatkan temperatur dan distribusikan panas keseluruh bagian retort. (8) Ketukkan pipa pendingin untuk melepaskan Hg yang mungkin berada di dalam pipa. (9) Tingkatkan temperatur dan konsentrasikan api di bawah daerah peleburan. (10) Ketika tidak ada lagi merkuri yang keluar (sekitar 15–20 menit), pindahkan gelas air dan kemudian matikan api. (11) Dinginkan retort di dalam air sebelum membuka dan jangan buka retort yang masih hangat.
849 4183
Gambar 12. Kegiatan Retorting
6) Penyimpanan Merkuri Meskipun merkuri memiliki titik didih 357°C, namun memiliki kemampuan untuk menguap pada temperatur kamar (25°C) karena tekanan penguapannya yang rendah. Untuk menghindari penguapan : (1) Simpan merkuri pada tempat yang teduh (temperature kamar ± 25°C) dan terhindar dari cahaya matahari secara langsung. (2) Simpan dalam wadah khusus (keramik, plastik atau kaca) yang tertutup dan pastikan merkuri terendam dalam air. b. Sianidasi Ekstraksi emas dengan menggunakan sianida saat ini telah menjadi proses utama ekstraksi emas dalam skala industri. Namun demikian, penggunaan metode ini sama halnya dengan metode ekstraksi yang lain yang masih memiliki potensi dampak berupa efek beracunnya bagi pekerja dan lingkungan. Proses Sianidasi terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan dan proses pemisahan emas dari larutannya. Pelarut yang biasa digunakan dalam proses sianidasi berupa NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran ketiganya. Pelarut
850 4184
yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Secara umum reaksi pelarutan Au adalah sebagai berikut: 4Au + 8CN- + O2 + 2 H2O
4Au(CN)2- + 4OH-
1) Metode pelarutan emas dengan sianida, antara lain adalah : a) Metode heap leaching (pelindian tumpukan) : pelindian emas dengan cara menyiramkan larutan sianida pada tumpukan bijih emas (diameter bijih < 10 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur. Air lindian yang mengalir di dasar tumpukkan yang kedap kemudian di kumpulkan untuk kemudian dilakukan proses berikutnya. Kemampuan ekstraksi emas berkisar 35 – 65 % b) VAT leaching : pelindian emas yang dilakukan dengan cara merendam bijih emas (diameter bijih < 5 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur dengan larutan sianida pada bak kedap. Air lindian yang dihasilkan kemudian dikumpulkan untuk dilakukan proses berikutnya. Proses pelindian berlangsung antara 3 – 7 hari dan setelah itu tangki dikosongkan untuk pengolahan bijih yang baru. Kemampuan ekstraksi emas berkisar 40 – 70 % c) Agitated tank leached : pelindian emas yang dilakukan dengan cara merendam bijih emas (diameter < 0.15 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur dengan larutan sianida pada suatu tangki dan selalu diaduk atau diaerasi dengan gelembung udara. Lamanya pengadukan biasanya selama 24 jam untuk menghasilkan pelindian yang optimal. Air lindian yang dihasilkan kemudian dikumpulkan untuk kemudian dilakukan proses berikutnya. Kemampuan ekstraksi emas dapat mencapai lebih dari 90 %. 2) Pemisahan logam emas dari larutannya, dilakukan dengan cara: a) Pengendapan dengan menggunakan serbuk Zn (Zinc precipitation/ Process Merill Crowe). Penggunaan serbuk seng (Zn) merupakan salah satu cara yang efektif untuk larutan yang mengandung konsentrasi emas kecil. Serbuk seng yang ditambahkan ke dalam larutan kaya, akan mengendapkan logam emas dan perak dalam bentuk ikatan seng emas yang berwarna hitam. Proses selanjutnya dilakukan penambahan asam sulfat
851 4185
pada endapan tersebut yang akan melarutkan Seng dan meninggalkan emas sebagai residunya. Untuk meningkatkan perolehan emas dari proses merill crowe dilakukan dengan cara melebur emas yang dicampur dengan borax dan siliceous fluxing agent pada temperatur 1200 ºC. b) Penyerapan dengan menggunakan karbon aktif. Penyerapan dengan menggunakan karbon aktif saat ini banyak digunakan dalam proses sianidasi pada skala industri pertambangan besar maupun pertambangan rakyat di Indonesia. Karbon aktif yang dipergunakan dapat berasal dari arang batok kelapa, maupun arang kayu yang lain dengan ukuran pallet yang dipergunakan umumnya berdiameter antara 12 mm. Kemampuan penyerapan emas dari arang batok kelapa ini mencapai 10 – 15 g emas untuk setiap kg-nya, namun umumnya hanya berkisar 2 – 5 g emas untuk setiap kg-nya. Karbon aktif dapat digunakan pada larutan kaya yang sudah jernih melalui kolom maupun pada tangki pelindian, baik itu dengan cara menggantungkan karbon yang terletak pada kantong permeable (carbon in leach-CIL) maupun dengan mencampurkan karbon aktif langsung pada bubur campuran bijih (carbon in pulp-CIP). Proses selanjutnya dilakukan pemisahan emas dari karbon yang dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1) Membakar karbon yang mengandung emas sehingga yang akan tertinggal berupa abu dan logam emas. Cara ini paling sederhana namun sulit dikontrol apabila dilakukan di tempat terbuka. Jika terdapat kandungan merkuri dalam karbon tersebut akan menghasilkan asap merkuri yang beracun yang akan membayakan penambang dan lingkungan. (2) Merendam karbon (carbon stripping) tersebut pada larutan yang mengandung 2 g sianida per liter larutan dan dipanaskan sampai mendekati temperatur didih air (80 – 90 ºC) pada tangki baja (stainless steel) selama paling tidak 2 hari. Larutan hasil proses ini kemudian diolah dengan proses merill crowe di atas atau dengan cara electro winning. Karbon yang masih kasar (diameter > 1 mm) dapat digunakan kembali untuk proses penyerapan sampai 5 kali. Lebih dari itu karbon
852 4186
perlu diaktifkan kembali dengan cara dicuci dengan asam klorat (HCl) panas (85 ºC) dan dilanjutkan dengan pemanggangan pada temperatur 700 ºC. 3) Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sianida dalam ekstraksi emas sebagai berikut : Kelebihan
Kekurangan
a. Hanya memerlukan sejumlah kecil sianida untuk mengekstrak emas, biasanya kurang dari 1 kg/ ton batuan
a. Sianida bersifat sangat beracun, dan pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan kematian pada ikan, burung bahkan manusia.
b. Sianida akan mengekstrak emas secara lebih selektif dengan hanya mengikutkan sejumlah kecil mineral lain dalam bijih. c. Sianida dapat mengekstrak emas dalam rentang ukuran bijih dari yang kasar sampai halus. d. Proses ekstraksi dapat berlangsung cepat, pada tangki pelindian biasanya memerlukan waktu kurang dari 1 hari. e. Sianida yang tersisa dan ikut terbuang dalam tailing dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. f. Sianida secara natural di alam dapat terdegradasi, terutama karena terkena sinar ultraviolet dari matahari, dan menjadi bentuk yang lebih tidak beracun dan terutama membentuk karbondioksida dan nitrat yang tidak beracun. g. Jika dilakukan dengan baik, resiko keracunan dapat diminimalkan
853 4187
b. Sianida akan bereaksi dengan merkuri menghasilkan ikatan kimia terlarut yang secara mudah tertransport dengan air sehingga akan menyebarkan merkuri pada area yang lebih luas. c. Ketika sianida bereaksi dengan merkuri akan mengubah merkuri menjadi bentuk ikatan yang lebih mudah masuk ke dalam makanan dan menjadi lebih berbahaya.
Kelebihan
Kekurangan
h. Sianida tidak bersifat akumulasi dalam hewan maupun tanaman.
Gambar 13. Contoh Diagram Alir Pengolahan Bijih Emas Secara Sianidasi Dengan CI
4) Sianidasi yang baik: (1) Dilakukan pada kondisi pH 10. (2) Setiap instalasi pengolahan harus memiliki tailing pan yang baik dengan kapasitas yang memadai guna penguraian larutan sianida yang tersisa bersama tailing. (3) Pada waktu pembuangan tailing akhir usahakan konsentrasi sianida sudah dibawah 10 ppm dan tidak boleh jatuh kebadan sungai.
854 4188
(4) Sianida harus disimpan dalam daerah dengan ventilasi yang cukup baik, jauhkan dari benda-benda asam, air, mudah terkorosi, dan mudah meledak. (5) Daerah penyimpanan harus dibatasi/dipagari dan dikunci untuk mencegah kecelakaan. (6) Harus berhati-hati ketika menyiapkan larutan karena resiko penguapan sianida. Tidak diperbolehkan untuk merokok, makan, dan minum selama melakukan proses sianidasi. (7) Sarung tangan plasik harus dipakai untuk menghindari kontak antara kulit dan sianida. (8) Beberapa kemampuan teknis dasar yang diperlukan untuk keberhasilan dan keamanan dalam proses sianidasi: (a) Proses perlu dikontrol melalui tes-tes yang relatif mudah (misal: kertas pH) (b) Untuk melarutkan emas, ada 4 komponen yang diperlukan: air, sianida, udara (oksigen), dan alkalinity (pH tinggi). Jika salah satu dari 4 komponen tersebut hilang, proses tidak akan bekerja. (c) Gunakan Sianida sesedikit mungkin ± 1 kg sianida per ton bijih. (d) Penambahan sianida yang berlebihan tidak akan meningkatkan jumlah emas yang diperoleh. (e) Sianida dapat bereaksi dengan unsur selain emas, seperti tembaga, besi, perak, dan merkuri . Ketika sianida bereakasi dengan zat tersebut, maka akan mengurangi sianida yang tersedia untuk melarutkan emas. Sehingga terkadang diperlukan sianida yang lebih banyak untuk melarutkan. Bijih tembaga dengan mineral seperti malachite dan azurite menyebabkan masalah besar karena mineral tersebut bereaksi dengan cepat dengan sianida. (f) Sianida bebas sangat beracun dan biasanya terserap melalui pernafasan atau kontak dengan kulit dan didistribusikan keseluruh tubuh melalui darah. Sianida menghentikan sel dalam menyerap oksigen sehingga mengakibatkan kematian yang dikarenakan terganggunya sistem saraf utama. (g) Hindarkan melakukan proses Sianidasi terhadap tailing hasil pengolahan secara amalgamasi. Karena sianida akan bereaksi dengan merkuri menghasilkan campuran kimia yang dapat saling melarutkan (merkuri akan menjadi bentuk yang lebih mudah masuk ke dalam rantai makanan dan menjadi lebih berbahaya).
855 4189
(h) Gunakan kembali air sisa pengolahan sianidasi untuk proses sianidasi berikutnya. (i) Sisa-sisa sianida pada waste (tailing) dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. Jika terekspose dengan sinar ultraviolet, sianida akan berubah menjadi bentuk yang kurang beracun dan akhirnya menjadi karbon dioksida yang tidak beracun dan nitrat. Sianida tidak terakumulasi pada binatang ataupun tumbuhan.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
856 4190
857 4191
858 4192
859 4193
860 4194
861 4195
862 4196
863 4197
864 4198
865 4199
866 4200
867 4201
868 4202
869 4203
870 4204
871 4205
872 4206
873 4207
874 4208
875 4209
876 4210
877 4211
878 4212
879 4213
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 128 TAHUN 2003 TENTANG TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI SECARA BIOLOGIS MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a.
bahwa limbah minyak bumi yang dihasilkan usaha atau kegiatan minyak, gas dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan dengan baik;
b.
bahwa salah satu upaya pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi dapat dilakukan dengan pengolahan secara biologis sebagai alternatif teknologi pengolahan limbah minyak bumi;
c.
bahwa pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun secara teknis telah diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor : Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun , oleh karena sifat kekhususannya, maka pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis perlu diatur tersendiri dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
d. bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara, bahwa pembuatan 1
880
pedoman pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun menjadi kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Mengingat
e.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis;
: 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815), jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 6. Keputusan Menteri Pertambangan Nomor 4/P/M/Pertamb/1973 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Perairan dalam Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak, Gas, dan Panas Bumi; 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak, Gas, dan Panas Bumi; 2
881
MEMUTUSKAN : Menetapkan : TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI SECARA BIOLOGIS. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat digunakan kembali dalam proses produksi; 2. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan ya ng tidak berkaitan dengan kegiatan usaha dan minyak bumi; 3. Pengolahan limbah minyak bumi adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah minyak bumi untuk menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun; 4. Tanah terkontaminasi adalah tanah atau lahan yang terkontaminasi akibat dari tumpahan atau ceceran atau kebocoran atau penimbunan limbah minyak bumi yang tidak sesuai dengan persyaratan dari kegiatan operasional sebelumya; 5. Kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi adalah kegiatan di luar dari usaha pengelolaan minyak dan gas bumi yang menghasilkan limbah minyak bumi. Pasal 2 (1) Setiap usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi serta kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib melakuka n pengolahan limbahnya.
3
882
(2) Pengolahan limbah minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan metoda biologis sebagai salah satu alternatif teknologi pengolahan yang meliputi : a. landfarming; b. biopile; c. composting ; (3) Tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis dalam Lampiran II Keputusan ini mencakup: a. persyaratan teknis pengelolaan; b. analisis terhadap proses pengolahan; c. kriteria hasil akhir pengolahan; d. penanganan hasil olahan; e. pemantauan dan pengawasan terhadap hasil olahan. Pasal 3
Ketentuan perizinan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan Beracun dan format permohonan izin untuk pengolahan secara biologi yang tercantum pada Lampiran I Keputusan ini. Pasal 4
(1) Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum 6 (enam) bulan sekali. (2) Pelaporan yang dimaksud pada ayat (2) minimal mencakup jumlah, jenis dan karakteristik limbah yang diolah, hasil analisis dari pemantauan limbah yang diolah dan air tanah serta data analisis dari pemantauan terhadap hasil olahan setelah proses pengolahan biologis.
4
883
Pasal 5 Apabila pada saat diberlakukannya keputusan ini telah dilakukan pengolahan limbah minyak dan tanah terkontaminasi secara biologis yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka pelaksana kegiatan wajib menyesuaikan pengelolaannya dengan keputusan ini selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak diterbitkannya keputusan ini. Pasal 6 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003 --------------------------------------------------------------Menteri Negara Lingkungan Hidup ttd Nabiel Makarim, MSM., MPA. Salinan ini sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, ttd Hoetomo, MPA.
5
884
9. 10. 11. 12. 13.
Uraian tentang data fisik, hidrogeologis dan cuaca dari lokasi lahan pengolahan Uraian tentang rancang bangun unit pengolahan; Uraian tentang tata cara proses pengolahan; Uraian tentang pengambilan sampel dan analisis parameter; Uraian tentang rencana penanganan bahan hasil pengolahan. .....................................,............ Nama dan tanda tangan pemohon asli bermaterai secukupnya
(......................................................) Tembusan Yth.: 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri/Instansi lain terkait. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd. Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
885 388
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 128 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 FORMAT PERMOHONAN IZIN PENGOLAHAN LIMBAH DAN LAHAN TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI SECARA BIOLOGIS I.
KETERANGAN TENTANG PEMOHON 1. Pemohon a. Nama pemohon / kuasa : .................................................................... b. Alamat : .................................................................... c. Nomor telefon/fax. : .................................................................... 2. Perusahaan a. Nama pemohon / kuasa : .................................................................... b. Alamat : .................................................................... c. Nomor telefon / fax. : .................................................................... d. Bidang usaha : .................................................................... e. Akte pendirian : .................................................................... f. Nomor persetujuan prinsip : .................................................................... g. NPWP : .................................................................... h. Izin-izin yang telah diperoleh : .................................................................... ( Izin lokasi, IMB, HO, Amdal )
II. KETERANGAN TENTANG LOKASI PERUSAHAAN 1. Luas : ................................................................... 2. Letak : ................................................................... a. Desa : ................................................................... b. Kecamatan : ................................................................... c. Kabupaten/Kodya : ................................................................... d. Propinsi : ................................................................... * Coret yang tidak perlu III. KETERANGAN UMUM PENGOLAHAN SECARA BIOLOGIS 1. Limbah yang diolah a. Jenis limbah : .................................................................... b. Sumber limbah : .................................................................... c. Jumlah limbah : .................................................................... d. Produk limbah per bulan : .................................................................... e. Komposisi limbah Kandungan minyak : ..............% Kandungan air : ..............% Kandungan padatan : ..............% f. Konsentrasi awal TPH : ..............(g / g) (Total petroleum hidrokarbon) 2. Data umum pengolahan biologis a. Lokasi pengolahan (peta) : internal/eksternal/* dari area penghasil limbah b. Proses pengolahan : ek-situ/in-situ/* c. Luas total pengolahan : ................m 2 / ha /* d. Titik koordinat pengolahan : ................ e. Jumlah unit pengolahan : ................unit f. Kapasitas pengolahan : ................ton / m3 /* g. Dimensi area pengolahan : .....m (panjang) x ....m (lebar) x .... (dalam) h. Jenis pengolahan : landfarming/biopile/composting/*.............. i. Mulai pengolahan : .................................................................... j. Lama pengolahan : .................................................................... * Coret yang tidak perlu IV. DOKUMEN YANG DISAMPAIKAN OLEH PEMOHON IJIN 1. Akte pendirian perusahaan; 2. Ijin lokasi; 3. Ijin Mendirikan Bangunan ( IMB ); 4. Ijin HO: 5. Peta lokasi kegiatan: 6. Persetujuan Amdal perusahaan; 886 biologis (jika ada); 7. Persetujuan Amdal atau revisi RKL/RPL pengolahan 8. Uraian tentang hasil uji skala laboratorium dan atau piot unit;
387
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 128 Tahun 2003 Tanggal : 28 Juli 2003 TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI SECARA BIOLOGIS I.
PENDAHULUAN I.1. Maksud dan Tujuan Pengolahan dengan metoda biologis merupakan salah satu alternatif teknologi pengelolaan limbah minyak bumi dengan memanfaatkan makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahaya pencemar. Tatacara dan persyaratan teknis ini digunakan bagi pelaku kegiatan pengolahan limbah minyak bumi baik yang berasal dari proses produksi, pengolahan minyak mentah atau pembersihan dari tangki penyimpanan (secara bioproses) maupun kegiatan penanganan limbah minyak bumi dari lahan yang telah terkontaminasi (secara bioremediasi). Maksud disusunnya tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis adalah untuk mewujudkan terlaksananya pengelolaan limbah dan pemulihan lingkungan akibat kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi yang efektif dan efisien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tujuan diaturnya tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi secara biologis adalah memberikan acuan dan arahan bagi kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengolahan limbah minyak bumi dalam mengurangi konsentrasi residu minyak atau menghilangkan sifat bahaya dan beracun agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. I.2. Ruang Lingkup Tatacara dan persyaratan teknis ini berlaku bagi semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan limbah minyak bumi baik dari kegiatan usaha minyak dan gas bumi ataupun kegiatan lainnya dalam rangka pengelolaan limbah minyak bumi. I.3 Istilah-istilah Beberapa istilah yang tercantum dalam Keputusan ini adalah: 1. Uji TCLP limbah atau Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure limbah adalah pengujian terhadap limbah untuk mengukur kadar atau konsentrasi parameter pencemar dalam lindi; 2. Bioproses adalah proses pengolahan limbah minyak bumi yang berasal dari kegiatan minyak dan gas bumi dengan memanfaatkan makhluk hidup termasuk mikroorganisme, tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar; 3. Bioremediasi adalah proses pengolahan minyak bumi yang sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan makhluk hidup termasuk mikroorganisme, tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar; 4. Pengolahan secara in-situ adalah pengolahan limbah yang dilakukan secara langsung pada lokasi tempat terjadinya pencemaran; 5. Pengolahan secara ek-situ adalah pengolahan limbah yang dilakukan dengan cara memindahkan dan mengolah limbah di tempat lain yang memenuhi persyaratan lahan pengolahan; 6. Aerob adalah kondisi lingkungan yang mengandung atau membutuhkan oksigen; 7. Anaerob adalah kondisi lingkungan yang tidak mengandung atau tidak membutuhkan oksigen; 8. Landfarming adalah proses pengolahan limbah minyak bumi dengan cara menyebarkan dan mengaduk limbah sampai merata di atas lahan dengan ketebalan tertentu (sekitar 20-50 cm) sehingga proses penguraian limbah minyak bumi secara mikrobiologis dapat terjadi; 9. Biopile adalah proses pengolahan limbah dengan cara menempatkan limbah pada pipa-pipa pensuplai oksigen untuk meningkatkan aerasi dan penguraian limbah minyak bumi secara mikrobiologis agar lebih optimal; 10. Composting adalah proses pengolahan limbah dengan menambahkan bahan organik seperti pupuk kandang, sepihan kayu, sisa tumbuhan atau serasah daun dengan tujuan untuk meningkatkan porositas dan aktifitas mikroorganisme pengurai; 11. Bahan pencampur (misalnya tanah dan pasir) adalah bagian yang ditambahkan pada proses pengolahan limbah minyak bumi sehingga memungkinkan proses penguraian limbah hidrokarbon secara mikrobiologis terjadi; 12. Bahan penggembur (bulking agent) adalah bahan tambahan yang digunakan untuk menggemburkan campuran limbah minyak bumi, seperti pupuk kandang, serpihan kayu, sisa tumbuhan atau serasah daun; 13. Surfaktan adalah bahan kimia aktif yang dapat mempercepat proses emulsifikasi dan pelarutan bahan organik; 14. Uji toksikologi adalah pengujian terhadap hasil olahan untuk menetapkan nilai LD50 (Lethal Dose Fifty) dengan melakukan perhitungan terhadap dosis (gram pencemar per kilogram berat badan ) yang dapat menyebabkan kematian 50% populasi makhluk hidup yang dijadikan hewan percobaan; 15. Landfill adalah tempat penimbunan limbah atau hasil olahan yang dirancang sesuai dengan persyaratan; 16. Penempatan limbah secara permanen 887 (backfill) adalah penempatan akhir hasil pengolahan yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan.
389
II. PERSYARATAN TEKNIS PENGELOLAAN II.1.1. Sumber Limbah Pada umumnya, limbah minyak bumi pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain bersumber dari: a. Tangki pemisah dan atau penimbun minyak mentah dan/atau produk bahan bakar minyak, baik di darat maupun di laut (tanker, floating storage, storage tank dan lain-lain); b. Instalasi Pengolah Air Limbah ( Separator, Oil Catcher, Dissolved Air Floatation /DAF, Chemical Unit dan/atau, Free Water Knock Out/Separator minyak dari sumur produksi) yang mengolah air limbah pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi; c. Hasil pembersihan alat-alat proses pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi; d. Timbunan kumulatif limbah minyak dari hasil kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan/atau kegiatan lain yang telah beroperasi sebelum adanya peraturan pengelolaan limbah; e. Limbah pemboran berupa limbah lumpur bor dan serbuk bor (cutting) yang mengandung residu minyak bumi; f. Tumpahan minyak pada lahan akibat dari proses pengangkutan minyak melalui pipa, alat angkut, proses pemindahan (transfer) minyak atau dari ceceran minyak pada tanah terkontaminasi II.1.2. Analisa Limbah Sebelum melakukan pengolahan limbah minyak bumi dengan metoda biologis, maka perlu dilakukan analisis terhadap bahan yang diolah untuk mengetahui komposisi dan karakteristik limbah yang terdiri dari: a. Kandungan minyak atau oil content (bila kandungan minyak relatif besar) dan/atau Total Petroleum Hydrocarbon/TPH (bila kandungan minyak relatif kecil); b. Kandungan total logam berat; c. Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) logam berat. Prosedur persiapan contoh dan metode analisis untuk mengidentifikasi limbah tersebut adalah sebagai berikut: Analisis Metoda - TPH US EPA SW - 846, Spektrofotometri - Oil Content Ekstraksi, Spektrofotometri infra merah - Total Logam Berat Spektrofotometri serapan atom - TCLP US EPA 1311 II.1.3. Persyaratan Limbah Yang Diolah Persyaratan limbah minyak bumi yang diolah secara biologis adalah sebagai berikut: a. Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis adalah tidak lebih dari 15%; b. Konsentrasi TPH yang sebelum proses pengolahan lebih dari 15% perlu dilakukan pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia dan karakteristik limbah; c. Hasil uji TCLP logam berat berada di bawah baku mutu seperti yang dicantumkan di dalam Kep 04/Bapedal/09/1995; d. Ketentuan persyaratan limbah minyak bumi lain yang bersifat spesifik akan diatur kemudian dan disesuaikan dengan karakteristik dalam komposisi limbah; II.1.4. Persyaratan Tempat Pengolahan Tempat dilakukannya proses pengolahan secara biologis harus memenuhi persyaratan berikut di bawah ini: 1. Persyaratan umum adalah: a. Daerah bebas banjir; b. Bukan daerah genangan air sepanjang tahun; c. Bukan merupakan aliran sungai intermittent; d. Bukan daerah resapan atau sumber mata air; e. Bukan daerah yang dilindungi; f. Jauh dari lokasi pemukiman berjarak minimum 300 m; g. Sesuai dengan tata ruang yang sudah ditentukan; h. Kondisi hidrogeologi memenuhi ketentuan: Struktur geologi bersifat stabil; Lokasi pengolahan terletak di lahan datar atau dengan kemiringan maksimum 12%; Kedalaman air tanah di lokasi tersebut minimum 4 meter dari lapisan terbawah unit pengolahan; Tekstur tanah tidak memiliki porositas yang tinggi (lahan dengan tekstur tanah berpasir sebaiknya tidak digunakan sebagai lokasi pengolahan). 2. Persyaratan lainnya adalah: a. Melakukan pengkajian terhadap kondisi awal lahan (background atau baseline) dari lokasi yang akan dibangun unit pengolahan termasuk data kandungan TPH dan logam berat pada sampel tanah dan air tanah; b. Lahan unit pengolahan terkonsentrasi pada satu area (tidak tersebar); c. Menentukan tata letak lokasi pada peta termasuk titik koordinat posisi dari unit pengolahan; d. Pada kondisi lokasi lahan terkontaminasi terletak di area permukaan tanah, maka pengolahan secara in-situ memungkinkan untuk diterapkan dengan mempertimbangkan kondisi hidrogeologi, air tanah dan lingkungan yang aman sesuai dengan persyaratan lahan pengolahan; e. Pada kondisi lokasi lahan terkontaminasi berada di daerah yang dilarang seperti yang tercantum di dalam persyaratan 888 lahan umum atau tidak sesuai dengan persyaratan lahan pengolahan, maka limbah harus dipindahkan dan dilakukan pengolahan secara ek-situ.
390
II.1.5.
II.2.
Persyaratan Fasilitas Fasilitas pengolahan limbah minyak bumi secara biologis dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: A. Rancang Bangun: 1. Di atas tanah unit tempat pengolahan dilapisi tanah lempung dengan ketebalan minimum 60 cm setelah dipadatkan dan memenuhi batas permeabilitas (K) minimum adalah 10-5 cm/detik. 2. Lahan dengan permeabilitas (K) lebih besar dari 10-5 cm/detik harus dilengkapi dengan bahan pelapis tambahan berupa HDPE (high density polythylene) dengan ketebalan minimum 1,5 mm atau bahan pelapis lainnya yang memenuhi persyaratan. 3. Saluran drainase dirancang di sekeliling unit lokasi pengolahan untuk mengkontrol larinya air luapan. 4. Arah aliran air luapan tersebut diatur sehingga aliran menuju ke kolam penampungan. 5. Konstruksi saluran drainase dan kolam penampung air luapan harus kedap air dan mampu mengakomodasikan volume curah hujan maksimum. 6. Tanggul dibangun di sekeliling unit lokasi pengolahan untuk mencegah luapan air hujan yang masuk pada waktu curah hujan tertinggi (jika saluran drainase tidak mencukupi luapan air hujan). 7. Sumur pantau air tanah dipasang minimum 2 (dua) buah yang terletak secara representatif di daerah hulu dan hilir dari unit lokasi pengolahan yang disesuaikan dengan arah aliran air tanah. 8. Sumur pantau air tanah tidak diperlukan jika data hidrogeologis mendukung terjaminnya permeabilitas yang sangat rendah, baik dari segi kedalaman air tanah maupun struktur geologi lahan. 9. Pagar pengaman atau pembatas di sekeliling lokasi unit pengolahan dipasang untuk menghindari masuknya pihak yang tidak berkepentingan. 10. Tanda-tanda peringatan dipasang untuk menjaga aspek keselamatan dan keamanan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: a. lokasi pengolahan limbah minyak bumi secara biologis; b. dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan; c. pemakaian alat pelindung diri yang sesuai dengan standar keselamatan kerja; d. atau tanda lain yang dianggap perlu. B. Kelengkapan lain 1. Untuk menunjang proses pengolahan, maka peralatan-peralatan yang digunakan untuk pencampuran dan pengadukan harus tersedia setiap saat diperlukan. 2. Proses pengolahan perlu dilengkapi prosedur kerja tertulis tentang tata laksana operasional pengolahan, pemantauan dan pengawasan. 3. Mempunyai sistem penanggulangan keadaan darurat jika terjadi kebocoran atau tumpahan dari unit pengolahan. 4. Memiliki alat perlengkapan keselamatan bagi pekerja yang melakukan kegiatan operasional pada unit pengolahan. Tata cara pengolahan A. Proses pengolahan Proses pengolahan secara biologis dapat dilakukan secara aerob maupun anaerob, beberapa teknik yang dapat diterapkan adalah landfarming, biopile, composting atau teknik-teknik lain yang layak digunakan. 1. Bahan pencampur dapat ditambahkan pada limbah dengan tujuan untuk mengoptimalkan proses penguraian limbah minyak bumi oleh mikroorganisme dengan persyaratan perbandingan maksimum antara limbah dan bahan pencampur adalah 1:1. 2. Bahan penggembur (bulking agent) dapat ditambahkan untuk meningkatkan porositas campuran limbah minyak bumi dengan memanfaatkan bahan yang tersedia di sekitar lokasi pengolahan. 3. Pada proses pengolahan yang dilakukan secara aerob, maka pemberian oksigen (aerasi) perlu dilakukan dengan cara mensuplai oksigen melalui pipa-pipa, pengadukan manual atau dengan alat berat. 4. Kelembaban optimum dari proses pengolahan perlu dijaga dengan cara menyiramkan atau menyemprotkan dengan air. 5. Pengaturan pH optimum (mendekati pH netral) terhadap proses pengolahan merupakan faktor yang perlu diperhatikan. 6. Penambahan zat makanan atau unsur hara untuk meningkatkan proses penguraian limbah minyak bumi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kemungkinan terjadinya pencemaran lain atau timbulnya bau yang mengganggu. 7. Untuk mempercepat proses penguraian limbah minyak bumi, mikroorganisme pengurai limbah minyak lokal dapat diaktifkan dengan cara memberikan zat makanan/unsur hara dan mengoptimalkan kondisi lingkungan. 8. Mikroorganisme pengurai limbah minyak yang diperoleh dari luar dipersyaratkan bukan merupakan organisme paogen, bukan termasuk organisme hasil rekayasa genetik dan apabila produk import digunakan harus seijin dari instansi Departemen Pertanian. 9. Bahan surfaktan yang digunakan pada proses pegolahan biologis harus bersifat mudah diurai dan non-toksik (disertai MSDS). 10. Proses pencampuran atau pengadukan (mixing) dilakukan secara teratur dan periodik untuk mengoptimalkan proses pengolahan secara biologis. 11. Air luapan atau air lindi yang berada di dalam kolam penampung dapat disirkulasi kembali ke unit pengolahan untuk menjaga kelembaban. 12. Jika air luapan atau air lindi tersebut 889 dibuang ke lingkungan maka limbah cair tersebut diperlakukan sebagai limbah cair.
391
B.
Evaluasi kinerja pengolahan 1. Keberhasilan proses pengolahan secara biologis dalam menurunkan kadar TPH/ oil content sampai memenuhi kriteria yang dipersyaratkan dievaluasi untuk melihat efektifitas penguraian limbah minyak bumi secara biologis dengan ketentuan waktu maksimum pengolahan adalah 8 (delapan) bulan. 2. Jika proses pengolahan memakan waktu lebih dari 8 (delapan) bulan, maka evaluasi ulang dilakukan untuk meningkatkan kinerja proses pengolahannya.
III. ANALISIS TERHADAP PROSES PENGOLAHAN Selama proses pengelolaan secara biologis ini dilakukan, maka beberapa parameter dianalisis dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Analisa limbah: a. Analisa Kimia Parameter TPH
BTEX * Total PAH** TCLP logam berat
Tabel 1. Parameter dan metoda sampling untuk analisis sampel limbah yang diolah. Frekwensi Teknik sampling Metoda analisis Minimum 2 minggu sekali selama proses (1 siklus) Akhir operasi Akhir operasi Awal dan akhir operasi
- 2 komposit - 5 titik literal - 3 titik vertikal untuk biopile Idem Idem Idem
- Spektrofotometri - Gravimetri atau composting Kromatografi Kromatografi TCLP ekstraktor, SAA***
*) Benzene, toluene, ethylbenzene, xylene **) PAH adalah Polycylic Aromatic Hydrocarbon ***) Spektrofotometri Serapan Atom b. Analisis pendukung Analisis terhadap produk hasil penguraian limbah minyak bumi (TPH) akibat kegiatan mikrobiologis dapat dilakukan untuk melihat komponen dan konsentrasi senyawa hidrokarbon, seperti senyawa yang terdapat di dalam kelompok C6-C15. Analisis terhadap parameter yang berhubungan dengan proses mikrobiologis dapat dilakukan sebagai data pendukung untuk efektifnya pengolahan, diantaranya adalah penghitungan jumlah total bakteri, biomasa unsur karbon, pengukuran respirasi, fiksasi nitrogen dan lain-lain. 2. Analisis sampel air tanah dari sumur pantau Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang dipasang secara representatif di daerah hulu dan hilir minimum pada saat awal operasi, selama proses dan akhir operasi. Parameter yang diukur adalah pH dan Electrical Conductivity (EC) yang diukur minimum 2 minggu sekali serta analisis konsentrasi TPH minimum 3 (tiga) bulan sekali. 3. Analisis sampel tanah Pada kondisi air tanah dalam (> 50 m), maka cukup sampel tanah yang dianalisis untuk konsentrasi TPH dengan pengambilan sampel tanah pada kedalaman 2 m di bawah lapisan paling dasar unit pengolahan minimum 1 (satu) bulan sekali. 4. Analisis sampel air lindi Analisis sampel air luapan atau lindi yang dibuang ke lingkungan diperlakukan sebagai limbah cair mengacu kepada KepMen LH no. 42/1996 jo. KepMen LH no. 09/1997 (baku mutu limbah cair bagi kegiatan minyak, gas dan panas bumi) minimum 1 (satu) bulan sekali. IV. KRITERIA HASILAKHIR PENGOLAHAN Hasil akhir dari proses pengolahan secara biologis harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Limbah No. A. 1 2 3 4 5 6 7 B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 2. Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan minyak bumi secara biologis Parameter Satuan Nilai akhir hasil Olahan Analisis limbah * pH 6-9 TPH (mg/g) 10.000 Benzene (mg/g) 1 10 Toluene (mg/g) Ethylbenzene (mg/g) 10 Xylene (mg/g) 10 10 Total PAH (mg/g) Analisis TCLP Pb mg/L 5 As mg/L 5 Ba mg/L 150 Cd mg/L 1 Cr mg/L 5 Cu mg/L 10 Hg mg/L 0,2 890 Se mg/L 1 Zn mg/L 50
392
* Semua analisis kimia untuk limbah minyak bumi, nilai konsentrasi (g/g) ditentukan dalam berat kering 2. Limbah cair Limbah cair yang dibuang ke media lingkungan harus memenuhi Kep.Men baku mutu limbah cair yang terkait (KepMen 42/1996) 3. Air tanah pada sumur pantau Sampel air tanah diambil pada sumur pantau yang ada di hulu dan hilir kemudian dianalisis pH, EC ( Electrical Conductivity) dan TPH. 4. Uji Toksikologi Uji toksikologi dilakukan tehadap limbah hasil olahan minimum 1 (satu) kali pengujian dari jenis limbah yang sama untuk menetapkan nilai LD50 ( Lethal Dose fifty). Nilai dari LD50 yang dipersyaratkan adalah tidak boleh kurang dari (<) 15 gram per kilogram berat badan dari hewan uji. V. PENANGANAN HASIL OLAHAN Setelah proses pengolahan mencapai ketentuan kriteria hasil akhir di atas, maka terhadap bahan tersebut dapat dilakukan perlakuan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Sebelum melakukan kegiatan pengelolaan terhadap hasil olahan pasca operasi, maka pengelola melaporkan rencana kegiatan tersebut kepada KLH. 2. Hasil olahan ditimbun ke landfill jika hasil analisis lebih dari pada baku mutu yang dipersyaratkan pada Tabel 2. Keputusan ini dengan kategori landfill sesuai dengan hasil analisis minyak bumi (mengacu kepada Kep04/Bapedal/09/1995). No. 1. 2. 3.
Tabel 3. Beberapa cara penanganan hasil olahan setelah proses pengolahan Konsentrasi Kegiatan penanganan Keterangan TPH >2% Proses pengolahan dilanjutkan Sampai memenuhi kriteria 1%-2% Landfill kategori III Sesuai Kepdal 04/1995 < 1% a. Penempatan pada lahan Ditanami tumbuhan yang khusus dan terbatas non-konsumsi b. Pemanfaatan Bahan pencampur lapisan jalan, material bangunan dan lain-lain
3. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi dimana proses pengolahan biologis sebelumnya berlangsung jika hasil analisis memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan pada Tabel 2 Keputusan ini dengan memberikan tanda dan titik koordinat pada lokasi. 4. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi lain yang masih berada di sekitar area internal penghasil timah jika hasil analisis memenuhi baku mutu. 5. Persyaratan lahan penempatan hasil olahan tersebut sedapat mungkin terkonsentrasi pada satu area (tidak menyebar). 6. Persyaratan lahan penempatan hasil olahan tersebut harus merupakan daerah bebas banjir, bukan daerah resapan atau sumber mata air, bukan daerah air permukaan dangkal (< 4m) dan bukan daerah yang dilindungi. 7. Penempatan hasil olahan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 4 (empat) m, bagian dasar lahan dilapisi dengan tanah lempung setebal minimum 60 cm. 8. Penanganan hasil olahan yang dilakukan seperti dicantumkan pada butir 4, maka air lindi atau air cucian diatur agar aliran tidak menyebar ke media lingkungan lain, seperti air tanah, persawahan, perkebunan atau air sungai. 9. Setelah ditempatkan di atas lahan, di atas hasil olahan dapat ditanami tumbuhan yang bukan termasuk jenis yang dapat dikonsumsi. 10. Hasil olahan yang ditempatkan di luar area penghasil limbah harus memperoleh ijin dari KLH. 11. Hasil olahan yang dimanfaatkan untuk keperluan tertentu, seperti bahan pencampur lapisan jalan, material bangunan dan lain-lain harus memperoleh ijin dari KLH. VI. PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN TERHADAP HASIL OLAHAN Pemantauan dan pengawasan terhadap hasil olahan yang diletakkan di atas lahan seperti tercantum pada butir V dilakukan secara teratur dan periodik dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Analisis TPH terhadap sampel hasil olahan, sampel tanah, sampel air tanah, sampel tanaman (jika digunakan) dan badan sungai (jika ada) dilakukan oleh penghasil limbah minimum 6 (enam) bulan sekali. 2. Penghasil limbah bertanggung jawab terhadap pengendalian atau pengolahan terhadap lokasi penempatan hasil olahan minimum 2 (dua) tahun atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh instansi yang bertanggung jawab. 3. Pemantauan dan pengawasan terhadap lokasi penempatan hasil olahan dilakukan oleh KLH, Bapedalda Propinsi dan Bapedalda Kabupaten/Kota atau instansi lain yang berwenang minimum 6 (enam) bulan sekali. 4. Pelaporan tentang hasil pemantauan diberikan kepada KLH, Bapedalda Propinsi dan Bapedalda Kabupaten/ Kota atau instansi lain yang berwenang minimum 6 (enam) bulan sekali. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 Juli 2003 Menteri Negara Lingkungan Hidup,
891
ttd. Nabiel Makarim,MPA.,MSM
393
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang
: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; b. bahwa Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep–68/Bapedal /05/1994 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, Pengolahan dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
892 4470
Indonesia Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA CARA PERIZINAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disebut limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. 2. Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. 3. Pemanfaatan Limbah B3 sebagai kegiatan utama adalah kegiatan usaha yang mempergunakan limbah B3 sebagai bahan material utama dalam proses kegiatan yang menghasilkan suatu produk. 4. Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3. 5. Produk antara adalah suatu produk dari suatu proses pemanfaatan limbah B3 yang belum menjadi produk akhir yang masih akan digunakan sebagai bahan baku oleh industri dan/atau kegiatan lainnya dan telah memenuhi SNI, standar internasional, atau standar lain yang diakui.
893 4471
6.
7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
14.
Izin pengelolaan limbah B3 yang selanjutnya disebut izin adalah keputusan tata usaha negara yang berisi persetujuan permohonan untuk melakukan pengelolaan limbah B3 yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Pemohon adalah badan usaha yang mengajukan permohonan izin pengelolaan limbah B3. Badan usaha pengelola limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3 sebagai kegiatan utama dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3 yang bersumber bukan kegiatan sendiri dan dalam akte notaris pendirian badan usaha tertera bidang atau subbidang pengelolaan limbah B3. Pengumpulan skala nasional adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 yang bersumber dari 2 (dua) provinsi atau lebih. Pengumpulan skala provinsi adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 yang bersumber dari 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih. Pengumpulan skala kabupaten/kota adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 yang bersumber dari satu kabupaten/kota. Rekomendasi adalah surat yang menjadi dasar pertimbangan untuk penerbitan izin usaha dan/atau kegiatan. Deputi Menteri adalah pejabat eselon I pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang bertugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas kegiatan: a. pengangkutan; b. penyimpanan sementara; c. pengumpulan; d. pemanfaatan; e. pengolahan; dan f. penimbunan. Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. Kegiatan pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat diberikan izin apabila: a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3. Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib memuat tanggung jawab masing-masing pihak bila terdapat pencemaran lingkungan. Kegiatan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat berupa: a. kegiatan utama; atau b. bukan kegiatan utama.
894 4472
(1)
(2) (3)
(4)
(5) (6)
Pasal 3 Kegiatan pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib memiliki izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota. Kegiatan pengumpulan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c wajib memiliki izin dari: a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur; b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf a wajib memiliki izin dari instansi terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b wajib memiliki izin dari Menteri. Kegiatan pengolahan dan penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e dan huruf f wajib memiliki izin dari Menteri.
Pasal 4 Permohonan rekomendasi Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan jika penghasil telah melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan pemanfaatan limbah B3, penimbun limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau pengumpul limbah B3.
(1)
(1)
(2) (3)
(1)
(2)
Pasal 5 Pengelolaan limbah B3 yang membutuhkan uji coba alat, instalasi pengolahan, metode pengolahan, dan/atau pemanfaatan harus lebih dahulu mendapat persetujuan uji coba dari Menteri. Kewenangan penerbitan persetujuan uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Deputi Menteri. Pelaksanaan uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan oleh staf Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pasal 6 Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak diwajibkan memiliki izin. Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah melalui suatu proses produksi dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), standar internasional, atau standar lain yang diakui oleh nasional atau internasional.
895 4473
Pasal 7 Kewenangan penerbitan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (4) serta izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri. Pasal 8 (1)
(2)
Perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3. Batas pertanggungan/tanggung jawab asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 9
(1)
(2)
Perusahaan yang kegiatan utamanya berupa pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki : a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap jenis kegiatan pengangkutan limbah B3 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a. Pasal 10
(1)
(2)
(3)
(4)
Pemohon mengajukan surat permohonan izin pengelolaan limbah B3 kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir permohonan izin pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal pada ayat (3) dan menggunakan formulir permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
896 4474
Pasal 11 Proses keputusan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui tahapan: a. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; b. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang dilengkapi dengan Berita Acara; c. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan; dan d. finalisasi keputusan izin oleh Menteri. Pasal 12 (1) (2) (3) (4)
Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d dapat berupa penerbitan atau penolakan izin. Izin diterbitkan apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b. Penolakan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alasan penolakan. Kewenangan penolakan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri. Pasal 13
(1)
(2)
Keputusan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diterbitkan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin secara lengkap. Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap atau belum memenuhi persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon. Pasal 14
(1) (2)
(3)
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d berbentuk Surat Keputusan Menteri. Surat Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab; b. jenis pengelolaan limbah B3; c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3; d. jenis dan karakteristik limbah B3; e. kewajiban yang harus dilakukan; f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban; g. masa berlaku izin; h. sistem pengawasan; dan i. sistem pelaporan. Masa berlaku izin 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
897 4475
(1) (2)
Pasal 15 Permohonan perpanjangan izin diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir. Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir permohan perpanjangan izin sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 16 Apabila terjadi perubahan terhadap jenis, karakteristik, jumlah, dan/atau cara pengelolaan limbah B3, pemohon wajib mengajukan permohonan izin baru. Pasal 17 (1) Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap penaatan pelaksanaan izin pengelolaaan limbah B3 sesuai dengan kewenangannya. (2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD). Pasal 18 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, usaha dan/atau kegiatan pengangkutan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 19 Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-68/BAPEDAL/05/1994 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 22 Mei 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
898 4476
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 18 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009
FORMULIR PERMOHONAN REKOMENDASI PENGANGKUTAN LIMBAH B3 Nomor : ................................. Lampiran : ................................. Perihal : .................................
Kepada Yth : Deputi MENLH Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Tempat
Dengan ini kami mengajukan permohonan rekomendasi pengangkutan limbah B3 dengan data-data sebagai berikut : I. Keterangan tentang pemohon 1. Nama Pemohon 2. Jabatan 3. Nama Perusahaan 4. Alamat Kantor 5. 6. 7. 8.
: : : :
Nomor Telp/Fax Bidang Usaha No./Tanggal Akte Pendirian NPWP
: : : :
....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... ....................................................................... .......................................................................
II. Keterangan tentang moda transportasi 1. jenis moda transportasi : angkutan darat/angkutan laut. 2. lampirkan foto berwarna tiap alat angkut (tampak depan dan samping). Moda Transportasi Darat No
No.Polisi
Jenis Kendaraan
Tahun Pembuatan
Nomor Mesin
Kepemilikan
Moda Transportasi Laut No
Nama Kapal
Bendera kapal
899 4477
Ukuran
Bobot
Kepemilikan
III. Keterangan tentang jenis limbah B3 dan rute Jenis limbah B3 dan rute yang dilalui serta tujuan akhir limbah (lampirkan photo contoh kemasan untuk tiap jenis limbah B3 yang akan diangkut). No
Jenis limbah B3
Karakteristik Limbah B3
Jenis kemasan
Rute yang dilalui
Tujuan akhir limbah B3 (pengumpul/pengolah /pemanfaat/penimbun LB3)
IV. Keterangan Data Tambahan 1. melampirkan SOP (Prosedur Operasional Standar) tata cara bongkar muat dan penanganan dalam keadaan darurat sesuai dengan jenis dan karakteristik limbah B3 yang akan diangkut. 2. melampirkan foto kopi kontrak kerjasama antara penangungjawab kegiatan dengan pemilik kapal yang telah dilegalisir (bagi penanggungjawab kegiatan yang tidak memiliki kapal sendiri). 3. melampirkan foto kopi izin kelayakan kapal/Ship particular dari instansi terkait. 4. melampirkan foto kopi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad.
900 4478
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 18 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009 FORMULIR PERMOHONAN IZIN PENGELOLAAN LIMBAH B3 Nomor Lampiran Perihal
: ........................ : ........................ : ........................
Kepada Yth: Menteri Negara Lingkungan Hidup di tempat
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan data-data sebagai berikut:
Form 1. Keterangan tentang pemohon 1. 2.
Nama Pemohon Alamat
: :
3. 4.
Nomor Telp/Fax Alamat e-mail
: :
.................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .............................................. Kode Pos : (..................) (........) ................../(.......) .................. ..............................................
Form 2. Keterangan tentang perusahaan 1. 2.
Nama Pemohon Alamat
: :
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nomor Telp/Fax Jenis Usaha No./Tanggal Akte Pendirian NPWP Jenis izin yang diajukan Izin-izin dan persetujuan yang diperoleh
: : : : : :
.................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .............................................. Kode Pos : (..................) (........) ................../(.......) .................. .............................................. .............................................. .............................................. Pengolahan/Pemanfaatan/Pengumpulan/Penimbunan Jenis izin/persetujuan No. Persetujuan/Izin ....................................... 1. AMDAL/UKL-UPL ....................................... 2. IMB ....................................... 3. Izin Lokasi ....................................... 4. SIUP ....................................... 5. TDT ....................................... 6. ................ ....................................... 7. Lain-lain
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
RACHMAT WITOELAR
ttd Ilyas Asaad.
901 4479
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 18 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009 PERSYARATAN MINIMAL PERMOHONAN IZIN No
DATA MINIMAL YANG HARUS DILAMPIRKAN
KETERANGAN
1
Dokumen lingkungan (Amdal/UPL/UKL)
2
Akte Pendirian Perusahaan
3
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
4
Foto kopi Asuransi Pengelolaan Lingkungan
5
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
6
Izin Lokasi
7
Izin Gangguan (HO)
8
Keterangan tentang lokasi (nama tempat/letak, luas, titik koordinat)
9
Jenis-jenis limbah yang akan dikelola
10
Jumlah limbah B3 (untuk perjenis limbah) yang akan dikelola
11
Karakteristik per jenis limbah B3 yang akan dikelola
12
Desain konstruksi tempat penyimpanan atau pengumpulan
13
Flowsheet lengkap proses pengelolaan limbah B3
14
Uraian jenis dan spesifikasi teknis pengolahan dan peralatan yang digunakan
15
Perlengkapan sistem tanggap darurat
16
Tata letak saluran drainase*
Catatan: *pengumpulan limbah B3 fasa cair
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd
Ilyas Asaad.
902 4480
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 18 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009 FORMULIR PERMOHONAN UJI COBA PENGELOLAAN LIMBAH B3 Nomor Lampiran Perihal
: ………………… : ………………… : …………………
Kepada Yth: Deputi MENLH Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. di Tempat
Dengan ini kami mengajukan permohonan uji coba pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan data-data sebagai berikut:
Form1. Keterangan tentang pemohon 1. Nama Pemohon : …………………………………………………………………… 2. Alamat ……………………………………………………………………..... : 3. 4.
Nomor Telp/Fax Alamat e-mail
: :
………………………………………..... Kode Pos : (……………..) (…….)…………../(…….)……………… ………………………………...................
Form 2. Keterangan tentang perusahaan 1. Nama Perusahaan : ……………………………………………………………………… 2. Alamat : .................................................................... Kode Pos : (…………..) 3. 4. 5. 6. 7.
Alamat Lokasi Uji Coba Nomor Telp/Fax Jenis Usaha No / Tanggal Akte Pendirian NPWP
.............................................................................................................
: (…..….)………….….. / (…..….)………….…................................. : ………………………………………................................................. : ………………………………………................................................. : ………………………………………................................................. Form 3. Keterangan tentang uji coba pengelolaan limbah B3 yang diajukan 1. Jenis Alat Incinerator/Tank Cleaner/dan lain-lain : 2. Jenis Limbah dan karakteristik : ............................................................................................................. 3. 4. 5. 6.
limbah B3 Metode Pengolahan Spesifikasi alat Volume limbah B3 yang digunakan Perkiraan lama pelaksanaan uji coba
: : :
……………………………................................................................. ............................................................................................................ ...........................................................................................................
:
..........................................................................................................
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
RACHMAT WITOELAR
ttd Ilyas Asaad.
903 4481
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 18 Tahun 2009 Tanggal : 22 Mei 2009 FORMULIR PERMOHONAN PERPANJANGAN IZIN PENGELOLAAN LIMBAH B3 Nomor Lampiran Perihal
: ………………… : ………………… : …………………
Kepada Yth: Menteri Negara Lingkungan Hidup di Tempat
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan data-data sebagai berikut:
Form1. Keterangan tentang pemohon 1. 2.
3. 4.
Nama Pemohon Alamat
: ………………………………………………………………………… : …………………………………………………………………………
Nomor Telp/Fax Alamat e-mail
………………………………………………………………………… ……………………………………….... Kode Pos : (………………..) (…….)…………../(…….)……………… ……………………………….
: :
Form 2. Keterangan tentang perusahaan 1. 2.
Nama Perusahaan Alamat
3. 4. 5. 6.
Nomor Telp/Fax Jenis Usaha No / Tanggal Akte Pendirian NPWP
4.
Izin Sebelumnya: a. Izin Pengelolaan Limbah B3 b. Izin Gangguan (HO) c. Izin lainnya Laporan Hasil Kegiatan
: ………………………………………………………………………… : ………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… .................................................................. Kode Pos : (……..………..) (…..….)………….….. / (…..….)………….….. ……………………………………… ……………………………………… ………………………………………
: : : : form 3. Keterangan tentang izin pengelolaan limbah B3 yang diajukan 1. Jenis Izin : Pengolahan / Pemanfaatan / / Pengumpulan / penimbunan 2. Sifat Izin : Perpanjangan 3. Tanggal Habis Masa Berlaku : ……………………………
:
............................................ ............................................ (Harus dilampirkan)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
RACHMAT WITOELAR
ttd
Ilyas Asaad.
904 4482
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang :
a. bahwa limbah bahan berbahaya dan beracun akibat tumpahan, ceceran, kebocoran, atau pembuangan langsung ke lahan memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sehingga perlu dilaksanakan pemulihan lahan terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 58 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan
:
1 905 4559
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA CARA PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. 2. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantaf atau mendaur. 3. Lahan terkontaminasi adalah lahan yang terkena limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). 4. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan. 5. Tingkat keberhasilan pemulihan adalah target sasaran yang dicapai dalam penanganan lahan terkontaminasi limbah B3. 6. Surat Status Penyelesaian Lahan Terkontaminasi yang selanjutnya disingkat SSPLT adalah surat yang berisi pernyataan telah selesai penanganan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 yang diterbitkan oleh Menteri. 7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dalam melaksanakan penanganan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.
Pasal 3 Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 yang diakibatkan dari usaha dan/atau kegiatannya. 2 906 4560
Pasal 4 Pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 terdiri atas kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. evaluasi; dan d. pemantauan. Pasal 5 (1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a. rencana pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3; dan b. rencana pengolahan tanah terkontaminasi limbah B3. (2) Rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri yang didalam pelaksanannya sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, untuk mendapatkan persetujuan. Pasal 6 (1) Kegiatan pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi: a. survei lahan terkotaminasi limbah B3 sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I; b. penetapan lokasi titik sampling lahan terkotaminasi limbah B3 sesuai dengan tata cara penetapan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; dan c. kegiatan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. (2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 7 (1) Lahan terkontaminasi dinyatakan bersih dari limbah B3, setelah dilaksanakan evaluasi tingkat keberhasilan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3. (2) Tingkat keberhasilan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sesuai dengan tata cara penentuan tingkat keberhasilan pemulihan yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 8 Penanggungjawab kegiatan pemulihan wajib melaporkan hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 kepada Menteri dengan tembusan gubernur dan bupati/walikota.
3 907 4561
Pasal 9 (1) Menteri melakukan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7. (2) Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7, Menteri menerbitkan SSPLT. (3) Menteri dapat mendelegasikan kewenanganan penerbitan SSPLT kepada Deputi yang membidangi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah B3. (4) Materi muatan SSPLT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) SSPLT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melepaskan tanggung jawab hukum penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap pencemaran yang timbul dari usaha dan/atau kegiatannya. Pasal 10 (1) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang telah mendapatkan SSPLT wajib melakukan pemantauan terhadap lahan terkontaminasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan selama 1 (satu) tahun. (2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri dengan tembusan gubernur dan bupati/walikota. Pasal 11 (1) Pengolahan tanah terkontaminasi limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b diperlakukan sama dengan pengelolaan limbah B3. (2) Pengelolaan tanah terkontaminasi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3. Pasal 12 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dilakukan oleh: a. Menteri apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua wilayah provinsi dan/atau lintas batas negara; b. Gubernur apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua atau lebih wilayah kabupaten/kota; atau c. Bupati/walikota apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada wilayah kabupaten/kota. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan menteri yang mengatur mengenai pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3.
4 908 4562
Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta Pada tanggal: 05 Oktober 2009 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
909 4563
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 33 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
SURVEI LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN I.
UMUM Tujuan utama melakukan survei adalah untuk mendapatkan informasi awal yang relevan dengan data yang telah tersedia sebagai data sekunder. Pada tahap ini akan dilakukan identifikasi yang terkait dengan sumber kontaminan, pola penjalaran, hidrogeologi dan topographi. Kegiatan survei meliputi, keberadaan penyebaran kontaminasi yang menjadi bagian dari strategi pengambilan contoh uji tanah yang akan menentukan lokasi dan jumlah contoh uji yang harus diambil. Penyebaran kontaminasi antara lain dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik limbah B3 pola penjalaran migrasi dan dispersi, sifat fisika dan jenis tanah, dan geohidrologi.
II.
TAHAPAN SURVEI Tahapan survei lapangan awal ini mencakup identifikasi keadaan tempat, histori tempat, topograpi, geologi dan hidrologi. A. Inspeksi Lapangan Awal Tujuan utama tahap ini adalah untuk melakukan konfirmasi terhadap data sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan selama tahap ini adalah: 1. kondisi lokasi secara umum yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan; 2. jenis tanah dan kemiringan tanah terhadap kemungkinan potensi terkontaminasi; 3. lokasi dan kondisi anak sungai, sumber air dan peruntukan tata guna lahan; 4. indikasi lokasi terkontaminasi atau potensi terjadi kontaminasi yang terlihat; 5. tanda tanda tanah yang terlihat akibat kontaminasi; 6. lokasi tempat penyimpanan limbah dan daerah perpindahan bahan baku/kimia penyebab kontaminasi lahan; 7. lokasi gedung, proses dan aktivitas di tempat. B. Survei Lapangan Lengkap Investigasi lapangan lengkap ini diperlukan sebagai konfirmasi terhadap temuan dari laporan Inspeksi Lapangan awal. Pada tahap ini akan melakukan pengumpulan data lapangan dan 6 910 4564
pengambilan contoh uji tanah untuk dianalisa menentukan konsentrasi kontaminan. Contoh uji tanah yang diambil adalah contoh uji tanah pada lahan terkontaminasi dan contoh uji tanah pada lahan yang belum terkontaminasi. Contoh uji tanah pada lahan yang belum terkontaminasi dilakukan untuk dijadikan sebagai titik referensi dalam penetapan keberhasilan kegiatan pemulihan lahan terkontaminasi. Hasil investigasi ini digunakan untuk mengkaji kembali data dan informasi yang sudah ada. Sebelum melakukan pelaksanaan pekerjaan fisik saat investigasi, diperlukan data untuk memperkirakan potensi bahaya dan tindakan kesehatan dan keselamatan. Pengambilan data media lingkungan seperti air permukaan, air tanah, dan lain lain dilakukan apabila dianggap perlu. C. Survei Lapangan Pengesahan Survei lapangan akhir dilakukan setelah semua kegiatan remediasi (pemulihan) lahan tercemar dinayatakan selesai. Tujuan survei ini adalah untuk memastikan bahwa lahan tercemar sudah selesai dipulihkan dan tanah sudah tidak terkontaminasi lagi. Untuk itu diperlukan analisa terhadap kualitas tanahnya untuk mengukur sisa konsentrasi kontaminan. Hasil analisanya dibandingkan dengan konsentrasi tanah yang dipilih sebagai titik referensi.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
911 4565
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 33 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
PENETAPAN LOKASI TITIK SAMPLING LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH B3 Tata cara ini dimaksudkan untuk tujuan melaksanakan kegiatan penetapan titik pantau termasuk titik referensi pada lahan tercemar limbah B3 Tata cara penetapan titik pantau dan titik referensi pada lahan tercemar adalah sebagai berikut: 1. Gambar secara sederhana keadaan topografi pada lahan tercemar pada saat di lapangan. 2. Lakukan pembuatan titik-titik batas persebaran limbah B3 pada lahan tercemar lengkapi dengan titik koordinatnya, dengan alat GPS (Geographic Position System). 3. Tentukan titik referensi kearah berlawanan dengan aliran air tanah (ground water level). 4. Pertimbangkan jenis tanah, tekstur tanah, porositas, permiabilitas dan geohidrologi untuk mempertimbangkan persebaran limbah B3. 5. Tentukan titik up stream (hulu) 1 (satu) buah titik dan down stream (hilir) 2 (dua) buah titik. 6. Lakukan pengambilan sampel tanah terkontaminasi limbah B3 pada lahan tercemar, untuk mengetahui sebaran dan kedalaman kontaminan. 7. Gambar sketsa lokasi lahan terkotaminasi antara lain jenis tanah, porositas, permeabilitas, tekstur tanah, topografi dan geohidrologi.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
8 912 4566
Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 33 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009 KEGIATAN PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH B3 Pelaksanaan penanganan lahan terkontaminasi limbah B3 wajib dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dengan menggunakan teknologi yang dianggap representatif, yang harus sesuai dengan karakter kontaminan dan lokasi lahan terkontaminasi limbah B3. Tahapan-tahapan yang diperlukan dalam pelaksanaan pemulihan adalah sebagai berikut: 1. Pemetaan Lahan Terkontaminasi a. Pemetaan lahan terkontaminasi limbah B3 dengan cara melakukan pembuatan gambar sketsa lokasi yang meliputi keberadaan lokasi permukiman, lahan produktif/lahan pertanian, sumber air, sumber polutan dan informasi lainnya yang berguna untuk pengendalian dampak lingkungan. b. Penentuan batas lateral dan vertikal cekungan air bawah tanah 2. Isolasi Area Terkontaminasi Pelaksanaan isolasi lahan terkontaminasi limbah B3 dilakukan sesuai luasan lahan yang terkontaminasi limbah B3, meliputi : a. Pemasangan garis batas Garis batas dilakukan dengan pemasangan pembatas sesuai besaran (luasan) lahan terkontaminasi isolasi dengan cara menentukan titiktitik koordinatnya b. Penetapan titik koordinat dilakukan dengan menggunakan alat ukur Geographic Position System (GPS) yang sebelumnya ditandai minimal oleh tampaknya 4 satelit dalam GPS tersebut. 3. Pemberian Papan Pengumuman Maksud pemasangan papan pengumuman untuk memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan bahwa di lokasi (lahan) tersebut sedang dilakukan penanganan lahan terkontaminasi limbah B3. Tujuannya adalah agar pihak yang berkepentingan tidak melintas dan atau memanfaatkan lahan yang sedang dalam penanganan. 4. Pengambilan contoh uji Pengambilan contoh uji tanah, air tanah, limbah B3, fisika tanah, pengukuran tinggi muka air tanah, topografi tanah dan penyelidikan geohidrologi yang meliputi titik kontrol dan titik pengambilan contoh uji pada area terkontaminasi. Pengambilan contoh uji diperlukan untuk perhitungan dan/atau gambaran volume tanah terkontaminasi, penjalaran dan kedalaman kontaminan pada lahan terkontaminasi.
9 913 4567
5. Pengangkatan dan pengangkutan tanah terkontaminasi atau alternatif lain Meliputi pelaksanaan kegiatan pengangkatan menggunakan seperangkat peralatan (alat berat dan ringan) untuk mengangkat tanah terkontaminasi oleh limbah B3 ke dalam wadah yang sesuai dengan jenis dan karakteristik limbah B3. Pelaksanaan pengangkatan tanah terkontaminasi: a. Tempatkan pada wadah yang tidak bocor, berkarat atau rusak sehingga tidak menyebabkan reaksi dengan sumber kontaminan yang terkandung didalam tanah terkontaminasi. b. Memberi simbol dan label pada wadah/kemasan untuk mewadahi tanah terkontaminasi. c. Mencegah terjadinya ceceran d. Mengelola tanah terkontaminasi sesuai pengelolaan limbah B3 6. Tahap Pemulihan Lahan Terkontaminasi Pelaksanaan pemulihan tanah terkontaminasi meliputi pemulihan tanah terkontaminasi dan pembersihan limbah B3 yang terkandung didalamnya, sehingga Lahan tercemar dapat dibersihkan dan atau dipulihkan dari kontaminasi limbah B3. Tahapan pelaksanaan: a. Menetapkan luas area terkontaminasi; b. Menetapkan letak sumur pantau dan titik referensi di sekitar lokasi lahan tercemar; c. Memetakan area untuk selanjutnya menghitung jumlah sampel baik luas dan sebaran kontaminasi; d. Mengambil sampel tanah dan dianalisa untuk menetapkan parameter-parameter yang diperkirakan penyebab kontaminasi; e. Mengelola jumlah volume tanah terkontaminasi, cara pengolahan dengan proses biologi, proses fisika atau proses kimia; f. Mengisolasi area terkontaminasi dengan penandaan dan garis pengaman; g. Kajian dari kegiatan pemulihan dan pemantauan didalam pelaksanaannya. Setelah melakukan tahapan di atas, selanjutnya melakukan pengambilan contoh uji tanah, air tanah pada titik kontrol dan titik pengambilan contoh uji pada lahan tercemar untuk memastikan pemulihan sudah mencapai tingkat keberhasilan. Jika hasil data laboratorium, dinyatakan belum sesuai target tingkat keberhasilan, maka wajib dilakukan pembersihan kembali. 7. Pemantauan Lahan Terkontaminasi Pemantauan kualitas tanah, air tanah wajib dilakukan setelah 6 (enam) bulan, minimal 2 (dua) kali setelah hasil data laboratorium pada lahan terkontaminasi mencapai target tingkat keberhasilan. a. Periode pengambilan contoh uji
10 914 4568
Periode pengambilan contoh uji dilakukan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan jumlah contoh uji dan parameter yang diambil pada permulaan pengambilan contoh uji. b. Pemenuhan persyaratan target tingkat keberhasilan/Baku Mutu yang telah disepakati di permulaan pengambilan contoh uji. 8. Pengurugan Pengurugan (backfill) pada lahan terkontaminasi dapat dilakukan untuk selanjutnya dilakukan revegetasi jika telah tercapai keberhasilan target sesuai pada angka VI. Pengurugan dapat dilakukan dengan menggunakan tanah olahan hasil dari proses pengolahan dengan persyaratan tanah tersebut telah memenuhi persyaratan atau konsentrasi zat kontaminan telah menurun. Maksud dan tujuan pengurugan adalah agar lahan terkontaminasi limbah B3 setelah bersih dapat digantikan oleh tanah baru lapisan muka tanah sehingga berfungsi sesuai asalnya. Tahapan pelaksanaan: a. Pemilihan tanah yang sesuai dengan kondisi sebelum lahan terkontaminasi melalui uji kualitas tanah; b. Menghitung volume tanah yang akan digunakan untuk tanah urug; c. Melakukan pengurugan sesuai kondisi fisiografi tanah sekitar; d. Mengolah tanah sehingga siap tanam untuk tahap revegetasi.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
11 915 4569
Lampiran IV Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 33 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009
TATA CARA PENENTUAN TINGKAT KEBERHASILAN PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH B3
Dalam menentukan suatu lahan terkontaminasi dikatakan bersih atau tidaknya dari limbah B3, maka diperlukan suatu kualitas tanah sebagai pembanding ataupun acuan. Kualitas tanah yang sangat bervariasi serta beragamnya jenis limbah industri menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan standar atau baku mutu tanah terkontaminasi limbah B3. Keberadaan titik referensi ataupun acuan kualitas tanah sangat diperlukan dalam penanganan lahan tercemar limbah B3. Standar yang dapat dipergunakan sebagai acuan tingkat keberhasilan dalam penanganan lahan tercemar memenuhi salah satu dan atau gabungan sebagai berikut: 1. Titik referensi; 2. Pendekatan Standar Penggunaan Lahan; 3. Tingkat Kajian Dasar Risiko (Risk Based Screening Level) 1. Titik Referensi Metoda pengambilan titik referensi ini yaitu membandingkan tanah sekitar yang belum tercemar untuk dijadikan acuan akhir. Kriteria unsur yang perlu di analisa dari titik referensi sesuai dengan limbah B3 yang memiliki jenis unsur atau senyawa utamanya.
2. Pendekatan Standar Penggunaan Lahan Pendekatan standar penggunaan lahan, digunakan apabila kandungan unsur atau senyawa utama limbah B3 pada titik acuan ataupun titik referensi tidak dapat dicapai, karena pengangkatan limbah B3 di lahan tercemar pada suatu lokasi dapat mengganggu fungsi air tanah , maka dapat digunakan pendekatan standar penggunaan lahan dari di negara lain yang mendekati kondisi tanah di Indonesia.
3. Tingkat Kajian Dasar Resiko (Risk Based Screening Level) Tingkat Kajian Dasar Resiko (Risk Based Screening Level/RBSL) ditetapkan berdasarkan perhitungan ilmiah,berdasarkan resiko, dan perlindungan untuk komunitas terhadap paparan yang signifikan. Tahapan Penerapan Risk Based Screening Level (RBSL) adalah Identifikasi Sumber atau Bahaya Racun, Pengkajian Kandungan Racun,
12 916 4570
Pengkajian Penjalaran, identifikasi karakteristik resiko dengan atau SSTL (Site-Specific Target Levels ).
RBSL
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
13 917 4571
Lampiran V Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 33 Tahun 2009 Tanggal : 05 Oktober 2009 MATERI MUATAN SSPLT Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan penanganan pemulihan lahan terkontaminasi serta pelaporan dan hasil analisa laboratorium kualitas lahan, maka Menteri menerbitkan SSPLT limbah B3. SSPLT limbah B3 antara lain memuat: I. Status penanganan lahan terkontaminasi telah selesai II. Lampiran SSPLT terdiri atas: A. Kronologis permasalahan (terjadinya lahan terkontaminasi limbah B3). B. Metodologi yang digunakan dalam penanganan lahan terkontaminasi (tahapan penanganan lahan terkontaminasi). C. Peta wilayah administrasi dan peta lokasi lahan terkontaminasi. D. Tahapan-tahapan kegiatan yang telah dilakukan disertai luas dan volume serta foto-foto kegiatan. E. Hasil akhir yang dicapai berupa data-data hasil uji laboratorium. F. Pemantauan pasca penanganan lahan terkontaminasi berupa: 1. parameter; 2. frekuensi dan durasi; 3. lokasi pemantauan; 4. pelaksana oleh pihak ketiga/laboratorium yang telah terakreditasi; dan 5. metodologi pemantauan pasca penanganan. G. Kewajiban pelaporan. H. Kewajiban pengawasan lebih lanjut.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, ttd Ilyas Asaad
14 918 4572
Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No. 336.k Tahun 1996 Tentang : Jaminan Reklamasi
DIREKTUR JENDERAL PERTAMBANGAN UMUM Menimbang : bahwa dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211. K/008/M.PE / 1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum , maka ketentuan pasal 29 untuk menjamin terlaksananya reklamasi secara tepat tanpa membebani iklim investasi di bidang pertambangan umum dipandang perlu ditetapkan jaminan reklamasi dalam suatu Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Mengingat : 1. 2.
Keputusan Presiden No. 343/M Tahun 1993 tanggal 11 September 1993; Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1211. K/008/M.PE / 1995 tanggal 17 Juli 1995.
MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERTAMBANGAN UMUM TENTANG JAMINAN REKLAMASI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan : a. Jaminan reklamasi adalah dana yang disediakan perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di bidang pertambangan umum. b. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
919
c. d.
e. f. g. h.
pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Perusahaan pertambangan adalah orang atau badan usaha yang diberi wewenang untuk melaksanakan usaha-usaha pertambangan berdasarkan Kuasa Pertambangan atau Perjanjian Karya. Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan adalah rencaan kerja pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang disusun oleh perusahaan untuk setiap tahun dengan mengacu kepada AMDAL atau UKL/UPL yang telah disetujui sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Perusahaan Penjamin adalah bank atau perusahaan asuransi yang disetujui oleh direktur jenderal untuk memberikan jaminan atas pelaksanaan reklamasi. “Accounting Reserve”adalah dana pelaksanaan reklamasi yang dicadangkan di dalam pembukuna perusahaan pertambangan setiap tahun. Jaminan Pihak Ketiga adalah suatu jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga sebagai penjamin dalam bentuk sertifikat penjamin (surety bond), irrevocable letters of credit, dan bank garansi. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Pasal 2
Jaminan Reklamasi dikenakan bagi seluruh perusahaan pertambangan pada tahap penambangan atau operasi produksi. BAB II PENETAPAN JAMINAN REKLAMASI Pasal 3 (1) (2)
(1) (2)
Jumlah jaminan reklamasi ditetapkan berdasarkan biaya reklamas i sesuai dengan Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan untuk jangka waktu lima tahun. Bagi perusahaan pertambangan yang umur tambangnya kurang dari lima tahun, jumlah jaminan reklamasi ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi untuk jangka waktu umur tambangnya. Pasal 4 Biaya rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam pasala 3 ayat 1, harus diperhitungkan berdasarkan anggapan bahwa reklamasi tersebut akan dilaksanakan oleh pihak ketiga Komponen biaya rencana reklamasi sebagaiman dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 terdiri dari : a. Biaya langsung dapat meliputi : 1. Biaya pembongkaran fasilitas tsmbsng (bangunan, jalan, emplasemen), kecuali ditentukan lain. 2. Biaya penataan kegunaan lahan yang terdiri dari :
920
(3) (4)
(1)
(2)
(1)
a. Sewa alat – alat berat; b. Pengisian kembali lahan bekas tambang; c. Pengaturan permukaan lahan; d. Penebaran tanah pucuk; e. Pengendalian erosi dan pengelolaan air. 3. Biaya revegetasu dapat meliputi : a. Analisis kualitas tanah; b. Pemupukan; c. Pengadaan bibit; d. Penanaman; e. Pemeliharaan tanaman. 4. Biaya pencegahan dan penanggulangan air asam tambang 5. Biaya untuk pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang b. Biaya tidak langsung meliputi : 1. Biaya mobilisasi dan demobilisasi alat-alat berat; 2. Biaya perencanaan reklamasi; 3. Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor pelaksana reklamasi; Biaya-biaya tersebut diatas sudah harus memperhitungkan pajakpajak yang berlaku Perhitungan biaya rencana reklamasi dapat dibuat dalam nilai mata uang rupiah atau dolar Amerika Pasal 5 Bentuk jaminan reklamasi dapat berupa deposito berjangka dan atau “accounting reserve”dan atau jaminan pihak ketiga dengan ketentuan sebagai berikut : a. Deposito berjangka ditempatkan pada bank pemerintah atas nama Dirjen qq perusahaan pertambangan yang bersangkutan b. Irrevocable letters of credit (LC) atau bank garansi atau sertifikat penjaminan; 1. Diterbitkan oleh bank pemerintah atau lembaga penjamin milik pemerintah atau bank devisa 2. Untuk jangka waktu lima tahun dengan rincian tahunan Bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang diusulkan oeh perusahaan pertambangan harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pasal 6 Perusahaan pertambangan dapat menempatkan jaminan reklamasi dalam bentuk accounting reserve, jika perusahaan pertambangan tersebut memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut : a. Perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek di Indonesia maupun di luar Indonesia
921
b.
(2)
Anak Perusahaan dari sebuah Perusahaan publik baik yang terdaftar di bursa efek di Indonesia atau yang terdaftar di luar Indonesia c. Perusahaan mempunyai jumlah modal sendiri yang tidak kurang dari US$ 25,000,000,00 seperti dinyatakan dalam laporan keuangan yang telah diaudit Bagi Perusahaan pertambangan yang menempatkan jaminan reklamasi dalam bentuk accounting reserve, wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan bagi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b harus menyampaikan pernyataan jaminan pelaksanaan reklamasi dari perusahaan induknya
Pasal 7 Direktur Jenderal melakukan penyesuaian terhadap jumlah reklamasi apabila : a. wilayah yang semula dikenakan jaminan reklamasi berubah dan tidak sesuai lagi dengan rencana reklamasi semula b. biaya reklamasi berubah sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi di daerah pertambangan seperti upah tenaga kerja, ongkos sewa peralatan, dan inflasi atau deflasi atau devaluasi. BAB III PENEMPATAN JAMINAN REKLAMASI Pasal 8 Jaminan Reklamasi harus ditempatkan sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi Pasal 9 Perusahaan pertambangan harus mengajukan kepada Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk Pasal 10 Surat perintah pelaksanaan jaminan reklamasi diterbitkan oleh direktur jenderal atau pejabat yang ditunjuk (1) (2)
Pasal 11 Perusahaan pertambangan dapat mengajukan perubahan bentuk jaminan reklamasi dalam jumlah yang sama kepada Direktur Jenderal Direktur Jenderal dapat menetapkan perubahan bentuk jaminan reklamasi apabila perusahaan pertambangan tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan
922
BAB IV PENCAIRAN ATAU PELEPASAN JAMINAN REKLAMASI Pasal 12 Perusahaan pertambangan dapat mengajukan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi kepada Direktur Jenderal sesuai dengan tahapan pelaksanaan reklamasi (1)
(2)
(3)
(4) (5)
(1)
Pasal 13 Tahapan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada pasal 12 disesuaikan dengan ketentuan sebagai berikut : a. 60 persen setelak selesai : 1. Pengisian kembali lahan bekas tambang dan penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya dilakukan pengisian kembali atau 2. Bagi kegiatan pertambangan yang kegiatannya tidak dapat dilakukan pengisian kembali. Penataan kegunaan lahan dilakukan sesuai dengan peruntukannya sebagiman disepakati dalam Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan b. 20 persen setelah selesai : 1. melakukan revegetasi kecuali ditentukan lain 2. pekerjaan sipil dan atau kegiatan reklamasi lainnya sebagimana disepakati dalam Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan c. 20 persen setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Direktur Jenderal Permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan kepada direktur Jenderal dengan disertai laporan tahunan pelaksanaan Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan Keputusan atas permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diberikan oleh Direktur Jenderal paling lambat 45 hari sejak permohonan tersebut diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal belum memberi keputusan, maka permohonan tersebut dianggap telah disetujui Jaminan Reklamasi dalam bentuk deposito berjangka dicairkan berikut bunga depositonya bunga dari jaminan reklamasi dalam bentuk deposito berjangka menjadi milik perusahaan pertambangan Pasal 14 Sebagai bahan pertimbangan direktur jenderal dalam memberikan keputusan terhadap penilaian pelaksanaan reklamasi apabila diperlukan peninjauan lapangan, maka peninjauan tersebut haru
923
(2)
(3) (4)
(1) (2) (3)
sudah dilakukan 15 hari setelah diterima permohonan pencairan pelepasan jaminan reklamasi yang disampaikan oleh perusahaan Dalam hal tidak ada kesesuaian atas hasil penilaian sebagaimana dimaksuda ayat 1, perusahaan pertambangan dapat mengajukan keberatan kepada direktur jenderal selambat-lambatnya 1 minggu setelah hasil penilaian tersebut disampaikan kepada perusahaan pertambangan Hasil peninjauan lapangan harus dibuatkan dalam berita acara yang memuat hasil penilaian laporan yang disampaikan dan direalisasikan di lapangan Keputusan Direktur Jenderal akan disampaikan kepada perusahaan pertambangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 Pasal 15 Penempatan jaminan reklamasi tidak menghilangkan kewajiban perusahaan pertambangan untuk melaksanakan reklamasi Kekurangan biaya untuk menyelesaikan reklamasi dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab perusahaan pertambangan Kelebihan biaya untuk menyelesaikan reklamasi dari jaminan yang ditetapkan akan dikembalikan kepada perusahaan pertambangan paling lama 45 hari sejak diselesaikannya reklamasi.
Pasal 16 Apabila perusahaan pertambangan telah mendapat penghargaan lingkungan, maka kepada perusahaan pertambangan tersebut akan diberikan 50 persen keringanan dari besarnya jumlah jaminan reklamasi yang telah ditetapkan untuk satu tahun berikutnya. BAB V SANKSI-SANKSI (1)
(2)
Pasal 17 Direktur Jenderal memberikan peringatan secara tertulis kepada perusahaan pertambangan apabila tidak menunjukkan kesungguhan, gagal atau lalai dalam melaksanakan reklamasi sesuai dengan Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan apabila dalam jangka waktu 60 hari setelah menerima surat peringatan yang dimaksud pada ayat 1 perusahaan pertambangan tidak melaksanakan reklamasi, Direktur Jenderal melakukan tindakan sebagai berikut : a. menunjuk pihak ketiga untuk menyelesaikan reklamais dengan menggunakan sebagian atau seluruh jaminan reklamasi yang ditempatkan b. menghentikan atau menutup sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangannya
924
(3)
Perusahaan pertambangan yang kegiatan usaha pertambangannya dihentikan karena lalai atau gagal melaksanakan kewajiban reklamasi, maka perusahaan pertambangan dan pemegang saham mayoritas tidak diberikan lagi kesempatan untuk berusaha di bidang pertambangan umum BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18 Perusahaan pertambangan tahap penambangan atau operasi produksi yang ada pada saat Direktur Jenderal ini diterbitkan, wajib menyampaikan perhitungan biaya reklamasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 dan pilihan bentuk jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dalam jangka waktu 180 hari sejak ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal ini (1) (2)
Pasal 19 Pelaksanaan ketentuan, pasal-pasal 5,7,10, 11,12,13,14, 17 dan pasal 18 untuk pengusaha bahan galian golongan C ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku Pemerintah daerah dalam menyusun peraturan daerah tentang jaminan reklamasi ini harus mengacu kepada keputusan direktur jenderal ini
Pasal 20 Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Agustus 1996 Ttd Kuntoro Mangku Subroto Tembusan : 1. Menteri Pertambangan dan Energi; 2. Sekjen. Dep Pertambangan dan Energi; 3. Irjen. Dep Pertambangan dan Energi; 4. Gubernur KDH TK I di seluruh Indonesia 5. Direktur Teknis Pertambangan Umum 6. Direktur Batubara; 7. Direktur Pembinaan Pengusahaan Pertambangan; 8. Kakanwil Dep. Pertambangan dan Energi di Seluruh Indonesia __________________________________
925
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI TERTENTU MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
:
a bahwa usaha pertambangan umum memiliki karakteristik tersendiri yang antara lain disebabkan karena lokasi usahanya pada umumnya berada pada tempat terpencil sehingga tidak dapat diberlakukan waktu kerja dan waktu istirahat yang biasa; b bahwa Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan pengaturan waktu kerja khusus untuk sektor tertentu; c bahwa sehubungan dengan pertimbangan huruf a dan b dipandang perlu untuk mengatur waktu kerja dan istirahat di sektor usaha pertambangan umum dengan Peraturan Menteri;
Mengingat
:
1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu; 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;
Memperhatikan :
Hasil Pertemuan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.
926
Menetapkan
:
MEMUTUSKAN : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI TERTENTU.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1 Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada suatu periode tertentu 2 Daerah operasi tertentu adalah lokasi tempat dilakukan eksplorasi, eksplotasi dan atau pengapalan hasil tambang. 3 Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan dengan mengabaikan hari-hari kalender. 4 Pekerj/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan lain dalam bentuk lain. 5 Perusahaan adalah : a setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 6 Pengusaha adalah : a orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 7 Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi. Pasal 2 (1) Perusahaan di bidang pertambangan umum termasuk perusahaan jasa penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat enerapkan : a waktu kerja dan istirahat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-234/MEN/2003; b periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja, dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat dan setiap 2 (dua) minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat. (2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja
927
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua belas) jam sehari tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam. (3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib membayar upah kerja setelah 7 (tujuh) hari kerja dengan perhitungan sebagai berikut: a untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3,5 (tiga setengah) x upah sejam; b untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5,5 (lima tengah) x upah sejam; c untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1(satu) hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7,5 (tujuh setengah) x upah sejam; d untuk waktu kerja 12 (dua belas) jam 1(satu) hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 9,5 (sembilan setengah) x upah sejam. Pasal 3 Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pasal 4 (1) Perusahaan dapat melakukan kegiatan dan atau waktu kerja dengan memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan. (3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pengusaha memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi. Pasal 5 Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apablia perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih. Pasal 6 Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan ternyata pekerja/buruh dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan. Pasal 7 Dalam hal libur resmi jatuh pada suatu periode yang telah dipilih dan ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka libur resmi
928
tersebut dianggap hari kerja biasa. Pasal 8 Perhitungan upah dan upah kerja lembur tunduk kepada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Pasal 9 (1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga) bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat; b jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan; c daftar upah kerja lembur; d perubahan pelaksanaan waktu kerja. Pasal 10 Perusahaan harus menyesuaikan waktu kerja dan periode kerja sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Pasal 11 Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2005 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd FAHMI IDRIS Salinan sesuai dengan aslinya: Kepala Biro Hukum,
Myra M. Hanartani NIP. 160025858
929
MEhtTERl ENERGI BAN §UMBER DAYA MINERAL REPldBLlK INDONESIA PERATURAN MENTERl ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK BUM1 PADA SUMUR TUA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
a. bahwa dalam rangka mengoptimalkan produksi Minyak Bumi dalam suatu wilayah kerja yang di dalamnya terdapat Sumur Tua dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi Sumur Tua, perlu dilakukan pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada sumur tua dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat sekitarnya;
:
b. bahwa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.Kl3O/M.PE/l 996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur-Sumur Tua, sudah tidak sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan kembali Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua dalam suatu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4152) sebagaimana telah berubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002lPUU-112003 pada tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara Republik lndonesia Nomor ITahun 2005); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4530); 3. Keputusan Presiden Nomor 187lM Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77lP Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007, 930
4. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1088 K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan, Pembinaan, Pengawasan, Pengaturan, dan Pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi; 5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;
6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 040 Tahun 2006 tanggal 15 Juni 2006 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK BUM1 PADA SUMUR TUA. BAB l KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Minyak Bumi, Wilayah Kerja, Kontrak Kerja Sama, Kontraktor, Badan Pelaksana, dan Menteri adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005. 2. Sumur Tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor. 3. Koperasi Unit Desa, selanjutnya disingkat KUD adalah Koperasi tingkat kecamatan yang wilayah usahanya mencakup lokasi Sumur Tua. 4. Badan Usaha Milik Daerah, selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha tingkat Propinsi/KabupatenlKota yang didirikan dan seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah Propinsi, serta wilayah usahanya atau Kabupaten, danlatau Kota administratifnya mencakup lokasi Sumur Tua. 5. Memproduksi Minyak Bumi adalah usaha mengambil, mengangkat dan atau menaikkan Minyak Bumi dari Sumur Tua sampai ke titik penyerahan yang disepakati para pihak.
931
6. Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi adalah perjanjian yang dibuat antara Kontraktor dan KUD atau BUMD untuk Memproduksi Minyak Bumi. 7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang Minyak dan Gas Bumi.
(1)
Kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan memproduksikan Minyak Bumi dari Sumur Tua yang masih terdapat kandungan Minyak Bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis.
(2)
Dalam ha1 Kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan Minyak Bumi dari Sumur Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (I), KUD atau BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan Minyak Bumi setelah mendapat persetujuan Menteri.
(3)
Pengusahaan dan pemroduksian Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan KUD atau BUMD berdasarkan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi dengan Kontraktor. BAB II PENGUSAHAAN SUMUR TUA Bagian Kesatu Permohonan Persetujuan
(1) Untuk dapat bekerja sama Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), KUD atau BUMD mengajukan permohonan kepada Kontraktor dengan tembusan kepada Menteri c,q. Direktur Jenderal dan Badan Pelaksana dengan melampirkan dokumen administratif dan teknis. (2)
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas rekomendasi dari Pemerintah KabupatenIKota dan disetujui oleh Pemerintah Propinsi.
(3)
Dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Akte Pendirian KUD atau BUMD dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang; b. Surat Tanda Daftar Perusahaan; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Surat Keterangan Domisili; 932
!
e. Rekomendasi dari Pemerintah KabupatenlKota dan disetujui oleh Pemerintah Propinsi setempat; f. Surat pernyataan tertulis di atas materai mengenai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. (4)
Dokumen teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Peta lokasi Sumur Tua yang dimohonkan; b. Jumlah sumur yang yang dimohonkan; c. Rencana Memproduksikan Minyak Bumi termasuk usulan imbalan jasa; d. Rencana program keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup termasuk usulan penanggung jawab pelaksanaan; e. Teknologi yang digunakan Memproduksikan Minyak Bumi; f. Kemampuan keuangan.
(1) Kontraktor melakukan evaluasi terhadap permohonan KUD atau BUMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal3.
( 2 ) Dalam ha1 hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan, Kontraktor menyampaikan permohonan KUD atau BUMD kepada Badan Pelaksana. (3)
Dalam ha1 hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi persyaratan, Kontraktor mengembalikan dokumen permohonan kepada KUD atau BUMD dan melaporkan kepada Badan Pelaksana.
(4)
Badan Pelaksana menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal untuk mendapat persetujuan disertai dengan pertimbangan teknis dan ekonomis.
(5)
Apabila dianggap perlu, Menteri c.q Direktur Jenderal dapat meminta penjelasan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Badan Pelaksana, Kontraktor danlatau KUD atau BUMD.
(1)
Dalam ha1 permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disetujui, Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan untuk Memproduksi Minyak Bumi dari Sumur Tua kepada Kontraktor melalui Badan Pelaksana.
(2)
Dalam ha1 permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ditolak, Direktur Jenderal atas nama Menteri wajib mengembalikan permohonan kepada Kontraktor melalui Badan Pelaksana disertai alasan penolakannya. 933
(3)
Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal4 ayat (4).
Bagian Kedua Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi
(1)
Kontraktor dan KUD atau BUMD waj~b menindaklanjuti persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi.
(2)
Jangka waktu Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi sisa jangka waktu Kontrak Kerja Sama dan diberikan paling lama 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Perpanjangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan persetujuan Menteri c.q. Direktur Jenderal. (4)
KUD atau BUMD menyampaikan rencana perpanjangan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi.
(5)
Tata cara permohonan perpanjangan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal6.
Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut : a. Jumlah dan lokasi Sumur Tua yang akan diproduksi; b. lmbalan jasa Memproduksi Minyak Bumi; c. Jangka waktu, perpanjangan dan pengakhiran perjanjian; d. Alat bantu mekanik atau teknologi yang digunakan; e. Tenaga Kerja; f. Mutu dan spesifikasi Minyak Bumi; g. Titik penyerahan Minyak Bumi; h. Aspek Keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup; i. Penyelesaian perselisihan. Pasal 8 Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib diketahui Badan Pelaksana. 934
Bagian Ketiga Pelaksanaan Memproduksi Minyak Bumi Pasal 9 (1)
Pelaksanaan Memproduksi Minyak Bumi oleh KUD atau BUMD hanya dapat dilakukan pada Sumur Tua yang telah disepakati oleh Kontraktor dan KUD atau BUMD dalam Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi.
(2)
KUD atau BUMD dalam melaksanakan Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan alat bantu mekanik atau teknologi yang disetujui Kontraktor. Pasal 10
(1)
KUD atau BUMD wajib menyerahkan seluruh produksi Minyak Bumi dari hasil pelaksanaan Memproduksi Minyak Bumi kepada Kontraktor.
(2)
Minyak Bumi yang diproduksikan oleh KUD atau BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diserahkan kepada Kontraktor wajib memenuhi mutu dan spesifikasi yang disepakati oleh Kontraktor dan KUD atau BUMD. Bagian Keempat lmbalan Jasa Memproduksi Minyak Bumi Pasal 11
(1) Kontraktor wajib memberikan imbalan jasa kepada KUD atau BUMD atas seluruh produksi Minyak Bumi dari hasil pelaksanaan Memproduksi Minyak Bumi. (2)
Besaran imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang diatur dalam Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi.
(3)
lmbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian biaya operasi Kontraktor. BAB Ill PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 12
Kontraktor wajib menginventarisir Sumur Tua yang berada dalam wilayah kerjanya.
935
Pasal 13 (1)
Kontraktor wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Direktorat Jenderal dan Badan Pelaksana mengenai pelaksanaan persetujuan dan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi.
(2)
Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 4 (empat) bulan sekali danlatau sewaktuwaktu diperlukan dan paling sedikit memuat : a. jumlah produksi Minyak Bumi dari Sumur Tua; b. jumlah Sumur Tua yang diproduksikan; c. imbalan jasa Memproduksi Minyak Bumi; d. peralatan yang digunakan untuk Memproduksikan Minyak Bumi; e. jumlah tenaga kerja; f. mutu dan spesifikasi Minyak Bumi; g. titik penyerahan Minyak Bumi; h. keselamatan dan kesehatan kerja dan lindungan lingkungan. Pasal 14
(1)
Direktorat Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan persetujuan Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Badan Pelaksana melakukan pengawasan atas pelaksanaan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3)
Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota setempat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap KUD atau BUMD yang Memproduksi Minyak Bumi.
Pasal 15 (1)
Dalam Memproduksi Minyak Bumi, KUD atau BUMD wajib bertanggung jawab atas aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)
Kontraktor wajib melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap KUD atau BUMD yang Memproduksi Minyak Bumi.
BAB IV SANKSI Pasal 16 (1)
Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi dapat dibatalkan oleh Kontraktor dengan persetujuan Badan Pelaksana apabila KUD atau BUMD tidak menyerahkan seluruh produksi Minyak Bumi dari hasil pelaksanaan Memproduksi Minyak Bumi kepada Kontraktor. 936
(2)
Terhadap KUD atau BUMD yang telah dibatalkan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih tetap Memproduksi Minyak Bumi, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17
(1)
Terhadap perjanjian Memproduksi Minyak Bumi atau pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua yang telah ditandatangani sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang bersangkutan.
(2)
Dalam ha1 perjanjian atau pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini segala kegiatan Memproduksi Minyak Bumi atau pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua wajib dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri ini.
BAB VI KETENTUANPENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 tanggal 26 Agustus 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur-sumur Tua dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 F e b r u a r i 2008 NTERl ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
937
MENTER. ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 18 TAHUN2008 TENTANG REKLAMASI DAN PENUTUPAN TAMBANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
Mengingat
a.
bahwa kegiatan pertambangan berpotensi rnengubah bentang alam, sehingga diperlukan upaya untuk menjamin pemanfaatan lahan di wilayah bekas kegiatan pertambangan agar berfungsi sesuai peruntukannya;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang;
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan l.embaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
3. . Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 4.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4154); 938
-2-
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8.
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007;
9.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG REKLAMASI DAN PENUTUPAN TAMBANG. BABI KETENTUAN UMUM Pasal1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1.
Usaha Pertambangan adalah kegiatan usaha pertambangan bahan galian.
2.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
3.
Penutupan Tambang adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat dihentikannya kegiatan penambangan dan/atau pengolahan dan pemurnian untuk memenuhi kriteria sesuai dengan dokumen Rencana Penutupan Tambang.
4.
Jaminan Reklamasi adalah dana yang disediakan oleh perusahaan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi.
5.
Jaminan Penutupan Tambang adalah dana yang disediakan oleh Perusahaan untuk melaksanakan Penutupan Tambang.
6.
Perusahaan adalah pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah, Kuasa Pertambangan (Izin Usaha Pertambangan), Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
939
-3 7.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
8.
Upaya Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disebut UKL dan Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disebut UPL adalah upaya yang diiakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL.
9.
Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha pertambangan.
BAB II PRINSIP-PRINSIP Pasal2 Perusahaan daiam melaksanakan Reklamasi dan Penutupan Tambang wajib memenuhi prinsip-prinsip Iingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja, serta konservasi bahan galian. Pasal3 Prinsip-prinsip Iingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a.
kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara sesuai baku mutu Iingkungan;
b.
stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang serta struktur buatan (man-made structure) lainnya;
c.
keanekaragaman hayati;
d.
pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan
e.
aspek sosial, budaya, dan el
Prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi penciptaan kondisi aman sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal5 Prinsip-prinsip konservasi bahan galian sebagairnana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi pengumpulan data yang akurat mengenai bahan galian yang tidak dieksploitasi dan/atau diolah serta sisa pengolahan bahan galian.
940
-4 BAB III TATA LAKSANA Bagian Kesatu Umum Pasal6 (1) Perusahaan wajib menyusun Penutupan Tambang.
Rencana
Reklamasi dan Rencana
(2) Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL yang telah disetujui, dan sebagai bagian dari studi kelayakan. (3) Perusahaan dalam menyusun Rencana Reklarnasi dan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mernpertimbangkan: a. prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. peraturan perundang-undangan yang terkait; dan c. kondisi spesifik daerah. Bagian Kedua Rencana Rektarnast Pasal7 (1) Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, disusun untuk pelaksanaan setiap jangka waktu 5 (lima) tahun dengan rincian tahunan, meliputi : a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang; b. rencana pembukaan lahan; c. program reklamasi; dan d. rencana biaya reklamasi. (2) Dalam hal umur tambang kurang dari lima tahun, R.encana Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang. (3) Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai dengan Pedoman Penyusunan Rencana Reklamasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (4) Perusahaan wajib menyampaikan Rencana Reklamasi periode lima tahun pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau sesuai dengan umur tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing sebelum memulai kegiatan eksploitasi/operasi produksi.
941
-5(5) Rencana Reklamasi periode lima tahun berikutnya disampaikan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing sebelum berakhirnya pelaksanaan reklamasi periode lima tahun pertama dan begitu pula untuk seterusnya. Bagian Ketiga Rencana Penutupan Tambang Pasal8 (1) Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 meliputi: a. profil wi/ayah; b. deskripsi kegiatan pertambangan; c. gambaran rona akhir tambang; d. hasi/ konsultasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders); e. program penutupan tambang; f.
pemantauan;
g. organisasi; dan h. rencana biaya penutupan (2) Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan Pedoman Penyusunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. (3) Perusahaan. wajib menyampaikan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangan masingmasing sebelum dimulainya kegiatan eksploitasi/operasi produksi. BABIV PENILAIAN DAN PERSETUJUAN Bagian Kesatu Penilaian dan Persetujuan Rencana Reklamasi Pasal9 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan penilaian dan persetujuan atas Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima Rencana Reklamasi, tidak termasuk jumlah hari yang diperlukan untuk penyempurnaan Rencana Reklamasi. (2) Apabi/a persetujuan tidak diberikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerta dan tanpa saran penyernpurnaan, maka Rencana Reklamasl yang diajukan dianggap disetujui.
942
-6Pasal 10 (1) Perusahaan wajib melakukan perubahan Rencana Reklamasi yang telah disetujui sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 9 apabila terjadi perubahan atas satu atau lebih hal-hal sebagai berikut : a. sistem penambangan b. tata guna lahan; c. tata ruang; dan/atau d. AMDAL atau UKL dan UPL. (2) Pengajuan perubahan Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum pelaksanaan reklamasi periode tahun berikutnya. (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan penilaian dan persetujuan atas perubahan Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima perubahan Rencana Reklamasi, tidak termasuk jum!ah hari yang diperlukan untuk penyempurnaan perubahan Rencana Reklamasi.
Bagian Kedua Penilaian dan Persetujuan Rencana Penutupan Tambang Pasal11 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan penilaian dan persetujuan atas Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima Rencana Penutupan Tambang, tidak termasuk jumlah hari yang diperlukan untuk penyernpurnaan Rencana Penutupan Tambang. (2) Apabila persetujuan tidak diberikan dalam jangka waktu 30 (tiqa puluh) had kerja dan tanpa saran penyempurnaan, maka Rencana Penutupan Tambang yang diajukan dianggap disetujui. Pasal12 (1) Perusahaan wajib melakukan perubahan Rencana Penutupan Tambang yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 apabila terjadi perubahan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut : a. sistem penambangan; b. umur tambang; c. sarana dan atau prasarana tambang; d. tata guna lahan; e. tata ruang; dan/atau f.
AMDAL atau UKL dan UPL.
943
-7 (2) Perubahan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan kegiatan penutupan tambang. (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan penilaian dan persetujuan atas perubahan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 90 (sembi/an puluh) hari I
BABV PELAKSANAAN DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 Perusahaan wajib mengangkat seorang petugas untuk memimpin langsung masing-masing pelaksanaan Reklamasi dan Penutupan Tambang. Pasal 14 Pelaksanaan Reklamasi dan Penutupan Tambang wajib di/akukan sesuai dengan Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal12.
Bagian Kedua Pelaksanaan dan Pelaporan Reklamasi Pasal15 ( 1) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib dilakukan pada lahan terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan. (2) Lahan terganggu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang tidak digunakan lagi. (3) Lahan di luar bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain: a.
timbunan tanah penutup;
b.
timbunan bahan baku/produksi;
c.
jalan transportasi;
944
-8d. e. f.
pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian; kantor dan perumahan; dan/atau pelabuhan/dermaga.
(4) Pelaksanaan Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal16 (1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Reklamasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. Bagian Ketiga Pelaksanaan dan Pelaporan Penutupan Tambang Pasal 17 Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah kegiatan penambangan dan/atau pengolahan dan pemurnian berakhir. Pasal18 (1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan pedoman Penyusunan Laporan Triwulanan Pelaksanaan Kegiatan Penutupan Tambang sebagaimana tercantum dalam L.ampiran IV Peraturan Menteri ini. BABVI JAMINAN REKLAMASI DAN PENUTUPAN TAMBANG Bagian Kesatu Umurn Pasal19 (1) Perusahaan wajib menyediakan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Penutupan Tambang sesuai dengan perhitungan Rencana Biaya Reklamasl dan perhitungan Rencana Biaya Penutupan Tambang yang telah mendapat persetujuan Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
945
-9 (2) Perhitungan Rencana Biaya Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan pedoman Penyusunan Rencana Reklamasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri inl. (3) Perh!tungan Rencana Biaya Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan pedoman Penyusunan Rencana Penutupan Tambang sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri lnl. Pasal20 (1) Bentuk Jaminan Reklamasi dapat berupa Deposito Berjangka, Bank Garansi, Asuransi atau Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve) dengan ketentuan: a. Deposito Berjangka ditempatkan pada bank Pemerintah di Indonesia atas nama Menteri, gubernur atau bupati/walikota qq. Perusahaan yang bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi; b. Bank Garansi yang diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi; c. Asuransi diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi; atau d. Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), dapat ditempatkan apabila Perusahaan tersebut memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut: 1. Merupakan Perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek di Indonesia, atau yang terdaftar di bursa efek di luar Indonesia; atau 2. Perusahaan mempunyai jum/ah modal disetor tidak kurang dari US $ 25.000.000,00 (dua puluh lima juta dolar Amerika Serikat) seperti yang dinyatakan da/am laporan keuangan yang telah diaudit o/eh akuntan publik yang terdaftar di Departemen Keuangan. (2) Perusahaan yang menempatkan Jaminan Reklamasi da/am bentuk Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), wajib menyampaikan /aporan keuangan tahunan yang te/ah diaudit oleh akuntan publik. (3) Perusahaan wajib mengajukan bentuk Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (4) Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangan masing-masing menetapkan bentuk Jaminan Reklamasi yang ditempatkan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
946
- 10 Pasal21 Bentuk Jaminan Penutupan Tambang berupa Deposito Berjangka ditempatkan pada bank Pemerintah atas nama Menteri, gubernur atau bupatilwalikota qq. Perusahaan yang bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan Rencana Penutupan Tambang yang telah disetujui. Pasal22 Tata cara pembukaan rekening deposito berjangka untuk penempatan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Penutupan Tambang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Jaminan Reklamasi Pasal23 (1) Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menutup seluruh biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi. (2) Biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan pelaksanaan kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. (3) Jaminan Reklamasi dapat ditempatkan dalam bentuk mata uang rupiah atau dolar Amerika Serikat. (4) Besarnya Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan biaya: a. Biaya Langsung, antara lain: 1. penatagunaan lahan 2. revegetasi 3. pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan 4. pekerjaan sipil. b. Biaya Tidak Langsung, antara lain: 1. mobilisasi dan demobilisasi; 2. perencanaan kegiatan rek!amasi; 3. administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai kontraktor pelaksana reklamasi; dan 4. supervisi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. Pasal 24 (1) Perusahaan wajib menempatkan Jaminan Reklamasi melakukan kegiatan eksploitasi/operasi produksi.
947
sebelum
~~ ~~----~---
-----------------------
- 11 (2) Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan biaya reklamasi sesuai Rencana Reklamasi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang telah disetujui oleh Menteri, Gubernur, atau BupatilWalikota sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. (3) Bagi Perusahaan yang umur tambangnya kurang dari 5 (lima) tahun, jum!ah Jaminan Reklamasi ditetapkan sesuai dengan Rencana Reklamasi untuk jangka waktu umur tambangnya. (4) Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat ditempatkan setiap tahun. Pasal25 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing dapat memerintahkan mengubah jumlah Jaminan Reklamasi apabila : a. Perusahaan melakukan perubahan Rencana Reklamasi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10; atau b. biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi tidak sesuai dengan Rencana Reklamasi. Pasal 26 (1) Perusahaan dapat mengajukan perubahan bentuk Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kepada Menteri, Gubernur, atau BupatilWalikota seusai dengan kewenangan rnasing-masing. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan persetujuan perubahan bentuk Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. kinerja Perusahaan; dan/atau b. kemampuan keuangan Perusahaan. Pasal27 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing dapat menetapkan perubahan bentuk Jaminan Reklamasi yang telah disetujui apabila terjadi : a. perubahan pemegang saham; atau b. kinerja Perusahaan menurun. Pasal28 (1) Penempatan Jaminan Reklamasi tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan untuk melaksanakan Reklamasi. (2) Kekurangan .biaya untuk menyelesaikan Reklamasi dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab Perusahaan.
948
- 12 Bagian Ketiga Tata Cara Pelaksanaan Pencairan dan Pelepasan Jaminan Reklamasi Pasal29 (1) Perusahaan dapat mengajukan permohonan pencairan Jaminan Reklamasi dalam bentuk Deposito Berjangka berikut bunganya, kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing. (2) Permohonan pencairan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan laporan pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan persetujuan pencairan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. Pasal 30 (1) Perusahaan dapat mengajukan permohonan pelepasan Jaminan Reklamasi dalam bentuk Bank Garansi, Asuransi atau Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve) kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing. (2) Permohonan pelepasan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan laporan pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 16. (3) Permohonan pelepasan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku penjaminan berakhir. (4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan persetujuan pelepasan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. Pasal 31 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing setelah menerima permohonan pencairan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau pelepasan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 melakukan penilaian untuk menentukan besaran pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi dengan ketentuan sebagai berikut : a. 60 % (enam putuh perseratus) dari besaran Jaminan Reklamasi apabila telah selesai melaksanakan penatagunaan lahan yang dilakukan sesuai dengan peruntukannya sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Reklamasi yang telah disetujui. b. 80 % (delapan puluh perseratus) dari besaran Jaminan Reklamasi apabila telah selesai melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan telah selesai melaksanakan pekerjaan: 949
- 13 1. revegetasi 2. pencegahan dan penanggulangan air asam tambang; 3. pekerjaan sipil; dan/atau 4. kegiatan reklamasi lainnya, sebaqairnana ditetapkan dalam Rencana Reklamasi yang disetujui. c. 100 % (seratus persen) dari besaran Jaminan Reklamasi setelah kegiatan reklamasi memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi sebagaimana tercantum pada Lampiran V Peraturan Menteri ini. Pasal32 (1) Menteri, gubernur atau bupatiiwalikota sesuai kewenangan masingmasing sebelum memberikan persetujuan pencairan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau pelepasan Jaminan Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat melakukan peninjauan lapangan. (2) Dalam hal diperlukan peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah permohonan pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi yang disampaikan oleh perusahaan diterima. (3) Hasil peninjuan lapangan harus dibuatkan dalam berita acara yang memuat penilaian keberhasilan reklamasi lahan terganggu akibat kegiatan pertambangan. Pasal 33 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan persetujuan pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan/atau hasil penilaian peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). (2) Evaluasi laporan dan/atau perunjauan lapangan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria keberhasilan reklamasi sebagairnana dimaksud dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan hasil evaluasi dan/atau penilaian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan persetujuan pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal34 Dalam hal perusahaan tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan reklamasi berdasarkan evaiuasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan Jaminan Reklamasi.
950
- 14 -
Bagian Keempat Jaminan Penutupan Tambang Pasal35 (1) Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus menutup seluruh biaya pelaksanaan pekerjaan Penutupan Tambang. (2) Biaya pelaksanaan pekerjaan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan pelaksanaan pekerjaan Penutupan Tambang yang dilakukan oleh pihak ketiga. (3) Jaminan Penutupan Tambang dapat ditempatkan dalam bentuk mata uang rupiah atau dolar Amerika Serikat. (4) Besarnya Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan biaya: a. Biaya Langsung, antara lain:
1.
pembongkaran bangunan dan sarana penunjang yang sudah tidak digunakan, kecuali ditentukan lain;
2.
reklamasi tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang;
3.
penanganan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbah B3;
4.
pemeliharaan dan perawatan;
5.
pemantauan; dan
6.
aspek sosial, budaya, dan ekonomi.
b. Biaya Tidak Langsung, antara lain: 1.
mobilisasi dan demobilisasi;
2
perencanaan kegiatan;
3.
administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai kontraktor pelaksana penutupan tambang; dan
4.
supervisi,
sebagaimana tercantum di dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. (5) Besarnya Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan biaya penutupan tambang sesuai Rencana Penutupan Tambang yang telah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12. (6) Jaminan Penutupan Tambang ditempatkan setiap tahun dalam bentuk Deposito Berjangka. (7) Tata cara Penempatan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri tnl.
951
- 15 Pasal36 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai denqan kewenangan masing-masing dapat menetapkan untuk menambah Jaminan Penutupan Tambang berdasarkan pertimbangan sebagai berikut ini : a. perubahan pemegang saham Perusahaan; b. kemajuan pekerjaan penutupan tambang; dan/atau c. perubahan biaya penutupan tambang. Pasal 37 (1) Deposito Berjangka yang ditempatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, berlaku sampai dengan seluruh kegiatan Penutupan Tambang sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Penutupan Tambang dinyatakan selesai oleh Menteri, gubenur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing. (2) Pencairan Deposito Berjangka berikut bunganya dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan penutupan tambang sesuai dengan tahapan penyelesaian pekerjaan yang telah dilakukan berdasarkan Rencana Penutupan Tambang yang disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan 12, diterima oleh Menteri, Gubernur, atau BupatiNllalikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal38 (1) Penempatan Jaminan Penutupan Tambang tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan untuk melaksanakan kegiatan Penutupan Tambang. (2) Kekurangan biaya untuk menyelesaikan kegiatan Penutupan Tambang dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab Perusahaan. Bagian Kelima Tata Cara Pelaksanaan Pencairan Jaminan Penutupan Tambang Pasal39 (1) Perusahaan dapat rnengajukan permohonan pencairan Jaminan Penutupan Tambang berikut bunganya secara bertahap atau sekaligus kepada Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai kewenangan masing-masing. (2) Permohonan pencairan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan laporan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingrnasinp memberikan persetujuan pencairan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima.
952
- 16 Pasal40 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing memberikan persetujuan pencairan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 apabila pekerjaan Penutupan Tambang telah selesai dilaksanakan. Pasal41 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing sebelum memberikan persetujuan pencairan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat melakukan peninjauan lapangan. (2) Dalam hal diperlukan peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah permohonan pencairan Jaminan Penutupan Tambang yang disampaikan oleh perusahaan diterima. (3) Hasil peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuatkan dalam berita acara yang memuat penilaian keberhasilan Penutupan Tambang. Pasal42 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing memberikan keputusan persetujuan pencairan Jarnlnan Penutupan Tambang berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau hasil penilaian peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3). (2) Evaluasi laporan dan/atau penilaian peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diiakukan berdasarkan kriteria keberhasilan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan hasil evaluasi dan/atau penilaian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan persetujuan pencairan Jaminan Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. Pasal43 Dalam hal Perusahaan tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan penutupan tambang dengan menggunakan Jaminan Penutupan Tambang.
953
- 17 -
BABVII PENGAWASAN Pasal44 (1) Pengawasan pelaksanaan Reklamasi dan Penutupan Tambang dilakukan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing. (2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing menugaskan Pejabat Fungsionallnspektur Tambang. BABVIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal45 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing rnenqenakan sanksi administratif kepada Perusahaan atas pelanggaran ketentuan sebaqaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 8 ayat (3), Pasal 10 ayat (1), Pasal12 ayat (1), Pasal13, Pasal14, Pasali5 ayat (4), Pasal16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara penambangan; dan/atau
sebagian
atau
seluruh
kegiatan
c. pencabutan izin. Pasal46 (1) Peringatan tertulis diberikan kepada Perusahaan apabila melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1). (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan. Pasal47 Dalam hal Perusahaan setelah mendapatkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 tetap melakukan pengulangan pelanggaral1, Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing menghentikan sebagian atau seluruh kegiatan penambangan.
954
- 18 Pasal48 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing dapat mencabut perizinan atau mengakhiri kontrak kerja sama usaha pertambangan, apabila Perusahaan setelah diberikan teguran tertulis dan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya penghentian sebagian atau seluruh kegiatan tidak memperbaiki kesalahannya atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan tersebut. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal49 (1) Rencana Reklamasi dan/atau Rencana Penutupan Tambang yang telah disetujui oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir. (2) Rencana Reklamasi dan/atau Rencana Penutupan Tambang yang disampaikan oleh Perusahaan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, wajib disesuaikan dan diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Pasal50 Perusahaan yang telah menempatkan Jaminan Reklamasi dan/atau Jaminan Penutupan Tambang sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dinyatakan telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, sepanjang sesuai dengan ketentuan dalarn Peraturan Menteri ini. Pasal51 (1) Perusahaan yang belum menyampaikan Rencana Reklamasi dan/atau Rencana Penutupan Tambang sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, wajib menyampaikan Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (2) Penyampaian Rencana Reklamasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat ("1) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku. (3) Penyampaian Rencana Penutupan Tambang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku. (4) Tata cara penilaian dan persetujuan Rencana Reklamasi dan/atau Rencana Penutupan Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk perubahan Rencana Reklamasi dan/atau Rencana Penutupan Tambang, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.
955
- 19 Pasal 52 Dalam hal Pemerintah Provinsi atau Pernerintah Kabupaten/Kota belum mempunyai Pejabat Fungsional Inspektur Tambang, untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan reklamasi dan penutupan tambang dapat dilaksanakan oleh Pelaksana Inspeksi Tambang. BABX KETENTUANPENUTUP Pasal53 Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini mulai berlaku : a. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.Kl008/M.PE/1995 Tahun 1995 tanggal 17 Jull 1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum; dan b. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.Kl29/MEM/2000 Tahun 2000 tanggal 3 November 2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, mengenai ketentuan yang berkaitan dengan Reklarnasi dan Penutupan Tambang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 54 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
956
LAMPIRAN I
PERATLJRAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA REKLAMASI
KERANGKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA REKLAMASI:
A. KATA PENGANTAR B. DAFTAR lSI C. BATANG TUBUH BABI
PENDAHULUAN Bab ini mencakup uraian singkat meliputi. 1. Status Perizinan; a. Identitas perusahaan (nama, alamat lengkap perusahaan, penanggung jawab rencana atau kegiatan); b. Uraian singkat mengenai status perizinan (KP/KKlPKP2B) 2. Luas wilayah KP/KKlPKP2B KP/KKlPKP2B (Project area);
dan
sarana
penunjang
di
luar wilayah
a. Uraian luas wilayah dalam KP/KKlPKP2B yang direncanakan untuk kegiatan penambangan dan sarana penunjang. b. Uraian luas sarana penunjang di luar wilayah KP/KKlPKP2B yang digunakan untuk menunjang kegiatan pertambangan (Project Area). 3. Persetujuan AMDALlUKL-UPL;
Uraian persetujuan AMDALlUKL-UPL dari instansi yang berwenang (Nomor, tanggal, nama instansi).
4. Lokasi dan kesampaian wilayah; a. Uraian singkat mengenai lokasi kegiatan pertambangan (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, posisi geografi), dilengkapi dengan peta situasi lokasi tambang dengan skala minimal 1 : 25.000; b. Uraian singkat mengenai sarana transportasi dari dan ke lokasi tersebut. BAB II
TATA GUNA LAHAN SEBELUM DAN SESUDAH DITAMBANG Bab ini mencakup Uraian mengenai tata guna iahan sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan penambangan.
BAS III
RENCANA PEMBUKAAN LAHAN Bab ini mencakup rencana pembukaan !ahan untuk kurun waktu 5 (lima) tahun, yang meliputi : 1. Tambang a. Uraian mengenai lokasi dan luas penyebaran cadangan, metode penambangan, umur tambang, peralatan yang digunakan, lokasi dan luas lahan yang digunakan untuk tambang. b. Uraian rnengenai rencana produksi, striping ratio, dan lain-lain. 2. Timbunan a. Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang digunakan untuk: 1)
penimbunan tanah zona pengakaran;
957
- 2-
2)
penimbunan tanah/batuan penutup di dalam dan di luar tambang.
b. Uraian mengenai luas lahan dan lokasi yang digunakan untuk penimbunan bahan galian. c. Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang penimbunan/penyimpanan Iimbah sarana penunjang.
digunakan
untuk
3. Jalan Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang dibuka untuk pembuatan jalan tambang dan non tambang. 4. Kolam sedimen Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang dibuka untuk pembuatan kolam sedimen. 5. Sarana penunjang Uraian mengenai luas lahan dan lokasi yang dibuka untuk digunakan sebagai pabrik, kantor, perurnahan, bengkel dan sarana penunjang lainnya. BABIV
PROGRAM REKLAMASI Bab ini mencakup program reklamasi terhadap lahan yang terganggu untuk kurun waktu 5 tahun yang dirinci setiap tahun, meliputi : 1. Lokasi lahan yang akan direklamasi. Uraian mengenai lokasi dan luas lahan terganggu yang akan direklamasi, yang meliputi: a.
lahan bekas tambang;
b. timbunan tanah/batuan penutup di luar tambang; c. jalan tambang dan non tambang yang tidak digunakan lagi; d.
bekas kolam sedlrnen (kalau ada); dan
e. fasilitas penunjang lainnya. 2. Teknik dan peralatan yang akan digunakan dalam reklamasi. Uraian mengenai teknik dan peralatan yang digunakan untuk reklamasi lahan. 3. Sumber material pengisi (bila dilakukan back filling). Uraian material yang digunakan untuk pengisian k.embali lubang bekas tambang (backfilling), jenis, lokasi asal material, dan volume. 4. Revegetasi. Uraian mengenai jenis tanaman dan jumlah tanaman, jarak tanam, lokasi dan luas lahan yang akan direvegetasi. 5. Pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang. Uraian mengenai kegiatan penataan lahan beserta lokasi dan luasannya yang peruntukannya bukan revegetasi. (contoh: area permukiman, kawasan industri, pariwisata, dan lain-lain). 6. Pemeliharaan. Uraian mengenai pemeliharaan lahan yang telah direklamasi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman.
958
- 3BABV
RENCANA BIAYA REKL.AMASI Bab ini memuat rencana biaya yang diperlukan untuk mereklamasi lahan yang terganggu dirinci untuk setiap tahun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Perhitungan biaya reklamasi terdiri dari : 1. Biaya langsung. Uraian mengenai biaya yang perlu dihitung dalam penyusunan rencana biaya reklamasi yang meliputi: a.
penataan kegunaan lahan;
b.
revegetasi;
c.
pencegahan dan penanggulangan air asam tam bang; dan/atau
d.
pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang.
2. Biaya tidak langsung. Uraian mengenai biaya yang harus dimasukkan dalam perhitungan reklamasi dan sedapat mungkin ditetapkan dengan menggunakan standar acuan, yang ditentukan sebagai berikut: a.
biaya mobilisasi dan demobilisasi alat sebesar 2,5 % dari biaya langsung atau berdasarkan perhitungan.
b.
biaya perencanaan reklamasi sebesar 2 % - 10 % dad biaya langsung.
c.
biaya administrasi dan keuntungan kontraktor sebesar 3 % - 14 % dari biaya langsung.
d.
biaya supervisi sebesar 2 % - 7 % dari biaya langsung.
3. Total Biaya Uraian mengenai total biaya langsung ditambah dengan biaya tidak lang sung dan biaya-biaya tersebut sudah harus memperhitungkan pajak-pajak yang berlaku dan dibuat dalam mata uang Rupiah atau Dollar Amerika Serikat. D. DAFTAR LAMPIRAN : 1. Peta situasi rencana pembukaan lahan, skala minimal 1 : 10.000. 2. Peta situasi rencana reklamasi, skala minimal1: 10.000. Keterangan : Bila wilayahnya sangat luas dan atau terdiri dari beberapa blok penambangan/produksi, sehingga tidak dapat digambarkan dalam 1 (satu) peta untuk setlap tahun, maka dapat digambarkan dalam beberapa lernbar peta dan dilengkapi dengan peta indeks.
E. DAFTAR TABEL 1. 2.
Rencana Reklamasi Rencana Biaya Reklamasi
959
-4-
TABEL 1 RENCANA REKLAMASI PERI ODE TAHUN: 2008 *) Lahan yang dibuka (ha) , a. Oaerah tam bang b. Oaerah di luar tarnbanq (ha) - timbunan tanah penutup - timbunan bahan baku/produksi - jalan transportasi - pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian - kantor dan perumahan - lain-lain Penambangan a. Lahan selesai dltarnbanq (ha) b. Lahan/front aktif ditambang (ha) c. Volume tanah penutup yang dlqali (m J ) Penimbunan a. Oi bekas tambang (ha) b. Oi luar bekas tarnbano (ha) c. Volume yan~ ditimbun di bekas tarnbano (m I) d. Volume yg. ditimbun di luar bekas tambang (rrr') Reklamasi a. Penatagunaan Lahan - pengaturan permukaan lahan (ha) - penebaran tanah zona pengakaran (ha) - pengendalian erosi dan pengelolaan air b. Reveqetasl (ha) - analisis kualitas tanah (conto) - pemupukan (ha) - pengadaan bibit (batang dan/atau kg) - Penanaman (batang) - pemeliharaan tanaman (ha) Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang (conto) Pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tarnbanq (satuan luas)
1
2
3
4
5 6
s.d 2009 *)
.. 2010*)
2011 *)
2012*11
--
-
Keterangan: hanya contoh.
*)
960
- 5-
TABEL 2 RENCANA BIAYA REKLAMASI PERIODE TAHUN
s.d 2008
DESKRIPSI BIAYA
*)
2009
.. *)
2010
*)
2011
*)
1. Biaya Langsung (Rp/US$) a. Biaya Penatagunaan Lahan 1). Biaya pengaturan permukaan lahan 2). Biaya penebaran tanah pucuk 3). Biaya pengendalian erosi dan pengelolaan air b. Biaya revegetasi: 1). Analisis kualitas tanah 2). Pemupukan 3). Pengadaan bibit 4). Penanaman 5). Pemeliharaan tanaman c. Biaya pencegahan dan penanggulangan air asam tam bang d. Biaya untuk pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tam bang (Biaya yang diperlukan untuk pekerjaan sipil yang secara teknis sesuai dengan ArvlDAL atau UKL dan UPL) I
Sub Total 1 (Rp/US$) 2. Biaya Tidak langsung (Rp/US$) a. Biaya rnobilisasi dan demobilisasi alat (sebesar 2,5% dari Biaya Langsung atau berdasarkan perhitungan) b. Biaya perencanaan reklamasi (sebesar 2% - 10% dari Biaya Langsung) c. Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor (sebesar 3% - 14% dari Biaya Langsung) d. Biaya supervisi (sebesar 2% - 7% dari Biaya Langsung)
Sub Total 2 (Rp/US$) Total (Rp/US$) Keterangan *) hanya contoh.
....~~ENTERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL,
\~ URN MO YUSGIANTORO
961
2012
*)
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAANLOADER
Kegiatan Pokok
Mengisi truk dengan overburden (O/B)
Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas, dan lain-lain)
kapasitas 5,4 m3 (heaped) Uraian Penggunaan Alat (asal, tujuan, k.emiringan, jarak angkut dan iain-Iain) Perhitungan Produktivitas :
a. Waktu edar :
o (Angkut
+ 151)
0 + 0,6 (Angkut kosong) (Waldu edar)
= 0,60
menit
b. Kapasitas Bucket bersih :
=
4,86 m3
c. Tingkat produksi : 4,86 0,60 (Kap. Bucket bersih) (Waktu edar)
x
50 men it/jam (Waktu kerja efektif)
Jam Operasi : Jumleh jam diperlukan
60.300 (Volume tanah dipindah)
405 (Tingkat produksi)
962
= 148,90 jam
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN LOADER UNTUK PENEBARAN TOP SOIL
Kegiatan Pokok Mengangkut Top Soil atau Tanah Pucuk (TIS) dari timbunan TIS Barat ke Pit 22 Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas dan lain-laln) Kapasitas 5,4 m 3 (heaped) Uraian Penggunaan Alat (asal, tujuan, kemiringan, jarak angkut, dan lain-lain) Perhitungan Produktivitas
a.
Waktu edar
a
+
0
+
0,6
=
0,60 menit
(Angkut isi) (Angkut kosong) (Waktu edar)
b.
Kapasitas Bucket bersih 5,40 x (Kapasitas nominal)
c.
0,90 = 4,86 m 3 (Faktor pengisian)
Tingkat Produksi : 4,86 (Kapasitas bucket bersih)
0,60 x 50 menit/jam (Waktu edar) (Waktu kerja efektif)
=
Jam Operasi :
Jumlah jam diperlukan 14.400 (Volume tanah dlplndah)
405 1Tlngkat Produksi)
963
=
35.5 jam
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN EXCAVA TOR
Kegiatan Pokok
Mengisi truk dengan O/B Spesifikasi alat (Tipe, kapasitas dan lain-lain)
Kapasitas 3,012 rn' (h,eaped) Uraian Penggunaan Alat (Geometri pemuatan, material, dan lain-lain)
Alat bekerja di atas tirnbunan, tinggi front kerja excavator 3 s.d. 4 meter. Perhitungan Produktivitas :
a. Kapasitas Bucket bersih :
x
3,012 (Kap. nominal heaped)
=
0,8 (Faktor pengisian)
b. Tingkat Produksi :
2,41 x 50 menitljam (Kap. Bucket bersih) (Waktu kerja efektif)
0,5 menit (Waktu edar)
Jumlah jam yang diperlukan 50.800 (Vol. tanah dipindah)
x
=
241 (Tingkat produksi
964
210,8 jam
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN DUMP TRUK DENGAN JARAK 488 METER
Kegiatan Pokok Mengangkut tanah/batuan penutup OIB dari timbunan OIB barat ke Pit 22 untuk penimbunan kembali (back filling). Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas dan lain-lain) Dump truck dengan muatan rata-rata 20.5 m 3 .
Uraian Penggunaan Alat (asal, tujuan, kemiringan, jarak angkut, kapasitas truk dan lain-lain)
OIB diangkut dari timbunan OIB barat ke Pit 22 dengan jarak 488 meter dan kemiringan menurun 3%, serta 122 meter dengan kemiringan 10 %. Penimbunan dengan cara lapis demi lapis kearah atas dengan tebal setiap lapisan 6 meter. Dalam pekerjaan ini diperlukan bantuan buldozer agar truk dapat mencapai ujung timbunan dengan aman.
Perhitungan Produktivitas a.
Waktu edar
0,70 +0,42
+
(Angkut isi) b.
0,65 + 0,50
2,40
+
2,00
-
6,68 unit
(Kembali kosong) (Pemuatan) (Buang muatan dan ancang-ancang)
Jumlah truk yang diperlukan
6,68
2,40 , (Pemuatan)
(Waktu edar) c.
+
=
2,78 (3 unit)
Tingkat produksi
20,5 m3 (Jumlah muatan)
x
3 unit : 6,68 menit (Jumlah truk) (Waktu edar)
x 50 meniVj a m = 460,5 m3/jam (Jam kerja efektif)
Jam Operasi :
a. Jumlah jam dipakai 60.300 m 3 (Vol tanah dipindah) b.
460.5 (Produksiljam)
=
130 jam/unit
Diperlukan 3 unit truk yang masing-masing beroperasi selama 148,9 jam (sesuai dengan jam 446,7 jam operasi loader yang melayaninya), sehingga jam operasi truk yang dibutuhkan
=
965
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN DUMP TRUCK DENGAN JARAK 300 METER
Kegiatan Pokok
Mengangkut OIB dari timbunan OIB Timur ke Pit 22 untuk penimbunan kembali (back filling). Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas dan lain-lain) kapasitas muat rata-rata 20,5 rrr',
Uraian Penggunaan Alat (asal, tujuan, kemiringan, jarak angkut, kapasitas truk, dan lain-lain)
OIB diangkut dari timbunan OIB Timur ke Pit 22 dengan jarak 300 meter dan kemiringan menurun 3%. Rolling Resistance 5 %. Perhitungan Produktivitas : a.
Waktu edar : 0,60
(Angkut isi)
b.
0,70
+
+
4,50 + 2,0 (Pemuatan) (Buang muatan dan ancang-ancang)
(Kembali kosong)
=
7,80 menit
Jumlah truk yang diperlukan : 7,80 (Waktu edar)
4,50 (Pemuatan)
=
1,73 ( 2 unit)
c. Tingkat produksi :
x (Kapasitas truk)
2 unit .(Jml truk)
7,80 menit x 50 menitljam (Waktu edar) (Jam kerja efektif)
= 262,80 m31jam
Jam Operasi : a. Jumlah jam diperlukan
50.800 m3 (Volume tanah dipindah)
262,80 (Tingkat produksi)
= 193,30 jam/unit
b. Diperlukan 2 truk yang masing-masing beroperasi selama 210,80 jam (sesuai dengan jam operasi excavator yang melayaninya), sehingga jam operasi truk yang dibutuhkan = 421 jam.
966
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN BUL.LDOZER UNTUK PENATAAN PERMUKAAN Kegiatan Pokok , Penataan permukaan (grading) O/B sehingga membentuk kontur yang baik untuk revegetasi dan kemungkinan erosi minimal. Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas dan lain-lain) Uraian Penggunaan Alat (asal material, tujuan, kemiringan, jarak angkut, dan lainlain) Bulldozer mendorong dan menata material yang diangkut dengan truk, sistem drainase harus diperhatikan agar !nfiltrasi air ke dalam tanah seoptimal mungkin. Bulldozer mendorong rata-rata 30 meter sejajar kontur, drainase diarahkan agar tidak melimpas melewati lereng.
Perhitungan Produktivitas a. Faktor penyesuaian:
0,75
x
(Operator)
x
1,20
(Material)
1,00
x
b.
x
1,00
0,90
(Elevasi)
x
1,00
= 0.68
(Transmisi)
Tingkat produksi : 1000 m 3 /jam
x
(Produksi normal)
x
(Jam kerja) (Kemiringan) (Koreksi BJ)
1,00
(Kenampakan)
x
0,84
0,68
=
(Faktor penyesuaian)
Jam Operasi : Jumlah jam diperfukan 22.200 (Volume tanah dipindah)
680 = (Tingkat produksi)
967
33 jam
1,00
x
(Metoda/blade)
CONTOH PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS DAN JAM OPERASI PENGGUNAAN BULLDOZER UNTUK PENATAAN AKHIR
Kegiatan Pokok Penataan permukaan tahap akhir (final grade) dan penataan tanah pucuk agar siap tanam. Spesifikasi Alat (Tipe, kapasitas dan lain lain). Uraian Penggunaan Al at (Asal material, tujuan, kemiringan, jarak angkut dan lain lain).
Buldozer menyebarkan tanah pucuk rata-rata setebal 0,5 meter pada lahan seluas 4,7 ha. Jarak dorong rata-rata 30 meter pada lahan dengan kemiringan efektif.:!:. 15 %. Perhitungan Produktivitas : a. Faktor penyesuaian:
0,75 (Operator)
1,20
x
(Material)
1,00 x (Kenarnpakan)
0,81
x
x
(Jam kerja)
1.00 x (Elevasi)
0,75
x
0,90
x
(Prod normal)
1.00 (Transmisi)
0,51
=
0,51
=
510 m3
=
29 jam
(Faktor penyesuaian)
Jam Operasi :
Jumlah jam diperlukan
14.400 (Volume tanah dipindah)
1,00
x
(Kemiringan) (Koreksi BJ) (Metoda/blade)
b. Tingkat produksi :
1000 m 3 /jam
x
510 (Tingkat produksi)
968
/
jam.
CONTOH REKAPITULASI PERHITUNGAN BIAYA PEMINDAHAN TANAH
Spesifikasi Alat
Kegiatan/ Jenis Alat
No.
Upah Ongkos Tetap Buruh Total Jam dan Operasi (US$/jam) diperlukan 2) (US$/jam)1)
Ongkos Total (US$)
1.
Back filling/Loader
99.00
13.00
149
16,688.00
2.
Penebaran top soil/ Loader
99.00
13.00
36
4,032.00
3.
Back filling/ Excavator
80.00
13.00
211
19,623.00
4.
Back filling/ Dump Truck
68.00
13.00
447
36,207.00
5.
Back filling/ Dump Truck
68.00
13.00
421
34,101.00
6.
Penataan permukaan/ Bulldozer
105.00
15.00
33
3,960.00
7.
Penataan akhir permukaan/ Bulldozer
105.00
15.00
29
3,480.00
I
TOTAL BIAYA yANG DIPERLUKAN
I)
2)
US$ 118,091.00
Bukan biaya standar, hanya untuk contoh perhitungan ongkos yang sebenarnya perlu di konfirmasi kepada perusahaan rental alat-alat berat. Bukan upah standar, hanya untuk contoh perhitungan, upah buruh meliputi upah operator, supervisor, spotter dan tenaga administrasi.
MlS.NTERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL, \
969
LAMPIRAN" PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENUTUPAN TAMBANG KERANGKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PENUTUPAN TAMBANG: A. B. C. D.
KATA PENGANTAR INTISARI DAFTAR lSI BATANG TUBUH
BABI
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang a. identitas perusahaan (nama, alamat lengkap perusahaan, penanggung jawab rencana atau kegiatan); b. uraian singkat mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan penutupan tambang; c. uraian singkat mengenai status perizinan pertambangan yang dipegang (KP/KKlPKP2B). 2. Maksud dan Tujuan 3. Pendekatan dan Ruang Lingkup
BAB II
PROFIL WILAYAH (Sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut) : 1. Lokasi dan Kesampaian Wilayah a. Uralan singkat mengenai lokasi kegiatan pertarnbanqan (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, posisi geografi), dilengkapi dengan peta situasi lokasi tambang dengan skala minimum 1 : 25.000; dan b. Uraian singkat mengenai sarana perhubungan dari dan ke lokasi tersebut. 2. Kepemilikan dan Peruntukan Lahan uraian rinci mengenai status kepemilikan dan peruntukan lahan di dalam wilayah izin pertambangan yang dipegang, dilengkapi dengan peta peruntukan lahan dengan skala minimum 1 : 25.000. 3. Rona Lingkungan Awal Uraian rinci tentang rona lingkungan hidup awal yang diperkirakan terkena dampak, serta telaahan komponen lingkungan yang terkena dampak. a. morfologi 1 : 25.000)
(dilengkapi
dengan
peta
skala
minimum
b. air permukaan (sungai, danau, rawa); c. air tanah; d. biologi akuatik dan teresterlal; e. sosial dan ekonomi (demografi, mata pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain). 4. Kegiatan lain di sekitar tambang Uraian rinci mengenai kegiatan lain yang berada di sekitar tambang, dilengkapi dengan peta situasi dengan skala minimum 1: 25.000.
970
-2 -
BAB III
DISKRIPSI KEGIATAN PERTAMBANGAN 1. Keadaan Cadangan Uraian rinci mengenai cadangan bahan galian pada awal kegiatan dan atau pada saat dokumen ini disusun, meliputi : penyebaran, jumlah, kadar dan klasifikasi serta karakteristik geokimia batuan samping dan atau batuan penutup. 2. Penambangan Uraian rinci mengenai sistem dan metode penambangan, persiapan penambangan, jadwal penambangan, tingkat produksi dan umur tambang, penanganan tanah zona pengakaran, batuan penutup, dan air asam tambang, serta upaya pengendalian erosi dan sedimentasi. 3. Pengolahan dan Pemurnian Uraian rinci mengenai kegiatan pengolahan bahan galian (proses, jenis dan jumlah pemakaian reagen, jumlah dan upaya penanganan Iimbah). 4. Fasilitas Penunjang Uraian rinci mengenai fasilitas penunjang yang akan dibangun, antara lain : kantor, mess, gudang, sekolah, rumah sakitlpoliklinik, laboratorium, transmisi tegangan tinggi, tangki bahan bakar minyak, tempat ibadah, jembatan, jalan, tangki air, pelabuhan/dermaga, bandara, rei kereta api, jalur kabel, jalur pipa, jalur conveyor, dam/bendungan, pembangkit listrik, beserta informasi lokasi, ukuran, konstruksi, serta dilengkapi peta situasi dengan skala minimum 1: 25.000.
BAB IV
GAMBARAN RONA AKHIR TAMBANG 1. Keadaan cadangan uraian rinci mengenai cadangan bahan galian yang tersisa sebelum daerah tersebut ditinggalkan. 2. Peruntukan Lahan uraian rinci mengenai peruntukan lahan. 3. Morfologi uraian rinci mengenai morfologi akhir. 4. Air Permukaan dan Air Tanah uraian rinci mengenai kualitas air sungai, danau, rawa dan kondisi air tanah. 5. Biologi Akuatik dan Teresterial
BAB V
a.
uraian rinci mengenai flora akuatik dan teresterial;
b.
uraian rinci mengenai fauna akuatik dan teresterial.
HASIL KONSULTASI DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN (S TAKEHOLDERS) Uraian rinci mengenai konsultasi (tanggapan, saran, pendapat, pandangan) dengan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap rencana penutupan tambang, termasuk rencana alih pengelolaan fasilitas tambang kepada Pemangku Kepentingan dan perubahan rencana peruntukan lahan.
971
·3BAB VI
PROGRAM PENUTUPAN TAMBANG
1. Reklamasi a. Tapak Bekas Tambang Uraian rinci mengenai rencana lokasi dan luas lahan tapak bekas tambang yang akan ditutup, yang meliputi kegiatan: 1) pembongkaran fasilitas tambang;
2) reklamasi lahan bekas fasilitas tambang 3) pembongkaran dan reklamasi jalan tambang; 4) reklamasi lahan bekas tambang permukaan
5) reklamasi lahan bekas kolam pengendap 6) pengamanan semua bukaan tambang yang berpotensi bahaya terhadap manusia (shaft, raise, stope, adit, decline, pit, tunnel, final void, dan lain-lain). b. Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Uraian rinci mengenai rencana lokasi dan luas lahan pada fasilitas pengolahan dan pemurnian yang meliputi kegiatan: 1) pembongkaran fasilitas pengolahan dan pemurnian;
2) reklarnasi lahan bekas fasilitas pengolahan dan pemurnian; 3) reklamasi lahan bekas kolam tailing dan upaya stabilisasinya; 4) reklamasi lahan bekas timbunan konsentrat;
5) pemulihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan 83. c. Fasilitas Penunjang Uraian rinci mengenai rencana lokasi dan luas lahan serta kegiatan yang meliputi: 1) reklamasi lahan bekas landfill; 2) pembongkaran sisa-sisa bangunan, transmisi listrik, pipa, pelabuhan (udara dan air) dan fasilitas iainnya; 3) reklamasi lahan bekas bangunan, transmisi listrik, pipa, pelabuhan (udara dan air) dan fasilitas lainnya; 4) pembongkaran peralatan, mesin, tangki bahan bakar minyak dan pelurnas;
5) penanganan sisa bahan bakar minyak, pelumas serta bahan kimia; 6) reklamasi lahan bekas sarana transportasi; 7) reklamasi lahan bekas bangunan dan fondasi beton;
8) pemulihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan 83. 2. Pemeliharaan dan Perawatan Uraian rinci mengenai pemeliharaan dan perawatan terhadap tapak bekas tambang, lahan bekas fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, dan lahan bekas fasilitas penunjang. 3. Sosial dan Ekonomi a. uraian mengenai penanganan pengurangan dan pemutusan hubungan kerja, bimbingan, dan bantuan untuk pengalihan pekerjaan bagi karyawan;
972
--------------------------------------
-4 b. pengembangan usaha alternatif untuk masyarakat lokal yang disesuaikan dengan program-program Corporate Social Responsibility. BAB VII
PEMANTAUAN Uraian rinci mengenai program, dan prosedur pemantauan, termasuk lokasi, metode dan frekuensi pemantauan, pencatatan hasil pemantauan serta pelaporannya mengenai : 1. Kestabilan Fisik uraian mengenai pemantauan kestabilan lereng, keamanan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi, penimbunan material penutup, serta fasilitas lain. 2. Air Permukaan dan Air Tanah. Uraian mengenai pemantauan terhadap kualitas air sungai, air sumur di sekitar lokasi bekas tambang, sumur pantau, air di kolam bekas tambang, dan lain-lain. 3. Flora dan Fauna Uraian mengenai pemantauan terhadap flora dan fauna akuatik dan terestrial 4. Sosial dan Ekonomi Uraian mengenai pemantauan sosial dan ekonomi pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
BAB VIII
(demografi,
mata
ORGANISASI Uraian rinci mengenai : 1. Organisasi. 2. Jadwal Pelaksanaan Penutupan Tambang.
BABIX
RENCANABIAYA PENUTUPAN Bab ini memuat rencana biaya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaanpekerjaan penutupan tambang. Perhitungan biaya penutupan tambang terdiri dari : 1. Biaya langsung. Uraian mengenai biaya yang perlu dihitung dalarn penyusunan rencana biaya penutupan tarnbanq yang meliputi: a.
pembongkaran bangunan dan sarana penunjang yang sudah tidak digunakan, kecuali ditentukan lain;
b. reklamasi tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang; c.
penanganan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta Iimbah B3;
d.
pemeliharaan dan perawatan;
e.
pemantauan; dan
f.
aspek sosial, budaya, dan ekonomi.
2. Biaya tidak langsung. Uraian mengenai biaya yang harus dimasukkan dalam perhitungan penutupan tambang dan sedapat mungkin ditetapkan dengan menggunakan standar acuan, yang ditentukan sebagai berikut: 973
-5a.
biaya mobilisasi dan demobilisasi alat sebesar 2,5 % dari biaya langsung atau berdasarkan perhitungan.
b.
biaya perencanaan penutupan tambang sebesar 2 % - 10 % dari biaya langsung.
c.
biaya administrasi dan keuntungan kontraktor sebesar 3 % - 14 % dari biaya langsung.
d.
biaya supervisi sebesar 2 % - 7 % dari biaya langsung.
3. Total Biaya Uraian mengenai total biaya langsung ditambah dengan biaya tidak langsung dan blaya-biaya tersebut sudah harus memperhitungkan pajak-pajak yang berlaku dan dibuat dalam mata uang rupiah atau dollar Amerika Serikat.
E. DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMPIRAN: 1. Peta Situasi Rona Awal, minimum skala 1 : 25.000. 2. Peta Situasi Lokasi Pertambangan, minimum skala 1 : 25.000. 3. Peta Situasi Rona Awal Penutupan Tambang, minimum skala 1 : 25.000. 4. Peta Situasi Rencana Rona Akhir Penutupan Tarnbang, skala 1 : 25.000 5. Peta Lokasi Pemantauan, minimum skala 1 : 10.000. F. DAFTAR TABEL Rencana dan Biaya Penutupan Tambang
974
minimum
-6TABEL RENCANA DAN BIAYA PENUTUPAN TAMBANG Kegiatan 1
Luas
Biaya (Rp/US$)
1. Biaya Langsung a. Tapak Bekas Tambang 1). Pembongkaran Fasilitas Tambang 2). Reklamasi lahan bekas fasilitas tam bang
(ha)
3). Pembongkaran dan reklamasi Jalan Tambang 4). Reklamasi Tambang Permukaan (pit, waste dump)
(ha)
5). Reklamasi lahan bekas kolam pengendap
(ha)
6). Pengamanan semua bukaan tambang yang berpotensi bahaya terhadap manusia (shaft, raise, stope, edit, decline, tunnel, dan lain-lain)
b. Fasilitas Pengolahan dan atau pemurnian
1). Pembongkaran fasilitas pengolahan dan pemurnian
2). Reklamasi lahan bekas fasilitas pengolahan dan pemurnian
(ha)
3). Reklamasi lahan bekas kolarn tailing dan upaya stabilisasinya (ha)
4). Reklamasi lahan bekas timbunan konsentrat
(ha)
5). Pemulihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta Limbah B3
c.
Fasilitas Penunjang 1) Reklamasi lahan bekas landfilf
(ha)
2) Pembongkaran sisa bangunan, transrnlsi Iistrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya 3) Reklamasi lahan bekas bangunan, transmisi listrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya
(ha)
4) Pernbonqkaran peralatan, rnesln, tangki SBM dan pelumas 5) Penanganan sisa BBM, pelumas, serta bahan kimia Reklamasi lahan bekas sarana transportasi
6)
7) Reklamasi lahan bekas bangunan dan pondasi beton 8)
(ha) (ha)
Pemulihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan B3
d. Sosial dan Ekonomi e. Pemeliharaan dan Perawatan f.
Pemantauan
g. Lain-lain
Sub Total 1 2.
Biaya Tidak Langsung a.
Biaya mobilisasi dan demobilisasi alat
b.
Biaya Perencanaan dan Kegiatan
c.
Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor
d.
Biaya supervisi
Sub Total 2 TOTAL (Rpl US$)
M~TERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL, \
\
!
YUSGIANTORO
975
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 18 TAHUN 2008 NOMOR TANGGAL : 29 Mei 2008
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN REKLAMASI KERANGKA PENYU.SUNAN LAPORAN PELAKSANAAN REKLAMASI: A. KATA PENGANTAR S. DAFTAR lSI C. SATANG TUBUH
BABI
PENDAHULUAN Bab ini mencakup uraian singkat mellputl. 1. Status Perizlnan: a.
Identitas perusahaan (nama: alamat penanggung jawab rencana atau kegiatan);
lengkap
perusahaan,
b. Uraian singkat mengenai status perizinan (KP/KKlPKP2B). 2. Luas wi/ayah KP/KKlPKP2B dan sarana penunjang di luar wilayah KP/KKlPKP2B (Project area); a.
Uraian luas wilayah dalam KP/KKlPKP2B yang direncanakan untuk kegiatan penambangan dan sarana penunjang.
b. Uraian luas sarana penunjang di luar wi/ayah KP/KKlPKP2B yang digunakan untuk menunjang kegiatan pertambangan. 3. Persetujuan AMDALlUKL-UPL; Uraian persetujuan AMDALlUKLlUPL dari instansi yang berwenang (Nomor, tanggal, nama instansi). BAS II
PEMBUKAAN LAHAN Sab ini mencakup realisasi pembukaan lahan tahun lalu dan rencana pembukaan lahan tahun berjalan meliputi : 1. Tambang a. Uraian mengenai lokasi, dan luas lahan yang dibuka. b. Uraian mengenai rencana dan realisasi produksi serta stripping ratio. 2. Timbunan a.
Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang digunakan untuk: 1) penimbunan tanah zona pengakaran; 2) penimbunan tanah/batuan penutup di dalam dan di luar tambang.
b. Uraian mengenai lokasi dan luas lahan penimbunan bahan galian. c.
Uraian mengenai lokasi dan luas lahan penimbunan/penyimpanan limbah sarana penunjang.
3. Jalan Uraian mengenai lokasi dan luas lahan yang dibuka untuk pembuatan jalan tambang dan non tambang. 4. Kolam sedimen dan sarana kendali erosi lainnya Uraian mengenai lokasi dan luas !ahan yang dibuka untuk pembuatan kolam sedimen dan sarana kendali erosi.
976
-25. Sarana penunjang Uraian mengenai lokasi dan luas /ahan yang dibuka untuk digunakan sebagai pabrik, kantor, perumahan, bengke/ dan sarana penunjang lainnya. BAB "'
PELAKSANAAN REKLAMASI Bab ini mencakup pe/aksanaan reklamasi tahun lalu dan rencana reklamasi tahun berjalan yang meliputi : 1. Lokasi lahan yang direklamasi : Uraian mengenai lokasi dan luas lahan terganggu yang direklamasi meliputi: a.
lahan bekas tambang
b. timbunan tanah/batuan penutup di luar tambang c. jalan tambang dan non tambang yang tidak digunakan lagi d. bekas kolam sedimen e. fasilitas penunjang lainnya. 2. Teknik dan peralatan yang digunakan dalam reklamasi. Uraian mengenai teknik dan peralatan yang digunakan untuk reklamasi lahan. 3. Penataan lahan Uraian mengenai kegiatan penataan lahan dalam rangka reklamasi beserta lokasidan luasannya. 4. Revegetasi Uraian mengenai jenis tanaman dan jumlah tanaman, jarak tanam, lokasi dan luas lahan yang direvegetasi 5. Pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang Uraian mengenai kegiatan penataan lahan beserta lokasi dan luasannya yang peruntukannya bukan revegetasi. (contoh: area permukiman, kawasan industri, pariwisata, dan lain-lain) 6. Pemeliharaan Uraian mengenai pemeliharaan lahan yang telah pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Rekapiturasi pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada Tabel 1. BAB IV
disajikan
da/am
direklamasi, bentuk
tabel
BIAYA REKLAMASI Bab ini memuat realisasi biaya reklamasi tahun ini dan rencana tahun berikutnya yang meliputi : 1.
Realisasi Biaya Reklamasi Tahun ini. Uraian mengenai biaya yang digunakan untuk pelaksanaan reklamasi yang mellputi: a.
penataan kegunaan lahan
b. revegetasi c.
pencegahan dan penanggulangan air asam tambang
d.
pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang
977
-32.
Rencana Biaya Reklamasi Tahun berikutnya Rekapitulasi biaya reklamasi disajikan dalam bentuk tabel sebagaimana dimaksud pada Tabel 2.
D. DAFTAR LAMPIRAN : 1. Peta realisasi dan rencana pembukaan lahan, skala minimal 1 : 10.000. 2. Peta realisasi dan rencana kemajuan reklamasi, skala minimal 1 : 10.000. E. DAFTAR LAMPIRAN 1. Rekapitulasi Pelaksanaan Reklamasi. 2. Rekapitulasi Biaya Reklamasi.
978
-4 -
TABEL 1 REKAPITULASI PELAKSANAAN REKLAMASI Tahun
1
Lahan yang dibuka (ha)
: 2008
*)
Kumulatif sid Tahun 2008 *)
a. Oaerah tambang b. Oaerah di luar tambang (ha) - timbunan tanah penutup - timbunan bahan baku/produksi - ialan transoortasi - pabrik/instalasi penqolahan/pemurnian - kantor dan peru mahan - lain-lain Penambangan a. Lahan selesai ditambang (ha) ~ b. Lahan/front aktif ditambang (ha) c. Volume tanah penutup yang digali (rrr') Penimbunan a. Oi bekas tam bang (ha) b. Oi luar bekas tambang (ha) c. Volume yan~ ditimbun di bekas tambang (m I) . d. Volume yang ditimbun di luar bekas
2
3
tarnbanq (rn'')
4
Reklamasi a. Penataan Kegunaan Lahan - pengaturan permukaan lahan (ha) - penebaran tanah zona pengakaran (ha) - pengendalian erosi dan pengelolaan air b. Reveqetasi (ha) - analisis kualitas tanah (conto) - pemupukan (ha) - penqadaan bibit (batanq) - Penanaman (batanq) - pemeliharaan tanaman (ha) Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang (conto) Pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang (satuan luas)
5 6
Keterangan: hanya contoh
*)
979
Tahun 2009 *)
Kumulatif sid Tahun 2010*)
~
Rencana Tahun 2011 *)
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN TRIWULAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENUTUPAN TAMBANG
KERANGKA PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN TRIWULAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENUTUPAN TAMBANG: A. KATA PENGANTAR B. DAFTAR lSI C. BATANG TUBUH BABI
PENDAHULUAN Uraian singkat mengenai kemajuan pekerjaan penutupan pada periode peiaporan dan evaluasi menyeluruh terhadap hasil pekerjaan penutupan serta pihak-pihak yang berkepentingan yang dilibatkan.
BAB II
PELAKSANAAN PENUTUPAN TAMBANG 1.
Tapak Bekas Tambang Uraian rinci mengenai pelaksanaan penutupan tambang, lokasi dan luas lahan disertai data teknis (tabel, grafik, gambar desain, data peralatan yang digunakan) yang meliputi:
2.
a.
pembongkaran fasilitas tambang;
b.
reklarnasi lahan bekas fasilitas tambang
c.
pembongkaran dan reklamasi jalan tambang;
d.
reklamasi lahan bekas tambang permukaan;
e.
reklamasi lahan bekas kolam pengendap;
f.
pengamanan semua bukaan tambang yang berpotensi bahaya terhadap manusia (shaft, raise, stope, adit, decline, pit, tunnel, final void, dan lainlain);
Pengolahan dan atau Pemurnian Uraian rlnci mengenai pelaksanaan penutupan tambang, lokasi dan luas lahan disertai data teknis (tabel, grafik, gambar desain, data peralatan yang digunakan) pada:
3.
a.
pembongkaran fasilitas pengolahan dan pemurnian;
b.
reklamasi lahan bekas fasilitas pengolahan dan pemurnian;
c.
reklamasi lahan bekas kolam tailing dan upaya stabilisasinya;
d.
reklamasi lahan bekas timbunan konsentrat;
e.
pemulihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan B3;
Fasilitas Penunjang Uraian rinci mengenai lokasi dan luas lahan serta kegiatan (disertai data teknis) yang meliputi : a.
reklamasi lahan bekas landfill;
b.
pembongkaran sisa-sisa bangunan, transmisi Iistrik, pipa, pelabuhan (udara dan air) dan fasilitas lainnya;
c.
reklamasi lahan bekas bangunan, transmisi Iistrik, pipa, pelabuhan (udara dan air) dan fasilitas lainnya;
980
-2-
4.
5.
d.
pembongkaran peralatan, mesin, tangki bahan bakar minyak dan pelumas;
e.
penanganan sisa bahan bakar minyak, pelumas serta bahan kimia;
f.
reklamasi lahan bekas sarana transportasi;
g.
reklamasi lahan bekas bangunan dan fondasi beton;
h.
pemuiihan (remediasi) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan 83.
Sosial dan Ekonomi a.
Uraian ringkas mengenai penanganan pengurangan dan pemutusan hubungan kerja karyawan bimbingan dan bantuan untuk pengalihan pekerjaan bagi karyawan;
b.
Pengembangan usaha alternatif untuk masyarakat lokal yang disesuaikan dengan program-program Corporate Social Responsibility.
Pemeliharaan dan Perawatan Uraian rinci mengenai pemeliharaan dan perawatan terhadap tapak bekas tambang, lahan bekas fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, dan lahan bekas fasilitas penunjang.
BAB III
PEMANTAUAN 1. Kestabilan Fisik Hasil pemantauan terhadap kestabilan fisik dan uraian rinci/evaluasi terhadap kondisi tersebut. 2. Air Permukaan dan Air Bawah Tanah Hasil pemantauan dan uraian rinci/evaluasi atas hasil pernantauan tersebut. 3. Biologi Akuatik dan Teresterial Uraian rinci mengenai pelaksanaan pemantauan flora dan fauna termasuk lokasi, sifat, metode dan frekuensi pemantauan, komunitas flora dan fauna yang dipantau serta pencatatan dan pelaporan hasil pemantauan. 4. Sosial dan Ekonomi Uraian mengenai pelaksanaan pemantauan sosial dan ekonomi (demografi, mata pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain)
BAB IV
ORGANISASI DAN BIAYA 1. Organisasi Uraian rinci mengenai struktur organisasi, penggunaan tenaga kerja dan kompetensinya. 2. Biaya Uraian rinci mengenai biaya yang dikeluarkan pada periode pelaporan dibandingkan dengan rencana. Rekapitulasi biaya pelaksanaan penutupan tambang disajikan dalam bentuk tabel sebagaimana dimaksud pada Tabel.
BAB V
PENUTUP 1. Evaluasi pelaksanaan kegiatan penutupan tambang pada periode pelaporan dibandingkan dengan rencana dan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan kegiatan penutupan tambang.
981
-32. Evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan kegiatan penutupan tambang (perbandingan antara hasil pelaksanaan penutupan dengan RPT). D. DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Peta Kemajuan Penutupan Tambang, skala minimum 1 : 25.000. Peta Lokasi Pemantauan, skala minimum 1 : 10.000. Dokumen-dokumen yang terkait (seperti hasil analisa laboratorium).
E. DAFTAR TABEL Rekapitulasi Biaya Pelaksanaan Penutupan Tambang
982
-4 TABEL REKAPITULASI BIAYA PELAKSANAAN PENUTUPAN TAMBANG KEGIATAN 1.
Luas
Biaya Langsung a. Tapak Bekas Tambang
1 ) Pembongkaran Fasilitas Tambang 2)
Reklamasi lahan bekas fasilitas tam bang
(ha)
3)
Pembongkaran dan reklamasi Jalan Tambang
(ha)
4)
Reklamasi Tambang Permukaan (pit, waste dump)
(ha)
5)
Reklamasi lahan bekas kolam pengendap
(ha)
6)
Pengamanan semua bukaan tam bang yang berpotensi bahaya terhadap manusia (shaft, raise, stope, adit, decline, pit, tunnel, dan lain-lain)
b. Fasilitas Pengolahan dan atau pemurnian
1 ) Pembongkaran fasilitas pengolahan dan pemurnian 2) Reklamasi lahan bekas fasilitas pengolahan dan pemurnian
I I
(ha)
3)
Reklamasi lahan bekas kolam tailing
(ha)
4)
Rek!amasi lahan bekas timbunan konsentrat
(ha)
5)
Pemulihan (remediesi; tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan B3
c. Fasilitas Penunjang
1 ) Reklamasi lahan bekas landfill 2)
(ha)
Pembongkaran sisa bangunan, transmisi Iistrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya
(ha)
3)
Reklamasi lahan bekas bangunan, transmisi listrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya
(ha)
4)
Pembongkaran peralatan, mesin, tangki BBM dan pelumas
5)
Penanganan sisa BBM, pelumas, serta bahan kimia
6)
Reklamasi lahan bekas sarana transportasi
(ha)
7)
Reklamasi lahan bekas bangunan dan pondasi beton
(ha)
8)
Pemulihan iremedtesh tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan B3
d.
Sosial dan Ekonomi
e f.
Pemeliharaan dan Perawatan
g.
Lain-lain
Pemantauan
Sub Total 1 (Rp/US$) 2.
Biaya Tidak Langsung a.
Biaya mobilisasi dan demobilisasi alat
b.
Biaya Perencanaan dan Kegiatan
c.
Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor
d.
Biaya supervisi
Sub Total 2 (Rp/US$) TOTAL (Rp/US$)
983
Biaya (Rp/US$)
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 PEDOMAN PENILAIAN KRITERIA KEBERHASILAN REKLAMASI
No. 1.
Kegiatan Reklamasi
Obyek kegiatan
Penataan Lahan
Penataan permukaan lahan
Parameter
Realisasi/Hasil Penilaian
Rencana
a.Luas areal yang ditata
(ha)
.
(ha)
a. Luas areal yang ditimbun
Pengelolaan Material Pembangkit Air Asam Tambang
a. Pengelolaan Material b. Pengelolaan air asam tambang
Kualitas air keluaran memenuhi ketentuan Baku Mutu Lingkungan (BML).
Sarana pengendali erosi
a. Saluran drainase
Tidak terjadi erosi dan sedimentasi aktif pada lahan yang sudah ditata.
b.Bangunan pengendali erosi
Tidak terjadi aluralur erosi.
c.Kolam Pengendap Sedimen
Kualitas air keluaran memenuhi ketentuan BML.
* .4
• _
k
*-
4
vA
q
.,q
""
(ha)
b. Stabilitas timbunan
I
1
(ha)
Sesuai atau melebihi rencana
Penimbunan kembali lahan bekas tambang
984
Ski
Sesuai -dengan rencana Tidak ada longsoran
b.Stabilitas timbunan
I
Standar Keberhasilan
Tidak ada longsoran Sesuaidengan rencana.
Hasil Evaluasi
-2Kegiatan Reklamasi
No. 2.
I
Obyek kegiatan
Revegetasi dan Pekerjaan Sipil
Parameter
Rencana
Realisasi/Hasil Penilaian
Pengelolaan media tanam (top soil)
Penebaran tanah zona pengakaran
Standar Keberhasilan Ditanami cover crops dan aplikasi kompos atau bahan perbaikan kualitas tanah lainnya
a. Luas areal yang ditabur
(ha)
(ha)
• Baik (Iebih dari 75% dari keseluruhan luas areal bekas tambang); • Sedang (5075% dari luas keseluruhan areal bekas tam bang)
I I b. pH tanah
• Baik (5 - 6); • Sedang (4,5 - <5)
Penanaman
a. Luas areal penanaman
(ha)
I
b. Jenis tanaman
(ha)
Sesuaidengan rencana • Baik (80% sesuai rencana) • Sedang (60%80%)
c. Pertumbuhan tanaman
• Baik (rasio tumbuh>80%); • Sedang (rasio tumbuh 6080%);
d. Penutupan tajuk
985
U
&
g
•
·.4
g
:;:;
:::80%
Hasil Evaluasi
I
-3-
No. 3.
Kegiatan Reklamasi Revegetasi dan Pekerjaan Sipil
Obyek kegiatan Pemeliharaan
.
4.
Penyelesaian Akhir
Pemenuhan Standar Reklamasi
Parameter
Rencana
Realisasi/Hasil Penilaian
Standar Keberhasilan
a.Pemupukan
Sesuaidengan dosis yang dibutuhkan
b. Pengendalian gulma, harna dan penyakit
Pengendalian berdasarkan hasil analisis
c. Penyulaman
Sesuai dengan jumlah tanaman yang mati
Persentase Keberhasilan
Hasil Evaluasi
Sesuai tingkat keberhasilan Reklamasi
-, \
\
M'L.~TERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL,
986
LAMPIRAN VI
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 TATA CARA PENEMPATAN JAMINAN PENUTUPAN TAMBANG
Umur Tambang (tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Ke-1
Ke-2
Ke-3
Ke-4
Ke-5
Ke-6
Ke-7
Ke-8
Ke-9
Ke-10
Ke-11
Ke-12
Ke-13
Ke-14
Ke-15
Ke-16
Ke-17
Ke-18
Ke-19
Ke-20
Ke-21
Ke-22
Ke-23
Ke-24
Ke-25
Ke-26
Ke-27
Ke-28
Ke-29
Ke-30
1,000 1,000 1,000 0,500 0,111 0,063
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,500 0,333 0,187 0,063 0,030 0,028 0,020
-
0,556 0,313 0,187 0,123 0,030 0,028 0,020 0,016 0,012 0,010
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,437 0,313 0,180 0,102 0,040 0,055 0,020 0,016 0,030 0,010 0,009 0,008 0.008 0,007 0,007 0,006 0,005 0,006 0,005 0,005 0,005 0,005 0,004 0,004 0,004
-
0,437 0,300 0,173 0,092 0,095 0,050 0,020 0,050 0,030 0,027 0,025 0,023 0,021 0,020 0,019 0,018 0,017 0,016 0,015 0,014 0,014 0,013 0,013 0,012
-
0,367 0,300 0,153 0,163 0,090 0,050 0,063 0,050 0,045 0,042 0,0~8
0,036 0,033 0,031 0,029 0,028 0,026 0,025 0,024 0,023 0,022 0,021 0,020
-
-
0,367 0,300 0,177 0,157 0,088 0,080 0,063 0,057 0,053 0,048 0,045 0,042 0,039 0,037 0,035 0,033 0,032 0,030 0,029 0,027 0,026 0.025
-
0,367 0,225 0,177 0,147 0,100 0,080 0,073 0,067 0,062 0,057 0,053 0,050 0,047 0,044 0,042 0,040 0,038 0,036 0,035 0,033 0,032
.
-
0,265 0,225 0,177 0,130 0,100 0,091 0,083 0,077 0,071 0,067 0,063 0,059 0,056 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
-
0,265 0,225 0,150 0,130 0,118 0,108 0,100 0,093 0,087 0,081 0,076 0,072 0,068 0,065 0,062 0,059 0,057 0,054 0,052
-
-
-
-
-
-
-
-
0,265 0,180 0,150 0,136 0,125 0,115 0,107 0,100 0,094 0,088 0,083 0,079 0,075 0,071 0,068 0,065 0,063 0,060
-
-
0,207 0,180 0,164 0,150 0,138 0,129 0,120 0,113 0,106 0,100 0,095 0,090 0,086 0,082 0,078 0,075 0,072
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,207 0,188 0,173 0,159 0,148 0,138 0,129 0,122 0,115 0,109 0,103 0,098 0,094 0,090 0,086 0,082
0,092 0,083 0,077 0,071 0,067 0,062 0,059 0,056 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
0,083 0,077 0,071 0,067 0,063 0,059 0,056 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
0,078 0,071 0,067 0,063 0,059 0,056 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
-
0,073 0,067 0,062 0,059 0,056 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,065 0,061 0,057 0,054 0,051 0,049 0,046 0,044 0,042 0,041 0,039
0,064 0,060 0,057 0,054 0,051 0,049 0,047 0,045 0,043 0,041
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,059 0,056 0,053 0.050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
0,053 0,053 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
-
-
0,051 0,050 0,048 0,045 0,043 0,042 0,040
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,050 0,048 0,045 0,043 0,041 0,040
-
-
0,045 0,046 0,044 0,041 0,040
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,048 0,043 0,041 0,040
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,048 0,041 0,040
-
0,041 0,040
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,041
-
-
-
-
-
MENTERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL,
987
./
-
-
-
-
-
-
-
LAMPIRAN VII
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2008 TANGGAL : 29 Mei 2008 PEDOMAN PENILAIAN KRITERIA KEBERHASILAN PENUTUPAN TAMBANG
No.
1.
Kegiatan Penutupan Tambang Tapak 8ekas Tambang
Obyek Kegiatan
Rencana
Realisasi/Hasil Penilaian
Kriteria Keberhasilan SesuaiRPT
Hasil Evaluasi
a. Pembongkaran Fasilitas Tambang b.Reklamasi lahan bekas fasilitas tambang
(ha)
(ha)
d.Reklamasi Tambang Permukaan (pit, waste dump)
(ha)
(ha)
e. Reklamasi lahan bekas kolam pengendap
(ha)
(ha)
c. Pembongkaran dan reklamasi Jalan Tam bang
f. Pengamanan semua bukaan tambang yang berpotensi bahaya terhadap manusia (shaft, raise, stope, adit, decline, tunnel, dan lain-lain)
2.
Fasilitas Pengolahan dan atau pemurnian
I
I
a. Pembongkaran fasilitas pengolahan dan pemurnian b. Reklamasi lahan bekas fasilitas pengolahan dan pemurnian
(ha)
(ha)
c. Reklamasi lahan bekas kolam tailing dan upaya stabilisasinya
(ha)
(ha)
d. Reklamasi lahan bekas timbunan konsentrat
(ha)
(ha)
e. Pemulihan (remediasl) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan 83
988
t
$.k
4
M
4
g,.
v-
M'
-"""=,,~""
-2 Kegiatan Penutupan Tambang
No.
3.
Fasilitas Penunjang
Obyek Kegiatan
RealisasilHasil Penilaian
Rencana
a.Reklamasi lahan bekas landfill
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
Kriteria Keberhasilan Sesuai RPT
b.Pembongkaran sisa bangunan, transmisi Iistrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya c. Reklamasi lahan bekas bangunan, I transmisi listrik, pipa, pelabuhan (udara dan air), dan fasilitas lainnya d. Pembongkaran peralatan, mesin, tangki B8M dan pelumas e. Penanganan sisa BBM, pelumas, serta bahan kimia . Reklamasi lahan bekas sarana transportasi g. Reklamasi lahan bekas bangunan dan pondasi beten h. Pemulihan (remediasl) tanah yang terkontaminasi bahan kimia, minyak dan B3
989
2Sl_.
£
;
44:
UJ
Q
i
Q$
$; .
*.
$
. 4
" , '.
• .•
Hasil Evaluasi
.
-3 Kegiatan Penutupan Tambang
No.
Pemantauan
4.
Rencana
Obyek Kegiatan
Realisasi/Hasil Penilaian
Kriteria Keberhasilan Sesuai RPT
Hasil Evaluasi
a. Kualitas Air Permukaan b. Kualitas Air Laut c. Kualitas Air Tanah
I
d. Kualitas Udara e. Kebisingan
f. Kualitas Tanah
MEN"l;'ERI ENERGI SUMBER DAYA MINERAL,
990
,
.
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAVA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 25 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KEBIJAKAN PEMBATASAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL NASIONAL MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
a. bahwa mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, untuk itu pengelolaannya harus dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan; b. bahwa keberadaan, potensi dan cadangan sumber daya mineral mempunyai peran yang sangat besar sebagai penggerak pernbangunan nasional; c. bahwa pendayagunaan sumber daya mineral diarahkan untuk menjamin tersedianya mineral sebagai bahan baku industri dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalarn negeri dengan tetap memperhatikan prinsip konservasi dan berkelanjutan, sehingga diperlukan penetapan kebijakan pembatasan produksi nasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Penetapan Kebijakan Pembatasan Produksi Pertambangan Mineral Nasional;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
991
- 2 4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4154); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4737); 7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nornor 77/P Tahun 200"1 tanggal 28 Agustus 2007; 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;
MEMUTUSKAN: Menetapkan
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG TATA CARA PENETAPAN KEBIJAKAN PEMBATASAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL NASIONAL.
BABI KETENTUAN UMUM Pasal1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kurnpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di iuar minyak dan gas bumi, panas bumi, dan air tanah. 2. Kuasa Pertambangan, yang selanjutnya disebut KP, adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk meiaksanakan usaha pertambangan.
992
- 3 3. Kontrak Karya, yang selanjutnya disebut KK, adalah suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara. 4.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral.
5. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang mineral. Pasal 2 (1)
Untuk mendukung tujuan pengelolaan mineral dan dalam rangka menjamin kepentingan nasional secara berkelanjutan, maka penyelenggaraan kegiatan produksi usaha pertambangan mineral wajib dilaksanakan berdasarkan kebijakan pembatasan produksi mineral nasional.
(2)
Kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip:
a. transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; dan b. terpadu dengan rnemperhatikan kepentingan nasional, serta mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya, dan berwawasan lingl
BAB II PERENCANAAN DAN PENYIAPAN KEBIJAKAN Pasal 3 (1)
Menteri merencanal
Pasal2. (2)
Perencanaan dan penyiapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal berdasarkan pengkajian dan pengolahan data studi kelayakan dan Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) dari pemegang KP dan KK serta neraca sumber daya mineral nasional.
(3)
Dalam rangka perencanaan dan penyiapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Direktur Jenderal berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan instansi pemerintah terkalt.
993
, I)
•
.
,
,
- 4 (4)
Gubernur dapat melaksanakan koordinasi perencanaan dan penyiapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional melalui pengkajian dan pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan bupati/walikota yang meliputi KP dalam wilayah kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Gubernur bertanggung jawab dan wajib menyampaikan hasil pengkajian dan pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktur Jenderal. BAS III PENETAPAN KESIJAKAN Pasal 4
(1)
Direktur Jenderal dalam menyiapkan rancangan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat berupa mineral tertentu.
(2)
Kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain dapat berupa timah, nikel, besi, emas, atau tembaga.
(3)
Direktur Jenderal mengusulkan kepada Menteri mengenai penetapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5
(1)
Serdasarkan usulan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional.
(2)
Dalam penetapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan besaran batasan produksi untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sesuai keterdapatan mineral tertentu nasional. Pasal6
(1)
Kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat dievaluasi setiap tahun.
(2)
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas kajian terhadap asas konservasl, kapasitas produksi nasional,
optimalisasi penerimaan negara, peningkatan nilai tambah, kebutuhan ekspor, pasokan dalam negeri dan daya dukung Iingkungan.
994
, "
..
....
- 5 BAB IV PELAKSANAAN KEBIJAKAN Pasal7 (1)
Kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mewajibkan kepada pemegang KP dan KK untuk melaksanakan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pemegang KP dan KK wajib melaksanakan kebijakan besaran pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional yang diwajibkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal8
(1)
Pemegang KP dan KK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kebijakan besaran pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional yang menjadi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota yang bersangkutan.
(2)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal melakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat produksi pertambangan mineral tertentu nasional dari masingmasing provinsi atau kabupaten/kota.
(3)
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri, menyampaikan kepada gubernur, bupati/walikota mengenai hasil produksi pertambangan mineral tertentu dari masing-masing provinsi atau kabupaten/kota telah terpenuhi.
(4)
Dalam hal besaran pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu naslonal telah terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Menteri, gubernur, bupatil walikota sesuai dengan kewenangannya tidak menerima dan rnernproses permohonan baru untuk mendapatkan KP dan KK untuk komoditi tambang mineral tertentu.
995
••
•
.... t,
- 6 BAB V SANKSI ADMINISTRATIF Pasal9 (1)
Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif kepada setiap pemegang KP dan KK yang melanggar kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral tertentu nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau c. pembatalan KP atau pengakhiran KK. Pasal10
(1)
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dikenakan kepada pemegang KP dan KK yang melakukan pelanggaran.
(2)
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(3)
Pemegang KP dan KK yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi penghentian sementara seluruh kegiatan, untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.
(4)
Sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.
(5)
Pemegang KP dan KK yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dikenakan sanksi pembatalan KP atau pengakhiran KK. Pasal 11
Dalam hal pemegang KP dan KK melakukan pengulangan pelanggaran sanksi peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kall dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun langsung dapat dikenakan sanksi pembatalan KP atau pengakhiran KK.
996
"
- 7 BABVI KETENTUAN PERAUHAN Pasal 12 Perencanaan dan penyiapan kebijakan pembatasan produksi pertambangan mineral nasional yang telah dilaksanakan Direktur Jenderal sebelum ditetapkan Peraturan Menteri ini, dapat diusulkan kepada Menteri untuk ditetapkan. BABVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta ;:::::=:::::::'~.. pada tanggal 5 Agustus. 2008
~
C'J","<:::-"
/'/<~ l>~\"\ '-~,,_! iV/'i>,.- .,"<'-.
l/~,'~~:>----<~::">fiA'~NTERI ENERGI DAN SUMBER DAYAMINERAL,
/./
'~;'
.
'\ -",,\
.
,~
"1
\
997
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMEIER DAYA MINERAL NOMOR 3 6 T A H I I N 2 0 0 8 TENTANG PENGUSAHAAN GAS METANA BATUBARA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
: a. bahwa Gas Metana Batubara merupakan salah satu sumber daya alam strategis yang cukup potensial urituk memasok kebutuhan energi nasional, sehingga dalam rangka diversifikasi energi, Gas Metana Batubara perlu dikembangan secara optimal;
b. bahwa untuk meningkatkan pengusahaan Gas Metana Batubara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 033 Tahirn 2006 perlu mengatur kembali pengusahaan Gas Metana Batubara dan mencabut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 033 Tahun 2006 dimaksud; c. bahwa berdasarkan pertirr~bangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentany Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 831); 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara .Republik lndonesia Nomor 4152); 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4776); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor II Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peratcaran Pemeriniah Nomor 75 Tahun Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4154);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2002 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4216); 998
6. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Mulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 81, l'ambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4530);
7. Keputusan Presiden Nonior 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nornor 77/P Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007; 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;
9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2008 tanggal 12 November 2008 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGl DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN GAS METANA BATUBARA.
BAB l KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan bAenteri ini yang dimaksud dengan :
1.
Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) yang selanjutnya disebut Gas Metana Batubara adalah gas bumi (hidrokarbon) dimana gas metana merupakan komponen utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification) dalam kondisi terperangkap dan terserap (terabsorbsi) di dalam batubara danlatau lapisan batubara.
2.
Wilayah Kerja Gas Metarla Bati~baraadalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan lndonesia untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi Gas Metana Batubara.
3. Wilayah Hukum pertambangan lndonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia. 4.
Eksplorasi Gas Metana Batubara adalah keglatan yang bertujuan memperoleh informasi rnengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Gas Metana Batubara di Wilayah Kerja Gas Metana Batubara.
999
5. Eksploitasi Gas Metana Batubara adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untult menghasilkan Gas Metana Batubara dari Wilayah Kerja Gas Metana Batubara, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Gas Metana Batubara di lapangan, serta kegiatan lain yang mendukungnya. 6.
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan lndonesia untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi.
7.
Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yarig selanjutnya disebut Wilayah PKP2B adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan Penierintah dalam lampiran Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, yang dapat diubah melalui pengurangan-pengurangan dan perluasan-perluasan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
8.
VVilayah Kuasa Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Vllilayah KP Batubara adalah suatu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, dan BupatiAlValikota sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam lampiran Kuasa Pertambangan Batubara.
9.
Wilayah Terbuka Gas Metana Batubara adalah bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan lndonesia yang belum ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Gas Metana Batubara, Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batubara.
10. Kontraktor Minyak dan Gas Bumi adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. 11. Kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah perusahaan swasta yang melaksanakan pengusahaan pertambangan batubara di wilayah PKP2B.
12. Pemegang Kuasa Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Pemegang KP Batubara adalah perusahaan swasta nasional atau perorangan yang diberi Kuasa Pertambangan untuk rnelakukan usaha pertambangan Batubara di suatu Wilayah KP Batubara. 13. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha tiulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. 14. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
15. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Kesatuan Republik lndonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. 1000
16. Studi Bersama (Joint Study) yang selanjutnya disebut Studi Bersama adalah kegiatan yang dilakukan bel-sama antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dengan Direktorat Jenderal dalam rangka Penawaran Langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batubara untuk melakukan inventarisasi, pengolahan dari interpretasi Data di Wilayah Terbuka Gas Metana Batubara atau di Wilayah Kerja Available untuk mengetahui potensi dan keekonomian Gas Metana Batubara.
17. Evaluasi Bersama (Joint Evaluation) yang selanjutnya disebut Evaluasi Bersama adalah kegiatan yang dilakukan oleh Kontraktor Minyak dan Gas Bumi atau Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara dengan Direktorat Jenderal dalam rangka Penawaran Langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batubara untuk melakukan inventarisasi, pengolahan dan interpretasi Data yang tersedia di wilayah kerjanya untuk mengetahui potensi dan keekonomian Gas Metana Batubara.
18. Data adalah semua fakta, petunjuk, indikasi, dan informasi baik dalam bentuk tulisan (karakter), angka (digital), gambar (analog), media rnagnetik, dokumen, percontobatuan, fluidal dan bentuk lain yang didapat dari hasil Survei Umum, Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi. 19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi I-lasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasitnya dipergunakan urituk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. 20. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
21. Lembaga Penelitian adalah instansi Pemerintah di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi penelitian dan pengembangan di bidang Minyak dan Gas Bumi. 22. lnstitusi Tertentu adalah lnstansi Pemerintah lain, institusi atau lembaga yang melakukan penelitian, pengkajian, dan pengembangan Gas Metana Batubara.
23. Departemen adalah Departenien yang bidang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Minyak dan Gas Bumi. 24. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan tanggung jawabnya cli bidang Minyak dan Gas Bumi. 25. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bjdang tugas dan kewenangannya di bidany Minyak dan Gas Bumi. 26. Tim Penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara yang selanjutnya disebut Tim Penawaran adalah Tim yang bertugas untuk memberikan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan Penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara. I
1001
BAB ll PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN GAS METANA BATUBAKA
(I)Gas Metana Batubara sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2)
Penguasaan Gas Metana Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
(1)
Pengusahaan Gas Metana Batubara tunduk dan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
(2)
Pembinaan dan pengawasan serta penatausahaan pengusahaan Gas Metana Batubara dipusatkan pada Direktorat Jenderal.
(1) Menteri menetapkan kebijakan penyiapan, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomi, tingkat risiko, efisiensi, dan berasaskan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang wajar. (2)
Penyiapan, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Gas Metana diselenggarakan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Jenderal dengan memperhatikan pertimbangan dari oleh Direktur Badan Pelaksana.
(3)
Direktur Jenderal dalam penyiapan, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara, wajib mengutamakan pemanfaatan data dan informasi yang berada pada Departemen.
(4)
Dalam rangka pelaksanaan penyiapan, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara, Direktur Jenderal membentuk Tim Penawaran Wilayah Kerja, Tim Lelang dan Tim Penilai yang keanggotaannya dapat' terdiri atas wakil dari unit-unit di lingkungan Departemen, Badan Pelaksana, Perguruan Tinggi, dan lnstansi terkait.
(5)
Tim Penawaran Wilayah Merja, Tim Lelang, dan Tim Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempunyai tugas dan fungsi sebagairr~anadiatur dalam Peraturan Menteri rnengenai Tata Cara Penetapan darl Penawarari Wilayah Ker!a Minyak dan Gas Bumi.
1002
Pasal 5 ( 1 ) Pengusahaan Gas Metana Batubara meliputi kegiatan Eksplorasi Gas Metana Batubara dan kegiatan Eksploitasi Gas Metana Batubara.
(2)
Pengusahaan Gas Metana Batubara dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk IJsaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksaria.
(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama pengusahaan Gas Metana Batubara d~lakukanoleh Badan Pelaksana.
(1) Menteri menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok (terms and conditions) Kontrak Kerja Sama berdasarkan pertimbangan teknis dan keekonomian Wilayah Kerja Gas Metana Batubara yang bersangkutan. Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuari-ketentuan pokok yaitu: a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja Gas Metana Batubara dan pengembaliannya; c. kewajiban pengeluaran dana; d. perpindahan kepemilikan hasil produksi Gas Metana Batubara; e. jangka waktu kontrak dan kondisi perpanjangan kontrak; f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Gas Metana Batubara untuk pemenuhan kebutuhan dalam r~egeri; h. berakhirnya kontrak; i. kewajiban pasca operasi pertambangan; j.
keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup; I. pengalihan hak dan kewajiban; m. pelaporan yang diperlukan; n. rencana pengembangan lapangan; o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; p, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakal adat; '
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia; r. Gas Metana Batubara hasil ~kutanpengurasan air (dewatering); dan s. Proyek Percontohan (Pilot Project).
(3) Dalam ha1 Kontrak Kerja Sama berbentuk Kontrak Bagi Hasil, wajib mencantumkan keteniuan mengenai pengembalian biaya operasi.
1003
BAB Ill TATA CARA PENETAPAN DAN PENAWARAN WILAYAH KERJA GAS METAMA BATUBARA
Pengusahaan Gas Metana Batubara dapat dilakukan di Wilayah Terhuka Gas Metana Batubara, Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B, danlatau di Wilayah KP Batubara dengan luas maksimal 3.000 km2 (tiga ribu kilometer persegi). Pasal 8 Tata cara penyiapan, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Gas . Metana Batubara di Wilayah Terbuka Gas Metana Batubara, Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B, danlatau di Wilayah KP Batubara berlaku ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai Tata Cara Penetapan dan Penawarari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, kecuali ditetapkan lain dalam Peraturan Menteri ini.
(1)
Untuk penawaran Wilayah Kerja Gas Metana Batubara dari Wilayah Terbuka Gas Metana Batubara, Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B danlatau Wilayah KP Batubara, Menteri terlebih dahulu menetapkan Wilayah Kerja Gas Metaiia Batubara.
(2)
Dalam menetapkan Wilayah Kerja Gas Metana Batubara Menteri terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (I), melakukan konsultasi dengan Gubernur yang wilayah administrasinya meliput~Wilayah Kerja Gas Metana Batubara yang akan ditetapkan.
(3) Terhadap Wilayah Kerja Gas FAetana Batubara yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Direktorat Jenderal melaksanakan penawaran Wi!ayah Kerja melalui Lelang Wilayah Kerja atau lelang Penawaran Langsung Wilayah Kerja sesuai dengan Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Pasal 10 Gas Metana Batubara yang terdapat di Wilayah Terbuka Gas Metana Batubara atau di Wilayah Kerja Available, dapat diusulkan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dengan mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Studi Bersama kepada Direktur Jenderal sesuai dengan ketentuan peratul-an perundang-undangan ,mengenai Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
1004
Pasal 1I (1)
Gas Metana Batubara yang terdapat di dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bc~midapat diusahakan oleh Kontraktor Minyak dan Gas Bumi yang telah merrlenuhi komitmen pasti 3 (tiga) tahun pertama masa Eksplorasi di Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi tersebut.
(2)
Korrtraktor Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama kepada Direktur Jenderal. Pasal 12
(I)Terhadap Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP26, atau Pemegang KP Batubara yang kontraknya ditandatangani atau ijinnya dikeluarkan setelah adanya usulan Studi Bersama yang akan ditindaklanjuti dengan pengusahaan Gas Metana Batubara, Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP2B, atau Pemegang KP Batubara tidak mendapatkan hak kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung atas pengusahaan Gas Metana Batubara pada wilayah tersebut. (2)
Dalam ha1 di wilayah PKP2B atau wilayah KP Batubara telah diajukan untuk dilakukan Evaluasi Bersama dan kemudian wilayah tersebut ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor Minyak dan Gas Bumi pada Wilayah Kerja tersebut tidak mendapatkan hak atas kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung atas pengusahaan Gas Metana Batubara pada wilayah tersebut.
Pasal 13 (1)
Gas Metana Batubara yang terdapat di Wilayah PKP2B atau Wilayah MP Batubara dapat diusahakan oleh Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara yang telah melakukan kegiatan eksploitasi batubara paling sedikit 3 (tiga) tahun di Wilayah PKP2B atau 'Nilayah KP Batubara tersebut.
(2)
Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama kepada Direktur Jenderal.
'
(1)
Pasal 14
DaEam ha1 Gas Metana Batubara terdapat di Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dan Wilayah PKP2B atau di Wilayah KP Batubara, Kontraktor Minyak dan Gas Butni diberikan kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama kepada Direktur Jenderal.
1005
(2)
Kontraktor Minyak dan Gas Bumi yang berminat mengusahakan Gas Metana Batubara di Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (I), wajib mengajukan usulan pengusahaan Gas Metana Batubara kepada Direktur Jenderal.
(3)
Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kontraktor PKP2B atau Pernegang UP Batubara mengenai rencana pengusahaan Gas Metana Batubara oleh Kontraktor Minyak dan Gas Bumi. Pasal 15
(1)
Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara yang berminat mengusahakan Gas Metana Batubara di Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (I), dapat mengajukan usulan pengusahaan Gas FJletana Batubara kepada Direktur Jenderal.
(2)
Berdasarkan usulan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kontraktor Minyak dan Gas Bumi rencana pengusahaan Gas Metana Batubara oleh Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara, dan meminta klarifikasi kepada Kontraktor Minyak dan Gas Bumi mengenai minat untuk mengusahakan Gas Metana Batubara.
(3)
Dalam ha1 Kontraktor Minyak dan Gas Bumi tidak mengajukan usulan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan sebagaimaiia dimaksud pada ayat (2), kesempatan pertama Kontraktor Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak berlaku dan usulan Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. Pasal 16
Direktur Jenderal memberikan persetujuan Studi Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau Evaluasi Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 14, setelah melakukan klarifikasi kepada Pemerintah Daerah danlatau unit terkait untuk rnenginventarisasi titik-titik koordiriat batas Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B danlatau Wilayah KP Batclbara serta status pengusahaannya yang berada dalam wilayah ~ ~ s u l aStudi n Bersama atau Evaluasi Bersama. Pasal 17 Kontraktor Minyak dan Gas Bumi danlatau Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara yang melakukan pengusahaan Gas Metana Batubara wajib mendirikan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersendiri.
1006
Pasal 18 (1)
Dalam ha1 Pemerintah akan mengembangkan pengusahaan Gas Metana Batubara di Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batubara, Direktur Jenderal memberitahukan rencana pengembangan pengusahaan Gas Metana Batubara kepada Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP2B atau Ppmegang KP Batubara di wilayah yang bersangkutan. , I
(2)
Kontraktor M~nyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara yang berminat mengusahakan Gas Metana Batubara di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (I), wajib mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama paling lama 60 (enam puiuh) hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Direktur Jenderal.
(3)
Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara yang tidak mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap tidak berminat dan kesempatan pertama dinyatakan tidak berlaku, 'selanjutnya Direktur Jenderal menetapkan kebijakan pengusahaannya melalui Lelang. Pasal 19
(1)
Dalam ha1 Pemerintah akan mengembangkan pengusahaan Gas Metana Batubara di LVilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dan 1Vilayah PKP2B ,atau Wilayah KP Batubara, Direktur Jenderal memberitahukan rencana pengembangan pengusahaan Gas Metana Batubara kepada Kontraktor Minyak dan Gas Bumi sebagai pihak yany diberikan kesempatan pertama untuk mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama, dengan tembusan kepada Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara di wilayah yang bersangkutan.
(2)
Dalam ha1 Kontrahtor Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (I), ber'minat mengusahakan Gas Metana Batubara wajib mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama paling lama 60 (enarrl puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Direktur Jenderal.
(3)
Kontraktor Minyak dan Gas Bumi yang tidak mengajukan usulan Penawaran Langsung melalui Evaluasi Bersama dalam jangka waktl; paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap tidak berminat dan kesempatan pertama dinyatakan tidak berlaku, selanjutnya Direktur Jenderal memberitahukan I
(4)
Dalam hal Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara tidak mengajukan usulan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pemberitahuan, Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP dianggap tidak berminat atas Wilayah Kerja tersebut dan selanjutnya Direktur Jenderal menetapkan kebijakan pengusahaannya melalui Lelang. 1007
-
(1) Apabila hasil Evaluasi Bersama sebagaimana dilnaksud dalam Pasal 14 akan ditindaklanjuti Pasal II , Pasal 13, dan pengusahaannya, terhadap Wilayah Kerja dimaksud dilakukan lelang Penawaran Langsung dan pelaksana Evaluasi Bersama diberikan hak untuk melakukan perubahan penawaran (right to match) dengan ketentuan sekurang-kurangnya menyamai penawaran tertinggi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan rnengenai Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. (2)
Pelaksanaan Evaluasi Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 14 diberikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) hulan dan dapat diperpanjang I (satu) kali paling lama 4 (empat) bulan. Pasal21
Ketentuan mengenai Studi Bersama berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
Badan Usaha atal; Bentuk Usaha Tetap dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan Penawaran Langsuny Wilayah Kerja diterbitkan wajib menyerahkan jaminan pelaksanaan Evaluasi Bersama dari bank utama (Prime Bank) yang berkedudukan di Jakarta, sebesar US$ 1.000.000 (satu juta Dollar Amerika Serikat).
(1)
Dalam rangka merriperoleh hasil Evaluasi Bersama yang optimal yang didasarkan atas kaidah keteknikan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, Direktorat Jenderal dapat menyertakan unit di lingkungan Departemen dan pihak lain yang memiliki kemampuan dan keahlian danlatau Data.
(2)
Seluruh biaya dan risiko yang diperlukan dalam pelaksanaan Evaluasi Bersarna menjadi beban dan tanggung jawab Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pelaksana Evaluasi Bersama dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi Kontrak Kerja Sama.
(3)
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan pihak lain yang melakukan Evaluasi Bersarna wajib menjaga kerahasiaan Data yang dihasilkan dan digunakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Psrundang-undangan yang dituangkan dalam surat pernyataan kerahasiaan.
1008
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pelaksana Evaluasi Bersama yang tidak dapat menyelesaikan Evaluasi Bersama karena mengundurkan diri atau tidak dapat memenuhi ketentuan yang tercantum dalam surat persetujuan Penawaran Langsung Wilayah Kerja, maka surat persetujuan Penawaran Langsung Wilayah Kerja yang telah diterbitkan tersebut diriyatakan tidak berlaku dan Direktorat Jenderal berhak mencairkan jaminan pelaksanaan Evaluasi Bersama dan wajib disetor ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)
Dalam pelaksanaan Evaluasi Bersama, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyampaikan iaporan secara berkala dan laporan akhir Icepada Direktur Jenderal.
BAB IV PEMANFAATAN DATA DAN INFORMASI SERTA PENGGUNAAN SARAWA DAN FASlLlTAS
Kontraktor yang melakukan pengusahaan Gas Metana Batubara dalam melakukan kegiatannya dapat memanfaatkan data dan informasi yang dikuasai oleh Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor PKP2B, dan Pemegang KP Batubara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
(1)
Kontraktor yang melakukan pengusahaan Gas Metana Batubara dapat menggunakan sarana dan fasilitas untuk kegiatan operasional yang dimiliki oleh Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, dengan tetap mempertimbangkan efisiensi, keselamatan, dan kelancaran pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(2)
Penggunaan sarana dar~fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan untuk kegiatan yang terkait langsung dengan pengusahaan Gas Metana Batubara dengan prinsip pembebanan biaya operasi secara proporsional dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan danlatau laba.
(3)
Penggunaan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Badan Pelaksana. Pasal 27
(1)
a
Kontraktor yang melakukan pengusahaan Gas Metana Batubara dapat menggunakan sarana untuk kegiatan operasional yang dimiliki Kontraktor PKP2B danlatau Pemegang KP Batubara dengan tetap mempertimbangkan efisiensi, keselamatan, dan kelancaran pelaksanaan kegiatan Kontraktor PKP2B dan Pemegang KP Batubara. 1009
(2)
Penggunaan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan untuk kegiatan yang terkait langsung dengan pengusahaan Gas Metana Batubara berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan tetap menjadi tanggung jawab sepenuhnya Kontraktor PKP25 atau Pemegang KP Batubara.
RAB V PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN GAS METANA BATUBARA
'
(1)
L-embaga Penelitian atau lnstitusi Tertentu yang terkait dapat melakukan penelitian, pengkajian dan pengembangan Gas Metana Batubara pada Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia.
(2)
Pelaksanaan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang dilakukan oleh lnstitusi Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapatkan izin Direktur Jenderal.
(3) Terhadap penelitian, pengkajian dan pengembangan yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal setelah mendapat pertimbangan dari Lembaga Penelitian.
(4)
Hasil pelaksanaan penelitian, pengkajian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya pelaksanaan penelitian.
(5)
Dalam ha1 hasil penelitian, pengkajian dan pengembangan Gas Metana Batubara oieh Lembaga Penelitian dan lnstitusi Tertentu ditindaklanjuti pengusahaannya, maka wajib berpedoman pada Peraturan Menteri ini.
(6)
Hak dan kewa)iban yang timbul dalam pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) clitetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1)
Dalam ha1 terjadi perselisihan antara Kontraktor Gas Metana Batilbara dengan Kontraktor Minyak dan Gas Bumi atau Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara, perselisihan diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat.
(2)
Dalam ha1 musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, Menteri dapat memfasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (I). 1010
(3)
Dalam ha1 penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan diselesaikan rnelalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
BAB VII KETENTUAN GASMETANABATUBARA SEBAGAI SUMBER DAYA IKUTAN
(1) Dalam ha1 Perusahaan atau Perseorangan yang melakukan pengusahaan Batubara di Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batubara terdapat Gas Metana Batubara sebagai sumber daya ikutan (Gas Metana Batubara yang berasal dari pertambangan bawah tanah) dan akan diusahakan secara komersial, tunduk pada Peraturan Menteri ini. (2)
Dalam ha1 Perusahaan atau Perseorangan yang melakukan pengusahaan Batubara cli Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batubara terdapat Gas Metana Batubara sebagai sumber daya ikutan (Gas hletana Batubara yang berasal dari pertambangan bawah tanah) darl akan digunakan sendiri, wajib melaporkan kepada Menteri.
(3)
Dalam ha1 Perusahaan atau Perseorangan yang melakukan pengusahaan Batubara di Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batcrbara terdapat Gas Metana Batubara sebagai sumber daya ikutan (Gas Metana Batubara yang berasal dari pertambangan bawah tanah) dan dibakar (flared), wajib mendapatkan persetujuan Menteri.
(4)
Dalam ha1 Perusahaan atau Perseorangan yang melakukan pengusahaan batubara di Wilayah PKP2B atau Wilayah KP Batubara terdapat Gas Metalla Batubara sebagai sumber daya ikutan (Gas Metana Batubara yang berasal dari pertambangan bawah tanah) dan akan dimanfaatkan untuk pengembangan rnasyarakat setempat, wajib mendapat persetujuan Menteri rnengenai perencanaannya.
BAB Vlll PEMANFAATAN GAS METANA BATUBARA UNTUK KEBUTUHAN DALAM NEGERI
,
Gas Metana Batubara yang merupakan hasil dari kegiatan pengusahaan Gas Metana Batubara, pemanfaatannya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
1011
I
BAB IX
,
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku : a. terhadap permohonan Evaluasi Bersama atau Studi Bersama yang telah diajukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan telah mernenuhi persyaratan, diproses sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 033 Tahun 2006 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara; b. terhadap permohonan Evaluasi Bersama atau Studi Bersama yang telah diajukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan belum memenuhi persyaratan, Pemohon wajib mengajukan permohonan baru sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini; c. terhadap Kontraktor Minyak dan Gas Bumi yang kontraknya ditandatangani setelah adanya usulan Evaluasi Bersama oleh Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara, Kontraktor Minyak dan Gas Bumi tidak mendapat hak kesempatan pertama atas pengusahaan Gas MetanlaBatubara.
(1)
Pada saat Peraturarl Menteri ini berlaku terhadap permohonan atau pelaksanaan Evaluasi Bersama pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dan Wilayah PKPZB atau Wilayah KP Batubara yang belum dicapai kesepakatan pengulsahaannya antara Kontraktor Minyak dan Gas Bumi clan I
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini, kesepakatan pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka Menteri meminta Kontraktor Minyak dan Gas Bumi, dan Kontraktor PKP2B, atau Pemegang KP Batubara untuk menyampaikan jaminan kesungguhan masing-masing sebesar US$ 1.000.000 (satu juta dollar Amerika Serikat). (3)
Apabila setelah jangka waktu I (satu) bulan sejak Menteri meminta jaminan kesungguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya salah satu dari Kontraktor Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor PKP2B atau Pemegang, KP Batubara yang menyampaikan jaminan kasungguhan, maka Kontraktor Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor PKP2B 3tau Pemegang KP Batubara yang menyerahkan jaminan kesungguflan mendapatkan hak untuk mengajukan usulan pengusahaannya. 1012
(4)
Dalam ha1 Kontraktor Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara belum atau telah menyampaikan jaminan kesungguhan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (3) dan masih belum tercapai kesepakatan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak kewajiban penyampaian jaminan kesungguhan sebagaimana dirrlaksud pada ayat (3), jaminan kesungguhan tersebut dikembalikan kepada pembayar jaminan dan Wilayah Kerja dilelang.
(5) Dalam ha1 tercapai kesepakatan pengusahaan antara Kontraktor Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor PKP2B atau Pemegang KP Batubara, maka jaminan kesungguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pembayar jaminan.
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku terhadap pelaksanaan penelitian, pengkajian dan pengembangan Gas Metana Batubara yang telah dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Dnstitusi Tertentu sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri irli dapat tetap dilaksanakan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menieri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. BAB X KETENTUANPENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 033 Tahun 2006 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta datanggal 1 2 N o v e m b e r
2008
TERl ENERGI DAN SlJMBER DAYA MINERAL,
1013
DEPARTEMEN ENERGI BAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0 2 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUM1 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberi pedoman yang komprehensif dalam penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi, perlu mencabut dan mengganti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 005 Tahun 2007 tanggal 12 Juli 2007 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4327);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (tembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3934); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4777); 4. Keputusan Presiden Nomor 187lM Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77lP Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007; 5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; 6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2008 tanggal 21 April 2008 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi;
1014
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI. BAB l KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
I.Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta wilayah kerja. 2. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam lzin Usaha Pertambangan Panas Bumi. 3. Wilayah Terbuka adalah bagian Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia yang belum ditetapkan sebagai Wilayah Kerja. 4. Penugasan Survei Pendahuluan adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan Survei Pendahuluan yang diberikan oleh Menteri.
5. Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan adalah wilayah penugasan yang ditandai oleh titik potensi dan dibatasi oleh koordinat.
6. Badan Usaha adalah Pihak Lain yang berbadan hukum Indonesia serta mempunyai keahlian dan kemampuan untuk melakukan Penugasan Survei Pendahuluan. 7. Sistem lnformasi Wilayah Kerja, selanjutnya disebut SIWK, adalah suatu sistem database Wilayah Kerja yang memuat informasi seluruh titik potensi, Wilayah Kerja, wilayah kerja yang dikembalikan atau wilayah kerja yang berakhir izin atau kontrak kerja samanya. 8. Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan adalah peta yang memuat titik potensi, data dan informasi serta batas koordinat Penugasan Survei Pendahuluan. 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha pertambangan panas bumi. 10.Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha pertambangan panas bumi. 11.Badan Geologi adalah Badan yang kewenangannya meliputi kegiatan geologi.
1015
bidang
tugas
dan
BAB II PENETAPAN WllAYAH PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN
(1) Penugasan Survei Pendahuluan diberikan dalam rangka pelaksanaan program percepatan pengembangan Panas Bumi pada Wilayah Terbuka yang belum dapat ditetapkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengatur tata cara penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi. (2) Kriteria untuk menetapkan Wilayah Terbuka menjadi Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a.wilayah tersebut mempunyai potensi panas bumi yang besar danlatau kebutuhan listrik di daerah tersebut tinggi; b. wilayah potensi panas bumi yang telah mempunyai infrastruktur serta jaringan transmisi nasional yang memadai; atau c. wilayah tertinggal (frontier/remote area) yang secara potensi dan teknis apabila dikembangkan potensi panas bumi di daerah tersebut akan membawa multiplier effect yang signifikan.
(1) Menteri menetapkan Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2.
(2) Direktur Jenderal Pendahuluan.
menyiapkan
Wilayah
Penugasan
Survei
(3) Gubernur, bupatilwalikota atau Badan Usaha dapat mengusulkan kepada Menteri suatu wilayah tertentu untuk dilakukan Penugasan Survei Pendahuluan. (4) Dalam ha1 gubernur, bupatilwalikota atau Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bermaksud mengusulkan suatu wilayah tertentu untuk dilakukan Penugasan Survei Pendahuluan wajib mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(5) Direktur Jenderal mengusulkan Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) untuk ditetapkan menjadi Wilayah Survei Pendahuluan oleh Menteri setelah melakukan koordinasi dengan Badan Geologi.
( 1 ) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja, Menteri dapat menugaskan Badan Usaha untuk melakukan Survei Pendahuluan. (2) Badan Usaha yang dapat melakukan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, atau Swasta.
1016
(1) Pelaksanaan Penugasan Survei Pendahuluan dilakukan melalui Penawaran Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Usaha. (2) Pelaksanaan Penawaran Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal dengan cara :
a. pengumuman Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan melalui media cetak, media elektronik dan media lainnya; atau b. promosi Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dalam berbagai forum baik nasional maupun internasional. (3) Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diintegrasikan dalam SIWK.
BAB Ill TATA CARA PERMOHONAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN
(1) Badan Usaha yang berminat melakukan Survei Pendahuluan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal untuk mendapatkan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan.
(2) Badan Usaha yang telah mendapatkan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja wajib mengajukan permohonan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Badan Geologi, gubernur dan bupatilwalikota. (3) Badan Usaha yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melampirkan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan, persyaratan administratif, teknis, dan keuangan.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : a. identitas pemohonlakte pendirian perusahaan; b. profit perusahaan; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : a. rencana teknis kegiatan selama Survei Pendahuluan; b. kemampuan teknis operasional dengan menunjukkan pengalaman di bidang Panas Bumi; danlatau c. mempunyai tenaga ahli di bidang Panas Bumi. (6) Persyaratan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi : a. rencana kerja dan anggaran biaya;
1017
b. bukti kepemilikan dana yang akan digunakan untuk Survei Pendahuluan selama jangka waktu Penugasan Survei Pendahuluan dalam bentuk garansi bank (bank guarantee), deposit0 atau dana hutang siap pakai (standby loan).
(7) Setiap Badan Usaha hanya dapat melakukan Penugasan Survei Pendahuluan di 1 (satu) Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan.
(1) Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) menjadi dasar dalam pemrosesan penerbitan Penugasan Survei Pendahuluan. (2) Pemrosesan permohonan Penugasan Survei Pendahuluan menerapkan sistem permohonan pertama yang telah mendapatkan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) ,dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan keuangan mendapatkan prioritas pertama untuk mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan (first come first sewed). BAB IV PETA WlLAYAH PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN
(1) Pelaksanaan permohonan Pencetakan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan di unit kerja pengelola SIWK yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. (2) Badan Usaha harus mengisi formulir isian untuk Pencetakan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan mengikuti tata cara pencetakan peta yang berlaku di unit kerja pengelola SIWK. (3) Biaya pelayanan pencetakan Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
) Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan digambarkan dalam peta situasi dengan skala plano dalam kertas ukuran F4 dan menggambarkan : a. titik potensi panas bumi; b. batas koordinat;
c. lokasi dan batas administratif; d. informasi status lahan; e. f. g. h.
keterangan dan legenda peta; skala garis; nama-nama unsur geografis; sumber peta; dan 1018
i. waktu Pencetakan Pendahuluan.
Peta
Wilayah
Penugasan
Survei
(2) Sistem koordinat pemetaan Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN '95) yang mempunyai nilai parameter sama dengan parameter Ellipsoid World Geodetic System 1984 (EWGS84). (3) Dasar penetapan Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan yang diberikan kepada Badan Usaha berdasarkan peta distribusi potensi panas bumi yang dikeluarkan Badan Geologi atau usulan gubernur, bupatilwalikota atau Badan Usaha yang telah disetujui oleh Direktorat Jenderal setelah berkoordinasi dengan Badan Geologi. (4) Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan digambarkan dalam bentuk dan koordinat sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan II Peraturan Menteri ini. BAB V PENETAPAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN Pasal 10 (1) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak dikeluarkannya Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan, Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak mengajukan permohonan kepada Menteri atau mengajukan permohonan dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6)' wilayah tersebut dinyatakan sebagai Wilayah Terbuka dan ditawarkan kepada Badan Usaha pemohon berikutnya yang memenuhi persyaratan. (2) Direktur Jenderal memberikan penilaian atas permohonan yang diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Sebelum Direktur Jenderal melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Usaha wajib melakukan presentasi Rencana Kegiatan, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya sesuai persyaratan teknis dan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal6 ayat (5) dan ayat (6). (4) Apabila hasil penilaian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal mengusulkan kepada Menteri untuk memberikan persetujuan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Usaha termasuk peta wilayah penugasan survei pendahuluan. (5) Apabila hasil penilaian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal memberikan penolakan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Usaha.
1019
(6) Direktur Jenderal wajib menyelesaikan penilaian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak Badan Usaha mengajukan permohonan penugasan Survei Pendahuluan. Pasal 11 Bagan Alir Permohonan Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Ill Peraturan Menteri ini. BAB VI PELAKSANAAN PENUGASAN SURVEl PENDAHULUAN Pasal I 2 (1) Dalam ha1 Menteri memberikan persetujuan Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Badan Usaha yang mendapat Penugasan Survei Pendahuluan wajib melaksanakan kegiatan survei berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. (2) Pelaksanaan Survei Pendahuluan oleh Badan Usaha dilaksanakan pada Wilayah Terbuka dan atas biaya dan resiko sendiri.
(3) Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat : a. nama Badan Usaha; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. penanggung jawab; d. alamat; e. jangka waktu Penugasan Survei Pendahuluan; f. Peta Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan; dan g. hak dan kewajiban Badan Usaha. (4) Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 13
(I) Badan Usaha yang telah mendapat Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib melaksanakan kegiatan survei sesuai Rencana Kegiatan, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya yang telah dievaluasi oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal10. (2) Dalam ha1 Badan Usaha penerima Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan mengubah Rencana Kegiatan, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Penugasan Survei Pendahuluan wajib mendapat persetujuan Direktur Jenderal. (3) Dalam ha1 Badan Usaha penerima Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan mengubah Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan wajib mendapat persetujuan Direktur Jenderal.
1020
(4) Direktur Jenderal memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Badan Geologi. Pasal 14 (1) Badan Usaha yang melakukan Penugasan Survei Pendahuluan wajib : a. menyimpan dan mengamankan data hasil Penugasan Survei Pendahuluan sampai dengan berakhirnya penugasan; dan b. merahasiakan data yang diperoleh dan menyerahkan seluruh data kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal setelah berakhirnya penugasan. (2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dievaluasi oleh Direktorat Jenderal. Pasal 15 (1) Pelaksanaan penyerahan hasil kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dilaksanakan setelah dilakukan evaluasi dan dituangkan dalam suatu Berita Acara yang ditandatangani oleh Badan Usaha dan Direktorat Jenderal. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur tata cara penetapan wilayah kerja.
(3) Hasil kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) digunakan sebagai pertimbangan dalam perencanaan penetapan Wilayah Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Direktur Jenderal menyerahkan hasil kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dalam bentuk data fisik dan digital kepada Badan Geologi dan Pusat Data dan lnformasi Energi dan Sumber Daya Mineral. Pasal 17 (1) Dalam ha1 ada 2 (dua) atau lebih Penugasan Survei Pendahuluan oleh Badan Usaha yang berbeda dan ternyata merupakan 1 (satu) sistem panas bumi, kedua Badan Usaha tersebut agar menyelesaikan secara mufakat sesuai dengan etika bisnis dan difasilitasi oleh Direktur Jenderal.
(2) Dalam ha1 tidak tercapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Direktur Jenderal menetapkan keputusan untuk penyelesaian masalah tersebut dan keputusan tersebut bersifat final.
1021
Pasal 18 Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 19 Penugasan Survei Pendahuluan dapat dicabut oleh Menteri apabila Badan Usaha yang mendapat Penugasan Survei Pendahuluan: a. melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam Penugasan Survei Pendahuluan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau b. tidak menaati petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (I).
Sebelum Menteri melakukan pencabutan Penugasan S u ~ e i Pendahuluan, Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan teguran tertulis terlebih dahulu kepada Badan Usaha yang melanggar ketentuan atau tidak menaati petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a atau huruf b. Pasal 21 Segala kerugian yang timbul sebagai akibat dicabutnya Penugasan Survei Pendahuluan, menjadi beban Badan Usaha yang bersangkutan. BAB Vl ll KETENTUAN LAIN-LA1N
(1) Badan Usaha yang mendapat Penugasan Survei Pendahuluan tidak secara langsung mendapatkan Wilayah Kerja. (2) Badan Usaha yang mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan wajib untuk mengikuti pelelangan wilayah kerja, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penawaran pelelangan Wilayah Kerja.
(3) Setiap Badan Usaha yang mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan sebelum dan sesudah Peraturan Menteri ini diterbitkan, dikenai pembayaran harga dasar data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1022
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN (1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku : a. terhadap Penugasan Survei Pendahuluan yang diberikan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya Penugasan Survei Pendahuluan dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. b. terhadap permohonan Penugasan Survei Pendahuluan yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dan telah memenuhi persyaratan diproses sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 005 Tahun 2007 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi. (2) Setiap Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengusahakan lebih dari I (satu) Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan wajib membentuk Badan Usaha baru untuk mengikuti lelang Wilayah Kerja. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 005 Tahun 2007 tanggal 12 Juli 2007 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta paciatanggal 3 0 J a n u a r i 2009 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. PURNOMO YUSGIANTORO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 J a n u a r i 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASl MANUSIA, ttd. AN Dl MATALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 11 Salinan sesuai dengan aslinya
1023
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0 2 TAHUN 2009 TANGGAL: 30 J a n u a r i 2009
=
PETA PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN DI DAERAH I
I
I
PETA PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUM1 Dl DAERAH .......................... KABUPATEN ....................................... PROVlNSl
........................
Koordinat
-
U
Q SU.Garis) SKAIA I : W.WO
KETERANGAN
NOMORIKETERANGANLOKASI
Tingkat Penyelld~kanGeosams Pdens~SwnberdayalCadingan
Gambar Peta
W e
Keterangan pengeluaranpeta deh Direktorat Jenderal
-
LEGENDA & KETERANGAN PETA: SUMBER PETA : 1. 2. PETA INDEKS
Waktu pencetakan peta 1. P e m o h o n 2. Hari dan tanggal proses
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, :
ttd .
3. Jam proses 4. Operator 5. Catatan
PURNOMO YUSGIANTORO Salinan sesuai dengan aslinya
1024
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 02 TAHUN 2009 TANGGAL: 3 0 Januari 2009 KOORDINAT WILAYAH PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUM1 Dl DAERAH ............. LOKASI - PROVlNSl - KABUPATEN - POTENSI ENERGI - KODE WILAYAH - LUAS WILAYAH
: PANAS BUM1 : ............ : ............ HEKTARE
GARIS BUJUR (BUJUR TlMUR (BT))
NO. TITI K 0
I
.............
.............
I
19
1
I
I
0
I
3 LINTANG (LINTANG UTARA (LU) I LINTANG SELATAN (LS)) 1, LU I LS I
I
I
I
I
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
ttd. PURNOMO YUSGIANTORO
1025
LAMPIRAN Ill PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0 2 TAHUN 2 0 0 9 TANGGAL : $ 0 J a n u a r i 2 0 0 9
BAGAN ALlR PERMOHONAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN
3 BADAN USAWA
MENTERI
t
1. Peta; 2. Syarat-syarat.
1
A
A
2 4
, DIREKTUR JENDERAL c.q.
Keterangan : 1. Badan usaha yang telah mendapatkan Peta Wilayah Survei Pendahuluan wajib mengajukan permohonan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja dengan melengkapi persyaratan administratif, teknis dan keuangan.
2. Direktur Jenderal memberikan penilaian dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja dan menyampaikan hasil penilaian kepada Menteri. 3. Menteri memberikan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Usaha. 4. Apabila hasil penilaian tidak memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal memberikan penolakan Penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Usaha.
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
ttd. PURNOMO YUSGIANTORO
Salinan sesuai dengan aslinya DAYA MINERAL
Prawira
" i,
-.
-L-F..-/"-d
&,-Y
1026
MEMTERI ENERGl DAN SWMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 28 T A H U N 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3817);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2000 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4279); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4724); 5. Undang-Undang Nomar 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4756); 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4866);
1027
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4959); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah KabupatenIKota (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4737); 9. Keputusan Presiden Nomor 187lM Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77lP Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007; 10.Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energ] dan Sumber Daya Mineral; MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.
BAB l KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan. 2. Usaha Jasa Pertambangan adalah usaha jasa yang kegiatannya berkaitan dengan tahapan danlatau bagian kegiatan usaha pertambangan. 3. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti adalah usaha jasa selain usaha jasa pertambangan yang memberikan pelayanan jasa dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan.
4. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pascatambang. 5. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
1028
6. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
7. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. 8. Konstruksi Pertambangan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 9. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral danlatau batubara dan mineral ikutannya.
10. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral danlatau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. 11. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral danlatau batubara dari daerah tambang danlatau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 12. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 13. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 14. Lingkungan Pertambangan adalah lindungan lingkungan pertambangan yang merupakan instrumen untuk memproteksi lingkungan hidup yang terkena dampak kegiatan usaha pertambangan pada wilayah sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. 15. Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja, dan bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). 16. lzin Usaha Jasa Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUJP, adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha Jasa Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan. 1029
17. Surat Keterangan Terdaftar, yang selanjutnya disebut SKT, adalah surat keterangan tanda terdaftar yang diberikan kepada Perusahaan Usaha Jasa Pertambangan Non Inti.
18. Klasifikasi adalah penggolongan bidang usaha jasa pertambangan berdasarkan kategori konsultan, perencana, pelaksana dan pengujian peralatan. 19. Kualifikasi adalah penggolongan usaha jasa pertambangan berdasarkan kemampuan jenis usaha jasa pertambangan yang dapat dikerjakan. 20. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum lndonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21. Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal adalah perusahaan jasa yang berbadan hukum lndonesia atau bukan berbadan hukum, yang didirikan di kabupatenlkota atau provinsi, yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri dan beroperasi dalam wilayah kabupatenlkota atau provinsi yang bersangkutan. 22. Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional adalah perusahaan yang didirikan dan berbadan hukum lndonesia yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri dan beroperasi di wilayah Republik lndonesia atau di luar wilayah Republik Indonesia.
23. Perusahaan Jasa Pertambangan Lain adalah perusahaan yang didirikan dan berbadan hukum lndonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 24. lzin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
25. lzin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 26. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
27. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
(1) Penyelenggaraan usaha jasa pertambangan bertujuan untuk : a. menunjang kelancaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan; usaha jasa b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pertambangan darn meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan;
1030
c.
mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi lokal dalam usaha pertambangan melalui usaha jasa pertambangan dengan mewujudkan kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil.
(2) Penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dilaksanakan dengan memperhatikan dimaksud pada ayat (I) ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang meliputi teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, lindungan lingkungan pertambangan, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya. BAB ll BENTUK, JENlS DAN BIDANG Bagian Kesatu Bentuk
(1) Pelaku usaha jasa pertambangan dapat berbentuk :
a. badan usaha, yang terdiri atas : I ) Badan Usaha Milik Negara; 2) Badan Usaha Milik Daerah; 3) badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas.
b. koperasi; atau c. perseorangan yang terdiri atas : I ) orang perseorangan; 2) perusahaan komanditer; 3) perusahaan firma. (2) Berdasarkan wilayah kerjanya pelaku usaha jasa pertambangan dikelompokkan dalam : a. Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal; b. Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional;
c. Perusahaan Jasa Pertambangan Lain.
(3) Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi : a. Badan Usaha Milik Daerah; b. badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; c. koperasi; d. perusahaan komanditer; e. perusahaan firma; f. orang perseorangan, yang beroperasi terbatas di wilayah kabupatenlkota atau provinsi tersebut. 1031
(4) Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi : a. Badan Usaha Milik Negara; b. badan usaha swasta berbentuk Perseroan Terbatas; c. orang perseorangan, Bagian Kedua Jenis dan Bidang Pasal4 ( I ) Pengusahaan Jasa Pertambangan dikelompokkan atas : a. Usaha Jasa Pertambangan; dan b. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti. (2) Jenis Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang : 1. penyelidikan umum; 2. eksplorasi; 3. studi kelayakan; 4. konstruksi pertambangan; 5. pengangkutan; 6. lingkungan pertambangan; 7. pascatambang dan reklamasi; danfatau 8. keselamatan dan kesehatan kerja. b. Konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang : I . penambangan; atau 2. pengolahan dan pemurnian. (3) Bidang Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas sub bidang sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(4) Bidang Usaha Jasa Pertambangan Non Inti adalah bidang usaha selain bidang usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
BAB Ill PENGGUNAAN DAN KEGIATAN JASA PERTAMBANGAN
(1) Pemegang IUP atau IUPK dalam melakukan kegiatan usahanya dapat menggunakan jasa pertambangan setelah rencana kerja kegiatannya mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya.
1032
(2) Pemegang IUP atau IURK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal danlatau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional. (3) Dalam ha1 tidak terdapat Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal danlatau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain.
(4) Pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah melakukan pengumuman ke media massa lokal danlatau nasional tetapi tidak ada Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal danlatau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional yang mampu secara finansial danlatau teknis. (5) Dalam ha1 Perusahaan Jasa Pertambangan Lain mendapatkan pekerjaan di bidang jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Perusahaan Jasa Pertambangan Lain harus memberikan sebagian pekerjaan yang didapatkannya kepada Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal sebagai sub kontraktor sesuai dengan kompetensinya. (6) Pemegang IUP atau IUPK dalam menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menerapkan asas kepatutan, transparan dan kewajaran.
Dalam ha1 pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan berbentuk orang perseorangan hanya dapat melakukan kegiatan jasa pertambangan sebagai berikut : a. jenis usaha jasa pertambangan konsultasi atau perencanaan; danlatau b. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti.
(1)Setiap pemegang IUP atau IUPK yang akan memberikan pekerjaan kepada perusahaan jasa pertambangan didasarkan atas kontrak kerja yang berasaskan kepatutan, transparan dan kewajaran.
(2) Pemegang IUP atau IUPK dilarang menerima imbalan (fee) dari hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa pertambangan.
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan danlatau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri.
1033
( 2 ) Anak perusahaan daniatau afiliasinya sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) merupakan badan usaha, yang mempunyai kepemilikan saham langsung dengan pemegang IUP atau IUPK. ( 3 ) Persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila :
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah kabupatenlkota danlatau provinsi tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat atau mampu, berdasarkan kriteria : 1 . memiliki investasi yang cukup;
2. memiliki modal kerja yang cukup; dan 3. memiliki tenaga pertambangan,
kerja
yang
kompeten di
bidang
sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh pemegang IUP atau IUPK. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah pemegang IUP atau IUPK :
a. melakukan pengumuman lelang jasa pertambangan ke media massa lokal danlatau nasional tetapi tidak ada yang berminat atau mampu secara finansial dan teknis; b. menjamin tidak adanya transfer pricing atau transfer profit dan telah dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan persetujuan keikutsertaan anak perusahaan danlatau afiliasinya dalam usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal. Pasal 10
(1) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan sendiri kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian. (2) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi dapat menyerahkan kegiatan penambangan kepada usaha jasa pertambangan terbatas pada kegiatan : a. pengupasan lapisan (stripping) batuan penutup; dan b. pengangkutan mineral atau batubara. ( 3 ) Pengupasan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) huruf a terdiri dari kegiatan penggalian, pemuatan dan pemindahan lapisan (stripping) batuan penutup dengan danlatau didahului peledakan.
Pasall1 (1) Penggunaan Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemegang IUP atau IUPK. 1034
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, dan lindungan lingkungan pertambangan. BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN Bagian Kesatu Klasifikasi dan Kualifikasi Pasal 12 (1) Pelaku Usaha Jasa Pertambangan harus mendapatkan klasifikasi dan kualifikasi dari lembaga independen yang dinyatakan dengan sertifikat. (2) Dalam ha1 lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk maka klasifikasi dan kualifikasi dilakukan oleh Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 13 (1) Klasifikasi Usaha Jasa Pertambangan terdiri atas : a. konsultan; b. perencana; c. pelaksana; dan d. penguji peralatan, pada bidang jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal4. (2) Klasifikasi usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) huruf c dalam pelaksanaan kegiatannya disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 14 (1) Kualifikasi usaha jasa pertambangan terdiri atas : a. besar; dan b. kecil.
(2) Kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut : a. kualifikasi besar apabila memiliki kekayaan bersih di atas Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan b. kualifikasi kecil apabila memiliki kekayaan bersih paling besar sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
1035
Bagian Kedua Perizinan Pasal 15 (1) Pelaku usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan kegiatannya setelah mendapatkan IUJP dari Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya. (2) IUJP diberikan oleh Menteri kepada pelaku usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c, dan ayat (4) untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan di seluruh wilayah Indonesia. (3) IUJP diberikan oleh gubernur kepada pelaku usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, dan ayat (3) untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
(4) IUJP diberikan oleh bupatilwalikota kepada pelaku usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, dan ayat (3) untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan dalam wilayah kabupatenlkota yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Pelaku Usaha Jasa Pertambangan Non lnti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dapat melakukan kegiatannya setelah mendapatkan SKT dari Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) SKT diberikan oleh Menteri kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan Non lnti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan Non lnti di seluruh wilayah Indonesia. (3) SKT diberikan oleh gubernur kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan Non lnti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan Non lnti dalam wilayah provinsi rang bersangkutan.
(4) SKT diberikan oleh bupatilwalikota kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan Non lnti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan Non lnti dalam wilayah kabupatenlkota yang bersangkutan. Pasal 17 (1) IUJP atau SKT diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan atas permohonan yang bersangkutan dapat diperpanjang. (2) Permohonan perpanjangan IUJP atau SKT harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sebelum IUJP atau SKT berakhir. 1036
(3) IUJP atau SKT yang telah diberikan kepada pelaku usaha jasa pertambangan dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. (4) IUJP atau SKT diberikan berdasarkan permohonan : a. baru; b. perpanjangan; atau c. perubahan.
(5) Permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diajukan apabila terjadi perubahan : a. klasifikasi; danlatau '
b. kualifikasi. Pasal 18
Permohonan IUJP sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (4) diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan format dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II A, Lampiran II B, Lampiran II C, dan Lampiran II D Peraturan Menteri ini. Pasall9 Permohonan SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan format dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Ill A, Lampiran Ill B, Lampiran Ill C, dan Lampiran Ill D Peraturan Menteri ini. Pasal' 20 (1) Dalam ha1 permohonan IUJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau permohonan SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 telah lengkap dan benar, Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi sebelum memberikan persetujuan atau penolakan lUJP atau SKT. (2) Proses pemberian persetujuan atau penolakan IUJP atau SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Pasal 18 dan Pasal 19 ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak permohonan dan persyaratan diterima dengan lengkap dan benar.
(I) Dalam ha1 berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, ternyata diperlukan klarifikasi lebih lanjut, khusus untuk permohonan usaha jasa pertambangan dengan klasifikasi Pelaksana dan Penguji peralatan dapat dilakukan verikasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya.
1037
Pasal 22 IUJP atau SKT berakhir apabila : a. jangka waktu berlakunya telah berakhir dan tidak diajukan permohonan perpanjangan; b. diserahkan kembali oleh pemegang IUJP atau SKT dengan pernyataan tertulis sebelum jangka waktu IUJP atau SKT berakhir; c. dicabut oleh pemberi IUJP atau SKT.
Bagian Ketiga Kewajiban Pasal23 Pemegang IUJP atau SKT dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib : a. menggunakan produk dalam negeri; b. menggunakan sub kontraktor lokal;
c. menggunakan tenaga kerja lokal; d. melakukan kegiatan sesuai dengan jenis dan bidang usahanya; e. menyampaikan setiap dokumen kontrak jasa pertambangan dengan pemegang IUP atau IUPK; f. melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. mengoptimalkan pembelanjaan lokal baik barang maupun jasa pertambangan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha jasanya; h. melaksanakan ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. membantu program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi peningkatan pendidikan dan pelatihan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi lokal; dan
j.
menyusun dan menyampaikan laporan kegiatan kepada pemberi IUJP atau SKT. Pasal24
(1) Kewajiban penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf j berupa laporan pelaksanaan kegiatan : a. triwulan; dan b. tahunan. (2) Laporan triwulan dan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. investasi; b. nilai kontrak; c. realisasi kontrak; d. pemberi kontrak; e. tenaga kerja; 1038
f. g. h. i. j.
peralatan (masterlist); penerimaan negara; penerimaan daerah; pembelanjaan lokal, nasional danlatau impor; dan pengembangan masyarakat (Community Development).
(3) Bentuk dan tata cara laporan triwulan dan tahunan IUJP disusun berdasarkan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B Peraturan Menteri ini. (4) Bentuk dan tata cara laporan triwulan dan tahunan SKT disusun berdasarkan format sebagaimana tercantum dalam tampiran IV C Peraturan Menteri ini. Pasal25
(1) Pelaku Usaha Jasa Pertambangan atau Usaha Jasa Pertambangan Non Inti wajib mempunyai penanggung jawab operasional di lapangan untuk menjamin aspek teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, lindungan lingkungan pertambangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penanggung jawab operasional sebagaimana dimaksud pada bertangggung jawab kepada Kepala Teknik Tambang. ayat (I), Pasal 26 (1) Pemegang IUJP atau SKT yang diterbitkan oleh Menteri wajib melaporkan IUJP atau SKTnya kepada gubernur atau bupatilwalikota tempat kegiatan usahanya.
(2) Pemegang IUJP atau SKT yang diterbitkan oleh gubernur wajib melaporkan IUJP atau SKTnya kepada bupatilwalikota tempat kegiatan usahanya. BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan
(1) Menteri melakukan pembinaan kepada gubernur bupatilwalikota dalam menyelenggarakan usaha pertambangan.
dan jasa
(2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan kepada bupatilwalikota dalam menyelenggarakan usaha jasa pertambangan. (3) Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan kepada pemegang IUJP dan SKT. (4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara :
1039
a. memberikan penyuluhan tentang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa pertambangan; b. memberikan informasi, pelatihan dan bimbingan tentang ketentuan teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan serta lindungan lingkungan pertambangan;
c. melakukan evaluasi untuk tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan usaha jasa pertambangan. Pasal 28 (1) Gubernur wajib menyampaikan laporan pembinaan penyelenggaraan jasa pertambangan di lingkup wilayahnya kepada Menteri.
(2) Bupatilwalikota wajib menyampaikan laporan pembinaan penyelenggaraan jasa pertambangan di lingkup wilayahnya kepada gubernur. Bagian Kedua Pengawasan
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan oleh gubernur dan bupatilwalikota. (2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan Jasa pengawasan terhadap penyelenggaraan Usaha Pertambangan oleh bupatilwalikota.
(3) Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan kepada pemegang IUJP atau SKT. (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pengawasan administrasi dan teknis.
(1) Gubernur wajib menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan jasa pertambangan dilingkup wilayahnya kepada Menteri. (2) Bupatilwalikota wajib menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan jasa pertambangan dilingkup wilayahnya kepada gubernur.
BAB VI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal31 (1) Menteri, gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUJP atau SKT yang melakukan pelanggaran sebagai berikut : 1040
a. melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan IUJP atau SKT; atau b. tidak menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan triwulan 3 (tiga) kali berturut-turut; c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal23 sampai dengan Pasal26; d. memberikan data yang tidak benar atau memalsukan dokumen. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan atas sebagian atau seluruh bidang jasa pertambangan; atau c. pencabutan IUJP atau SKT. Pasal 32 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dikenakan kepada pemegang IUJP atau SKT yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 2 (kali) kali, dengan jangka waktu peringatan masing-masing paling lama I(satu) bulan.
( I ) Dalam ha1 pemegang IUJP atau SKT sampai berakhir jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) belum melaksanakan kekewajibannya, Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan atas sebagian atau seluruh bidang jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal31 ayat (2) huruf b. (2) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan atas sebagian atau seluruh bidang usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut apabila pemegang IUJP atau SKT dalam masa pengenaan sanksi telah memenuhi kewajiban yang telah ditentukan.
Sanksi administratif berupa pencabutan IUJP atau SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c, dikenakan kepada pemegang IUJP atau SKT yang tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan atas sebagian atau seluruh bidang jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2). 1041
Pasal 35 Dalam ha1 dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang disampaikan oleh pemegang IUJP atau SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dinilai tidak benar, maka Menteri, gubernur, atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut IUJP atau SKT. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal36 (1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, IUJP yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini tetap berlaku sampai berakhirnya masa perizinannya dan dalam pelaksanaannya wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. (2) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, pemegang Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah menggunakan perusahaan jasa pertambangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. (3) Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, pemegang Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang akan menggunakan jasa pertambangan wajib mengikuti ketentuan Peraturan Menteri ini. (4) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan IUJP yang masih dalam proses wajib diproses sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.
BAB Vlll KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku : 1. Keputusan Menteri Pertambangan Nomor 423IKptslMl Pertambl 1972 tanggal 3 Agustus 1972 tentang Perusahaan Jasa Pertambangan di Luar Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 536.K/201/M.PE/l995 tanggal 18 Mei 1995; 2. Keputusan Menteri Pertambangan Nomor 21l/Kpts/M/Pertambl 1978 tanggal 29 Maret 1978 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian lzin Usaha Pemanfaatan Bahan Galian dan Mengadakan Konsultasi Mengenai Pemberian Fasilitas Penanaman Modal Di Bidang Pertambangan Bukan Minyak dan Gas Bumi dan Pemberian lzin Usaha Jasa Penunjang Pertambangan Kepada Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal; 1042
3. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Lampiran I sampai dengan Lampiran Ill yang terkait dengan jasa sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K129/MEMl2000 tanggal 3 November 2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 38 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2009 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. PURNOMO YUSGIANTORO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASl MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AN Dl MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 341
DEP
~aiAenganaslinya GI DALSUMBER DAYA MINERAL
1043
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 sptember 2009 BIDANG DAN SUB BIDANG USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Bidang 1. Penyelidikan Urnurn 2. Eksplorasi
Sub Bidang
2.1. Manajernen Eksplorasi 2.2. Penentuan Posisi 2.3. Pernetaan 2.4. Geologi dan Geofisika 2.5. Geokimia 2.6. Survei Bawah Permukaan 2.7. Geoteknik 2.8. Pernboran dan Percontoan Eksplorasi 3. Studi Kelayakan 3.1. AMDAL 3.2. Penyusunan Studi Kelayakan 4. Konstruksi Pertarnbangan 4.1. Tarnbang Bawah Tanah 4.2. Tarnbang Terbuka 4.3. Tarnbang Bawah Air 4.4. Kornisioning Tarnbang 4.5. Penyemenan Tarnbang Bawah Tanah 4.6. Ventilasi Tarnbang 4.7. Pengolahan dan Pernurnian 4.8. Jalan Tambang 4.9. Gudang Bahan Peledak
5. Penarnbangan 5.1. Pengupasan, Pernuatan dan Pernindahan Batuan Penutup 5.2. PernberaianIPernbongkaran 5.3. Penggalian Mineral atau Batubara 5.4. Pernuatan dan Pernindahan Mineral atau Batubara
6. Pengolahan dan Pernurnian
6.1. Pencarnpuran Batubara 6.2. Pengolahan Batubara 6.3. Pengolahan Mineral 6.4. Pernurnian Mineral 7. Pengangkutan 7.1. Menggunakan Truk 7.2. Menggunakan Lori 7.3. Menggunakan Belt Conveyor 7.4. Menggunakan Tongkang 7.5. Menggunakan Pipa 8. Lingkungan Pertarnbangan 8.1. Pengelolaan Air Tambang 8.2. Audit Lingkungan Pertarnbangan 8.3. Pengendalian Erosi
1044
Bidang
Sub bidang
9. Pascatambang dan Reklamasi 9.1. Reklamasi 9.2. Penutupan Tambang 9.3. Peny~apandan Penataan Lahan 9.4. Pembibitan 9.5. Hydroseeding 9.6. Penanaman 9.7. Perawatan 10. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 10.1. Pemeriksaan dan Pengujian Teknik 10.2. Audit K3 Pertambangan 10.3. Pelatihan K3
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
ttd . PURNOMO YUSGIANTORO
E n sesuai dqgan aslinya
1045
LAMPIRAN I1A PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT SURAT PERMOHONAN lZlN USAHA JASA PERTAMBANGAN (IUJP)
Nomor : ... Sifat . ... Lampiran : ... Perihal : Permohonan lzin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) di Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara *)
Kepada Yth, I. Menteri c.q. Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi; atau 2. Gubernur; atau 3. Bupatil Walikota. di ...
Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan lzin Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara dalam rangka kegiatan Usaha Jasa Pertambangan di lingkungan proyek-proyek pertambangan mineral dan batubara. Adapun jenis dan bidang usaha jasa pertambangan yang dimohon adalah : ... Sebagai bahan pertimbangan, terlampir persyaratan sesuai jenis dan bidang usaha jasa pertambangan tersebut di atas sebagaimana tercantum dalam lampiran surat permohonan ini. Atas perhatian Bapakllbu, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami, Bermaterai Nama terang dan tanda tangan pemohon
(DIREKSI)
*' untuk permohonan baru maupun perpanjangan
1046
LAMPIRAN II B PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAMPIRAN PERMOHONAN BARU IUJP
A. PROFIL PERUSAHAAN 1.
Nama
2.
Alamat/Domisili
3.
NomorTelepon/Faks/WebsitelE-mail :
4.
Status Permodalan
............................................................................... *)
a. Nasional b. Asing
5.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
:**) .............................................................................
6. Akta Pendirian Perusahaan 7.
Akta Perubahan Terakhir
8.
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
.............................................................................. -1
9.
Surat Keterangan Domisili
............................................................................. . "=)
10. Perusahaan Pertambangan danlatau Jasa Yang Masih Dalam Satu Grup : ............................................................................... 11. Daftar Pimpinan Umum Perusahaan :
12. Ketenagakerjaan :
b. ... C.
...
dst. Jumlah Keterangan :
2diisi dengan tanda (4)
'fotokopi dokurnen dilarnpirkan
1047
B. JENlS DAN BIDANG USAHA JASA PERTAMBANGAN YANG DIMOHON (Mengacu ketentuan dalam Pasal4)
C. DAFTAR TENAGA AHLl
D. PERALATAN (terlampir) Daftar peralatan yang digunakan perusahaan sesuai dengan jenis dan bidang usaha jasa pertambangan yang dimohon, meliputi : 1. Jenis; 2. Jumlah; 3. Kondisi; 4. Status kepemilikan; 5. Lokasi keberadaan alat.
E. KEUANGANIFINANSIAL 1. lnvestasi untuk jasa pertambangan (Rp) a. Aset bergerak
b. Aset tidak bergerak Jumlah
2. Nilai kontrak pekerjaan jasa pertambangan dengan pemegang IUP atau IUPK : Nama Perusahaan
No.
Pekerjaan
Nilai Kontrak (US$/Rp)
1.
I I
dst.
I
1
1048
3. Kemitraan : Nama Perusahaan
No.
Perizinan
Nilai Kontrak
Pekerjaan
(US$IRp)
1. 2. 3.
dst.
4. Saham : No.
Pemegang Saham
Jumlah Saham (lem bar)
(RP)
(%)
1. 2.
3. dst.
100
Jumlah -
-
- -
-
5. Laporan Keuangan (Neraca, Laba Rugi dan Arus Kas) (terlampir)
F. DATA PENDUKUNG (terlampir) 1. Surat Pernyataan Pihak Perusahaan (bermaterai dan ditandatangani Direktur Utama); 2. Surat Keterangan Bank; 3. Pengalaman perusahaan sesuai jenis dan bidang usaha jasa pertambangan yang dimohon.
Catatan : 1. Berkas Permohonan dibuat dalam rangkap 2 (dua); 2. Hanya permohonan yang diisi lengkap yang akan diproses lebih lanjut.
1049
LAMPIRAN I1 C PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAMPIRAN PERMOHONAN PERPANJANGAN IUJP Perpanjangan IUJP ke ') A. PROFIL PERUSAHAAN
3. Nomor TeleponlFaksNVebsiteIE-mail
................................................................................ ................................................................................ : ...............................................................................
4. Status Permodalan
.9
1. Nama
2. Alamat/Domisili
a. Nasional b. Asing
5. Akta Perubahan Terakhir
6. Surat Keterangan Domisili
7. Perusahaan Pertambangan danlatau Jasa Yang Masih Dalam Satu Grup
: ..............................................................................
8. Daftar Pimpinan Umum Perusahaan
:
9. Ketenagakerjaan :
b. ... C.
...
dst. Jumlah
Keterangan : *) diisi dengan tanda
(4)
*) fotokopi dokumen dilarnpirkan
1050
B. JENlS DAN BIDANG USAHA JASA PERTAMBANGAN YANG DIMOHON (Mengacu ketentuan dalam Pasal4)
C. DAFTAR TENAGA AHLl
D. PERALATAN (terlampir) Daftar peralatan yang digunakan perusahaan sesuai dengan jenis dan bidang usaha jasa pertambangan yang dimohon, meliputi : 1. Jenis; 2. Jumlah; 3. Kondisi; 4. Status kepemilikan; 5. Lokasi keberadaan alat.
1. lnvestasi untuk jasa pertambangan (Rp) a. Aset bergerak .............................................................................. b. Aset tidak bergerak .............................................................................. Jumlah .............................................................................. 2. Nilai kontrak pekerjaan jasa pertambangan dengan pemegang IUP atau IUPK :
No.
Nama Perusahaan
Pekerjaan
Nilai Kontrak (US$/Rp)
1.
I
dst.
I
I
1
1051
3. Kemitraan : No.
Nama Perusahaan
Perizinan
Pekerjaan
Nilai Kontrak (US$/Rp)
1. 2.
3.
dst.
4. Saham : No.
Pemegang Saham
Jumlah Saham (lembar)
(RP)
(%)
1.
2. 3. dst.
Jumlah
100
5. Laporan Keuangan (Neraca, Laba Rugi dan Arus Kas) (terlampir)
F. DATA PENDUKUNG (terlampir) 1. Surat Pernyataan Pihak Perusahaan (bermaterai dan ditandatangani Direktur Utama);
2. Bukti penyampaian laporan kegiatan; 3. lzin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) terakhir.
Catatan : 1. Berkas Permohonan dibuat dalam rangkap 2 (dua); 2. Hanya permohonan yang diisi lengkap yang akan diproses lebih lanjut.
1052
-
LAMPIRAN II D PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 KOP SURAT PERUSAHAAN
SURAT PERNYATAAN No : Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama ...................................................................................................... Jabatan ...................................................................................................... Bertindak untuk dan atas nama : ..................................................................................................... Alamat ...................................................................................................... TeleponIFax : ..................................................................................................... Dengan ini kami menyatakan sesungguhnya bahwa 1. Seluruh keterangan yang dilampirkan pada surat permohonan lzin Usaha Jasa Pertambangan Nomor ... tanggal ... adalah benar. 2. Dalam melaksanakan kegiatan usaha jasa pertambangan akan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam IUJP dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Apabila menggunakan usaha jasa pertambangan non inti dalam rangka kemitraan, akan mengutamakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal danlatau Perusahaan Jasa Pertarnbangan Nasional. 4. Tidak menggunakan IUJP ini untuk : a. melakukan kerja sama dengan pertambangan ilegal (Pertambangan Tanpa Izin); b. melakukan kegiatan sebagai pemegang IUP atau IUPK; c. menarnpung, mengolah dan menjual bahan galian tambang ; d. menggunakan Tenaga Kerja Asing yang tidak terdaftar di Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dan instansi terkait; e. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan jenis dan bidang usaha jasa pertambangan sebagaimana tercantum dalam IUJP yang diberikan. 5. Menyampaikan laporan kegiatan Triwulan dan Tahunan selama masa berlakunya IUJP, rneliputi nilai kontrak, masa kontrak, pemberi kontrak, tenaga kerja, peralatan (masterlist), penerirnaan negara, penerimaan daerah, pembelanjaan lokal dan pengembangan masyarakatlCommunityDevelopment.
6. Bersedia hadir pada kesempatan pertama untuk memenuhi panggilan yang berwenang apabila diminta penjelasan maupun pertanggungjawaban atas pernyataan ini. Apabila selama dalam pernberian IUJP kami tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut di atas atau mengingkari pernyataan ini, maka kami bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggal, ... Nama Perusahaan Tanda tangan Direksidan Stempel di atas materai
Nama lengkap dan jabatan
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd.
PURNOMO YUSGIANTORO DEP
1053
LAMPIRAN Ill A PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT PERMOHONAN SURAT KETERANGAN TERDAFTAR (SKT) (KOP SURAT PERUSAHAAN)
Nomor Sifat Lampiran Perihal
: ...
. ...
: ... : Permohonan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Untuk Melakukan Kegiatan Usaha Jasa Pertambangan Non Inti di Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara *)
Kepada Yth. I.Menteri c.q. Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi; atau 2.Gubernur; atau 3.BupatiI Walikota. di ...
Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dalam rangka kegiatan usaha jasa pertarnbangan non inti di lingkungan proyek-proyek pertambangan mineral dan batubara. Adapun usaha jasa pertambangan non inti yang dimohon adalah : ... Sebagai bahan pertimbangan, terlampir persyaratan sebagaimana tercantum dalam lampiran surat permohonan ini. Atas perhatian Bapaktlbu kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami, Nama terang dan tanda tangan Pemohon dan bermaterai
(DIREKSI)
*) untuk
permohonan baru maupun perpanjangan
1054
LAMPIRAN Ill B PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAMPIRAN PERMOHONAN BARU SKT A. PROFIL PERUSAHAAN 1. Nama
2. Alamat/Domisili 3. Nomor TeleponlFaks/Website/E-mail
4. Status Permodalan
................................................................................ ................................................................................ : ............................................................................... *)
a. Nasional b. Asing 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 6. Akta Pendirian Perusahaan
7. Akta Perubahan Terakhir
8.Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 9. Surat Keterangan Domisili 10. Perusahaan pertambangan danlatau jasa yang masih dalam satu grup
................................................................................
I 1. Daftar pimpinan perusahaan :
12. Ketenagakerjaan :
,
b. ... C.
...
dst.
Jumlah Keterangan :
"' fotokopi dokurnen (4) dilarnpirkan " diisi dengan tanda
1055
B. PERlZlNAN USAHA JASA PERTAMBANGAN NON INTI DARl LEMBAGA TERKAIT (dilampirkan) C. KEUANGANIFINANSIAL 1. lnvestasi untuk usaha jasa pertambangan non inti (Rp) : ........................................................... 2. Nilai kontrak pekerjaan usaha jasa pertambangan non inti dengan pemegang IUP atau IUPK : No.
Nama Perusahaan
Nilai Kontrak (US$IRp)
Pekerjaan
1.
1
I
I
dst.
I
3. Kemitraan : No.
Narna Perusahaan
Perizinan
Pekerjaan
Nilai Kontrak (US$/Rp)
1.
2. 3.
dst.
4. Saham : No.
Pemegang Saharn
Jurnlah Saham (lembar)
(RP)
(%)
1. 2.
3. dst.
Jurnlah
100
Catatan : 1. Berkas Permohonan dibuat dalam rangkap 2 (dua); 2. Hanya permohonan yang diisi lengkap yang akan diproses lebih lanjut.
1056
LAMPIRAN Ill C PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAMPIRAN PERMOHONAN PERPANJANGAN SKT
Perpanjangan SKT yang k e *)
[ I1 2 1 3 ) 4 1 5 1
...I
A. PROFIL PERUSAHAAN 1. Narna
. *)
4. Status. Permodalan
a. Nasional b. Asing
............................................................................
5. Nornor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
: ")
6. Akta Perubahan Terakhir
.............................................................................. *")
7. Surat Keterangan Domisili
............................................................................. "1
8. Daftar pimpinan perusahaan
9. Ketenagakerjaan :
b. ... C. ... dst.
Jumlah
Keterangan : " diisi dengan tanda (4 fotokopi dokumen dilampirkan
1057
B. PERlZlNAN USAHA JASA PERTAMBANGAN NON INTI DARl LEMBAGA TERKAIT (dilampirkan) C. DATA PENDUKUNG (terlampir) 1. Surat Pernyataan Pihak Perusahaan (bermaterai dan ditandatangani Direktur Utama);
2. Bukti penyampaian laporan kegiatan;
3. Surat Keterangan Terdaftar (SKT) terakhir;
Catatan : 1. Berkas Permohonan dibuat dalam rangkap 2 (dua); 2. Hanya permohonan yang diisi lengkap yang akan diproses lebih lanjut.
1058
LAMPIRAN Ill D PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 KOP SURAT PERUSAHAAN
SURAT PERNYATAAN No : Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama ...................................................................................................... Jabatan ...................................................................................................... Bertindak untuk dan atas nama : ..................................................................................................... Alamat ...................................................................................................... TeleponlFax : ..................................................................................................... Dengan ini kami menyatakan sesungguhnya bahwa : 1. Seluruh keterangan yang dilampirkan pada surat permohonan SKT Nomor ... tanggal ... adalah benar. 2. Dalam melaksanakan kegiatan usaha jasa pertambangan non inti akan tunduk pada ketentuanketentuan yang tercantum dalam SUT dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Apabila menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain dalam rangka kemitraan, akan mengutamakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal danlatau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional. 4. Tidak menggunakan SKT ini untuk : a. melakukan kerja sarna dengan pertambangan illegal (Pertambangan Tanpa Izin); b. bertindak sebagai pemegang IUP atau IUPK; c. menampung, mengolah dan menjual bahan galian tambang ; d. menggunakan Tenaga Kerja Asing yang tidak terdaftar di Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dan instansi terkait; e. kegiatan lain yang tidak sesuai dengan jenis dan bidang usaha jasa lainnya sebagaimana tercantum dalam SKT yang diberikan. 5. Menyampaikan laporan kegiatan Triwulan dan Tahunan selama masa berlakunya SKT, meliputi nilai kontrak, masa kontrak, pemberi kontrak, tenaga kerja, peralatan (masterlist), penerimaan negara, penerimaan daerah, pembelanjaan lokal dan pengembangan masyarakatlCommunity Development (CD). 6. Bersedia hadir pada kesempatan pertama untuk memenuhi panggilan yang berwenang apabila diminta penjelasan maupun pertanggungjawaban atas pernyataan ini. Apabila selama dalam pemberian SKT kami tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagairnana tersebut di atas atau mengingkari pernyataan ini, maka kami bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggal, ... Nama Perusahaan Tanda tangan Direksi den Stempel di atas materai
Nama lengkap dan jabatan
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd.
PURNOMO YUSGIANTORO DEP
AYA MINERAL
1059
LAMPIRAN IV A PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 sptember 2009 FORMAT LAPORAN TRIWULAN KEGIATAN USAHA JASA PERTAMBANGAN Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab I Pendahuluan 1.1 Lingkup laporan 1.2 Lokasi Kerja 1.3 Jenis dan Bidang Usaha Jasa Pertambangan Bab II Kegiatan (untuk setiap kontrak) 2.1. Teknis 2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.2. I.Program 2.2.2. Biaya 2.3. Lindungan Lingkungan 2.3.1. Program 2.3.2. Biaya 2.4. Pengembangan Masyarakat (CD) 2.5. Ketenagakerjaan 2.6. Peralatan Bab Ill Kesimpulan Lampiran 1. Tabel sebagaimana Lampiran IV C 2. Data pendukung
Catatan : 1. Bab II menjelaskan secara singkat kegiatan yang telah dilakukan; 2. Laporan Triiulan adalah periode kegiatan Triwulan 1 s.d IV (Januari-Maret, April-Juni, Juli-September, OktoberDesember); 3. Laporan disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 15 hari kerja setelah akhir setiap triwulan; 4. Setiap pemegang IUJP cukup satu laporan untuk beberapa kegiatankontrak; 5. Penyampaian dengan surat yang ditandatangani oleh Direksi.
1060
LAMPIRAN 1V B PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINEML NOMOR : 28 TAHUN 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAPORAN TAHUNAN KEGIATAN USAHA JASA PERTAMBANGAN Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab I Pendahuluan 1.1 Lingkup laporan 1.2. Lokasi Kerja 1.3. Jenis dan Bidang Usaha Jasa Pertambangan Bab II Realisasi Kegiatan 2.1. Teknis 2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.2.1. Program 2.2.2. Biaya 2.3. Lindungan Lingkungan 2.3.1. Program 2.3.2. Biaya 2.4. Pengembangan Masyarakat (CD) 2.5. Ketenagakerjaan 2.6. Peralatan Bab Ill Rencana Kegiatan 3.1 Teknis 3.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 3.2.1. Program 3.2.2. Biaya 3.3. Lindungan Lingkungan 3.3.1. Program 3.3.2. Biaya 3.4. Pengembangan Masyarakat (CD) 3.5. Ketenagakerjaan 3.6. Peralatan Bab IV. Kesimpulan Lampiran 1. Tabel sebagaimana Lampiran IV C 2. Data pendukung
1061
LAMPIRAN IV C PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 28 TAtfirnr 2009 TANGGAL : 30 September 2009 FORMAT LAPORAN TRIWULAN DAN TAHUNAN KEGIATAN USAHA JASA PERTAMBANGAN NON INTI Laporan berisi keterangan mengenai Investasi, Kontrak (Nilai dan Realisasi), Penerimaan Negara dan Daerah, Pembelanjaan (Lokal, Nasional, dan Impor), Tenaga Keja (Lokal, Nasional, dan Asing), dan Biaya Pengembangan Masyarakat (CD), yang disusun sesuai format berikut : Tabel Laporan Kegiatan Triwulannahunan Pemegang SKT Nama Perusahaan . ... Nomor SKT . ... Jenis dan Bidang Usaha Jasa Lainnya : ... 1
Kontrak (RP)
Pewsahaan No
Subkontraktor
~mK/P~$$ IUPIIUPK)
I
I ' I
I
I
Investas' (RP)
A:Kk!
Kegiatan
I
I
Nilai
Penerimaan (Rp)
Realisasi
I
Negara
Daerah I
i
Tenaga Kerja
Pembelanjaan (Rp)
I
lmpor
Nasional
Lokal I
Lokal
Nasional
Asing
Biaya CD (RP)
I
2 3
dst. -
Jumlah
-
-
-
-
-
-
--
Catatan : 1. Laporan Triiulan adalah pertode kegiatan Triwulan I s.d IV (Januari-Maret, ApriCJuni. JuliSeptember, Oktober-Desember); 2. Laporan disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 15 hari kerja setelah akhir setiap triwulan; 3. Laporan Tahunan adalah kegiatan tahun kalender (rekapitulasiTriwulan I s.d IV); 4. Pembelanjaan Lokal dan lmpor agar dilampirkan jenis barangtjasanya; 5. Setiap pemegang SKT cukup satu laporan untuk beberapa kegiatanlkontrak;
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd.
DAYA MINERAL
PURNOMO YUSGIANTORO
1062
1063
1064
1065
1066
1067
1068
1069
1070
1071
1072
MENTERI ENEWGl DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLlK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGl DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 06 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUM1 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a.
bahwa Minyak dan Gas Bumi mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan negara dan pemenuhan energi serta bahan baku industri dalam negeri, dan pada saat ini produksi Minyak dan Gas Bumi mengalami penurunan;
b. bahwa potensi Minyak dan Gas Bumi masih dapat dioptimalkan untuk diproduksikan sehingga dalam rangka mengupayakan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi perlu ditetapkan pedoman kebijakan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dalam suatu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4152); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5047); 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2002 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4216);
4.
Keputusan Presiden Nomor 84lP Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009;
5.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;
MEMUTUSKAN 1073
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB l KETENTUAN UMUM Pasal I Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi. 2. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. 3. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan. 5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 6. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 7. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. 8. Direktorat Jenderal adalah direktorat jenderal yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
9. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 2.. . 1074
Setiap usaha Eksplorasi dan Eksploitasi wajib bertujuan mendukung pencapaian sasaran program Pemerintah yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan kebijakan Pemerintah lainnya yang mendukung peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi.
BAB II PELAKSANAAN KEBIJAKAN lJPAYA PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUM1 Bagian Kesatu Kewajiban Kontraktor
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kontraktor wajib melakukan : a. penyelesaian kegiatan Eksplorasi di struktur penemuan dan mempercepat pengajuan usulan rencana pengembangan lapangan baru dari cadangan yang sudah ditemukan; b. percepatan pelaksanaan kegiatan pengembangan lapangan pertama; c. percepatan pelaksanaan kegiatan pengembangan lapangan berikutnya;
d. pengupayaan pengembangan atau pemroduksian kembali lapangan yang masih berpotensi baik yang pernah diproduksikan maupun yang belum pernah diproduksikan; e. pengupayaan pemroduksian kembali sumur-sumur yang masih berpotensi baik yang pernah diproduksikan maupun yang belum pernah diproduksikan.
(1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b dan huruf c, Kontraktor wajib: a. melaporkan cadangan Minyak dan Gas Bumi baru kepada Menteri melalui Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah ditetapkan oleh Badan Pelaksana; b. mengajukan usulan rencana pengembangan lapangan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah ditetapkan cadangan Minyak dan Gas Bumi baru sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. memulai kegiatan pengembangan lapangan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender setelah mendapatkan persetujuan rencana pengembangan lapangan; d. memulai produksi Minyak danlatau Gas Bumi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan.
(2) Pelaksanaan . . . 1075
(2) Pelaksanaan pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib dilakukan oleh Kontraktor sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran, dan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Dalam ha1 dikarenakan pertimbangan teknis danlatau ekonomis ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan oleh Kontraktor, Menteri c.q. Direktur Jenderal dapat menetapkan kebijakan lain dalam rangka percepatan produksi.
(1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, Kontraktor wajib : a. melakukan inventarisasi lapangan yang tidak berproduksi namun masih berpotensi dan melaporkan hasil inventarisasi tersebut kepada Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. melaporkan kepada Menteri melalui Badan Pelaksana disertai pengajuan rencana pemroduksian kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Dalam ha1 rencana pemroduksian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) akan dilakukan dengan bekerjasama pihak lain, wajib terlebih dahulu meminta persetujuan Menteri melalui Badan Pelaksana.
Dalam ha1 Kontraktor tidak mengajukan rencana pengusahaan terhadap lapangan yang tidak berproduksi namun masih berpotensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (I), Kontraktor wajib mengembalikannya kepada Menteri untuk ditetapkan kebijakan pengusahaannya.
(1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, Kontraktor wajib : a. melakukan inventarisasi sumur-sumur yang tidak berproduksi namun masih berpotensi dalam suatu lapangan yang berproduksi dan melaporkan hasil inventarisasi tersebut kepada Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. melaporkan kepada Menteri melalui Badan Pelaksana disertai pengajuan rencana pemroduksian kembali dalam jangka waktu paling lambat 90 1:sembilan puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Dalam.. . 1076
(2) Dalam ha1 rencana pemroduksian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan dengan bekerjasama pihak lain, wajib terlebih dahulu meminta persetujuan Menteri melalui Badan Pelaksana.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 dengan mempertimbangkan Kontrak Kerja Sama dan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Kewajiban Badan Pelaksana
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pelaksana wajib : a. mendukung proses percepatan penyusunan dan penerbitan peraturan perundang-undangan yang diperlukan; b. mempercepat proses pemberian perizinan dan persetujuan terkait dengan peningkatan produksi; c.
meningkatkan upaya pengendalian pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
dan
pengawasan
atas
d. meningkatkan upaya ditaatinya Kontrak Kerja Sama oleh Kontraktor dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya; e. melakukan peningkatan koordinasi internal dalam rangka penyelesaian masalah-masalah terkait kegiatan operasi perminyakan. Pasal 10 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, Badan Pelaksana wajib : a. melakukan inventarisasi dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dan melaporkan hasilnya kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. menyampaikan masukan substansi materi dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. melakukan ... 1077
c.
melakukan evaluasi atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dan memberikan masukan untuk penyusunan alternatif bentuk Kontrak Kerja Sama danlatau ketantuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini;
d. melakukan penyesuaian dan penataan kembali terhadap ketentuan dan pedoman tata kerja dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini. Pasal 11 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, Badan Pelaksana wajib: a. menyampaikan rekomendasi disertai pertimbangan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I) kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap; b. memberikan persetujuan pengembangan lapangan (POD) berikutnya, dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap; c.
memberikan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget) danlatau Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization Financial Expenditure) dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap;
d. memberikan rekomendasi persetujuan pengalihan hak dan kewajiban (farm in and farm out) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap; e. memberikan persetujuan penggunaan fasilitas secara bersama (sharing facilities) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap; f.
memberikan rekomendasi persetujuan kepada Menteri dalam ha1 terdapat unitisasi dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap;
g. memberikan rekomendasi atas impor barang, peralatan operasi perminyakan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap. Pasal 12 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, Badan Pelaksana wajib: a. melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan POD pertama dan berikutnya sesuai dengan persetujuan POD yang telah disetujui;
b. melaksanakan 1078
b. melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget) danlatau Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana; c. melakukan peningkatan pengawasan pelaksanaan atas perawatan sumur-sumur dan fasilitas-fasilitas produksi Minyak dan Gas Bumi. Pasal 13 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf dl Badan Pelaksana wajlb: a. meningkatkan intensitas monitoring dan pengawasan atas kegiatan Kontraktor; b. memberikan teguranlperingatan kepada Kontraktor yang melaksanakan kewajiban sesuai Kontrak Kerja Sama; c.
tidak
memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk pemberian sanksi pemutusan Kontrak Kerja Sama apabila terdapat pelanggaran Kontrak Kerja Sama danlatau peraturan perundang-undangan. Pasal 14
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf el Badan Pelaksana wajib: a. memfasilitasi dan melakukan koordinasi internal untuk percepatan penyelesaian permasalahan; b. melaporkan kepada Menteri atas permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan untuk dapat diambil kebijakannya. Pasal 15 Selain kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Badan Pelaksana wajib: a. menetapkan besaran cadangan Minyak dan Gas Bumi yang baru ditemukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah penemuan baru tersebut; b. menetapkan alokasi sasaran produksi untuk setiap Kontraktor yang disesuaikan dengan sasaran produksi Minyak dan Gas Bumi nasional yang ditetapkan Pemerintah; c.
melakukan pengawasan atas ditaatinya tata waktu pengajuan rencana pengembangan lapangan terhadap cadangan Minyak dan Gas Bumi yang ditemukan sebagaimana dirnaksud dalam Pasal4 ayat (1) huruf b dan melaporkan perkembangannya secara periodik setiap bulan sekali kepada Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga .. . 1079
Bagian Ketiga Kewajiban Direktorat Jenderal
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2, Direktorat Jenderal wajib: a. mempercepat proses penyusunan dan penerbitan peraturan perundangundangan yang diperlukan; b. mempercepat proses pemberian perizinan dan persetujuan terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi;
c. meningkatkan upaya pembinaan, pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Kontraktor; d. meningkatkan upaya ditaatinya peraturan perundang-undangan oleh Kontraktor dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya; e. meningkatkan koordinasi internal dan lintas sektoral dalam rangka penyelesaian masalah-masalah dalam kegiatan operasi perminyakan. Pasal 17 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, Direktur Jenderal wajib: a. menyampaikan inventarisasi dan evaluasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi kepada Menteri dalarn jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. menyiapkan dan menyusun rancangan peraturan perundangundangan yang diperlukan untuk peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. melakukan evaluasi terhadap bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama dan rnengusulkan altenatif bentuk Kontrak Kerja Sama dantatau ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini. Pasal 18 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, Direktur Jenderal wajib: a. menyampaikan pertimbangan kepada Menteri dalam rangka pernberian persetujuan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diterimanya usulan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I); b. memberikan izinlrekomendasi dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
1080
Pasal 19 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c, Direktur Jenderal wajib : a. mengevaluasi dan menganalisa pelaksanaan kegiatan Kontraktor terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi; b. memberikan informasi dini mengenai hal-ha1 khusus dan usulan antisipasi kepada Menteri mengenai hal-ha1 yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi; c. mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut hasil evaluasi atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf dl Direktur Jenderal wajib : a. memberikan teguranlperingatan kepada Kontraktor yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan Peraturan Menteri ini; b. memberikan sanksi kepada Kontraktor yang melakukan pengulangan pelanggaran setelah diberikannya teguranlperingatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e, Direktur Jenderal wajib: a. memfasilitasi dan melakukan koordinasi dengan instansi internal sektor energi dan sumber daya mineral untuk percepatan penyelesaian permasalahan dalam kegiatan operasi perminyakan;
b. memfasilitasi dan melakukan koordinasi lintas sektoral untuk percepatan penyelesaian permasalahan dalam kegiatan operasi perminyakan; c. melaporkan kepada Menteri atas permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan ilntuk dapat diambil kebijakannya.
BAB Ill KETENTUAN LAIN
Dalam pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kontraktor wajib memprioritaskan pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa serta rancang bangun dalam negeri.
Pasai 23 1081
Wasil produksi dari Eksplorasi dan Eksploitasi wajib diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Kebijakan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan wajib dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal22 dan Pasal23.
Dalam rangka mernbantu pelaksanaan program peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi, Menteri dapat membentuk Tim Pengawas Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. BAB IV KETENTUANPENUTUP
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, segala ketentuan dalam Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaannya yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2010 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
ttd DARWIN ZAHEDY SALEH Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 58 Salinan sesuai dengan aslinya D ~ S U M B E RDAYA MINERAL
KEMEMTESA~~EERGI
1082
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 01 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBONGKARAN INSTALASI LEPAS PANTAI MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang :
bahwa dalam rangka menjamin keselamatan, terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup, menjaga kondisi instalasi Iepas pantai sebagai barang milik negara dan menjaga keselamatan pelayaran serta sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pedoman Teknis Pembongkaran Instalasi Lepas Pantai Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 20, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3031); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5047
1083
-2-
6.
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009;
7.
Peraturan Menteri Pertambangan Nomor 05/P/M/PERTAM/1977 tanggal 22 Oktober 1977 tentang Kewajiban Memiliki Sertifikat Kelayakan Konstruksi Untuk Platform Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai;
8.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Serita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 552); MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMSER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBONGKARAN INSTALASI LEPAS PANTAI MINYAK DAN GAS BUMI. BABI KETENTUAN UMUM Pasal1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Minyak dan Gas Bumi, Eksplorasi, Eksploitasi, Wilayah Kerja, Menteri, Badan Pelaksana, adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2.
Instalasi lepas pantai adalah instalasi minyak dan gas bumi yang didirikan di lepaspantai untuk melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
3.
Pembongkaran adalah pekerjaan pemotongan sebagian atau keseluruhan instalasi dan pemindahan/pengangkutan hasil pembongkaran ke lokasi yang telah ditentukan.
4.
Lepas pantai adalah daerah yang meliputi perairan Indonesia dan land as kontinen Indonesia.
5.
Garis lumpur (mudline) adalah garis batas permukaan tanah yang dapat berubah akibat pergerakan arus laut.
6.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
7.
Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Ke~a Sama.
1084
Pasal 2 Pembongkaran instalasi lepas pantai dilakukan dalam hal instalasi lepas pantai sudah tidak dipergunakan lagi atau akan digunakan kembali untuk kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak dan gas bumi pada tempat lain.
Pasal 3 Pengaturan pedoman teknis pembongkaran instalasi lepas pantai bertujuan untuk : a.menjamin keselamatan minyak dan gas bumi; b.menjamin terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup; c.menjaga kondisi instalasi lepas pantai sebagai barang milik negara; d.menjaga keselamatan pelayaran; dan e.optimalisasi penggunaan barang milik negara.
Pasal 4 Pembongkaran instalasi lepas pantai wajib dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang sesuai dengan standar nasional Indonesia atau standar regional atau standar internasional dan kaidah keteknikan yang baik serta memenuhi aspek keselamatan kerja dan kesehatan kerja serta lindungan lingkungan.
Pasal 5 Pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh Kontraktor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II PERENCANAAN PEMBONGKARAN Pasal 6 (1) Pembongkaran instalasi lepas pantai dilaksanakan oleh Kontraktor setelah mendapatkan persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai dari Direktur Jenderal. (2) Untuk mendapatkan persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal melalui Badan Pelaksana dengan melengkapi dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai.
1085
(3) Dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. daftar peralatan pada instalasi lepas pantai yang akan dilakukan pembongkaran; b. peta terbaru lokasi instalasi lepas pantai dengan kegiatan lain; c. dokumen lingkungan yang dimiliki; d. surat pernyataan bahwa semua fasilitas yang terhubung dengan platform telah terputus dengan instalasi yang terkait; e. desain awal atau analisis rekualifikasi dan modifikasi yang pernah dilakukan; f. catatan sejarah operasi serta hasil inspeksi tahunan dan/atau khusus; g. alternatif teknologi pembongkaran yang dipilih; h. prosedur penutupan sumur (plug and abandonment); i. prosedur pembongkaran, pemindahan dan/atau pengangkutan; j. analisa risiko dalam pelaksanaan pembongkaran, pemindahan dan pengangkutan; k. prosedur keselamatan dan kesehatan kerja serta lindungan lingkungan dalam pelaksanaan pembongkaran, pemindahan dan pengangkutan; l. jadwal pelaksanaan; m. rencana tanggap darurat; n. rencana pengamanan fasilitas yang tersisa dan/atau terkait pasca pembongkaran; o. lokasi pemindahan dan/atau penyimpanan hasil pembongkaran instalasi lepas pantai. Pasal 7 (1) Direktur Jenderal melakukan evaluasi dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai diterima dengan lengkap. (2)
Dalam rangka evaluasi dan klarifikasi terhadap dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor wajib mempresentasikan dokumen perencanaan pembongkaran.
(3) Dalam hal hasil evaluasi dan klarifikasi dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai dinyatakan lengkap dan benar, dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja Direktur Jenderal memberikan persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai. (4) Persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai diberikan dengan masa berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
1086
(5) Persetujuan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila terjadi perubahan perencanaan atau apabila lebih dari 3 (tiga) tahun pembongkaran instalasi lepas pantai tidak dilaksanakan. (6) Setelah mendapatkan persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kontraktor bertanggung jawab atas keberadaan instalasi lepas pantai tersebut.
Pasal 8 Kontraktor dalam menyusun dokumen perencanaan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, wajib memiliki tenaga pelaksana perencanaan dengan kompetensi dan kualifikasi yang sesuai atau memanfaatkan jasa perusahaan nasional yang telah mendapat Surat Keterangan Terdaftar dari Direktur Jenderal. BAB III PELAKSANAAN PEMBONGKARAN Pasal 9 (1) Berdasarkan persetujuan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kontraktor wajib segera mempersiapkan pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai. (2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai, Kontraktor wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal. (3) Pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai wajib menggunakan peralatan yang telah memenuhi syarat keselamatan kerja sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10 Kontraktor dalam melaksanakan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib menggunakan tenaga pelaksana pembongkaran dengan kompetensi dan kualifikasi yang sesuai atau memanfaatkan jasa perusahaan nasional yang telah mendapat Surat Keterangan Terdaftar dari Direktur Jenderal. Pasal 11 Kontraktor sebelum melakukan pembongkaran instalasi lepas pantai wajib: a. melaksanakan sosialisasi rencana kegiatan pembongkaran, pemindahan dan pengangkutan kepada masyarakat dan instansi yang terkait;
1087
-6b.
memasang rambu-rambu navigasi di sekeliling lokasi pembongkaran; c. memastikan bahwa semua sumur telah ditutup permanen sesuai dengan Standar Nasional Indonesia atau standar regional atau Standar Internasional dan kaidah keteknikan yang baik; d.
memastikan bahwa semua infrastruktur yang terhubung dengan instalasi lepas pantai telah terputus;
e.
memastikan bahwa semua sistem perpipaan dan peralatan lain bebas dari bahan berbahaya dan beracun;
f.
memastikan bahwa instalasi lepas pantai bebas dari limbah bahan berbahaya dan beracun. Pasal 12
(1) Kontraktor dalam melaksanakan pembongkaran wajib: a. memotong konduktor 5 (lima) meter di bawah garis lumpur (mud/ina) atau sejajar dengan dasar laut dalam hal jarak antara garis lumpur (mud/ina) dan dasar laut kurang dari 5 (lima) meter; b. memotong konduktor menjadi maksimum 12 (dua belas) meter;
segmen-segmen
sepanjang
c. membongkar instalasi atas permukaan (top side facility) dengan memotong sambungan las antara tiang pancang dengan kaki dack; d. memotong tiang pancang dan dudukannya 5 (lima) meter di bawah garis lumpur (mud/ine) atau sejajar dengan dasar laut dalam hal jarak antara garis lumpur (mudlina) dan dasar laut kurang dari 5 (lima) meter; e. memotQng pipa penyalur di atas titik riser bend dan pada jarak 3 (tiga) meter dari dasar kaki instalasi; f. menyumbat pipa penyalur yang ditinggalkan dan ujungnya dipendam sedalam 1 (satu) meter atau dilindungi dengan material pengaman;
g. memotong pipa penyalur yang akan dipindahkan, menjadi bagian-bagian kecil sepanjang 9 (sembilan) meter sampai dengan 12 (dua bel as) meter. (2) Kontraktor wajib menempatkan hasil pembongkaran di lokasi penyimpanan yang telah disetujui. (3) Kontraktor wajib melakukan pembersihan dasar laut dari sisa pekerjaan pembongkaran atau yang berasal dari aktivitas produksi masa laJu dengan batas minimum cakupan wi/ayah pembersihan sesuai daerah terlarang dengan radius 500 (lima ratus) meter. (4) Kontraktor '" 1088
-7(4) Kontraktor wajib memastikan kebersihan dasar laut dari sisa peke~aan pembongkaran menggunakan site scan sonar system dan/atau test trawling. Pasal 13 Kontraktor wajib menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan pada saat dilakukannya pembongkaran, pemindahanlpengangkutan dan penyimpanan hasil pembongkaran instalasi lepas pantaL
BABIV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal14 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kontraktor wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal melaJui Badan Pelaksana mengenai pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat bel as) hari setelah kegiatan pembongkaran selesai. (3) Apabila berdasarkan evaluasi teknis laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterima, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari ke~a setelah laporan diterima, Direktur Jenderal menerbitkan site clearance certificate (surat keterangan pemulihan lokasi). BABV KETENTUAN PERAUHAN Pasal 15 Terhadap Kontraktor yang telah melaksanakan kegiatan pembongkaran instalasi lepas pantai sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini wajib melaporkan kegiatannya kepada Direktur Jenderal melalui Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini untuk dilakukan evaluasi dalam rangka penerbitan site clearance certificate (surat keterangan pemulihan lokasi).
1089
BAB VI. ..
-8BABVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2011 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. DARWIN ZAHEDY SALEH Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 4
1090
MENTER. ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERr ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA·ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 38 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wi/ayah Pertambangan Mineral dan Batubara;
Mengingat
1.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
3.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
4 .. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia T.ahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Peraturan .. ,
1091
-2-
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009; 12. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 552); MEMUTUSKAN: Menetapkan
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL WILAYAH USAHA TENTANG TATA CARA PENETAPAN PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. BABI KETENTUAN UMUM Pasal1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Wi/ayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WUP, Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, Wilayah Pencadangan Negara yang selanjutnya disebut WPN, Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, Mineral, Batubara, Badan Usaha, Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Penambangan, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2.
Wilayah Usaha Pertambangan radioaktif yang selanjutnya disebut WUP radioaktif, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau. informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang radioaktif.
3.
Wilayah Usaha Pertambangan mineral logam yang selanjutnya disebut WUP mineral logam, adalah bag ian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang minerallogam. Wi/ayah Usaha Pertambangan batubara yang selanjutnya disebut WUP batubara, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang batubara.
4.
5. Wilayah ...
1092
-35.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17. 18.
Wilayah Usaha Pertambangan mineral bukan logam yang selanjutnya disebut WUP mineral bukan logam, adalah bag ian dari WP yang tetah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang mineral bukan logam. Wilayah Usaha Pertambangan batuan yang selanjutnya disebut WUP batuan, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang batuan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam termasuk mineral ikutannya, yang selanjutnya disebut WIUP mineral logam, adalah bag ian dari WUP mineral logam yang diberikan kepada bad an usaha, koperasi dan perseorangan melalui lelang. Wilayah Izin Usaha Pertambangan batubara, yang selanjutnya disebut WIUP batubara, adalah bag ian dari WUP batubara yang diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan melalui lelang. Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral bukan logam, yang selanjutnya disebut WIUP mineral bukan logam, adalah bag ian dari WUP mineral bukan logam yang diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan melalui permohonan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan batuan, yang selanjutnya disebut WIUP batuan, adalah bag ian dari WUP batuan yang diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan melalui permohonan. Lelang adalah cara penawaran WIUP atau WIUPK dalam rangka pemberian IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Eksplorasi, dan/atau IUPK Operasi Produksi mineral logam dan batubara. Kontrak Karya, yang selanjutnya disebut KK, adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian mineral, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut PKP2B, adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan/atau Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian batubara. Data adalah semua fakta, petunjuk, indikasi, dan informasi dalam bentuk tulisan (karakter), angka (digital), gambar (analog), media magnetik, dokumen, perconto batuan, f1uida, dan bentuk lain yang diperoleh dari hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan, eksplorasi, studi kelayakan, atau penambangan. Sistem Informasi Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut sistem informasi WP, adalah suatu sistem informasi yang dibangun secara integral untuk mengolah data WP menjadi informasi yang bermanfaat guna memecahkan masalah dan pengambilan keputusan mengenai kewilayahan. Datum Geodesi Nasional adalah referensi yang berlaku di Indonesia untuk menyatakan posisi (koordinat) dalam survei dan pemetaan secara nasional. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II ...
1093
-4-
BAB II PENYIAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal2 (1)
WP dapat terdiri atas WUP yang meliputi: a. WUP radioaktif; b. WUP mineral logam; c. WUP batubara; d. WUP mineral bukan logam; dan/atau e. WUP batuan.
(2)
Menteri menetapkan WUP radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan us ulan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran.
(3)
Menteri menetapkan WUP mineral logam dan WUP batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat dan instansi terkait.
(4)
Penetapan WUP mineral log am atau WUP batubara sebagaimana dimaksud pad a ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara dan/atau formasi batuan pembawa mineral logam, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral logam dan/atau batubara; c. memiliki potensi sumber daya mineral logam dan/atau batubara; d. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral logam termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara; e. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan g.
merupakan kawasan peruntukan dengan rencana tata ruang.
pertambangan
sesuai
(5)
Menteri menetapkan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) huruf d dan huruf e setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat dan instansi terkait.
(6)
Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) huruf d dan huruf e kepada gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk: a. b.
WUP mineral bukan logam dan WUP batuan yang berada pad a lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan dalam 1 (satu) kabupaten/kota. (7) Dalam ...
1094
-5(7)
Dalam hal Menteri melimpahkan kewenangan penetapan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), gubernur menetapkan WUP setelah berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/walikota setempat.
(8)
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (7) untuk menyamakan persepsi terkait dengan kriteria penetapan WUP sebagai berikut:
(9)
a.
memiliki singkapan geologi untuk mineral bukan logam dan/atau batuan;
b.
memiliki potensi sumber daya mineral bukan logam dan/atau batuan;
c.
memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral bukan logam dan/atau batuan;
d.
tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN;
e.
merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan
f.
merupakan kawasan peruntukan dengan rencana tata ruang.
pertambangan
sesuai
Koordinasi dengan instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) berkaitan dengan WUP sebagai kawasan peruntukan pertambangan dalam rencana tata ruang wilayah nasional yang disusun berdasarkan 7 (tujuh) pulau atau gugusan kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penataan ruang. Pasal3
Dalam hal data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian atau ekplorasi yang dilakukan oleh: a.
Menteri, gubernur, kewenangannya; atau
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
b.
penugasan yang dilakukan oleh lembaga riset negara atau lembaga riset daerah, ditemukan potensi sumber daya dan cadangan mineral atau batubara yang diminati oleh pasar pada WP di luar WUP yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). ayat (5), dan ayat (7), maka Menteri dapat menetapkan sebagai WUP baru. Pasal4 (1 )
Dalam 1 (satu) WUP mineral logam atau WUP batubara dapat ditetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2)
WIUP mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan 1 (satu) komoditas tambang mineral logam utama termasuk mineral ikutannya.
(3)
Mineral ikutan sebagaimana dimaksud pad a ayat (2) merupakan komoditas tambang mineral logam lainnya yang berasosiasi dengan mineral logam utama. Pasal5
(1)
Dalam 1 (satu) WUP mineral bukan logam atau WUP batuan dapat ditetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP. (2) WIUP ...
1095
-6(2)
WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan 1 (satu) komoditas tambang mineral bukan logam atau batuan. Pasal6
(1)
Menteri dalam menetapkan WUP mineral radioaktif, WUP mineral logam dan WUP batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dapat tumpang tindih dengan WUP mineral bukan logam atau WUP batuan.
(2)
Dalam hal Menteri menetapkan WUP mineral radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tumpang tindih dengan pemegang WIUP mineral logam, WIUP mineral bukan logam, WIUP batuan dan/atau WIUP batubara maka instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran harus melakukan koordinasi dengan pemegang WIUP mineral logam, WIUP mineral bukan logam, WIUP batuan dan/atau WIUP batubara.
(3)
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka untuk membuat perjanjian kerjasama pengusahaan WIUP yang tumpang tindih, dengan prinsip saling menguntungkan.
(4)
Instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran mengajukan penugasan kepada Menteri dalam rangka penetapan WIUP mineral radioaktif disertai dengan perjanjian ke~a sama pengusahaan WIUP yang tumpang tindih sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal7
Dalam hal WUP mineral bukan logam atau WUP batuan tumpang tindih dengan WUP mineral logam atau WUP batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal6 maka dalam WUP mineral bukan logam atau WUP batuan tidak berlaku ketentuan untuk mendapatkan hak prioritas atau hak keutamaan untuk mengusahakan mineral logam dan batubara dalam WI UP mineral bukan log am atau WIUP batuan. Pasal8 (1 )
Dalam hal pada bag ian penetapan WP terdapat wilayah yang belum prospek untuk dikembangkan guna ditetapkan sebagai WUP mineral logam atau WUP batubara, maka Menteri dapat menetapkan wilayah tersebut menjadi WUP mineral bukan logam atau WUP batuan.
(2)
Dalam hal pada lokasi WUP mineral bukan logam atau WUP batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan golongan komoditas tambang mineral logam atau batubara yang prospek untuk dikembangkan, maka Menteri dapat menetapkan WUP mineral logam atau WUP batubara setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3)
Dalam hal pada lokasi WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan pada WUP mineral bukan logam atau WUP batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan golongan komoditas tambang mineral logam atau batubara yang prospek untuk dikembangkan, maka tidak berlaku ketentuan untuk mendapatkan hak prioritas atau hak keutamaan untuk mengusahakan mineral logam atau batubara dengan cara permohonan wilayah. Bagian ...
1096
-7Bagian Kedua Penyiapan WIUP Mineral Logam dan WIUP Batubara Pasal9 (1)
(2)
Direktur Jenderal menyiapkan WIUP mineral logam atau WIUP batubara dalam WUP yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) untuk ditawarkan dengan cara lelang kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Penyiapan WIUP mineral logam atau WIUP batubara sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) berdasarkan data antara lain: a. b. c. d.
hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penetapan WP; eksplorasi dalam WP; hasil evaluasi terhadap WIUP mineral logam atau WIUP batubara yang dikembalikan oleh pemegang IUP; hasil evaluasi terhadap wilayah KK atau wilayah PKP2B yang telah dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.
hasil evaluasi terhadap WIUP mineral logam atau WIUP batubara yang IUP-nya berakhir; dan/atau
f.
hasil evaluasi terhadap wilayah KK dan/atau wilayah PKP2B yang kontrak atau perjanjiannya telah berakhir. Pasal 10
(1 )
Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan permohonan usulan penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara yang tumpang tindih dengan WUP mineral bukan logam atau WUP batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) kepada Menteri berdasarkan usulan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai pemegang WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan.
(2)
Dalam hal pemegang WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan berminat untuk mengusahakan mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pad a ayat (1), maka harus mengajukan sebagai peserta lelang WIUP mineral logam atau WIUP batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal11
(1)
Penyiapan WIUP mineral log am atau WIUP batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf b disusun berdasarkan data dan informasi hasH penyelidikan dan penelitian pertambangan dan/atau eksplorasi yang dilakukan oleh: a. b.
Menteri; gubernur;
c.
bupati/walikota; dan/atau
d.
lembaga riset negara dan lembaga riset daerah melalui penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyiapan '"
1097
-8(2)
Penyiapan WIUP minerallogam atau WIUP batubara dari WIUP yang dikembalikan atau WIUP yang berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c sampai dengan huruf f disusun berdasarkan data dan informasi hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan/atau penambangan yang dilakukan oleh: a. pemegang IUP; b. kontraktor KK; dan/atau c. kontraktor PKP2B.
(3)
Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan dan/atau eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan data dan informasi hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan/atau penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta usulan dari gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disampaikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan Geologi dan Kepala Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral berikut ringkasan hasil data geosain dan peta. Pasal 12
(1)
Penyiapan WIUP dalam rangka penawaran WIUP dengan cara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan oleh Direktur Jenderal melalui evaluasi teknis dan ekonomi.
(2)
Untuk pelaksanaan evaluasi teknis dan ekonomi, sebagaimana dimaksud pad a ayat (1), Direktur Jenderal dapat membentuk tim penyiapan WIUP.
(3)
Tim penyiapan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beranggotakan wakil dari: a. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara; b. Badan Geologi; c. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral; d. Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; e. instansi terkait; dan f.. pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota setempat.
(4)
Tim penyiapan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasil evaluasi teknis dan ekonomi kepada Direktur Jenderal. Pasal 13
(1)
Berdasarkan hasil evaluasi teknis dan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Direktur Jenderal menyusun usulan rencana penetapan WIUP yang memuat: a. lokasi; b. luas dan batas WIUP dengan menggunakan georeferensi WUP; c. kualitas data WIUP; d. harga kompensasi data informasi WIUP atau total biaya pengganti investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;dan e. penggunaan lahan. (2) Luas ...
1098
-9(2)
Luas dan batas WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
letak geografis;
b.
kaidah konservasi;
c.
daya dukung lingkungan;
d.
optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e.
tingkat kepadatan penduduk.
(3)
Daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berdasarkan kajian lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan Jingkungan hidup.
(4)
Usulan rencana penetapan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Direktur Jenderal dengan instansi terkait, gubernur, dan bupatilwalikota setempat berkaitan dengan rencana penetapan batas, koordinat, dan luas WIUP tertentu yang dianggap potensial mengandung mineral logam dan/atau batubara dalam WIUP. Pasal14
Direktur Jenderal berdasarkan hasH koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) mengusulkan kepada Menteri mengenai penetapan WIUP dengan dilampiri: a.
koordinat WIUP yang disusun sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini; dan
b.
peta WIUP yang digambarkan dalam bentuk format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. BAB III SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN Pasal15
(1)
(2)
Sistem informasi WP dimaksudkan untuk penyeragaman, antara lain: a.
sistem koordinat;
b.
peta dasar yang diterbitkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional; dan
c.
peta WP, WUP, WPR, WPN, atau WIUP mineral radioaktif, minerallogam, mineral bukan logam, batuan, dan batubara.
Sistem informasi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan teknologi sistem informasi geografis yang bersifat universal. Pasal 16
(1)
Sistem koordinat pemetaan WIUP menggunakan Datum Geodesi Nasional yang mempunyai parameter sarna dengan parameter Ellipsoid World Geodetic System.
(2) WUP ...
1099
- 10 (2)
WUP, WPR, WPN, atau WIUP digambarkan dalam peta situasi dengan skala plano kertas ukuran A3 dan dalam bentuk poligon tertutup dibatasi oleh garis-garis yang sejajar dengan garis lintang dan garis bujur dengan kelipatan minimal sepersepuluh detik (0,1") serta menggunakan sistem koordinat sebagaimana dimaksud pad a ayat (1).
(3)
Peta WUP, WPR, WPN, atau WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mencantumkan, antara lain: a.
batas, koordinat, dan luas;
b. c.
kodefikasi WUP, WPR, WPN, atau WIUP; batas administratif;
d.
status penggunaan lahan;
e.
keterangan peta, antara lain skala garis, sumber peta, dan lokasi peta; dan
f.
pengesahan peta WUP, WPR, WPN, atau WIUP.
(4)
Pengesahan peta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5)
Kodefikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disusun sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. BABIV PENETAPAN WIUP Pasal 17
(1)
Menteri menetapkan WIUP mineral logam dan WIUP batubara untuk ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan berdasarkan usulan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal14.
(2)
Menteri dapat menolak penetapan WIUP mineral logam atau WIUP batubara yang diusulkan oleh gubernur atau bupatil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 berdasarkan evaluasi teknis dan ekonomi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal. Pasal18
(1 )
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan peta WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan berdasarkan permohonan badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sebelum menerbitkan peta WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berkoordinasi dengan Menteri apabila: a. tumpang tindih dengan WIUP mineral logam dan/atau WIUP batubara yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk dilelang; b. tumpang tindih dengan WIUP mineral logam dan/atau WIUP batubara yang telah diberikan kepada pemegang IUP mineral logam atau batubara;
c. berada .. ,
1100
- 11 c. berada dalam WUP mineral bukan log am atau WUP batuan yang tumpang tindih dengan WUP mineral radioaktif, WUP mineral logam, dan/atau WUP batubara. Pasal 19 (1)
Dalam hal pada lokasi WIUP minerallogam yang telah ditetapkan dalam suatu WIUP awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dite":Juk.an ~omoditas tambang mineral logam lainnya yang bukan aSOSlaSI mln!3ral logam ma~a Menteri menetapkan WIUP baru untuk komodltas tambang minerai logam lainnya.
(2)
Dalam hal pad~ lokasi WIUP minerallogam atau WIUP batubara yang telah dltetapkan dalam suatu WIUP awal ditemukan golongan komoditas tambang yang berbeda maka Menteri menetapkan WIUP baru untuk golongan komoditas tambang tersebut dalam suatu WUP baru.
(3)
Penetapan WIUP mineral Jogam atau WIUP batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yang tumpang tindih dengan WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupatil walikota setempat.
(4)
Apabila dalam WIUP minerallogam atau WIUP batubara terdapat komoditas tambang mineral bukan logam atau komoditas tambang batuan yang diminati oleh badan usaha, koperasi, dan perseorangan maka dapat ditetapkan WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan oleh gubernur atau bupatilwalikota sesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Menteri. Pasal20
(1)
Pemegang WIUP mineral logam pertama memperoleh keutamaan dalam mendapatkan WIUP untuk golongan komoditas tambang mineral logam lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tanpa lelang dan harus membentuk badan usaha baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Untuk mendapatkan WIUP untuk golongan komoditas tambang yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) diberikan kepada pemegang WIUP pertama tanpa lelang dan harus membentuk badan usaha baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Untuk mendapatkan WIUP mineral logam atau WIUP batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pemegang WIUP pertama harus mengajukan sebagai peserta lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) badan usaha, koperasi, dan perseorangan wajib mengajukan permohonan wilayah kepada Menteri, gubernur atau bupatil walikota sesuai dengan kewenangannya.
BABV ...
1101
- 12 -
BABV KETENTUANPENUTUP Pasal21 Pad a saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1603 Kl40/MEM/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Dalam Rangka .Penanaman Modal Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal22 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. DARWIN ZAHEDY SALEH Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 487
1102
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 12 TAHUN 2011 TANGGAL : 11 Agustus 2011
KOORDINATWILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Komoditas Lokasi Provinsi Kabupaten/Kota Kode Luas (Ha)
No. Titik
0
Garis Bujur (BT) ,
0
"
Garis Lintang , "
LUlLS
1 2
3 4
.....
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd.
DARWIN ZAHEDY SALEH
1103
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 12 TAHUN 2011 TANGGAL : 11 Agustus 2011 CONTOH FORMAT PETA WILAYAH IllN USAHA PERTAMBANGAN I
I PETA WILAYAH IllN USAHA PERTAMBANGAN
V
I
Grid Koordinat
PROVINSI KABUPATEN
· ... · .. ,
KODEWIUP LUAS WlUP (Ha)
· ... · ...
J
n
SKALA 1: •..
Km Keteranaan TlIll/kat Penyefidi
I
Gambar Peta
Patensi Sumberdaya dan Cadangan
I
Legenda Peta : o Kota Provinsi
o Kota Kabupaten o Batas Kabupaten
.......... ..........
t--
Wiiayah P-.nbangan
o Wilayah Usaha Pertambangan o Wdayah lzin Usaha Pertambangan SUMBER PETA:
1. 2.
LOKASIPETA Pengesahan Peta:
Pejabal yang ditunjuk
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,
\~"" ''-''-'' 'I dan ~umas,
ttd. wira
1104
DARWIN ZAHEDY SALEH
LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 12 TAHUN 2011 TANGGAL: 11 Agustus 2011
PEDOMAN KODEFIKASI WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN
A. PEMBERIAN KODE PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN
Pengkodean WUP terdiri dari 11 (sebelas) digit dengan rincian sebagai berikut: Digit pertama menunjukkan pejabat yang menetapkan: 1 Menteri 2 : Gubernur II
Digit kedua menunjukkan lokasi Pulau/Gugusan Kepulauan: Pulau Sumatera 1 2 Pulau Jawa dan Bali 3 Pulau Kalimantan 4 Pulau Sulawesi 5 Pulau Papua 6 Gugusan Kepulauan Maluku 7 Gugusan Kepulauan Nusa Tenggara
III Digit ketiga dan keempat menunjukkan Provinsi. Pengaturan kode provinsi sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berlaku tentang kodefikasi provinsi. Untuk WUP lintas provinsi ditetapkan dengan kode 00. IV Digit kelima menunjukkan jenis komoditas yang ditambang: 1 Mineral radioaktif 2 Mineral logam 3 Batubara 4 Mineral bukan logam 5 Batuan V Digit keenam sampai dengan kesembilan menunjukkan tahun penetapan WUP. VI Digit kesepuluh dan kesebelas menunjukkan nom or urut penetapan WUP. Dalam penetapan pertama kali, nomor urut dimulai dari kesiapan daerah tersebut dalam menyiapkan WUP. Contoh 1. WUP Mineral Logam yang terletak di Provinsi Sumatera Utara ditetapkan Tahun 2011 oleh Menteri. ~~~
678
9
~
~~l2J121011111~ digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 digit 6 s.d. 9 digit 10 dan 11
: Menteri (1) : Pulau Sumatera (1) : Provinsi Sumatera Utara (12) : Mineral logam (2) : 2011 : Nomor urut (01)
1105
- 2 Contoh 2. WUP Batubara yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Menteri.
digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 digit 6 s.d. 9 digit 10 dan 11
: Menteri (1) : Pulau Kalimantan (3) : Provinsi Kalimantan Timur (64) : Batubara (3) : 2011 : Nomor urut (01)
Contoh 3. WUP Mineral Bukan Logam yang terletak di Provinsi Papua Barat yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Gubernur.
digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 digit 6 s.d. 9 digit 10 dan 11
: Gubernur (2) : Pulau Papua (5) : Provinsi Papua Barat (92) : Mineral bukan logam (4) : 2011 : Nomor urut (01)
Contoh 4. WUP Batubara yang terletak di lintas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Menteri.
digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 digit 6 s.d. 9 digit 10 dan 11
: Menter; (1) : Pulau Kalimantan (3) : Lintas Provinsi (00) : Batubara (3) : 2011 : Nomor urut (01)
B. PEMBERIAN KODE UNTUK WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN Pengkodean WIUP terdiri dari 16 (enam belas) digit dengan rincian sebagai berikut: Digit kesatu menunjukkan pejabat yang menetapkan: 1 Menteri untuk WIUP mineral radioaktif, mineral logam, dan batubara, serta WIUP bukan logam dan WIUP batuan lintas provinsi. 2 Gubernur untuk WIUP bukan logam dan WIUP batuan lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 3 BupatilWalikota untuk WIUP bukan logam dan WIUP batuan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
1106
- 3 II
Digit kedua menunjukkan lokasi Pulau/Gugusan Kepulauan: 1 Pulau Sumatera 2 Pulau Jawa dan Bali 3 Pulau Kalimantan 4 Pulau Sulawesi 5 Pulau Papua 6 Gugusan Kepulauan Maluku 7 Gugusan Kepulauan Nusa Tenggara
III Digit ketiga dan keempat menunjukkan Provinsi. Pengaturan kode provinsi sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berlaku tentang kodefikasi provinsi. Untuk WIUP lintas provinsi ditetapkan dengan kode 00. IV Digit kelima dan keenam menunjukkan Kabupaten/Kota. Pengaturan kode kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berlaku tentang kodefikasi kabupaten/kota. Untuk WIUP lintas kabupaten/kota ditetapkan dengan kode 00. V Digit ketujuh menunjukan komoditas yang ditambang: 1 Mineral radioaktif 2 Mineral logam 3 Batubara 4 Mineral bukan logam 5 Batuan VI Digit kedelapan dan kesembilan menunjukkan jenis komoditas mineral logam, bukan logam, batuan, dan batubara. Mineral Logam Kode
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Litium Berilium Magnesium Kalium Kalsium Emas Tembaga Perak Timbal Seng Timah Nikel Mangaan Platina Bismuth Molibdenum Bauksit Air Raksa Wolfram Titanium
Kode
21 22 23 24 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Barit Vanadium Kromit Antimoni Kobalt Tantalum Cadmium Galium Indium Yitrium Magnetit Besi Galena Alumina Niobium Zirkonium limen it Khrom Erbium Ytterbium
1107
Kode
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Dysprosium Thorium Cesium Lanthanum Niobium Neodymium Hafnium Scandium Aluminium Palladium Rhodium Osmium Ruthenium Iridium Selenium Telluride Stronium Germanium Zenotin
- 4 Mineral Bukan Logam Kode
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15
Intan Korondum Grafit Arsen Pasir Kuarsa Fluorspar Kriolit Yodium Brom Klor Belerang Fosfat Halit Asbes Talk
Kode
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Mika Magnesit Yarosit Oker Fluorit Ball Clay Fire Clay Zeolit Kaolin Feldspar Bentonit Gipsum Dolomit Kalsit Rijang
KOde
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Pirofilit Kuarsit Zirkon Wolastonit Tawas Batu Kuarsa Perlit Garam Batu Clay Batu gamping untuk semen
Batuan Kode
Kode
KOde 01 Pumice 21 Opal 41 Bahan Timbunan 02 Tras 22 Kalsedon Pilihan (Tanah) 03 Toseki 23 Chert 42 Urukan Tanah 04 Obsidian 24 Krista I Kuarsa Setempat 05 Marmer 25 Jasper 43 Tanah Merah 06 Perlit 26 Krisoprase (Laterit) 07 Tanah Diatome 27 Kayu Terkesikan 44 Batu Gamping 08 Tanah Serap (Fullers Earth) 28 Gamet 45 Onik 09 Slate 29 Giok 46 Pasir Laut 10 Granit 30 Agat 47 Pasir yang tidak 11 Granodiorit 31 Diorit mengandung 12 Andesit 32 Topas unsur mineral 13 Gabro logam atau unsur 33 Batu Gunung Quarry Besar 14 Peridotit mineral bukan 34 Kerikil Galian dari Bukit 15 Basalt logam dalam 35 Kerikil Sungai jumJah yang 16 Trakhit 36 Batu Kali berarti ditinjau 17 Leusit 37 Kerikil Sungai Ayak Tanpa dari segi ekonomi 18 Tanah Liat pertambangan Pasir 19 Tanah Urug 38 Pasir Urug 20 Batu Apung 39 Pasir Pasang 40 Kerikil Berpasir AJa~j (Sirtu)
1108
- 5 Batubara Kode 01
Bitumen Padat
02
Batuan Aspal
03
Batubara
04
Gambut
VII Digit kesepuluh sampai dengan ketigabelas menunjukkan Tahun penetapan WIUP. VIII Digit keempatbelas sampai dengan keenambelas menunjukkan nomor urut penetapan WIUP.
Contoh 5. WIUP Mineral Logam nikel yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe Selatan yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Menteri.
rn I~ I!I~ I: 108!J 1'~ I~ 1'; 1'~ II'~ 1'~ 1'~ 1
digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 dan 6 digit 7 digit 8 dan 9, digit 10 s.d. 13 digit 14 s.d. 16
Contoh 6.
Menteri (1) Pulau Sulawesi (4) Provinsi Sulawesi Tenggara (74) Kabupaten Konawe Selatan (05) Mineral Logam (2) Nikel (12) 2011 Nomor urut (001)
WIUP emas yang terletak di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pacitan yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Gubernur. 1
2
3
4
3
5
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
~ 1 1 101110~ 121 0111111 010111
digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 dan 6 digit 7 digit 8 dan 9, digit 10 s.d. 13 digit 14 s.d. 16
Gubernur (2) Pulau Jawa (2) Provinsi Jawa Timur (35) Kabupaten Pacitan (01) Mineral Logam (2) Emas (06) 2011 Nomor urut (001)
1109
- 6 Contoh 7.
WIUP emas yang terletak di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ponorogo yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Gubernur. 1
2
3
4
5
6
7
8
9
~ 13 15 101 010~ digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 dan 6 digit 7 digit 8 dan 9, digit 10 s.d. 13 digit 14 s.d. 16 Contoh 8.
10
11
12
13
14
15
16
121 01 11111 01 011
1
Gubernur (2) Pulau Jawa (2) Provinsi Jawa Timur (35) Lintas Kabupaten (00) Mineral Logam (2) Emas (06) 2011 Nomor urut (001)
WIUP pasir besi yang terletak di lintas Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi D.1. Yogyakarta, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulonprogo yang ditetapkan Tahun 2011 oleh Menteri. 1
2
~ digit 1 digit 2 digit 3 dan 4 digit 5 dan 6 digit 7 digit 8 dan 9, digit 10 s.d. 13 digit 14 s.d. 16
3
1
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
0 0 01010CiEJ /21 0/1 11 010 11 1
1
/1
1
Menteri (1) Pulau Jawa (2) Lintas Provinsi (00) Lintas Kabupaten (00) Mineral Logam (2) Besi (33) 2011 Nomor urut (001)
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. DARWIN ZAHEDY SALEH
1110
MENTERI ENERGI DANSUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0186 K/30/MEM/2011 TENTANG PELIMPAHAN WEWi:NANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA UNTUK PEMBERIAN lZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN PEMBERIAN SURAT KETERANGAN TERDAFTAR
.
MENTER I ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang
, Mengingat
a.
bahwa dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas untuk pemberian Izin Usaha Pertambangan d,an Surat Keterangan Terdaftar yang menJadl wewenang Menteri Energi dan Sumber Days Minerai, perlu dllakukan penyederhanaan prosedur qengan meUmpahkan kepada Direktur Jenderal Mineral dan S'atubara; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam, huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Minerai tentang Pelinipahan WeWena,ng Menteri Energi dan' Sumber Daya Mineral· Kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara .Untuk Pemberian Izin Usaha Pertambangan dan . Pemberian Surat Keterangan Terdaftar; 1. Undang..Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan .. Minerai dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4959).; . . 2,. ,Peratu.ran pemerintah, Nomor, 22 Tahun 2010 tentang Wi/ayah , ,Pertambangan (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 28, . Tambahan Lembaran' Negara .RI Nomor 5110); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tah~n 20,10 tentang' Pelaksanaan KegJatan Usaha Pertambahgan, Mineral . dan . . 8atubara (Lembaran Negara RI Tahun 2010'Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Rl Nomor 5111); '4. Peraturan,Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan 'Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha . Pertam~ngan Min~t:ar dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun 20fO Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5142); , 5. Peratoran Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi . . d$n Pascatambang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 138, TambahanLembar~n Negara. RI Nomor5172);, 6. Keputusan Presiden N~mor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober .2009; , 7. Peraturan Menteri Energi dan Sumbe.r Daya Mineral Nomor 052 , Tahuil,2006 tentang Tata Persuratan Dinas dan Kearsipan; 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber' Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan M~neral dan Batubara (Berita Negara RI Tahun 2009 Nomor 341); 9. Peraturan ...
1111
-2-
. . . d S mber Oay.a Mineral Nom'or 18 9. Peraturan Menter! Ene~, ap ~ dan Tata Ke'rja Kementerian Tahun. 2'01 0 t~ntang rgMa,:, saras"(Berita N'egara RI Tahun 2010 Energi' d.an Sumber Daya lOe . Nomor552); MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEUMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA UNTUK PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN PEMBERIAN SURAT KETERANGAN TeRDAFiAR. . Melimpahkan wewenang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara untuk d.an atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk pembenan: a. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, apabila .kegiatan pengangkutan dan penJualan dilakukan lintas provinsi dan negara; b. Izin .Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk 'pengolahan dan pemumian, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari provinsi lain dan/atau lokasi keglatan . pengolatian dan pemumian berada pada IIntas provinsi; dan c. . Surat Keterangan Terdaftar untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan Non Inti di seluruh wllayah Indonesia. .
Menetapkan
KESATU
,
KEDUA
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara wajib menyampaikan: a. Laporan setlap bulan; b.· .Rahgkuman setiap 3 (tiga) bulan; dan . c. Rekomendasi strategls setiap 3 (ti9a) bulan,' .kepada Menteri Energl dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Keputusan Menteri ini.
KETIGA
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksariaansebagaimana dimaksud dalam Diktlim Kesatu ditetapkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara. . . .
KEEMPAT
: . Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal' ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tangga' 2 Februari 2011 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd.
.. DARWIN ZAHEDY SALEH Tembusan: . 1. Presiden Republik Indonesia . 2. Wakif Presiden·Repllblik Indonesia . 3. Menterj Koordinetor Bidang Perekonomian 4. Menten Dalam Negeri 5. Menteri Keuangan 6. Menteri Kehutc\IJan . \ 7. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ) 8. Sekretaris Jenderal~ementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 9. Inspe~ur Jenderal em~nterian Energl dan Sumber Daya Mineral 1'0. Para ubemur di. se uruh Indonesia 11. Para uj)atilWalikota di seluruh Indonesia 1'2. Kepala Dinas Pertambangan Provinsi dl Mluruh Indonesia 13. Kepala Dinas Pertambangan KabupateniKota di seluruh Indonesia 6~:::::::'~::"'~
•/ ' ,\ '. N ~'I ....., .. /., r,:-' vr-.':':":':·~.'.11- "
/:<:<-"
/~-'. ~~. .
.
\ sual
,....
n aslinya
.
KEW~I~~ ,- u N':U BERD~:AMINERAL \\i::\ \ r"\ ": l·t.~/.f!, ' .,.... "'i- ,,:-.... )" \ , ,,'/ 0: .••.:::-.1..»,.:;:::.:;:: ...':..••:..... ,,\..,. tis a Pra 1,\\: '.,;:(
\,>, I
\ " i) ~'I;f!:' fII+o-t-~-+--
-!>i
'*
-'.;;:.~::.::::;;;~.::=.;;:::,:-.
1112