Supril Anshari. S.Kep MW Kendari 2014 EFEKTIFITAS TERAPI INHALASI NEBULIZER SALBUTAMOL DAN SALBUTAMOL CAMPURAN CAIRAN NaCl 0,9% TERHADAP POLA INEFEKTIF PADA PASIEN ASMA BRONCHIAL DI RUANG ANGGREK BLUD RSU KONAWE TAHUN 2014 Abstrak Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen menggunakan uji beda untuk dua kelompok saling bebas (Independen Sampel t test) dan desain yang akan digunakan adalah quasy eksperimen, dengan rancangan static group comparison pre-test-post-test Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 34 orang dan sampel sebanyak 14 orang umur 2-5 tahun. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling . Analisis data menggunakan uji t paired test dan uji independent t test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kondisi klien pre perlakuan baik yang akan diberi salbutamol maupun campuran NaCl 0,9% menunjukkan frekuensi pernapasan rata-rata rata- rata ≥50x/menit dimana nila rentang normal 2020 40x/menit, setelah diberi perlakuan maka terjadi perbaikan pola nafas dengan indikator terjadi penurunan frekuensi pernapasan dari dua kelompok yang diberi perlakuan. Salbutamol efektif terhadap pola nafas inefektif dengan nilai uji statistic (ρ= 0,000 dan t hitung = 19,645). Pemberian salbutamol + NaCl 0,9% efektif terhadap pola nafas inefektif dengan nilai uji statistic (ρ= 0,000 dan t hitung = 35,890). Penggunaan terapi injalasi nebulizer menggunakan salbutamol + NaCl 0,9% lebih efektif dibanding dengan salbutamol saja dengan rata-rata penurunan frekuensi pernapasan post perlakuan 19,86 > 15,29. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol + NaCl 0,9% lebih efektif dibanding menggunakan salbutamol saja terhadap pola nafas inefektif. Kata kunci : Inhalasi, Nebulizer, Salbutamol, Cairan NaCl 0,9%, pola nafas Inefektif, Asma Bronchiale, Anggrek, RSU Konawe. Abstract The research used an experiment using different test for two independent groups (independent samples t test) and a design that will be used is quasy experimental, static group comparison design with pre-testpost-test Total population in this study as many as 34 people and sample of 14 people aged 2-5 years. The sampling technique used accidental sampling. Data were analyzed using paired t test test test and independent t test.The results showed that pre-treatment condition whether the client will be given a mixture of salbutamol and NaCl 0.9% showed an average breathing frequency ≥50x / min where indigo normal range 20-40x / min, after a given treatment, the improvement of breathing pattern occurs with indicator a decline in respiratory frequency of the two treated groups. Salbutamol effective to ineffective breathing pattern with a test statistic value (ρ = 0.000 and t = 19,645). Salbutamol administration of NaCl 0.9% + effective effective against ineffective breathing pattern with a test statistic value (ρ = 0.000 and t = 35,890). Injalasi nebulizer therapy using salbutamol + NaCl 0.9% is more effective than salbutamol alone with an average decrease in the frequency of post-treatment respiratory 19.86> 15.29. Based on the results of the study concluded that the use of inhaled salbutamol nebulizer + NaCl 0.9% was more effective than using only salbutamol on ineffective breathing pattern. Keywords: Inhalation, Nebulizer, salbutamol, 0.9% NaCl liquid, ineffective breathing pattern, Asthma Bronchiale, Orchid, RSU Konawe. PENDAHULUAN Semakin majunya teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka semakin tinggi pula tuntutan masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan tentang kesehatan. Selain itu dalam system kesehatan nasional dijelaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative, namun masih banyak permasalahan-permasalahan yang dijumpai masyarakat, salah satunya penyakit atau gangguan system pernafasan asma bronchiale. (Depkes RI, 2009). Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan sesak napas dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap orang berbeda. Kondisi ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas sehingga mudah teriritasi. Pada saat serangan, alur jalan napas membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan aliran udara yang masuk ke paru-paru. Inhalasi nebulizer jalur pilihan yang paling baik, karena dapat mencapai percabangan bronkus, membutuhkan dosis obat yang lebih rendah dan efek samping obat yang lebih rendah (Cantani, 2008).
Data awal yang didapatkan di BLUD RSU Konawe khususnya diruang perawatan zaal anak, tahun 2011 terdapat 327 orang anak mengalami asma bronchial, 2012 sebanyak 348 orang, dan tahun 2013 didapatkan 352 orang anak mengalami penyakit asma bronchial. Pada periode bulan Januari – – Maret tahun 2014 untuk anak yang terkena asma bronchial sebanyak 74 orang, dimana dari 74 orang anak, yang berumur 2 –5 –5 tahun terdapat 34 orang yang dirawat di ruang perawatan zaal anak dengan diagnosa medis asma bronchiale. Untuk mencapai jumlah sampel yang penelitian, dalam hal ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada anak yang berumur 2-5 tahun dikarenakan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir mayoritas pasien yang dirawat diruang anak BLUD RSU Kabupaten Konawe periode Januari – Maret 2014 berumur 2-5 tahun. dari 74 orang yang dirawat semua mendapatkan terapi inhalasi nebulizer. dimana yang mendapatkan terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% berjumlah 36 orang dan yang mendapatkan inhalasi salbutamol saja bejumlah 38 orang. Sedangkan tingkat kesembuhan yakni, rata-rata pasien anak yang mendapatkan inhalasi salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% memilki masa rawat ± 4 hari, sedangkan untuk pasien yang mendapatkan inhalasi salbutamol saja memilki masa rawat inap ±5 hari (Buku Register Zaal Anak 2014). Terapi serangan asma saat ini masih bertujuan untuk mengatasi bronkokonstriksi, padahal produksi mucus dan udem submukosa juga dapat menyebabkan penyumbatan bronkiolus yang dapat memperberat serangan asma. Penelitian Jones dkk telah membuktikan keamanan penggunaan salin hipertonik sebagai induksi sputum pada anak penderita asma. Dimana pada 182 anak penderita asma yang dilakukan induksi menggunakan salin hipertonik seperti cairan NaCl mendapatkan angka keberhasilan yang tinggi dalam pengeluaran sputum dan menyimpulkan bahwa induksi sputum menggunakan salin hipertonik aman digunakan pada anak penderita asma (Jones et al, 2001). Penggunaan cairan NaCl 0,9% sebagai terapi tambahan pada anak asma serangan ringan dan sedang dengan bertujuan untuk mendapatkan peningkatan efek pengeluaran mukus tanpa menimbulkan efek provokasi bronkus seperti pada NaCl 0,9%. Penambahan NaCl 0,9% pada nebulisasi salbutamol, diharapkan dapat memperbaiki derajat serangan asma melalui peningkatan pengeluaran mucus pada anak yang mengalami penyakit asma bronchiale (Crocket Antony, 2007). Pada ruang perawatan zaal anak BLUD RSU Konawe, dr.ahli anak terkadang memberikan terapi inhalasi menggunakan jet nebulizer dengan menggunakan obat inhalasi seperti salbutamol. Tetapi kadang juga menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% pada pasien anak yang dirawat diruang perawatan anak dengan diagnosa medis asma bronchiale. Penggunaan salbutamol diruang perawatan anak BLUD RSU Konawe memiliki efek pada pasien balita dengan asma bronchial untuk mendilatasi broncus sedangkan NaCl membantu dalam mengencerkan dahak. Masalah keperawatan yang muncul merupakan kecendurungan berdasarkan proses patofisiologi. Dengan kata lain diagnosis keperawatan sesuai dengan diagnose medis dapat muncul/tidak dilingkup praktek keperawatan, tetapi diagnosis keperawatan akan ditegakkan bergantung pada proses manusia/klien terhadap penyakit yang dideritanya. Salah satu penyakit yang sering dialami oleh anak adalah asma bronciale, dimana penyakit ini mengenai system pernapasan. Pada asma bronchiale terjadi broncospasme yang akibatnya dapat menimbulkan masalah keperawatan seperti ketidak efektifan jalan nafas dan perubahan pola nafas tidak efektif. Masalah keperawatan dengan diagnosa perubahan pola nafas tidak efektif akan terlihat adanya peningkatan frekuensi pernapasan pada anak akan didapatkan pada saat melakukan observasi tanda-tanda tanda- tanda vital (TTV) pernapasan ≥40x/menit. Masalah ini muncul sebagai bentuk kompensasi tubuh dalam memenuhi kebutuhan O2 akibat adanya bronkokonstriksi pada asma bronchiale. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian tersendiri oleh seorang perawat dalam menentukan tindakan keperawatan yang tepat untuk klien yang mengalami masalah pernapasan khususnya dengan diagnose medis asma bronchiale. Observasi merupakan salah satu bentuk dari tindakan mandiri perawat yang nantinya akan sangat berguna dalam menetukan masalah serta intervensi yang tepat sesuai dengan kondisi klien. Dalam hal tindakan kolaborasi dibutuhkan kerja sama yang baik dengan tim medis, tim medis memberikan terapi medis sedangkan perawat melakukan intervensi sesuai dengan prioritas masalah yang didapat pada saat melakukan pengkajian atau observasi langsung berdasarkan pada kebutuhan dasar manusia, Jika ada salah satu terapi yang diberikan tim medis yang kemudian berefek positif maupun negatif pada klien maka disinilah peran perawat untuk berkolaborasi dengan tim medis sesuai dengan data yang didapatkan oleh perawat baik dari data objektif maupun data subjektif, hal ini bisa dilakukan perawat disebabkan perawat lebih banyak melakukan kontak dengan pasien (Irman Somantri, 2009). Berdasarkan permasalahan diatas, maka dengan ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “efektifitas inhalasi nebulizer salbutamol dan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9%
terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale ruang anggrek BLUD RSU Konawe tahun 2014”.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen eksperimen menggunakan uji beda untuk dua kelompok saling bebas (Independen Sampel t test) dan desain yang akan digunakan adalah quasy eksperimen, eksperimen , dengan rancangan static group comparison pre-test-post-test yaitu terdapat dua kelompok yang dipilih sebagai objek penelitian. Kelompok pertama dan kelompok kedua masing-masing mendapatkan perlakuan yang berbeda akan tetapi baik kelompok pertama dan kelompok ke-dua tidak dilakukan secara acak desainnya. Pada kerangka dalam penelitian ini dapat diuraikan bahwa ada kelompok dengan pemberian terapi inhalasi nebulizer salbutamol saja dan ada kelompok dengan pemberian terapi inhalasi nebulizer salbutamol campur NaCl 0,9% sebanyak 3 ml. Adanya perbedaan tersebut akan mempengaruhi hasil frekuensi pernafasan pada pasien asma broncial. Pada penelitian ini populasinya adalah semua klien dengan diagnosa medis asma broncial berumur 2-5 tahun yang dirawat di ruang anggrek BLUD RSU Konawe periode Januari – Maret – Maret 2014 yang berjumlah 34 orang. Sampel diambil dengan menggunakan tehnik Accidental Sampling yaitu yaitu pengambilan sampel secara kebetulan pada saat penelitian dilakukan yang memenuhi kriteria inklusi. Dalam penelitian ini peneiti mengambil sampel sebanyak 14 sampel, 7 orang sebagai kelompok yang akan diberikan terapi inhalasi nebulizer salbutamol saja, dan 7 orang lagi akan diberikan diberikan terapi inhalasi nebulizer salbutamol campuran NaCl 0,9%. Analisa data menggunakan t paired dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pola nafas dalam hal ini mengobservasi perubahan frekuensi pernapasan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dengan menggunakan nebulizer inhalasi salbutamol saja dan intervensi menggunakan nebulizer inhalasi salbutamol campuran NaCl 0,9% sebanyak 3 ml dengan derajat kemaknaan 0,05. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna terhadap efektifitas menggunakan nebulizer inhalasi salbutamol saja dan intervensi menggunakan nebulizer inhalasi salbutamol campuran NaCl 0,9% terhadap perubahan pola nafas dalam hal ini adalah mengobservasi frekuensi pernapasan pada pasien asma bronchiale, menggunakan uji t independent . H0 ditolak jika probabilitasnya (P≤α), dimana nilai α=0,05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur ≥4-5 ≥4 -5 tahun yaitu sebanyak 6 responden (42,8%). Sedangkan kelompok umur 2-3 tahun sebanyak 4 responden (28,6%) begitu pula kelompok umur ≥3-4 ≥3-4 tahun sebanyak 4 responden (28,6%). Berdasarkan Jenis Kelamin menunjukkan bahwa kelompok jenis kelamin terbanyak adalah kelompok dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 10 responden (71,4%). Sedangkan jumlah yang terkecil adalah responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 4 responden (28,6%). Berdasarkn derajat asma menunjukkan bahwa kelompok dengan derajat asma terbanyak adalah kelompok dengan derajat asma bronchiale sedang yaitu sebanyak 10 responden (71,4%). Sedangkan jumlah yang terkecil adalah responden derajat asma bronchiale ringan sebanyak 4 responden (28,6%). Kemudian berdasarkan jensi terapi menunjukkan bahwa kelompok dengan pemberian inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol sebanyak 7 responden (50%) dan kelompok dengan pemberian inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% sebanyak 7 responden (50%). Analisis Bivariat a. Analisis Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol Terhadap Pola Nafas Inefektif Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol terhadap pola nafas inefektif dalam hal ini mengobservasi frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah perlakuan maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji t paired. Sig. (2Paired Differences t tailed) Variabel Std. 95% Confidence Std. Mean Error Interval of the Deviation Mean Difference
Lower
b.
Upper
Frek.Pernapasan.Pre 15.286 2.059 .778 13.382 17.190 19.645 .000 Frek.Pernapasan.Post Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa nilai perbedaan rata-rata frekuensi pernapasan responden antara sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol adalah 15,286 dengan nilai P adalah 0,000 dan nilai α = 0,05 (P≤0,05) yang artinya ada perbedaan signifikan pola nafas responden sebelum dan sesudah perlakuan, dalam hal ini mengobservasi frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol. Hasil analisis diatas juga diperoleh nilai t hitung = 19,645, dimana nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale. Analisis Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol Campuran Campuran Cairan NaCl 0,9% Terhadap Pola Nafas Inefektif Sig. (2Paired Differences t tailed) 95% Confidence Variabel Std. Std. Interval of the Mean Deviati Error Difference on Mean Lower Upper Frek.Pernapasan.Pre 19.857 1.464 .553 18.503 21.211 35.890 .000 Frek.Pernapasan.Post Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai perbedaan rata-rata frekuensi pernapasan responden antara sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% adalah 19,857 dengan nilai P adalah 0,000 dan nilai α = 0,05 (P≤0,05) yang artinya ada perbedaan signifikan pola nafas responden sebelum dan sesudah perlakuan, dalam hal ini mengobservasi frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9%. Hasil analisis diatas juga diperoleh nilai t hitung = 35,890, dimana nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale.
c.Analisis Perbandingan Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol dan Salbutamol Cairan NaCl 0,9% Terhadap Pola Nafas Inefektif
t
t-test for Equality of Means Sig. Mean Std. Error df (2Difference Difference tailed)
Campuran
Mean Salbutamol Salbutamol +NaCl 0,9%
Fekuensi pernapasan -.236 12 .817 -.429 1.816 62.14 62.57 pre Fekuensi pernapasan 2.408 12 .033 4.143 1.720 46.86 42.71 post Penurunan.Frekuensi -4.788 12 .000 -4.571 .955 15.29 19.86 Pernapasan Post Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai frekuensi pernapasan pre di dapatkan P=0,817 (P≥0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan pola nafas dalam hal ini yang diobservasi adalah frekuensi pernapasan pada responden yang akan diberikan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol dan responden yang akan diberikan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9%. Kemudian nilai frekuensi pernapasan post didapatkan P=0,033 (P≤0,05) dan nilai t hitung=2,408 (t hit ≥ t tab) yang berarti berarti ada perbedaan signifikan antara efektifitas inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol saja dan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% terhadap pola nafas inefektif. Pada kolom penurunan frekuensi pernapasan post perlakuan didapatkan nilai P=0,000 (P≤0,05) yang yang berarti ada perbedaan besar penurunan frekuensi pernapasan post perlakuan pada responden yang mendapatkan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol dan responden yang mendapatkan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9%. Nilai perbedaan rata-rata dari penurunan frekuensi pernapasan post antara responden yang mendapatkan
inhalasi nebulizer salbutamol dan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% adalah, salbutamol = 15,29 dan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% = 19,86. PEMBAHASAN a. Analisis Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol Terhadap Pola Nafas Inefektif Inefektif Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol merupakan terapi pemberian obat yang secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan yang dapat mengubah obat yang berbentuk larutan atau cair menjadi aerosol secara terus-menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonic dengan menggunakan obat salbutamol dalam bentuk cair. Indikasi Salbutamol adalah meredakan bronkospasme berat yang berhubungan dengan asma bronkial atau bronkitis & untuk pengobatan status asmatikus (Nataprawira HM, 2011). Tidak semua pasien anak dengan manifestasi klinis sesak dapat diberikan salbutamol, beberapa penyakit yang tidak direkomendasikan untuk mendapatkan salbutamol diantaranya sesak napas disebabkan karena penyakit cardiovascular, sumbatan benda asing, pneumonia, bronkiolitis. Ini dikarenakan salbutamol hanya dipergunakan untuk pasien yang mengalami asma karena terjadi penyempitan pada bronkus (bronkokonstriksi). Sedangkan sesak yang ditemukan pada pasien anak dengan penyakit seperti penyakit cardio (jantung) tidak disebabkan karena adanya bronkokonstriksi namun bisa disebabkan karena adanya udem paru akibat gagal jantung kiri (Nurul Ainy Sidik, 2013). Hasil penelitian menggunakan statistic paired t test dengan bantuan program komputer menunjukkan bahwa nilai perbedaan rata-rata frekuensi pernapasan responden antara sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol adalah 15,286 dengan nilai P adalah 0,000 dan nilai α = 0,05 (P≤0,05) yang artinya ada perbedaan signifikan pola nafas responden sebelum dan sesudah perlakuan, dalam hal ini mengobservasi frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol. Hasil analisis juga diperoleh nilai t hitung = 19,645, dimana nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale. b. Analisis Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol Campuran Cairan NaCl 0,9% Terhadap Pola Nafas Inefektif Efek dari pemberian salbutamol secara inhalasi akan memungkinkan terjadinya vasodilatasi bronkus, yang pada prinsipnya akan terjadi penurunan frekuensi respirasi sebagai akibat dari adanya vasodilatasi pada bronkus, dan akan terjadi perbaikan pola nafas pada pasien asma bronkial. Sedangkan cairan NaCl 0,9% sebagai terapi tambahan pada anak asma serangan ringan dan sedang dengan bertujuan untuk mendapatkan peningkatan efek pengeluaran mukus tanpa menimbulkan efek provokasi bronkus (Crocket Antoni, 2007). Pemberian cairan NaCl 0,9% bersamaan dengan salbutamol dengan cara inhalasi bekerja dengan cara membuat hancur bentuk dahak sehingga dahak tidak lagi memiliki sifat-sifat alaminya, bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Sebagai hasil akhir, dahak tidak lagi bersifat kental dan dengan begitu tidak dapat bertahan di tenggorokan lagi seperti sebelumnya membuat saluran nafas bebas dari dahak (Irman Somantri, 2009). Hasil penelitian menggunakan statistic paired t test dengan bantuan program komputer menunjukkan bahwa nilai perbedaan rata-rata frekuensi pernapasan responden antara sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% adalah 19,857 dengan nilai P adalah 0,000 dan nilai α = 0,05 (P≤0,05) yang artinya ada perbedaan signifikan pola nafas responden sebelum dan sesudah perlakuan, dalam hal ini mengobservasi frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah dilakukan inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9%. Hasil analisis diatas juga diperoleh nilai t hitung = 35,890, dimana nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale. Meskipun sebagian besar hasil pemberian inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol dicampur dengan cairan NaCl 0,9% rata-rata terjadi penurunan frekuensi pernapasan, akan tetapi dari data yang ada terdapat beberapa responden yang mengalami penurunan frekuensi pernapasan dengan jumlah penurunan yang berbeda-beda yang diberikan perlakuan yang sama. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah adanya pemberian obat-obatan antibiotic, infeksi atau penyakit lain yang mungkin terjadi secara bersamaan dan tidak terdeteksi. c. Analisis Perbandingan Efektifitas Terapi Inhalasi Nebulizer Salbutamol dan Salbutamol Campuran Cairan NaCl 0,9% Terhadap Pola Nafas Inefektif
Pemberian cairan NaCl 0,9% bersamaan dengan salbutamol dengan cara inhalasi bekerja dengan cara membuat hancur bentuk dahak sehingga dahak tidak lagi memiliki sifat-sifat alaminya, bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Sebagai hasil akhir, dahak tidak lagi bersifat kental dan dengan begitu tidak dapat bertahan di tenggorokan lagi seperti sebelumnya membuat saluran nafas bebas dari dahak (Irman Somantri, 2009). Adapun proses kerja inhalasi nebulizer baik menggunakan salbutamol maupun menggunakan campuran cairan NaCl 0,9% diawali dengan proses respirasi meliputi ventilasi, perfusi dan difusi. Ventilasi meliputi pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo-bronkial, sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida di buang. Perfusi adalah istilah untuk aliran darah pada kapiler paru. Difusi adalah proses pergerakan gas (O2 dan CO2) melintasi membran alveolar –kapiler –kapiler yang alirannya di mulai dari daerah dengan konsentrasi yang besar kedaerah dengan konsentrasi yang lebih kecil, menimbulkan keseimbangan alveokapiler. Melalui sistem respirasi inilah obat inhalasi dapat masuk dan bekerja pada paru yang sebelumnya sudah diubah bentuknya dari cair menjadi kabut atau aerosol. Obat masuk dengan perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar, dan otot polos (Irman Somantri, 2009). Pada penelitian ini terfokus pada kasus asma bronchiale derajat ringan dan sedang dengan masalah keperawatan pola nafas inefektif. Dimana derajat asma ringan merupakan jenis asma dengan waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk, tidak terdapat sianosis, mengi sedang sering hanya pada akhir ekspirasi, frekuensi pernapasan meningkat (tachipnoe), pada balita biasanya masih dapat berbaring dan terdapat retraksi dangkal pada intercostal. Sedangkan pada asma derajat sedang anak akan merasa sesak napas, berusaha bernapas lebih dalam. Bunyi mengi terdengar nyaring sepanjang ekspirasi dan inspirasi, tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk (Arif Mansjoer dkk, 2000). Perbedaan rata-rata penurunan frekuensi pernapasan dari dua kelompok diketahui bahwa responden yang diberikan salbutamol = 15,29 dan responden yang diberikan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% = 19,86 (19,86 ≥ 15,29) sehingga pemberian terapi inhalasi nebilzer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% lebih efektif dibanding terapi inhalasi nebilzer menggunakan salbutamol terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari uraian hasil penelitian dengan mengacu pada rumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan Terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale di ruang Anggek BLUD RSU Konawe tahun 2014, Terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% efektif terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale pada pasien asma bronchiale di ruang Anggek BLUD RSU Konawe tahun 2014, Terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% lebih efektif dibanding dengan terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol saja terhadap pola nafas inefektif pada pasien asma bronchiale di ruang Anggek BLUD RSU Konawe tahun 2014 . Saran Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebaiknya perawat di BLUD RSU Konawe berani mensosialisasikan atau melakukan kolaborasi dengan tim medis tentang lebih efektifnya terapi inhalasi nebulizer menggunakan salbutamol campuran cairan NaCl 0,9% dibanding dengan menggunakan salbutamol saja terhadap pasien anak yang mengalami penyakit asma bronchiale. DAFTAR PUSTAKA Alimul Hidayat, 2007. Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika : Jakarta. Alsagaff .H dkk, 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga Universit y Press : Surabaya. Cahaya Hasibuan, 2012. Tinjauan teoritis asma pada balita. http://www. This entry was tagged Cahaya Hasibuan Bookmark the permalink. Com, akses tanggal 3 Mei 2014. Crocket Antony, 2007. Penanganan Asma Dalam Keperawatan Primer. : Jakarta.
Depkes RI. 2009. Pemberantasan Asma. EGC : Jakarta. Depkes RI, 2010. Pedoman Pelaksanaan Penyakit Asma Pada Anak. Dirjen PPM dan PLP : Jakarta. DiPiro Joseph T, 2005. PHARMACOTHERAPY APathophysiologic Approach Sixth Edition. MCGRAWHILL. New York. http://www. Farmacoterapi asma bronchiale. Com. Akses tanggal 2 April 2014. Donaldson dkk , 2006. Mucus Clearance And Lung Function In Cystic Fibrosis With Hypertonicsaline. http//:www.journal skripsi asma bronchial.com. akses tanggal 4 April 2014. Ganong WF, 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC : Jakarta. Harris D. 2006. Nebulizer guidelines. United Bristol Health care. Directorate of children’s services. Mutiara Sumber Widya : Jakarta. Hasan Rusepno, 2008. Peranan bronkodilator pada pasien asma. http://www.pharmacy.gov.my/patient_education / inhalation _ malay. shtml. akses tanggal 3 April 2014. Hoan T dkk. 2010. Obat-obat Penting Ed.6. PT Elex Media Komputindo Kelompok Kompas Gramedia : Jakarta. Huddak & Gallo, 2007. Pengobatan asma bronchiale pada anak-anak. Airlangga University Press : Surabaya. Indro Mulyono, 2010. Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan Pernapasan dalam PIB X IDSAI. Surya Darma : Bandung. Irman Somantri, 2009. Asuahan keperawatan pada klien dengan gangguan system pernapasan. Salemba Medika : Jakarta. Irit Rengganis, 2008. Konsep Penatalaksanaan Penyakit gangguan system pernapasan. EGC : Jakarta. Jones et al, 2001. Penggunaan Salin Hipertonik Pada Pasien Asma Bronchiale. http://www.asthmastuff.com/nebulizer.htm. Akses tanggal 28 Maret 2014. Karnen B dkk, 2007. Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. Kartasasmita, 2009. Prefalensi Asma Bronchial Pada Anak. http//:www.Asma Bronchiale pada anak. Com. Akses 2 April 2014. Kaswandi, 2008. Penatalaksanaan Penyakit Asma. http:// emedicine. medscape. Com. Akses tanggal 28 Maret 2014. Katzung, BG. 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi IV. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Kemenkes, 2011. Kejadian Asma di Indonesia : Jakarta. Kuzik et al., 2007. Al Qadhi, S. A., Kent, S. & Et, A. L. 2007. Nebulized hypertonic saline in the treatment of viral bronchiolitis. J Pediatr, 151, 266-270. http://www. rcjournal.com/online_ resources / cpgs / sdabertmvpcpg. html. Akses tanggal 7 April 2014. Mangunnegoro dkk, 2006. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. FK UI : Jakarta. Maryono, 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Asma Pada anak. http://www.meddean. luc. edulumen / MedEd/medicine/Allergy/Asthma.com. Akses tanggal 3 April 2014. Muttaqin Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Salemba Medika : Jakarta. Nataprawira HM, 2008. Diagnosis Asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. BP Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta. Nataprawira HM, 2011. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri : Jakarta. Notoatmodjo. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta. Pariani Nursalam, 2008. Ilmu Etika Penelitian. www. Goggle. Com. Akses Tanggal 5 April 2014. Mansjoer Arif dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke 3 Jilid 2. Media Aesculapius : Jakarta. Rab T, 2006. Prinsip Gawat Paru. Hipokrates : Jakarta. Rekam medis BLUD RSU Konawe, 2013. Roy Milton DK, 2004. Tingkatan penyakit asma. http://emedicine.medscape.com. Akses tanggal 6 April 2014. Riwidikdo H, 2009. Statistic Penelitian Kesehatan Dengan Aplikasi Program SPSS. Pustaka Rihana : Yogyakarta. Riyanto. A, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Nuha Medika : Yogyakarta. Profil Konawe, 2013. Profil Provinsi Sultra, 2013.
Sidik Ainy Nurul Dr, 2013. Hospital Care For Children Guidelines For The Management Of Common Illnesses With Limited Resources World Health Organization 2005 Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Gedung Bina Mulia : Jakarta. Somantri. I, 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem Pernafasan Edisi 2. Salemba Medika : Jakarta. Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi Mixed Metod. Alfabeta : Bandung. Supriyanto. B dkk, 2008. Terapi Inhalasi pada Kelainan Respiratorik. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editors Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi kedua. BP Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta. Wainwright C, Altamirano L, Cirujano M, Cheney M, Barber S, Price D, et al. A Multicenter, Randomized, Double-Blind, Controlled Trial of Nebulized Epinephrine in Infants with Acute Bronchiolitis. The New England Journal of Medicine 2003;349:27-35. Wainwright C, 2010. Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Delivery Aerosol Pada Anak. http://calder.med.miami.edu/pointis/nebulizer.html. Akses tanggal 8 April 2014. Ward. J, dkk. 2008. The Respiratory System At A Glance Ed. 2. Erlangga : Jakarta. Wayan D. 2010. Konsep Dasar Pola Nafas Tidak Efektif. http:// blog biro jasa skripsi keperawatan dan kebidanan konsep dasar pola nafas tidak efektif.htm.co.id. Akses tanggal 5 mei 2014.