BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang
Berdasarkan perkembangan zaman bentuk dan sediaan obat beragam, ada yang berbentuk tablet, serbuk, kapsul, sirup, dan suppositoria. Beragamnya bentuk sediaan tersebut didasarkan atas kebutuhan dari konsumen atau pasien. Bentuk dan sediaan obat pun dapat diberikan dengan rute yang berbeda-beda dan memberikan efek yang berbeda-beda. Untuk suppositoria rute pemberiannya dimasukkan di dalam dubur atau lubang yang ada di dalam tubuh. Penggunaan suppositoria ditujukan untuk pasien yang susah menelan, terjadi gangguan pada saluran cerna, dan pada pasien yang tidak sadarkan diri. Suppositoria dapat dibuat dalam bentuk rektal, ovula, dan uretra. Bentuk suppositoria dapat ditentukan berdasarkan basis yang digunakan. Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan obat yang dikandungnya. Salah satu syarat utama basis suppositoria adalah selalu padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur atau melarut ibahas pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat tersedia sepenuhnya, segera setelah pemakaian. Basis suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilenglikol (PEG) dengan berbagai bobot molekul dan ester asam lemak polietilen glikol. Suppositoria dapat memberikan efek lokal dan efek sistemik.
Pada
aksi lokal, begitu dimasukkan basis suppositoria akan meleleh, melunak,
atau melarut menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini dimaksudkan agar dapat ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja local, atau bisa juga dimaksudkan agar diabsorpsi untuk mendapat efek sisitemik. Sedangkan pada aksi sitemik membrane mukosa rectum atau vagina memungkinkan absorbsi dari kebanyakan obat yang dapat larut. Dalam makalah ini, akan dibahas secara mendalam tentang suppositoria beserta formula suppositoria dengan zat aktif salbutamol. I.2
Tujuan
Dapat mengetahui cara memformulasikan suppositoria salbutamol dengan metode yang sesuai serta evaluasi.
BAB II PEMBAHASAN II.1 Dasar Teori
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang berbentuk torpedo, bentuk ini memiliki kelebihan yaitu bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka supositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya (Anief, 2000). Umumnya, supositoria rectum panjangnya ± 32 mm (1,5 inci), berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa supositoria untuk rectum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun berbeda-beda. USP menetapkan berat supositoria 2 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao yang digunakan sebagai basis. Sedang supositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil. Supositoria untuk vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao. Supositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan
beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel, 1989). Penggunaan obat dalam suppositoria ada keuntungannya dibanding penggunaan obat per oral, yaitu: 1.
Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
2.
Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan.
3.
Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per os.
4.
Dapat mempermudah bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar. Bahan dasar yang digunakan supaya melelehkan pada suhu tubuh atau
dapat larut dalam cairan yang ada dalam rektum. Obatnya supaya larut dalam bahan dasar bila perlu dipanaskan. Bila obatnya sukar larut dalam bahan dasar maka harus diserbuk yang halus. Setelah obat dan bahan dasar meleleh
dan
mencair
dituangkan
dalam
cetakan
suppositoria
dan
didinginkan. Cetakan tersebut dibuat dari besi yang dilapisi nikel atau dari logam lain , ada juga yang dibuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan suppositoria. II.1.1 Macam-macam Suppositoria Macam suppositoria berdasarkan penggunaanya : 1. Suppositoria rektal, sering disebut sebagai suppositoria saja, bentuk peluru, digunakan lewat rektum atau anus. Untuk dewasa 3 g dan untuk anak-anak 2 g. Suppositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai keunggulan yaitu jika dibagian yang besar masuk melalui jaringan otot penutup dubur, suppositoria akan masuk dengan sendirinya.
2. Suppositoria vaginal atau ovula, berbentuk bola lonjong seperti kerucut, digunakan untuk vagina. Berat antara 3 – 5 g. Suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserensi memiliki bobot 5g. Suppositoria dengan bahan gelatin tergliseransi (70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin, 10 bagian air) harus dismpan dalam wadah yang tertutup rapat, sebaiknya pada suhu dibawah 35 0C. 3. Suppositoria uretra digunakan lewat uretra, berbentuk batang dengan panjang antara 7 – 14 cm. II.1.2 Cara pembuatan suppositoria 1. Dengan tangan :
Hanya dengan bahan dasar Ol.Cacao yang dapat dikerjakan atau dibuat dengan tangan untuk skala kecil dan bila bahan obatnya tidak tahan terhadap pemanasan
Metode ini kurang cocok untuk iklim panas.
2. Dengan mencetak hasil leburan :
Cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan Parafin cair bagi yang memakai bahan dasar Gliserin-gelatin, tetapi untuk Oleum cacao dan
PEG
tidak
dibasahi
karena
mengkerut
pada
proses
pendinginan, akan terlepas dari cetakan. 3. Dengan kompresi. 4. Metode ini, proses penuangan, pendinginan dan pelepasan Suppositoria dilakukan dengan mesin secara otomatis. Kapasitas bisa sampai 3500 6000 Suppositoria/jam.
Pembuatan Suppositoria secara umum dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Bahan dasar Suppositoria yang digunakan supaya meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam cairan yang ada dalam rektum.
Obatnya supaya larut dalam bahan dasar, bila perlu dipanaskan.
Bila bahan obatnya sukar larut dalam bahan dasar maka harus diserbuk halus.
Setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, dituangkan ke dalam cetakan Suppositoria kemudian didinginkan.
Cetakan tersebut terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau dari logam lain, ada juga yang dibuat dari plastik Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan Suppositoria.
Untuk mencetak bacilla dapat digunakan tube gelas atau gulungan kertas.
Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan, maka pembuatan Suppositoria harus dibuat berlebih ( ± 10 % ) dan cetakannya sebelum digunakan harus dibasahi lebih dahulu dengan Parafin cair atau minyak lemak atau spiritus saponatus ( Soft Soap liniment ), tetapi spiritus saponatus ini, jangan digunakan untuk Suppositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan Ol. Recini dalam etanol . Khusus Suppositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween tidak perlu bahan pelicin cetakan karena pada pendinginan mudah lepas dari cetakannya yang disebabkan bahan dasar tersebut dapat mengkerut.
II.1.3 Cara pemberian secara rektal Pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria. Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria,
kemudian
tidur
dengan
posisi
miring.
Supositoria
dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira ½ - 1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4 – 6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria. Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anakanak. Jika tertelan atau terjadi over dosis segera hubungi dokter (Bradshaw, 2009). II.1.4 Anatomi rektum
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula. dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada recto-sigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa. Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava. Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya
mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. a.
Definisi (Price and Wilson, 1995). - Ca. Recti adalah keganasan jaringan epitel pada daerah rektum. - Karsinoma Recti merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian Recti yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel yang tidak terkendali. - Karsinoma rekti merupakan keganasan visera yang sering terjadi yang biasanya berasal dari kelenjar sekretorik lapisan mukosa sebagian besar kanker kolostomy berawal dari polip yang sudah ada sebelumnya. - Karsinoma Rektum merupakan tumor ganas yang berupa massa polipoid besar, yang tumbuh ke dalam lumen dan dapat dengan cepat meluas ke sekitar usus sebagai cincin anular.
II.1.5 Evaluasi sediaan 1. Fisika
Uji Kisaran Leleh Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan suatu ukuran waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna bila dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap (370C). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro adalah kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kisaran leleh sempurna dari supositoria adalah suatu Alat Disintegrasi Tablet USP. Supositoria dicelupkan seluruhnya dalam penangas air yang konstan, dan waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna atau menyebar dalam air sekitarnya diukur (Lachman 3, 1989).
Uji Pencairan atau Uji Waktu Melunak dari Supositoria Rektal Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di bagian atas supositoria sampai penyempitan dicatat sebagai waktu melunak. Ini dapat dilaksanakan pada berbagai temperatur dari 35,5 sampai 370C sebagai suatu pemeriksaan pengawasan mutu, dan dapat juga diukur sebagai kestabilan fisika terhadap waktu. Suatu penangas air dengan elemen pendingin dan pemanas harus digunakan untuk menjamin pengaturan panas dengan perbedaan tidak lebih dari 0,10C (Lachman 3, 1989).
Uji Kehancuran Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur kekerasan atau kerapuhan suppositoria. Alat yang digunakan untuk uji tersebut terdiri dari suatu ruang berdinding rangkap dimana suppositoria yang diuji ditempatkan. Air pada 37 0C dipompa melalui dinding rangkap ruang tersebut, dan suppositoria diisikan ke dalam dinding dalam yang kering, menopang lempeng dimana suatu batang dilekatkan. Ujung lain dari batang tersebut terdiri dari lempeng lain dimana beban digunakan. Uji dihubungkan dengan penempatan 600 g diatas lempeng datar. Pada interval waktu 1 menit, 200 g bobot ditambahkan, dan bobot dimana suppositoria rusak adalah titik hancurnya atau gaya yang menentukan karakteristik kekerasan dan kerapuhan suppositoria tersebut. Titik hancur yang dikehendaki dari masing-masing bentuk suppositoria yang beraneka ragam ditetapkan sebagai level yang menahan kekuatan (gaya) hancur yang disebabkan oleh berbagai tipe penanganan
yakni; produksi,
pengemasan,
pengiriman, dan
pengangkutan dalam penggunaan untuk pasien (Lachman 3, 1989).
Uji disolusi Pengujian awal dilakukan dengan penetapan biasa dalam gelas piala yang mengandung suatu medium. Dalam usaha untuk mengawasi variasi pada antarmuka massa/medium, digunakan keranjang kawat mesh atau suatu membrane untuk memisahkan ruang sampel dari bak reservoir. Sampel yang ditutup dalam pipa
dialysis atau membran alami juga dapat dikaji. Alat sel alir digunakan untuk menahan sampel di tempatnya dengan kapas, saringan kawat, dan yang paling baru dengan manic-manik gelas (Lachman 3, 1989).
Uji keseragaman bobot Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya. Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rataratanya. Keseragaman/variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari 5% (Lachman 3, 1989).
II.1.6 Pengemasan suppositoria 1. Dikemas sedemikian rupa sehingga tiap suppositoria terpisah, tidak mudah hancur, atau meleleh. 2. Biasanya dimasukkan dalam wadah dari alumunium foil dan masukkan kedalam strip plastik, lalu diberi etiket berwarna biru . 3. Harus disimpan dalam wadah tertutup baik ditempat sejuk. II.2 Formulasi
II.2.1 Rancangan formula Tiap suppositoria mengandung : Salbutamol
2 mg
Silikon dioksida koloid
2%
Witepsol H15
q.s
Kode Bahan
Nama Bahan
Fungsi Bahan
001- SAL
Salbutamol
Zat aktif
002-WSL
Witepsol H15
Basis suppositoria
003-SDK
Silikon dioksida koloid
Suspending Agent
III.2.2 Alasan formulasi 1. Sifat fisika kimia salbutamol
Salbutamol larut 1 dalam 70 bagian air; larut 1 dalam 25 bagian etanol; sedikit larut dalam eter (Pharmaceutical codex, 1042)
Salbutamol sulfat mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% (C 13H21 NO3)2.H2SO4 dihitung terhadap zat anhidrat (FI IV, 751)
Salbutamol
adalah
bubuk
kristal
putih
atau
hampir
putih
(Pharmaceutical codex, 1042).
Salbutamol larut 1 dalam 70 bagian air; larut 1 dalam 25 bagian etanol; sedikit larut dalam eter (Pharmaceutical codex, 1042).
Salbutamol memiliki Pka 9,3 (gugus amino); 10,3 (gugus fenol) (Pharmaceutical codex, 1042).
Salbutamol memiliki titik leleh 156 0C Pharmaceutical codex, 1042)
Stabilitas (Pharmaceutical Codex , 1042). - Temperatur Data penelitian menunjukkan salbutamol sulfat masih memiliki stabilitas yang baik dalam rentang suhu 55 0± 85 0 C. Dekomposisi larutan salbutamol sulfat pada 70ºC pada pH 3,5 dipercepat bergantung pada konsentrasi baik glukosa dan sukrosa, sedangkan pada pH 7 hanya bergantung pada konsentrasi glukosa. Degradasi salbutamol sulfat pada suhu 55º-85ºC dalam larutan buffer berair yang terlindung dari cahaya mengikuti laju kinetik orde pertama dengan stabilitas maksimum pada pH 3,5. Laju dekomposisi meningkat oleh peningkatan konsentrasi obat dan peningkatan temperatur. - Hidrolisis/oksidasi Tidak ada permasalahan dalam hidrolisis dan oksidasi - Cahaya Terlindung dari cahaya - pH Memiliki 3,4 - 5.
2. Alasan salbutamol dibuat suppositoria - Penyerapan salbutamol tidak sempurna pada saluran cerna dan bila diberikan secara oral bioavabilitas sistemik hanya 50 % (Martindale, 2005) - Pada umumnya efek samping dari salbutamol yaitu mulut kering, dapat
mengiritasi
tenggorokan,
mual,
muntah,
batuk,
dan
bronkospasme untuk sediaan oral dan inhalasi. Sehingga untuk mengurangi efek samping dari obat ini dibuat dalam bentuk sediaan suppositoria rectal (Fater, 77). - Sebagian besar obat dalam sediaan oral akan diubah oleh hati secara kimia, sehingga keefektifan efek sistemiknya sering kali berkurang sebaliknya sebagian besar obat yang sama dapat diabsorbsi dari daerah anorektal dan nilai teraupetisnya masih dipertahankan (Lachman 3, 1149). 3. Farmakologi salbutamol Salbutamol merupakan suatu obat agonis beta-2 adrenergik yang selektif. Pada bronkus Salbutamol akan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus secara langsung. Maka Salbutamol efektif untuk mengatasi gejala-gejala sesak napas pada penderita-penderita yang mengalami bronkokonstriksi seperti : asma bronkial, bronkitis asmatis dan emfisema pulmonum, baik untuk penggunaan akut maupun kronik. Salbutamol menghambat pelepasan mediator dari ”pulmonary mast cell”, mencegah kebocor an kapiler dan udema bronkus serta merangsang pembersihan mukosiliar. Sebagai agonis beta-2 Salbutamol pengaruhnya terhadap adrenoseptor beta-1 pada sistem kardiovaskuler adalah minimal. Ratio stimulasi beta-2/beta-1 salbutamol lebih besar dari obat-obat simpatomimetik lainnya. Salbutamol juga bekerja langsung pada otot polos uterus yaitu menurunkan kontraktilitasnya. Waktu paruh eliminasinya berkisar dari 2,7 sampai 5 jam. Diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.
4. Dosis Salbutamol Ketika inhalasi tidak efektif, salbutamol oral dapat diberikan dalam dosis 2 sampai 4 mg tiga atau empat kali sehari sebagai sulfat, beberapa pasien mungkin memerlukan dosis hingga 8 mg tiga atau empat kali sehari, tetapi dosis meningkat tersebut tidak mungkin ditolerir atau untuk memberikan banyak manfaat tambahan. Lansia pasien harus diberi dosis yang lebih rendah pada awalnya. Persiapan Modifikasirelease juga tersedia, dosis lazim dewasa adalah 8 mg dua kali sehari. Dalam lebih parah atau tidak responsif bronkospasme salbutamol sulfat dapat diberikan sebentar-sebentar melalui nebuliser pada orang dewasa dan anak-anak. Dosis berlisensi 2,5-5 mg salbutamol diulang sampai 4 kali sehari, terus digunakan juga mungkin, biasanya pada tingkat 1 sampai 2 mg / jam. 5. Metode pembuatan
Metode yang digunakan dalam pembuatan suppositoria ini adalah metode cetak tuang karena metedo ini paling umum digunakan untuk membuat suppositoria dalam skala kecil maupun skala besar (Lachman 3,1180).
Metode cetak tuang digunakan untuk menjamin pembekuan yang cepat sehingga lebih mengurangi proses sedimentasi bahan obat (Voight, 289).
Penggunaan metode cetak tuang disarankan untuk memperbaiki ketepatan takaran dalam penambahan bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam formulasi ini ( Voight, 294)
II.2.3 Alasan pemilihan bahan 1.
Witepsol H15 - Aplikasi utama dari basis keras lemak supositoria, atau gliserida semisintetik, adalah sebagai transportasi untuk administrasi dubur atau vagina dari berbagai obat, baik untuk memberi efek lokal atau untuk mencapai penyerapan sistemik (Excipient - Tidak
menunjukkan
adanya
6th
, 722-723)
ketidakstabilan
dan
memiliki
ketahanan oksidasi tinggi dibandingkan oleum cacao (Voight, 286) - Memiliki kecenderungan yang amat rendah untuk menjadi tengik (Voight, 287) - Basis suppositoria ini mudah melarut atau melebur pada suhu rektum yaitu 370C karena memiliki titik leleh pada suhu 33,535,50C, sehingga berpengaruh pada pelepasan zat aktif yang dikandungnya (Ansel, 375). - Basis supositoria lemak keras cukup stabil terhadap oksidasi dan hidrolisis, dengan nilai iodium menjadi ukuran ketahanan terhadap oksidasi dan ketengikan. Kadar air biasanya rendah dan kerusakan akibat higroskopisitas jarang terjadi (Excipient
6th
, 722-723).
- Basis yang digunakan dalam sediaan suppositoria adalah Witepsol H15 (Pharmaceutical codex, 1041). 2.
Silikon dioksida koloid - Dapat menanggapi efek buruk dari penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi atau agen terapeutik yang larut dalam basis suppositoria (Fasstrack, 170).
- Sering ditambahkan ke formulasi suppositoria yang mengandung eksipien lipofilik untuk meningkatkan viskositas, mencegah sedimentasi selama pencetakan dan menurunkan laju pelepasan (Fasstrack, 169) - Penambahan
Silikon
dioksida
koloid
untuk
menanggulangi
masalah-masalah yang disebabkan oleh penggunaan basis lemak keras yang memiliki viskositas rendah (Lachman 3, 1188) - Nilai viskositas melebur lemak keras sedikit lebih rendah dibandingkan lemak coklat sehingga diperlukan peningkatan viskositas dengan penambahan aerosil (Voight, 294). - Konsentrasi aerosil yang biasanya digunakan untuk pensuspensi yaitu 2 atau 5 %. II.2.4 Uraian bahan 1.
Salbutamol (FI IV, 751 ; Pharmaceutical codex, 1041) Nama resmi
: Salbutamolum
Sinonim
: Salbutamol, Albuterol, 1 - (4 - Hydroy - 3 hydroxymethylphenyl) - 2 - (tert- butylamino) ethanol
Rumus struktur :
RM/BM
: (C13H21 NO3)2,H2SO4/576.7
Pemerian
: Serrbuk hablur, putih.
Kelarutan
: Salbutamol larut 1 dalam 70 bagian air; larut 1 dalam 25 bagian etanol; sedikit larut dalam eter.
Incompatibility
:
Kegunaan
: Mengatasi
gejala-gejala
sesak
napas
dan
bronkokonstriksi. Penyimpanan
: Harus disimpan dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya
Range dosis 2.
: 2 – 4 mg
Witepsol H15 (Excipient 6th, 722-723) Nama resmi
: Lemak keras
Sinonim
: Adeps neutralis; Akosoft; Akosol; Cremao CS-34; Cremao CS-36; hydrogenated vegetable glycerides; Massa estarinum; Massupol; Novata; semisynthetic glycerides; Suppocire; Wecobee; Witepsol.
RM
: C8H17COOH
Pemerian
: Berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa dan mempunyai kecenderungan sangat rendah untuk menjadi tengik.
Kelarutan
: Larut dalam karbon tetraklorida, kloroform, eter, toluena, dan xilena, sedikit larut dalam etanol hangat; praktis tidak larut dalam air.
Titik leleh
: 33,5-35,50C
Incompatibility
: Risiko hidrolisis aspirin, misalnya, dapat dikurangi dengan menggunakan dasar dengan nilai hidroksil
rendah (<5) dan, sebagai tambahan, dengan minimalisasi kadar air dari kedua dasar dan aspirin. Terdapat bukti bahwa aminofilin bereaksi dengan gliserida dalam beberapa basis lemak keras untuk membentuk diamides. Pada penuaan atau paparan suhu yang tinggi, degradasi disertai dengan pengerasan
dan
supositoria
cenderung
menunjukkan peningkatan yang ditandai dalam titik
leleh.
Kandungan
etilendiamin
juga
berkurang. Penyimpanan
: Harus disimpan terlindung dari cahaya, di wadah kedap udara pada suhu setidaknya 5 0C.
3.
Silikon dioksida koloid (Excipient 6th, 185-187) Nama resmi
: Colloidal Silicon Dioxide
Sinonim
: Aerosil; Cab-O-Sil; Cab-O-Sil M-5P; colloidal silica; fumed silica; light anhydrous silicic acid; silicic anhydride; silicon dioxide fumed; Wacker HDK.
RM/BM
: SiO2/60.08
Pemerian
: Berwarna, tidak berbau, hambar, bubuk amorf putih kebiruan.
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air, dan asam, kecuali asam fluorida, larut dalam larutan alkali
hidroksida
panas.
Membentuk
dispersi
koloid dengan air. Untuk Aerosil, kelarutan dalam air adalah 150 mg / L pada 258C (pH 7). Titik leleh
: 1600C
Stabilitas
: Silikon dioksida koloid bersifat higroskopis tetapi mengadsorbsi sejumlah besar air tanpa mencairkan. Ketika digunakan dalam sistem berair pada pH 07,5, silikon dioksida koloid efektif dalam koloid. Silikon Dioksida meningkatkan viskositas dari suatu sistem. Namun, pada pH lebih dari 7,5 viskositas meningkatkan sifat silikon dioksida koloid berkurang, dan pada pH lebih besar dari 10,7 kemampuan ini hilang sepenuhnya karena silikon dioksida larut untuk membentuk silikat. Beberapa
silikon
dioksida
koloid
memiliki
permukaan hidrofobik yang sangat baik untuk meminimalkan higroskopisnya Incompatibility
: Tidak kompatibel dengan sediaan dietilstilbestrol.
Penyimpanan
: Harus disimpan dalam wadah tertutup baik.
II.2.5 Perhitungan bahan Salbutamol
2 mg
Aerosil
2%
Witepsol H15
q.s
Dibuat sebanyak 10 supositoria Nilai tukar aminophylin 0,82
- Aspirin 0,25 g
= 0,25 g X 10 = 2,5 g
Nilai tukar Aminophylin
= 0,82 X 2,5 g = 2,05 g
Bobot supositoria 2 gr = 2 X 10 Ditambahkan 10%
=
= 20 g
x 20
Jadi bobot supositoria = 20 + 2 - Cera Alba 4%
=
- Alfa Tokoferol 0,05% =
x 22
x 22
=2g =22 g = 0,88 g = 0,01 g
- Oleum Cacao = 22 – (2,05 + 0,88 + 0,01)
= 22 – 2,94 = 19,06 g II.2.6 Cara kerja Metode pembuatan suppositoria salbutamol sulfat dibuat dengan cara cetak tuang : 1.
Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2.
Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
3.
Dikalibrasi cetakan
4.
Dilubrikasi cetakan dengan menggunkan paraffin cair secukupnya
5.
Digerus Salbutamol hingga halus
6.
Ditimbang Aminophylin yang telah dihaluskan sebanyak 2,5 g, Cera alba 0,88 g, dan Oleum cacao sebanyak 19,06 g
7.
Dikeluarkan
Alfa
tokoferol
dari
cangkang
kapsul
kemudian
dimasukkan kedalam cawan porselin 8.
Dileburkan terlebih dahulu cera alba dengan menggunakan penangas air (waterbath) pada suhu 61-65 oC
9.
Ditambahkan Aminophylin kemudian diaduk hingga homogen
10. Ditambahkan oleum cacao kemudian diaduk hingga melebur 11. Ditambahkan alfa tokoferol sebanyak 20 tetes kemudian diaduk hingga homogen 12. Dituang hasil leburan kedalam cetakan yang telah dilubrikasi dengan paraffin cair 13. Dimasukkan kedalam lemari pendingin dengan suhu 2-8 oC selama kurang lebih 15 menit 14. Dikeluarkan supositoria yang telah terbentuk dari cetakan dengan menggunakan sudip 15. Dimasukkan kedalam aluminium foil 16. Dimasukkan kedalam kemasan supositoria 17. Dimasukkan kedalam dus yang telah berisi brosur
You're Reading a Preview Unlock full access with a free trial.
Download With Free Trial
DAFTAR PUSTAKA
Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University: Yogyakarta Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press: Jakarta Bradshaw,
E.,
Collins,
B.,
&
Williams,
J.
2009. Administering
rectal
suppositories: preparation, assessment and insertion. Gastrointestinal Nursing, 7(9), 24-28: Retrieved from EBSCOhost. Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi keempat . Departemen Kesehatan Republik Indonesia Lachman. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri edisi ketiga. UI Press: Jakarta Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex
12th
edition. The Pharmaceutical Press:
London Price and Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi keempat. EGC: Jakarta
Rowe,
R.
2004. Handbook
of
Pharmaceutical
Excipient
6th
edition.
Pharmaceutical Press: Washington Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta