EVIDENCE BASED PRACTICE GAWAT DARURAT CEDERA KEPALA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
DisusunOleh: Deri RuliEdiana (4002160148)
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKESDHARMA HUSADA BANDUNG 2017
A. Pendahuluan
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi pada kepala yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun nonmekanik. Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart,1987:2210). Di negara-negara berkembang, trauma merupakan penyebab kematian terbanyak. Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Indonesia merupakan Negara berkembang yang masih memiiki angka kejadian kecelakaan yang tinggi (Krisandi, 2013). Selama tahun 2013 angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia dinilai WHO menjadi pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan tuberculosis (BIN, 2014). Pelayanan
pasien
gawat
darurat
adalah
pelayanan
yang
memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, atau pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan yang sangat penting (Time saving is life saving) bahwa waktu adalah nyawa. Salah satu indikator mutu pelayanan berupa respon time atau waktu tanggap, hal ini sebagai indikator proses untuk mencapai indikator hasil yaitu kelangsungan hidup. Waktu tanggap pelayanan pada pasien cedera kepala dapat diklasifikasikan atau dikategorikan berdasarkan kegawatan menjadi 5 yaitu: 1. Kagetori 1, resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan epidural atau sub dural hematoma , CKB.
2. Kategori II pasien emergensi, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok, apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk. 3. Kategori III, pasien urgen, seperti cedera kepala disertai luka robek, rasa pusing. 4. Kategori IV pasien semi urgen, keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet atau luka superficial . 5. Kagetori V “ false emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fifik ( Departement of Emergincy Medicine, 1999). Waktu lama sebelum pasien mencapai perawatan medis akan menyebabkan cacat sementara atau permanen fisik. Perawatan medis yang tepat dan respon cepat akan mengurangi risiko memiliki kedua efek buruk. pasien cedera otak harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik seperti tertentu, tanda-tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi samping pengobatan konservatif dan terapi obat-obatan tertentu. Head injury
ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial yang merupakan kondisi bahaya dan harus segera ditangani. Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan juga terjadi penurunan kesadaran. Nyeri merupakan sensasi yang mengindikasikan bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan, inflamasi, atau kelainan yang lebih berat seperti disfungsi sistem saraf. Oleh karena itu nyeri sering disebut sebagai alarm untuk melindungi tubuh dari kerusakan jaringan yang lebih parah. Telah terbukti tanpa pengelolaan nyeri yang adekuat, penderita akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang pada akhirnya secara bermakna meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas (Lucas, 2004). Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit dengan bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer,
tanpa
secara
signifikan
mengubah
kesadaran.
Analgesik
menghilangkan rasa sakit, tanpa mempengaruhi penyebabnya (Tripathi, 2003). Hipertensi intrakranial akibat edema serebral yang terjadi setelah cedera neurologis sering berkaitan dengan luaran yang buruk. Manitol dan NaCl 3% merupakan agen hiperosmolar yang direkomendasikan pada pasien dengan cedera kepala akibat trauma. Beberapa penulis memberikan argumen bahwa salin hipertonis lebih efektif, tetapi belum ada konsensus berkaitan dengan indikasi, konsentrasi, dan cara pemberian yang terbaik. Gangguan elektrolit merupakan salah satu efek samping yang perlu dipantau dalam pemakaian manitol dan NaCl 3%. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pemakaian manitol dan NaCl 3% pada anak dengan cedera kepala akibat trauma yang dirawat di ruang rawat intensif, dalam hal lama rawatan, mortalitas, dan gangguan elektrolit. Disamping itu, hari hasil penelitian bahwa posisi semi fowler dapat memperbaiki dari parameter hemodinamik, seperti tekanan darah sistolik kembali ke kisaran normal, tekanan nadi menurun normal dibandingkan sebelum diberikan posisi semi fowler, tingkat kesadaran meningkat di ukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS), dan tekanan darah diastolik dapat dipertahankan dalam batas normal dapat disimpulkan bahwa posisi semi fowler lebih efektif dari posisi supine atau telentang dalam stabilitas hemodinamik pasien dengan cedera kepala (Mir, 2015).
B. Metode Penelitian
Metode review literatur berupa analisis jurnal keperawatan yang membahas penelitian yang berkaitan dengan manajemen penanganan peningkatan tekanan intra kranial dalam pasien yang mengalami cedera kepala atau head injury dengan menggunakan head up salah satunya yang dilaksanakan oleh Wayudi (2015) dengan judul “Head Up Inmanagement Intracranial For Head Injury”. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suryani (2016) dengan judul “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Stabilitas Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan Cedera Kepala Ringan Di Ruang Igd Rumah Sakit Salatiga”.
Penangan lainnya yaitu dengan pemantauan hemodinamik dan pemberian terapi cairan yang telah diteliti oleh Saragih dkk (2016) dengan judul “Perbandingan NaCl 3% dan Manitol pada Cedera Kepala Akibat Trauma di Ruang Rawat Intensif Anak ”. Candra meneliti tentang pemberian analgesik yang dapat mengurangi nyeri pada cedera kepala ringan dengan judul “Studi Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion) Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2014”. Namun bebrapa faktor seperti waktu tanggap dalam penanganan kasus cedera kepala sangat menentukan terhadap keselamatan pasein, penlitian ini dilakukan oleh Haryatun dan Sudaryanto (2008) dengan judul “Perbedaan
Waktu
Tanggap
Tindakan Keperawatan Pasien Cedera
Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi”.
C. Pembahasan
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart,1987:2210). Pelayanan
pasien
gawat
darurat
adalah
pelayanan
yang
memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, atau pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan yang sangat penting (Time saving is life saving) bahwa waktu adalah nyawa. Penelitian “Perbedaan
Haryatun
Waktu
dan
Tanggap
Sudaryanto
(2008)
dengan
judul
Tindakan Keperawatan Pasien Cedera
Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi”. Terdapat hubungan yang signifikan karena rata-rata waktu tanggap pasien cedera kepala kategori V adalah paling cepat dengan rata-rata waktu tanggap 33,92 menit, kemudian waktu tanggap paling lama (lambat) adalah pada pasien cedera kepala kategori I dengan rata-rata waktu tanggap 98,33 menit. Tindakan keperawatan pasien cedera kepala kategori
V sangat cepat dengan total waktu tindakan selama 33,92 menit karena pasien datang tidak dengan tanda-tanda kegawatan klinis, pasien hanya merasa khawatir dengan kondisinya. Pasien kategori V dengan cedera kepala ringan dan bisa rawat jalan. 1. Pasien cedera kepala kategori I memerlukan waktu rata-rata 98,33 menit. Pasien kategori ini merupakan pasien yang memerlukan resusitasi segera, pasien cedera kepala berat, dengan
gangguan
sistem
pernafasan,
gangguan
sistem
peredaran darah atau pasien dengan penurunan kesadaran. Dengan gejala awal paling serius seperti peningkatan tekanan intracranial, tanda-tanda neurologis lokal atau cedera tembus, dilakukan konsultasi bedah saraf dan CT-Scan emergency. Pasien dengan kategori I, hampir semua tindakan dilakukan. 2. Pasien cedera kepala Kategori II memerlukan waktu pelayanan rata-rata 79,08 menit. Pasien kategori II merupakan pasien yang bila tidak dilakukan pertolongan dengan segera akan menjadi lebah buruk, seperta pasien cedera kepala mual-mual atau muntah. Tindakan yang dianjurkan antara lain tanda-tanda vital (pengukuran tensimeter, nadi, respirasi, suhu badan), pertimbangan untuk CT-scan atau radiografi foto polos serta konsultasi
bedah
saraf.
Pasien
kategori
II,
tindakan
keperawatan diprioritaskan untuk airway, breathing, dan sirkulasi, sehingga perlu pengamatan yang ketat untuk mengetahui apakah ada kenaikan tekanan intracranial atau tidak. 3. Pasien cedera kepala Kategori III memerlukan waktu pelayanan rata-rata 78,92. Pasien kategori III merupakan pasien urgen yaitu pasien cedera kepala disertai dengan keadaan lain seperti luka robek, rasa pusing, yang memerlukan bedah minor dengan tanda-tanda dan gejala awal minimal seperti nyeri kepala pusing.
4. Pasien Kategori IV memerlukan waktu pelayanan rata-rata 44,67 menit. Pasien kategori IV merupakan pasien dengan keadaan seperti rasa pusing ringan, luka lecet atau luka yang superfisial. 5. Pasien cedera kepala Kategori V memerlukan waktu pelayanan paling cepat yaitu rata-rata hanya 33,92 menit. Pasien kategori V merupakan pasien yang datang ke IGD tidak dengan indikasi kegawatan menurut medis tetapi merasa gawat seperti kecelakaan atau cedera kepala tanpa keluhan secara fisik. Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit (Moewardi, 2003). Penelitian Chandra (2016) dengan judul “Studi Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion) Di Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode Januari-Desember 2014”. Hasilnya peggunaan obat analgesik pada pasien cedera kepala di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado adalah obat-obat dari golongan non-opioid. Pada terapi awal, Ketorolac (59,61%), Metamizole (28,85%), Paracetamol (3,85%), Asam Mefenamat (1,92%), Antalgin (1,92%) dan Ketorolac + Paracetamol (3,85%). Pola penggunaan obat analgesik berdasarkan usia anak menggunakan obat Metamizole (54,55%) dan dewasa menggunakan obat Ketorolac (70,73%). Pola penggunaan obat analgesik pada pasien cedera kepala, pada terapi awal diberikan secara intravena (92,30%) maupun secara peroral (7,70%) dan pada terapi lanjutan diberikan secara intravena (3,03%) dan peroral (96,97%).
Penelitian Saragih, R. A. C., Jiero, S., Saing, J. H., & Lubis, M. (2016) dengan judul “Perbandingan Nacl 3% Dan Manitol Pada Cedera Kepala Akibat Trauma Di Ruang Rawat Intensif Anak ”. Hasilnya pada penelitian ini didapatkan lama rawatan yang tidak berbeda antara kelompok manitol dan NaCl 3%. Mortalitas kelompok NaCl 3% lebih tinggi daripada mortalitas kelompok manitol, tetapi perbedaan tersebut
tidak bermakna secara statistik. Banyak faktor yang dapat memengaruhi mortalitas, di antaranya tingkat keparahan penyakit dan lama pasien mendapatkan terapi medikamentosa maupun tindakan surgical setelah kejadian trauma. Tingkat keparahan penyakit saat awal rawatan tidak berbeda antara kedua kelompok. Hal tersebut ditunjukkan dari skor PELOD yang tidak berbeda bermakna secara statistik antara kelompok manitol dengan kelompok NaCl 3%. Manitol menyebabkan penurunan kadar natrium dalam darah yang cepat dan peningkatan kalium dengan berjalannya waktu, sedangkan salin hipertonis menyebabkan peningkatan segera kadar natrium (berlanjut selama 6 jam) dan penurunan segera kadar kalium yang transien. Penelitian lain yang dilakukan terhadap anak dengan peningkatan tekanan intracranial yang dirawat di ruang rawat intensif, ditunjukkan adanya peningkatan kadar natrium dan klorida pada kelompok yang mendapatkan salin hipertonis 3%, tetapi masih dalam rentang kadar yang bisa diterima, untuk itu kadar elektrolit perlu dipantau selama pemakaian agen hiperosmolar. Penelitian Wayudi (2015) dengan judul “Head Up Inmanagement Intracranial For Head Injury”. Dan penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2016) dengan judul “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Stabilitas Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan Cedera Kepala Ringan Di Ruang Igd Rumah Sakit Salatiga”.Hasilnya ada pola atau trend yang menunjukkan bahwa kepala pada tempat tidur yang ditinggikan akan meningkatkan vasospasme. Sebagian kelompok , tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pasien pada posisi yang berbeda dari kepala yang ditinggikan tempat tidurnya. Memanfaatkan lain langkah analisis varians, nilai P berkisar tersebut menunjukan tidak ada kerusakan saraf terjadi. Kesimpulan secara umum, elevasi kepala pada tempat tidur tidak menyebabkan perubahan berbahaya dalam aliran darah di otak
yang
berhubungan dengan vasospasme. Posisi semi fowler dapat menurunkan nyeri pada cedera kepala ringan. Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi fowler kepala dan dada
dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat sedangkan pada posisi higt fowler, posisi kepala dan dada dinaikkan 45-80 derajat. Tujuan posisi ini digunakan untuk pasien yang mengalami masalah pernafasan dan pasien dengan gangguan jantung. Posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan dan menfasilitasi fungsi pernafasan membuat oksigen didalam paru-paru semakin
meningkat
sehingga
menurunkan tekanan darah.
memperingan
kesukaran
napas
dan
D. Bagan/ Skema
Peneliti dan tahun penelitian
Haryatun, N., & Sudaryanto, A. (2017)
Tujuan penelitian
Metode penelitian
Untuk mengetahui Deskriptif rata-rata waktu yang observasional. diperlukan dalam dengan memberikan pelayanan menggunakan pasien cedera kepala bentuk berdasar masingrancangan masing kategori penelitian kegawatan, yaitu secara cross kategori I-V sectional
Partisipan
60 orang
Hasil Pasien cedera kepala
Chandra, C. (2016)
Untuk mengetahui obat-obat analgesik
Deskriptif dengan
52 orang
kategori I dengan rata-rata waktu tanggap 98,33 menit. Pasien cedera kepala kategori II memerlukan waktu pelayanan rata-rata 79,08 menit. Pasien cedera kepala kategori III memerlukan waktu pelayanan rata-rata 78,92. Pasien cedera kepala kategori IV memerlukan waktu pelayanan rata-rata 44,67 menit. Pasien cedera kepala kategori V memerlukan waktu pelayanan paling cepat yaitu rata-rata hanya 33,92 menit.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala kategori I - V. Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat.
Pada terapi awal, Ketorolac Ketorolac, sebanyak 31 (59,61%), Metamizole (28,85%), pasien (59,61%) sebagai Paracetamol (3,85%), Asam
yang digunakan pada pengambilan pasien cedera kepala di data secara RSUP Prof. Dr. R. D. retrospektif Kandou Manado dan mengetahui pola penggunaan obat analgesik pada pasien cedera kepala (concussion).
Untuk membandingkan
Pengambilan
intensif, dalam hal lama rawatan, mortalitas, dan gangguan elektrolit
lunak statistik. Mann Whitney U-test, chi square, dan Fisher exact
Saragih, R. A. pemakaian manitol dan data secara C., Jiero, S., NaCl 3% pada anak retrospektif Saing, J. H., dengan cedera kepala data diolah & Lubis, M. akibat trauma yang dengan (2016) dirawat di ruang rawat perangkat
terapi awal, 2 pasien diantaranya anak-anak dan 29 pasien lainnya dewasa. Metamizole, Sebanyak 15 pasien (28,85%), 6 oarng diantaranya anak-anak dan 9 lainnya pasien dewasa. secara Paracetamol tunggal sebagai terapi awal sebanyak 2 pasien (3,85%). Asam mefenamat sebagai terapi awal sebanyak 1 pasien (1,92%). Antalgin sebagai terapi awal sebanyak 1 pasien (1,92%).
Mefenamat (1,92%), Antalgin (1,92%) dan Ketorolac + Paracetamol (3,85%). Pola penggunaan obat analgesik berdasarkan usia anak menggunakan obat Metamizole (54,55%) dan dewasa menggunakan obat Ketorolac (70,73%). Pola penggunaan obat analgesik pada pasien cedera kepala, pada terapi awal diberikan secara intravena (92,30%) maupun secara peroral (7,70%) dan pada
Ditunjukkan adanya Tidak ada perbedaan lama rawatan, Pasien didalam peningkatan kadar natrium mortalitas, dan gangguan elektrolit 47 orang dan klorida pada kelompok dengan penggunaan manitol dan yang mendapatkan salin NaCl 3% sebagai agen hipertonis 3%, tetapi masih hiperosmolar pada pasien cedera dalam rentang kadar yang bisa kepala akibat trauma. Dibutuhkan diterima. penelitian lebih lanjut dengan metode prospektif dan besar sampel yang lebih besar.
test
Wayudi (2015)
Untuk mengetahui apakah fall prevention tool kit dengan menggunakan system informasi kesehatan dapat menurunkan kejadian jatuh
Randomized control trial
5160 pasien
Analisis varians, nilai P berkisar 0,34-0,97, baik melampaui 05. Hal tersebut menunjukan tidak ada kerusakan saraf terjadi
Elevasi kepala pada tempat tidur tidak menyebabkan perubahan berbahaya dalam aliran darah di otak yang berhubungan dengan vasospasme .
Manajemen Cedera Kepala: Head UP
Cedera Kepala
Manifestasi: Nyeri kepala yang hebat Muntah proyektil Hipertensi Bradikardi Pupil anisokor
Manajemen Nyeri: Analgetik (Ketorolak, Metamizole, Paracetamol, Asam Mefenamat, Antalgin
Terapi Cairan: NaCl, Manitol
Penangana Cedera Kepala: Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV Kategori V
E. Daftar Pustaka
1. Chandra, C. (2016). Studi Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion) Di Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode Januari-Desember 2014. Pharmacon, 5(2). 2. Haryatun, N., & Sudaryanto, A. (2017). Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi . Berita Ilmu Keperawatan, 1(2), 69-74. 3. Saragih, R. A. C., Jiero, S., Saing, J. H., & Lubis, M. (2016). Perbandingan Nacl 3% Dan Manitol Pada Cedera Kepala Akibat Trauma Di Ruang Rawat Intensif Anak. Sari Pediatri, 16(6), 375-8. 4. Suryani. (2016). Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Stabilitas Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan Cedera Kepala Ringan Di Diakses
Pada
Tanggal
Ruang Igd Rumah Sakit Salatiga. 20
September
2017,
Dari
Http://Digilib.Stikeskusumahusada.Ac.Id/Files/Disk1/39/01-Gdl 5. Wayudi (2015). Head Up Inmanagement Intracranial For Head Injury. Diakses Pada
Tanggal 20 September 2017, Dari
Http://Lppm.Unsil.Ac.Id/Files/2016/03/HEAD-UP-INMANAGEMENT-INTRACRANIAL-FOR-HEAD-InjurypaperEvidence-Based-Practice-Ebp-Deni-Wahyudi.Pdf