BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah hipersensitifitas tipe lambat yang disebabkan oleh alergen, dihasilkan dari dari kontak kulit dengan alergen tertentu dimana pasien telah mengembangkan
sensitivitas
tertentu.
Reaksi
alergi
menyebabkan
peradangan
kulit
1,2
dimanifestasikan dengan berbagai derajat eritema, edema, dan vesikula . Di Amerika kejadian DKA yang di laporkan 7% terkait dengan penyakit pekerja pabrik, karena hanya mengenai orang yang kulitnya peka atau hipersensistif. Di perkirakan di Amerika perbadingan antara DKA akibat pekerja pabrik dengan yang bukan pekerja jauh lebih tinggi yang bukan pekerja pabrik. Secara umum , usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitivitas namun, DKA jarang di jumpai pada anak – anak – anak. Bila di lihat dari jenis kelamin DKA pada wanita 1,11
cenderung dua kali lipat lebih tinggi kejadianya di bandingkan dengan laki – laki – laki laki
.
Penyebab DKA adalah bahan - bahan yang sederhana yang mempunya berat molekul yang rendah, merupakan allergen yang belum diproses, bersifata hipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum, dan beberapa hal yang berpengaruh terhapat DKA , misalnya 4
potensi sensitifitas allergen dll . Manifestasi klinis pada umumnya gatal. Dermatitis Kontak Alergika dapat dibagi menjadi akut dan kronis, pada DKA akut bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian di ikuti dengan edema, papilavesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis kulit kering , skuama, 10
papul, likenifikasi, dan fisur . Dalam menegakan diagnosa di lakukan dengan uji tempel, di 8,9
gunakan untuk mengetahui sensitifitas tubuh pasien terhadap berbagai allergen . Kortikosteroid topikal merupakan andalan pengobatan, tapi yang penting lagi adalah mengidentifikasi dan menghapus agen penyebab potensial. Jika tidak diobati akan terjadi 1,2
peningkatan resiko untuk dermatitis kronis dan berulang . Kami mengambil DKA sebagai referat karena ini merupakaan penyakit berulang jika dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan. Bila tidak di temukan bahan alergennya maka sangat menggangu dalam menjalankan aktifitasnya atau pekerjaannnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah keradangan kulit yang di sebabkan bahan atau substansi yang menempel pada kulit dan termasuk dalam reaksi hipersensitive tipe lambat
2,4
.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika kejadian DKA yang di laporkan 7% terkait dengan penyakit pekerja pabrik, karena hanya mengenai orang yang kulitnya peka atau hipersensistif. Di perkirakan di Amerika perbadingan antara DKA akibat pekerja pabrik dengan yang bukan pekerja jauh lebih tinggi yang bukan pekerja pabrik. Secara umum , usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitivitas namun, DKA jarang di jumpai pada anak – anak. Bila di lihat dari jenis kelamin DKA pada wanita 1,11
cenderung dua kali lipat lebih tinggi kejadianya di bandingkan dengan laki – laki
.
2.3 Etiologi
Penyebab DKA adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam dermatitis kontak iritan, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang tekena, lamanya pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum, dan pH, juga faktor individu misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak ( keadaan stratum korneum , ketebalan epidermis ), status imunologik (misalnya sedang dalam keadaan 4
sakit, terpapar sinar matahari ) . Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat
rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol 4,10
(karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
.
2.4 Patogenesis
Dermatitis kontak alergika adalah dermatitis akibat mekanisme hipersensitivitas kulit yaitu reaksi imunologik yang spesifik yang dapat bersifat akut atau kronik. Secara statistik insiden dermatitis kontak alergen lebih sedikit dibanding dermatitis kontak iritan yaitu 20:80. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang men yebabkan timbulnya lesi dermatitis kontak alergi yaitu
4.6
.
1) Fase sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase eferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Hal ini terjadi bila hapten masuk ke dalam stratum korneum akan di tangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada melekul Human Leukocyte Atigen – DR (HLA-DR) menjadi antigen lengkap. Sel LE kemudian menuju duktus limfatikus dan menuju ke parakortek Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen pada molekul Cluster of Diferentiation 4+ (CD4+) dan molekul CD 3. CD 4+ berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misal untuk ion chrom saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan sel antigen. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan Interleukin – 1 (IL-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan Iterleukin - 2 (IL-2). Kemudian IL-2 merangsang terjadinya proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cell, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak dengan alergen yang sama. Proses ini berlangsung pada manusia selama 14-21 hari, dan belum terjadi ruam pada kulit.Pada saat ini individu telah 4,6
tersensitisasi yang berarti mempunyai risiko untuk mengalami dermatitis kontak alergi .
2) Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi bila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mengsekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang Interferon (INF) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi Intercelluler Adhesion Molecul-1 (ICAM-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan Lekosit serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel Mast dan makrofag untuk melepaskan histamine sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti ertema, edema dan vesikula 4,6
yang nampak sebagai dermatitis .
3.4 Manifestasi Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan
kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut di mulai bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering , berskuama, papul, likenifikasi, dan fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit di 4
bedakan dengan dermatitis kontak iritaan kronis .
Gambar : DKA pada tangan dan tungkai 3.5 Diagnosa
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang 4
pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik) . Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena 4
sebab-sebab endogen
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian 4
tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis . 3.6 Pemeriksaan Uji Tempel
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi 7,8,9
kontak makin meningkat (reaksi tipe crescendo)
.
Penilaian atau Interpretasi atau Pembacaan
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 15 - 25 menit kemudian, supaya kalau ada tanda-tanda akibat tekanan, penutupan dan pelepasan dari Unit uji tempel yang menyerupai bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam pendapat. Yang dianjurkan oleh ICDRG (International Contact Dermatitis Research Group) sebagai 8
berikut : + atau ˜ : hanya eritema lemah: ragu-ragu +
: eritema, infiltrasi (edema), papul: positif lemah
++
: eritema, infiltrasi, papul, vesikel: positif kuat
+++
: bula: positif sangat kuat
˜
: tidak ada kelainan : iritasi
NT
: tidak diteskan Bila perlu, misalnya dugaan klinis kuat, tetapi hasil tes negatif, pembacaan dilakukan 72
jam setelah penempelan, atau bahkan juga 1 minggu setelah penempelan, tanpa menempelkan lagi bahan tadi. Ini untuk mengetahui mungkin reaksinya lambat (delayed reaction).
Pada pembacaan mungkin kita dapat kecewa oleh karena terjadinya beberapa reaksi yang tidak kita harapkan, misalnya: a) Reaksi iritasi b) Reaksi alergi oleh unit uji temple c) Maserasi oleh kelenjar keringat d) Retensi keringat e) Miliaria f) Perubahan warna dari bahan g) Reaksi isomorfik (fenomen koebner) h) Reaksi pustulasi i) Reaksi positif palsu j) Folikulitis Di sini yang hampir serupa yaitu bentuk reaksi alergi dengan reaksi iritasi, maka untuk ini perlu kita bedakan: Reaksi Positif Palsu
Reaksinya sendiri betul-betul positif, tidak palsu. Yang dimaksud “palsu” disini yaitu apabila tidak mencerminkan reaksi alergi terhadap bahan yang diteskan itu, tetapi reaksi timbul oleh 9
karena adanya faktor-faktor lain, misalnya : a) Dalam bahan tes maupun unit uji tempel terdapat unsur - unsur yang iritatif. b) Bahan tes dengan konsentrasi yang terlalu tinggi atau jumlahnya terlalu banyak. c) Kulit dalam keadaan terlalu peka, misalnya bekas dermatitis, sedang menderita dermatitis yang akut atau luas dan sebagainya. Hal yang mungkin terjadi pada uji temple. Terjadi Reaksi Positif Ini menunjukkan bahwa penderita bersifat alergik terhadap bahan yang diteskan. Hasil ini akan sangat berarti bila bahan tersebut sesuai dengan dugaan yang diperoleh dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, hingga diagnosis yang mantap bisa ditegakkan. Akan tetapi mungkin pula hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita perkirakan. Ini bisa terjadi bila kita melakukan tes dengan bermacam-macam bahan, terutama bahan tes standar. Kemungkinan 8,9
terjadinya hal ini oleh karena :
a) reaksi positif terhadap bahan tersebut sesuai dengan dermatitis masa lalu, yang pada saat ini tidak tampak, tetapi kulit masih tetap peka terhadap bahan tersebut, sedangkan penyebab dari dermatitis yang sekarang belum dapat dibuktikan. b) Penderita memang peka terhadap beberapa bahan yang menimbulkan reaksi positif, yang tidak ada hubungannya dengan penyakit sekarang. Ia belum pernah menderita dermatitis yang disebabkan oleh bahan-bahan itu oleh karena belum ada kesempatan atau tidak penah kontak dengan bahan tersebut secaracukup lama. c) Reaksi tersebut masih ada hubungannya dengan dermatitis yang sekarang, tetapi tidak secara langsung, yaitu berupa kepekaan silang (cross sensitisation). Bahan penyebab dermatitis yang sekarang mempunyai struktur kimia yang serupa dengan bahan yang menimbulkan reaksi positif. Sebagai contoh : bahan dalam cat rambut dengan bahan anestesi lokal. Kalau penderita peka terhadap cat rambut, mungkin ia peka pula terhadap anestesi lokal. Terjadinya reaksi negative Kemungkinannya adalah: a)
Memang penderita tidak peka terhadap bahan yang diteskan.
b) Negatif palsu, yaitu yang semestinya positif, tetapi oleh karena beberapa kesalahan teknik, reaksinya negatif. Ini disebabkan antara lain oleh karena:
Nilai ambang konsentrasi belum tercapai. Bahan tersebut bersifat photo-sensitiser, yang untuk terjadinya reaksi positif diperlukan sinar matahari atau sinar ultra violet.
Bahan sudah rusak.
Kalau riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan fisik cukup jelas merupakan alergi terhadap bahan tertentu, maka dugaan masih tetap ada meskipun reaksi negatif. Pembacaan bisa dilakukan lagi setelah 72 jam setelah penempelan tanpa menempelkan lagi bahan tes tersebut. Kemungkinan terjadi reaksi tertunda (delayed reaction), hingga reaksi menjadi positif. Akan tetapi kalau dalam penundaan pembacaan ini kulit tempat patch test tadi terbuka atau terkena sinar matahari, masih ada kemungkinan lain yaitu bahwa bahan tersebut bersifat photo8,9
sensitiser .
Gambar : Tes Tempel 3.7 Diagnosa Banding
Kelaian kulit DKA sering tidak menunjukan gambaran morfologi yang tidak khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau proriasis. Diagnona banding yang terutama adalah dermatitis kontak iritan (DKA) lebih jelasnya dapat di liat pada t abel 4,11
:
Gejala
Lesi
Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak alergika
Akut
Nyeri
Gatal
Kronik
Gatal / nyeri
Gatal/nyeri
Akut
Eritema
vesikel
Crusta Kronis
erosi eritema
skuama
erosi
Papula, Plak, fisur, skuama dan
palula krusta
vesikel skuama
Papula, plak, skuama, krusta
krusta Batas
dan
Jelas,
lokasi
berbatas
tegas
pada
tempat terjadinya kontak.
Jelas, terbatas pada terjadinya kontak tapi bisa menyebar di daerah sekirnya ; berupa papula kecil; biasa menjadi generalisata.
Perubahan
Akut
Kronik
Cepat ( beberapa jam setelah
Tidak begitu cepat ( 12 sampai 72
paparan)
jam setelah paparan )
bulanan
sampai
tahunan Bulan atau lebih lama, kambuh
apabila terjadi paparan terus
setiap mendapat paparan
menerus Factor
Tergantung
dari
konsentrasi Relative
tidak
bergatung
dari
pencetus
dari agen dan keadaan barier jumlah pemakaian, konsentrasinya kulit; terjadi hanya di atas bisanya ambang batas.
sangat
rendah
sudah
cukup tetapi juga tergantung dari derajat kepekaan
Insiden
Bisa terjadi hampir pada setiap Terjadi hanya pada orang yang orang
sensitive.
3.8 Penatalaksanaan
Hal yang perlu di perhatikan dalam pengobatan DKA adalah upaya mencehah 3
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteroid dapat di berikan jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang di tandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif misalnya prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelaina kulit akan meredan bebe rapa hari. Sedangkan kelainan 2,4
kulit cukup di kompres dengan garam faali atau air salisil.
Untuk DKA ringan atau akut yang telah mereda dapat diberikan kortikosteroid ( 2,3
hidrokortisone 2,5 % ) atau makrolaktam (Pimecrolimum) secara topical. 2.9 Monitoring terapi
Individu dapat mengembangkan alergi baru. Seorang pasien yang mengalami kambuh atau memburuknya DKA mungkin memerlukan pengetahuan riwayat penyakit lebih lanjut dan 1,2
mungkin pemantauan dengan tes patch . 2.10 Prognosa
Seseorang dengan DKA umunnya baik, yang perlu diperhatikan biasanya sering persisten atau kambuh, terutama jika bahan yang menyebabkan alergi tidak diidentifikasi atau jika mereka terus melakukan perawatan kulit yang tidak sesuai (yaitu, mereka terus menggunakan bahan kimia untuk membersihkan
kulit mereka,dan juga mereka tidak memberikan krim emolien 1
lembut untuk melindungi kulit mereka) . Semakin lama seseorang mengalamai DKA akan menjadi lebih berat, semakin lama 1,2
penyebabnya teridentifikasi akan memakan waktu lama untuk mengatasinya .
BAB III RINGKASAN
Dermatitis Kontak Alergika adalah keradangan kulit yang di sebabkan bahan atau substansi yang menempel pada kulit dan termasuk dalam reaksi hypersensitive tipe lambat. Beberapa factor yang berpengaruh dalam dermatitis kontak iritan, misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang tekena, lamanya pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum, pH dan juga factor individu. Gambaran klini acut dari DKA di mulai bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian di ikuti dengan edema, papilavesikel, vesikel atau bula, gambaran kronis kulit kering , berskuama, papul, likenifikasi, dan mukin juga fissure, batasnya tidak jelas. Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji temple Uji Tempel Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penatalaksanaan adalah mengurangi rasa gatal, pasien di berikan hidrokortoson topikal, antihistamin , dan beberapa agen atipruritik. Apabila pasien yang mengalami kondisi yang berat dapat di berikan kortikosteroid sistemik. Pasien juga dapat menggunakan astringen untuk mempercepat pengeringan luka yang basah sehingga memberika penutup pelindung kulit yang mengalami inflamasi. Selain itu juga dapat di berikan antiseptic untuk melindungi dari infeksi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jacobs JJ, Lehé CL, Hasegawa H, Elliott GR, Das PK. Skin irritants and contact sensitizers induce Langerhans cell migration and maturation at irritant concentration. Exp Dermatol . Jun 2006;15(6):432-40. 2. Shaffer MP, Belsito DV. Allergic contact dermatitis from glutaraldehyde in health-care workers. Contact Dermatitis. Sep 2000;43(3):150-6 3. Pohan S. dkk. 2005. Dermatitis Kontak. Dalam Pedoman dan Terapi Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. Surabaya: FK Unair, hal 5 – 8. 4. Djuanda, Adhi dan Sularsito, S.A., 2011. Dermatitis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, Hal. 133 – 138. 5. Mustiastutik, Dwi. Dkk. 2011. Dermatitis Kontak. Dalam Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kedua. Surabaya: Pusat Penerbit dan Percetaka FK Unair, Hal. 104 -105. 6. Suwondo Ari, Jayanti Siswi, Lestantio Daru. Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pekerja Industri Tekstil “X” di Jepara. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol 6 Nomer 2 Tahun 2010. Hal 95 – 96. 7. Sulaksmono. 2000. Dermatosis Akibat Kerja, Bahan Buku Ajar. FKM Unair. Surabaya. 8. Sulaksmono, M.200. Keuntungan dan Kerugin Tes Tempel. Dalam Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat. Surabaya. 9. Suyoto. 1997. Uji Tempel, Seminar Penyakit Kulit Akibat Kerja, Jakarta. 10. Sularsito S.A., 2004. Dermatitis Kontak Alergika dalam Subono, H., Kumpulan Makalah Seminar Kontak Dermatitis, FK UGM , Yogyakarta. 11.