1. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian integral dari perlindungan manusia terhadap
penyakit,
tetapi
mekanisme
perlindungan
imun
terkadang
dapat
menyebabkan reaksi merugikan pada host. Reaksi tersebut dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Klasifikasi tradisional untuk reaksi hipersensitivitas dari Gell dan Coombs yang saat ini merupakan sistem klasifikasi yang paling umum digunakan yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 jenis yaitu: 1.
Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat ) melibatkan imunoglobulin E (IgE) merilis histamin dan mediator lain dari sel mast dan basofil.
2.
Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik) melibatkan imunoglobulin G atau immunoglobulin antibodi M terikat pada permukaan sel antigen dengan memfiksasi komplemen berikutnya.
3.
Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun) melibatkan sirkulasi kompleks imun antigen-antibodi yang tersimpan dalam venula postcapillary dengan memfiksasi komplemen berikutnya.
4.
Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T.
2. DERMATITIS KONTAK
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit ( National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). Dermatitis Kontak Alergi (DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen, sedangkan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.
a.
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup ( Health and Safety Executive, 2004). Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Kelaianan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi dan fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, terjadi denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan
merusak lisososm, mitokondria atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakhidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating faktor = PAF, dan Inositida (IP3). Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-I (ICAM-I). Pada kontak dengan iritan , keratinosit juga melepaskan TNF alfa yang merupakan suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktivasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin. Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri bila iritan kuat. Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003). Apabila
diperlukan
untuk
mengatasi
peradangan
dapat
diberikan
kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007). b.
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi ( National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi
sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003). Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).
Sumber: Health and Safety Executive, 2000
Fase induksi (fase sensitisasi) : terjadi saat kontak pertama alergen dengan kulit
sampai limfosit mengenal dan memberi respons, yang memerlukan 2-3 minggu.
Pada fase induksi/fase sensitisasi ini, hapten (protein tidak lengkap masuk ke dalam kulit dan berikatan dengan protein karier membentuk antigen yang lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses lebih dahulu oleh makrofag dan sel langerhans. Kemudian memacu reaksi limfosit T yang belum tersensitisasi di kulit sehingga sensitisasi terjadi pada limfosit T. Melalui saluran limfe, limfosit tersebut bermigrasi ke darah parakortikal kelenjar getah bening regional untuk berdifferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Kemudian sel-sel tersebut masuk ke dalam sirkulasi, sebagian kembali ke kulit dan sistem limfoid, tersebar di seluruh tubuh, menyebabkan keadaan sensitisasi yang sama di seluruh kulit tubuh.
Fase elisitasi : terjadi saat pajanan ulang dengan alergen yang sama sampai
timbul gejala klinis. Pada fase elisitasi, terjadi kontak ulang dengan hapten yang sama. Sel efektor yang telah tersensitisasi mengeluarkan limfokin yang mampu menarik berbagai sel radang sehingga terjadi geja la klinis. Gejala : Pada dermatitis kontak yang akut gejalanya ditandai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Predileksi : tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, genitalia, paha dan tungkai bawah. Pengobatan : Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003; Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009). Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal (Djuanda, 2003). Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi : Pembeda Penyebab
DKI Iritan primer
DKA Alergen
kontak
s.
sensitizer Awal
Kontak pertama
Kontak ulang
Penderita
Semua orang
Hanya orang alergi
Lesi
Batas
lesi
jelas,eritema Batas tidak begitu jelas,
jelas, monomorf
eritema
tidak
ada,
polimorf Uji tempel
Sesudah di tempel 24 jam, Bila sudah 24 jam, bahan bila iritan diangkat, reaksi alergen diangkat, reaksi akan berhenti.
menetap, akhirnya
meluas akan
dan
berhenti
juga.
3. DERMATITIS ATOPI
Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (Dharmadji, 2006). Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan
kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan
faktor
eksogen
cenderung
menjadi
faktor
pencetus
(Boediardja, 2006). Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respons bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE mediator ke jaringan setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar setelah pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat (late phase reaction-LPR). Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil dan infiltrat mononuklear sekitar 24-48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2 (Soebaryo, 2009). Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat digunakan untuk memastikan penyakit dermatitis atopik. Pada umumnya diagnosis dibuat dari riwayat adanya penyakit alergi, misalnya eksim, asma dan rinitis alergik, pada keluarga, khususnya kedua orang tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien, kadang perlu melihat beberapa kali untuk dapat memastikan dermatitis atopik dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain serta mempelajari keadaan yang menyebabkan iritasi/alergi kulit. Para ahli penyakit kulit telah membuat beberapa kriteria diagnosis dan saat ini banyak digunakan adalah kriteria yang dikemukakan oleh sarjana Hanifin dan Rajka, yang meliputi kriteria mayor dan kriteria minor (Zulkarnain, 2009; Dewi, 2004). Kriteria mayor :
Rasa gatal
Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka dan lengan)
Eksim yang menahun dan kambuhan
Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)
Kriteria minor :
Kulit kering
Luka memanjang sekitar telinga (fisura periaurikular)
Garis telapak tangan lebih jelas (hiperlinearitas Palmaris)
Bintil keras di siku, lutut (keratosis pilaris)
White dermographisme : bila kulit digores tumpul, timbul bengkak bewarna keputihan di tempat goresan
Garis Dennie Morgan : garis lipatan di bawah m ata
Kemerahan atau kepucatan di wajah
Kulit pecah/luka di sudut bibir (keilitis)
Pitiriasis alba : bercak-bercak putih bersisik
Perjalanan penyakit dipengaruhi emosi dan lingkungan
Uji kulit positif
Peningkatan kadar Immunoglobulin E dalam darah
Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala mayor dan 3 gejala minor. Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar , selain mengobati
gejala
utama
gatal
untuk
meringankan
penderitaan
penderita.Penatalaksanaan ditekankan padakontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanyauntuk mengatasi kekambuhan5,19. Pengobatan dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut: a. Menghindari bahan iritan Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembab b. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya c. Pengobatan topical : -
Menghilangkan kekeringan kulit Pelembab
dapat
dibedakan
menjadi
tiga
yaitu
pelembab
humektan, oklusif , dan emolien. -
Kortikosteroid Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti inflamasi.Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan sebagai anti mitotik.
-
Preparat Tar Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal Preparat tar batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi. Preparat tar sebaiknya dipakai pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akutkarena dapat menyebabkan iritasi
-
Inhibitor kalsineurin topical Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas takrolimus dan pimekrolimus
d. Pengobatan sistemik : -
Pemberiaan anti histamine Antihistamin
digunakan
sebagai
antipruritus
yang
cukup
memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan -
Pemberian antibiotic Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan peningkatan koloni Staphylococcus aureus.Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir
-
Kortikosteroid sistemik Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka pendek,
dosis
rendah,
berselang-seling, diturunkan
bertahap
dan
kemudian diganti kortikosteroid topical -
Siklosporin Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan konvesional dapat diberikan siklosporin jangka pendek.
e. Mengurangi stress Stress
emosi
pada
penderita
dermatitis
atopik
merupakan
pemicu
kekambuhan, bukan sebagai penyebab.Usaha-usaha mengurangi stress adalah dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik, terutama yang mempunyai kebiasan menggaruk.Pada suatu penelitian small randomized trials ,Pendekatan psiko-terapi perlu dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan penderita. Relaksasi,modifikasi mood dan biofeedback mungkin berguna pada penderita dengan kebiasaan menggaruk. f.
Edukasi pada penderita dan keluarga Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik,
yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi tentang penyakitnya, faktor-faktor pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dan sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa program edukasi orangtua tentang tatacara pengobatan topikal oleh penyedia pelayanan kesehatan akan sangat berguna untuk penderita dermatitis atopic g. Terapi sinar Pengobatan dengan sinar ultraviolet seperti UVA, UVB, narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVAdan UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi) dapatdigunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi panjang, namun berisiko menimbulkan penuaankulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama.Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA,
yangdihubungkan
dengan
karsinoma
sel
skuamosa
dan
melanomamaligna. Fototerapi dipertimbangkan pada dermatitis atopik yang berat danluas yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal.Fotokemoterapi tidak
dianjurkan untuk anak usia kurang dari12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata. h. Balut basah Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikansebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutamauntuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadappengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberilarutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroidpada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat danditutup dengan lapisan atau baju kering di atasnya