BATUK REJAN Hartono S. Pendahuluan
Batuk rejan yang khas terbagi dalam 3 stadium, yaitu stadium kataral, paroksis mal dan penyembuhan. Stadium kataral biasanya 1-2 minggu, dimulai dengan gejala-gejala non spesifik pada saluran pernafasan, anoreksia, kenaikan suhu badan dan berakhir berakhir dengan batuk. Stadium parosikmal lamanya beberapa minggu dengan batuk yang makin l ama makin parah sehingga penderita muntah-muntah disertai perdarahan hidung, perdarahan pada konjungtiva dan sclera, serta edema di sekitar mata. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan leko dan limfositosis, laju endap darah yang normal, kadang-kadang terdapat hipoglikemia (6). Komplikasi pada batuk rejan sering berupa pneumonia karena infeksi sekunder. Dengan dipergunakan vaksin yang efektif, gejala-gejala pada anak yang sudah pernah diimunisasi pada umunya lebih ringan, akan tetapi masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi jalannya penyakit. Angka kematian yang tertinggi terdapat pada kelompok usia di bawah satu tahun ; pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa gejala -gejala biasanya lebih ringan. Penyakit yang aktif disertai dengan ekskresi Bordetella pertussis dari saluran pernafasan. Setelah minggu ke-3 50% dari biakan akan menjadi negative, dan pada minggu ke-4 hanya 20% saja yang masih positif. Apabila penderita diobati dengan antibiotika, B. pertussis han ya dapat dibiakkan selama beberapa hari saja (1).
Diagnosa
Biakan dari daerah naso-farings naso- farings dibuat pada media Bordet-Gengou yang mengandung penisilian. Biakan ini sebaiknya dibuat pada stadium kataral atau pada stadium paoksismal paoksismal dini. Sering terdapat biakan yang negatife-palsu (false negati ve), terutama apabila sedang dilkaukan terapi antibiotik.
B. pertusis biasanya mudah dibiakkan dari nasofarings pada waktu masa tunas atau stadium kataral penyakit. Pada saat ini, gejala-gejala batuk rejan tidak jelas atau belum ada sama sekali. Pada stadium paroksismal dimana tanda-tanda klinis batuk rejan menjadi lebih patoknomosis, jumlah B. pertussis di nasofarings sudah banyak berkurang dan sulit untuk dibiakkan. Karenanya, diagnosis batuk rejan lebih sering dibuat berdasarkan gambaran klinik yang khas dan bukti-bukti epidemiologis (misalnya biakan B. pertusis yang positif pada orang kontak atau pada masyarakat sekelilingnya). Bahan pemeriksaan biasanya diambil dengan hapus kerongkongan yang langsung ditanamkanpada medium Bodret-Gengou yang mengandung penisilin.
Epidemiologi
Sekitar tahu 1890 telah berkali-kali ditemukan bakteri-bakteri berupa batang gram negative pada sedian-sedian yang dibuat dari nasifarings dan dahak penderita pertussius. Bakteri-bakteri ini juga didapatkan pada paru-paru anak yang meninggal karena batuk rejan, terutama diantara dan pada rambut-rambut getar (silia) sel-sel epitil saluran pernafasan. Untuk pertama kali Bordet dan Gengou pada tahun 1912 berhasil membiakkan bakteri gram negatife tersebut pada perbenihan buata yang kemudian dinamakan Bordetella pertussis. Perbenihannya sederhana, mengundang tepung kentang, gliserol dan darah bebasfibrin yang kemudian dikenal sebagai medium Bordet-Gengou (medium B.G) Apabila ditumbuhkan secara aerob, B. pertussis membentuk koloni-koloni yang kembung, licin, berkilat-kilat dan dikelilingi oleh suatu zona hemolisis. Ukurannya ± 0,2 – 0,8 μm, pleomorfis, dapat membentuk rantai-rantai pendek dalam keadaan tertentu, dan dikenal tipe-tipe I, II, III dan IV. Perubahan dari fase I ke fase IV dihubungkan denganberkurangnya virulen si bakteri, yang disebabkan oleh mutasi dan seleksi karenan pengaruh lingkungan pertumbuhan pada medium buatan. Pada akhir-akhir ini ternyata bahwa perubahan tersebut bersifat reversible. B. pertussis mengandung komponen-komponen aktif yang mempunyai peranan penting dalam merangsang system imun dalam pembuatan zat anti spesifik, antara lain FHA (Filamentous Haemagglutinin), LPF (Leucocytosis promoting Factor) dan HSF (Histamine
Sensitizing Factor). Disamping ini masih ada faktir-f aktor lainnya yang bersifat toktis, yaitu HLT (Heat Labile Dermonecrotic Toxine), IAP (Islet Activating Protein), endotoksin dan Daglurtinin (5).
Vaksin Pertusis
Pada saat ini vaksin pertusis yang dipergunakan untuk imunisasi aktif terhadap batuk rejan mengandung kuman B. pertusis yang telah dimatikan dengan pemerasan, diberikantapi ml vaksin terdiri dari 24 milyar kuman dan 0,1 mg mertiolat, diberikan dengan dosis 0,5 ml intramuskuler. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa komponen-komponen yang aktif dalam faksin pertusis ini adalah antara lain FHA (Filamentous Haemag glutinine), LPH (Lympositosis Promating Factor) Dan HSF (Histamene Sensitixin Factori) Vaksinasi pada umumnya tidak menimbulkan kekebalan jangka panjang ; setelah 2 tahun kekebalan sudah mulai menurun. Vaksin ini reaktogenik dan pada mereka yang rentan, dapat menimbulkan reaksi yang berlebihan. Di Jepang telah berhasil dibuat vaksin pertusis ase luler dari B. pertussis yang ditumbuhkan pada biakan statis, supernatant yang mengandung FHA dan LHP diputar dan diendapkan denagn 33% Amonium-sulfat. Presipitat ini dilarutkan kembali dan dari larutan ini kemudian dipisahkan FHA dan LPF. Toksisitas FHA dan LPF dhilangkan dengan pemberian formalin. Vaksin aseluler ini dapat dicanpur dengan toksoid difteri dan tetanus serta diadsorbsikan pada aluminium fosfat atau hidroksida. Menurut laporan, potensi vaksin ini sebanding dengan potensi vaksin pertusis biasa. Vaksin ini lebih aman dan kurang reaktogenik apabila dibandingkan dengan vaksin yang mengandung sel bakteri lengkap, dan mempunyai efektivitas yang cukup tinggi. Akan tetapi masih diperlukan waktu untuk membuktikan apakah vaksin pertusis aseluler ini mampu untuk mencegah infeksi pertusis pada jumlah penduduk yang besar (14).
Imunitas
Mekanisme kekebalan terhadap batuk rejan belum diketahui dengan tepat. Reaksi dini terhadap infeksi berupa fagositosis oleh lekosit-lekosit berinti polimorf dan makrofag. Antibody pengikat komplemen (complement fixing antibodies) timbul pada minggu ke 2-3 dengan titer tertinggi pada minggu ke 7-8, dan pada waktu tersebut 89% serum penderita positif terhadap antibody ini. Bersamaan dengan ini, biakan B. pertussis dari saluran pernafasan penderita menjadinegatif yang menunjukkan bahwa antibody ada hubungannya dengan proses penyembuhan penyakit. Peran antibody terhadapa kekebalan maupun terhadap ulangan B. pertussis belum diketahui dengan jelas. Pemberian globulin hiperimun untuk pencegahan infeksi maupun untuk pengobatan batuk rejan dalam stadium paroksis mal tidak memberikan hasil yang diharapkan (2). Akan tetapi titer”agglutinating antibodies”menunjukkan korelasi dengan kekebalan seseorang ; titer yang tinggi biasanya menunjukkan adanya perlindungan terhadap infeksi. Antibosi local )local antibodies) mungkin mempunyai peran dalam menghindari infeksi dengan cara mencegah melekatnya B. pertussis pada sel-se l epitel saluran pernafasan dan dalam merangsang sel-sel fagosit. Pada manusia belum pernah dilakukan penelitian yang mendalam mengenai kekebalan local saluran pernafasan terhadap infeksi B. pertussis, akan tetapi dalam hal ini Thomas telah menunjukkan adanya antibody spesifik dalam sekresi saluran pernafasan pasca imunisasi dengan teknik radiommunoassay. Epidemologi Manusia merupakan reservoar tunggal B. pertussis dan infeksi terjadi melalui penderita batuk rejan. Hingga kini belum terbukti adanya karier yang menahun (9,10). Kasu-kasus yang spesifik mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit ini. Banyak kemungkinan bahwa infeksi pada anak sering terjadi melalui anggota keluarga dewasa yang mengidap penyakit ini tanpa gejala-gejala spesifik. B. pertussis biasanya disebarkan, terutama oleh penderita dalam stadium kataral dan paroksismal, melalui butir-butir ludah (droplest). Infeksi karena kontak langsung jarang terjadi, walaupun dilaporka bahwa B. pertussis masih dapat diisolasi dan dibiakkan dari dahak kering sesudah 3hari (9).
Di Indonesia diperkirakan bahwa batuk rejan ini masih dapat dijumpai di banyak daerah, terutama di daerah-daerah yang padat penduduknya dengan kemungkinan kontak yang intensif. Di kabupaten Banjarnegara pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember tahun 1980 telah terjadi wabah batuk rejen yang menghinggapi 777 orang d ari 6880 orang penduduk kabuoaten tersebut. Dari 777 orang ini, 25 orang meninggal dunia dengan “case fatality rate”3,21%. Ternyata bahwa kelompok usia 1-4 tahun paling rentan terhadap infeksi batuk rejan. Dari kelompok usia ini telah terserang 196 anak (25,2%) dengan angka kematian 3,84%. Dari angka-angka ini dapat ditarik kesimpulan bahwa 1-4 tahun sangat rentan terhadap infeksi penyakit itu akan tetapi kelompok umur 5-9 tahun mempunyai angka kematian yang tertinggi di daerah itu (3). Pada umumnya para ahli kesehatan anak berpendapat bahwa pertusis namyak terdapat pada bayi dengan angka kematian yang cukup tinggi sekitar 15-30% pada bayi yang dirawat di Rumah Sakit. Sekitar 80% anak-anak telah pernah menderita pertusis senelum mereka mencapai usia 5 tahun. Data pergolongan umum untuk usia dibawah 5 tahun tidak ada di Indonesia, namun dinegara lain diperkirakan bahwa sekitar 65% kematian karena perlusis terjadi pada golongan usia dibawah 1 tahun. Dengan mempergunakan angka terakhir ini dengan “average attack rate” dan age specific case fatality rate” bisa dihitung adanya “age specific attack rate” sebesar 40% pada golongan umur 0-1 tahun, 16% pada 1-2 tahun dan 8% pada kelompok umur berikutnya dengan interval 1 tahun sampai usia 5 tahun. Berdasarkan data yang ada pada saat ini dapat dibuat perkira an bahwa dari 5 juta bayi yang lahir tahun 1979 di Indonesia, lebih dari 3 juta akan menderita spetusis sebelum mereka mencapai umur 5 tahun dengan 75.000 anak di antaranya akan meninggal (11).
Imunisasi Imunisasi dasar sebaiknya dimulai pada umur 3-4 bulan, 3 kali berturut-turut dengan masa antara 4-8 minggu, intramuskuler dengan dosis 0,5 ml. suntikan ulangan (booster) diberikan 6 bulan kemudian (17).
“Booster” terakhir harus diberikan pada saat anak memasuki sekolah untuk mencegah penularan yang dapat terjadi disekolah dan terbawa ke rumah. Suntikan ini tidak boleh diberikan setelah anak ini berusia 6 tahun ke atas karena terbukti bahwa insiden komplikasi berat yang dapat mengakibatkan kerusakan otak meningkat bermakna setelah umur 6 tahun (15). Demi efisiensi, imunisasi dasar dilakukan dengan Vaksin Difteri-Tetanus-Pertusis (DPT) pada umur 2 bulan dengan dosis 0,5 ml intramuskkuler, 3 kali berturut-turut. Tiap dosis Vaksin DTP mengandung 4.P.U. (Protective Units) anti gen pertusis, sehingga anak akan menerima paling sedikit 12 P.U. pada imunisasi dasar. Dengan demikian, 70% dari anak-anak yang menerima imunisasi dasar lengkap akan terlindung terhadap penyakit batuk rejan. Suntukan ulangan dilakukan 1 tahun setelah suntikan dasar terakhir dan satu kali lagi sebelum anak masuk sekolah. Gejala sebagai akibat imunisasi seperti demam, kemerahan, pembengkakan yang agak nyeri pada tempat suntikan dapat saja terjadi pada tempat suntikan, kadang-kadang disertai keluhan-keluhan lainnya seperti lesu, tidak suka makan dan perasaan gelisah. Gejala-gejala local biasanya terjadi dalam waktu beberapa jam setelah suntikan dan pada umumnya tidak memerlukan tindakan khusus. Reaksi yang merupakan kontra indikasi terhadap imunisasi adalah kejang-kejang, ensefalitis, tanda-tanda kelainan syarat dan kolaps. Anak-anak dengan gejala berteriak-teriak terus menerus (sampai 3 jam atau lebih) atau dengan demam lebih dari 40,5°C sebaiknya tidak diberi suntikan-suntikan berikutnya (12). Akan tetapi dalam menentukan kontraindikasi, hendaknya dipertimbangkan hal-hal berikut. Untung ruginya imunisasi harus dipertimbangkan terhadap akibat penyakitnya sendiri karena pertusis pada umumnya dapat menyebabkan kelainan-kelainan syaraf yang lebih berat dari pada kelainan yang disebabkan oleh imunisasi pertusis. Kejang-kejang yang terjadi bertahun-tahun yang lalu tanpa ada kelainan syaraf lainnya, demikian pula kelainan syaraf yang tidak progresif misalnya”cereberal pls y”atau kelainan
pertumbuhan syaraf (development retardation) tidak merupakan kontraindikasi mutlak terhadap imunisasi pertusis. Reaksi kurang baik sesudah imunisasi pertusis. Sebagian besar reaksi yang tidak dikehendaki ini akan timbul dalam waktu tidak lebih dari 48 jam sesudah penyuntikan. Hubungan kausal antara reaksi yang mungkin timbul sesudah 48 jam masih diragukan. Mekanisme reaksi pasca imunisasi ini lebih belum diketahui dengan pasti. Reaksi dini seperti demam, kejang-kejang dan syok disebabkan oleh efek toksis dari vaksin sendiri maupun oleh komponen-komponen B. pertussis. Kuman ini mengandung banyak komponen yang mempunyai aktivitas biologi, misalnya aglutinogen-aglutinogen, endotoksin, toksin yang tidak tahan panas, faktor yang mempromosi limfosit dan suatu antigen yang tahan panas. Diperkirakan bahwa salah satu atau lebih dari satu komponen ini menyebabkan reaksi-reaksi tersebut di atas. Dari 15.752 anak yang disuntik dengan vaksin yang mengandung komponen pertusis (DPT), timbul gejala-gejala sampingan dan reaksi yang tidak dikehendaki dalam kurun waktu 48 jam setelah suntikan sebagai berikut ini (4) : -
Kemerahan pada tempat suntikan Dengan diameter lebih dari 24 mm ……………………………………………...........7,2%
-
Pembengkakan pada tempat suntikan Dengan diameter lebih dari 24 mm ………………………………………………….. 8,9%
-
Rasa nyeri setempat ……………………………………………………………....... 51,1%
-
Demam lebih dari 38°C ……………………………………………………………. 47,0%
-
Demam lebih d ari 40,5° …………………………………………………………..… 0,3%
-
Anak rewel, marah-marah …………………………………………………………. 53,0%
-
Anak ngantuk, suka tidur terus ……………………………………………….......... 32,0%
-
Anoreksia ……………………………………………………………………...…… 21,0%
-
Muntah-muntah ……………………………………………………………………… 6,0%
-
Menagngis terus menerus ………………………………………………………..….. 1,0%
-
Berteriak-teriak …………………………………………………………………….... 0,1%
-
Kejang-kejang ……………………………………………………………………….. 0,1%
-
Kolaps, syok ………………………………………………………………………... 0,06%
Data yang pasti mengenai efek sampingan dan reaksi yang tidak dikehendaki sesudah imunisasi dengan faksin yang mengandung komponen pertusis di Indonesia masih sangat sukar didapat. Menurut hannik (7), dinegeri Belanda dari 1.260.000 anak yang menerima imunisasi dengan vaksin DTP – polio dalam waktu 7 tahun, 50 anak menunjukkan reaksi pasca imunisasi yang serius, 13 anak diantaranya mengalami kejang-kejang (jadi berturutturut 3,9 dan 1,0 kasus per 100.000 anak yang di imunisasi). Angka-angka ini j auh lebih rendah dari pada yang dilaporkan oleh strom (16) yang menyatakan bahwa di swedia, antara 516.273 orang yang diinunisasi, 167 orang menunjukkan reaksi yang berat (32 kasus per 100.000 orang yang diimunisasi). Batuk rejan merupakan salah satu dari penyakit menular yang angka insidensinya menurun berkat imunisasi yang dilakukan secara teratur. Mulai tahun 1957 di Inggris dengan adanya program imunisasi yang baik, kasus-kasus pertusis antara semua kelompok umur, terutama kelompok umur di bawah 1 tahun, turun cukup banyak. Imunisasi ini terutama ditujukan pada anak-anak yang lebih tua ditiap keluarga setiap keluarga sehingga dengan demikian angka infeksi terhadap bayi-bayi yang belum diimunisasi (atau yang tidak cukup mempunyai kekebalan) dapat ditekan. Pada bulan oktober tahun 1977 terjadi wabah yang cukup luas, terutama menyerang anak balita. Ini disebabkan karena terhentinya program imunisasi tersebut karena adanya laporanlaporan mengenai reaksi pasca imunisasi yang berat. Kejadian ini membuktikan bahwa pertusis ini akan menyebar kembali imunisasi terhenti. Berhubung dengan laporan-laporan tentang terjadi reaksi yang berlebihan pada vaksinasi dengan vaksin yang mengandung komponen pertusis, maka”National Childhood Encephalopathy Study” di Inggris telah melakukan penelitis n untuk menjawab pertanyaan apakah vaksin pertusis dapat menyebabkan otak pada anak dan berapa frekwensinya. Kasimpulan hasil penelitian tersebut di atas adalah : a. Penyakit-penyakit syaraf akut pada anak-anak sebagian besar disebabkan oleh hal-hal lain dari pada imunisasi. b. Kelainan-kelainan neurogis lebih sering terjadi dalam kurun waktu 72 jam sesudah vaksinasi dengan vaksin DTP. c. Sebagian besar anak-anak dengan kelainan neurologis i ni sembuh tanpa meninggalkan bekas apa-apa.
d. Kerusakan syaraf menetap sebagai akibat vaksinasi dengan vaksin pertusis jarang terjadi dan sulit untuk membuktikan adanya hubungan kausal pada kasus-kasus yang terpisah.pada anak-anak yang sebelumnya tidak menunjukkan adanya suatu penyakit, kemungkinan untuk mendapatkan kelainan neurologis pasca-imunisasi dengan vaksin DTP diperkirakan 1 : 110.000 imunisasi, sedangkan ensefalopati didapatkan pada 1 : 310.000 imunisasi (6). Kontr a indikasi Pada umumnya vaksin yang mengandung komponen pertusis tidak boleh diberikan pada anak-anak berumur lebih dari 6 tahun karenan efek sampingan yang berat lebih sering terjadi pada anak-anak yang berumur lebih dari 6 tahun ini. Oleh karena suntik ulangan (booster) juga diberikan sebelum anak berusia 7 tahun. Selain ini masih ada pula kontra indikasi yang perlu diperhatikan seperti : a. Riwayat kejang-kejang (bawaan maupun pasca infeksi misalnya sesudah meningitis, enselatitis dan sebagainya). b. Demam lebih dari 38°C. c. Apabila terjadi reaksi yang berlebihan setelah imunisasi dan vaksin DTP sebelumnya misalnya demam tinggi, kejang-kejang, penurunan kesadaran, s yok dan tanda-tanda reaksi anafilaktik lainnya. Kalau hal-hal ini terjadi, dianjurkan untuk melakukan imunisasi selanjutnya denagn vaksin DT (tanpa komponen pertusis). Penyakit ringan, misalnya diare 1-2 kali, batuk, pilek, gizi kurang dan alergi terhadap allergen non-vaksin misalnya makanan atau obat-obatan bukan kontra indikasi. Tindakan terhadap orang kontak. Orang kontak berumur kurang dari 7 tahun yang sebelumnya sudah dikebalkan terhadap pertusis sebaiknya diberi suntikan ulangan (booster) dengan vaksin DTP kecuali apabila sudah pernah diberi suntikan ulangan dalam kurun waktu 6 bulan sebelum kontak. Karena kekebalan ini tidak mutlak, dianjurkan pula supaya orang kontak diberi terapi profilaktis dengan antibiotika.
Globulin imun Pertusis (human) ternyata tidak mempunyai efek profilaktis (13).
Kepustakaan 1. Bass, J.W. ; Klerk, E.L. ; Kotheimer,J.B. ; Linneman, C.G. ; Smith, M.H.D. : Antimicrobila treatment of pertussis. J. Petidatr. 75 : 768 – 781 (1969) 2. Batalgas, R.C.; Nelson, K.E; Levin, S.; Gotoff, S.P. : Treatment of pertussis with pertussis immune globuline. J. Pediatr. 79 : 203 – 208 (1971). 3. Berita epidemologi R.I., Kwartal IV, 1980. 4. Cody, C.L.; Baraff, L.J.;Cherry, J.D.; Marey, S.M.; Manclark, C.R.: Nature and rates of adverse reactions associated with DTP nad DT immunizations ini infants and children. Pediatrics. 68 : 650 (1981). 5. Germanier, R. : Bacterial vaccines, Swiss Serum and Vaccine Institute Berne, Switzerland, p. 70-72 (Academic Press, Inc., London 1984). 6. Op. cit. p. 94-95 7. Hannik, C.A. : Major reaction after DTP-Polio vaccination in the Netherlands. International Symposium on Pertussis, pp. 157-161 (karger, Basel 1970). 8. Lagergren, J. : The whiteblood cel count and the erythrocyte sedimentation rate in pertussis. Pediatr. 52 : 405-409 (1963). 9. Lineman, C.C. : Host-parasite interaction in pertusis ; international symposium on pertussis, p. 8-9, Nov. 1-3 (NIH Bethesda, Maryland 1978). 10. Lineman, C.C. ; Bass, J.W.; Smith, M.H.D. : the carrier state per tussis. Am. J. Epidemiol. 88 : 422-427 (1968). 11. Pedoman Imunisasi di Indonesia, Dep. Kes. RI, hal. 24-25 (1980) 12. Report of the Committee on Infectious Diseases, 19 th Ed., p.201-202 (American Academy of Pediatrics, Evanston, 1982). 13. Op. cit. p.200. 14. Sato, Y. ; Kimura, M.and Fukumi, H. : Lancet 1 : 122-126 (1984). 15. Suraatmadja, S. : Perkembangan mutakhir dari imunisasi, hal. 26, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Univ. Udayana, Denpasar. 16. Strom, J. : Futher experience of reactions, especially of a cerebral nature in conjunction with triple vaccination : Med. J. 4 : 320-323 (1967). 17. Vedemekum Bio Farma, hal. 4, 22 (1984).