BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bronki Bronkioli olitis tis adalah adalah penyak penyakit it IRA-ba IRA-bawah wah (Infek (Infeksi si Respir Respirato atori ri Akut-ba Akut-bawah wah)) yang yang ditand ditandai ai dengan dengan adanya adanya inflam inflamasi asi pada pada bronki bronkiolu olus. s. Umumny Umumnya, a, infeks infeksii tersebu tersebutt diseba disebabka bkan n oleh oleh virus. virus. Secara Secara klinis klinis ditand ditandai ai dengan dengan wheezing pada pada bayi bayi yang yang didahului dengan gejala infeksi respiratori atas. 1,2
2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun da 75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. tahun. Louden Louden menyatakan bahwa bronkioliti bronkiolitiss terjadi terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di AS pern pernah ah meng mengal alam amii bron bronki kiol olit itis is.. Peny Penyak akit it ini ini meny menyeb ebab abka kan n 90.0 90.000 00 kasu kasuss peraw perawatan atan di RS dan menyeb menyebabk abkan an 4500 4500 kemati kematian an setiap setiap tahunn tahunnya. ya. Bronki Bronkioli olitis tis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara-negara tropis. Media Median n lama lama peraw perawat atan an adala adalah h 2-4 2-4 hari hari,, kecu kecual alii pada pada bayi bayi prem premat atur ur dan dan kela kelain inan an bawaa bawaan n sepe seperti rti peny penyak akit it jant jantun ung g bawa bawaan an (PJB (PJB). ). Angk Angkaa morb morbid idit itas as dan dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungki mungkin n diseba disebabka bkan n oleh oleh rendah rendahnya nya status status gizi gizi dan ekonom ekonomi, i, kurang kurangnya nya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.
2.3 Etiologi
Adapun penyebab dari bronkiolitis adalah sebagai berikut: 3,4
3
1,2,3,4
1. Infeksi
Virus: Respiratory Syncytial Virus (RSV) kurang lebih 60-90%, adenovirus, influenza, parainfluenza virus tipe 1 sampai 3, rhinovirus, herpes virus, enterovirus.
Bakteri:
Mycoplasma
pneumonia,
H.
Influenza,
Pneumokokus,
Stafilokokus, dan Streptokokus. 2. Proses Alergi Bronkiolitis timbul oleh karena reaksi alergi atau defisiensi imunologis, seperti yang ditemukan oleh: a. Chanock (1957): pada anak dengan Ig A yang kurang akan menyebabkan dia mudah terkena infeksi RSV sehingga akan terbentuk antibodi. Kemudian akan timbul reaksi antigen-antibodi. Ini merupakan rekasi alergi tipe 3. b. Gardner (1973): apabila ada infeksi oleh virus (virus sebagai antigen) akan membentuk reaksi antigen-antibodi, dimana antibodi tersebut didapatkan dari ibunya. Merupakan reaksi alergi tipe 1. c. Ross: pada anak dengan sistem imun yang belum sempurna dan kurangnya imunoglobulin dari ibu maka akan mempermudah timbulnya infeksi. d. William dan Phelan: adanya faktor predisposisi terjadinya bronkiolitis ditambah dengan adanya infeksi RSV maka anak tersebut akan menderita bronkiolitis.
2.4 Patologi Bronkiolitis
Kelainan patologi pada infeksi yang ringan adalah nekrosis dari epitel dan destruksi silia dari sel epitel, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan makrofag pada daerah peribronkial. Daerah submukosa menjadi edema tetapi tidak ada destruksi dari jaringan kolagen maupun elastis. Ditemukan pula kumpulan debris seluler, fibrin dan mukus plug dalam bronkiolus. Pada infeksi yang berat juga dapat ditemukan deskuamasi atau nekrosi epitel sehingga akan banyak ditemukan debris seluler. Sekresi mukus biasanya meningkat.
4
Nekrosis epitel bersilia akan menyebabkan mekanisme pertahanan akan menurun sehingga mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Akibat infeksi sekunder ini akan dapat terjadi nekrosis epitel submukosa dan otot polos. Proses pemulihan dimulai dengan regenerasi dari epitel bronkiolus setelah 3 sampai dengan 5 hari. Tetapi silia belum muncul dalam beberapa waktu, diperkirakan baru muncul setelah 15 hari. Mukus plug akan dibersihkan oleh makrofag. 2,4
Gambar 1. Patologi bronkiolus pada bronkiolitis.
5
2.5 Patofisiologi
Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial. Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik parsial maupun total. Pada keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari saluran napas. Produksi mukus,
5
edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara. Berdasarkan Hukum Poiseuille yang menyatakan bahwa resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius saluran napas pangkat 4 maka adanya sedikit saja penyempitan lumen saluran napas akan memberikan efek yang cukup besar pada aliran udara. Selain itu pada anak-anak didapatkan lebih sedikit bronkilolus terminalis yang berfungsi sebagai sirkuit paralel untuk menurunkan resisitensi saluran napas. Peningkatan resistensi aliran udara menyebabkan hipoventilasi dari alveoli dan penurunan rasio ventilasi-perfusi. Hipoksemia merupakan akibat ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch ). Resistensi aliran udara pada saluran napas kecil meningkat baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Tetapi karena radius saluran napas mengecil selama fase ekspirasi maka terdapat mekanisme klep ( ball-valve effect ). Pada mekanisme ini maka udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Akibat overinflasi maka dapat menyebabkan penurunan daya pengembangan paru dan peningkatan dead space fisiologis. Akibat obstruksi saluran napas mengakibatkan tekanan intratorakal menurun sehingga darah yang ke jantung dan kapiler paru meningkat mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan di sekitar alveoli dan saluran napas kecil sehingga dapat menyebabkan edema paru. Edema paru juga dapat menyebabkan daya pengembangan paru juga berkurang. Akumulasi cairan pada saluran napas
kecil
juga
dapat
merangsang
reseptor
”J”
sehingga
mengakibatkan
bronkokonstriksi. Apabila obstruksinya total maka dapat terjadi atelektasis sehingga menggangu pertukaran udara di paru. Sebagai kompensasinya adalah peningkatan frekuensi napas. Total kerja pernapasan telah diteliti dan didapatkan peningkatan sampai 6 kali anak normal pada penderita bronkiolitis sehingga anak akan capai dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan.
2,6,7
6
Bronkiolitis
Produksi mukus
Edema
Hiperreaktivitas
Peningkatan resistensi aliran udara
V/Q mismatch
Penurunan Pa O 2
Hiperinflasi
Peningkatan dead space
Penurunan daya Pengembangan paru
Peningkatan frekuensi napas Peningkatn kerja pernapasan
Kegagalan pernapasan Bagan 1. Patofisiologi bronkiolitis.
2.6 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan, sedang, berat dengan tanda sebagai berikut:
7
Tabel 1. Klasifikasi Bronkiolitis berdasarkan gejala klinis 2
•
Ringan Frekuensi
•
respirasi di atas
tinggi
masih di
ambang batas
•
ambang
Retraksi sedang
respirasi > 70x/mnt
•
Pemanjangan
•
Retraksi yang
batas
fase ekspirasi
nyata
Pertukaran
dengan penurunan
•
udara masih
pertukaran udara
Tanpa retraksi atau
•
Frekuensi
•
baik •
Berat Pasien risiko
respirasi
bawah
•
•
Sedang Frekuensi
Pertukaran udara
•
Sangat Berat Apnea atau
henti napas •
Tetap sianosis
dengan pemberian O2 •
Tidak mampu
mempertahankan
yang minimal atau
PaO2>50mmHg
jelek
dengan
•
Merintih
FiO2>80%
•
Saturasi O2
•
Tidak mampu
retraksi
<94% (untuk area
mempertahankan
minimal
setinggi permukaan
PaCO2<55mmHg
Tidak ada
laut) atau <90%
•
tanda-tanda
(untuk area setinggi
tanda syok
dehidrasi
5000 kaki di atas
Terdapat tanda-
permukaan laut) •
Terdapat
dehidrasi atau tampak toksik 2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1,8
2.7.1 Anamnesis
Sering terjadi pada anak berusia < 2 tahun. Sembilan puluh persen kasus yang membutuhkan perawatan di rumah sakit terjadi pada bayi berusia < 1 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada 3-6 bulan.
8
Anak yang menderita bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun. Hal ini berlangsung beberapa hari. Kemudian bila sampai di bronkus maka manifestasi klinisnya ringan oleh karena infeksi pada bronkus minimal. Gejala ini berlangsung dalam 1 sampai 2 hari. Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi iritabel, sulit tidur dan sulit makan dan minum. Suhu tubuh dapat kembali normal. Bayi dengan bronkiolitis jarang tampak ”toksik”. Bayi dengan tampilan toksik seperti mengantuk, letargis, gelisah, pucat, motling dan takikardi membutuhkan penanganan segera. 1,2,9
Gambar 2. Bronkiolitis 10
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terdapat napas cepat yang merupakan gejala utama pada lower
respiratory tract infection (LRTI). Selain itu, juga dapat ditemukan nafas cuping hidung, dispneu dan takikardia. Penggunaan otot bantu pernapasan bertambah dan dapat terlihat adanya retraksi dinding (subkosta, interkosta dan supraklavikula) pada anak bronkiolitis. Bentuk dada tampak hiperinflasi dan keadaan tersebut membedakan
9
bronkiolitis dari pneumonia. Kadang-kadang hepar dan lien bisa teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.
Fine inspiratory crackles pada seluruh lapang paru sering ditemukan (tapi tidak selalu) pada penderita bronkiolitis. Di UK, crackles merupakan tanda utama bronkiolitis. Bayi dengan mengi tanpa crackles lebih sering dikelompokkan sebagai
viral-induced wheeze dibandingkan bronkiolitis. Di UK, high pitched expiratory wheeze merupakan gejala yang sering ditemukan pada bronkiolitis, tapi bukan temuan pemeriksaan fisik yang mutlak. Di AS, diagnosis bronkiolitis lebih ditekankan pada adanya mengi. Selain itu juga terdapat ekspirasi memanjang. Apnea dapat terjadi pada bronkiolitis, terutama pada usia yang sangat muda, bayi prematur, atau berat badan lahir rendah. Gejala biasanya berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai 4 hari pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu.
1,2,9,10
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Saturasi oksigen
Pulse oximetry harus dilakukan pada setiap anak yang datang ke rumah sakit dengan bronkiolitis. Bayi dengan saturasi oksigen ≤92% membutuhkan perawatan di ruang intensif. Bayi dengan saturasi oksigen >94% pada udara ruangan dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan. 2. Analisis gas darah Umumnya tidak diindikasikan pada bronkiolitis. Pemeriksaan tersebut berguna untuk menilai bayi dengan distres napas berat dan kemungkinan gagal napas. 3. Foto toraks Foto toraks dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau penyakit atipikal. Foto toraks sebaiknya tidak dilakukan pada bronkiolitis yang tipikal. Foto toraks pada bronkiolitis yang ringan tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi pengobatan. Pada gambaran radiologis didapatkan hyperaerated, sela iga melebar, penekanan diafragma dan sudut costoprenikus menyempit. Diameter AP meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang terdapat bercak-bercak perpadatan akibat atelektasis sekunder akibat obstruksi atau
10
inflamasi bronkus, infiltrasi alveoli dan gambaran garis-garis linear karena bronkioli yang menebal bersama-sama yang seringkali tampak sebagai daerah konsolidasi. 4. Pemeriksaan virologi Pemeriksaan baku emas adalah usapan nasofaring untuk biakan RSV. Selain itu,
rapid RSV test seperti Elisa dan direct fluorescent antibody staining mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90%. Namun, jarang dikerjakan karena butuh waktu dan mahal. 5. Pemeriksaan bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi secara rutin (darah dan urin) tidak diindikasikan pada penderita bronkiolitis bakteriologi tipikal. Pemeriksaan bakteriologi dari urin dipertimbangkan pada bayi berusia <60 hari. 6. Hematologi Pemeriksaan darah lengkap tidak diindikasikan dalam menilai dan menata laksana bayi dengan bronkiolitis tipikal. Ini karena hasil biasanya dalam batas normal dan tidak khas. 1,2,11
2.8 Diagnosa Banding
1. Asma bronkiale Sulit dibedakan dengan bronkiolitis terutama bila terjadi pada usia dibawah 2 tahun. Umumnya asma terjadi pada dibawah 5 tahum, terbanyak pada usia lebih dari 2 tahun. Pada penderita asma ditemukan riwayat atopi dalam keluarga dan serangan biasanya berulang atau episodik. Seringkali tidak didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas. Ekspirasi memanjang dengan ronki yang lebih terbatas. Pemeriksaan lab dapat ditemukan eosinofilia dan biasanya berespon terhadap pemberian bronkodilator. 2. Bronkopneumonia Bila penyebabnya adalah bakteri maka suhu tubuh akan meningkat (febris) dan terdapat leukositosis. Mengi jarang ditemukan. Pada perkusi dapat ditemukan suara redup oleh karena konsolidasi. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan konsolidasi atau infiltrat lebih jelas.
11
3. Bronkitis akut Gejala obstruksi dan gangguan pertukaran gas tidak begitu nyata atau ringan. Pada auskultasi ditemukan ronki basah kasar. Bronkitis dapat berkembang menjadi bronkiolitis. 4. Aspirasi benda asing Terjadinya mengi biasanya setelah batuk atau tersedak oleh sesuatu. Tidak ada tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas. Pada auskultasi ditemukan
wheezing yang sifatnya terlokalisir. Didiagnosa dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, bronkoskopi dan juga pemeriksaan radiologis. 5. Gagal jantung Diketahui dengan anamnesis dari perjalanan klinisnya. Biasanya terdapat gangguan pertumbuhan, kardiomegali pada pemeriksaan radiologis, murmur, hepatomegali dan kelainan pada EKG. 1.2.4,10,11
2.9 Penatalaksanaan
1. Oksigen Oksigen diberikan dengan konsentrasi 40 %, tujuannya adalah untuk menanggulangi dispneu, mencegah sianosis dan mengurangi kegelisahan. Saturasi oksigen dipertahankan pada batas 95 % sampai dengan 98 %. 2. Posisi Pasien sebaiknya dibaringkan pada posisi setengah duduk atau pada sudut 30 o. 3. Terapi cairan Diberikan terapi cairan pada pasien dengan nafsu makan dan minum yang berkurang dan pada pasien yang kondisinya lemah. 4. Bronkodilator Penggunaan bronkodilator ß2-agonis pada bronkiolitis masih kontroversial. Menurut penelitian Klassen dkk menggunakan rancangan double-blind dan mendapatkan hasil bahwa penggunaan salbutamol pada pasien bronkiolitis dapat memperbaiki keadaan klinis pasien. Walaupun masih kontroversi, di RSUP Sanglah Sub-Bagian Respirologi diberikan salbutamol dengan dosis 0,05-0,1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam.
12
5. Kortikosteroid Injeksi
deksametasone
bersamaan
dengan
inhalasi
salbutamol
dapat
memperbaiki keadaan klinis tetapi penggunaannya masih kontroversial. Walaupun masih kontroversi, di RSUP Sanglah Sub-Bagian Respirologi diberikan deksametason dengan dosis bolus 1mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5-1mg/kgBB/hari diberikan setiap 8 jam. 6. Antibiotika Diberikan antibiotika spektrum luas. Penggunaan antibiotika agak kurang rasional, tetapi karena sulitnya diagnosis untuk mengidentifikasi virus penyebab dan ketidakpastian tentang penyebabnya maka antibiotika dapat diberikan. Walaupun
masih
kontroversi,
tetapi
sering
diberikan
Ampisillin
100mg/kgBB/hari setiap 6 jam. 7. Ribavirin Penggunaan ribavirin masih kontroversial. Ribavirin ini merupakan analog nukleosida, mempunyai efek penghambatan terhadap sintesis protein pada virus.1.2.4.10
2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik. Kematian terjadi kurang dari 1-4% dari seluruh penderita. Kematian biasanya oleh karena apneu yang berkepanjangan, dehidrasi berat atau bila ada kelainan seperti penyakit jantung bawaan dan imunodefisiensi.1,4
2.11 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengurangi kontak dengan anak yang sakit. Pasien yang menjalani rawat inap seharusnya ditempatkan di di ruang isolasi untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial.
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan RSV imunoglobulin sebagai profilaksis pada anak dengan risiko terkena infeksi RSV termasuk diantaranya adalah bayi prematur, anak dengan displasia bronkopulmonar dan pada anak yang mengalami immunocompromised . Penggunaan RSV-IGIV 750
13
mg/kgBB/bulan terutama pada bulan Oktober sampai April dapat menurangi insiden rawat inap 41-63 %. Palivizumab, antibodi monoklonal manusia terhadap RSV, masih dipelajari sebagai profilaksis terhadap infeksi RSV. Dari hasil penelitian didapatkan penurunan angka insiden MRS 10,6 % pada kelompok yang mendapat plasebo dan 4,8 % pada kelompok yang mendapat palivizumab (menurun 55 % dari seluruh pasien yang menjalani rawat inap oleh karena infeksi.1,4,10
14