1
ii
ANEMIA
Definisi
Anemia artinya kekurangan darah, dimana keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia adalah penyakit darah yang sering ditemukan. beberapa anemia memiliki penyakit dasarnya. anemia bisa diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau morfologi sel darah merah, etiologi yang mendasari, dan penampakan klinis. penyebab anemia yang paling sering adalah perdarahan yang berlebihan, rusaknya sel darah merah secara berlebihan hemolisis atau kekurangan pembentukan sel darah merah ( hematopoiesis yang tidak efektif).
Seorang pasien dikatakan anemia bila konsentrasi hemoglobin (Hb) nya kurang dari 13,5 g/dL atau hematokrit (Hct) kurang dari 41% pada laki-laki, dan konsentrasi Hb kurang dari 11,5 g/dL atau Hct kurang dari 36% pada perempuan.
Tanda dan Gejala Anemia
Gejala anemia :
Bila anemia terjadi dalam waktu yang lama, konsentrasi Hb ada dalam jumlah yang sangat rendah sebelum gejalanya muncul. Gejala- gejala tersebut berupa :
Asimtomatik : terutama bila anemia terjadi dalam waktu yang lama
Letargi
Nafas pendek atau sesak, terutama saat beraktfitas
Kepala terasa ringan
Palpitasi
Tanda-tanda dari anemia yang harus diperhatikan saat pemeriksaan yaitu :
Pucat pada membrane mukosa, yaitu mulut,konjungtiva, kuku.
Sirkulas hiperdinamik, seperti takikardi, pulse yang menghilang, aliran murmur sistolik
Gagal jantung
Pendarahan retina
Tanda-tanda spesifik pada pasien anemia diantaranya :
Glossitis : terjadi pada pasien anemia megaloblastik, anemia defisiensi besi
Stomatitis angular : terjadi pada pasien anemia defisiensi besi.
Jaundis (kekuningan) : terjadi akibat hemolisis, anemia megaloblastik ringan.
Splenomegali : akibat hemolisis, dan anemia megaloblastik.
Ulserasi di kaki : terjadi pada anemia sickle cell
Deformitas tulang : terjadi pada talasemia
Neuropati perifer, atrofi optik, degenerasi spinal, merupakan efek dari defisiensi vitamin B12.
Garing biru pada gusi (Burton's line), ensefalopati, dan neuropati motorik perifer sering terlihat pada pasien yang keracunan metal. [1]
Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia akibat Gangguan Eritropoiesis
Anemia defisiensi Besi
Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan defek pada sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah yang hipokrom dan mikrositer.
Anemia Megaloblastik
Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang timbul adalah pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia.
Anemia Aplastik
Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat hiposelularitas, hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun, radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA serta gen.
Anemia Mieloptisik
Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel
Anemia mikrositik : penyebab utamanya yaitu defisiensi besi dan talasemia (gangguan Hb)
Anemia normositik : contohnya yaitu anemia akibat penyakit kronis seperti gangguan ginjal.
Anemia makrositik : penyebab utama yaitu anemia pernisiosa, anemia akibat konsumsi alcohol, dan anemia megaloblastik.
Etiologi
Secara garis besar, anemia dapat disebabkan karena :
Peningkatan destruksi eritrosit, contohnya pada penyakit : gangguan sistem imun, talasemia.
Penurunan produksi eritrosit, contohnya pada penyakit anemia aplastik, kekurangan nutrisi.
Kehilangan darah dalam jumlah besar, contohya akibat perdarahan akut, perdarahan kronis, menstruasi, ulser kronis dan trauma.
Diagnosa
Pemeriksaan darah sederhana bisa menentukan adanya anemia. Persentase sel darah merah dalam volume darah total (hematokrit) dan jumlah hemoglobin dalam suatu contoh darah bisa ditentukan. Pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari hitung jenis darah komplit (CBC).
Manajemen Terapi
Terapi langsung ditujukan pada penyebab anemia, dapat berupa :
Transfusi darah
Pemberian kortikosteroid atau obat-obatan lain yang dapat menekan sistem imun.
Pemberian eritropoietin, hormon yang berperan pada proses hematopoiesis, berfungsi untuk membantuk sumsum tulang pada proses hematopoiesis.
Pemberian suplemen besi, vitamin B12, vitamin-vitamin dan mineral lain yang dibutuhkan.
Prognosis Anemia
Pada anemia apapun, penyebab anemia, keparahannya, dan kecepatan perkembangannya menentukan hasilnya. Usia pasien dan adanya penyakit penyerta seperti jantung, paru-paru, ginjal, atau penyakit hati juga dapat secara signifikan mempengaruhi hasil.
Hasil dari anemia akibat kehilangan darah tergantung pada sumber perdarahan, tingkat keparahan kerugian, dan respon terhadap pengobatan. Jika sumber perdarahan diidentifikasi dan dikoreksi, anemia akut akibat kehilangan darah masif dapat berhasil diobati dengan transfusi darah. Anemia kronis akibat kehilangan darah kecil tapi terus-menerus, seperti pada perdarahan gastrointestinal, merespon koreksi pendarahan tanpa perlu transfusi jika sumber perdarahan diidentifikasi sebelum kehilangan darah yang signifikan.
Anemia yang disebabkan oleh kekurangan makanan biasanya dapat diperbaiki dengan terapi penggantian, dan perbaikan dapat dilihat dalam beberapa minggu atau bulan. Gejala neuropsikiatri disebabkan oleh anemia pernisiosa bisa memakan waktu hingga satu tahun atau lebih menunjukkan peningkatan. Gejala-gejala mungkin tidak menyelesaikan sepenuhnya, tetapi dengan perawatan berkelanjutan mereka biasanya tidak berkembang.
Individu dengan seumur hidup, anemia herediter yang parah (misalnya, anemia sel sabit, talasemia) memiliki harapan hidup dipersingkat. Tanpa transplantasi sumsum tulang, bentuk parah dari anemia ini sering mengakibatkan kematian pada dekade kedua atau ketiga kehidupan (Conrad).
ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang. Padahal besi merupakan suatu unsur terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang tersering. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan yang diakibatkan perdarahan. (Hoffbrand.AV, et al, 2005, hal.25-34). Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa baik pria maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya anemia defisiensi besi. Dampak dari anemia defisiensi besi ini sangat luas, antara lain terjadi perubahan epitel, gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anak anak, kurangnya konsentrasi pada anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun, penurunan kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya menurun. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka panjang. (Hoffbrand AV, et al, 2005,hal 25-34).
Definisi
Secara definisi, anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh sehingga kebutuhan besi untuk eritropoesis tidak cukup yang ditandai dengan gambaran sel darah merah yang hipokrom mikrositik, kadar besi serum dan saturasi (jenuh) transferin menurun, mampu ikat besi total (TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang dan tempat lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
Etiologi
Penyebab lain defisiensi besi adalah:
Asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur- sayuran saja.
Gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan
Kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, hemoroid dan konsumsi aspirin.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 gr besi, bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Patogenesis anemia defisiensi besi
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 – 20 mg besi, hanya sampai 5% – 10% (1 – 2 mg) yang sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.
Anemia defisiensi besi terjadi sebagai akibat dari gangguan balans zat besi yang negatif, jumlah zat besi (Fe) yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama -tama balans Fe yang negatif ini oleh tubuh diusahakan untuk diatasinya dengan cara menggunakan cadangan besi dalam jaringan-jaringan depot. Pada saat cadangan besi tersebut habis, baru anemia defisiensi besi menjadi manifestasi.
Perjalanan keadaan kekurangan zat besi mulai dari terjadinya anemia sampai dengan timbulnya gejala-gejala yang klasik, melalui beberapa tahap:
Tahap I : Terdapat kekurangan zat besi ditempat-tempat cadangan besi (depot iron), tanpa disertai dengan anemia (anemia latent) ataupun perubahan konsentrasi besi dalam serum (SI). Pada pemeriksaan didapati kadar feritin berkurang.
Tahap II : Selanjutnya mampu ikat besi total (TIBC) akan meningkat yang diikuti dengan penurunan besi dalam serum (SI) dan jenuh (saturasi) transferin.
Pada tahap ini mungkin anemia sudah timbul, tetapi masih ringan sekali dan bersifat normokrom normositik. Dalam tahap ini terjadi eritropoesis yang kekurangan zat besi (iron deficient erythropoesis).
Tahap III : Jika balans besi tetap negatif maka akan timbul anemia yang tambah nyata dengan gambaran darah tepi yang bersifat hipokrom mikrositik.
Tahap IV : Hemoglobin rendah sekali. Sumsum tulang tidak mengandung lagi cadangan besi, kadar besi plasma (SI) berkurang. Jenuh transferin turun dan eritrosit jelas bentuknya hipokrom mikrositik. Pada stadium ini kekurangan besi telah mencapai jaringan-jaringan. Gejala klinisnya sudah nyata sekali.
Gejala Klinis
Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang pada waktu melahirkan.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Anemia defisiensi besi dapat juga memberi gejala seperti kelelahan, palpitasi, pucat, tinitus, mata berkunang-kunang oleh karena berkurangnya hemoglobin, pusing kepala, parestesia, dingin-dingin pada ujung jari yang disebabkan kekurangan enzyme sitokrom, sitokrom C oksidase dalam jaringan-jaringan. Kelainan jaringan epitel menyebabkan gastritis, atropi mukosa lambung, ozaena, pica, gangguan mensturasi, ganguan sistim neuromuskular berupa neuralgia, mati rasa dan kesemutan, gangguan sistim skelet serta splenomegali.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.
Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar.
Walaupun modifikasi diet dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang merugikan.
ANEMIA SIDEROBLASTIK
Definisi
Anemia Sideroblastic disebabkan oleh produksi abnormal cincin sideroblasts, yang disebabkan baik secara genetik maupun secara tidak langsung sebagai bagian dari sindrom myelodysplastic, yang dapat berkembang menjadi keganasan dalam hematological (terutama leukemia akut myelogenous).
Gejala
Kulit pucat, kelelahan, pusing dan pembesaran limpa dan hati. Penyakit jantung, kerusakan hati dan gagal ginjal dapat disebabkan oleh penumpukan besi pada organ-organ ini.
Penyebab
Penyebab anemia ini adalah kegagalan sepenuhnya pembentukan bentuk molekul heme, sehingga terjadi biosintesis hanya sebagian dalam mitokondria. Hal ini menyebabkan endapan besi di dalam mitokondria yang membentuk sebuah cincin di sekeliling inti pembentukan sel darah merah. Kadang-kadang kelainan ini mewakili suatu tahap dalam evolusi dari sumsum tulang yang mungkin pada akhirnya dapat menjadi leukemia akut.
Racun: keracunan seng
Drug-induced: etanol, isoniazid, kloramfenikol, cycloserine
Nutrisi: pyridoxine atau defisiensi tembaga
Genetik: ALA sintase defisiensi (X-linked)
Diagnosis
Aspirasi sumsum tulang: ditemukan cincin sideroblasts mengelilingi sideroblasts terlihat dalam tulang sumsum. Anemia dapat ditemukan mulai dari stadium ringan sampai berat, ditandai dengan adanya anisocytosis dan poikilocytosis. Dapat ditemukan sel target dan Pappenheimer bodies. MCV menurun. Hitung jenis bergeser ke arah kiri. Leukosit dan trombosit normal. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia erythroid dengan pematangan.
Lebih dari 40% dari eritrosit berkembang adalah dikelilingi sideroblasts. Besi serum, persentasi dan saturasi feritin meningkat. TIBC yang berkurang adalah normal. Hemosiderin sumsum tulang meningkat.
Pemeriksaan penunjang
Peningkatan kadar feritin
Penurunan total kapasitas mengikat besi
Peningkatan hematokrit sekitar 20-30%
Serum Iron: Tinggi
Saturasi transferin meningkat
Sel hidup rata-rata volume atau MCV biasanya normal atau sedikit meningkat, walaupun mungkin kadang-kadang rendah, yang menyebabkan kebingungan dengan kekurangan zat besi.
Pada keracunan timbal, ditemukan bintik kasar basophil pada sel darah merah
Spesifik test: pewarnaan Prusian Blue di sumsum tulang . Menunjukkan cincin yang mengelilingi sideroblasts.
Penatalaksanaan
Kadang-kadang, anemia dapat menjadi sangat parah sehingga diperlukan transfusi. Pasien-pasien ini biasanya respon dengan terapi eritropoietin. Pada beberapa kasus telah dilaporkan bahwa tingkat heme dapat ditingkatkan melalui penggunaan pyrodoxine dosis tinggi (Vitamin B6.)
Dalam kasus yang parah transplantasi sumsum tulang juga merupakan pilihan dengan informasi yang terbatas tentang tingkat keberhasilan. Dalam kasus akibat isoniazid sideroblastic anemia, penambahan B6 dapat digunakan untuk memperbaiki anemia.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Defenisi
Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA. Sel terutama yang terkena adalah sel yang pertukarannya (turn over) cepat, terutama sel prekursor hematopoetik dan sel epitel gastro-intestinal.
Etiologi
Sebagian besar anemia megaloblastik disebabkan oleh defisiensi kobalamin (Vit B12) dan/atau asam folat.
Patofisiologi
Beberapa bentuk anemia dapat terjadi akibat gangguan Absobsi atau metabolism folat atau kobalamin (Vit. B12). Akibatnya sintesis DNA akan dihambat dan siklus sel jadi diperlambat selama eritropoesis. Namun sintesis ,hemoglobin di sitoplasma berlangsung terus dan tidak mengalami perubahan sehingga ukuran eritroblast membesar (megaloblast) serta menjadi terlalu besar, dan eritrosit yang oval akan masuk kedalam darah (Megalosit : MCV > 100fL). Pembentukan granulosit dan megakariosit juga terganggu. Di samping penundaan proloferasi, anemia juga dicetuskan oleh kerusakan dini megaloblast di sumsum tulang (peningkatan eritropoesis yang tidak efisien) dan juga karena pemendekan masa hidup megalosit yang masuk dalam darah.
Folat, metabolit folat N5, N10 –metil-tetra-hidrofolat diperlukan untuk sintesis deoksitimidilat, merupakan satu-satunya sumber timin, yang selanjutnya diperlukan untuk sintesis DNA. Jadi, defisiensi folat akan menghambat sintesis DNA. Defisiensi folat terutama mempengaruhi kecepatan pembentukan pada sel yang berproliferasi cepat, Misalnya pada eritropoesis pada pembentukan tumor. Kebutuhan folat selama 2-4 bulan di simpan di Hati. Folat banyak di temukan di dalam makanan dalam bentuk pteroilpoliglutamat; residu glutamate yang berlebihan harus terlebih dahulu dipecahkan sebelum dapat diserap usus halus bagian atas dalam bentuk pteroilmonoglutamat.
N5 metiltetrahidrofolat merupakan substrat untuk pembentukan tetrahidrofolat yang selanjutnya di bentuk mukosa usus halus.
Pada tahap ini, metal-kobalamin sangat diperlukan. Dari tetraidrofolat akan terbentuk N5,N10-metilidrofolat, akan bersama dengan dengan deoksiuridilat akan dimetabolisme melalui kerja timidilat-sintase menjadi deoksitimidilat dan 7,8-dihidrofolat akhirnya, tetraidrofolat yang digunakan akan terbentuk kembali dari 7,8-dihidrofolat.
Gangguan Absorbsi atau metabolism folat
Berikut akan menghambat sintesis DNA, dan juga Eritropoesis :
Asupan Folat yang sedikit dari makanan (< 50µg/hari, pemasakan yang lama merusak folat)
Kebutuhan yang meningkat (kehamilan)
Malabsorbsi, misalnya penyakit usus halus atau penghambatan pembawa folat oleh metatotreksat.
Atau penghambatan pembawa folat oleh metatokresat
Dedisiensi kobalamin
Penghambatan timidilat sintase oleh metabolit flurourasil, yaitu flourdeoksiuridilat.
Penghambatan dihidrofolat reduktase oleh aminopterin atau metotreksat, yang afinitasnya terhadap enzim 100 kali lebih tinggi daripada substrat alami 7,8-dihidrofolat.
Karena penghambatan metabolism folat juga menghentikan pertumbuhan tumor, obat-obatan flourourasil, metotreksat, dan aminopterin digunakan sebagai kemotrapi sitostatik. Efek sampingnya teradap eritropoesis biasanya tidak diharapkan sehingga sering kali dibatasi.
Kobalamin (Vitamin B12) pada manusia harus diambil dari makanan (kebutuhan 3-5 µg/hari). Sekitar seribu kali dari jumlah tersebut disimpan di dalam hati. Kobalamin terikat oleh protein yang berbeda dan diangkut kedalam tubuh dari makanan ke tempat kerjanya, dalam bentuk metilkobalamin yang berperan sebagai koenzim dimetilisasi N5-metiltetraidrofolat
Penyebab defisiensi Kobalamin yang mungkin adalah :
Asupan yang sangat kurang (diet vegetarian yang ketat)
Defisiensi factor intrinsic (IF) (pada gastritis atrofi) diperlukan untuk pengikatan dan absorbsi kobalamin. IF dilumen usus halus akan dilepaskan dari ikatannya dengan protein saliva.
Persaingan untuk kobalamin dan pemecahan IF oleh bakteri (blind-loop Syndrome). Atau cacing pita yang besar di usus.
Kehilangan(congenital, setelah reseksi) atau peradangan ileum terminalis, yaitu tempat penyerapan kobalamin.
Kelainan Transkobalamin II (TC II), yang berperan untuk transport kobalamin di plasma dan pengambilannya dalam sel.
Oleh karena besarnya cadangan kobalamin didalam hati, munculnya gejala defisiensi kobalamin (anemia pernisiosa, gangguan neurologis) hanya terjadi setelah penghentian asupan yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Gejala Klinis
Pada Defisiensi Kobalami : Gangguan Neurologis
Pada gangguan gastrointestinal dapat timul gejala : kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, mual dan sembelit
Pasien Mungkin diikuti sariawan dan sakit pada lidah
Tanda-Tanda Anemia
Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori selanjutnya jika keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan, kebutaan akibat atropi N.Optikus dan Gangguan Kejiwaan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Defisiensi As. Folat
Pemeriksaan Defisiensi Kobalamin
Pemeriksaan Serum Besi
LDH dan Bilirubin Indirect
Histopatologi
Diagnosis
Temuan makrositosis yang bermakna (volume korpuskula rerata (MCV) > 110 fL) mengisyaratkan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis adalah hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik. Apusan darah memperlihatkan anisitosis mencolok dan poikilositosis, disertai makrovalosit, yaitu, eritrosit yang mengalami hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik. Beberapa stippling basofilik ditemui, dan kadang – kadang ditemukan pula sel darah merah yang berinti. Pada turunan sel darah putih, neutrofil memperlihatkan hipersegmentasi nucleus. Temuan ini sangat khas sehingga ditemukan sebuah sel dengan nucleus enam lobus atau lebih mengharuskan kita harus mencurigai adanya anemia megaloblastik. Sumsum tulang tampak hiperseluler dengan penurunan rasio myeloid/ertitroid dan peningkatan besi. Anemia megaloblastik ditandai oleh eritropoesis yang tidak efektif.
Pada evaluasi pasien anemia megaloblastik, perlu ditentukan apakah terdapat defidiensi vitamin spesifik dengan mengukur kadar kobalamin dan folat serum. Rentang normal kobalamin dalam serum adalah 200 sampai 900 pg/mL, nilai yang lebih rendah dari pada 100 pg/mL mengindikasikan defisiensi bermakna klinis.
Bila defisiensi kobalamin telah dipastikan, maka patogenesisnya dapat diketahui dengan melakukan uji schheling
Diagnosis Banding
Anemia Defisiensi Besi
Makrositosis
Anemia Penyakit Kronis
Terapi
Kobalamin 1000 mcg parenteral selama 2 Minggu, dengan gangguan neurologis 1000 mcg setiap hari selama 2 minggu, kemudian selama 2 minggu sampai 6 bulan dan 1000 mcg kobalamin untuk pasien dengan hemoflia.
As. Folat (1-5 mg) secara oral dan diberikan secara paerenteral dengan dosis yang sama
Terapi Folat 1 mg/hari harus diberikan selama periode kehhamilan
Sindroma Blind-loop ditangani dengan antibiotik
ANEMIA HEMOLITIK
Definisi Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat.
Anemia hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan destruksi eritrosit sebelum waktunya. Dalam keadaan ini sumsum tulang memproduksi darah lebih cepat sebagai kompensasi hilangnya sel darah merah. Pada kasus Anemia biasanya ditemukan splenomegali diakibatkan karena absorbsi sel darah ysng telah mati secara berlebihan oleh limpa. Karena pada anemia hemolitik banyaknya sel darah merah yang mati pada waktu yang relative singkat
Pada kasus anemia hemolitik yang akut terjadi distensi abdomen di karenakan hepatomegali dan splenomegali.
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses hemolisis yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Anemia hemolitik adalah anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel darah merah (sel darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular) atau di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang diakibatkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Karena hiperplasia eritropoiesis dan perluasan anatomik pada sumsum tulang, destruksi eritrosit dapat meningkat beberapa kali lipat sebelum pasien menjadi anemia penyakit hemolitik terkompensasi. Sumsum tulang dewasa normal, setelah perluasan penuh mampu menghasilkan eritrosit dengan kecepatan 6-8 kali kecepatan normal asalkan "efektif". Oleh karena itu, anemia hemolitik mungkin tidak tampak sampai jangka hidup eritrosit kurang dari 30 hari. Ini menyebabkan retikulositosis yang nyata, khususnya pada kasus-kasus yang lebih anemik.
Etiologi Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.
Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu sendiri sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis aplastik
Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang telah lama menderita kelainan ini. Pada 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
Bentuk Sferositosis
Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
A-beta lipoproteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
Defisiensi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi Glutation reduktase
Defisiensi Glutation
Defisiensi Piruvatkinase
Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
Defisiensi difosfogliserat mutase
Defisiensi Heksokinase
Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun telah mencapai keadaan yang normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal talasemia
Faktor Ekstrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat
Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
Infeksi, plasmodium, boriella
Destruksi Eritrosit Normal
Destruksi eritrosit pada keadaan normal terjadi setelah jangka hidup rata-rata 120 hari pada saat sel disingkirkan di ekstravaskular oleh makrofag sistem retikuloendotel (RE), khususnya didalam sumsum tulang tetapi juga di hati dan limpa. Oleh karena sel-sel eritrosit rusak secara perlahan-lahan seperti enzim mengalami degradasi dan tidak digantikan dan sel menjadi tidak hidup. Pemecahan heme dari eritrosit membebaskan besi untuk sirkulasi ulang melalui transferin plasma terutama ke eritroblas sumsum tulang, dan protoporfirin yang dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin bersirkulasi ke hati tempat ia mengalami konjugasi dengan glukuronida yang diekskresikan ke duodenum melalui empedu dan dikonversi menjadi sterkobilinogen dan sterkobilin (diekskresi dalam feses). Sterkobilinogen dan sterkobilin direabsorpsi sebagian dan diekskresikan dalam urin sebagai urobilinogen dan urobilin. Rantai globin dipecah menjadi asam amino yang digunakan ulang untuk sintesis protein umum dalam tubuh.
Haptoglobin adalah protein yang terdapat dalam plasma normal, yang mampu mengikat hemoglobin. Kompleks hemoglobin-hemoglobin disingkirkan dari plasma oleh sistem RE. Hemolisis intravaskular (pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah) memainkan peran kecil atau tidak berperan dalam destruksi eritrosit normal.
Klasifikasi Etiologi dan Patogenesis Anemia Hemolitik
Inherited Hemolytik Disorders.
Kelainan pada Membran Sel eritrosit
Hereditary Spherositosis.
Hereditary Ellipstositosis.
Abetalipoproteinemia ( Acanthositosis ).
Hereditary Stomacytosis.
Lecithin-cholesterol acyl Transferase (LCAT) Deffisiensi
Hereditary piropoikilositosis.
High Phosphatydil choline Hemolitik Anemi
Rh nul Diseases.
McLeod Phenotype.
Deffisiensi Enzym Glikolitik Eritrosit
Pyruvate Kinase. C.
Hexokinase.
Glucose-phosphat Isomerase.
Phosphofruktokinase
Triosephosphate isomerase
Phosphoglyserate kinase
Kelainan Metabolisme Nukleotide Eritrosit .
Pyrimidine 5 nukleotidase Deffisiensi
Adenosine deaminase excess.
Deffisiensi Adenosine Triphosphatase.
Deffisiensi Adenylate kinase
Defisiensi dari Enzym yang terlibat dalam metabolisme pentose phosphate pathway dan Glutatione .
Glucose 6 Phosphate Dehyrogenase (G6PD) .
Glutamyl-cystein synthetase.
Glutathione synthetase.
Glutathione Reduktase .
Kelaianan Synthese dan Struktur Hemoglobin.
Unstable Hemoglobin Disease.
Sickle Sel Anemi.
Hemoglobinopathies Homozygote (CC; DD, EE).
Thalassemia Mayor.
Hemoglobin-H Diseases.
Doubly Heterozygous Disorders ( SC-Dis.,Sickle-Thalass.)
Aquaired Hemolytik Anemia.
Immunohemolyt ic Anemia.
Incompatible Blood Transfusion.
Hemolytic Disease of the Newborn.
Anemi Hemolitik flutoimmune yang disebabkan Antibodi reaksi hangat (Warm-antibodi)
Idiopathic.
Sekunder .
Infeksi Virus dan Mykoplasma .
Lyn1phosarcome .CLL .
Immurle Defisiency State.
SLE dan Penyaki t Autoimmune yang lain.
Penyakit Keganasan yang lainnya .
Drug-induced.
Anemia Hemolitik Autoimmune yang disebabkan antibodi reaksi dingan (Cold-antibodi ) .
Cold Hemagglutinin Disease.
Idiopathic.
Sekunder .
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria.
Anemi Hemolitik Hikroangiopatik dan Traumatik .
Prosthetic Valve dan Kelainan jantung yang lain.
Hemolitik -Uremia Syndrome.
Trombotik Trombositopenia Purpura.
DIC .
Hubungannya dengan phenomena Immunologic (Graft-rejection, immune complex disease) .
Infektious .
Protozoa: malaria, toxoplasma, leismaniasis, trypanosomiasis.
Bacteria: Bartonellosis, Infeksi Clostridial, Kolera, Typhoid fever dan lainlain.
Zat Kimia , Obat dan Racun Bisa .
Zat Kimia dan Obat-obat Oksidant .
Napththalene .
Nitrofurantoin.
Sulfonamide.
Sulfones .
Para-aminosalicylate.
Phenacetin.
Phenylsemicarbazide.
Resorcin.
Phenylhydrazine.
Aniline.
Hydroxilamine
Nitrobenzene.
Phenolderivate
Chlorates
Molekuler Oxygen
Zat Kimia Non-Oksidant.
Arsine
Copper.
Water.
Hubungannya dengan Dialisis dan Uremia.
Venoms.
Physical Agent.
Thermal Injuri .
Ionizing Irradiation.
Hypophosphatemia.
Spur-cell Anemi pada Penyakit Hati .
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria ( PNH ) .
Defisienai Vit.E pad a Newborn.
Klasifikasi anemia hemolitik
Herediter
Didapat
Membran
Sferositosis herediter, eliptositosis herediter
Metabolisme
Defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase
Hemoglobin
Kelainan genetik (Hb S, Hb C, tak stabil)
Imun
Autoimun
Tipe antibodi hangat
Tipe antibodi dingin
Aloimun
Reaksi transfusi hemolitik
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Alograf, khususnya transplantasi sel punca
Terkait obat
Sindrom fragmentasi eritrosit
Hemoglobinuria march
Infeksi
Malaria, klostridium
Agen kimia dan fisika
Khususnya obat, zat-zat industri/rumah tangga, luka bakar
Sekunder
Penyakit hati dan ginjal
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Gambaran klinis
Pasien mungkin menunjukkan pucat pada selaput lendir, ikterus ringan yang berfluktuasi dan splenomegali. Tidak ditemukan bilirubin dalam urin tapi urin dapat menjadi gelap jika didiamkan karena urobilinogen yang berlebihan. Batu empedu pigmen (bilirubin) dapat mempersulit keadaan dan beberapa pasien (khususnya dengan penyakit sel sabit) menderita ulkus disekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi ksisis aplastik, biasanya dicetuskan oleh infeksi parvovirus yang "mematikan" eritropoiesis dan ditandai dengan perburukan anemia yang mendadak serta penurunan hitung retikulosit.
Sangat jarang, defisiensi folat dapat menyebabkan krisis aplastik, pada keadaan ini sumsum tulang megalobastik.
Temuan laboratorium
Temuan laboratorium dapat dengan mudah dibagi menjadi tiga kelompok
Gambaran pengahancuran eritrosit yang meningkat
Bilirubin serum meningkat, tidak terkonjugasi dan terikat pada albumin
Urobilinogen urin meningkat
Haptoglobin serum tidak ada karena haptoglobin menjadi jenuh dengan hemoglobin dan kompleks haptoglobin-haptoglobin disingkirkan oleh sel-sel RE.
Gambaran produksi eritrosit yang meningkat
Retikulositosis
Hiperplasia eritroid sumsum tulang, rasio mieloid, eritroid sumsum tulang normal sebesar 2 : 1 sampai 12 : 1 berkurang menjadi 1 : 1 atau terbalik
Eritrosit yang rusak
Morfologi (misal mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit)
Fragilitas osmotik, autohemolisis, dll
Pemeriksaan enzim, protein atau DNA spesifik.
Hemolisis Intravaskular dan Ekstravaskular
Terdapat dua mekanisme bagaimana eritrosit dirusak pada anemia hemolitik. Mungkin terdapat penyingkiran eritrosit yang berlebihan oleh makrofag sistem RE (hemolisis ekstravaskular) atau eritrosit dirusak langsung dalam sirkulasi (hemolisis intravaskular). Mekanisme manapun yang mendominasi akan bergantung pada patologi yang terlibat. Pada hemolisis intravaskular, hemoglobin bebas yang dilepaskan akan dengan cepat menjenuhkan haptoglobin plasma dan hemoglobin bebas yang berlebih difiltrasi oleh glomerulus. Jika laju hemolisis menjenuhkan kapasitas reabsorpsi tubulus ginjal, hemoglobin bebas memasuki urin dan sejalan dengan dilepaskannya besi, tubulus ginjal menjadi terisi hemosiderin. Methemalbumin juga dibentuk dari proses hemolisis intravaskular
Hemolitik ekstravaskuler.
Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.
Hemolitik intravaskuler.
Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.
Gambaran laboratorium hemolisis intravaskular yang utama adalah :
Hemoglobinemia dan hemoglobinuria
Hemosiderinuria (protein cadangan besi dalam sedimen urin)
Methemalbuminemia (yang terdeteksi secara spektrofotometri dengan uji Schumm)
Penyebab hemolisis intravaskular :
Transfusi darah yang tidak cocok (biasanya ABO)
Defisiensi G6PD dengan stres oksidan
Sindrom fragmentasi eritrosit
Beberapa anemia hemolitik autoimun
Beberapa anemia hemolitik yang dicetuskan obat dan infeksi
Hemoglobinuria nokturnal paroksimal
Hemoglobinuria march
Hemoglobin tak stabil (G6PD, glukosa 6-fosfat dehidrogenase
Anemia Hemolitik Herediter
Anemia hemolitk herediter merupakan akibat defek eritrosit "intrinsik" dan anemia hemolitik didapat biasanya merupakan akibat perubahan "ekstrakorpuskular" atau "dari lingkungan". Hemoglobinuria nokturnal paroksismal (paroxysmal nocturnal hemoglobinurial PNH) merupakan pegecualian karena walaupun PNH merupakan kelainan yang didapat, eritrosit PNH mempunyai defek intrinsik.
Defek membran
Sferositosis herediter
Sferosis herediter (SH) adalah anemia hemolitik herediter yang paling sering ditemukan pada orang eropa utara.
Sferositosis herediter merupakan suatu anemia hemolitik yang ditandai dengan sel darah merah kecil berbentuk sferis dan pembesaran limpa (splenomegali). Merupakan kelainan yang jarang, diturunkan secara dominan. Kelainan ini biasanya terdiagnosa pada anak-anak, namun dapat terlewat sampai dewasa karena gejalanya sangat sedikit. Penanganannya berupa pengambilan limpa secara bedah.
Patogenesis
SH biasanya disebabkan oleh defek protein yang terlibat dalam interaksi vertikal antara rangka membran dan lipid lapis ganda pada eritrosit. Hilangnya membran mungkin disebabkan oleh lepasnya bagian-bagian lipid lapis ganda yang tidak didukung oleh rangka. Pada SH, sumsum tulang menghasilkan eritrosit dengan bentuk bikonkaf yang normal tetapi eritrosit ini kehilangan membran dan menjadi makin sferis (hilangnya luas permukaan relatif terhadap volume) seiring eritrosit bersirkulasi melalui limfa dan sistem RE lainnya. Pada akhirnya, sferosit tidak mampu melalui mikosirkulasi limfa dimana mereka mati sebellum waktunya.
Gambaran klinis
Pewarisan bersifat autosomal dominan dengan ekspresi yang bervariasi, sangat jarang dapat bersifat autosomal resesif. Anemia dapat bermanifestasi pada semua usia dari masa bayi sampai tua. Ikterus biasanya berfluktuasi dan khususnya nyata bila anemia hemolitik bersama dengan penyakit Gilbert (defek konjugasi bilirubin oleh hati), splenomegali terjadi pada sebagian besar pasien. Batu empedu pigmen sering ditemukan, krisis aplastik yang biasanya dipicu oleh infeksi parvovirus, dapat menyebabkan peningkatan keparahan anemia yang mendadak.
Temuan hematologik
Anemia biasa ditemukan tetapi bervariasi, keparahannya cenderung hampir sama pada anggota keluarga yang sama. Hitung retikulosit biasanya 5-20%. Sediaan hapus darah tapi menunjukkan mikrosfeosit yang terwarna padat dengan diameter yang lebih kecil daripada eritrosit normal.
Pemeriksaan dan pengobatan
Analisis alur fluoresen eosin-maleimida yang terikat pada eritrosit digunakan sebagai pemeriksaan untuk SH dan defisiensi protein membran band 3. Uji ini telah menggantikan uji fragilitas osmotik klasik yang menunjukkan bahwa eritrosit SH sangat rapuh dalam larutan garam encer. Identifikasi defek molekular tepatnya tidak diperlukan untuk penatalaksanaan. Uji antiglobulin langsung (Coombs) normal, menyingkirkan penyebab sferositosis dan hemolisis yang bersifat autoimun.
Bentuk utama pengobatan adalah splenektomi, lebih disukai dengan laparoskopi, walaupun ini sebaiknya tidak dilakukan kecuali jika diindikasikan secara klinis karena anemia yang simtomatik, batu empedu, ulkus kaki atau retardasi pertumbuhan. Ini karena risiko sepsis pasca splenektomi, khususnya pada masa kanak-kanak awal. Juga ada bukti komplikasi vaskular lanjut. Kolesistektomi harus dilakukan bersama splenektomi harus selalu menyebabkan peningkatan kadar hemoglobin menjadi normal, walaupun mikrosferosit yang terbentuk di sistem RE lainnya tetap ada.
Eliptositosis herediter
Kelainan ini mempunyai gambaran klinis dan laboratorium yang mirip dengan SH kecuali gambaran sediaan hapus darah, tetapi ini biasanya nerupakan kelainan yang secara klinis lebih ringan. Eliptositosis herediter biasanya ditemukan secara kebetulan pada sediaan hapus darah dan mungkin tidak ada tanda-tanda hemolitik. Beberapa pasien memerlukan splenektomi. Defek yang mendasarinya adalah kegagalan heterodimer spektrin untuk berasosiasi dengan dirinya sendiri untuk menjadi heterotetramer. Sejumlah mutasi genetik yang mempengaruhi interaksi horisontal telah dideteksi. Pasien dengan eliptositosis homozigot atau heterozigot ganda bermanifestasi dengan anemia hemolitik berat dengan mikrosferosit, poikilosit dan splenomegali (piropoikilositosis herediter).
Ovalositosis Asia Tenggara
Kelainan ini sering ditemukan din melanesia, Malaysia, Indonesia dan filipina dan disebabkan oleh delesi enam asam amino pada ikatan domain sitoplasma dan transmembran protein band 3. Sel-sel tersebut kaku dan menahan invasi oleh parasit malaria. Sebagian besar kasus tidak anemik dan tidak bergejala.
Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitik berat akibat adanya defek pada molekul hemoglobin dan disertai dengan serangan nyeri. Penyakit yang melemahkan ini ditemukan terutama pada keturunan Afrika ; mengenai 1 diantara 375 bayi Afrika Amerika. Juga didapatkan pada penduduk Mediterania, Karibia, dan keturunan Amerika selatan dan tengah dan yang mempunyai nenek moyang Arab dan India Timur.
Sel sabit
Patofisiologi
Defeknya adalah satu substitusi asam amino pada rantai β hemoglobin. Karena hemoglobin A normal mengandung dua rantai α dan dua ranta β, maka terdapat dua gen untuk sintesa tiap rantai.
Trait sel sabit. Orang dengan trait sel sabit hanya mendapat satu gen abnormal, sehingga sel darah merah mereka masih mampu mensintesa kedua rantai β dan βs, jadi mereka mempunyai hemoglobin A dan S. Mereka tidak menderita anemia dan tampak sehat. Sekitar 8% dan 12% keturunan Afrika-Amerika mempunyai trait sel sabit.
Apabila dua orang dengan trait sel sabit menikah, beberapa anaknya akan membawa dua gen abnormal dan hanya mempunyai rantai βs dan hanya hemoglobin S, anak ini menderita anemia sel sabit.
Manifestasi klinik
Hemoglobin sabit mempunyai sifat buruk karena mempunyai bentuk seperti kristal bila terpajan tekanan oksigen rendah. Oksigen dalam darah vena cukup rendah sehingga terjadilah perubahan ini ; konsekuensinya sel yang mengandung hemoglobin S akan rusak, kaku dan berbentuk sabit ketika berada disirkulasi vena. Sel yang panjang dan kaku dapat terperangkap dalam pembuluh kecil, dan ketika mereka saling menempel satu sama lain, aliran darah ke daerah atau organ mengalami perlambatan. Apabila terjadi iskemia atau infark, pasien dapat mengalami nyeri, pembengkakan dan demam. Urutan kejadian tersebut menerangkan terjadinya krisis nyeri penyakit ini, namun apa yang mencetuskan urutan kejadian tersebut atau yang mencegahnya tidak diketahui.
Gejala disebabkan oleh hemolisis dan trombosis. Sel darah merah sabit memiliki usia hidup yang pendek yaitu 15 sampai 25 hari. Pasien selau anemis, dengan nilai hemoglobin antara 7-10 mg/dl. Biasanya terdapat ikterik dan jelas terlihat pada sklera. Sumsum tulang membesar saat kanak-kanak sebagai usaha kompensasi, kadang menyebabkan pembesaran tulang wajah dan kepala. Anemia kronis sering disertai dengan trikardi, murmur jantung dan pembesaran jantung (kardiomegali). Disritmia dan gagal jantung dapat terjadi pada pasien dewasa.
Setiap jaringan dan organ rentan terhadap gangguan mikrosirkulasi akibat proses penyabitan, sehingga peka terhadap kerusakan hipoksik atau nekrosis iskemik yang sebenarnya. Terdapat kenaikan kekentalan darah.
Evaluasi diagnostik
Diagnosa dapat ditegakkan dengan elektroforesis hemoglobin atau fokus isoelektrik dan teknik kromatografi cairan kinerja tinggi. Diagnosis pasti bagi bayi tidak dapat ditegakkan sampai uji laboratorium lebih lanjut dilakukan pada sampel darah kedua dan dikorelasikan dengan riwayat klinis. Hanya elektroforesis yang dapat membedakan antara trait sel sabit dengan anemia sel sabit. Pasien dengan trait sel sabit mempunyai kadar hemoglobin dan hematokrit yang normal begitu juga apusan darahnya juga normal. Sebaliknya pasien dengan anemia sel sabit mempunyai hematokrit rendah dan sel sabit pada apusan.
Prognosis
Pasien dengana anemia sel sabit biasanya terdiagnosa pada masa kanak-kanak, karena mereka nampak anemis ketika bayi dan mulai mengalami krisis sel sabit pada usia 1 sampai 2 tahun. Kebanyakan meinggal pada tahun pertama kehidupan, namun antibiotika dan kemajuan ilmu pengetahuan mengenai penyakit ini ditambah dengan penyuluhan terhadap pasien bisa meningkatkan kinerja pada 20 sampai 25 tahun terakhir ini. Meskipun harapan hidup reratanya adalah 40 tahun, namun ada beberapa pasien yang mampu hidup dampai dekade usia keenam. Semua saudara kandung pasien dengan anemia sel sabit harus diuji mengenai penyakit ini.
Metabolisme eritrosit yang tidak sempurna
Defisiensi glukosa-6 fosfat dehidrogenase
Glukosa -6-fosfat dehidrogenase (G6PD) berfungsi untuk melepaskan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat (NADP). Ini merupakan sumber NADPH satu-satunya yang diperlukan untuk produksi glutation tereduksi. Defisiensi G6PD menyebabkan eritrosit menjadi rentan terhadap stres oksidan.
Epidemiologi
Terdapat varian genetik enzim G6PD normal yang sangat bervariasi, yang tersering diantaranya adalah tipe B (barat) dan tipe A pada orang Afrika. Selain itu, lebih dari 400 varian yang disebabkan oleh mutasi atau delesi titik pada enzim G6PD telah dibedakan, yang menunjukkan aktivitas yang kurang dibandigkan normal dan diseluruh dunia lebih dari 400 juta orang menderita defisiensi aktivitas enzim G6PD.
Pewarisan bersifat terkait jenis kelamin, mengenai pria, dan dibawa oleh wanita yang menunjukkan nilai G6PD eritrosit sekitar separuh dari normal. Heterozigot wanita mempunyai keuntungan yaitu resistensi terhadap malaria Falciparum. Ras-ras utama yang terkan adalah di Afrika Barat, Mediterania, Timur Tengah dan Asi Tenggara. Derajat defisiensi bervariasi, seringkali ringan (10-15% aktivitas normal pada orang kulit hitam Afrika, lebih berta pada orang-orang Asi paling berat di Mediterania. Drfisiensi berat terjadi kadang-kadang pada orang kulit putih.
Gambaran klinis
Defisiensi G6PD biasanya tidak bergejala.walaupun G6PD terdapat pada semua sel, sindrom utama yang terjadi asalah sebagai berikut :
Anemia akut sebagai respon terhadap stres oksidan, misal obat, kacang fava atau infeksi. Anemia hemolitik akut disebabkan oleh hemolisis intravaskular yang berkembang cepat dengan hemoglobinuria. Anemia mungkin dapat sembuh sendiri karena eritrosit muda dibentuk dengan kadar enzim yang endekati normal.
Ikterus neonatal
Sangat jarang, anemia hemoitik non-sferositik kongenital
Sindrom-sindrom ini dapat disebabkan oleh jenis defisiensi enzim berat yang berbeda.
Diagnosis
Di antara krisis, hitung sel darah normal. Defisiensi enzim dideteksi dengan salah satu dari sejumlah uji saring atau dengan pemeriksaan enzim langsung pada eritrosit. Selama krisis, sedian hapus darah dapat menunjukkan sel-sel yang mengerut dan pecah, sel "gigit" (bite cell) dan sel "gelembung" (blister cell) yang badan Heinz-nya telah dibuang oleh limfa (badan Heinz adalah hemoglobin yang teroksidasi dan terdenaturasi) dapat ditemukan dalam preparat retikulosit, khususnya jika limfa tidak ada. Juga terdapat gambaran hemolisis intravaskular. Oleh karena kadar enzim yang lebih tinggi dalam eritrosit muda, pemeriksaan enzim eritrosit dapat memberikan hasil normal "palsu" pada fase hemolisis akut dengan respon retikulosit. Pemeriksaan lanjutan setelah fase akut menunjukkan kadar G6PD yang rendah pada saat populasi eritrosit dengan distribusi usia yang normal.
Pengobatan
Obat yang menyebabkan harus dihentikan, infeksi yang mendasari diobati, jumlah urine keluar yang tinggi dipertahankan dan transfusi darah diberikan jika perlu untuk anemia berat. Bayi-bayi dengan defisiensi G6PD cenderug menderita ikterus neonatorum dan pada kasus-kasus yang berat fototerapi dan transfusi tukar mungkin diperluakn. Ikterus biasanya tidak disebabkan oleh hemolisis berlebihan tetapi oleh defisiensi G6PD yang mempengaruhi fungsi hati pada neonatus.
Defisiensi glutation dan sindrom lainnya
Defek lain dalam jalur pentosa fosfat yang menyebabkan sindrom yang menyerupai defisiensi G6PD telah dilaporkan khususnya defisiensi glutation.
Defek jalur glikolitik (embden-meyerhof)
Ini semuanya tidak bisa ditemukan dan menyebabkan anemia hemolitik non-sferositik kongenital. Pada beberapa pasien terdapat defek sistem lainnya (misal miopati). Yang paling sering ditemukan adalah defisiensi piruvat kinase.
Defisiensi piruvat kinase
Kelainan ini diwarisi sebagai kelainan autosomal resesif, pasien-pasien yang terkena adalah homozigot atau heterozigot ganda. Lebih dari 100 mutasi yang berbeda telah dilaporkan. Eritrosit menjadi kaku sebagai akibat berkurangnya pembentukan adenosin trifosfat (ATP). Beratnya anemia sangat bervariasi (hemoglobin 4-10 g/dL) dan menyebabkan gejala-gejala yang relatif ringan karena pergeseran kekanan dalam kurva disosiasi oksigen yang disebabkan oleh peingkatan 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) intraseluler. Secara klinis, ikterus biasa ditemukan dan batu empedu sering ditemuakn. Penonjolan os frontalis mungkin ditemukan. Sediaan hapus darah menunjukkan poikilositosis dan sel "berduri" (prickle cell), khususnya pasca splenektomi. Pemeriksaan enzim langsung diperlukan untuk membuat diagnosis. Splenektomi dapat meringankan anemia tetapi tidak menyembuhkannya dan diindikasikan pada pasien-pasien yang memerlukan transfusi yang sering.
Poikilositosis dengan sel darah merah distorsi.
Defek hemoglobin
Anemia sickle cell
HbS tidak larut dan membentuk kristal bila dihadapkan dengan tekanan O2 rendah. Sel darah merah bentuk sabit, mengganggu berbagai mikrosirkulasi dan menyebabkan infark. Abnormalitas disebabkan substitusi asam amino valin pada asam glutamate di posisi 6 rantai
Panah hitam:nucleated red cell, Panah putih: sickle cell, dan Kepala panah:
boat-shaped cell
Trait sickle cell
Kelainan ringan tanpa anemia dan gejala hambatan darah tepi yang normal. Tetapi pada keadaan stress dan kritis misalnya anoksia dan pada infeksi berat dapat terjadi hematuria.
Panah hitam:nucleated red cell, Panah putih: sickle cell, dan Kepala panah: boat-shaped cell.
Hemoglobin C
Sering terdapt di Afrika Barat dan disebabkan oleh substitusi lisin untuk asam glutamate. HbC cenderung membentuk krstal rhombid pada keadaan homozigot disertai anemia ringan.
Sel sasaran/sel target dan mikrosferosit. Limfosit membesar
Hemoglobin SC
Short arrows indicate target cells; long arrows indicate atypical sickle cells.
Hemoglobin D dan E
Hemoglobin M
Hemoglobin Koln & Zurich
Hemoglobin dengan gangguan afinitas
Thalasemia beta homozigot / mayor, beta heterozigot minor, alfa thalasemia minor.
Thalassemia beta mayor disebut juga anemia mediterania / laut tengah atau Cooley.
Gambaran klinik
Anemia berat pada 3-6 bulan setelah lahir.
Pemeriksaan hati dan limpa.
Pembesaran limpa karena hyperplasia sumsum berat / facies thalassemia.
Penipisan korteks dan gambaran hair-on-end pada sinar X tengkorak
Gambaran laboratorium
Anemia mikrositik hipokromik.
Elektroforesis: hamper tidak ada HbA dengan hamper semua HbF
Thalassemia beta minor biasanya tanpa gejala, ditandai oleh mikrositik hipokromik (MCV, MCH, MCHC sangat rendah), tetapi anemia ringan: hemoglobin 11-15 g/dl. Diagnosis pasti adanya HbA2 yang meningkat. Hasil pemeriksaan besi normal.
Anemia hemolitik didapat
Anemia hemolitik imun
Anemia hemolitik autoimun
AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia) atau anemia hemolitik autoimun merupakan anemia yang disebabkan oleh penghancuran eritrosit oleh autoantibodi. Disebut autoantibodi karena tubuh pasien yang memproduksi antibodi melawan eritrositnya sendiri. Penyebabnya adalah adanya kelainan pada saat pembentukan limfosit, sehingga limfosit yang reaktif terhadap antigen eritrosit tetap terbentuk. Terdapat dua macam tipe dari AIHA ini, yaitu tipe warm dan cold, dengan sekitar 70% kasus merupakan tipe warm. Dalam diagnosis AIHA ini diperlukan temuan klinis atau laboratoris adanya hemolisis (pemecahan eritrosit) dan pemeriksaan serologi autoantibodi.
Gejala yang dirasakan oleh penderita AIHA adalah gejala umum anemia (lemah, letih, lesu), seringkali disertai demam dan jaundice (sakit kuning). Urin berwarna gelap sering ditemukan. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda jaundice, pembesaran limpa, pembesaran hati, dan pembesaran kelenjar getah bening.
Selain gejala dan tanda tersebut, terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang dalam diagnosis AIHA. Yang pertama perlu diperiksa adalah DL (darah lengkap) dan hapusan darah. Dari DL bisa dilihat adanya penurunan Hb (anemia) dan hematokrit. Penurunan Hb biasanya berat dengan kadar kurang dari 7 g/dl. Kadar trombosit dan leukosit biasanya masih normal. Bisa juga didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Pada hapusan darah dapat ditemukan bentukan eritrosit yang bervariasi (poikilositosis), sferosit, polikromasi dan kadang autoaglutinasi. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan peningkatan kadar LDH. Sedangkan pada urinalisis bisa ditemukan hemoglobinuria.
Hapusan darah pada penderita AIHA
Autoaglutinasi pada hapusan darah tepi
Terdapat beberapa pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya autoantibodi pada AIHA, diantaranya adalah Direct Antiglobulin Test (DAT, Direct Coombs Test) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT, Indirect Coombs Test). Yang biasa dikerjakan adalah DAT yang mendeteksi adanya autoantibodi (IgG) yang menyelubungi eritrosit. Pemeriksaan DAT pada penderita AIHA menunjukkan hasil yang positif, dimana ditemukan aglutinasi eritrosit.
Direct Coomb's Test
DAT positif
Yang perlu diperhatikan, tidak semua penderita AIHA menunjukkan semua gambaran laboratorium tersebut. Bisa saja tidak didapatkan peningkatan bilirubin indirek, tidak ditemukan hemoglobinuria, atau malah pemeriksaan DAT menunjukkan hasil yang negatif. Sehingga penentuan diagnosisnya tetap melihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang lain apakah terdapat tanda-tanda hemolisis, juga menyingkirkan penyebab anemia hemolitik yang lain.
Kadang-kadang sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun). Jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia / AIAH) disebabkan oleh produksi antibodi oleh tubuh terhadap eritrositnya sendiri. Kelainan ini ditandai dengan uji antiglobulin langsung (direct antiglobulin test / DAT), yang juga dikenal sebagai uji Coombs, yang positif, dan dibedakan menjadi tipe "hangat" dan "dingin" tergantung pada apakah antibodi bereaksi lebih kut dengan eritrosit pada 370C atau 40C.
Anemia hemolitik autoimun hangat
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh.
Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa. Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya per-oral (ditelan).
Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi. Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi antibodi.
Eritrosit dilapisi dengan imunoglobulin G (IgG) secara tersendiri atau bersama komplemen dan oleh karena itu diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc Ig. Bagian dan membran yang terlapisi tersebut hilang, sehingga sel menjadi makin sferis untuk mempertahankan volume yang tetap dan akhirnya dihancurkan secara prematur, terutama di limpa. Jika eritrosit dilapisis IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja, destruksi eritrosit terjadi lebih umum dalam siistem RE.
Gambaran klinis
Penyakit dapat terjadi pada segala usia, jenis kelamin, dan bermanifestasi sebagai anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi. Limpa seringkali membesar. Penyakit ini cenderung pulih dan kambuh. Ini dapat terjadi secara tersendiri atau bersama dengan penyakit lain. Jika disertai dengan purpura trombositopeni idiopatik (idiopathic thrombocytopenic purpura / ITP), yang merupakan keadaan yang serupa yang mengenai trombosit, keadaan ini dikenal sebagai sindrom Evans. Jika sekunder akibat lupus eritematosis sistemik, sel umumnya dilapisis oleh imunoglobulin dan komplemen.
Temuan laboratorium
Temuan hematologik dan biokimiawi khas untuk anemia hemolitik ekstravaskular dengan sferositosis yang nyata dalam darah tepi. DAT positif sebagai akibat IgG, IgG dan komplemen atau IgA pada sel dan pada beberapa kasus, autoantibodi menunjukkan spesifitas dalam sistem Rh. Antibodi yang terdapat pada permukaan sel dan yang bebas dalam serum paling baik dideteksi pada suhu 370C.
Pengobatan
Hilangkan penyebab yang mendasari (misal metildopa)
Kortikosteroid. Prednisolon adalah pengobatan lini pertama yang umum, 60 mg/hari adalah dosis awal yang umum pada dewasa dan harus kemudian turun secara perlahan. Pasien dengan IgG predominan pada eritrosit paling baik hasilnya, sedangkan mereka dengan komplemen seringkali berespon tidak baik, baik terhadap kortikosteroid maupun splenektomi.
Splenektomi mungkin berguna bagi pasien yang gagal berespon baik atau gagal mempertahankan kadar hemoglobin yang memuaskan dengan dosis steroid kecil dapat diterima.
Imunosupresi dapat dicoba jika steroid dan atau splenektomi sudah gagal. Ini dapat dicapai dengan obat atau antibodi monoklonal. Azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, siklosporin dan mikofenolat mofetil telah dicoba.
Antibodi monoklonal. Anti CD20 (rituximab) telah menghasilkan remisi yang memanjang pada sebagian kasus dan Anti CD52 (Campath-1H) telah dicoba dengan sukses pada beberapa kasus
Imunoglobulin dosis tinggi telah digunakan tetapi kurang berhasil dibandingakan pada ITP.
Mungkin perlu untuk mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya leukemia limfositik kronik atau limfom.
Asam folat diberikan pada kasus-kasus berat.
Transfusi darah mungkin diperlukan jika anemia berat dan menyebabkan gejala. Darah harus paling tidak inkompatibel dan jika spesifitas autoantibodi diketahui, dipilih darah donor yang tidak mempunyai antigen yang relevan. Pasien juga dengan mudah membuat aloantibodi terhadap eritrosit donor.
Anemia hemolitik autoimun dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.
Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan.
Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.
Pada sindrom ini autoantibodi, baik monklonal (seperti pada sindrom hemaglutinin dingin atau terkait dengan kelainan limfoproliferatif) atau poliklonal (seperti yang menyertai infeksi, misal mononukleosis infeksiosa atau pneumonia oleh Mycoplasma) melekat pada eritrosit terutama di sirkulasi perifer dimana suhu darah mendingin. Antibodi biasanya IgM dan berikatan dengan eritrosit terbaik pada suhu 40C. Antibodi IgM sangat efisien dalam mengikat komplemen dan dapat terjadi hemolisis intravaskular dan ekstravaskular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit, antibodi telah terlepas dari sel di bagian-bagian sirkulasi yang lebih hangat. Yang menarik, pada hampir semua sindrom AIH dingin, antibodi ditujukan terhadap antigen "I" pada permukaan eritrosit. Pada mononukleosis infeksiosa, antibodi adalah anti-i.
Gambaran klinis
Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh dingin dan sering disertai dengan hemolitik intravaskular. Ikterus ringan dan splenomegali mungkin ditemukan. Pasien mungkin mengalami akrosianosis (perubahan warna kuit menjadi keunguan) pada ujug hidung, telinga, jari-jari tangan dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil.
Temuan laboratorium
Temuan laboratorium mirip dengan AIHA hangat kecuali bahwa sferositosis kurang nyata, eritrosit beraglutinasi dalam suhu dingin dan DAT menunjukkan komplemen (C3d) hanya pada permukaan eritrosit. Serum menunjukkan autoantibodi "dingin" terhadap eritrosit dalam titer yang tinggi.
Pengobatan
Pengobatan terdiri dari mempertahankan pasien tetap hangat dan mengobati penyebab yang mendasari, joka ada. Zat pengalkil seperti klorambusil atau analog nukleosida purin (misal fludarabin) mungkin bermanfaat pada varian yang kronik. Anti-CD20 (rituximab) dan anti-CD52 (Campath 1-H) telah digunakan. Rituximab khususnya efektif jika terdapat penyakit limfoproliferatif B yang menyertai. Splenektomi biasanya tidak membantu kecuali jika terdapat splenomegali masif. Steroid tidak membantu. Limfoma yang mendasari harus disingkirkan pada kasus-kasus "idiopatik".
Hemoglobinuria dingin paroksismal merupakan sindrom hemolisis intravaskular akut setelah pajanan terhadap dingin yang jarang ditemukan. Ini disebabkan oleh antibodi Donth-Landsteiner, suatu antibodi IgG dengan spesifitas terhadap antigen golongan darah P, yang berikatan dengan eritrosit pada suhu dingin tetapi menyebabkan lisis dengan komplemen pada keadaan hangat, infeksi virus dan sifilis merupkan penyebab yang merupakan predisposisi dan keadaan ini biasanya sembuh sendiri.
Anemia hemolitik aloimun
Pada anemia hemolitik aloimun, antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu bereaksi dengan eritrosit individu lain. Dua keadaan yang penting adalah transfusi darah yang tidak kompatibel ABO dan penyakit Rh pada neoatus. Meningkatnya penggunaan transplantasi alogenik untuk penyakit ginjal, hati, jantung dan sumsum tulang telah menyebabkan dikenalinya anemia hemolitik aloimun yang disebabkan oleh produksi ntibodi eritrosit pada resipien oleh limfosit donor yang dipindahkan dalam alograf.
Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat
Obat-obat dapat menyebabkan anemia hemolitik imun melalui tiga mekanisme yaitu sebagai berikut :
Antibodi yang ditujukan terhadap komplek obat-membran eritroit (misal penisilin, ampisilin). Ini hanya terjadi dengan dosis antibiotik yang sangat besar.
Deposisi komplemen melalui kompleks obat-protein (antigen)-antibodi pada permukaan eritrosit (misal kuinidin, rifampisin)
Anemia hemolitik autoimun sejati, pada keadaan ini peran obat belum jelas (misal metildopa).
Pada setiap kasus, anemia hemolitik perlahan menghilang jika obat dihentikan.
Sindrom fragmentasi eritrosit
Sindrom ini timbul melalui kerusakan fisik pada eritrosit, baik pada permukaan yang abnormal (misal katup jantung artifisial atau graf arteri), malformasi arteriovenosa atau sebgai anemia hemolitik mikroangiopatik. Ini disebabkan eritrosit melalui pembuluh darah kecil yang abnormal. Pembuuh darah kecil yang abnormal mungkin disebabkan deposisi benang-benang fibrin yang sering menyertai koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation / DIC) atau perlekatan trombosit seperti pada purpura trombositopenik atau vaskulitis (misal poliarteritis nodosa). Darah tepi mengandung banyak fragmen eritrosit yang terwarna lebih gelap. Jika DIC yang mendasari terjadinya hemolisis, kelainan pembekuan dan hitung trombosit yang rendah juga ditemukan.
Tabel sindrom fragmentasi eritrosit
Hemolisis jantung
Katup jantung prostetik
Sambungan, graf
Kebocoran perivalvular
Malformasi arteriovenosa
Mikroangiopatik
TTP-HUS
Koagulasi intravaskular diseminata
Penyakit keganasan vaskulitis (misal poliarteritis nodosa)
Hipertensi maligna preeklampsia/HELLP
Kelainan pembuluh darah ginjal/sindrom HELLP
Siklosporin
Penolakan hemograf
HELLP, hemolisis dengan peningkatan uji fungsi hati dan hitung trombosit yang rendah.
HUS, sindrom hemolitik uremik.
TTP, purpura trombositopenia trombotik
Hemoglobinuria march
Ini disebabkan kerusakan eritrosit diantara tulang-tulang kecil pada kaki, biasanya selama berbaris atau berlari yang lama. Sediaan hapus darah tidak menunjukkan fragmentosit.
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan hemolisis dalam berbagai cara. Infeksi dapat mencetuskan krisis hemolitik akut pada defisiensi G6PD atau menyebabkan anemia hemolitik mikroangiopatik (misal pada septikemia meningokok atau penumokok). Malaria menyebabakan hemolisis melalui destruksi eritrosit yang mengandung parasit di ekstravaskular dan juga melalui lisis intravaskular langsung. Blackwater fever adalah hemolisis intravaskular akut yang disertai gagal ginjal akut yang disebabkan oleh malaria Falciparum. Septikemia Clostridium perfringens dapat menyebabkan hemolisis intravaskular dengan mikrosferosit yang nyata.
Agen kimia dan fisika
Obat-obat tertentu (misal dapson dan salazopyrin) dalam dosis tinggi menyebabkan hemolisis intravaskular oksidatif dengan pembentukan badan Heinz pada subyek normal. Pada penyakit wilson, anemia hemolitik akut dapat terjadi sebgai akibat kadar tembaga yang tinggi dalam darah. Keracunan bahan kimia (misal timbal, klorat atau arsen) dapat menyebabkan hemolisis berat. Luka bakar berat merusak eritrosit dan menyebabkan akantositosis atau sferositosis.
Anemia hemolitik sekunder
Pada banyak kelainan sistemik, jangka hidup eritrosit memendek. Ini dapat mendorong terjadinya anemia
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
PNH adalah kelainan sel punca sumsum tulang yang langka, bersifat klonal dan didapat. Pada PNH terdapat defisiensi sintesis "jangkar" glikosilfosfatidilinositol (GPI), suatu struktur yang melekatkan beberapa protein permukaan ke membran sel. Ini disebabkan oleh mutasi didapat pada gen kromosom X yang mengkode protein fosfotidilinositol glikan kelas A (PIG-A) yang esensial untuk pembentukan jangkar GPI. Hasil akhirnya adalah bahwa protein-protein terkait GPI seperti CD55 dan CD59 tidak ada dipermukaan sel pada semua sel yang berasal dari sel punca abnormal. Tidak adanya molekul permukaan faktor pengaktif kerusakan (decay activating factor / DAF, CD55) dan inhibitor lisis rekatif membran (membrane inhibitor of reactive lysis / MIRL, CD59) menyebabkan eritrosit menjadi peka terhadap lisis oleh komplemen dan akibatnya adalah hemolisis intravaskular kronik. Hemosiderinuria adalah gambaran yang selalu ditemukan dan dapat menyebabkan defisiensi besi yag dapat memperburuk anemia. CD55 dan CD59 juga terdapat pada leukosit dan trombosit. Masalah klinis utama lainnya yang ditemukan pada PNH adalah trombosis dan pasien dapat mengalami trombosis vena besar yang berulang, termasuk pada vena porta dan vena hepatika, disamping nyeri perut intermiten yang disebabkan oleh trombosis vena mesehterika.
PNH hampir selalu disertai dengan beberapa bentuk hipoplasia sumsum tulang, seringkali anemia aplastik yang jelas. Tampaknya klon PNH dapat berkembang sebagai akibat tekanan selektif, kemungkinan diperantarai secara imunologik terhadap sel-sel yang mempunyai protein membran terkait GPI yang normal.
PNH didiagnosis dengan flowsitometri yang menunjukkan hilangnya ekspresi protein-protein terkait GPI, yaitu CD55 dan CD59. Sebagai alternatif, dapat digunakan pemeriksaan untuk hilangnya jangkar GPI pada leukosit (FLAER).
Eculizumab, suatu antibodi yang dimanusiakan terhadap komplemen C5, menghambat aktivasi komponen komplemen terminal dan mengurangi hemolisis dan kebutuhan akan transfusi. Terapi besi digunakan untuk defisiensi besi dan antikoagulasi jangka panjang dengan warfarin mungkin diperlukan. Imunosupresi dapat berguna dan transplantasi sel punca alogenik adalah pengobatan definitif. Penyakit ini kadang-kadang mengalami remisi dan ketahanan hidup rata-rata adalah 10 tahun.
LEUKIMIA MIELOID KRONIK (Chronic Myeloid Leukimia)
Leukimia mieloid kronik (Chronic Myeloid Leukimia) didefinisikan sebagai penyakit stem sel pluripoten yang dicirikan dengan adanya anemia, granulositosis darah yang ekstrim, imaturitas granulositik, basofilia, dan seringkali juga trombositosis, dan juga splenomegali. Selain definisi diatas Chronic Myeloid Leukemia (CML) merupakan penyakit klonal sel induk pluripoten dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Hoffbrand et.al., 2005). Sedangkan menurut Robbins & Cotran (2009), CML merupakan neoplasma pada sel tunas hematopoietik yang berpotensi menimbulkan proliferasi progenitor granulositik. Definisi lain menyebutkan CML merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh elevasi yang cukup besar dari jumlah leukosit darah, tanpa akumulasi dari segala bentuk dan belum menghasilkan granulosit matang (Athens, 2004). Sedangkan menurut Bakta (2007), CML merupakan leukemia kronik dengan gejala yang timbul perlahan – lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk myeloid.
CML merupakan penyakit yang mana sel hematopoetiknya mengalami translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22, terjadi pada lebih dari 90% pasien.
CML terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :
Lekemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL)
Leukemia myeloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran mengesankan CML, tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR – ABL. Pasien – pasien ini biasanya mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan prognosis tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph+.
Juvenile chronic myeloid leukemia
Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan mempunyai gambaran klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan infeksi rekuren. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar hemoglobin F (HbF) yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar fosfatase alkali netrofil normal dan hasil uji kromosom Philadelphia negatif. Prognosisnya buruk dan SCT (Transplantasi Sel Induk) adalah pengobatan yang terpilih.
Chronic neutrophilic leukemia & Eosinophilic leukemia
Merupakan penyakit yang sangat jarang dijumpai dengan terdapatnya proliferasi sel matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan splenomegali, dan secara umum prognosisnya baik.
Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
CMML menggambarkan daerah yang bertumpang tindih antara penyakit mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi digolongkan ke dalam kelompok mielodisplasia (Hoffbrand,2005). Dengan sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML Ph+ (Bakta, 2007).
Etiologi & Patogenesis
Penyebab leukemia myeloid kronis (CML) adalah tirosin konstitutif BCR-ABL aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka pendek lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis CML dalam tahap kronis (Druker et.al., 2006)
Pada CML dijumpai Phladelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal translocation 9,22 (t 9;22) (Bakta, 2007). Pada hampir 90% penderita, kromosom Ph1 dengan translokasi t(9;22) ditemukan di semua progeni sel asal myeloid multipoten yang sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan megakariositik). Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen bcr-c-abl. Tidak seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat dan darah perifer mengandung sel dewasa (Robbins, 1999 ).
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetic pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat respilokal. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr – abl oncogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd) (Hoffbrand, 2005;Bakta, 2007).
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel – sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri myeloid ( Bakta, 2007). Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70% pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi (Hoffbrand, 2005).
Secara morfologi, fase kronis menyerupai CML ekspansi jinak myelopoiesis. Namun, fase kronis genetis tidak stabil, dan tingkat proliferatif yang tinggi memungkinkan untuk akumulasi tambahan molekul dan kromosom kelainan, proses ini disebut "evolusi klonal." Evolusi klonal menyebabkan penurunan nilai hematopoietik diferensiasi, akhirnya menghasilkan akut leukemia (ledakan-fase CML). Sekitar satu leukemia akut ketiga mirip B-keturunan akut limfositik leukemia (ALL), sedangkan sisa kasus-kasus tersebut mirip dengan leukemia myeloid akut (AML), sering dengan fenotipe dibeda-bedakan (Schiffer, 2007)
Fase Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 2 fase, yaitu :
Fase kronik: Fase ini berjalan selama 2 – 5 tahun dan responsif terhadap kemoterapi.
Fase akselerasi atau transformasi akut:
Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut.
Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk kedalam "blast crisis" atau krisis blastik.
Sekitar 2/3 menunjukkan sel blast seri myeloid, sedangkan 1/3 menunjukkan seri limfoid (Bakta, 2007).
Gejala Klinis
CML terutama terjadi pada orang dewasa yang berusia antara 25 dan 60 tahun, insidens puncaknya terletak pada usia antara 30 dan 50 tahun (Robbins & Cotran, 2009). CML dapat terjadi pada pria maupun wanita dengan perbandingan 1,4:1. paling sering terjadi antara usia 40 dan 60 tahun. Walaupun demikian, penyakit ini dapat terjadi pada anak, neonates, dan orang yang sangat tua. Pada sebagian besar kasus, tidak terdapat faktor predisposisi, tetapi insidensinya meningkat pada orang – orang yang selamat dari pajanan bom atom di Jepang (Hoffbrand, 2005). Gejala Klinik CML tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
Fase kronik terdiri atas:
Gejala – gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan, badan kelelahan, anoreksia, atau keringat malam, intoleransi panas, yang kemudian menstimulasi tirotoksikosis.
Splenomegali hampir selalu ditemukan pada sebagian besar pasien (90%) dan bersifat masif. Pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri ataupun gangguan pencernaan (perut terasa penuh). Dengan adanya pengobatan di awal, maka frekuensi terjadinya splenomegali pada pasien mulai menurun.
Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
Memar, epistaksis, menorhagia, atau perdarahan di tempat – tempat lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.
Hingga 50% kasus, diagnosis ditegakkan secara tidak sengaja dari pemeriksaan hitung darah rutin (Bakta, 2007;Hoffbrand, 2005).
Fase transformasi akut terdiri atas:
Perubahan terjadi pelan – pelan dengan prodromal selama 6 bulan, disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru yaitu demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun dan akhirnya menjadi gambaran leukemia akut.
Pada sekitar sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa didahului masa prodromal, keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1 – 2 bulan (Bakta, 2007).
Temuan Laboratorium
Leukositosis yang biasanya berjumlah > 50 x 109/l dan kadang-kadang >500×109/l. Dalam darah tepi dapat ditemukan spectrum lengkap sel-sel myeloid dimana jumlah neutrofil dan mielosit melibihi jumlah sel blas dan promielosit.
Terdapat peningkatan jumlah basofil dalam darah
Anemia yang sering ditemukan adalah jenis anemia normositik normokrom
Jumlah trombosit meningkat, namun dapat juga normal atau turun. Yang paling sering terjadi adalah terdapat peningkatan trombosit
Nilai fosfatase alkali neutrofil yang rendah
Sumsum tulang hiperselular dengan dominasi granulopoiesis
Pada analisis sitogenik darah atau sumsum tulang ditemukan kromosom Ph. (Gambar 3,4).
Terdapat peningkatan vitamin B12 serum dan daya ikatnya pun meningkat.
Kadar asam urat dalam serum biasanya meningkat.
Diagnosis
Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO adalah :
Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum tulang berinti.
Basofil darah tepi > 20%.
Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau thrombositosis (>1000 x 109/L) yang tidak responsive pada terapi.
Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.
Dipihak lain diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO adalah :
Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
Proliferasi blast ekstrameduler.
Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang.
Pada 50% kasus, diagnosis biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada saatpemeriksaan hitung darah rutin. Pada intinya diagnosis CML ini ditentukan berdasarkan karakteristik granulositosis, hitung sel darah putih, peningkatan basofil absolute dan splenomegali yang diikuti dengan keberadaan kromosom Ph atau variannya (90% pasien) atau adanya rearrangement BCR dari kromosom 22 (> 95% pasien).
Diagnosis Banding
Polisitemia vera, trombositemia primer, atau mielofibrosis idiopatik menunjukkan gambaran yang hampir sama. Misalnya, pada hitung sel darah putih pada CML menunjukkan lebih dari 30 x 109/liter (lebih dari 90% pasien) yang mana meningkat dalam seminggu atau sebulan, sementara hitung sel darah putih pada ketiga penyakit banding sebelumnya menujukkan hitung sel darah putih yang kurang dari 30 x 109/liter dan biasanya tidak ada perubahan yang signifikan selama lebih dari sebulan atau bertahun-tahun.
Diagnosis banding lainyya adalah trombositosis esensial, agnogenic myeloid metaplasia dengan mielofibrosis serta penyakit-penyakit sindrom mielodisplastik.
Tatalaksana
Allupurinol 300 mg/hari oral diperlukan untuk menjaga aliran urin yang baik sebelum diberikan kemoterapi karena akan terdapat banyak lisisi sel. Namun, karena allupurinol ini dapat menyebabkan reaksi alergi kulit, maka pengobatan ini dihentikan setelah hitung leukosit darah dan ukuran limpa turun serta setelah sel-sel yang lisis dapat dikeluarkan.
Rasburicase dan sodium bikarbonat diberikan untuk membuat kondisi alkali pada urin ketika terjadi hiperurisemia yang ekstrim. Rasburicase ini merupakan oksidase urat rekombinan yang dapat mengubah asam urat menjadi allantoin. Rasburicase dapat diberikan secara intravena dengan dosis 0,2 mg/kg BB ideal.
Terapi Sitoreduksi Awal
Imatinib mesylate (imatinib) digunakan sebagai terapi awal pada fase kronik CML. Regimen ini dapat digunakan setelah atau bersamaan dengan hydroxyurea ketika terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yang bermakna. Selain itu juga dapat dikombinasikan dengan leukapheresis ketika sindrom hiperleukositik terjadi. Obat ini merupakan golongan inhibitor tirosin kinase dimana bekerja dengan menghambat BCR-ABL tirosin kinase yang penting dalam membentuk fungsi BCR-ABL sehingga sel CML pun dapat dihambat. Obat ini diduga dapat menghasilkan respon hematologik yang lengkap pada hampir semua pasien yang berada dalam fase kronik dimana dapat terjadi konversi dari Ph positif menjadi negatif. Oleh karena itu, obat ini dijadikan sebagai obat lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau bersamaan dengan interferon atau obat lain.
Leukapheresis (suatu prosedur pemisahan sel darah putih dari sampel darah)
Leukapheresis dapat mengontrol CML namun hanya sementara. Sangat bermanfaat terutama untuk pasien hiperleukositik dan wanita hamil selama kehamilan awal dimana kemoterapi tidak diperkenankan berkaitan dengan risiko tinggi terhadap kesehatan janin.
Hydorxyurea
Merupakan obat kemoterapi yang bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan mempertahankan hitung leukosit normal pada fase kronik, tetapi diberikan seumur hidup pasien. Dosisnya dimulai dengan 1-2 g/hari dan kemudian diturunkan setiap minggu sampai mencapai dosis rumatan sebesar 0,5-1,5 g/hari. Obat ini kemudian dihentikan ketika hitung sel darah putih telah mencapai kurang dari 5000/µl (5×109/liter).
Anagrelide
Digunakan untuk menurunkan jumlah trombosit pasien.
Interferon-α
Saat ini masih merupakan obat terpilih pada CML dimana banyak digunakan ketika jumlah leukosit meningkat. Obat ini bekerja dengan mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4×109/l). Dosis yang digunakan adalah 3-9 megaunit dan diberikan tiga sampai tujuh kali setiap minggu secara injeksi subkutan.
Transplantasi sel induk
Transplantasi yang bersifat alogen banyak digunakan untuk mengobati CML. Transplantasi ini dapat dilakukan pada saudara kandung dengan 30% saja yang dapat mentolerir prosedur ini. Setelah ditransplantasikan ketahanan hidup pasien mencapai 50-70% dalam 5 tahun. Hasil akan lebih baik dilakukan pada fase kronik dibandingkan dengan fase akut.
Prognosis
Ketahanan hidup rata-rata pasien dengan CML adalah 5-6 tahun, sementara 20% pasien masih dapat hidup hingga lebih dari 10 tahun. Respons yang sangat baik akan terlihat setelah pemberian kemoterapi. Kematian sebagian besar terjadi karena transformasi akut terminal atau perdarahan atau infeksi yang mengikuti.
Dalam memperhitungkan prognosis pasien dapat menggunakan hazard ratio seperti di bawah ini:
exp 0.0116 (age – 43) + 0 .0345 (spleen size [cm below costal margin] – 7.5 cm) + 0.188 [(platelet count/700)2 - 0.563] + 0.0887 (% blasts in blood – 2.1)
Tipe skor yang digunakan adalah Sokal Skore dimana dapat dikategorikan seperti di bawah ini:
Risiko rendah (skor <0,8) à rata-rata harapan hidup 5-6 tahun
Risiko menengah (skor 0,8-1,2) à rata-rata harapan hidup 3-4 tahun
Risiko tinggi (skor > 1,2) à rata-rata harapan hidup 2 tahun
Komplikasi
Lelah. Ketika terjadi peningkatan jumlah sel darah putih, maka sel darah merah akan terganggu dan dapat menyebabkan anemia. Anemia dapat menyebabkan tubuh lelah dan lemas. Sementara itu, pengobatan CML juga dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang mana dapat memperparah anemia.
Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah dan lebam. Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun pada kulit (petechiae).
Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang berkembang ketika terdapat peningkatan sel darah putih.
Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak disimpan dalam limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan bengkak. Adanya perbesaran limpa ini juga dapat menimbulkan rasa penuh pada perut setelah makan atau menyebabkan nyeri pada sisi kiri di bawah tulang rusuk.
Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita CML terdapat juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan, trombositosis ini dapat menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan menyebabkan stroke.
Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun fungsi mereka dalam pertahanan tubuh menurum sehingga imunitas tubuh menurun dan rentan terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat menurunkan jumlah sel darah putih (neutropenia) sehingga memudahkan pula infeksi terjadi.
Kematian. Terutama jika tidak diobati secara adekuat, dapat menimbulkan kematian.
MYELODISPLASTIC SYNDROME
MDS adalah sekumpulan kelainan yang mempunyai ciri-ciri satu atau lebih sitopenia sekunder dari darah tepi sampai dan kelainan sumsum tulang. Sindrom ini muncul sejak lahir atau bisa juga muncul sekunder setelah pengobatan dengan kemoterapi dan atau radioterapi untuk penyakit lain. MDS sekunder biasanya memiliki prognosis yang lebih jelek dari pada MDS de Novo. Prognosisnya berhubungan langsung dengan jumlah sel blast sumsum tulang dan derajat sitopenia darah tepi. MDS dapat menjadi AML sekitar 30% dari seluruh pasien setelah melalui bermacam-macam rentang diagnosis dan rasio variabel yang berdasarkan klasifikasi seluler darah. Leukimia akut yang mengalami transformasi sangat kurang responsif terhadap kemoterapi daripada Leukimia Myeloid Akut (AML) de Novo. Prognosisnya juga juga berhubungan dengan tipe MDS. Terapi memerlukan perawatan yang intensif. Tindakan transfuse darah atau platelet dapat mencegah alloimunisasi dan kelebihan zat besi, dan prognosis yang baik. MDS ditandai dengan sumsum tulang dan morfologi sel darah yang abnormal. Hiperplasi eritroid megaloblastik dengan anemia makrositik dengan vitamin B12 dan folat yang normal sering didapatkan. Granulosit dalam sirkulasi biasanya menurun, sering hipogranular (Anonim, 2002).
MDS terjadi terutama pada pasien tua (biasanya di atas usia 60 tahun), meskipun ada juga yang melaorkan adanya pasien usia 2 tahun. Anemia, perdarahan, mudah bengkak dan mudah lelah merupakan tanda awal dari penyakit ini. kadang terjadi splenomegali atau hepatomegali. hampir setenganh dari pasien telah terdeteksi memiliki abnormalitas sitogenik, biasanya delesi sebagian atau kesluruhan kromosom 5 atau 7, atau trisomi 8. Meskipun sumsum tulang biasanya hiperseluler pada diagnosis, 15% hingga 20% menunjukkan hipoplastik sumsum tulang (Anonim, 2002).
System klasifikasi telah dikembangkan untuk memprediksi kesembuhan pasien dengan MDS dan evolusi dari MDS ke AML. System klasifikasi ini termasuk klasifikasi French-American-British, skor Bournemouth, skor Sanz, dan skor Lille. Variable klinis termasuk dalam system ini memasukkan persentase mieloblast sumsum tulang, sitopeni spesifik, usia, kadar laktat dehidrogenase, pola sitogenik sumsum tulang. Kumpulan data telah dianalisis dan menghasilkan pronostik system yang disebut International Prognostic Scoring System (IPPS) untuk MDS.
Definisi
Mielodisplasia adalah suatu kelompok heterogen dari kelainan hematologi yang ditandai dengan sitopenia yang berhubungan dengan dismorfik (bentuk abnormal) dan biasanya pada seluler sumsum tulang, dan diakibatkan oleh produksi sel darah yang tidak efektif. Lima klasifikasi ditetapkan: anemia refraktori (refractory anemia (RA)), anemia refraktori dengan cincin sideroblast (refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)), anemia refraktori dengan blast yang kelebihan (refractory anemia with excess blasts (RAEB)), anemia refraktori dengan blast yang kelebihan dalam transformasi (refractory anemia with excess blasts in transformation (RAEB-t)), dan leukemia mielomonositik kronik (myelomonocytic leukemia (CMML)). Klasifikasi WHO (2002) menetapkan bahwa perbedaan antara RAEB-t dengan akut myeloid leukemia berubah-ubah dan mengelompokkan mereka bersama-sama sebagai leukemia akut, catatan bahwa CMML mempunyai sifat sebagai penyakit mieloproliferatif, dan terpisah dari anemia refraktori (Young, 2008).
Klasifikasi MDS oleh WHO
Penyakit
Frek.
Temuan Darah
Temuan Sumsung Tulang
Prognosis
1
RA
5-10%
Anemia
Tanpa atau sedikit blast
Hanya displasia eritroid
< 5% blast
<15% sideroblast cincin
Memperpanjang perawatan
6% berubah menjadi leukemia
2
RARS
10-12%
Anemia
Tanpa blast
Hanya displasia eritroid
< 5% blast
>15% sideroblast cincin
Memperpanjang perawatan
1-2% berubah menjadi leukemia
3
Refractory cytopenia
with multilineage
dysplasia (RCMD)
24%
Sitopenia
Tanpa atau sedikit blast
Tanpa Auer rods
<1×109/L monosit
Displasia pada 10% se
< 5% blast
Tanpa Auer rods
<15% sideroblast cincin
Tergantung klinis
11% berubah menjadi leukemia
4
RCMD with ringed
sideroblasts (RCMD-RS)
15%
Sitopenia
Tanpa atau sedikit blast
Tanpa Auer rods
<1×109/L monosit
Displasia pada 10% se
< 5% blast
Tanpa Auer rods
15% sideroblast cincin
5
Refractory anemia with
excess blasts-1 (RAEB-
1)
40%
(RAEB-1
+2)
Sitopenia
< 5% blast
Tanpa Auer rods
<1×109/L monosit
Displasia unilineage atau multilineage 5-9% blast Tanpa Auer rods
Kegagalan sumsum tulang progresif 25% berubah menjadi leukemia
6
Refractory anemia with
excess blasts-2 (RAEB-
2)
Sitopenia
5-19% blast
Auer rods
<1×109/L monosit
Displasia unilineage atau multilineage
10-19% blast
Auer rods
Kegagalan sumsum tulang progresif 33% berubah menjadi leukemia
7
Myelodysplastic
syndrome, unclassified
(MDS-U)
Belum diketahui
Sitopenia
Tanpa atau sedikit blast
Tanpa Auer rods
Displasia pada myeloid atau platelet lineage
< 5% blast
Tanpa Auer rods
Belum diketahui
8
MDS with isolated del
(5q)
Belum diketahui
Anemia
<5% blast
Platelet normal atau meningkat
Normal atau peningkatan megakariosit dengan nucleus hipolobulated
< 5% blast
Tanpa Auer rods
Isolated del(5q)
Belum diketahui
(Young, 2008)
Epidemiologi dan prevalensi
MDS idiopatik merupakan penyakit pada usia tua, usia rata-rata saat onset mulai muncul adalah 68 tahun. Jumlah penderita pria sedikit lebih banyak dibandingkan penderita perempuan. MDS merupakan bentuk gagal sumsum tulang yang umum, dengan angka laporan insiden 35 hingga lebih dari 100 penderita dari setiap satu juta penduduk pada populasi umum, dan 120 hingga lebih dari 500 penderita dari setiap satu juta penduduk usia lanjut. MDS jarang diderita anak-anak, namun leukemia monositik dapat terjadi. MDS yang terkait dengan terapi tidak berhubungan dengan tingkatan usia dan terjadi pada sekitar 15 % pasien yang tengah menjalani terapi kombinasi modalitas kanker. Angka kejadian MDS terus meningkat, seiring semakin dikenalnya sindrom ini oleh dokter dan meningkatnya usia harapan hidup (Young, 2008).
Etiologi dan patofisiologi
MDS disebabkan oleh paparan dari lingkungan seperti radiasi dan benzene, beberapa factor risiko yang lain telah dilaporkan secara tidak konsisten. MDS sekunder terjadi sebagai efek toksik dari terapi kanker, biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetic alkylating agent seperti busulfan, nitrosourea, atau prokarbazin (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase inhibitor (2 tahun). Baik anemia aplastik yang didapat setelah terapi yang imunosupresif maupun anemia Fanconi, keduanya dapat berkembang menjadi MDS.
MDS merupakan kelainan stem sel hemopoitik klonal yang mengarah pada gangguan proliferasi dan diferensiasi sel. Abnormalitas sitogenik ditemukan pada sekitar separuh pasien, dan beberapa spesifik lesi yang sama juga terlihat pada leukemia yang sesungguhnya, aneuploid lebih sering terjadi disbanding translokasi. Manifestasi hemtologik merupakan hasil dari akumukasi dari lesi genetic multiple: hilangnya tumor supresor gen, aktifnya mutasi onkogenik, atau perubahan merugikan lainnya. Abnormalitas sitogenik tidak terjadi secara acak (hilangnya semua atau 5,7,dan 20, trisomi 8) dan berhubungan debgan etiologi (11q23 following topoisomerase II inhibitors); leukemia mielomonositik kronik sering berhubungan dengan t(5;12) yang menghasilkan gen chimeric tel-PDGF. Jenis dan jumlah abnormalitas sitogenik berhubungan kuat dengan kemungkinan berubah menjadi leukemia dan harapan hidup. Mutasi dari N-ras (onkogen), p53 dan IRF-I (tumor supresor gen), Bcl-2 (antiapoptotik gen), dan beberapa yang lain telah dilaporkan namun terjadi lambat pada rangkaian yang berkembang menjadi leukemia. Apoptosis pada sel sumsum tulang meningkat pada MDS, agaknya berhubungan dengan perubahan genetik ini atau sebagai respon imun. Patofisiologi imun diduga berhubungan dengan trisomi 8 MDS, yang sering memberi reaksi secara klinis terhadap terapi imunosupresif (Young, 2008).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis MDS harus dipertimbangkan pada setiap pasien, khususnya pada pasien tua dengan persisten sitopenia atau monositosis yang tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan yang teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang diperlukan untuk membuktikan kebenaran ciri-ciri sitologi displastik dalam satu atau lebih hematopoietic lineages. Keberadaan granulosit dengan nuclear hipopigmentasi, yaitu, anomali pseudo-Pelger-Huet, mononuclear atau mikromegakariosit, netrofil hipogranular atau megakariosit, makro-ovalosit, dan akantosit mungkin akan jelas. Karena penemuan yang tunggal bukan merupakan diagnosis MDS, kondisi yang poternsial memberikan kontribusi harus dikeluarkan. Status gizi, penggunaan alcohol dan obat-obatan, paparan dengan bahan kimia beracun, , terapi sebelumnya dengan antineoplastik atau radioterapi dan factor risiko untuk HIV harus diperhatikan (List and Doll, 1998).
Perjalanan penyakit myelodysplastic syndrome (MDS) bisa berlangsung selama beberapa tahun dengan anemia yang tidak diketahui sebabnya dan trombositopeni atau neutropeni ringan. Gejala klinis yang muncul pada myelodysplastic syndrome biasanya berkaitan dengan rendahnya jumlah sel-sel darah tepi, yaitu anemia, atau trombositopeni atau neutropeni. Namun 50% dari penderita MDS tidak merasakan gejala apa-apa, dan penyakit ii baru ditemukan dengan tidak sengaja pada pemeriksaan darah rutin (Young, 2008).
Dari anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan lemas, lesu, cepat lelah saat beraktivitas yang disebabkan oleh anemia. Adanya kemungkinan riwayat mimisan, gusi berdarah, badan mudah memar, sebagai manifestasi klinis dari trombositopeni. Fungsi trombosit yang tidak baik merupakan penyebab lain yang akan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. Adanya demam dan infeksi bakteri atau jamur, seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih, yang dikaitkan dengan neutropeni. Batuk darah, hematuria, dan darah pada feses juga mungkin terjadi. Adanya riwayat kemoterapi atau paparan radiasi merupakan fakta yang penting (Young, 2008).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda anemia, seperti kulit dan membran mukosa pucat. Bisa ditemukan petechie atau ekimosis pada kulit akibat trombositopenia. Pada sekitar 20% penderita MDS ditemukan adanya splenomegali. Lesi pada kulit yang langka seperti Sweet's syndrome (febrile neutrophilic dermatosis), juga mungkin muncul pada MDS. Sedangkan sindrom autoimun jarang ditemukan (Harrison) (Young, 2008).
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan myelodysplastic syndrome, ditemukan perubahan yang signifikan pada perhitungan sel-sel darah tepi, dan abnormalitas pada sumsum tulang.
Pemeriksaan Darah
Pada perhitungan sel-sel darah tepi, anemia muncul pada sebagian besar kasus, baik berdiri sendiri maupun sebagai bagian dari bisitopeni atau pansitopenia. Adanya neutropenia atau trombositopenia tanpa disertai anemia jarang terjadi. Biasanya merupakan anemia makrositik, dan pada pemeriksaan darah tepi biasanya tampak adanya bimorfik eritrosit dengan ukuran besar dan jumlah kurang dari normal. Trombosit juga ditemukan dalam ukuran besar dengan jumlah granula minimal.. neutrofil juga ditemukan mengalami hipogranulasi, adanya hiposegmentasi, bentuk melingkar, atau segmen abnormal pada nucleus, meliputi badan Dohle, dan mungkin mengalami penurunan fungsi. Adanya mieloblast pada sirkulasi berhubungan dengan banyaknya blast pada sumsum tulang, dan jumlah ini penting untuk klasifikasi dan prognosis. Jumlah total sel darah putih biasanya normal atau rendah, kecuali pada leukemia mielomonositik kronik. Seperti pada anemia aplastik, MDS dapat dihubungkan dengan populasi klonal sel PNH (Young, 2008).
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sumsum tulang biasanya normal atau hiposeluler, tetapi pada 20% kasus hiposeluler ini dibingungkan dengan aplasia. Tidak ada karakteristik tunggal dari sumsum tulang yang dapat membedakan MDS, tetapi berikut ini perlu diperhatikan: perubahan diseritropoetik (terutama abnormalitas nuclear) dan sideroblast cincin pada erythroid lineage; hipogranulasi dan hipopigmentasi pada precursor granulositik, dengan peningkatan mieloblast; dan jumlah megakariosit menurun dengan inti yang tidak teratur. Nucleus megaloblastik berhubungan dengan hemoglobulinisasi pada erythroid lineage sering ditemukan. Prognosis sangat dipengaruhi proporsi dari blast sumsum tulang. Analisis sitogenik dan fluoresen in situ hibridisasi dapat menidentifikasi abnormalitas kromosom (Young, 2008).
Penatalaksanaan
Sampai saat ini biasanya kurang memuaskan. Pengobatan dengan tindakan transplantasi sumsum tulang dapat meningkatkan survival rate hingga 50% selama 3 tahun.Kemoterapi tidak dianjurkan pada fase awal MDS, umumnya hanya diberikan pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak 1968 pengobatan dengan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien MDS dapat memberikan respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan 2-14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasi adalah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2 secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari (Ashariati, 2008).
GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan pada pasien MDS yang mengalami pansitopenia untuk merangsang diferensiasi hematopoiesis progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50-1600 mcg/m2 (0,1-0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan selama 7-14 hari) (Ashariati, 2008). Penggunaan piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat sebagai pengobatan MDS. Piridoksin 200mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat kecil. Danazol 600mg/hari/oral selama 3 bulan dapat meningkatkan trombosit terutama pada MDS tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1,0 mg/kgBB/hari/oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3 minggu pengobatan (Ashariati, 2008).
Prognosis
Walaupun stratifikasi prognosis berguna untuk kategori diagnostik pasien dengan MDS, pembatasan prognosis dengan klasifikasi FAB telah terbukti dengan "quite variable clinical within in FAB subgroup". Gambaran morfologi termasuk dalam variabel. IPSS untuk MDS ada dari pertimbangan workshop analisis risiko MDS internasional, dibandingkan dengan system yang baru, resiko berdasarkan IPSS telah dibuat untuk meningkatkan penggolongan prognosis dalam kasus MDS. Dalam analisis ini, sitogenik, morfologi dan data klinis digabung dan dikumpulkan dari kelompok yang besar dari kasus MDS yang termasuk dalam studi prognosis yang baru dilaporkan. FAB morfologi digunakan untuk menentukan diagnosis MDS, selain itu gambaran darah tepi 4-6 minggu digunakan untuk menyingkirkan etiologi cytopeni yang lain seperti : obat-obatan, penyakit-penyakit yang lain, atau awal evolusi AML (Greenberg, et al, 2004).
Variabel independen untuk menentukan harapan hidup dan evolusi AML berdasarkan persentase blast sumsum tulang, jumlah sitopeni dan subgroup sitogenetik (baik, sedang, jelek ). Pasien dengan kelainan kromosom t8, 21 atau inv 16 digolongkan dalam AML. Usia juga merupakan variabel yang lain untuk menentukan harapan hidup, tapi bukan variabel untuk menentukan evolusi AML. Prosentase sel blast sumsum tulang dibagi menjadi 4 kategori yaitu : 1. kurang dari 5% , 2. 5%-10% , 3. 11%-20%, 4.21%-30% (Greenberg, et al, 2004).
Sitopeni ditetapkan oleh IPSS berdasarkan kadar hemoglobin <10 g/dl dan hitung neutofil absolute (ANC) dibawah 1800/ml dan trombosit dibawah 100.000/ml. Pasien dengan kariotipe sumsum tulang yang normal del(5q), del (20q) dany Y mempunyai prognosis yang baik (70%), sedangkan pasien yang mempunyai kelainan yang komplek (3 atau lebih kelainan kromosom), atau kelainan kromosom 7 mempunyai prognosis yang jelek (16%). Pasien dengan kategori yang "komplek", sebagian besar mempunyai kelainan kromosom 5/7 dengan adanya kelainan yang lain (Greenberg, et al, 2004).Untuk megembangkan IPSS untuk MDS, skor resiko relatif untuk tiap variable yang signifikan (prosentase sel blast, subgroup sitogenetik, dan jumlah sitopeni) di"generated". Dengan menggabungkan skor risiko untuk varibel utama, pasien dibagi menjadi 4 kelompok resiko dalam segi harapan hidup dan evolusi AML yaitu : rendah, sedang 1, sedang 2, dan tinggi (Greenberg, et al, 2004).
Tabel International Prognostic Scoring System (IPPS) untuk MDS
Variabel Prognostik
Skor
0
0,5
1
1,5
2
Blast sumsum tulang
<5%
5-10%
11-20%
21-30%
Kariotipe
Bagus
Sedang
Jelek
Sitopenia (lineages affected)
0 atau 1
2 atau 3
Kelompok risiko
Skor
Rendah
0
Sedang I
0,5-1,0
Sedang II
1,5-2,0
Tinggi
2,5
(Young, 2008).
LEUKEMIA AKUT
DEFINISI
Leukemia akut adalah keganasan pada jaringan pembentuk sel darah yang ditandai proliferasi sel leukosit yang abnormal dan tidak terkendali pada sumsum tulang, akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini terjadi penghambatan pembentukan sel darah lainnya untuk berkembang secara normal.
Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%). Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum tulang. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih. Leukemia akut adalah keganasan pada jaringan pembentuk sel darah yang ditandai proliferasi sel leukosit yang abnormal dan tidak terkendali pada sumsum tulang, akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini terjadi penghambatan pembentukan sel darah lainnya untuk berkembang secara normal. (gambar hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x)
Gambar. Leukemia Limfositik Akut
Leukemia yang terjadi akibat proliferasi ganas dari limfoblast, Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
Menurut French-American-British (FAB) leukemia limfositik akut dibedakan berdasarkan:
Berdasarkan morfolginya:
L1 = LLA dengan sel limfoblast kecil-kecil dan homgen.
L2 = LLA dengan sel lebih besar dan heterogen, inti regular, kromatin bergumpal, nucleoli prominen dan sitoplasma agak banyak.
L3 = LLA dengan karateristi mirip limfoma burkitt yakni sitoplasma basofil dengan banyak vakuola.
Berdasarkan imunologinya (antigen permukaan sel):
Imunofenotipe ( Common ALL, Null ALL, T-ALL, B-ALL)
Leukemia myeloid akut (LMA)
Leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit.
Leukemia Mielositik Akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa (85%) dari pada anak-anak (15%). Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut. Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6 bulan. (gambar hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
Gambar. Leukemia Mielositik Akut
Menurut French-American-British (FAB) leukemia myeloid akut dibagi menjadi 7 jenis yakni:
Ml : Lekemia mieloblastik tanpa pematangan
M2 : Lekemia mieloblastik dengan berbagai derajat pematangan
M3 : Lekemia progranulositik
M4 : Lekemia mielo-monoblastik
M5 : Lekemia monoblastik
M6 : Eritrolekemia
M7 : Lekemia megakariositik
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi
Penyebab dari penyakit Leukemia Limfoblastik Akut belum diketahui secara pasti. Dalam perkembangannya banyak faktor yang mampu menjadi presdiposisi penyakit ini, antara lain adalah adanya infeksi dari virus. Faktor genetik dan kelainan herediter juga mampu untuk meningkatkan angka resiko penyakit ini. Sedangkan dari faktor lingkungan dan kebiasaan, adanya radiasi ion, dan elektromagnetik, serta kebiasaan merokok mampu meningkatkan resiko terkena penyakit Leukemia Limfoblastik Akut (Chen, 2012).
Menurut Sudoyono Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah:
Radiasi ionik, orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA.
Paparan benzene dengan kadar tinggi dapat menyebabkan aplasi sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia.
Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia di atas 60 tahun
Obat kemoterapi
Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko yang menningkat untuk menjadi LLA
Dewasa ini, mutasi spontan telah menjadi hipotesis sebagai penyebab utama ALL pada anak. Karena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid, memiliki kecepatan proliferasi yang tinggi dan kecenderungan yang tinggi untuk pengaturan kembali gen selama masa kanak-kanak awal, mereka lebih rentan untuk mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau lebih mungkin dua, mutasi sel, yang mengalami tekanan proliferasi dapat terjadi pada frekuensi yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada anak-anak (Rudolph, 2006)
Gambaran Histopatologi
(Kliegman, Behrman. Et al. 2000. Nelson Textbook Of Pediatrics. W.B Saunders Company: Philadelphia)
Etiologi penyakit Leukemia Mieloblastik Akut sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, pada beberapa faktor yang menjadi faktor presdiposisi penyakit ini pada populasi tertentu. Misal pada benzene yang digunakan di negara berkembang, diketahui sebagai zat leukomogenik untuk leukemia Mieloblastik. Efek leukomogenik juga mengenai sebagian besar orang yang selamat pada serangan bom atom di Hirosima dan Nagasaki akibat adanya paparan ion radiasi. Faktor lain yang menjadi resdiposisi penyakit ini adalah trisomi kromosom 21 pada pasien sindrom down yang mempunyai risiko 10-18 kali untuk terkena leukemia. Kemoterapi pada pasien tumor padat juga dapat menjadi faktor presdiposisi penyakit ini (Sudoyo, 2009).
Patofisisologi
Leukemia Limfoblastik Akut / ALL ( Acute lhymphoblastic leukemia )
Sel-sel ganas Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) adalah sel precursor limfoid (misalnya limfoblas) yang terperangkap pada saat stadium awal perkembangannya. Penangkapan ini disebabkan oleh ekspresi gen yang abnormal, yang sering diakibatkan oleh translokasi kromosom. Limfoblas tersebut menggantikan elemen sumsum tulang yang normal, yang berdampak pada penurunan produksi sel darah yang normal. Akibatnya, terjadi anemia, neutropenia, dan trombositopenia dengan berbagai derajat keparahan. Limfoblas juga mengalami proliferasi di organ selain sumsum tulang, yaitu terutama di hepar, lien, dan limfonodi (Karen, 2012).
Leukemia mieloid akut / AML ( Acute myeloid leukemia )
Dimulai dari penangkapan sel-sel sumsum tulang pada saat stadium awal perkembangan. Mekanisme penangkapan ini masih dalam penelitian, namun dalam banyak kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen abnormal melalui translokasi kromosom dan abnormalitas genetic lainnya. Hal ini berakibat pada dua proses penyakit. Pertama, produksi sel darah normal berkurang, yang berakibat pada anemia, trombositopenia, dan neutropenia dengan berbagai derajat atau tingkat keparahan. Kedua, proliferasi yang cepat pada sel-sel ini, dan seiring dengan berkurangnya kemampuan mereka untuk melakukan apoptosis, berakibat pada terjadinya akumulasi atau penumpukkan sel-sel ini di sumsum tulang, darah, lien, dan hepar (Karen, 2012).
GEJALA KLINIS
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia, neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme. Namun pada Leukemia akut gejala klinisnya sebagai berikut:
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi, hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur.
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya mengalami gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia.
TEMUAN LABORATORIUM
Temuan laboratorium ini dapat digunakan untuk menegakka diagnosis leukemia. Diagnosis leukemia akut harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum tulang. Pemeriksaan darah tepi yang normal tidak dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis, terutama pada aleukemic leukemia.
Berikut beberapa Temuan Laboratorium pada Leukimia Akut
Anemia hampir selalu ada. Jumlah sel darah putih biasanya meningkat kadang – kadang sampai lebih dari 100.000 /μL, tetapi pada sekitar 50% pasien jumlah tersebut kurang daripada 10.000 /μL.
Pada identifikasi bentuk blast di daerah perifer dan sumsung tulang, tempat sel ini membentuk 60% sampai 100% dari seluruh sel.
Hitung trombosit biasanya menurun menjadi kurang dari 100.000 /μL.
Dapat terjadi pansitopenia dengan beberapa sel blast dalam darah (leukemia aleukemik), tetapi sumsum tulang tetap dibanjiri oleh sel blas, menyingkirkan anemia aplastik.
PROGNOSIS LEUKEMIA AKUT
Leukimia Limfoblastik Akut / ALL ( Acute lhymphoblastic leukaemia )
Kebanyakan pasien ALL dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak dapat sembuh dengan menjalani kemoterapi saja dan hanya 30 % yang mampu bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah pasien dengan usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien ALL dewasa lain tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan trasplantasi sumsum tulang. Overall disease-free survival rate untuk ALL dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60tahun mempunyai disease-free survival rate 10% setelah remisi komplit. (Fianza,2009)
Prognosis jelek bila:
Usia <3 tahun dan > 7 tahun
Pria
WBC lebih dari 20.000 – 30.000
Tipe L-2 dan L-3
Hepatosplenomegali, Limadenopati, masa mediatinum
CNS leukemia
Kromosom Philadelpia positip
Berikut penggambaran prognosis penderita LLA dalam tabel:
Leukima mieloid akut / AML ( Acute myeloid leukaemia )
Prognosis dari AML menurut Kurnianda (2009) 50-85% penderita AML memberikan respons yang baik terhadap pengobatan. 20-40% penderita tidak lagi menunjukkan tanda-tanda leukemia dalam waktu 5 tahun setelah pengobatan; angka ini meningkat menjadi 40-50% pada penderita yang menjalani pencangkokan sumsum tulang.
Prognosis jelek bila:
Sekunder akibat sitotoksik, obat, radiasi, dan benzen
Setelah MDS
Usia >60 tahun
Philadelphia Kromosom (+)
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada:
Penderita yang berusia diatas 50 tahun
Penderita yang menjalani kemoterapi dan terapi penyinaran untuk penyakit lain (Kurnianda, 2009).
LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIS
DEFINISI
Leukemia Limfositik Kronis (LLK) adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T). Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur panjang. LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki. (gambar a dan b. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
a b
Gambar. Leukemia Limfositik Kronik
Beberapa jenis leukemia limfositik kronik dikelompokkan berdasarkan jenis limfosit yang terkena. Leukemia sel B (leukemia limfosit B) merupakan jenis yang paling sering ditemukan, hampir mencapai 3/4 kasus LLK. Leukemia sel T (leukemia limfosit T) lebih jarang ditemukan. Jenis yang lainnya adalah: Sindroma Sczary (fase leukemik dari mikosis fungoides) dan leukemia sel berambut adalah jenis leukemia yang jarang, yang menghasilkan sejumlah besar sel darah putih yang memiliki tonjolan khas (dapat dilihat dibawah mikroskop).
Sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak. Leukemia Limfositik Kronis adalah kanker darah yang ditandai dengan kanker dari limfosit yang menyebabkan tingginya kadar limfosit abnormal di dalam darah akibat produksi yang berlebihan oleh sumsum tulang. Terdapat tiga jenis limfosit: Limfosit B, limfosit T dan sel Natural Killer. Ketiga tipe ini merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi dan melindungi tubuh. Ketika terdapat terlalu banyak ketiga macam sel ini di dalam darah, mereka melebihi sel-sel darah lain dan dapat terakumulasi di dalam sumsum tulang, limpa dan kelenjar getah bening. Limfosit abnormal ini, dikenal juga sebagai sel leukemik, tidak dapat melawan infeksi dengan baik. CLL adalah tipe leukemia nomor dua tersering dan terjadi lebih sering pada orang-orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Kondisi ini memburuk secara perlahan setelah beberapa tahun dan penderita CLL dapat tidak bergejala pada awalnya. Seiring dengan perburukan kanker, gejala, seperti rasa lemah, demam, keringat di malam hari, kehilangan berat badan yang tidak diharapkan dan pelebaran kelenjar getah bening, terjadi secara bertahap setela melalui kurun waktu tertentu. Pada penderita CLL juga dapat terjadi infeksi berulang, terutama pada saluran pernafasan, akibatnya melemahnya sistem kekebalan tubuh. Penanganan CLL tergantung dari stadium kanker. Pada stadium dini tidak memerlukan penanganan apapun kecuali pengawasan secara baik oleh dokter. Seiring dengan perburukan kanker ke stadium pertengahan, penanganan, seperti kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang, dapat membantu mengendalikan kondisi ini.
Klasifikasi France-America-British (FAB), membagi tiga tipe morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal didalam darah, yaitu:
LLK tipikal terdiri dari 90% limfosit kecil
LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%)
LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari 10%
Di bawah ini merupakan gambaran laboratorium dari sel leukemia limfositik kronik
Peripheral smear from a patient with chronic lymphocytic leukemia, small lymphocytic variety
Limfositosis
Penentuan imunotipe limfosit menunjukkan bahwa limfosit tersebut adalah sel B (CD 19 pemukaan positif), yang mengekspresikan immunoglobulin permukaan (IgM atau IgD) secara lemah. Immunoglobulin ini terbukti bersifat monoklonal .
Anemia normositik normokrom terdapat pada stadium lanjut akibat infiltrasi sumsum tulang atau hipersplenisme.
Trombositopenia terjadi pada banyak pasien.
Pada aspirasi sumsum tulang menunjukkan adanya penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit.
Kadar immunoglobulin serum menurun dan makin jelas dengan memburuknya penyakit. Terkadang ditemukan paraprotein.
Empat kelainan kromosom yang paling lazim dijumpai adalah delesi 13q14, trisomi 12, delesi pada 11q23, dan kelainan structural 17p yang melibatkan gen p53.
Gen VH sel B mengalami hipermutasi somatic di pusat-pusat germinal.
Peripheral smear from a patient with chronic lymphocytic leukemia, large lymphocytic variety. Smudge cells are also observed; smudge cells are the artifacts produced by the lymphocytes damaged during the slide preparation
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyebab LLK belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen, dan retrovirus (RNA tumour virus).
Penelitian awal menunjukkan keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada 5-15% pasien, sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat. Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang menkode protein kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B murni yang normal. Saat ini pada pasien LLK didapatkan delesi homozigot dan region genom telomerik gen retinoblastoma tipe-1 d13s25. Hal ini menunjukkan bahwa adanya gen suppressor tumor baru terlibat dalam LLK.
Etiologi
Genetic
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih banyak dari pada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan kelainan congenital misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellis Van Creveld, penyakit seliak, sindrom Bloom, anemia Fanconi, sindrom Wiskott Aldrich, sindrom Kleinefelter dan sindrom trisomi D.
Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali. Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada kembar identik.
Zat radioaktif
Sinar radioaktif merupakan factor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia. Angka kejadian LMA dan LGK jelas sekali meningkat setelah sinar radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar dibandingkan yang tidak bekerja di bagian tersebut. Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup setelah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LGK sampai 20 kali lebih banyak. Leukemia timbul terbanyak 5 sampai 7 tahun setelah ledakan tersebut terjadi. Begitu juga dengan penderita ankylosing spondylitis yang diobati dengan sinar lebih dari 2000 rads mempunyai insidens 14 kali lebih banyak.
Zat kimia
Zat-za tkimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon) diduga dapat meningkatkan risiko terkenaleukemia. Sebagian besar obat-obatan dapat menjadi penyebab leukemia (misalnya Benzene), pada orang dewasa menjadi leukemia non limfoblastik akut.
Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagai salah satu penyebab leukemia yaitu enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.
Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop electron dan kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfomasel T yang umum pada propinsi tertentu di Jepang dan sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro Karibia dan AmerikaSerikat.
Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok produksi sel darah putih yang normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan kearah keganasan.
Perubahan tersebut sering kali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetic sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bias menyusup kedalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk kedalam tubuh manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut ditolaknya seperti pada benda asing lain. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hokum genetika sehingga adanya peranan factor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan.
Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebutkan kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.
Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi bone marrow failure, infiltrasi sel leukemia kedalam organ, sehingga menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.
GEJALA KLINIS
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita LLK yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan, penurunan kemampuan latihan atau olahraga, demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Berikut beberapa gejala klinis yang lain, yaitu:
Anemia
Disebabkan karena produksi sel darah merah kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah. Ditandai dengan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
Suhu tubuh tinggi dan mudah infeksi
Disebabkan karena adanya penurunan leukosit, secara otomatis akan menurunkan daya tahan tubuh karena leukosit yang berfungsi untuk mempertahankan daya tahan tubuh tidak dapat bekerja secara optimal.
Perdarahan
Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan dikaji dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan bawah kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan dapat terjadi secara spontan.
Penurunan kesadaran
Disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel abnormal ke otak dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti kejang sampai koma.
Penurunan nafsu makan
Kelemahan dan kelelahan fisik
Pada stadium awal, leukemia sel T bisa menyusup ke dalam kulit dan menyebabkan ruam kulit yang tidak biasa, seperti yang terlihat pada sindroma Sczary. Lama-lama penderita akan tampak pucat dan mudah memar. Infeksi bakteri, virus dan jamur biasanya baru akan terjadi pada stadium lanjut.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada leukemia limfositik kronis yaitu sebagai berikut:
Penyakit ini mengenai orang berusia tua dan jarang mengenai orang berusia kurang dari 40 tahun. Rasio pria terhadap wanita adalah 2:1.
Banyak kasus (biasanya stadium 0) didiagnosis pada saat dilakukan pemeriksaan darah rutin. Dengan meningkatnya pemeriksaan medis rutin, proporsinya meningkat.
Pembesaran simetris kelenjar getah bening permukaan adalah tanda klinis yang paling sering dijumpai. Kelenjar biasanya berbatas tegas dan tidak nyeri tekan. Salah satu gambaran yang dijumpai dapat berupa pembesaran tonsil.
Gambaran anemia mungkin ada.
Splenomegali clan hepatomegali biasa ditemukan pada stadium lebih lanjut.
Infeksi bakteri dan jamur sering ditemukan pada stadium lanjut karena terjadi defisiensi imun dan netropenia (akibat infiltrasi sumsum tulang, kemoterapi, atau hipersplenisme). Juga terdapat kaitan dengan herpes zoster.
Penderita trombositopenia mungkin memperlihatkan adanya memar atau purpura.
TEMUAN LABORATORIUM
Limfositosis. Jumlah limfosit absolut adalah >5 x 109/l dan dapat mencapai hingga 300 x 109/l atau lebih. Antara 70 dan 99% leukosit dalam sediaan apus darah tampak sebagai limfosit kecil. Smudge cell atau smear cell juga ada.
Penentuan imunofenotipe limfosit menunjukkan bahwa limfosit tersebut adalah sel B (CD19 permukaan positif), yang mengekspresikan immunoglobulin permukaan (IgM atau IgD) secara lemah. Imunoglobulin ini terbukti bersifat monoklonal karena ekspresi satu bentuk rantai ringan (hanya κ atau λ). Secara karakteristik, sel-sel tersebut juga positif CD5 dan CD23 permukaan tetapi CD79b dan FMC7 negatif.
Anemia normositik normokrom terdapat pada stadium lanjut akibat infiltrasi sumsum atau hipersplenisme. Hemolisis autoimun juga dapat terjadi.
Trombositopenia terjadi pada banyak pasien.
Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan adanya penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit. Limfosit mencakup 25-95% dari semua sel. Biopsi trephin menunjukkan adanya keterlibatan limfosit nodular, difus, atau interstisial.
Ditemukan kadar imunoglobulin serum yang menurun dan ini makin jelas dengan memburuknya penyakit. Terkadang, ditemukan paraprotein.
Empat kelainan kromosom yang paling lazim dijumpai adalah delesi 13q14, trisomi 12, delesi pada 11q23, dan kelainan struktural 17p yang melibatkan gen p53. Kelainan-kelainan ini mem-punyai makna prognostik.
Gen VH sel B mengalami hipermutasi somatik di pusat-pusat germinal. Pada CLL, gen VH mengalami hipermutasi pada sekitar 50% kasus, mengesankan berasal dari sel-sel pusat folikel postgerminal; pada 50% sisanya gen VH tidak mengalami mutasi, mengesankan berasal dari sel-sel pusat pregerminal. Kelompok yang terakhir ini mempunyai prognosis yang lebih buruk.
PROGNOSIS LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIS
Sebagian besar Leukemia Limfositik Kronis berkembang secara perlahan. Prognosisnya ditentukan oleh stadium penyakit. Penentuan stadium berdasarkan kepada beberapa faktor, seperti:
Jumlah limfosit di dalam darah dan sumsum tulang
Ukuran hati dan limpa
Ada atau tidak adanya anemia
Jumlah trombosit.
Penderita leukemia sel B seringkali bertahan sampai 10-20 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan biasanya pada stadium awal tidak memerlukan pengobatan. Penderita yang sangat anemis dan memiliki trombosit kurang dari 100.000/mikroL darah, akan meninggal dalam beberapa tahun. Biasanya kematian terjadi karena sumsum tulang tidak bisa lagi menghasilkan sel normal dalam jumlah yang cukup untuk mengangkut oksigen, melawan infeksi dan mencegah perdarahan. Prognosis leukemia sel T adalah lebih buruk.
MULTIPLE MIEOLOMA
Definisi
Multiple myeloma adalah tipe dari kanker. Kanker adalah kelompok dari banyak penyakit-penyakit yang berhubungan. Myeloma adalah kanker yang mulai pada sel-sel plasma, tipe dari sel darah putih. Ia adalah tipe yang paling umum dari kanker sel plasma.
Sel-sel darah normal
Kebanyakan sel-sel darah berkembang dari sel-sel dalam sumsum tulang yang disebut sel-sel iduk (stem cells). Sumsum tulang adalah materi yang lunak di pusat dari kebanyakan tulang-tulang.
Stem cells menjadi dewasa kedalam tipe-tipe yang berbede dari sel-sel darah. Setiap tipe mempunyai pekejaan khusus:
Sel-sel darah putih membantu melawan infeksi. Ada beberapa tipe-tipe dari sel-sel darah putih.
Sel-sel darah merah mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan di seluruh tubuh.
Platelet-platelet membantu membentuk gumpalan-gumpalan darah yang mengontrol perdarahan.
Sel-sel plasma adalah sel-sel darah putih yang membuat antibodi-antibodi. Antibodi-antibodi adalah bagian dari sistim imun. Mereka bekerja dengan bagian-bagian lain dari sisitm imun untuk membantu melindungi tubuh dari kuman-kuman dan unsur-unsur berbahaya lainnya. Setiap tipe dari sel plasma membuat antobodi yang berbeda.
Sel-sel Myeloma
Myeloma, seperti kanker-kanker lain, mulai pada sel-sel. Pada kanker, sel-sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukan mereka, dan sel-sel yang tua atau rusak tidak mati ketika mereka harus mati. Sel-sel ekstra ini dapat membentuk massa dari jaringan yang disebut pertumbuhan atau tumor.
Myeloma mulai ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel yang abnormal membelah untuk membuat salinan-salinan dari dirinya sendiri. Sel-sel yang baru membelah berulang-ulang, membuat semakin banyak sel-sel abnormal. Sel-sel plasma abnormal ini disebut sel-sel myeloma.
Pada waktunya, sel-sel myeloma berkumpul dalam sumsum tulang. Mereka mungkin merusak bagian yang padat dari tulang. Ketika sel-sel myeloma berkumpul pada beberapa tulang-tulang anda, penyakitnya disebut "multiple myeloma". Penyakit ini mungkin juga membahayakan jaringan-jaringan dan organ-organ lain, seperti ginjal-ginjal.
Sel-sel myeloma membuat antibodi-antibodi yang disebut protein-protein M dan protein-protein lain. Protein-protein ini dapat berkumpul dalam darah, urin, dan organ-organ.
Etiologi
Idiopatik.(belum diketahui penyebabnya/ belum jelas).
Lingkungan.: zat kimia, seperti herbisida dan insektisida.
Virus.
Radiasi : Radiasi sinar X maupun sinar Ultra violet.
Genetika. Multiple myeloma telah dilaporkan pada anggota keluarga dari dua atau lebih keluarga inti dan pada kembar identik.7 Beragam perubahan kromosom telah ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan predominan kelainan pada 11q.8
Patofisiologi
Tumor ini berasal dan lokasi awalnya pada sumsum tulang, pada stadium lebih lanjut akan melibatkan Nodus Limfa, hati, Spleen, serta ginjal.
Sel-sel plasma yang belum matang mengalami proliferasi dan menyebar secara luas didalam rongga sumsum keseluruh skleton. Tulang yang sering terkena adalah tempat sumsum hemopoiletik aktif antara lain spina, tengkorak, rusuk, sternum, pelvis dan ujung bagian atas dari humerus. Gejala yang timbul berupa perasaan sakit seperti rematik disekitar punggung, tungkai bawah dan kadang-kadang menimbulkan patah tulang patogenik.
Gejala yang timbul berasal dari sel-sel tumor plasma yang berproliferasi dari sumsum tulang (mieleum) kedalam jaringan tulang keras yang menimbulkan korasi pada tulang.
Diagnosis
Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi anatomi.
Gejala klinis
Gejala yang umum pada multiple myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang, dan infeksi yang berulang. Anemia terjadi pada sekitar 70% pasien yang terdiagnosis. Nyeri pada tulang merupakan gambaran paling sering pada multiple myeloma dengan persentasi sekitar 70%. Lokasi yang paling sering terjadi pada tulang vertebra lumbalis. Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma. Kompresi tulang belakang terjadi pada 10- 20% pasien. Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi tulang belakang berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Kadang ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus dapat ditemukan pada 30% pasien.
Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi pneumococcus, shingles dan Haemophilus11. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :14Pucat yang disebabkan oleh anemia. Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni. Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau carpal tunnel syndrome.Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma.
Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus.Jumlah leukosit umumnya normal . Thrombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang ; proporsi plasma sel jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemia ditemukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.
Gambaran radiologi
Foto polos x-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi multiple, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla, mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.6,8,11,15,16
Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan :Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan myeloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.11
Fraktur kompresi pada badan vertebra , tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis.Lesi-lesi litik "punch out" yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan lunak.Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.
Gambar 1. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik yang khas pada myeloma.
Gambar 2. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal 4 akibat plasmacytoma.
Gambar 3. Gambaran radiologi pada os femur dekstra. Tampak gambaran khas suatu lesi myeloma tunggal berupa gambaran lusen berbatas tegas pada regio interocanter. Lesi-lesi lebih kecil tampak pada trocanter mayor.
CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma. Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.
Gambar 4. CT Scan axial pada plenoid yang menggambarkan lesi berbatas tegas , gambaran khas myeloma pada CT scan. Korteks tampak intak.
MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.8,9,15. Sayangnya, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.
Gambar 5. Foto potongan koronal T1 weighted-MRI pada suatu lesi myeloma di humerus. Gambaran ini menunjukkan lesi dengan intensitas rendah. Batas korteks luar terkikis tetapi intak ; namun, lesi telah melewati korteks bagian dalam.
Radiologi Nuklir9
Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi.
Angiografi9
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer dari peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk mendiagnosis multiple myeloma.
Patologi Anatomi
Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik.
Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada pasien yang memiliki gambaran klinis multiple myeloma dan penyakit jaringan konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi kronis telah dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma atau plasmasitoma dengan salah satu dari kriteria berikut :
- Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)
- Protein monoclonal urine
- Lesi litik pada tulang
PROGNOSIS
Secara umum, dengan pengobatan, sekitar setengah dari orang-orang dengan myeloma masih hidup dengan baik 3-4 tahun setelah diagnosis. Namun, ini adalah gambaran umum. Dalam beberapa kasus penyakit merespon sangat baik terhadap pengobatan dan kelangsungan hidup lebih lama. Secara khusus, transplantasi sel induk berhasil memberikan peluang bagus untuk remisi lengkap. Dalam beberapa kasus penyakit tidak menanggapi pengobatan dengan baik, atau komplikasi yang mengancam jiwa berkembang seperti gagal ginjal.
LIMFOMA I (LIMFOMA HODGKIN)
Definisi
Limfoma Hodgkin adalah kanker jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limfa. Penyakit ini adalah salah satu kanker yang tersering dijumpai pada orang dewasa muda, terutama pria muda. Terdapat empat klasifikasi penyakit Hodgkin, berdasarkan sel yang terlibat dan apakah bentuk neoplasmanya nodular atau tidak. Dari penentuan stadium penyakit Hodgkin sangat perlu dilakukan, karena dapat memberi petunjuk mengenai pengobatan dan sangat mempengaruhi hasil akhir. Stadium-stadium awal penyakit Hodgkin, stadium I dan II, biasanya dapat disembuhkan. Angka kesembuhan untuk stadium III dan IV cenderung masing-masing adalah 75% dan 60%.
Penyakit Hodgkin adalah suatu penyakit klonal, yang berasal dari suatu sel yang abnormal. Populasi sel abnormal tidak diketahui tetapi tampaknya berasal dari sel B atau T, atau suatu monosit. Sel-sel neoplastik pada penyakit Hodgkin disebut sel Reed-Steinberg. Sel-sel ini terselip diantara jaringan limfoid normal yang terdapat di organ-organ limfoid. (Elizabeth j. Corwin:135)
Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) adalah suatu jenis limfoma yang dibedakan berdasarkan jenis sel kanker tertentu yang disebut sel Reed-Steinberg, yang memiliki tampilan yang khas dibawah mikroskop. Sel Reed-Steinberg memiliki limfositosis besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel. Sel-sel tersebut dapat dilihat pada biopsi yang diambil dari jaringan kelenjar getah bening, yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop. (Medicastore, 2009)
Penyakit Hodgkin (Hodgkin Disease) atau Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reed Steinberg dengan latar belakang sel radang pleomorf (limfosit, eosinofil, sel plasma dan histiosit). (Hematologi Klinik Ringkas, 2007).
Penyakit Hodgkin adalah penyakit keganasan tanpa diketahui penyebabnya yang berasal dari sistem limfatika dan terutama melibatkan sistem limfe. (Keperawatan Medikal Bedah 2, 2002 : hlm.957)
Etiologi dan Patofisiologi
Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih (limfosit) melalui pembuluh getah bening ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang. Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam nodus limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel limfoma) dapat bersatu menjadi kelenjar getah bening tunggal/dapat menyebar di seluruh tubuh, bahkan hampir di semua organ. Hal ini dapat kita sebut sebagai keganasan dari sistem limfotik atau Limfoma.
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma.
Limfoma dibedakan berdasar jenis sel kanker tertentu, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non hodgkin. Penyebab terjadinya limfoma hodgkin tidak diketahui secara pasti, tapi terdapat beberapa faktor risiko atau penyebaran terjadinya penyakit ini antara lain:
Orang yang terinfeksi HIV AIDS,
Orang yang terinfeksi virus epstein-barr (HTLV),
Usia 15-40 th, >55 th,
Faktor keturunan
Jenis kelamin laki-laki
Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida, bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.
Inflamasi kronis karena penyakit autoimun
Faktor genetic
Penyakit ini ditandai dengan adanya sel reed-steinberg yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Sel reed-steinberg ini memiliki limfosit besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel, yang bersifat patologis. Hal inilah yang menjadi penanda utama limfoma hodgkin.
Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan
Gambaran Klinis
Pasien dengan limfoma Hodgkin dapat hadir dengan gejala berikut:
Malam berkeringat
Unexplained berat badan
Kelenjar getah bening: gejala yang paling umum dari Hodgkin adalah pembesaran menyakitkan dari satu atau lebih kelenjar getah bening. Node juga mungkin merasa lemas dan bengkak saat diperiksa. Node pada leher dan bahu (leher rahim dan supraklavikula) yang paling sering terlibat (80-90% dari waktu, rata-rata). Kelenjar getah bening dada sering terpengaruh, dan ini mungkin melihat pada sebuah radiograf dada.
Splenomegali: pembesaran limpa terjadi pada sekitar 30% orang dengan limfoma Hodgkin. Pembesaran, bagaimanapun, jarang besar dan ukuran limpa dapat berfluktuasi selama pengobatan.
Hepatomegali: pembesaran hati, karena keterlibatan hati, hadir dalam sekitar 5% kasus.
Hepatosplenomegali: pembesaran baik hati dan limpa disebabkan oleh penyakit yang sama
Nyeri:
Nyeri konsumsi alkohol berikut: klasik, node yang terlibat adalah menyakitkan setelah konsumsi alkohol, meskipun fenomena ini sangat jarang.
Kembali sakit: nyeri punggung nonspesifik (rasa nyeri yang tidak dapat lokal atau penyebabnya ditentukan oleh pemeriksaan atau teknik pemindaian) telah dilaporkan dalam beberapa kasus limfoma Hodgkin. Punggung bawah yang paling sering terkena.
Tambalan berwarna merah pada kulit, perdarahan yang mudah dan petechiae karena jumlah platelet rendah (sebagai akibat infiltrasi sumsum tulang, meningkatkan menjebak dalam limpa dll - yaitu penurunan produksi, penghapusan meningkat)
Sistemik gejala: sekitar sepertiga pasien dengan penyakit Hodgkin juga dapat hadir dengan gejala sistemik, termasuk demam, berkeringat di malam hari; berat badan yang tidak dapat dijelaskan setidaknya 10% dari total massa tubuh pasien dalam enam bulan atau kurang, kulit gatal (pruritus) karena meningkatnya kadar eosinofil dalam aliran darah, atau kelelahan (kelesuan). Gejala-gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan yang dikenal sebagai gejala B, dengan demikian, adanya demam, penurunan berat badan, dan berkeringat di malam menunjukkan bahwa panggung pasien, misalnya, 2B 2A bukan.
Siklus demam: pasien mungkin juga hadir dengan demam tinggi kelas siklis dikenal sebagai demam Pel-Ebstein, atau lebih sederhana "demam PE". Namun, ada perdebatan mengenai apakah atau tidak demam PE benar-benar ada.
Temuan Laboraturium
Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6 bulan,gejala-gejala B,anamnesisi keluarga,mononucleosis infeksiosa sebelumnya
Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit atau infeksi
Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan hitung trombosit.
Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat, laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase.
Pemeriksaan keelenjar-kelenjar lokalisasi dan besarnya,pembesaran hepar limfa,pemeriksaan THT pada kelenjar leher
Pemeriksaan laboraturium yang meliputi LED,Hb,Leukosit,trombosit Faal hati dan ginjal,LSDH
Pemeriksaan rontgen yang meliputi X-thorax , CT-scan toraks,abdomen, Limfangiogram
Pemeriksaan sum-sum tulang yang meliputi : Biopsi tulang Yamshidi, Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV.
Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus (pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan dinding dada.
Dipertibangkan jika indikasi scan ada yang meliputi: Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum,biopsi heper
CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis
Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran
Diagnosis Banding meliputi:
Citomegalovirus
Mononukleosis infeksiosa
Ca Paru
Artritis rheumatoid
Sarkoidosis
Serum Sickness
Sifilis
Lupus Eritematosus Sistemik
Toxoplasmosis
Tuberculosis
Melalui PCR sel-Tunggal diisolasi dari microdisection, diteliti bahwa sel H/RS mempunyai gen immunoglobulin, rearrangement dengan mutasi somatic menunjukkan clone yang berasal dari germinal center. Proses diferensiasi sel-B pada sel H/RS mengalami downregulation. Keterangan yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah mutasi immunoglobulin, metilasi dari sel-B diferensiasi gen dan adanya ekspresi dari repressor sel-B.
Sel Lymphocytic dan Histiocytic (L&H) dari Lymphocytic predominant Hodgkin disease sama dengan gen rearengament clone immunoglobulin yang berkembang dari follicular germinal center. Sedangkan pada Hodgkin Lymphoma yang klasik , program diferensiasi sel-B sangat aktif. Gambaran yang sama pada kedua tipe adalah adanya sel neoplasma dengan jumlah yang sangat sedikit , kadang-kadang tidak lebih dari 1-3% dari massa tumor, dengan latar belakang sel inflammatory reaktif. Pada Real/WHO classification ketika Hodgkin Lymphoma masih termasuk Limfoma sel-B. Kemudian diputuskan klasifikasi terpisah.
Nodular sclerosing HL Tipe Hodgkin yang paling sering di US. Biasanya di jumpai pada anterior mediastinum dan leher wanita muda. Ditandai dengan kapsul yang fibrotic dengan sel Reed Sternberg variant lacunar.
Biasanya dijumpai hanya di leher dewasa muda. Berhubungan dengan L dan H (lymphocytic dan histiocytic) atau "popcorn cell" variant RS cell.
Membedakan HL dari Immunoblast reactions dan Unusual variants dari NHL dengan memakai CD15 dan CD30 antigens pada golgi dan sel membran dari R-S cells sangat membantu.
Terdapat beberapa varian dari large B cell lymphoma :
Centroblastic variant,
Dominan terdiri dari centroblast, dengan karakteristik inti bulat dengan anak inti yang berukuran kecil dan multipel. Dapat juga dijumpai sel-sel cleaved atau terkadang dijumpai inti yang multilobulated
Imunoblastic variant,
Populasi sel dominan terdiri dari sel-sel-Blast yang besar, terkadang sangat pleomorfik dan terdapat sel-sel multinukleated. Khromatin kasar, jelas dengan anak inti dibagian tengah namun terkadang dapat juga dijumpai anak inti yang multipel, mitosis sering dijumpai. Sitoplasma banyak dan berwarna biru dengan pewarnaan MGG. Terdapat pula perinuclear pale zone.
T-cell rich B-cell lymphoma.
Dominan terdiri dari limfosit berukuran kecil dan matur ( >90%) dengan epitheloid histiocyte yang bervariasi dan sebaran sel-sel limfoid berukuran besar.
Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:
Serum albumin < 4 g/dL
Hemoglobin < 10.5 g/dL
Jenis kelamin laki-laki
Stadium IV
Usia 45 tahun ke atas
Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3
Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih
Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya hanya 59%.Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain:
usia (>60 tahun)
Ann Arbor stage (III-IV)
hemoglobin (<12 g/dL)
jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
serum LDH (meningkat)
Yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).
Dengan penanganan yang optimal, sekitar 95% klien limfoma Hodgkin stadium I atau II dapat bertahan hidup hingga 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ini sudah meluas, maka angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 60-70%.
Penderita yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi penyinaran atau kemoterapi atau yang membaik tapi kemudian kambuh kembali dalam 6-9 bulan, memiliki harapan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan penderita yang mengalami kekambuhan dalam 1 tahun atau lebih setelah terapi awal. Kemoterapi lebih lanjut yang dikombinasikan dengan terapi penyinaran dosis tinggi dan pencangkokan sumsum tulang atau sel stem darah, bisa menolong penderita tersebut.
LIMFOMA II (LIMFOMA NON HODGKIN)
Definisi
Limfoma malignant merupakan terminologi yang digunakan untuk tumor-tumor pada sistem limfoid, khususnya untuk limfosit dan sel-sel prekursor, baik sel-B, sel-T atau sel Null. Biasanya melibatkan kelenjar limfe tapi dapat juga mengenai jaringan limfoid ekstranodal seperti tonsil, traktus gastrointestinal dan limpa.Limfoma adalah jenis kanker darah yang berawal dari limfosit dari dalam sistem limfatik. Terdapat 2 tipe Limfoma yaitu, Limfoma Non-Hodgkin dan Limfoma Hodgkin.
Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Limfoma Non-Hodgkin (LNH) merupakan suatu keganasan pada sel limfosit T maupun sel limfosit B yang sudah matur di dalam kelenjar getah bening atau sistem getah bening secara keseluruhan. Bisa juga keganasan tersebut dialami oleh sel NK (Natural Killer). Akibatnya adalah terjadi proliferasi berlebihan dari sel limfosit tersebut sehingga membuat kelenjar limfe membesar atau limfadenopati.
Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung.
Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya LNH, antara lain :
Imunodefisiensi
25 % kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah : severe combined immunodeficiency, hypogamaglobulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
Agen Infeksius
EBV DNA ditemukan pada 95 % limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lymphoproliferative dissorders (PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas.
Paparan Lingkungan dan Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
Diet dan Paparan Lainnya
Resiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan unlraviolet.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses tranformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua, antara lain :
ukurannya makin besar
kromatin inti menjadi lebih "halus
nukleolinya terlihat
protein permukaan sel mengalami perubahan (reseptor).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk dalam aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
Beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin seperti infeksi virus-virus seperti virus Epstein-Berg, Sitomegalovirus, HIV, HHV-6, defisiensi imun, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi awalnya menyerang sel limfosit yang ada di kelenjar getah bening sehingga sel-sel limfosit tersebut membelah secara abnormal atau terlalu cepat dan membentuk tumor/benjolan. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Proliferasi abnormal tumor tersebut dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Apabila sel tersebut menyerang Kelenjar limfe maka akan terjadi Limphadenophaty
Dampak dari proliferasi sel darah putih yang tidak terkendali, sel darah merah akan terdesak, jumlah sel eritrosit menurun dibawah normal yang disebut anemia. Selain itu populasi limfoblast yang sangat tinggi juga akan menekan jumlah sel trombosit dibawah normal yang disebut trombositopenia. Bila kedua keadaan terjadi bersamaan, hal itu akan disebut bisitopenia yang menjadi salah satu tanda kanker darah.
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat (misalnya leher atau selangkangan)atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan menelan.
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan menyebabkan: gangguan pernafasan, berkurangnya nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut, pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukimia. Limfoma non hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak – anak, gejala awalnya adalah masuknya sel – sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak, dan tulang belekang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan anemia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya delirium, penurunan kesadaran).
Secara kasat mata penderita tampak pucat, badan seringkali hangat dan merasa lemah tidak berdaya, selera makan hilang, berat badan menurun disertai pembengkakan seluruh kelenjar getah bening : leher, ketiak, lipat paha, dll.
Gambaran Klinis
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan.
Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang biasa menyerang organ-organ tersebut.
Dengan menerapkan kriteria yang digunakan oleh Rosenberg dan Kaplan untuk menentukan rantai-rantai kelenjar getah bening yang saling berhubungan. Jones menemukan bahwa pada 81% di antara 97 penderita LNH jenis folikular dan 90% di antara 93 penderita LNH jenis difus, penyebaran penyakit juga terjadi dengan cara merambat dari satu tempat ke tempat yang berdekatan. Walaupun demikian hubungan antara kelenjar getah bening daerah leher kiri dan daerah para aorta pada LNH jenis folikular tidak sejelas seperti apa yang terlihat pada LNH jenis difus.
Rosenberg melaporkan bahwa pada semua penderita LNH difus dengan jangkitan pada sumsum tulang, didapati jangkitan pada kelenjar getah bening para aorta yang terjadi sebelumnya atau bersamaan dengan terjadinya jangkitan pada sumsum tulang. Di antara semua subjenis LNH menurut klasifikasi Rappaport subjenis histiotik difus menunjukkan angka yang terendah dari jangkitan penyakit pada hati
Ada 2 klasifikasi besar penyakit ini yaitu:
Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin agresif kadangkala dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh cepat atau level tinggi.karena sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin agresif ini tumbuh dengan cepat. Meskipun nama 'agresif' kedengarannya sangat menakutkan, limfoma ini sering memberikan respon sangat baik terhadap pengobatan. Meskipun pasien yang penyakitnya tidak berespon baik terhadap standar pengobatan lini pertama, sering berhasil baik dengan kemoterapi dan transplantasi sel induk. Pada kenyataannya, limfoma non Hodgkin agresif lebih mungkin mengalami kesembuhan total daripada limfoma non Hodgkin indolen.
Limfoma non Hodgkin indolen
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh hanya sangat lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak terditeksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Karena limfoma non Hodgkin indolen tumbuh lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.
Temuan Laboratorium
Anamnesis dan pemeriksaan fisik : ada tumor sistem limfoid, febris keringat malam, penurunan berat badan, limfadenopati dann hepatosplenomegali
Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar, faal ginjal, LDH.
Pemeriksaan Ideal : Limfografi, IVP, Arteriografi. Foto organ yang diserang, bone – scan, CT – scan, biopsi sunsum tulang, biopsi hepar, USG, endoskopi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan histopatologi. Untuk LH memakai krioteria lukes dan butler (4 jenis). Untuk LNH memakai kriteria internasional working formulation (IWF) menjadi derajat keganasan rendah, sedang dan tinggi
Penentuan tingkat/stadium penyakit (staging)
Stadium ditentukan menurut kriteria Ann Arbor (I, II, III, IV)
Stadium I jangkitan LNH pada satu daerah kelenjar getah bening; Stadium II jangkitan mengenai dua daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama; stadium III jangkitan pada daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma; dan stadium IV jangkitan difusa atau diseminata (menyeluruh) pada satu atau lebih organ eksemfalitik
Ada 2 macam stage : Clinical stage dan pathological stage
Pemeriksaan penunjang lainnya yang juga diperlukan dalam pendekatan diagnostik yaitu pemeriksaan hematologi, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, radiologi, pemeriksaan di bidang THT, pemeriksaan cairan tubuh, sampai pada pemeriksaan biologi molekuler dan imunologik jika fasilitas pemeriksaan tersedia.
Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok : Limfoma Non Hodgkin Indolen dan Limfoma Non Hodgkin Agresif. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe Limfoma Non Hodgkin Agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif.
Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologi "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif. International Prognostic Index (IPI) dugunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Anthracycline, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtype LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu :
Usia
Serum
Status performance
Stadium anatomis
Jumlah lokasi ekstra nodal yang terkena
Tiap factor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga tiap variabel dijumlahkan untuk mendapatkan index prognostik. Skor yang didapat antara 0 – 5. Pada pasien usia < 60, indeks aa-IPI (age adjusted IPI) yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi factor :
Stadium anatomis
Serum
Status "performance"
PEMERIKSAAN ERITROSIT UNTUK IDENTIFIKASI ANEMIA
Eritrosit mengangkut hemoglobin, sedangkan hemoglobin mengangkut oksigen. Banyaknya oksigen yang diterima oleh jaringan bergantung kepada kadar dan fungsi hemoglobin. Tiga variable utama yang berkaitan dengan hal ini adalah kadar hemoglobin dalam darah, bagian dari darah yang mengandung eritrosit dinyatakan sebagai hematokrit atau persen eritrosit dalam seluruh volume darah, dan jumlah absolut eritrosit dalam darah. Ketiga variabel ini digunakan untuk mengukur indeks eritrosit.
Pengukuran indeks eritrosit dapat menentukan derajat anemia. Anemia secara umum berarti setiap keadaan kapasitas angkut oksigen penderita lebih rendah dari normal untuk umur dan jenis kelamin yang sesuai. Indeks eritrosit rata-rata adalah perhitungan yang menyatakan besarnya volume eritrosit dan kosentrasi hemoglobin dalam setiap sel. Indeks ini terdiri atas : volume atau ukuran eritrosit yang dinyatakan dengan mean corpuscular volume (MCV) atau volume eritrosit rata-rata (VER), berat yang dinyatakan dengan mean corpuscular hemoglobin (MCH) atau hemoglobin eritrosit rata-rata (HER), konsentrasi yang dinyatakan dengan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER), dan perbedaan ukuran yang dinyatakan dengan RBC distribution width (RDW) atau luas distribusi eritrosit (LDE). Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia.
Indeks eritrosit dapat ditetapkan dengan dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik) menggunakan hematology analyzer. Untuk dapat menghitung indeks eritrosit secara manual diperlukan data kadar hemoglobin, hematokrit/PCV dan hitung eritrosit
HEMOGLOBIN
Kadar Hemoglobin Dalam Darah
Hemoglobin (Hb) terdapat dalam eritrosit dan yang memberi warna pada darah, karena adanya ion Fe (ferro) didalamnya. Unsur Fe ++ ini yang mudah mengikat O2 dan tetap menjadi Fe (ferro) dan tidak berubah menjadi Fe +++ (ferri). Maka proses ini tidak disebut oksidasi yaitu perubahan suatu unsur kimia menjadi unsur dengan valensi positif yang lebih tinggi, tetapi disebut oksigenasi.
Bilamana terjadi oksigenasi pada Hb dimana Fe ++ berubah menjadi Fe +++ maka Hb kehilangan dayanya untuk mengikat O2 seperti halnya pada methemoglobin
Hb + O2 HbO2
Hemoglobin + oksigen Oksihemoglobin
Persamaan keseimbangan ini sangat tergantung dari tekanan partikel O2
Di paru-paru tekanan parsial O2 tinggi, sehingga terbentuk HbO2 . Di dalam jaringan HbO2 akan terurai lagi menjadi Hb dan O2 , karena tekanan parsial O2 rendah. Dengan adanya Hb di dalam eritrosit, maka daya pengangkutan O2 dari darah bertambah ± 70 kali, karena O2 dapat diangkut dalam bentuk ikatan kimia, yang biasanya terdapat dalam bentuk larutan dalam plasma.
CO (karbonmonoksida) mempunyai daya pengikat dengan Hb jauh lebih besar dari O2 (210 X daya pengikat O2). Maka pada keracunan dengan CO pengangkutan O2 ke jaringan sangat berkurang, karena Hb yang diikat oleh CO sekarang tidak dapat dipergunakan lagi.
Kadar Hb dalam darah sangat tergantung dari pada jenis kelamin dan umur orang. Maka sukar sekali untuk menentukan suatu standar. Pada seorang lelaki dewasa terdapat 15 – 16 gram / 100 ml darah, pada wanita 13 – 14,14,5 gram / 100 ml, pada pemuda remaja sampai 18 gram / 100 ml, sedangkan pada bayi yang baru lahir sampai 20 gram / 100 ml, karena alat pernafasannya belum sempurna.
Sahli telah menentukan sebagai standar 16 gram / 100 ml darah pada seorang lelaki dewasa dan yang lainnya / kelamin diperinci dalam % dari standar ini. Pembagian ini masih dilakukan dalam alat pengukur hemoglobin yang lama dan beberapa alat dari pabrik yang konservatif. Pembagian ini masih menimbulkan persaingan sebab % yang kurang dari 100 % belum tentu menunjukan kekurangan ; misalnya 80 % sahli bagi seorang wanita masih tergolong normal, sedangkan untuk seorang lelaki ini sudah menunjukan kekurangan. Maka sekarang dipakai pembagian yang langsung menyatakan banyaknya gram dalam 100 ml darah { gram %}. Untuk menghindari salah pengertian pada beberapa alat dipakai kedua pembagian, ialah gram % dan % sahli.
Meskipun besarnya eritrosit tidak sama, dan belum tentu jenuh dengan Hb, tetapi penentuan kadar Hb secara tidak langsung juga memberi gambaran tentang jumlah eritrosit dalam darah. Kekurangan Hb (dan juga kekurangan jumlah eritrosit) tersebut mendasari diagnosis anemia.
Penentuan kadar Hb dalam darah dapat dilakukan dengan berbagai cara :
Dengan banyaknya ml O2 yang dapat diikat oleh Hb (1,34 O2 dapat diikat oleh 1 gram Hb)
Dengan banyak CO yang dapat diikat oleh Hb (1,34 ml CO dapat diikat oleh 1 gram Hb)
Secara kolorimetris, yaitu membandingkan intensitas warna Hb atau derivatnya dengan suatu standar yang telah diperinci.
Untuk menbuat standar dan pekerjaan yang teliti selalu dipakai cara dengan gas (1 dan 2). Di dalam klinik cukup secara kolorimetris.
Pengukuran Hemoglobin dengan Metode Sahli
Alat dan bahan yang digunakan :
Jarum francke/jarum suntik
Satu set hemositometer sahli
Pipet
Kapas alkohol
Akohol
Larutan Hcl 0,1 N
Aquadest
Cara mengambil darah
Darah yang diperlukan untuk percobaan ini hanya sedikit dan diambil dari darah yang menetes dari ujung jari setelah ditusuk. Untuk menghemat waktu dan banyaknya tusukan, maka pengambilan darah dilakukan sekaligus untuk ketiga percobaan dari satu tusukan.
Alat-alat yang diperlukan ialah jarum francke dan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol untuk desinfektan dan membersihkan. Sebelum ditusuk peredaran darah diperlancar dengan mengayun-ngayun tangan kita dan memijat jari yang akan ditusuk. Untuk membatasi penjalaran infeksi yang mungkin timbul dari tusukan biasanya dipakai jari kiri (jari manis) untuk mengambil darah.
Setelah ditusuk, darah harus dapat keluar dengan spontan dan jari tidak boleh dipijat-pijat lagi karena nanti cairan jaringan akan ikut keluar yang akan mengencerkan darah.
Cara kerja metode Sahli
Tabung diisi dahulu dengan Hcl 0,1 N sampai tanda/angka 2 ( ½ -1 cc), kemudian darah diisap dengan pipet sampai tanda 20 dan sebelum menjedal segera dihembuskan ke dalam tabung. Untuk membersihkan sisa-sisa darah di dalam pipet, maka Hcl di dalam tabung diisap dan dihembuskan lagi 3 kali.
Ditunggu dahulu 1 – 2 menit. Berturut-turut akan terjadi hemolisis eritrosit, dan Hb yang keluar oleh HCl (asam lemah) akan dipecah menjadi hem dan globin, kemudian hem dengan HCl akan membentuk hematin – Hcl. Hematin – Hcl merupakan suatu senyawa yang lebih stabil di udara dari pada Hb dan berwarna coklat.
Dengan pipet penetes hematin – Hcl diencerkan sampai warnanya sesuai dengan warna standar. Metoda ini banyak dipakai di dalam klinik dan rumah-rumah sakit.
HEMATOKRIT
Hematokrit atau volume eritrosit yang dimampatkan (packed cell volume, PCV) adalah persentase volume eritrosit dalam darah yang dimampatkan dengan cara diputar pada kecepatan tertentu dan dalam waktu tertentu. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui konsentrasi eritrosit dalam darah. Berdasarkan reprodusibilitas dan sederhananya, pemeriksaan ini paling dapat dipercaya di antara pemeriksaan yang lainnya, yaitu kadar hemoglobin dan hitung eritrosit. Dapat dipergunakan sebagai tes penyaring sederhana terhadap anemia.
Pengukuran Nilai Hematokrit
Nilai hematokrit atau PCV dapat ditetapkan secara automatik menggunakan hematology analyzer atau secara manual. Metode pengukuran hematokrit secara manual dikenal ada 2, yaitu :
Metode makrohematokrit
Pada metode makro, sebanyak 1 ml sampel darah (darah EDTA atau heparin) dimasukkan dalam tabung Wintrobe yang berukuran panjang 110 mm dengan diameter 2.5-3.0 mm dan berskala 0-10 mm. Tabung kemudian disentrifus selama 30 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Tinggi kolom eritrosit adalah nilai hematokrit yang dinyatakan dalam %.
Metode mikrohematokrit
Pada metode mikro, sampel darah (darah kapiler, darah EDTA, darah heparin atau darah amonium-kalium-oksalat) dimasukkan dalam tabung kapiler yang mempunyai ukuran panjang 75 mm dengan diameter 1 mm. Tabung kapiler yang digunakan ada 2 macam, yaitu yang berisi heparin (bertanda merah) untuk sampel darah kapiler (langsung), dan yang tanpa antikoagulan (bertanda biru) untuk darah EDTA/heparin/amonium-kalium-oksalat.
Prosedur pemeriksaannya adalah : sampel darah dimasukkan ke dalam tabung kapiler sampai 2/3 volume tabung. Salah satu ujung tabung ditutup dengan dempul (clay) lalu disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 15.000 rpm. Tinggi kolom eritrosit diukur dengan alat pembaca hematokrit, nilainya dinyatakan dalam %. Metode mikrohematokrit lebih banyak digunakan karena selain waktunya cukup singkat, sampel darah yang dibutuhkan juga sedikit dan dapat dipergunakan untuk sampel tanpa antikoagulan yang dapat diperoleh secara langsung.
Nilai Rujukan dan Interpretasi Klinis
Dewasa pria : 40 - 52 %
Dewasa wanita : 35 - 47 %
Bayi baru lahir : 44 - 72 %
Anak usia 1 - 3 tahun : 35 - 43 %
Anak usia 4 - 5 tahun : 31 - 43 %
Anak usia 6-10 tahun : 33 - 45 %
Interpretasi klinis penurunan kadar yaitu kehilangan darah akut, anemia (aplastik, hemolitik, defisiensi asam folat, pernisiosa, sideroblastik, sel sabit), leukemia (limfositik, mielositik, monositik), penyakit Hodgkin, limfosarkoma, malignansi organ, mieloma multipel, sirosis hati, malnutrisi protein, defisiensi vitamin (tiamin, vitamin C), fistula lambung atau duodenum, ulkus peptikum, gagal, ginjal kronis, kehamilan, SLE. Pengaruh obat : antineoplastik, antibiotik (kloramfenikol, penisilin), obat radioaktif.
Interpretasi peningkatan kadar yaitu dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polisitemia vera, eritrositosis, diabetes asidosis, emfisema pulmonar tahap akhir, iskemia serebrum sementara, eklampsia, pembedahan, luka bakar.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Jika sampel darah diambil pada daerah lengan yang terpasang jalur intra-vena, nilai hematokrit cenderung rendah karena terjadi hemodilusi.
Pemasangan tali turniket yang terlalu lama berpotensi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga nilai hematokrit bisa meningkat.
Pengambilan darah kapiler : tusukan kurang dalam sehingga volume yang diperoleh sedikit dan darah harus diperas-peras keluar, kulit yang ditusuk masih basah oleh alkohol sehingga darah terencerkan, terjadi bekuan dalam tetes darah karena lambat dalam bekerja.
HITUNG ERITROSIT
Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan yang isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis. Larutan Pengencer yang biasa digunakan adalah :
Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid 0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein, rouleaux, aglutinasi.
Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml, aquadest 200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.
Natrium klorid 0.85 %
Pengukuran Jumlah Eritrosit
Bahan pemeriksaan yang dipergunakan adalah darah kapiler, darah EDTA, darah heparin, atau darah amonium-kalium oksalat. Darah diencerkan 100 x atau 200 x menggunakan pipet eritrosit atau tabung, kocok selama 3 menit supaya homogen. Larutan sampel kemudian dimasukkan/diteteskan ke dalam bilik hitung. Sel-sel eritrosit dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran sedang (40x).
Cara menghitung sel eritrosit adalah :
Letakkan bilik hitung di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah (10x). Cari kotak penghitungan yang berada di tengah. Kotak tersebut terbagi dalam 25 kotak kecil dan setiap kotak kecil terbagi menjadi menjadi 16 kotak kecil-kecil. Sel eritrosit dihitung dalam 5 kotak kecil, yaitu 4 kotak di sudut dan 1 kotak lagi di tengah. Jumlah eritrosit dihitung dengan rumus :
Hitung eritrosit
= (N / V ) x Pengenceran
= (N / [5 x 0.2 x 0.2 x 0.1 ] ) x 200
= ( N / 0.02 ) x 200
= N x 10.000
Keterangan :
N = jumlah sel eritrosit yang dihitung,
V = volume bilik hitung
Nilai Rujukan dan Interpretasi Klinis
Dewasa pria : 4.50 - 6.50 (x10^6/mmk)
Dewasa wanita : 3.80 - 4.80 (x10^6/mmk)
Bayi baru lahir : 4.30 - 6.30 (x10^6/mmk)
Anak usia 1-3 tahun : 3.60 - 5.20 (x10^6/mmkl)
Anak usia 4-5 tahun : 3.70 - 5.70 (x10^6/mmk)
Anak usia 6-10 tahun : 3.80 - 5.80 (x10^6/mmk)
Interpretasi penurunan nilai yaitu kehilangan darah (perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma multipel, cairan per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan. Peningkatan nilai yaitu polisitemia vera, hemokonsentrasi/dehidrasi, dataran tinggi, penyakit kardiovaskuler
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan hasil laboratorium :
Pengambilan sampel darah di daerah lengan yang terpasang jalur intra-vena menyebabkan hitung eritrosit rendah akibat hemodilusi
Pengenceran tidak tepat
Larutan pengencer tercemar darah atau lainnya
Alat yang dipergunakan seperti pipet, bilik hitung dan kaca penutupnya kotor dan basah
Penghitungan mikroskopik menggunakan perbesaran lemah (10x)
INDEKS ERITOSIT
Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV)
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik (ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
Dewasa : 80 - 100 fL (baca femtoliter)
Bayi baru lahir : 98 - 122 fL
Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL
Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL
Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL
Masalah klinis :
Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB), malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel sabit, hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.
Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa; penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat (defisiensi vit B12, antikonvulsan, antimetabolik)
Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular hemoglobin (MCH)
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10 kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit..
MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
Dewasa : 26 - 34 pg (baca pikogram)
Bayi baru lahir : 33 - 41 pg
Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg
Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg
MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia mikrositik-hipokromik.
Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC).
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari hemoglobin dan hematokrit..
MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %
Nilai rujukan : Dewasa : 32 - 36 %, bayi baru lahir : 31 - 35 %, anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %, dan anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %
PEMERIKSAAN HITUNG PRESENTASE RETIKULOSIT
Retikulosit adalah sel eritrosit yang belum matang, dan kadarnya dalam eritrosit manusia sekitar 1%.
Retikulosit berkembang dan matang di sumsum tulang merah dan disirkulasikan dalam pembuluh darah sebelum matang menjadi eritrosit. Seperti eritrosit, retikulosit tidak memiliki inti sel (nukelus).
Sel ini disebut retikulost karena memiliki jaringan seprti retikuler pada ribosom RNA. Retikuler ini hanya dapat diamati di bawah mikroskop dengan pewarnaan tertentu seperti perwarnaa supravital dengan metilen biru baru.
Retikulosit tampak lebih kebiruan daripada eritrosit ketika diamati dengan pewarnaan Romanowsky biasa. Ukurannya menyerupai eritrosit yakni sekitar 6 hingga 9 mikron.
Hitung Retikulosit
Retikulosit dalam pewarnaan khusus supravital
Hitung retikulosit adalah menghitung persentase dari jumlah sel darah merah yang bersikulasi di aliran darah yang masih dalam tingkat retikulosit.
Pengukuran yang akurtat menggunakan penghitung otomat dengan penanda sampel sel laser, dikombinasikan dengan larutan floresens yang akan menandai RNA dan DNA. Untuk membedakan retikulosit, diamati dari respon larutan terhadap cahaya laser.
Jangkauan normal dari retikulosit di darah bergantung pada keadaan klinis, biasanya ditetapkan sekitar 0,5 sampai 1,5%. Namun, bila seseorang mengidap anemia, persentase retikulositnya lebih tinggi dari normal hika kemampuan sumsum tulang untuk membuat sel darah baru masih baik. Penghitungan indeks produksi retikulosit merupakan langkah penting dalam menentukan apakah hitung retikulosit tersebut tepat atau tidak dalam keadaan tertentu.
Jika terdapat keadaan meningkatnya produksi sel darah merah karena adanya kegagalan pematangan sel darah merah yang kronis, seperti pada anemia hemolitik, pasien dapat memiliki persentase jumlah retikulosit yang tinggi. Retikulosit yang sangat banyak dalam darah disebut keadaan retikulositosis.
Jumlah retikulosit yang menurun drastis dapat disebabkan oleh kemoterapi, anemia aplastik, anemia pernisiosa, malignansi sumsum tulang, maslah pada produksi eritropoetin atau penyebab lainnya. Retikulosit yang sedikit dalam darah disebut keadaan retikulopenia
PEMERIKSAAN LABORATORIUM TENTANG KEGANASAN HEMATOLOGI
Keganasan hematologi adalah proses neoplastik yang mengenai darah dan jaringan pembentuk darah beserta seluruh komponennya.
Muncul dari single sel , sumsum tulang, thymus atau sistem limfoid perifer.
Sel mutasi genetic transformasi maligna sel maligna.
membelah (mitosis) tidak terkendali (excessive) clone sel malignant. Dan atau resisten terhadap Apoptosis
Mutasi lanjut clone sel maligna subclone sel maligna
Dasar Klasifikasi :
Berdasarkan karakter penyakit, keganasan hematologi dan limfoid dapat dibagi menjadi 3 karakter utama :
Aggressiveness: Acute versus Chronic
Lineage: Lymphoid versus Myeloid
Predominant Site of Involvement: Blood and Bone Marrow versus Tissue
Masukkan diagnosis dalam kombinasi diatas , maka akan didapat kerangka dasar klasifikasi keganasan hematologi didapat kerangka dasar klasifikasi keganasan hematologi.
Keganasan Hematologi
Leukemia : - Akut: Mieloblastik
Limfoblastik
- Kronik: Mielositik
Limfositik
Plasma Cell Myeloma = Multiple Myeloma
Limfoma Non Hodgkin
Hodgkin (Hodgkin's Disease)
Lain lain: Polisitemia vera
Essential Thrombocytosis
Anemia pada keganasan (Cancer Related Anemia)
Anemia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penyakit keganasan. Mekanismenya sangat kompleks, yaitu anemia dapat terjadi sebagai dampak langsung dari penyakit keganasan atau akibat dari pengobatannya. Angka kejadian anemia pada pasien dengan penyakit keganasan berkisar antara 35% hingga 95% bergantung pada jenis penyakit keganasan dan regimen kemoterapi yang dipakai. Radioterapi dankemoterapi seperti cisplatin, etoposid, dan kombinasi dari siklofosfamid, metotreksatdan 5-fluorourasil terbukti dapat menyebabkan anemia derajat sedang sampai berat,oleh sebab itu anemia pada pasien keganasan sangat membutuhkan penanganan yang baik karena dapat mempengaruhi proses pengobatan, dan kualitas hidup.
Anemia merupakan suatu gejala yangditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu. 1,2 Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia(lebih dari50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiriatau disebabkan oleh terapinya. 3-6 Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan dengan pada orangdewasa. Mayoritas penyakit keganasan padaorang dewasa adalah karsinoma sedangkan padaanak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan tumor otak.
Lekemia Mieloblastik Akut
Hitung darah lengkap: penurunan eritrosit dan platelet
Total leukosit dapat /n/ , tapi % dari sel normal . Setengah penderita jumlah lekosit < 5000/µl
Bone marrow analysis: kelebihan sel tdk matang (>30 %)
Anemia
Pendarahan karena trombositopenia, terutama bila < 10.000/mm3
Pendarahan GI, paru, intrakranial
Infeksi karena kurangnya granulosit normal dan matang. Neutrofil < 100/mm3 resiko infeksi sistemik
Mieloblas 3-95 %.
Auer rods 1-10 %.
Sstl mengandung sel-sel blas lekemia.
Asam urat dan LDH .
Sel leukemia terdiri dari mieloblas dengan maturasi minimum. Pada hapusan darah tampak sel yang sangat muda dengan inti besar berkromatin halus. Nukleulusnya tampak jelas satu atau lebih. Sitoplasmanya hanya sedikit saja, warnanya biru tanpa granula. Jika dilakukan pewarnaan peroksidase, ternyata ada granula yang bereaksi positif dengan pewarnaan peroksidase (Px +), yang tampak sebagai bintik-bintik berwarna coklat sampai hitam dalam sitoplasmanya yang berwarna biru.
Lekemia Limfoid Akut
Pemeriksaan laboratorium:
Hitung darah lengkap
Apusan darah tepi
Pemeriksaan koagulasi
Kadar fibrinogen
Kimia darah
Golongan darah ABO dan Rh
Penentuan HLA
Darah tepi dan sumsum tulang
Blast dalam darah tepi > 5%
Blast dalam sumsum tulang > 30%
Dari kesua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis klinis leukemia akut. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia akut yang dihadapi.
Hitung darah lengkap:
Leukosit n/ / , hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% kasus
Anemia normokromik-normositer (berat dan timbul cepat) dan trombositopenia (1/3 pasien mempunyai hitung leukosit < 25.000/mm3)
Apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, eritroblast, atau megakariosit) yang melebihi 5% dari sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly, yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau agranular.
Aspirasi dan biopsi tulang
Hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak
Lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa
Tampak monoton oleh sel blast
Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
Sitogenetik
Biologi molekuler
Lekemia Mielositik Kronik
Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel myeloid tampak di apus darah. Dapat disertai peninggian eritrosit dan trombosit (trombosit dapat normal atau bahkan menurun). Ditandai dengan anemia normokromik normositik.
Score leukosit alkali fosfatase(LAP) rendah , disertai peningkatan kadar B12 serum. Asam urat meningkat.
CML sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan darah, yang mana menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk sel myeloid yang matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi indikasi untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang sering dilakukan sebagai evaluasi dari CML.2 Pada pemeriksaan sum-sum tulang CML ditandai dengan hipercellular di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama hiperplasia dari sel granulocytic.
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu.
Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML, atau kasus terhadap kecurigaan CML dimana kromosom philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak pasien yang faktanya memiliki kromosom abnormal yang kompleks yang menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom 22, atau mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR sehubungan dengan karyotyping rutin yang normal.
Lekemia Limfositik Kronik
Lymphocyte meningkat > 5000/ml,umumnya : 10-30 ribu/ml, jenis sel B, positive pada CD19,CD22 dan CD 5.
Terdapat monoklonal IgM pada permukaan sel (pada pemeriksaan hanya terdapat rantai kappa atau rantai lamda saja)
Serum immunoglobulin menurun
Anemia dan trombositopenia, karena depressi sumsum tulang atau karena adanya auto antibodi atau sumsum tulang atau karena adanya auto antibodi atau gabungan keduanya
Multiple Myeloma
Multiple myeloma adalah tumor ganas yang disebabkan oleh sel plasma, sering menyerang jaringan tubuh lainnya. Dalam kebanyakan kasus, walaupun tidak melakukan biopsi jarum tetapi tetap dapat didiagnosis secara tepat, yaitu terutama mengandalkan elektroforesis protein serum dan tes laboratorium biokimia. Dalam beberapa kasus, ketika hanya ada lesi tunggal, terhadap tulang yang tidak terpengaruh dilakukan penusukan pada sumsum tulang maka dapat dengan pasti dipastikan bila terjadi penyebaran.
Pasien multiple myeloma pada stadium awal dengan gejala tanpa nyeri tulang, anemia, atau perubahan pada darah dan urine maka dokter perlu melakukan pemeriksaan tersebut untuk menentukan apakah seseorang menderita multiple myeloma:
Pemeriksaan serum darah: jumlah serum globulin abnormal yaitu meningkat tetapi albumin normal atau berkurang, dan protein Bence-Jones di urine setengah positif.
Anemia: pemeriksaan sel positif, pigmen, sel darah merah, trombosit normal atau rendah.
Pemeriksaan sumsum tulang: terutama terjadi proliferasi abnormal pada sel plasma.
Pemeriksaan tulang X-ray : terlihat daerah menyerupai tulang cacat atau osteoporosis dan patah tulang patologis.
Urine: pada pemeriksaan urine rutin sering ditemukan memiliki proteinuria, hematuria mikroskopik, cylidruria, kadang-kadang dapat terlihat tumor sel plasma.
Pemeriksaan fungsi ginjal: rusaknya fungsi ginjal yang terutama terjadi pada stadium tengah dan akhir. Kadar kreatinin dalam darah, kadar nitrogen urea darah, tes membersihkan endogenus kreatinin, tes eksresis phenolsulfonphthalein, tes renography radionuklida dan tes lainnya untuk menentukan apakah ada kerusakan ginjal dan tingkat kerusakannya.
Selain itu, pendiagnosaan multiple myeloma dapat ditentukan dengan penyakit berikut :
1. Plasmasitosis
2. Macroglobulinemia primer dan penyakit rantai berat.
3. hiperlipidemia imunoglobulin monoklonal jinak.
4. Osteoporosis usia tua.
5. Kanker tulang yang telah menyebar (metastasis).
Limfoma Non Hodgkin
Limfoma Non-Hodgkin (disebut juga NHL) adalah kanker yang berawal di sistem getah bening (limfatik). Sistem limfatik merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Pemeriksaan diagnostic.
Pemeriksaan laboratorium lengkap, meliputi hal berikut.
Darah tepi lengkap termasuk retikulosit dab LED
Gula darah
Fungsi hati termasuk y-GT, albumin, dan LDH
Fungsi ginjal
Immunoglobulin.
Pemeriksaan biopsy kelenjar atau massa tumor untuk mengetahui subtype LNH, bila perlu sitologi jarum halus (FN HB) ditempat lain yang dicurigai.
Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
Ct-Scan atau USG abdomen, untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar getah bening pada aorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor abdomen, dan metastase kebagian intraabdominal.
Pencitraan toraks (PA dan lateral) untuk mengetahui pembesaran kelenjar media stinum, bila perlu CT scan toraks.
Pemeriksaan THT untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer terlibat dilanjutkan dengan tindakan gastroskopi
Jika diperlukan pemeriksaan bone scan atau bone survey untuk melihat keterlibatan tulang.
Jika diperlukan biopsy hati (terbimbing)
Catat performance status
Stadium berdasarkan aun amor
Untuk ekstra nodal stadium berdasarkan criteria yang ada.
Tabel tes diagnostic dan interpretasi pada klien LNH
Jenis pemeriksaan
Interpretasi hasil
Hitung darah lengkap:
a) Sel darah putih (SDP)
Variasi normal, menurun atau meningkat secara nyata.
b) Diferensial SDP
Neutofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfofenia sebagai gejala lanjut.
c) Sel darah merah dan Hb/Ht
Menurun
Eritrosit
d) Morfologi SDM
Normositik, hipokromik ringan sampai sedang
e) Kerapuhan eritrosit osmotik
Meningkat
Laju endap darah (LED)
Meningkat selam tahap aktif (inflamasi, malignansi)
Trombosit
Menurun (sumsum tulang digantikan oleh limfomi atau hipersplenisme)
Test comb
Reaksi positif (anemia hemolitik), reaksi negative pada tahap lanjut.
Alkalin fosfatase
Mungkin meningkat bila tulang terkena
Kalsium serum
Meningkat pada eksaserbasi
BUN
Mungkin meningkat bila ginjal terlibat
Globulkin
Hipogammaglobulinemia umum dapat terjadi pada penyakit lanjut
Foto toraks, vertebra, ekstremitas proksimal serta nyeru tekan pada area pelvis
Dilakukan untuk area yang terkena dan membantu penetapan stadium penyakit
CT scan dada, abdominal, tulang
Dilakukan bila terjadi adenopati hilus dan memastikan keterlibatan nodus limfe mediatinum, abdominal, dan keterlibatan tulang.
USG abdominal
Mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limferetroperitoneal
Biopsy sumsum tulang
Menentukan keterlibatan sumsum tulang, invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
Biopsy nodus limfe
Memastikan klasifikasi diagnosis limfoma
Limfoma Hodgkin
Penyakit Hodgkin (Hodgkin Disease) atau Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reed Steinberg dengan latar belakang sel radang pleomorf (limfosit, eosinofil, sel plasma dan histiosit). (Hematologi Klinik Ringkas, 2007).
Pemeriksaan :
SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
SDM dan Hb/Ht : menurun.
Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi klien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat
Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
Besi serum dan TIBC : menurun.
Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein dan keterlibatan hati dan ginjal.
BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ.
Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.
Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural
Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam pentahapan.
Tomografi paru secara keseluruhan atau scan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum.
CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik.
Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.
Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.
Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma.
Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Steinberg.
Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.
Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.
Secara garis besar, pemeriksaan laboratorium :
Hematologi rutin - digunakan untuk mengetahui kadar Hb, eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda kelainan pada hati dan atau ginjal.
Hapusan darah tepi - digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk, ukuran, maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
Kimia klinik – permeriksaan urine, gula darah, SGOT/SGPT, protein, dan lain-lain.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang - digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum tulang, apakah terdapat kelainan atau tidak. Dokter akan mengangkat sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa sampel di bawah mikroskop, untuk mencari sel-sel kanker. Cara ini disebut biopsi, yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah ada sel-sel leukemia di dalam sumsum tulang.
Processus Spinosus – dengan menggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter perlahan-lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar 30 menit dan dilakukan dengan anestesi lokal. Pasien harus berbaring selama beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel-sel leukemia atau tanda-tanda penyakit lainnya.
Analisis sitogenetik - laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah tepi, sumsum tulang, atau kelenjar getah bening. Digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang dibagi menjadi 2: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
Karyotipik - digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH (Flurosescent In Situ Hybridization).
Immunophenotyping - mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi yang spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel.
Sitokimia - merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik daripada hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang.
Biologi molekuler - mengetahui kelainan genetik, dan digunakan untuk menggantikan analisis sitogenetik rutin apabila gagal.
Sinar X pada dada – sinar X ini dapat menguak tanda-tanda penyakit di dada.
HEMOGRAM (HITUNG JENIS LEUKOSIT)
Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Leukosit adalah sel heterogen yang memiliki fungsi yang sangat beragam. Walaupun demikian sel sel ini berasal dari suatu sel bakal (stem cell) yang berdifferensiasi (mengalami pematangan) sehingga fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan. Maturasi / hematopoesis dari sel leukosit adalah sebagai berikut :
Stem cell (myeloid) myeloblast promyelocyte metamyelocyte band granulocyte segmented granulocyte (neutrofil, eosinofil, basofil).
Berdasarkan granulasi sitoplasmanya, leukosit dibedakan menjadi granuler meliputi Basofil, Eosinofil, dan Neutrofil serta agranuler meliputi Limfosit dan Monosit. Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan lain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh obat-obatan misalnya aspirin, antibiotika terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain. Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen (parasetamol), kemoterapi kanker, antidiabetika oral, dan antibiotika (penicillin, cephalosporin).
Hemogram atau hitung jenis leukosit merupakan pemeriksaan darah yang memberikan ketentuan mengenai perbandingan jumlah berjenis-jenis leukosit dalam darah tepi. Jumlah leukosit disebut dengan angka yang menunjukan presentase sesuatu jenis leukosit.:
Adapun jenis –jenis sel leukosit adalah :
Sel basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang terlibat dalam reaksi alergi jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-lain. Nilai normal dalam tubuh: 0 - 1%. Sel ini jarang ditemukan dalam darah tepi normal. Sel ini mempunyai banyak granula sitoplasma yang gelap menutup inti serta mengandung heparin dan histamin. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan melepaskan histamin dari granulanya. Di dalam jaringan basofil berubah menjadi sel mast basofil mrmpunyai tempat perlekatan immunoglobulin E (IgE) dan degranulasinya disertai dengan pelepasan histamin. Basofil terutama bertanggung jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan peradangan.
Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari 100/µl darah. Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang), leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Penurunan basofil terjadi pada penderita stress, reaksi hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan.
Sel eosinofil
Eosinofil merupakan jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan infeksi (terutama parasit) dalam tubuh. Nilai normal dalam tubuh: 1 - 3%. Sel ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar, lebih berwarana merah tua, jarang dijumpai lebih dari 3 lobus inti. Sel ini memasuki eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respon alergi, pertahanan terhadap parasit, dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi.
Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih dari 300/µl darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi, infeksi parasit. Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan substansi khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia adalah penyakit kulit kronik, dan kanker tulang, otak, testis, dan ovarium.
Eosinopenia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil kurang dari 50/µl darah. Hal ini dapat dijumpai pada keadaan stress seperti syok, luka bakar, perdarahan dan infeksi berat, juga dapat terjadi pada hiperfungsi koreks adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pemberian epinefrin akan menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah monosit akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah basofil, eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna dalam klinik. Pada hitung jenis leukosit pada pada orang normal, sering tidak dijumlah basofil maupun eosinofil.
Sel netrofil segment :
Neutrofil merupakan sel yang paling cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan selama fase infeksi akut. Sel ini mempunyai inti padat khas yang terdiri atas 2-5 lobus dan sitoplasma yang pucat dengan batas tida beraturan, mengandung banyak granula merah-biru (azurofilik) atau kelabu - biru. Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Nilai normal dalam tubuh adalah 1 – 5% untuk neutrofil batang dan 50 – 70% untuk neutrofil segmen.
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari 7000/µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri, keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan radang Banyak faktor yang mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi, virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Pada anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa. Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan dilepasnya granulosit muda ke peredaran darah dan keadaan ini disebut pergeseran ke kiri atau shift to the left. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak teratasi atau respons penderita yang kurang. Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai tanda degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah granula yang lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik.
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang dari 2500/µl darah. Penyebab netropenia dapat disebabkan karena pemindahan netrofil dari peredaran darah misalnya umur netrofil yang memendek karena penggunaan obat, gangguan pembentukan netrofil yang dapat terjadi akibat radiasi atau obat-obatan dan yang terakhir yang tidak diketahui penyebabnya. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus, leukemia, anemia defisiensi besi, dan Iain-Iain.
Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit agranuler dimana sel ini berukuran kecil dan sitoplasmanya sedikit. Salah satu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan dan pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 - 40% dari seluruh leukosit. Limfosit adalah sel yang kompeten secara imunologik dan membantu fagosit dalam petahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing lain. Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis limfosit, yaitu:
Sel B.
Berfungsi membuat antbodi yang mengikat patogen lalu menghancurkannya (sel B tidak hanya membuat antibodi yang dapat mengikat patogen tetapi setelah adanya serangan, beberapa sel B akan mempertahankan kemampuannya dalam menghasilkan antibodi sebagai layanan sistem 'memori').
Sel T = CD+4 (pembantu)
Berfungsi mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam infeksi HIV) serta penting untuk menahan bakteri intraseluler. CD+8 (sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus
Sel natural killer = sel pembunuh alami (NK, Natural Killer) dapat membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia tidak boleh dibinuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi kanker.
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah limfosit lebih dari 8000/µl pada bayi dan anak-anak serta lebih dari 4000/µl darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis, sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.
Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang dari 1000/µl dan pada anak-anak kurang dari 3000/µl darah. Penyebab limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis.
Monosit
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan ukuran 2x lebih besar dari eritrosit sel darah merah, terbesar dalam sirkulasi darah dan diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 - 8% dari jumlah seluruh leukosit. biasanya berukuran lebih besar dari leukosit darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak berwarna biru dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberikan gambaran kaca asah (ground-glass-apperance). Granula sitoplasma juga sering d-glass-apperance. granula sitoplasma juga sering dijumpai. Monosit membagi fungsi 'pembersih vakum' (fagositosis) dari neutrofil tetapi lebih jauh dia hidup dengan tugas tambahan yaitu memberikan potongan patogen kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh atau dapat membuat tanggapan antibodi untuk menjaga.
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari 750/µl pada anak dan lebih dari 800/µl darah pada orang dewasa. Monositosis dijumpai pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur. Penurunan monosit terdapat pada leukemia limposit dan anemia aplastik.
CARA PEMERIKSAAN HEMOGRAM (Anemia dan Leukemia)
Prinsip :
Setetes darah dibuat apusan pada slide ( object glass ) dari kaca, kemudian di cat dan dilihat hapusannya dibawah mikroskop. Dengan jalan ini dapat menggambarkan mofologi erytrosit leukosit dan trombosit juga menafsirkan presentasi leukosit dan trombosit.
Bahan
darah kapiler atau darah vena engan antikoagulan
Alat
Object glass
Spreader
Pipet
Reagen :
Cat Wright atau cat Giemsa
Prosedur :
Membuat hapusan
Sentuhlah tanpa menyentuh kulit setetes darah kapiler ( iameter kurang dari 2 mm ) dengan kaca itu, kira-kira 2 cm dari ujungnya dan letakkanlah kaca itu di atas meja dengan tetesan darah disebelah kiri.
Dengan tangn kanan diletakkan kaca object lain atau spreader disebelah kiri tetesan darah tadi dan digerakkan kekanan hingga mengenai tetesan darah.
Tetesan darah akan menyebar pada sisi kaca penggeser itu,tunggulah sampai darah itu mencapai titik kira-kira ½ cm dari sudut kecil.
Segeralah gerakkan kaca itu kekiri sambil memegangnya miring dengan sudut antara 30°-45°. Jangan menekan kaca penggeser itu kebawah.
Biarkan sediaan itu kering di udara.
Tulislah nama pasien dan tanggal pada bagian sediaan yang tebal.
Pemulasan sediaan apus.
Melakukan Pengecatan / Pewarnaan / Pulasan
A. Pulasan Wright :
Letakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak pengecatan dengan lapisan darahnya diatas.
Teteskan ke atas sediaan itu 20 tetes larutan Wright biarkan selama 2 menit agar sediaan merekat.
Teteskan sama banyaknya larutan penyangga pH 6,4 ke atas sediaan itu dan biarkan selam 5-12 menit.
Siramlah sediaan itu dengan air, mula-mula perlahan atau untuk membuang zat warna yang terapung diatas kemudian keras untuk membersihkan kotoran itu.
Taruhlah sediaan itu dalam sikap vertical agar mengering di udara.
B. Pulasan Giemsa :
Letakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak pengecatan dengan lapisan darah di atas.
Teteskanlah sekian banyak methyl alcohol ke atas sediaan itu sehingga bagian yang terlapis darah tertutup seluruhnya, biarkan 5 menit atau lebih.
Tuangkanlah kelebihan methyl alkohol dari kaca.
Liputilah sediaan itu dengan larutan Giemsa yang telah diencerkan dan didiamkan selama 20 menit.
Bilas dengan air mengalir.
Letakkan sediaan dalam sikap vertical dan biarkan mongering di udara.
C. Pulasan peroxidase dengan cara Sato atau Sekiya :
Letakkan sediaan yang telah kering dan yang tidak difiksasi di atas rak pengecatan.
Liputilah sediaan itu dengan larutan Cupri sulfan selama 30-60 detik.
Tunggu larutan itu dari kaca object, jangan dibilas.
Genangilah sediaan dengan larutan benzidine selama 2 menit.
Bilas dengan air mengalir.
Untuk pulasan tanding pakailah larutan safranin selama 1 menit.
Bilaslah dengan air mengalir dan biarkan mongering di udara.
D. Pulasan Sudan Black
Sediaan apus direkat mengguanakn uap formaldehida dalam wadah tertentu, misalnya dalam cawan petri selama 10 menit.
Genangi sediaan dengan larutan kerja selama 30 menit.
Bilas dengan etanol absolute.
Bilas dengan air mengalir.
Jika dikehendaki, sediaan itu boleh dipulas tanding dengan larutan safranin.
E. Pulasan PAS :
Sediaan apus direkat dengan uap fomaldehida dalam cawan petri selama 10 menit.
Bilas dengan air selama 15 menit.
Genangi sediaan dengan larutan kerja selama 30 menit.
Bilas dengan air, kemudian bilas dengan aquadest.
Genangi dengan reagen Schiff selama 30 menit.
Bilas dengan air, kemudian bilas lagi dengan aquadest selama 5 menit.
Genangi dengan larutan pula standing selama 10 menit.
F. Pulasan fosfatase alkalis, LAP ( Leukosit Alkaline Phospatase )
Sediaan apus digenangi larutan perekat yang bersuhu sekitar 5°C selama 30 menit.
Bilas dengan air mengalir selama 10 menit.
Genangi sediaan dengan larutan substrat selama 15 menit.
Bilas dengan air mengalir selama 10 detik.
Pulas tanding dengan larutan Hematoxilin selama 4 menit.
Bilas dengan air mengalir selama 10 detik,.
Biarkan sediaan mengering diudara
Memeriksa sediaan apus :
Memeriksa sediaan apus dimulai dengan sediaan yang belum dihapus. Jika terlihat sediaan itu buruk, janganlah dilanjutkan dengan memulasnya. Setelah dipulas periksalah terlebih dahulu dengan mikroskop okuler 10X dan lensa obyektif 10X juga. Perhatikan pada sediaan itu adakah bagian yang baik untuk diperiksa selanjutnya, yaitu bagian yang cukup tipis dan rata dimana erytrosit cukup berdekatan tanpa menggumpal. Perhatikan juga mutu pulasan, baik, pucat atau terlalu tua. Lihatlah apa penyebab leukosit memenuhi syarat. Apabila sediaan yang dipulas tidak memenuhi syarat buatlah yang baru. Kemudian pemeriksaan diteruskan dengan menggunakan obyektif imersi yang diperiksa ada 3 hal yaitu :
Keadaan erytrosit
Morfologi erytrosit hendaknya diperhatikan pada sediaan apus. Pelajarilah sifat 3s yaitu Size, Shape, dan Staining characteristic dan laporkan.
Keadaan leukosit
Untuk menghitung leukosit perhatikan adalah :
Bagian sediaan yang patut dipakai, yaitu yang cukup tipis dengan penyebaran leukosit merata.
Mulailah menghitung pada pinggir atas sediaan, dan berpindahlah ke arah pinggir bawah dengan menggunakan micromanipulator mikroskop.
Pada pinggir bawah geserkanlah lapangan ke kanan agar ;lebih banyak dari lebarnya lapangan imersi, kemudian kearah pinggir atas lagi.
Sesampai di pinggir atas, geserlah kekanan dan kemudian kearah pinggir bawah. Lakukan pekerjaan ini terus-menerus sampai 100 leukosit dihitung menurut jenisnya. Selain melakukan hitung jenis leukosit, dan catatlah juga kelainan morfologi pada kelainan leukosit itu.
Keadaan Tombosit
Sediaan apus baik sekali untuk melakukan pemeriksaan penyaring terhadap trombosit. Jika menghitung trombosit dalam 100 LP, dalam keadaan normal akan didapat antara 300-800 trombosit. Jika dilihat beberapa trombosit dlm tiap LP, sedangkan pada pinggir-pinggir dan ujung-ujung sediaan didapat gumpalan trombosit berkelompok, hal ini menandakan jumlah trombosit yang cukup.
Dalam praktek tidaklah perlu menghitung jumlah trombosit tersendiri dalam 100 LP. Observasi itu berjalan bersama-sama pada waktu menghitung leukosit. Laporkan keadaan trombosit dalam hasil pemeriksaan sediaan apus,dengan angka/100LP atau dengan keterangan singkat mengenai jumlahnya tanpa angka. Selain memperhatikan jumlanhya pelajari juga morfologi trombosit untuk melihat apakah ada kelainan.
Harga normal:
Untuk melaporkan erytrosit dalam keadaan normal : normochrome, normocytair
Untuk leukosit hitung jenis :
Basofil : 0-1%
Eosinofil : 1-3%
Neutrofil stab : 2-6%
Neut segmen : 50-70%
Lemfosit : 20-40%
Monosit : 2-8%
Untuk trombosit dalam 100 LP akan didapat antara 300-800 trombosit.
Catatan :
Kaca object yang dipakai harus benar-benar kering, bebas debu dan lemak. Untuk menggeserkan darah pada kaca itu. Pakailah kaca objective lain yang sisi pendeknya lebih rata. Sediaan hapus hendaknya cepat mongering pada kaca, sediaan yang lambat mengering, semisal oleh hawa lembab sering mengalami perubahan morfologi sel setelah dihapus. Supaya cepat kering kaca object boleh dikipad-kipaskan ke udara atau ditiup angin dari kipas listrik. Sediaan darah yang paling baik dipakai adalah darah kapiler segar. Darah vena yang telah dicampur atau EDTA boleh dipakai juga. Jangan memakai darah oxalate karena morfologi erytrosit akan berubah.
Sudut miringnya kaca penggeser dengan kaca sediaan dan kecepatan menggerakkan kaca penggeser dengan kaca sediaan dan kecepatan penggerakkan kaca penggeser berpengaruh terhadap tebalnya sediaan yang telah dibuat, makin kecil sudut makin tipis sediaan dan makin lambat penggeseran makin tipis juga.
Ciri-ciri sediaan yang baik :
Sediaan tidak melebar sampai pinggir kaca object, panjangnya ½ sampai 2/3 panjang kaca
Harus ada bagian yang cukup tipis untuk diperiksa.
Pinggir sediaan itu rata dan sediaan tidak boleh berlubang atau bergaris-garis.
Jika diperiksa dibawah mikroskop, erytrosit harus sama rata tersebar pada bagian yang akan diperiksa tidak rouloux.
Penyebaran leukosit tidak boleh jelek, leukosit tidak boleh bergerombol pada pinggir atau ujung sediaan.
Sediaan yang akan dipulas hendaknya yang segar, sedangkan sediaan yang disimpan tanpa fiksasi tidak dapat dipulas sebaik sediaan segar. Yang paling banyak dipakai adalah pulasan dengan Giemsa atau Wright.
Zat pulas Wright dapat dibeli dalam bentuk sebuk. Untuk membuat larutan koloid yang siap untuk dipakai, serbuk itu harus dilarutkan ke dalam methyl alcohol. Tiap 0,1 g serbuk itu digerus dalam sebuah mortar dalam methyl alcohol yang ditambahkan sedikit-sedikit sampai 60 ml terpakai. Simpanlah larutan dalam botol berwarna kecoklatan, kocok isinya tiap hari. Larutan lewat 10 hari cukup matang untuk dipakai. Jauhilah botol dari uap panas atau lindih dan tutup rapat.
Karena zat pulas Wright telah mengandung methyl alcohol dalam konsentrasi tinggi, tidak perlu fiksasi lagi. Jagalah jangan sampai zat pulas Wright mongering di atas kaca, karena bila telah mongering sangat sukar dibuang dari permukaan kaca dan sangat mengganggu pemeriksaan.
Sedian darah yang dipuls Wright tidak tahan lama dalam iklim tropic, akan memucat setelah beberapa tahun. Dengan pulasan aduan Wright dan Giemsa diperoleh sediaan yang lebih tahan.
Susunan Giemsa :
Azur II-eosin 3,0 g
Azur II 0,8 g
Glycerin 250 ml
Methyl alcohol 250 ml
Sebelum dipakai larutan pokok ini harus diencerkan 20X dengan penyanggah pH 6,4 ( atau dengan aquadest pH 6,4 ). 1 tetes Giemsa pokok untuk tiap 1 ml penyanggah. Zat pulas Giemsa yang telah diencerkan tidak tahan lebih lama dari 1 hari, buatlah secukupnya agar hemat. Pulasan Giemsa sama baiknya dengan Wright untuk darah yang tidak banyak kelainan morfologinya.
Kerugian dengan Giemsa : Granula basofilnya tidak Nampak karena granula itu akan larut, selain itu erytrosit lebih kelabu warnanya.
Keuntungannya : Parasit-parasit darah lebih mudah terlihat, dengan pH larutan penyangga dipilih 7.
Darah yang berisi banyak sel-sel muda dan sum-sum tulang, sebaiknya dipulas Wright karena struktur plasma dan inti lebih jelas terlihat. Jika menghendaki aduan pulasan Wright dan Giemsa dengan maksud supaya kebaikan kedua macam zat warna didapat bersama-sama dalam satu sediaan, mulailah memulas dengan Wright sebagai pengganti buffer dipakai Giemsa yang telah diencerkan.
Adakalanya membedakan jenis leukosit menemui kesulitan, teristimewa jika menghendaki sel muda atau abnormal. Dalam keadaan itu dipakai kenyataan bahwa sel-sel seri granulasit mengandung peroxidase sedangkan sel-sel seri limfosit tidak. Salah satu cara yang sering dipakai untu membedakan sel seri granulasit dan seri limfosit atas dasar ada tidaknya peroxidase adalah pulasan menurut Sato dan Sekiya.
Untuk pulasan ini diperlukan 3 macam larutan, yaiut :
Larutan Cupri sulfat :
CuSO4 0,5 g
Aquadest add 100 ml
Lautan Benzidine : Larutan Benzidine 0,2 g digerus bersama beberapa tetes air dalam lumping porselen sampai halus. Tambahkan 200 ml aquadest, sedikit-sedikit. Larutan ini harus jenuh. Saring dan tambahkan 0,25 ml H¬2O2 3%. Simpan dalam botol coklat, tahan 6 bulan.
Larutan Safranin :
Safranin 1 g
Aquadest 100 ml
Pada cara Sato dan Sekiya plasma dari sel seri granulasit menjadi biru sedangkan granulanya menjadi hijau biru. Tidak semua sel seri granulasit kelihatan begitu, myeloblast yang belum menpunyai peroxide, tidak ada granula berwarna hijau biru. Monosit juga punya granula yang peroxide positif , tapi granula itu kecil-kecil.
Sel seri limfosit yang peroxide negative, tidak ada birunya, sel itu Nampak bayang-bayang yang tidak jelas. Benzidine sebagai reagent dalam laboratorium, makin lama makin kurang dipakai karena sifatnya sebagai karsinogen. Pulasan peroxidase menurut Elias tidak menggunakan Benzidine melainkan Chloronaftol. Reagensia yang diperlukan untuk pulasan peroxidase menurut Elias adalah :
Larutan Chloronaftol
Larutan 15 mg 4chloro-1-naftol dalam 2 ml etanol absolute, simpan pada suhu 4°C. jika larutan ini berubah warna jadi coklat tua, buanglah.
Penyangga Tris :
19,2 ml Larutan Tris ( Hidroxy metal ) aminometan 0,2 mol/l dicampur dengan 80,8 ml HCl 0,1 mol/l. kemudian ditambah air sampai 500 ml. pH larutan ini harus menjadi 7,4 - 7,6.
Larutan H2O2 segar, sejumlah 0,4 ml H2O2 30% diencerkan menjadi 100 ml.
Larutan methyl Green 1% dalam aquadest.
Reagent peroxidase dibuat dengan mencampur 2 ml dari larutan Chloronaftol dengan 38 ml penyanggah Tris. Campuran ini harus disaring sebelum dipakai, kemudian ditambah 1 ml H2O2 yang sudah diencerkan.
Cara Ellias :
Sediaan digenangi reagen peroxidase selama 10 menit.
Bilas dengan air
Pulas tanding dengan larutan methylgreen selama 2 menit
Bilas dengan air
Pulasan ini membuat granula yang peroxide positif berwarna biru tua. Pada pulasan Sudan Black hasil pulasan granula yang mengandung lipid menjadi hitam. Pulasan PAS ini sangat berguna untuk mengenal sel-sel dalam jajaran limfosit yang mengandung glikogen. Reaksi yang terjadi adalah oksidasi glikogen oleh asam periodat ( periodic acid ) menjadi aldehida, kemudian aldehida bereaksi dengan reagen Schiff dengan menyusun warna merah. PAS = Periodic Acid Schiff
Larutan yang perlu, Larutan Periodat :
HIO4 aq 1 g
Aquadest 100 ml
Reagent Schiff : Basic fuchsin 1 g dimasukkan kedalam 400 ml air mendidih, biarkan mendingin sampai 50°C lalu disaring. Kemudian tambah 1 ml Thionylchlorida ( SOCl2 ), simpan ditempat yang gelap selama 24 jam, tambah 2 g carbo adsorbans, kocok dan saring. Simpan dalam lemari es dalam botol yang tua warnanya.
Larutan Pulasan tanding Hematoxylin 2 g ; aquadest 100 ml
Hasil pulasan PAS : Granula dan bagian-bagian sel yang berisi glikogen menjadi merah. Pada umumnya sel jajaran limfosit memperlihatkan warna merah tegas dan disebut sebagai PAS positif. Sebenarnya bukan glikogen saja yang menjadi merah oleh pulasan PAS, tapi juga polisakarida lain, mukopolisakarida dan mucoprotein.
Pulasan fosfatase alkali ini sebaiknya memakai darah kapiler untuk membuat sediaan apus atau darah vena dengan antikoagulan heparin atau oxalate seimbang. Darah EDTA tidak boleh dipakai Karena EDTA mengganggu pulasan terhadap fosfatase alkali.
Reagen yang diperlukan untuk pulasan fosfatase alkali menurut Kaplow :
Larutan perekat :
Formalin ( larutan Formaldehida 40% ) 10 ml
Methanol absolute 90 ml
(simpan dalam lemari es. Sebelum dipakai sejumlah yang diperlukan taruh pada pendingin supaya suhu larutan itu mencapai suhu sekitar 5°C.)
Larutan Stock Propandiol :
2amino-2metil-1,3propandiol 10,5 g
Aquadest 500 ml
Larutan Stock Propandiol ini berkadar 0,2 ml dan harus disimpan dalam lemari es.
Larutan kerja Propandiol yang berfungsi sebagai penyanggah :
Larutan Stock Propandiol 0,2 mol 25 ml
HCl 0,1 N 5 ml
Aquadest add 100 ml
pH larutan ini harus sama dengan 9,75 dan larutan ini harus disimpan dalam lemari es.
Larutan Substrat ( dgn pH 9,5-9,6) dgn komposisi sbb
Natrium alfa-naftil fosfat 35 mg
Fast Blue RR 35 mg
Larutan kerja Propandiol 35 ml
( larutan ini harus segar )
Larutan hematoxylin menurut Haris. Larutan ini sebaiknya dibuat dalam keadaan siap pakai karena larutan ini sulit untuk dibuat.
Hasil pulasan adanya fostase alkali dalam leukosit ditandai dengan timbulnya warna coklat dari coklat muda sampai hamper hitam. Untuk menilai derajat ke-positifan (scoring) diperlukan cara khusus, yaitu dengan memberi score pada tiap leukosit Neutrofil dalam sediaan yang diperiksa. Score itu diberikan dengan angka mulai 0-4, sbb : Leukosit yang tidak ada warna diberi score 0, warna coklat muda yang merata dalam plasma, sedangkan granula jarang ada yang berwarna diberi score 1, warna coklat lebih tua, merata sedang granula berwarna sedang diberi score 2, warna lebih tegas dan granula banyak diberi score 3, warna tegas dengan granula yang berdekatan dan warna sangat tua diberi score 4.
Pelajarilah 100 leukosit yang termasuk jajaran granulasit, berilah score pada masing-masing leukosit dengan cara tersebut diatas. Kemudian jumlahkan score yang telah diberikan kepada 100 leukosit. Jika jumlah itu lebih banyak dari 100, dikatakan aktifitas LAP sangat tinggi, score antara 20-70 termasuk normal, sedang score kurang dari 15 dibilang rendah.
Pada umunya lekositosis oleh infeksi menghasilkan score tinggi, pada leukemia granulasitik kronik score adalah rendah. Pulasan LAP banyak manfaatnya dalam klinik, tapi tekhnik pulasan dan memberikan scoring memerlukan pengalaman. Untuk memperoleh keterampilan dianjurkan supaya sering mengadakan latihan memulas dan menscore sediaan apus darah normal dan darah seorang wanita hamil tua atau yang baru melahirkan. LAP darah wanita itu harus member score tinggi, jika tidak mungkin tekhnik memulas dan score kurang baik. ( Dari: Cahyo Analys STIKes ICMe Jombang Ang 2010 ).
GAMABARAN DIFCON SEL DARAH
DAFTAR PUSTAKA
Milidiah, Mutia., dkk. 2012. Tugas Referat Blok Hemato Imunologi "Leukemia Akut". Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto
http://anggraheniheksaningtyas.blogspot.com/2011/04/leukemia.html. Diakses tanggal 22 Maret 2014
http://varyaskep.wordpress.com/2009/01/21/askep-leukemia-pada-anak/ Diakses tanggal 22 Maret 2014
http://detikautik.blogspot.com/2012/11/askep-leukimia-limfosit-kronis.html. Diakses tanggal 22 Maret 2014
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/leukemia-limfositik-akut-_-9510001031677. Diakses tanggal 2 April 2014
Rafsanjani, R. Hakbar. Leukemia Limfositik Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana: Jakarta.