BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan
memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,
baik dalam aspek material dan spiritual. Dalam jangka pendek maupun dalan
jangka panjang, terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material yang berupa
sandang, rumah dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan
perhatian dalam ilmu ekonomi.[1] Terpenuhinya kebutuhan material inilah
yang disebut dengan sejahtera.[2]
Setiap manusia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya,
namun dalam mempersepsikan kesejahteraan manusia memiliki pengertian yang
berbeda-beda. Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dapat
disimpulkan bahwa tujuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atas barang
dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well-being). Manusia
menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya namun seringkali
hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi.
Dalam memahami perilaku ekonomi masyarakat untuk menggapai
kesejahteraan atau pun kebutuhan mereka, mengindikasikan hubungan yang
terpisahkan antara sistem ekonomi dan konteks sosial serta perilaku budaya
dimana masyarakat itu berada, pada dasarnya semua kegiatan maupun tindakan
memiliki aspek ekonomi, sosial dan budaya, dimana bentuk-bentuk sosial
tertentu harus ada sebelum pertumbuhan ekonomi tertentu. Struktur ekonomi
sebagai salah satu konsep yang integral mencakup : kepemilikan harta benda,
upah buruh, sistem pasar, keadaan atau gejala eksploitasi tenaga kerja dan
sebagainya.
Lalu bagaimana sistem ekonomi Islam mengambil peran dan menjawab
permasalahan yang timbul di masyarakat, nampaknya peran ekonomi Islam dalam
konteks kekinian dan kemodernan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak
dapat dihindarkan lagi. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu
berkembang seiring dengan perkembangan zaman membuat hukum Islam harus
menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang
terbaik serta memberikan kemaslahatan bagi umatnya.[3]
Islam mendefinisikan agama bukan hanya berkaitan dengan spiritual atau
ritualitas ibadah rutin saja, namun Islam mendefinisikan agama merupakan
serangkaian keyakinan, ketentuan dan peraturan serta tuntutan moral bagi
setiap aspek kehidupan manusia, dan Islam juga memandang agama sebagai
suatu jalan hidup yang melekat pada setiap aktivitas kehidupan, baik ketika
manusia melakukan hubungan interaksi ritual dengan Tuhannya maupun ketika
manusia berinteraksi dengan manusia dan alam semesta.[4]
Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif. Semakin banyak
manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang
tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketakwaan kepada Tuhan
tidak berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru
membawa orang semakin produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada Tuhan
selama diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.[5]
Pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi termasuk permasalahan
antar sesama manusia atau lebih kita kenal dengan istilah muamallah yang
merupakan aspek bagaimana Islam memandang tujuan hidup manusia, memahami
permasalahan hidup, ekonomi dan bagaimana Islam memecahkan masalah ekonomi
tersebut.
Muammalah adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan
dunia, dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli,
tukar-menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya. Muammalah yang dimaksudkan
ialah dalam bidang ekonomi yang menjadi tumpuan semua orang untuk
memperoleh kesenangan hidup di dunia dan kebahagian di akhirat. [6]
Masalah muammalah selalu dan tetap berkembang tetapi perlu
diperhatikan agar tidak menimbulkan kesulitan hidup pada pihak tertentu
yang disebabkan oleh adanya tekanan atau tipuan dari pihak lain. Islam
adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh,
meliputi segala aspek kehidupan, antara lain aspek aqidah, ibadah, akhlak,
ekonomi, politik dan kehidupan bermasyarakat dengan tujuan untuk
tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani baik dalam kehidupan
individunya maupun dalam kehidupan masyarakatnya.
Secara umum jika dikaitkan muammalah dengan kegiatan ekonomi dapat
diartikan sebagai segala kegiatan yang berkaitan dengan usaha-usaha yang
bertujuan untuk memenuhi segala keperluan hidup manusia. Dalam pengertian
masa kini, ekonomi ialah satu pengkajian berkenaan dengan kelakuan manusia
dalam menggunakan sumber-sumber untuk memenuhi keperluan mereka.
Dalam hal ber muammalah dan nilai-nilai dasar ekonomi Islam maka
dapat dilihat beberapa aspek dasar yang melandasi nya dan diantaranya
adalah nilai dasar kepemilikan, keseimbangan dan nilai keadilan yang
merupakan pangkal dari nilai-nilai sistem ekonomi Islam.[7]
Dalam pengertian Islam pula, ekonomi ialah satu sains sosial yang
mengkaji masalah-masalah ekonomi manusia yang didasarkan kepada asas-asas
dan nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam adalah sebahagian daripada asas kepada
masyarakat dan negara Islam. Kedua-duanya tidak boleh dipisahkan dan pada
kedua-dua asas inilah terhubung jalin sistem sosial Islam.
Dalam konteks perekonomian di kota Pagaralam, khususnya di beberapa
kecamatan masih di dominasi oleh usaha-usaha mikro dan kecil dan pelaku
utamanya adalah para petani, buruh tani, pedagang, maupun industri rumah
tangga, meskipun sebagian pelaku ada juga yang tercatat sebagai pegawai
negeri sipil (pns) yang mempunyai lahan sawah, ataupun kebun, namun
demikian para pelaku ini pada umumnya masih dihadapkan pada permasalahan
klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal sebagai unsur esensial dalam
mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, maka
dalam jangka panjang kelangkaan modal bisa menjadi point utama terjadi nya
siklus rantai kemiskinan yang menyebabkan terjadinya interaksi antara
pemilik modal dan peminjam modal.
Hasil survey dan pengamatan awal yang dilakukan penulis menunjukkan
bahwa ada beberapa masyarakat desa yang ada di kota Pagaralam masih sering
menggadaikan sawah, kebun, rumah ataupun ladang mereka kepada kerabatnya
sendiri, tengkulak atau pemilik modal, dan kebiasaan masyarakat kota
Pagaralam khususnya para petani ini dalam menggadaikan sawah, kebun ataupun
rumah meraka dikenal dengan istilah nating
Nating sudah berlangsung lama di kota Pagaralam, ini dapat dilihat
dari sudah berlangsung lama nya nating dilakukan, meskipun belum ada data
akurat engenai kapan budaya nating itu dilakukan[8], dimana pelakunya
menatingkan (menggadaikan) sawah,ladang, kebun bahkan rumah mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka baik untuk konsumtif yakni untuk
melaksanakan syukuran pernikahan yang membutuhkan biaya yang besar, untuk
menutupi biaya hidup baik sebelum masa panen maupun pada masa transisi,
maupun untuk keperluan produktif dan ada juga yang mentatingkan sawah nya
karena faktor-faktor lain.
Salah satu pemicu praktik nating atau gadai yang terjadi di
Pagaralam adalah karena tuntutan kebutuhan ekonomi, sehingga mayoritas
orang yang melakukan nating adalah dari orang yang ekonominya rendah atau
sedang membutuhkan kebutuhan mendesak (tergolong miskin) dan ada pula
pelaku nating yang dalam kehidupan sehari-harinya lebih mementingkan gengsi
atau berkebutuhan yang tinggi sehingga dengan menggadaikan harta mereka
lebih kelihatan terpandang di lingkungan masyarakat.
Karena adanya perilaku yang demikian, maka penulis merasa perlu untuk
mengaitkan dan meneliti serta mengananlisis lebih jauh tentang budaya
praktik nating dengan ekonomi Islam, dengan tujuan agar praktik nating
ini tidak bertentangan dengan hukum Islam dan lebih dari itu praktik
muammalah ini diharapkan jauh dari praktik riba dan sejenis nya, karena
pada hakekatnya praktik budaya yang selaras dengan ajaran Islam akan
menghasilkan suatu produk yang dapat memberikan kebaikan untuk semua
kalangan.
Dalam kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan yang sangat kompleks
akan interaksi antar individu dengan individu lainnya, apalagi kehidupan
pada masyarakat pedesaan yang sarat dengan berlakunya perilaku sosial
budaya atau kebiasaan orang sekitar yang ada di dalamnya termasuk tentang
tata cara bermuammalah antar individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
salah satu bentuk interaksi yang sering dilakukan di kota Pagaralam adalah
nating (gadai)
Hukum Islam yang sering juga kita sebut syariah, menyajikan nilai-
nilai inti yang di atasnya umat dapat memilih untuk mendasarkan kebijakan
ekonomi dan sosial dengan tujuan berdasarkan dari syariah guna untuk
membangun tatanan sosial dan etika ekonomi karena Islam adalah agama yang
menanamkan ajaran rinci untuk kehidupan ekonomi pengikutnya. Islam membahas
nilai sumber daya alam, menetapkan standar untuk eksploitasi mineral dan
menetapkan pedoman warisan, keuangan, perpajakan dan perbankan. menekankan
pentingnya pendidikan, kesehatan, kerja keras, investasi serta jaring
pengaman sosial.[9]
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup saling tolong
menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong
yang kurang mampu, bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian
dan bisa berupa pinjaman. Dikaitkan dengan budaya nating dengan begitu
kentalnya ajaran tolong-menolong didalamnya dan hukum Islam menjaga
kepentingan kreditur atau penating[10] jangan sampai dirugikan, dan orang
yang menggadaikan hartanya (yang menerima pinjaman atau dengan istilah lain
disebut rahin) juga terbantu dengan adanya transaksi gadai ini, oleh sebab
itu sebagai jaminan (harta gadai atau dengan istilah lain disebut marhun)
pihak peminjam harus memberikan jaminan atau menatingkan sawah, kebun
ataupun rumahnya. Ini salah satu bentuk perwujudan dari muammalah yang
disyariatkan oleh Allah swt adalah gadai (rahn), Allah swt memerintahkan
kepada manusia untuk melakukan praktik gadai sebagai sarana untuk saling
tolong menolong, praktik ini sebagai upaya untuk menjadikan hubungan sosial
antara yang mampu dengan yang kurang mampu dalam ekonomi menjadi lebih
erat.
Dalam praktik ini pada awal nya mayarakat berupaya untuk saling tolong-
menolong antar sesama, seiring dengan berjalannya waktu terjadi pergeseran
nilai yakni orang kaya mengambil keuntungan sebesar-besarnya diatas
keterdesakan ekonomi si miskin sehingga pemilik barang gadai bisa saja
karena terpaksa akan merelakan barang jaminannya berupa , kebun ataupun
rumah mereka untuk di ambil alih sepenuhnya oleh pemilik modal ataupun
dikelola secara bersama-sama dengan berbagai macam perjanjian yang
disepakati oleh kedua belah pihak
Tentunya hal ini mengindikasikan bukanlah sebuah transaksi yang saling
menguntungkan, karena dengan pergeseran nilai yang sebelumnya praktik
nating merupakan transaksi yang tujuan utamanya untuk tolong menolong dan
bukan investasi, seyogyanya nating yang dijadikan sebagai bentuk transaksi
supaya terjadi tolong menolong dan saling bantu membantu bisa dijadikan
sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan sosial mereka terutama hubungan
yang kaya dengan yang miskin, bukanlah dijadikan sebagai transaksi dengan
akad profit untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang lebih kongkrit terutama
dalam masalah praktik nating yang terdapat di kota Pagaralam, karena
praktik nating yang terjadi mengindikasikan sebuah praktik yang tidak ideal
apalagi ketika dihubungkan dengan pandangan Islam, Maka penulis akan
mengkaji dan menuangkan penelitian ini dalam bentuk tesis dengan judul :
ANALISIS PERILAKU NATING PADA MASYARAKAT KOTA PAGARALAM DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI ISLAM.
B. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa masyarakat pedesaan di kota
Pagaralam memiliki kebiasaan nating. nating ini banyak dilakukan masyarakat
pedesaan kota Pagaralam dalam rangka mendapatkan pinjaman untuk memenuhi
kebutuhan biaya hidupnya, untuk itulah penulis ingin mengetahui lebih
mendalam, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat kota Pagaralam
melakukan nating?
2. Bagaimana mekanisme perjanjian (akad) dalam pelaksanaan nating di kota
Pagaralam?
3. Bagaimana perspektif Islam menyikapi praktik perilaku budaya nating di
kota Pagaralam?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis perilaku budaya nating
di kota Pagaralam dalam perspektif ekonomi Islam, namun secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
kota Pagaralam melakukan nating.
2. Untuk menganalisis bagaimanakah mekanisme akad dalam pelaksanaan nating
di kota Pagaralam
3. Untuk menganalisis bagaimana perspektif Islam dalam menyikapi praktik
budaya nating di kota Pagaralam
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai perilaku budaya nating pada masyarakat Kota
Pagaralam ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Secara Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan serta menambah
referensi keilmuan yang positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan
dikembangkannya model perilaku ekonomi Islam dengan memasukan semua unsur
syariah dalam prektek pelaksanaan nating, dan guna untuk menjawab begitu
banyak nya keraguan para muslim yang akan dan telah melakukan praktik
nating.
2. Secara Praktis :
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada
masyarakat tentang bagaimana melakukan transaksi keuangan yang sesuai
dengan syariat Islam serta memberikan informasi dan masukan kepada
pelaku lembaga keuangan syariah maupun non syariah untuk lebih memahami
lagi kondisi yang terjadi pada masayarakat kota Pagaralam dan membuka
ruang yang lebih besar lagi guna untuk membantu pendanaan skala mikro
masyarakat pedesaan, dan juga untuk memberikan masukan bagi pengambil
kebijakan dalam hal ini pemerintah provinsi Sumatera Selatan dan
pemerintah kota Pagaralam dalam penyusunan kebijakan ekonomi kerakyatan
dan tentunya berbasis ekonomi syariah.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Pada masa sekarang ini ada banyak pemikir dan peneliti yang membahas
persoalan pegadaian, baik itu pegadaian syariah maupun pegadaian non
syariah Sehingga tidak heran apabila banyak pemikir dan peneliti yang
menuangkan ide pemikiran maupun gagasannya ke dalam bentuk literatur-
literatur ilmiah baik itu buku, jurnal ataupun skripsi, tesis maupun
disertasi dan dalam memandang proses penulisan penelitian ini, penulis
membutuhkan literatur-literatur ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan
yang dijadikan bahan penelitian sebagaimana tercantum di bawah ini:
Adapun mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayur-sayuran,
padi sawah dan kopi dalam kaitan dengan resiko ekonomi di kota Pagaralam
dan Kabupaten Lahat, pernah dilakukan penelitian disertasi yang dilakukan
oleh Tien Yustini, dengan menunjukan pada perilaku nating masyarakat kota
Pagaralam dan Kabupaten Lahat, apakah perilaku ini merupakan peristiwa
ekonomi atau peristiwa budaya.[11] Dengan mengambil kesimpulan bahwa nating
mempengaruhi perilaku rumah tangga petani padi dan kopi dalam kaitannya
dengan risiko ekonomi dan kegiatan usaha tani, dimana dengan melakukan
nating menyebabkan hasil lahan garapan berkurang, meurunkan tingkat
produksi dan berdampak pada menurunnya tingkat pendapatan dan konsumsi
petani.
Tesis Mukhlas yang mengambil judul Implementasi Gadai syariah dengan
akad murabahah dan rahn (studi di pegadaian syariah cabang melati sleman
Yogyakarta[12] menyimpulkan bahwa secara umum pelaksanaan akad dalam
proses gadai di pegadaian syariah sudah sesuai dengan hukum Islam, namun
dalam penekanan nya masih harus lebih memperhatikan transparasi akad serta
kesesuaian antara jenis dan kualitas barang yang di gadaikan dan upaya yang
telah dilakukan oleh pegadaian syariah cabang melati sehingga pelaksanaan
pembiayaan dengan akad murabahah dan rahn tersebut telah sesuai dengan
kaidah-kaidah Hukum Islam mulai dari prosedur pemberian pinjaman dan
pembiayaan, maupun penerapan prinsip kejujuran, keadilan dan prinsip tauhid
dalam ekonomi syari'ah.
Adapun Tesis Muhammad aris syafi'i[13] tentang preferensi nasabah
terhadap gadai emas syariah yang fokus kepada minat masyarakat melakukan
gadai khususnya gadai emas menunjukkan bahwa trust, profit, service,
religious dan promosi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecendrungan atau preferensi nasabah menggadaikan emasnya, dikaitkan denga
istilah gadai yang terjadi di masyarakat, ternyata masyarakat pada umumnya
sudah sangat familiar dengan istilah gadai, apalagi didalamnya terdapat
unsur-unsur Islam, dan kepercayaan masyarakat dapat tumbuh dimulai dengan
pemahaman tentang bagaimana Islam dapat menjadi solusi keuangan di
masyarakat.
Menurut Ibnu Rusyd, terjemah: Imam Ghazali Said, dan Achmad Zaidun,
dijelaskan berbagai transaksi dalam Islam termasuk mengenai Ar-Rahn
(pegadaian). Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima gadai tidak boleh
mengambil manfaat dari barang gadai. Namun apabila barang gadaian berupa
hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya
dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan
kepadanya.[14]
Dalam buku Muhammad Sholikul Hadi, yang berjudul Pegadaian Syariah´
dalam buku ini menyajikan informasi tentang bagaimana konsep dan kerja
pegadaian syariah yang dapat dijadikan sebagai suatu alternatif lembaga
keuangan syariah yang dapat diperhatikan di Indonesia atau di Negara
manapun. Dalam buku ini disebutkan bahwa barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya, hal ini di sebabkan status barang tersebut hanya sebagai
jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya.[15]
Nazar Bakry, dalam bukunya yang berjudul Problematika Pelaksanaan
Fiqih Islam dalam buku ini diuraikan mengenai bagaimana mahasiswa mudah
dalam mempelajari Fiqih. Dalam salah satu bab di buku ini, juga dijelaskan
mengenai pemanfaatan barang gadai. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa
yang boleh mengambil manfaat dari barang jamina gadai adalah orang yang
menggadaikan, bahkan semua manfaat tetap milik si pemberi gadai, walaupun
tidak seizin orang yang menerima gadai.[16]
Sulaiman Rasjid, dalam bukunya Fiqih Islam menjelaskan tentang utang
piutang dan pemanfaatan barang yang dijadikan jaminan. Pada bab tersebut
dijelaskan bahwa orang yang memberi gadai boleh mengambil manfaat dari
barang jaminan gadai walaupun tidak seizin orang yang menerima gadai dan
kerusakan barang pun atas tanggungannya.[17]
Dalam buku Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terjemah:
Moch. Anwar dan tim, yang berjudul Fathul Mu'in dijelaskan mengenai gadai
dan ketentuan barang jaminan. Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima
gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, kecuali dengan izin
si pemberi gadai.[18]Adapun dukungan litertur-litertur tersebut sebagai
pangkal tolak menuju penelitian lapangan yang sempurna. Dalam tesis ini
penulis membahas tentang analisis praktik budaya nating di kota Pagaralam
dalam perspektif hukum Islam.
F. LANDASAN TEORI
1. Pendekatan Teori Perilaku Ekonomi
Dalam pendekatan teori perilaku ekonomi yang terjadi dalam ruang
lingkup pedesaan maupun perkotaan, untuk itu kita perlu mengetahui dahulu
tentang perilaku kerja dan perilaku ekonomi
a. Perilaku Kerja
Karl Marx yang merupakan salah satu filosof, sosiolog dan ahli
ekonomi terkemuka pada abad-19 menjelaskan bahwa pekerjaan adalah tindakan
manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi
nyata. Melalui pekerjaan manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial,
yang harus berhubungan dengan orang lain. Dalam arti tidak mungkin manusia
dapat menghasilkan sendiri apa yang dibutuhkannya[19]
Dalam menjalankan kerja manusia melakukan tindakan-tindakan atau
perilaku untuk merealisasikan kerja tersebut. Perilaku pada umumnya
dilaksanakan dengan tingkah laku. Menurut Koentjaraningrat, tingkah laku
adalah suatu perilaku manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya
atau yang tidak timbul secara naluri saja tetapi sebagai suatu hal yang
harus dijadikan milik dirinya dengan belajar[20], di dalam berperilaku
kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai makhluk sosial yang harus
selalu bekerja sama dengan orang lain.
b. Perilaku Ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari istilah perilaku disamakan dengan tingkah
laku. Menurut Koentjaraningrat yang dimaksud tingkah laku adalah perilaku
manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya atau yang tidak timbul
secara naluri saja, tetapi sebagai suatu hal yang harus dijadikan milik
dirinya dengan belajar, yang dimaksud perilaku dalam penelitian ini adalah
segala tingkah laku yang dijalankan oleh masyarakat Pagaralam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Fenomena-fenomena ekonomi yang ingin diterangkan adalah bagaimana
manusia yang mempunyai kehendak bebas mampu diikat oleh hukum-hukum
ekonomi. Dalam ilmu ekonomi dikenal juga dengan relasi ekonomi yang terdiri
dari agen-agen yang terpisah antara satu sama lain dan berhubungan secara
voluntaristik, yang memiliki informasi yang cukup, rasional (Instrumental
Rasionality), self interested untuk melakukan pertukaran
Adapun yang dimaksud dengan Instrumental Rasionality adalah suatu
tujuan dicapai dengan sarana se efisien mungkin, ini yang disebut Rasional
dalam ekonomi. Fenomena diatas tentunya masih mengacu pada asumsi dasar
yaitu homo economicus dimana dalam homo economicus selalu ada asumsi-asumsi
seperti well informed, Instrumental Rasionality, dan self interested.
Sifat rasional yang diperkenalkan oleh pada era ekonom neoklasik[21]
dimana penekanannya pada asumsi bahwa manusia adalah agen rasional yang
dalam aktivitas ekonomi hanya berorientasi pada memaksimalkan kegunaan atau
kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama,
memperhitungkan untung-rugi. Kedua, mementingkan keuntungan diri sendiri.
Ketiga, memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang
sekecil-kecilnya. Ada seorang ahli ekonomi yang berasal dari mazhab neo
klasik yang bernama Frank Knight yang tidak setuju dengan pendapat mazhab
Klasik yang menekankan pada konsep homo economicus yang selalu menekankan
pada utility maximizer atau lebih menekankan pada hukum permintaan dan
penawaran (Supply and demand law).
Ada dua pendapat Knight yang patut disimak tentang perilaku manusia,
yaitu:
1. Apa yang dipikirkan dalam transaksi ekonomi umumnya untuk sesuatu yang
lain, dimana sarana yang dipilih untuk mrncapai tujuan yang diinginkan
dan sarana yang dipilih ditentukan oleh value judgement.
2. Ada sesuatu yang diinginkan demi sesuatu itu sendiri. Itu tidak bisa
dikonfigurasikan secara fisik (sebab akibat). Kalau pun ada tentang
hal ini maka itu terkait dengan the universe of meaning.
Knight juga mengungkapkan ada tiga interpretasi tentang perilaku orang
khususnya yang berkaitan dengan tindakan ekonomi, yaitu:
1. Bahwa perilaku ekonomi direduksi oleh prinsip-prinsip regulasitas
(dasar-dasar statistik)
2. Perilaku ekonomi dalam kerangka motivasi, tetapi harus dibedakan
antara motif dan act yang bukan merupakan konsekuensi logis dari
motif.
3. Dalam tujuan yang diinginkan dari sesuatu tindakan ekonomi itu
diserahkan pada evaluasi normatif.[22]
2. Teori Budaya (Urf) dan Muamallah
Pada dasarnya Islam tidak menolak adanya suatu perubahan zaman yang
senantiasa berkembang dan menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek baik
hukum, budaya, ekonomi, politik maupun adat istiadat, dengan tidak
menyimpang dalam ajaran dan syariat Islam.
Banyak sekali realitas yang terjadi di masyarakat yang sudah menjadi
adat istiadat dan menjadi kebudayaan (urf) pada masyarakat tertentu, yaitu
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan telah menjadi kebiasaan di
kalangan masyarakat tertentu baik berupa perkataan maupun perbuatan[23]
Adat kebiasaan mempunyai peranan penting sebagai salah satu dalil
untuk menetapkan hukum syara', dalam kaedah hukum Islam disebutkan :
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ [24]
Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum, dengan demikian yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat bisa menjadi landasan hukum, yaitu adat yang
selaras dengan tujuan syariat Islam.
Para ulama ahli ushul fiqh mengungkapkan suatu hukum yang tidak ada
pada nash dengan beberapa masalah dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat
yaitu: daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Masalah daruriyah yaitu hal-hal
yang menjadi kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, sering juga
dalam ilmu ekonomi konvensional disebut kebutuhan primer, hal-hal yang
bersifat daruriyah ada lima macam yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan
harta. Masalah hajiyah yaitu sesuatu yang diperlukan manusia agar
meringankan kesulitan dalam kehidupannya sering juga disebut dengan
kebutuhan sekunder. Masalah dan kebutuhan yang ke tiga adalah tahsiniyah
yaitu sesuatu untuk menuju kearah kelengkapan atau sering kita sebut dengan
kebutuhan tersier.[25]
Praktik gadai (rahn) merupakan bagian dari kegiatan muammalah yang
mengandung unsur-unsur sosial yang sangat tinggi serta tidak ada nilai
komirsil didalamnya, hal ini berarti gadai bukan semata-mata untuk
memperkaya diri dan bukan juga untk mengembangkan harta, melainkan untuk
saling tolong-menolong dan harus bebas dari unsur-unsur riba dan juga harus
didasarkan pada prinsip-prinsip muammalah yaitu:
1. Pada dasarnya segala bentuk muamallah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan oleh Al-Quran dan sunnah Rasul
2. Muamallah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur
paksaan.
3. Muamallah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat.
4. Muamallah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari
unsur-unsur penganiyayaan, unsur perampasan hak, pengambilan kesempatan
dalam kesempitan.[26]
3. Konsep yang Berkaitan Dengan Nating (Gadai).
Istilah gadai pada masyarakat kota Pagaralam dan kabupaten Lahat
disebut nating, pada masyarakat Empat Lawang disebut 'sando', pada
masyarakat jawa sering disebut 'adol sende', pada orang Sunda disebut
'ngajual akad gade', pada orang batak disebut 'dondon atau sindor', dan
pada masyarakat Minagkabau disebut 'manggadai'.
Banyak pelaku nating yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai
puluhan tahun ini dikarenakan pemilik sawah, kebun maupun rumah belum mampu
melakukan penebusan, jadi dalam proses terjadinya nating terdapat dua
pihak, yakni pihak pertama yang menyerahkan sawah, kebun atau rumah atau
pihak pemberi nating , dan pihak kedua adalah pihak yang menerima barang
nating, pihak penerima inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang yang
telah disepakati antar kedua belah pihak untuk dapat digunakan oleh pihak
pertama.
Dalam sejarahnya gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian
utang-piutang. Praktik semacam ini telah ada pada zaman Rasulullah saw. Dan
Rasulullah sendiri pernah melakukan. Gadai mempunyai nilai sosial yang
sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-
menolong.[27]
Dalam pelaksanaannya, si pemegang gadai berhak menguasai benda yang
digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia
tidak berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai
itu, jika si berhutang tidak bisa membayar hutangnya. Jika hasil penjualan
gadai itu lebih besar dari pada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan
itu harus di kembalikan kepada si penggadai.[28]
Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si
pemiutang tetap berhak menagih piutang yang belum dilunasi itu. Penjualan
gadai harus dilakukan di depan umum sebelum penjualan dilakukan biasanya
hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada si penggadai. Tentang
pelunasan hutang, pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang
lainya.[29]
Di dalam hidup ini, terkadang orang mengalami kesulitan. Untuk
menutupi (mengatasi) kesulitan itu terpaksa meminjam uang kepada pihak
lain. Meskipun untuk memperoleh pinjaman itu harus disertai dengan jaminan
(koleteral). [30] Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an surah al-Baqarah
ayat 283 yaitu:
Artinya :Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah : 283) [31]
Menurut Sayyid Quthb bahwa Orang yang berhutang adalah memegang
amanat yang berupa utang dan yang berpiutang memegang amanat berupa barang
jaminan (dari yang berutang). Kedua-keduanya diseru untuk menunaikan amanat
masing-masing atas nama takwa kepada Allah Tuhannya. Tuhan adalah yang
menjaga dan memelihara. Tuhan juga sebagai majikan, penguasa, dan hakim.
Semua makna yang bersifat kejiwaan ini memilki pengaruh bersifat untuk
bermuammalah , memegang amanat dan menunaikannya.
Sebagaian pendapat mengatakan bahwa ayat ini menasakh (menghapus) ayat
yang memerintahkan menulis, dalam keadaan sama-sama dapat dipercaya. Akan
tetapi kami tidak berpendapat demikian karena menulis itu wajib dilakukan
dalam urusan utang piutang kecuali dalam keadaan berpergian. Sedangkan
memegang amanat itu merupakan masalah khusus dalam kondisi seperti ini.
Orang yang berutang dan berpiutang dalam keadaan ini sama-sama memegang
amanat.
Di bawah bayang-bayang perhatian kepada taqwa ini selesailah
pembicaraan tentang persaksian-pada waktu sedang berperkara, bukan pada
waktu melakukan transaksi karena ini merupakan amanat di pundak saksi dan
di dalam hatinya. [32]
G. METODE PENELITIAN
Kajian penelitian yang diangkat dalam tesis ini digolongkan dalam
bentuk penelitian lapangan atau field research. Dalam hal ini, fenomena
kehidupan yang ada dalam masyarakat menjadi unsur penting dalam kegiatan
yang dilakukan untuk memperoleh data dalam penelitian ini.
Pada penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun
lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh.[33] Dalam pendekatan ini ditekankan pada
kualitas data, sehingga dalam pendekatan ini penyusun diharuskan dapat
memilah dan memilih data atau bahan mana yang memiliki kualitas dan bahan
mana yang tidak relevan dengan materi penelitian.
Untuk memperoleh kesimpulan dan analisis yang tepat, serta dapat
mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian ini, maka dalam penulisan
dan pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Lokasi Penelitian
Dalam hal ini peneliti mengambil lokasi penelitian di beberapa
kecamatan yang ada di kota Pagaralam khususnya di kecamatan Pagaralam
Selatan dan kecamatan Dempo utara, namun tidak menutup kemungkinan di semua
kecamatan yang ada di kota Pagaralam guna untuk memnuhi sumber informasi
yang di butuhkan . Adapun alasan memilih lokasi tersebut adalah :
a. Lokasi tersebut mempunyai akses transportasi yang baik untuk itu akan
mempermudah peneliti dalam menjalankan proses penelitian.
b. Dari hasil pengamatan pada lokasi tersebut mayoritas merupakan petani
sawah dan pekebun yang kebanyakan adalah pelaku nating, sehingga
peneliti akan mudah dalam menentukan dan mendapatkan informan sebagai
sumber informasi dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data penelitian
secara langsung.[34] Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
adalah warga yang melakukan nating dan tokoh masyarakat Kota
Pagaralam, ditambah dengan bukti-bukti perjanjian tertulis pelaku
nating itu sendiri.
b. Sumber data sekunder
Jenis data sekunder adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data pokok, atau dapat pula didefinisikan sebagai sumber
yang mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan yang
dapat memperkuat data pokok.[35] Adapun sumber data yang mendukung
dan melengkapi sumber data primer adalah berupa buku, jurnal, majalah
dan pustaka lain yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam tesis
ini yang dijadikan sumber data sekunder adalah buku dan kitab
referensi yang berhubungan dengan pelaksanaan nating.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Populasi dan sampel
1. Populasi
Dalam penelitian kualitatif sebenarnya tidak menggunakan istilah
populasi, namun lebih dikena denga istilah 'social situation' atau
situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place),
pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi dengan
sinergis.[36] Dan pada penelitian kualitatif berangkat dari kasus
tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya
tidak akan diberlakukan ke populasi[37]. Situasi sosial yang terjadi
di masyarakat Kota Pagaralam ini dengan populasi masyarakat yang ada
didua kecamatan yakni Pagaralam selatan dan Dempo Utara, yang jumlah
penduduknya lebih banyak melakukan peraktek nating sesuai dengan
survey awal yang dilakukan penulis.
2. Sampel
Dalam penelitian kualitatif, tekhnik sampling yang umumnya digunakan
adalah purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling
adalah tekhnik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu, pertimbangan ini misalnya orang tersebut paling tahu
tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin informan yang paling
cakap untuk dimintai keterangan dan data untuk memudahkan peneliti
menjelajahi obyek/situasi sosial yang di teliti.[38]
Untuk metode sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling dan snowball sampling, dengan mengambil sampel
dari populasi masyarakat kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan
Dempo utara.
b. Tekhnik pengumpulan data
1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab
lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak
yang mewawancarai dan jawaban diperoleh oleh yang diwawancarai.[39]
Peneliti menanyakan suatu hal yang telah direncanakan kepada
responden. Pada wawancara ini peneliti dimungkinkan melakukan tanya
jawab dengan responden seperti perangkat desa, warga yang melakukan
nating dan tokoh masyarakat di kota Pagaralam
2. Dokumentasi
Metode dokumentasi ialah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transaksi, buku, surat kabar, majalah, tesis,
makalah, jenis-jenis karya tulis, agenda dan sebagainya.[40] Dalam
tesis ini juga penulis menggunakan dokumentasi yang langsung diambil
dari obyek penelitian yakni kota Pagaralam berupa arsip desa.dll
H. Sistematika Pembahasan
Studi penelitian ini dibuat dalam beberapa bab, dengan sistematika
sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang meggambarkan isi tesis secara
keseluruhan. Hal ini bertujuan agar dapat mengarahkan pembaca kepada
substansi ini penelitian. Pada bab pertama ini berisi tujuh sub bab yang
antara lain menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah
tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian
serta terakhir sistematika pembahasan
Bab kedua adalah pembahasan tentang landasan teori mengenai perilaku
budaya nating pada masyarakat kota Pagaralam, bab kedua ini merupakan inti
peulisan laporan yang memuat uraian konsep dasar yang diteliti, pada bab
ini terdiri dari ulasan mengenai , pengertian perilaku budaya masyarakat
Kota Pagaralam, pengertian nating, gadai atau rahn dalam perspektif ekonomi
Islam.
Pembahasan pada bab ke tiga merupakan jawaban dari rumusan
permasalahan bagian pertama dimulai dari pembahasan tentang pelaksanaan
penelitian perilaku budaya masyarakat kota Pagaralam, gambaran umum tentang
daerah penelitian, penentuan lokasi penelitian, gambaran tentang sistem
pelaksanaan nating di Pagaralam maupun karakteristik perilaku masyarakat
kota Pagaralam yang terkait dengan perilaku ekonomi dan faktor-faktor apa
sajakah yang mempengaruhi masyarakat kota Pagaralam melakukan nating
Pada pembahasan bab ke empat merupakan jawaban dari rumusan masalah
tentang bagaimana mekanisme perjanjian dalam pelaksanaan nating dan
bagaimana perilaku budaya nating yang ada di Kota Pagaralam dalam dalam
perspektif ekonomi Islam.
bab kelima, merupakan bagian akhir penulisan laporan penelitian atau
bagian penutup dari pembahasan tesis ini, bab ini berisi kesimpulan dan
ditunjang pula dengan saran-saran yang konstruktif, positif dan kreatif.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
A. KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN PRILAKU EKONOMI MASYARAKAT.
1. Model Umum Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani
Menurut Ellis[41] model ekonomi pengambilan keputusan rumah tangga
pertama kali dikemukakan oleh Chayanov, yaitu teori maksimisasi utilitas
rumah tangga (theory of house hold utility maximization). Teori tersebut
memfokuskan pada pengambilan keputusan rumah tangga yang berkenaan dengan
jumlah tenaga kerja dan keluarga yang menjalankan produksi untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, keputusan menyangkut trade off antara pekerjaan dan
pendapatan.
Faktor utama yang mempengaruhi trade off tersebut adalah struktur
demografi rumah tangga, yaitu ukuran dan komposisi anggota yang bekerja dan
tidak bekerja. Beberapa asumsi yang digunakan diantaranya adalah:
a. Tidak ada pasar tenaga kerja, dalam arti tidak ada tenaga kerja
yang disewa maupun yang menyewakan tenaga kerja
b. Output usaha tani yang disimpan untuk konsumsi rumah tangga atau
dijual dinilai dengan harga pasar setempat.
c. Semua anggota rumah tangga mempunyai akses terhadap lahan untuk
penanaman.
d. Setiap komunitas petani mempunyai norma sosial untuk pendapatan
minimum yang diterima setiap orang.
Selanjutnya pengembangan model rumah tangga petani juga dilakukan oleh
Becker dengan menitik beratkan pada alokasi waktu (time allocation)
rumahtangga pelaku ekonomi, konsep alokasiwaktu rumah tangga tersebut
menjadi dasar dari new home economics yang menunjukan bahwa alokasi waktu
yang tersedia bagi rumah tangga dari waktu kerja di rumah (home work time),
waktu kerja upahan (wage work time) dan waktu santai (leisure).
2. Konsep Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Menurut Ife pengembangan ekonomi masyarakat merupakan upaya
merelokasikan aktivitas ekonomi dalam masyarakat agar dapat mendatangkan ke
untungan bagi masyarakat dan untuk merevitalisasi masyarakat lokal serta
untuk memperbaiki kualitas kehidupan[42].
Sedangkan menurut Zubaedi pengembangan ekonomi masyarakat adalah suatu
cara yang memungkinkan setiap orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya
serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang
mempengaruhi kehidupannya[43]
Sukriyanto mengatakan bahwa pengembangan masyarakat adalah upaya
setiap individu-individu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pendapatan.[44] Selain itu menurut Kartasasmita pengembangan
ekonomi masyarakat adalah pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang
dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan
kualitas sumber daya manusia[45]
Dengan demikian pengembangan ekonomi masyarakat dapat disimpulkan
sebagai metode setiap individu dalam melakukan aktivitas ekonomi masyarakat
yang dapat menguntungkan masyarakat dan memperbaiki kualitas kehidupan
masyarakat itu sendiri.
2. Perilaku Budaya Masyarakat Pedesaan
a. Pengertian umum pedesaan dan budaya.
Menurut UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal I yang
dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Kawasan pedesaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman
pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi.
Sedangkan dalam buku Theory off culture karangan Roger M Kessing[46]
yang menitik beratkan pada teori-teori yang membentuk budaya, menarik untuk
ditelaah lebih jauh bagaimana konsep budaya berkembang dan menjadikan
bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas kehidupan masyarakat secara umum
menurut Roger M Kessing Budaya adalah sistem dari pola-pola tingkah laku
yang diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan komunitas manusia
dengan lingkungan ekologi mereka. Dengan cara ini termasuklah teknologi dan
bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial
dan organisasi politik, kepercayaan dan praktek keagamaan, dan
seterusnya.[47]
Bila budaya dipandang secara luas sebagai sistem tingkah laku yang khas
dari suatu penduduk, maka budaya berperan penting sebagai penyambung dan
penyelaras semua aktifitas yang terjadi dalam masyarakat.
b. Karakteristik masyarakat desa
Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang
sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan
tingkatannya. Menurut Koentjaraningrat mendefinisikan desa itu sebagai
komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat, sedangkan menurut P.H
Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu pertama desa itu
lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang, kedua desa adalah
suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang saling akrab
serba informal satu sama lain, dan yang ketiga desa adalah suatu
lingkungan yang penduduknya hidup dari pertanian. Sedangkan menurut
Koentjaraningrat desa adalah suatu komunitas kecil yang menetap secara
tetap di suatu tempat, masyarakat desa itu sendiri mempunyai
karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka
menggambarkan karakteristik masyarakat desa sebagai berikut
1. Besarnya peranan kelompok primer
2. Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau asosiasi
3. Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng
4. Homogen
5. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi
6. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar
Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa atau biasa
disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan mudah
diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni oleh
masyarakat itu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, adapun
pembagiannya adalah Desa pertanian, desa industry, desa nelayan atau desa
pantai, desa pariwisata,[48]
Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil produk
dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang bergantung pada
alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap
pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan sebagai berikut:
1. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian.
2. Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki.
3. Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.
Ketiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi terciptanya
kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya kebudayaan tradisional
akan tercipta apabila masyarakatnya sangat tergantung pada pertanian,
tingkat teknologi yang rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga [49]
Dalam kaitannya dengan pola pertanian yang ada di Pagaralam maka
merujuk dari pendapat PH. Landis yang membagi empat pola pemukiman penduduk
yaitu[50]
1. The Farm Village Type (FVT)
Pola pemukiman ini biasanya para keluarga petani atau penduduk tinggal
bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian
berada di luar lokasi pemukiman.
2. The Nebulous Farm Type (NFT)
Pola ini hampir sama dengan pola FVT bedanya disamping ada yang
tinggal bersama disuatu tempat terdapat penduduk yang tinggal tersebar
di luar pemukiman itu, lahan pertanian juga berada di luar pemukiman
itu.
3. The Arranged Isolated Farm Type (AIFT)
Pola pemukiman ini dimana penduduknya tinggal disekitar jalan dan
masing-masing berada di lahan pertanian mereka dengan suatu trade
center di antara mereka.
4. The Pure Isolated Farm Type (PIFT)
Pola pemukiman ini penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka
masing-masing terpisah dan berjauhan satu sama lain dengan suatu trade
center.
B. TEORI MAQASID SYARIAH DALAM PEMBENTUKAN SISTEM HUKUM NATING DI PAGARALAM
1. Teori Maqasid Syariah,
Maqashid syariah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan
tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang
ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup
di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan
demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai
dari suatu penetapan hukum[51]
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid
syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara'
dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari
syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap
hukumnya.
Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat
penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan
dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu
berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum
Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad
yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap
pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap
berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah
teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis,
sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan
tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan
dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab
Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash
syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang
mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan
pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili (1986:1017), yang
mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan
persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan
membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui
rahasia-rahasia syari'ah. Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan
Allah dalam Al- Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam
sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai
tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang
ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat Al-
Anbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus :
"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam"
(QS. Al-Anbiya':107)
Pembagian Maqashid
a. Al- Maqashid al-'ammah (maqashid yang umum)
yaitu ad-dharuriyat al-khamsah, lima maqashid yang bersifat
2. Teori Sistem Hukum
C. PRINSIP-PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALLAH
Fiqih Muammalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam
seperti yang lainnya, yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum
peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum
politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan.
Fiqih muammalah juga merupakan peraturan yang menyangkut hubungan
kebendaan atau yang biasa disebut di kalangan ahli hukum positif dengan
nama hukum privat (al qanun al madani). Fiqih muammalah terdiri dari dua
kata, fiqih" dan "muammalah" yaitu secara etimologi (bahasa), fiqih berasal
dari kata faqiha yang berarti paham, sebagaimana dalam salah satu hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya: "Barang siapa yang
dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan
kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama" Sesuai dengan
pembagian fikih muammalah, maka ruang lingkup fiqih muammalah terbagi
menjadi dua:
a. Ruang Lingkup Muammalah Adabiyah
Hal-hal yang termasuk ruang lingkup muammalah adabiyah adalah ijab,
kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak
dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan
segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta.
b. Ruang Lingkup Muammalah Madiyah
Aspek Madiyah Yaitu mencakup segala aspek yang terkait dengan
kebendaan, yang halal haram & syubhat untuk diperjual belikan, benda-benda
yang menimbulkan kemadharatan dsb. Dalam aspek madiyah ini contohnya adalah
al-bai (jual beli)', ar-rahn (gadai), kafalah wad dhaman (jaminan dan
tanggungan), hiwalah (pengalihan hutang), as-syirkah (perkongsian), al-
mudharabah (perjanjian profit & loss sharing), alwakalah (perwakilan), al-
ijarah (persewaan/ pengupahan) dsb.
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Ekonomi Islam merupakan
bagian integral dari sistem ajaran Islam. Dia merupakan ekonomi Ilahiah,
karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan
sistem ekonomi ini bukan lahir sebagai produk alternatif dari sistem yang
sedang berlaku sekarang melainkan sebagai solusi dari permasalahan ekonomi
yang terjadi sekarang.
Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan
nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan
tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai
ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muammalah (ekonomi)
juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar
fiqh muammalah adalah sebagai berikut:
1. Hukum asal dalam muammalah adalah mubah (diperbolehkan). [52]
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta'ala kepada hamba-Nya adalah
memberikan segala fasilitas di dunia ini untuk dinikmati dan dikelola oleh
manusia. Segala yang diciptakan oleh Allah Ta'ala hukum asalnya bisa
diambil manfaatnya oleh manusia.
Allah Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
"Dia-lah Allah, yang menciptakan segala yang ada di muka bumi untuk kalian
semuanya." (QS. al-Baqarah: 29)
Di dalamnya terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang
diciptakan adalah boleh, hingga ada dalil yang memindah hukum asal ini.
Tidak ada perbedaan antara hewan dan lainnya dari perkara yang dapat
dimanfaatkan tanpa menimbulkan mudharat. Kata "Segala" dalam firman Allah
di atas suatu pengukuhan yang lebih kuat atas hal ini, ulama fiqih pun
sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muammalah adalah diperbolehkan
(mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita
tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/
tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya.
Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa
melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang
memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak
terdapat syariat dari-Nya. Allah swt berfirman: "Katakanlah, Terangkanlah
kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?" (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah
memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muammalah, selain itu
syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2. Fiqh Muammalah Untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muammalah dibangun di atas prinsip menjaga dan mewujudkan
kemaslahatan dan secara umum tujuan dari disyariatkannya muammalah adalah
menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat, Fiqh muammalah akan senantiasa
berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di
antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban
dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata:
"Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan
alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan
nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan
menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung
kerusakan yang lebih kecil"
3. Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang
membutuhkan, dimana Rasulullah saw bersabda: dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw bersabda barang siapa membebaskan jual beli seorang muslim,
maka Allah swt akan membebaskan kesalahannya.[53] Semangat hadits ini
memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang
sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat
tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain
demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan
transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat).
4. Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin
direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa
dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan
lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan
mempermudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait.
Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam
transaksi jual beli. Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa
diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena
bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling
piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang
diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang
ingin membatalkan transaksi jual beli.
Dalam hal kelenturan dalam bertransaksi ini Rasulullah mengajarkan
untuk menghindari berselisih, dalam keterangan dari Ibnu Mas'ud bahwa
Rasulullah saw bersabda, apabila dua orang yang berjual beli berselisih,
sedang diantara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang
benar ialah apa yang dikatakan pemilik barang atau mereka membatalkan
transaksi.[54]
5. Jujur dan Amanah
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata
jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam
kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick
kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan
dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya.
Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah
kehidupan. Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak
memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa
ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah swt. Dengan kata lain,
hanyalah orang- orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk
itu, Rasulullah begitu menekankan kejujuran dalam berdagang, dari Abu
hurairah bahwa Rasuullah saw bersabda dalam hadist Qudsi nya bahwa Allah
swt berfirman, Aku menjadi orang yang ketiga dari dua orang yang bersekutu
selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya, jika ada
yang berkhianat aku keluar dari persekutuannya.[55]
Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus
diperhatikan dalam kehidupan muammalah. Di antaranya, menjauhi adanya
gharar dalam transaksi, ketidak jelasan (uncertainty) yang dapat memicu
perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang
tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang
terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan
konflik. Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak
terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan
sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki
komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis.
Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan
secara profesional, sesuai dengan tuntunan syariah.
D. GADAI
1. PENGERTIAN GADAI
Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merunggukan atau jaminan
(Borg).[56] Istilah gadai dalam bahasa Arab juga diistilahkan Ar-rahn[57].
Rahn dalam bahasa Arab juga memiliki pengertian tetap dan kontinyu[58], dan
ada juga yang menyatakan kata rahn bermakna tertahan. Dengan dasar firman
Allah surah al-Muddatsir ayat 38:
"Yang artinya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya. (QS. al- Muddatstsir :38)[59]
Gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat suatu barang
yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang,
barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu
hendaknya dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu) [60]
Sedangkan Abu Zakaria menetapkan ta'rif (definisi) ar-rahn di dalam
kitabnya Fathul Wahab adalah menjadikan benda yang bersifat harta (harta
benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari
(harga) benda itu bila utang tidak dibayar.[61]
Sedangkan gadai menurut Zainuddin adalah menjaminkan barang yang dapat
dijual sebagai jaminan utang, jika penanggung tidak mampu membayar utangnya
karena kesulitan. Oleh karena itu tidak boleh menggadaikan barang wakaf
atau ummu al-walad (budak perempuan yang punya anak di tuannya),[62] Rahn
adalah menjadikan barang yang boleh dijual sebagai kepercayaan hutang yang
digunakan untuk membayar hutang jika terpaksa tidak bisa melunasi hutang
tersebut, maka berarti tidak sah menggadaikan barang wakaf atau budak ummu
al-walad.[63]
Menurut Sayid Sabiq bahwa pengertian gadai adalah menjadikan barang
yang mempunyai nilai harta menurut syara' sebagai jaminan utang, sementara
si penerima gadai dimungkinkan bisa mengambil barang tersebut sebagai ganti
hutang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang barang yang
berutang disebut rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang
dibawah kekuasaannya disebut murtahin (Penerima gadai), dan barang yang
digadaikan disebut rahn (barang gadai) [64]
Pengertian gadai menurut KUH Perdata (Burgerlijk Wetbook) Pasal 1150
Gadai adalah: "Suatu hak yang diperoleh kreditur (orang yang berpiutang)
atas suatu barang bergerak yang di serahkan oleh debitur (orang yang
berhutang) atau orang lain atas namanya sebagai jaminan pembayaran dan
memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran terlebih dahulu
dari kreditur lainnya atas hasil penjualan benda-benda.[65]
Pengertian gadai menurut Susilo adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang
mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai
utang.[66]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menurut
hukum Islam dan KUH Perdata adalah suatu perjanjian (akad) utang piutang
dengan menjadikan barang yang bernilai menurut syara' sebagai jaminan untuk
menguatkan kepercayaan, sehingga memungkinkan terbayarnya utang dari si
peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.
2. LANDASAN HUKUM GADAI
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan
dengan dasar al-Qur'an, Hadits dan Ijma' para Ulama.
a. Dalil al-Qur'an dan hadist
Di antara dalil al-Qur'an tentang gadai adalah:
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan . (QS. al-Baqarah : 283)[67]
Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muammalah
yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada
seorang pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka
hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang di
jadikan jaminan.[68]
Menurut Ibnu Katsir, ayat diatas mengandung makna yakni, jika
seseorang sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai
batas waktu tertentu sedang kamu tidak memeroleh penulis untuk mencatat
semua transaksi yang terjadi, maka hendaklah ada barang jaminan yang
dipegang oleh pemberi pinjaman, ayat ini dijadikan dalil yang menunjukan
bahwa jaminan merupakan sesuatu yang dapat dipegang, sebagaimana yang
menjadi pendapat Imam Syafi,i dan jumhur ulama.
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan
pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A'isyah dalam pernyataan
beliau:
وَعَنْ عَائِشَةَ :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًامِنْ يَهُوْدِيِّ إِلَي أَجَلٍ وَرَهَنَهُ
دِرْعًامِنْ حَدِيْدٍ,وَفِيْ لَفْظٍ,تُوُفِيَّ وَدَرْعُهُ مَرْهُوْنَةٌ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِثَلَاثِيْنَ صَاعَامِنْ شَعِيْرٍ
"Dari Aisyah bahwa Nabi membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
pembayaran tempo, dan beliau menggadaikan kepada Yahudi itu satu baju
perang yang terbuat dari besi. Dan dalam redaksi yang lain:''Nabi
wafat, sedangkan baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi
dengan tiga puluh liter (sha') syair (jagung).'' (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim tentang
pemanfaatan barang gadai:
اَلرَّهْنُ مَرْكُوْبٌ وَمَحْلُوْبٌ
"Barang gadaian itu boleh dikendarai dan diperah susunya."
لاَيُغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ,لَهُ غَنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
"Barang gadaian tidak boleh dilepaskan dari sipemiliknya, ia (rahin)
yang memiliki pertambahannya, dan ia (rahin) bertanggung jawab atas
kerusakan dan biayanya." (HR. Daruquthi dan Hakim dan perawinya dapat
dipercaya (tsiqah)
Dari ayat dan hadits-hadits di atas telah jelas bahwa
gadai (rahn) hukumnya dibolehkan dalam Islam, baik bagi orang yang sedang
dalam perjalanan maupun orang yang tinggal di rumah. Memang dalam surat al-
Baqarah:283, gadai dikaitkan dengan safar (perjalanan). Akan tetapi, dalam
hadits-hadits tersebut Nabi saw. Melaksanakan gadai ketika sedang di
Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya dalam perjalanan
saja, tetapi juga bagi orang yang tinggal di rumah. Pendapat ini
dikemukakan oleh jumhur Ulama'. Sedangkan menurut Imam Mujahid, Dhahhak,
dan Zhahiriyah, gadai hanya dibolehkan bagi orang yang sedang dalam
perjalanan, sesuai dengan ayat 283 surat al-Baqarah tersebut di atas[69]
b. Pendapat Ulama
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn
ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya
dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada
seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujaahid.
Demikian juga Ibnu Hazm Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn
dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan
safar (bepergian).
Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan
hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari'atkan pada waktu
tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[70]
3. SYARAT DAN RUKUN GADAI
Akad gadai dipandang sah dan benar menurut syariat Islam apabila telah
memenuhi syarat dan rukun gadai yang telah ditentukan dalam hukum Islam.
A. Syarat gadai
Menurut Imam Syafi'i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan
yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Maliki mensyaratkan
bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yng menggadaikan wajib
menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.[71]
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut:
a. Berakal
b. Baligh (dewasa)
c. Wujudnya marhum ( barang yang dijadikan jaminan pada saat akad )
d. Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian
atau wakilnya.[72]
Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa
syarat sah gadai tersebut ada 2 hal yaitu :
a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin)
Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan
melakukan tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila),
dan telah mumayyiz (mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di
bawah pengampuan atau wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya
seperti mumayyiz, akan tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia
baligh diperlukan izin dari wali, apabila pengampu mengizinkan perjanjian
gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali tidak mengizinkan maka
perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.[73]
b. Syarat barang gadai (marhum)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain :
a) Harus dapat diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari'ah
d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara
langsung
e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus
seizin pemiliknya.[74]
Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh rahin.
Mengenai penguasaan barang yang digadaikan, maka pada dasarnnya dalam
firman Allah "maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang
berpiutang)" tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan
barang ini merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai. Selama
belum terjadi penguasaan, maka akad gadai tidak mengikat bagi orang yang
menggadaikan. Bagi fuqaha' yang mengaggap penguasaan sebagai syarat
kelengkapan akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah
dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau
adanya penentuan demikian.[75]
B. Rukun Gadai
Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita juga
mengenal adanya rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai.
a) Shighat atau perkataan
b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)
c) Adanya barang yang digadaikan (marhum)
d) Adanya utang (marhum bih)[76]
Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Shighat atau Perkataan
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, pengertian shighat (akad) menurut
bahasa adalah :
"Rabath (mengikat) adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat
salah satunya dengan tali yang lain hingga bersambung, lalu keduanya
menjadi sepotong benda", kemudian menurut istilah fuqaha' ialah, Perkataan
antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan
keridlaan keduanya (kedua belah pihak)[77]
Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab
dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak
kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk
utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya
terima marhum ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat:
1) Harus terang pengertiannya
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pahak yang bersangkutan.[78]
Di samping ketentuan di atas, akad gadai juga bisa dilakukan dengan
bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang
dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
Pengantar Fiqh Muammalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah)[79].
b. Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).
Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah
orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal
dengan jaminan barang (gadai).[80]
c. Adanya barang yang digadaikan (marhum).
Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian
gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang
gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai
(murtahin).[81] Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namun
ada juga barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis
barang jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara lain:
1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lain-
lain.
2) Barang-barang elektronik: tv, kulkas, radio, vidio, tape
recorder,dan lain-lain.
3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil.
4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah.
5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain.
6) Tekstil: kain batik, permadani.
7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.[82]
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafiiyah barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat:
1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan
2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang.
3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa
pelunasan hutang gadai.
d. Adanya hutang (marhum bih)
Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada
pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang
tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung
jumlahnya. Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak
berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.[83]
C. Berakhirnya Akad Gadai
Menurut Sayyid Sabiq, hak hak gadai akan berakhir jika:
a. Rahin (yang menggadaikan barang) telah melunasi semua kewajibannya
kepada murtahin (yang menerima gadai)
b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi.
c. Baik penggadai dan penerima gadai atau salah satunya ingkar dari
ketentuan syara' dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.[84]
4. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Gadai
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah
sebagai berikut:[85]
A. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)
a. Hak pemberi gadai
1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya
setelah pemberi gadai melunasi utangnya.
2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan
hilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaian
penerima gadai.
3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya
setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biaya lainnya.
4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabila penerima gadai
telah jelas menyalahgunakan barangnya.
b. Kewajiban pemberi gadai
1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya
dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.
2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai
miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai
tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.[86]
1. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)
a. Hak penerima gadai (murtahin)
1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila
pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya
sebagai orang yang berhutang.
2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
3. Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk
menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.
b. Kewajiban penerima gadai (murtahin)
1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya.
2. Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang di gadaikan
untuk kepentingan pribadi.
3. Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai
sebelum di adakan pelelangan barang gadai.
Dalam perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak
akan lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah
menahan barang yang digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang
dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah
bersifat menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan
jumlah tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang
gadai masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak
sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.[87]
Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai
menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah
jatuh tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan
oleh pemberi gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima
gadai). Jika pemberi gadi tidak mau menjual barang tersebut, maka yang
menerima gadai berhak mengajukan tuntutan kepada hakim.[88]
E. RIBA
1. Riba Dalam Tinjauan Historis
Riba dikenal sebagai istilah yang sangat terkait dengan kegiatan
ekonomi. Pelarangan riba merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, di
samping implementasi zakat dan pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang
bathil. Secara ekonomi, pelarangan riba akan menjamin aliran investasi
menjadi optimal, implementasi zakat akan meningkatkan permintaan agregat
dan mendorong harta mengalir ke investasi, sementara pelarangan maisir,
gharar dan hal-hal yang bathil akan memastikan investasi mengalir ke sektor
riil untuk tujuan produktif, yang akhirnya akan meningkatkan penawaran
agregat[89]
Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami
perkembangan dalam pemaknaan. Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya
diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar
Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga lebih
dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-
Muslim, seperti Hindu, Budha, Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen[90].
Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah neshekh
dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak
terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian
lama) maupun dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat dalam Old Testament
yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang miskin dan
mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan riba.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan sebagai berikut:
"Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang
yang miskin di antaramu, maka janganlah engakau berlaku sebagai
penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bunga uang
terhadapnya".
2. Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyebutkan:
"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan atau apapun yang dapat dibungakan".
3. Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan:
"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan
engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di
antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta
bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba".
Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktek riba merupakan
tradisi yang lazim berlaku. Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga 1 M,
terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya, sementara itu, pada
masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang
membolehkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut
sesuai dengan "tingkat maksimal yang dibenarkan hukum ( maximum legal rate
). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun
pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double
countable).[91]
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga tersebut dicela oleh para
ahli filsafat Yunani, diantaranya Plato dan Aristoteles, begitu pula para
ahli filsafat Romawi, seperti Cato, Cicero dan Senecamengutuk praktik
bunga, yang digambarkannya sebagai tindakan tidak manusiawi.
Konsep riba di kalangan Kristen mengalami perbedaan pandangan, yang
secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sebagai berikut:
Pertama, pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang
mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab Perjanjian Lama dan undang-
undang dari gereja. Pada abad IV M, gereja Katolik Roma melarang praktik
riba bagi para pendeta, yang kemudian diperluas bagi kalangan awam pada
abad V M. Pada abad VIII M, di bawah kekuasaan Charlemagne, gereja Katolik
Roma 6 mendeklarasikan praktik riba sebagai tindakan criminal.
Kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung
membolehkan bunga, dengan melakukan terobosan baru melalui upaya
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury . Menurut
mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan sedangkan usury adalah
bunga yang berlebihan. Para sarjana Kristen yang memberikan kontribusi
pemikiran bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160- 1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St.
Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Ketiga , pandangan para reformis Kristen (abad XVI-1836) seperti
Martin Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John
Calvin (1509-1564) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga (
interest ). Pada periode ini, Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan
Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 bunga ( interest ) resmi
dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10%. Kebijakan ini kembali
diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1571[92].
Dengan latar belakang sejarah tersebut di atas, maka seluruh praktik
operasionalisasi perbankan modern yang mulai tumbuh dan berkembang sejak
abad XVI M ini menggunakan sistem bunga. Sistem bunga ini mulai tumbuh,
mengakar, dan mendarah-daging dalam industri perbankan modern sehingga
sulit untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan bahwa bunga adalah pusat
berputarnya sistem perbankan. Jika tanpa bunga, maka sistem perbankan
menjadi tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh.[93]
Sementara itu, riba telah jelas dan tegas dilarang dalam Islam.
Pelarangan riba dalam al-Qur'an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara
bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti
pelarangan minuman keras. Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam al-
Qur'an dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama, disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari
keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat
ganda (QS. Ar-Rum: 39).
Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan
keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba
dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak
benar dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang pedih (QS.
An-Nisa': 160-161).
Tahap ketiga, pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan
yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini turun setelah perang
Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Syafi'i antonio istilah berlipat
ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga pengertiannya
adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang
sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umum pada
waktu itu adalah berlipat ganda
Tahap keempat merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan
jelas mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli
dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-
pihutang yang mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279) [94]
2. Definisi dan Jenis-Jenis Riba
Secara etimologis, kata ar-riba bermakna zada wa nama, yang berarti
bertambah dan tumbuh, Di dalam al-Qur'an, kata ar-riba beserta berbagai
bentuk derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya
berbentuk kata riba itu sendiri. Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan
bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah, menyuburkan, mengembang, dan
menjadi besar dan banyak. Meskipun berbeda-beda, namun secara umum ia
berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif [95]
Sedangkan secara terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai
melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu pihak terhadap pihak lain
dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa
memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut. Dalam ungkapan yang lain,
riba dipahami sebagai pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh orang yang
berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap
tenggang waktu yang telah lewat waktu. Dan secara umum para fuqaha'
menyepakati akan adanya dua macam riba, yaitu riba fadl (sebagaimana
definisi pertama) dan riba nasi'ah (sebagaimana definisi kedua). [96]
Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat pembagian riba yang
agak berbeda dengan ulama lainnya. Menurut keduanya, riba dibedakan atas
riba yang terjadi pada hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan
riba yang terjadi pada jual beli, yaitu riba nasa' dan riba fadl . Al-
Mishri menekankan pentingnya pembedaan antara riba nasi'ah dengan riba
nasa' agar terhindar dari kekeliruan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk
riba.
Tabel 1. Tipologi Riba Menurut Abu Zahrah dan Yunus al-Mishri
" "Transaksi "Jenis "Unsur-unsur"Keterangan "
" " " " " "
" " " " " "
"Riba " " " " "
" "Pinjam- "Riba Nasi'ah"Penundaan "Sepakat "
" "meminjam " "dan "tentang "
" " " "Tambahan "haramnya "
" " " " "jika dzulm "
" " " " "dan "
" " " " "eksploitatif"
" "Jual beli "Riba Nasa' "Penundaan "Masih "
" " " " "Ikhtilaf "
" " "Riba Fadl "Tambahan " "
Sumber: Muslim[97]
Riba nasi'ah dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat
Arab Jahiliyyah dengan ciri utama berlipat ganda dan eksploitatif telah
disepakati keharamannya oleh para ulama. Sementara yang kini menjadi
perdebatan adalah riba nasi'ah yang tidak berlipat ganda dan dalam taraf
tertentu dipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak
diperbincangkan mengenai bunga bank (interest).
Sementara pada riba fadl masih diperdebatkan hukumnya di antara ulama
dan cendekiawan Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang tidak
setuju dengan pengharamannya dengan berbagai alasan. Pakar Tafsir yang
membolehkan riba fadl adalah at-Thabari Sedangkan tokoh sahabat dan tabi'in
yang membolehkan riba fadl adalah Ibn Abbas, Ibn Umar, Zaid bin Arqam,
Usamah bin Zaid, Urwah bin Zubair, Ikrimah, ad-Dhahhak, dan Sa'id Ibn
Musayyab.
Alasan para ulama ini adalah hadits "Bahwasanya riba itu hanya pada
riba nasi'ah". Menurut para ulama ini , riba fadl itu adalah kelebihan
harga transaksi barang sejenis bukan karena penundaan atau penyegeraan
pembayaran. Riba yang haram menurut mereka adalah riba yang mengandung
tambahan karena ada penundaan waktu (nasi'ah).[98] Namun demikian, ulama
mutaqaddimin pada umumnya sepakat tentang keharamannya. Bahkan mereka
sepakat tentang haramnya riba pada enam barang yang disebutkan dalam hadits
Ubadah bin Shamit (at-Tirmidzi, 1964: 354) sebagai berikut:"Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir (gandum yang lebih
rendah kualitasnya) dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
pertukarannya harus semisal dan semisal, sama dan sama, tangan dan tangan.
Maka jika terjadi perbedaan pada barang-barang ini lakukanlah jual beli
semau kalian selama dilakukan antara tangan dan tangan." (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu'anhu, dan lafaz ini milik
Muslim)
Para ulama tidak sepakat tentang apakah selain yang enam itu ada yang
termasuk barang ribawi atau tidak. Golongan Dhahiriyah berpendapat bahwa
riba itu hanya terjadi pada enam barang tersebut, sementara empat imam
madzhab fiqh berpendapat bahwa barang ribawi tidak hanya enam barang yang
disebutkan dalam hadits tersebut, tetapi termasuk juga barang lain yang
sejenis atau memiliki 'illat yang sama. Untuk memudahkan pemetaan pendapat
antara kedua kelompok yang berbeda pendapat di atas, dapat dilihat dalam
tabel berikut.
Tabel 2. Illat Hukum Riba
"Jenis Riba"Illat Hukumnya "Cara Transaksi dan "
" " "Jenis Barangnya "
"Riba "Modernis: Dzulm (kedzaliman) "Pinjam uang "
"nasi'ah " " "
" "Neo-Revivalisme: Ziyadah "Pinjam uang "
" "(tambahan) " "
"Riba fadl "Abu Hanifah: setimbang ( ittihad "Tukar (beli) emas "
" "al-wazn ) Imam Malik, Syafi'i dan"dan perak "
" "Ahmad: sejenis dalam harga " "
" "Abu Hanifah: seukuran ( ittihad "Tukar (beli) "
" "al-kail ) Imam Malik: sejenis ( "gandum, kurma, "
" "ittihad al-jins ) dan termasuk "garam "
" "makanan Ahmad: makanan dengan " "
" "syarat bisa ditimbang dan diukur " "
Sumber: Muslim, [99]
BAB III
FAKTOR-FAKTOR MASYARAKAT MELAKUKAN NATING
A. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah membawa angin
segar bagi masyarakat kota Pagaralam, dibentuk berdasarkan Undang–Undang
Nomor 8 Tahun 2001 (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4115), sebelumnya kota Pagar Alam termasuk kota
administratif dalam lingkungan Kabupaten Lahat. Kota ini memiliki luas
sekitar 633,66 km² dengan jumlah penduduk 126.181 jiwa dan memiliki
kepadatan penduduk sekitar 199 jiwa/km². Kota ini berjarak sekitar 298 km
dari kota Palembang dan juga berjarak sekitar 60 km di sebelah barat daya
Kabupaten Lahat. Kota ini sekarang dipimpin oleh dr. Ida Fitriati, M.Kes.,
dan Novirzah Djazuli, S.E. Sebagai wali kota dan wakil wali kota Pagar Alam
periode 2013-2018[100]
Luas wilayah kota Pagaralam kurang lebih 633,66 Km2, Secara gegrafis
kota Pagaralam berada pada posisi 4 derajat lintang selatan (LS) dan 103.15
derajat Bujur Timur (BT), Sebagai atap daerah provinsi Sumatera Selatan,
kota Pagaralam berada pada ketinggian 100 – 1000 Mdl ( Meter dari permukaan
laut ) dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini berada dibawah kaki
Gunung Dempo + 3159 Meter. Kota Pagaralam mempunyai 5 kecamatan yang
diantaranya: Kecamatan Pagaralam Selatan, Pagaralam utara, Dempo selatan,
Dempo utara dan dempo tengah., dengan rata-rata suhu berkisar 14 – 34
derajat celcius potensi ini tentunya dapat menjadikan perekonomian
masyarakat pagaralam lebih baik[101]
Batas daerah ini adalah:
Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Lahat
Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu
Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten lahat
Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Lahat
Berdasarkan pengamatan dari Pos pengamatan Gunung Api Dempo, suhu
udara minimum di Kota Pagar Alam selama Tahun 2010 adalah 19O C sedangkan
suhu maksimum adalah 30o C Jumlah Hujan terbanyak terjadi pada bulan
Februari yaitu 25 hari.
Kota Pagar Alam selalau mengalami kenaikan jumlah penduduk yang sangat
drastis yang awalnya pada tahun 2000 jumlah penduduknya hanya 112.025 jiwa
jumlah itu pun pada sepuluh tahun kemudian berpopulasi lebih kurang 126.363
jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,22%. Dikarenakan adanya
faktor Transmigrasi yang ingin menetap di kota Pagar Alam.Penduduk kota
Pagar Alam terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain penduduk asli (suku
Melayu), ada banyak juga suku Jawa, suku Minang, suku Batak, Orang
Peranakan, Arab-Indonesia, dan India-Indonesia.
Kecamatan yang memiliki penduduk terpadat adalah kecamatan Pagaralam
selatan yang jumlah penduduknya mencapai 40.167 jiwa/km2, dan kecamatan
yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Dempo selatan
dengan kepadatan penduduk sekitar 11.714 jiwa/km2.
Tabel 3
Jumlah penduduk kota Pagaralam menurut kecamatan dan jenis kelamin
tahun 2014
"no "Kecamatan "Penduduk "Rasio "
" " " "jenis "
" " " "kelamin"
" " "Laki-laki"Perempuan "jumlah " "
"1 "Dempo Selatan "6189 "5525 "11714 "112 "
"2 "Dempo Tengah "6692 "6127 "12819 "109 "
"3 "Dempo Utara "10561 "9834 "20395 "107 "
"4 "Pagaralam Selatan"24009 "23394 "47403 "103 "
"5 "Pagaralam Utara "20416 "19751 "40167 "103 "
Sumber: Data BPS 2014
Sebagian besar keadaan tanah di Kota Pagar Alam berasal dari jenis
Latosol dan Andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai berbukit.
Jika dilihat dari kelasnya, tanah di daerah ini pada umumnya adalah tanah
kelas I (satu) yang mengandung kesuburan yang tinggi, hal ini terbukti
dengan Daerah Kota Pagar Alam yang merupakan penghasil sayur-mayur, buah-
buahan, dan merupakan salah satu Sub terminal Agribisnis (STA) di Provinsi
Sumatera Selatan
Dengan posisi nya yang tinggi, Pagaralam dapat dijuluki sebagai atap
Sumatera Selatan, dua musim silih berganti datang ke daerah, yaitu musin
hujan dan musim kemarau, musim kemarau beralngsung antara April sampai
dengan desember, sedangkan musim hujan setiap tahun antara Oktober hingga
Maret. Penyimpangan kedua musim terjadi setiap lima tahun sekali, yaitu
saat musim hujan berkisar 2.000-3.000 mm dengan kelembaban udara berkisar
75-89 persen.
Sedangkan potesi ekonomi kota Pagaralam bersumber dari sektor
pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata, perdagangan dan industry,
serta sektor lainnya, dua sektor andalannya adalah pertanian dan
pariwisata. Basis perekonomian berupa pertanian dan perkebunan telah
memberikan kontribusi yang cukup besar, sektor pertanian di kota Pagaralam
terdiri dari tanaman pangan (padi) dan tanaman holtikulutura, sedangkan
sektor perkebunan, dikenal dengan penghasil kopi, selain kopi komoditas
perkebunan lainnya adalah lada, vanilli, kemiri dan kayu manis[102]
B. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Pagaralam dengan pertimbangan bahwa
Pagaralam merupakan sentra penghasil Padi dan Kopi di provinsi Sumatera
Selatan. Komoditas tanaman pangan terutama padi dan kopi menjadi perhatian
dalam penelitian karena merupakan mata pencaharian utama petani di kota ini
dan komoditas ini sangat potensial untuk dikembangkan, selain itu karena di
Pagaralam petaninya mempunyai suatu kebiasaan melakukan nating a yang
apabilan dikaji dalam perspektif Islam akan menarik untuk diteliti sehingga
dalam pelaksanaannya jauh dari unsur-unsur yang dilarang dalam agama dan
dapat menjadi sarana untuk saling tolong menolong dalam masyarakat petani
itu sendiri.
Langkah berikutnya dalam melakukan penelitian dengan melakukan
pemilihan secara sengaja (purposive) terhadap beberapa kecamatan yang ada
di Pagaralam dimana sebagian besar penduduknya adalah petani yang menanam
padi dan kopi, diantaranya yaitu kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan
Dempo utara.
C. Gambaran Tentang Sistem dan Proses 'Nating' Di Kota Pagaralam
Dalam kehidupan masyarakat di Pagaralam telah lama dikenal istilah
nating , perilaku ekonomi ini telah sangat banyak dilakukan oleh para
petani kopi dan padi maupun masyarakat-masyarakat lainnya, menurut beberapa
tokoh masyarakat dan pelaku nating itu sendiri mendefinisikan istilah
nating adalah:
"suatu proses kegiatan dimana petani menatingka (menggadaikan) sebagian
sawah atau kebunnya kepada keluarga (kerabat) dekat, pemilik modal, agen
ataupun tengkulak untuk mendapatkan sejumlah uang untuk membiayai
kebutuhan hidupnya dengan perjanjian yang disepakati bersama antara
petani pelaku nating dengan si penating (pemilik dana)"
Jadi dalam nating terdapat dua pihak yang bekerjasama, yakni pihak
yang menyerahkan tanah (barang jaminan) atau petani pelaku nating dan pihak
kedua adalah pihak penerima tanah atau pihak penerima gadai
(penating)[103]. Pihak penerima nating inilah yang harus menyerahkan
sejumlah uang tertentu. hampir sama dengan pengertian gadai pada umum nya,
namun perbedaan yang sangat mendasar adalah tentang pola pemanfaatan barang
jaminan.
Menurut Defri[104] nating ada dua macam yaitu:
a. Nating biasa (tidak kuasa) : artinya petani pemilik lahan menatingkan
(menggadaikan) sawah atau kebun kepada kerabat, penduduk sekitar,
tengkulak ataupun kepada agen yang disebut penating (yang memiliki
modal), dengan perjanjian atau kesepakatan petani pemilik sawah atau
kebun boleh menggarap sawah, ladang atau kebunnya, dan bila sudah panen
hasilnya dibagi dua antara pemilik modal dan pemilik lahan dengan
persentase atau jumlah hasil panen yang ditentukan dan dalam jangka
waktu yang ditentukan pula.
b. Nating kuasa : petani pemilik lahan menatingkan (menggadaikan) sawah,
ladang, kebun kepada penating namun petani tersebut tidak diberi kuasa
atau dalam istilah lain pemilik tidak bisa berbuat apa-apa atas lahan
yang dimilikinya baik dalam hal menggarap maupun menikmati hasilnya, dan
penating berhak menyuruh orang lain atau buruh tani yang dia kehendaki
untuk menggarap nya, untuk persentase hasil biasanya pemilik modal lah
yang berkuasa penuh menentukan persentase dari hasil panen.
Tabel 4. Perbandingan Sistem Nating Kuasa dan Non Kuasa
"Uraian "Nating kuasa "Nating biasa "
"Batas Yuridiksi"Petani tidak punya hak "Petani masih "
" "untuk menggarap lahan "mempunyai hak untuk "
" " "menggarap lahan "
"Status "Selagi belum ditebus "Selagi belum ditebus"
"Kepemilikan "lahan menjadi hak "kepemilikan lahan "
" "penating (pemilik modal) "tetap menjadi "
" " "pemilik lahan. "
"Hasil Panen "Hasil pada umumnya "Hasil dibagi sesuai "
" "dikendalikan oleh "kesepakatan antara "
" "penating (pemilik modal) "pemilik lahan dan "
" "dan pemilik modal yang "penating selaku "
" "berhak menentukan "pemilik modal. "
" "persentase bagi hasil " "
" "pada setian masa panen. " "
"Besaran Jaminan"Untuk nating kuasa "Nating biasa dengan "
" "biasanya dalam jumlah "jumlah pinjaman uang"
" "lahan yang luas dan dalam"dan jaminan lahan "
" "jumlah pinjaman yang "yang lebih kecil. "
" "lebih besar disbanding " "
" "nating biasa. " "
Sumber : Hasil wawancara dari berbagai sumber.
Dari dua jenis nating yang dijelaskan diatas, masih terdapat satu
jenis lagi nating yang sering juga dilakukan pada masyarakat Pagaralam,
yakni nating rumah, hampir sama dengan proses nating biasa, namun dalam
nating rumah pemilik modal hanya memberikan sejumlah uang untuk digunakan
pemilik rumah, namun pemilik modal berhak untuk mendapatkan dan menetapkan
sewa kepada pemilik rumah selama pemilik rumah masih menempati rumah
tersebut sebagai dispensasi untuk rumah yang telah digadaikan dan dalam
waktu perjanjian yang ditentukan pemilik rumah wajib mengembalikan uang
pinjaman dan uang sewa rumah.
Dalam nating rumah biasanya pemilik rumah mempunyai beberapa tempat
tinggal yang dapat digunakan untuk dijadikan barang jaminan nating, namun
ada pula yang hanya memiliki satu rumah yang mereka tempati sendiri, dalam
proses nating ini pemilik rumah biasanya ikut memberikan sejumlah uang
kepada pemilik modal sebagai dispensasi atau uang sewa dari rumah yang
telah mereka gadaikan selama pemilik rumah masih menghuni rumah mereka
sendiri, namun yang mempunyai rumah lebih dari satu, pemilik modal biasanya
langsung menghuni rumah yang telah dijadikan barang jaminan nating tanpa
ada uang sewa, selama perjanjian nating berlangsung atau selama uang
jaminan belum dikembalikan.
Tabel 5 Gambaran Umum Praktik Nating Rumah
"Uraian "Nating Rumah biasa "Nating rumah kuasa "
"Jaminan Rumah"Pemilik rumah menerima "pemilik rumah biasanya "
" "sejumlah uang dari "mempunyai lebih dari "
" "pemilik modal, dalam "satu rumah, dan diantara"
" "jangka waktu yang "nya pemilik rumah "
" "ditentukan, namun rumah "menatingkan salah satu "
" "(barang jaminan) "rumah nya kepada pemilik"
" "tersebut tetap dihuni "modal, selama perjanjian"
" "oleh pemilik rumah namun"nating ini berlangsung "
" "pemilik rumah "pemilik modal lah yang "
" "berkewajiban untuk "berhak memanfaatkan "
" "memberikan uang sewa "rumah (barang jaminan) "
" "kepada pemilik modal "baik itu menghuninya "
" "sebagai dispensasi "secara langsung ataupun "
" "pemanfaatan rumah "menyewakan nya kembali "
" "tersebut. "kepada orang lain "
Sumber : Hasil wawancara dari berbagai sumber
Meskipun masih banyak sekali praktik nating yang terjadi di Pagaralam
namun secara umum yang membedakan nya adalah proses pemanfaatan barang
jaminan, dan jenis dari nating itu sendiri, baik itu nating kuasa ataupun
nating biasa.
Terjadinya nating sudah berlangsung lama dan membudaya di kehidupan
petani Pagaralam, dan biasanya bila pelaku nating belum bisa menebus tanah
maupun rumahnya dalam batas waktu yang ditentukan sebagai kesepakatan awal,
maka si penating (pemilik modal) dapat memberikan tempo (perpanjangan
waktu) kepada pelaku nating untuk menebus tanah maupun rumah mereka, namun
bila sampai tidak tertebus juga, maka tanah maupun rumah itu baru jadi
milik penating (pemilik modal) dan biasanya diiringi dengan penambahan uang
nating kepada pemilik tanah ataupun rumah itu.
Secara umum banyak faktor yang menyebabkan petani di Pagaralam
melakukan peraktek nating, hal ini tercermin dari peruntukan dan kegunaan
uang yang merka peroleh dari nating itu sendiri, mereka gunakan untuk
konsumsi, biaya sekolah anak, produksi, dagang, persedekahan, maupun
membeli perabot atau kebutuhan rumah tangga lainnya, hal ini dapat dilihat
dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tien yustini yang yang
menerangkan bahwa dari 187 responden yang terdiri dari petani padi dam
kopi, disimpulkan bahwa petani kopi dan padi menggunakan uang pinjaman atau
uang dari menating kan barang mereka untuk kebutuhan produksi atau modal
usaha tani, berikut hasil penelitian nya.
Tabel 6. Karakteristik Petani Berdasarkan Kegunaan Uang Pinjaman Dari
Nating
"Kegunaan uang "Petani Kopi "Petani Padi "Total "
"pinjaman " " " "
"Jumlah "% "Jumlah "% "Jumlah "% " "Produksi "43 "38,4 "44 "58,7 "87 "46,5
" "Konsumsi "25 "33,0 "24 "16,0 "37 "29,8 " "Lainnya "44 "39,3 "29 "25,3
"63 "33,7 " "Keterangan:
Lainnya : biaya anak sekloah, membeli barang, dagang dan persedekahan atau
pesta.
Sumber : Hasil Penelitian Disertasi Tien Yustini tahun 2011
Jadi merujuk dari hasi penelitian diatas dalam masa transisi sebelum
dan pasca panen padi maupun kopi banyak petani melakukuan nating untuk
memenuhi kebutuhan modal persiapan panen, dan sisanya pelaku nating
meggunakan untuk kebutuhan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya.
Ada satu hal yang menarik dari hasil penelitian diatas, ternyata
selain bermotif ekonomi uang dari hasil nating digunakan untuk kebutuhan
prestise atau gengsi dalam melakukan pesta pernikahan, dimana kebiasaan
masyarakat Pagaralam melakukan pesta syukuran pernikahan secara besar-
besaran dengan diawali berkumpul di rumah keluarga yang mengadakan pesta
selama berhari-hari sebelum hari puncak acara atupun setelah acara, dan
tentunya memerlukan memerlukan biaya untuk makan, minum, upacara adat dan
sebagainya, meskipun terkadang mereka harus berhutang dan menating kan
harta yang mereka miliki, dan inilah yang menjadi salah satu sumber faktor
budaya yang tentunya menjadi faktor ekonomi (konsumtif motife) yang menjadi
penyebab petani melakukan nating.
Dengan melakukan nating tentunya aka nada risiko yang akan dihadapi
petani ataupun pelaku nating itu sendiri. Akibat dari sejumlah uang yang
mereka pinjam dengan nating dari menggadaikan sawah, kebun maupun rumah
mereka, setidaknya harus mengurangi pengeluaran mereka, menurunnya
pendapatan, bahkan bila mereka tidak mampu mengembalikan uang yang dipinjam
risiko yang terberat adalah kehilangan lahan pertanian ataupun rumah
mereka, tapi bagi meraka mereka yang mempunyai keinginan untuk
mengembangkan usaha taninya atau usaha-usaha di bidang lainnya mereka tidak
menggunakan uang nating tersebut untuk keperluan yang bersifat konsumtif
tapi setelah melakukan nating justru mereka berfikir bagaimana meningkatkan
usaha mereka agar dapat mengembalikan uang nating tepat pada waktunya.
D. KARAKTERISTIK PERILAKU MASYARAKAT PAGARALAM
Karakteristik ekonomi masyarakat Pagaralam selalu berkaitan dengan
karakteristik petani yang mengelola usaha pertanian baik kopi, padi, sayur-
mayur maupun pegawai negeri sipil dan pengusaha ditambah dengan akulturasi
budaya yang terjadi pada masa lampau dimana kebudayaan hindu budha termasuk
juga Islam masih terasa kental sampai saat ini.
Masyarakat Pagaralam sering menyebut dirinya sebagai masyarakat
Basemah (Pasemah). Secara historis wilayah ini meliputi wilayah Lahat,
wilayah Pagaralam hingga menyentuh wilayah Bengkulu (Pahiangan dan Rejang
Lebong) yang ada di pegunungan "Bukit Barisan". Basemah (Pasemah) memiliki
ciri-ciri budaya yang spesifik, unik dan menarik. Hal ini dapat diamati
dalam karakter masyarakatnya mulai dari bahasa yang digunakan, logat
bertutur, tata sosial, hasil seni dan budaya serta tatanan etika dan religi
yang tertanam dalam kearifan lokalnya (local genius).
Keberadaan awal suku bangsa ini dipercaya berasal dari dua gelombang
kedatangan manusia, yakni pertama ditandai dengan kebudayaan batu
(megalit), kedua dengan masuk suku bangsa asal wilayah timur Asia, sekitar
tahun 200-100 SM, dilihat dari peninggalan-peninggalan arkeologis yang
ditemukan di daerah itu, termasuk arca gajah yang kini disimpan di Museum
Bala putra dewa, hal ini dapat dilihat bahwa suku bangsa Besemah telah
memiliki peradaban tinggi, jauh sebelum adanya sejarah tertulis di Sumsel.
Dari tinjauan kesejarahan, keberedaan Besemah (Bangsa Belanda
menyebutnya Pesemah, merujuk bagian hikayat pesemah libagh), terutama dapat
dilihat pada masa pra hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam, pada
masa inilah dikenal istilah marga. Pada masa pemerintahan Sido Ing Kenayan
yang naik tahta sekitar tahun 1629, dibuat semacam Undang-undang yang
mengatur hubungan antara Palembang dan daerah pedalaman, selanjutnya
hubungan ini makin efektif pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (Sultan pertama kesultanan Palembang
Darussalam), yang memeritah pada masa 1651-1706 M[105]
Beberapa tahun lalu, Pemerintahan Pagaralam secara resmi telah
mendaftarkan 67 situs Megalitikum-nya ke Unesco untuk dapat ditetapkan
sebagai kota cagar budaya (heritage). Secara faktual tak dapat dipungkiri
bahwa wilayah Pagaralam (juga wilayah kab. Lahat) menyimpan ratusan situs
megalitikum yang tersebar di berbagai tempat.[106] Kebudayaan Megalitikum
merupakan hasil dari budaya zaman Neolithikum, yang menyerap peradaban awal
jaman logam. Jaman ini kemudian dikenal dengan masa perundagian yang mulai
ditandai mulai ditemukannya logam, kapak, pahat dan lain-lain dalam bentuk
yang paling sederhana (+/- 2500 tahun SM).
Kebudayaan Megalithikum di Pagaralam (dan Lahat) dapat kita lihat
secara riil dalam bentuk Menhir, makam batu, rumah batu, Dolmen, punden
berundak dan batu tegak (Kosala), altar batu (batu ceper) dan lain-lain.
Batu-batu besar dalam berbagai bentuk inilah yang menurut para ahli
dimaksudkan sebagai sarana ritual. Dalam hal ini para ahli sependapat bahwa
di dalam rumah batu yang banyak tersebar itulah nenek moyang kita melakukan
kegiatan ritualnya. Ritual yang dimaksud adalah suatu aktifitas yang
dilakukan terkait masalah misteri kehidupan dan kematian. Pada umumnya
dalam kebubayaan megalithikum selalu berorientasi pada aspek-aspek
kepercayaan atau supranatural dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang ada
pada benda-benda, mahluk hidup bahkan roh nenek moyang.
Pagaralam kota yang terhampar di perbukitan tinggi, diapit gunung
Dempo dan pegunungan Bukit Barisan yang membujur hampir sepanjang pulau
Sumatra. Kota Pagaralam dapat ditempuh dari kota Palembang dengan bus trans
Sumatra dengan jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Jalanan berliku-liku
membelah hutan tropis, memberi pemandangan hijau dan cukup eksotis.
Diperjalanan itu, sesekali kita akan bertemu kota kabupaten, kota
kecamatan dan desa-desa yang diisi rumah-rumah penduduk bercorak tradisi.
Rumah-rumah panggung dari kayu berwarna kelam kecoklatan, rumah besar yang
ditopang oleh tiang-tiang setinggi kurang lebih 150-200 cm. Dibawah rumah-
rumah panggung itu pula sering digunakan untuk menyimpan peralatan tani,
kayu bakar bahkan hewan ternak yang secara keseluruhan terasa sekali
nuasana tradisi.
Dengan demikian, Pagaralam mengalami perubahan masa diamana pada masa
kebudayaan Megalithikum di masyarakat Basemah (Pasemah) dapat ditafsirkan
telah menjalani satu peradaban yang cukup canggih dan kokoh, sehingga
sampai hari ini jejak-jejak peradaban tersebut masih dapat kita telusuri
sampai saat ini.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MASYARAKAT PAGARALAM MELAKUKAN PRAKTEK
NATING
Dari hasil observasi maupun pengamatan awal yang dilakukan penulis
untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
Pagaralam untuk melakukan nating ternyata terdapat banyak sekali variable
maupun faktor-faktor yang mempengaruhinya mulai dari faktor prestise dalam
melakukan mengadakan pesta adat atau persedekahan baik itu upacara
perkawianan, khitanan maupun upacara kematian, meski terkadang mereka harus
berhutang dengan menggadaikan harta yang mereka miliki, untuk modal usaha,
pendidikan, kesehatan, maupun persiapan menjelang masa panen, ataupun
faktor untuk pendidikan dari anak-anak mereka.
Diawali dari hasil wawancara dengan Walikota Pagaralam yang menyatakan
bahwa betapa pentingnya masyarakat Pagaralam untuk terus berupaya saling
tolong menolong antar sesama, dan nating merupakan salah satu media untuk
bersama-sama saling tolong-menolong antar sesama, yang kaya membantu yang
miskin, dan yang kuat membantu yang lemah[107]
Dalam pengertian yang lebih luas lagi, menurut penuturan bapak Dimyati
Rais[108] yang menyatakan bahwa:
"Perilaku nating sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan kota Pagaralam, karena sifat tolong-menolong antar
masyarakat masih terasa kental sekali, dimana antar masyarakat
khususnya kerabat keluarga maupun tetangga terdekat masing-masing
mempunyai kewajiban untuk saling tolong-menolong antar sesama, tidak
diketahui sejak kapan perilaku ini berlangsung namun yang pasti nating
adalah salah satu bukti dari begitu eratnya rasa persaudaraan dari
masyarakat Pagaralam, faktor yang mempengaruhi nating biasanya karena
kebutuhan mendesak yang terjadi karena mempersiapkan resepsi pernkahan
anak, keluarga mendadak sakit keras dan banyak faktor-faktor lainnya,
namun sekarang nating sering kali disalah artikan dan dimaknai sebagai
salah satu bentuk dari investasi dengan mengenyampingkan unsur-unsur
Islam didalamnya, dan hasil dari pinjaman uang nating tidak digunakan
untuk sebagaimana mestinya, hal inilah sering kali yang menjadi faktor
utama pelaku nating tidak dapat mengembalikan uang yang dipinjam lalu
barang gadai akhirnya terjual."
Upacara perkawinan misalnya, meskipun sudah jarang terjadi namun masih
ada sebagian dari masyarakat yang menyelenggarakan hajatan pernikahan
sampai tiga hari tiga malam, dan membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit,
dan pada umumnya masyarakat akan merasa gengsi kalau tidak bisa
melaksanakan pesta yang meriah, bahkan untuk lingkungan tetangga maupun
keluarga terdekat juga juga dikatakan tidak bisa menjaga adat apabila tidak
menyelenggarakan acara pantauan (suatu tradisi mengajak makan para tamu
maupun kedua mempelai untuk makan bersama di rumah kerabat maupu tetangga
terdekat), karena takut menanggung malu kalau mereka tidak dapat
menyediakan hidangan yang mewah dan beragam, meskipun diluar kemampuan
ekonomi mereka, maka kondisi tersebut mendorong petani untuk menggadaikan
sawah ataupun kebun mereka untuk membiayai segala keperluan yang
berkaitandengan peristiwa adat tersebut.
Selain adanya budaya atau tradisi masyarakat Pagaralam dalam
melaksanakan upacara adat baik dalam persedekahan maupun rangkaiannya, ada
juga petani yang menggadaikan sawah atau kebunnya karena mereka enggan
menggarap sawahnya sendiri, karena dengan menggadiakan sawah atau kebunnya
mereka memperoleh dana segar dan uang dari hasil gadai tersebut dapat
digunakan untuk modal usaha maupun digunakan untuk membeli mobil atau motor
untuk kegiatan ojek dan kegiatan usaha lainnya, dan untuk kondisi ini
sering biasanya menggunakan sistem nating biasa atau non kuasa.
Secara umum masyarakat Pagaralam melakukan nating dengan alasan
membutuhkan dana segar atau dana yang langsung bisa digunakan baik untuk
kebutuhan konsumsi maupun produksi, disamping kebutuhan-kebutuhan mendesak
lainnya, misalkan ada salah satu dari keluarga yang membutuhkan dana untuk
melanjutkan sekolah atau salah satu keluarga yang sakit sehingga
membutuhkan dana yang cukup besar, maka daripada petani menjual sawah,
kebun, atau rumah mereka maka penduduk setempat lebih menggunakan nating
sebagai alternative utama untuk mengatasi kebutuhan dana tersebut, meskipun
dalam pelaksanaan nya nating sudah membudaya dan turun temurun dilakukan
oleh masyarakat Pagaralam, pada era modern sekarang pun nating masih tetap
eksis dalam perekonomian
Adapun apabila dilihat dari pendapatan per kapita masayarakat kota
Pagaralam bukanlah termasuk daerah dengan pendapatan yang kecil, bahkan
dengan rangkaian musim panen kopi petani dapat menghasilkan pendapatan yang
cukup untuk kebutuhan menuju musim berikutnya berikut data yang dikeluarkan
oleh badan pusat statistik kota Pagaralam mengenai pendapatan regional dan
pendapatan perkapita kota Pagaralam.
Tabel 7. Pendapatan Regional dan Pendapan Per kapita atas dasar harga
berlaku di kota Pagaralam, 2009-2013
no "Rincian "2009 "2010 "2011f "2012* "2013** " "1 "Produk Domestik
Regional Bruto (Juta Rp) "1.132.295 "1.273.686 "1.436.951 "1.633.160
"1.836.069 " "2 "Penyusutan (juta Rp) "95.878 "107.851 "121.675 "138.289
"155.471 " "
3 "Produk domestik regional neto atas dasar harga pasar (juta Rp)
"1.036.417 "1.165.835 "1.315.276 "1.494.871 "1.680.598 " "4 "Pajak tidak
langsung (juta Rp "78.640 "88.459 "99.798 "113.425 "127.518 " "5 "produk
domestik regional neto atas dasar biaya faktor (juta Rp) "957.777
"1.077.376 "1.215.477 "1.381.455 "1.553.080 " "6 "Jumlah penduduk
pertenghan tahun (orang) "124.882 "126.181 "127.706 "129.719 "131.111 " "7
"Produk domestik regional bruto per kapita (Rp) "9.066.919 "10.094.119
"11.252.024 "12.589.983 "14.013.440 " "8 "Pendapatan regional per kapita
(Rp) "7.669.457 "8.538337 "9.517.778 "10.649.520 "11.853.584 "
"Catatan/Note: f ) Angka Revisi / Revised Figures
*) Angka sementara / Preliminary Figures
**) Angka Sangat sementara / Very Preliminary Figures
Jadi menurut data diatas terjadi peningkatan yang cukup besar dari
pendapatan masyarakat kota Pagaralam, dari tahun ke tahun yang semesetinya
dapat diajadikan acuan bahwa semsetinya dengan pengelolaan keuangan yang
baik masyarakat dapat bertahan hidup selam periode musim panen ke musim
panen berikutnya. Namun masih ada hal yang menarik dari kondisi pendapatan
masyarakat tersebut bahwa masih banyak petani yang belum memaksimalkan
hasil dari penjualan kopi maupun padi secara baik, ini terlihat dari pola
penyimpanan (saving) dana hasil panen yang dengan begitu cepat habis tanpa
terlebih dahulu merincikan kebutuhan-kebutuhan hidup pasca musim panen
berakhir.
Terjadi perubahan signifikan terhadadap tujuan utama nating, yang
sebelumnya tujuan utama adalah saling tolong menolong dengan makna
sebenarnya agar kerabat atau tetangga dapat menghadapi permasalahan
keuangan yang dihadapinya, namun sekarang terjadi pergeseran makna dan
tujuan mengapa masyarakat Pagarlalam melakukan nating yakni sebagai wadah
untuk berinvestasi, dan ini dapat dilihat dari banyak nya pemilik modal
yang mencari peluang untuk melakukan nating, masyarakat yang umum nya
mempunyai simpanan kekayaan yang belum dimanfaatkan biasanya mencari
informasi sawah, kebun ataupun rumah mana yang mau di tatingkan, betapa
tidak jika pemilik modal hanya mencari keuntungan dari bunga deposito yang
ada di perbankan dengan batas akhir yang ditetapkan LPS (lembaga Penjamin
Simpanan) yakni 7,25 itupun dengan nilai suku bunga terbesar dengan jumlah
uang simpanan deposito nya pun relative besar bahkan untuk mencapai bunga
tertinggi tersebut nasabah perbankan harus menyimpan dana nya lebih dari
Rp. 500.000.000,-.
Dibanding dengan proses yang terjadi dalam nating pelaku nating
mendapat keuntungan yang luar biasa dari melakukan nating, betapa tidak
dengan meminjamkan uang Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp. 100.000.000,-
pemilik modal atau yang menerima gadai (murtahin) mampu mendapat hasil dari
barang gadai yakni sawah, kebun ataupun rumah (marhun) dengan jumlah yang
apabila di uangkan jauh lebih besar dari pada bunga deposito. Dan proses
pinjaman di lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non bank, karena
dalam persyaratan umum proses pinjaman di Bank membutuhkan persyaratan yang
diantaranya calon nasabah harus mempunyai agunan (jaminan) yang sesuai
dengan jumlah uang yang akan dipinjam ditambah dengan calon nasabah
harusnya bersih dari catatan bank Indonesia, dan mempunyai pendapatan yang
tetap dengan dibuktikan slip gaji dari calon nasabah[109], meskipun di
Pagaralam sudah banyak terdapat Lembaga keuangan Bank maupun non Bank yang
diantaranya: Bank BNI, Mandiri, BCA, BRI, Sumsel Babel, BNI Syariah, BTPN,
Danamon, Mega Syariah dan lembaga-lembaga non Bank. Dan semua lembaga
tersebut juga ikut melayani pinjaman mikro dengan sekala besar maupun
kecil.[110]
BAB IV
MEKANISME AKAD DAN PERSPEKTIF ISLAM DALAM PERILAKU BUDAYA NATING
A. Mekanisme Perjanjian (Akad) Dalam Pelaksanaan nating
Secara umum untuk mengetahui mekanisme perjanjian (akad) dalam
pelaksanaan nating terlebih dahulu pelaku nating menetapkan pilihan antara
kedua jenis nating, yakni nating biasa (non kuasa) atau nating kuasa,
karena kedua jenis pilihan inilah yang menentukan inti dari perjanjian yang
akan dilakukan, untuk mendapatkan pinjaman dari proses nating ini petani
atau pelaku nating tidak perlu mengisi berbagai macam formulir dengan
menyertakan berbagai kelengkapan administrasi seperti KTP, KK, sertifikat
tanah atau rumah, SIUP/NPWP dan lainnya, pelaku nating cukup mengutarakan
keinginannya atau meminjam sejumlah dana kepada keluarga, kerabat, tetangga
ataupun pemilik modal, dan berjanji akan mengembalikan pinjaman tersebut
dalam jangka waktu tertent
Tingkat kesuburan dan luas tanah sangat menentukan, didalam
mendapatkan pinjaman dari proses nating ini, semakin tinggi tingkat
kesuburan tanah dan luas tanah maka mudah mendapatkan jumlah yang
dikendaki, asalkan tanah itu harus merupakan hak milik sendiri yang tidak
terkait dengan orang lain, karena jika tanah tersebut bermasalah atau
terkait dengan hak orang lain maka orang tidak akan menerima penggadaian
itu.
Kemampuan produktifitas tanah ini akan menjadi pertimbangan bagi
mereka yang memberi pinjaman kepada pemilik harta gadai. Meskipun demikian
sebagai pengikat antara si penating dan petani dibuatlah suatu perjanjian
(hitam diatas putih) tentang jenis apa yang di gadaikan (tatingkan), baik
itu luas lahan, jangka waktu, besarnya pinjaman, besaran sasih [111] yang
akan diberikan dan sistem nating yang diterapkan (apakah nating kuasa
ataun nating biasa), perjanjian antara kedua belah pihak tersebut dulunya
hanya di tanda tangani oleh kedua belah pihak[112], tapi saat ini
perjanjian tersebut biasanya harus diketahui oleh pejabat pemerintah
setempat (lurah) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa
yang akan datang, tapi biasanya hal ini jarang terjadi, dikarenakan nating
ini merupakan salah satu niat baik pihak keluarga untuk membantu kerabatnya
yang membutuhkan dana dan menurut responden dan lurah setempat[113] jarang
sekali bahkan belum pernah ada hal-hal buruk yang ditimbulkan akibat nating
ini. Jika ada petani yang belum bisa membayar pada saat jatuh tempo,
biasanya waktu akan diperpanjang, bahkan ada yang meminta tambahan pinjaman
uang. Dan bila sampai batas waktu yang diberikan si petani belum juga
mengembalikan uang tersebut, barulah tanah, sawah, kebun maupun rumah yang
menjadi jaminan gadai atau yang ditatngingkan tadi menjadi milik penating
atau pemilik modal seutuhnya dengan terlebih dahulu mambahas tentang
penambahan dana sesuai dengan harga yang dikehendaki.
Adapun untuk besaran pinjaman yang diperoleh dari nating ini biasanya
berkisar antara Rp. 5.000.000 bahkan sampai dengan Rp.100.000.000,-, untuk
mendapatkan dana sebesar itu perlu dilakukan penaksiran atas luas tanah,
sawah ataupun kebun dengan memperhatikan produktifitas lahan tersebut,
karena hal ini berkaitan dengan bagi hasil (untuk nating biasa), dan jumlah
hasil keseluruhan dalam masa panen (nating kuasa) .
Adapun untuk proses pengembalian ketika tiba jatuh tempo dalam
perjanjian, jumlah uang yang dikembalikan sebesar yang dipinjam tanpa
adanya tambahan atau bunga yang dibebankan kepada si petani. Pemilik modal
(penating atau murtahin) mendapatkan kompensasi dari dana yang dipinjamkan
kepada petani yang menggadaikan barang nya (rahin) berupa hasil panen yang
diperoleh selama masa perjanjian berlangsung sesuai dari hasil musyawarah
yang telah disepakati sebelumnya hasil dari panen tersebut diperoleh dari
kegiatan usaha tani dari lahan yang ditatingkan atau digadaikan. Namun jika
sistem nating yang disepakati adalah nating kuasa artinya si pemilik modal
(penerima barang gadai atau murtahin) mempuyai kuasa penuh untuk mengelola
serta mendapatkan semua hasil dari lahan ataupun sawah, kebun yang mereka
kelola tanpa sedikitpun ada pembagian kepada pemilik sawah seutuhnya, dan
ketika tiba jatuh tempo prosedur pengembalian harta gadai (marhun) sama
seperti nating biasa yakni dengan mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam
dan harta gadai pun dikembalikan seperti semula, namu hal inilah yang
menurut penulis ada indikasi praktik gadai yang bertentangan dengan ajaran
Islam, namun dalam nating kuasa pun apabila murtahin menginginkan sawah
atau ladang itu tetap di kelolah oleh pemiliknya dengan pembagian hasil
yang ditetapkan oleh penerima barang gadai (murtahin atau pemilik modal).
Beda halnya ketika barang yang ditatingkan berupa rumah atau benda
yang tidak menghasilkan, kedua sistem nating ini pun digunakan,seperti
sistem yang menggunakan nating biasa dengan cara sang pemilik rumah
(pemilik barang gadai atau rahin) tetap menghuni rumah mereka tetapi mereka
juga berkewajiban untuk membayar uang sewa selama perjanjian nating
berlangsung, itu berarti sang pemilik rumah mendapatkan uang dari pemilik
modal dan selama masa perjanjian ini berlangsung pemilik rumah masih
menempati rumah itu namun harus membayar uang sewa tambahan dengan jumlah
yang disepakati bersama, jadi dalam proses nating biasa ini pemilik modal
(rahin) akan mendapatkan uang tambahan berupa uang sewa dari pemilik rumah
dan setelah perjanjian nating selesai pemilik rumah berkewajiban unutk
melunasi dengan membayar uang pinjaman kepada pemilik modal.
Namun ada satu hal lagi yang sering terjadi dalam perilaku ini,
apabila dalam periode waktu perjanjian pemilik rumah belum bisa
mengembalikan uang pinjaman biasanya terjadi kesepakatan ulang untuk
penambahan waktu gadai dan biasanya diiringi dengan penambahan uang
jaminan, dan apabila masih belum bisa dikembalikan dalam periode
perpanjangan maka harta jaminan gadai menjadi milik pemilik modal, artinya
meskipun diawal perjanjian nating pemilik harta gadai tidak ada niatan sama
sekali untuk menjual hartanya namun karena keterdesakan waktu dan jumlah
uang jaminan terus bertambah, maka dengan terpaksa pemilik harta gadai
menjualkan hartanya tersebut, hal ini biasanya terjadi karena adanya
pergeseran makna dari sebelumnya nating dijadikan sebagai sarana tolong
menolong dan saat ini nating dijadikan sarana investasi yang sangat
menguntungkan.
berikut ilustrasi mekanisme perjanjian (akad) yang dilakukan oleh
pelaku nating yang terjadi di Kota Pagaralam
1. Pemilik harta gadai (rahin) mengutarakan niatnya kepada pemilik
modal (murtahin) untuk menatingkan harta gadai nya (marhun) berupa sawah
B. Perspektif Islam Dalam Perilaku Budaya nating di Pagaralam
Setelah mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
Pagaralam melakukan nating dan bagaimana pula proses perjanjian nya
berlangsuang, Hasil dari wawancara beberapa narasumber menerangkan alasan
dan definisi umum apa itu nating serta bagaimana praktik nating yang
berlaku pada masyarakat Pagaralam dan bagaimana menurut mereka tentang
praktik nating jika dikaitkan dalam perspektif Islam, berikut beberapa
kutipan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis:
Menurut Bpk Defri[114] menerangkan:
"Hampir semua masyarakat Pagaralam mengetahui dan melakukan nating
dengan tujuan yang beragam, namun umum nya nating berlangsung pada
kerabat terdekat dengan tujuan saling tolong menolong, namun ada juga
yang melakuakan nating ddengan alasan menyimpan uang dengan harapan
akan mendapat manfaat dari hasil nating itu sendiri, missal nya
mendapatkan sasih[115], dengan harapan pelaku nating dapat mengambil
manfaat dari transaksi tersebut, jenis nating yang paling sering
dilakukan adalah nating sawah karena pemberi modal mendapat manfaat
yang besar dari barang gadai tersebut yakni beras yang dihasilkan
dari hasil panen"
Selanjutnya keterangan bapak Ahmad Rivai lani[116]
"Nating bertujuan untuk menolong keluaarga terdekat yang membutuhkan
uang, namun ada juga untuk mencari pendapatan lain untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, misalnya dengan dengan memberi pinjaman kepada
yang menggadaikan sawahnya tentunya pemilik modal (murtahin)
mendapatkan hasil dari setiap panen dari pemilik sawah dengan tidak
mengurangi uang yang dipinjamkan, jadi sama seperti menabung, dan
penerima uang juga dapat memanfaatkan uang tersebut untuk modal usaha
mereka, dan menurut saya muamallah seperti ini dibolehkan dalam
Islam."
Dari pihak rahin atau pun murtahin yang penulis wawancarai, semuanya
memberi keterangan bahwa mereka menating kan sawah, kebun ataupun rumah
mereka dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka dan secara khusus
mereka tidak mengetahui apakah proses nating yang telah mereka lakukan
telah sesuai dengan prinsip-prinsip muamallah dalam Islam, kerena mereka
beranggapan transaksi ini dengan azas kesepakatan bersama tanpa ada tekanan
dari pihak manapun, landasan inilah yang menjadi rujukan masyarakat
Pagaralam melakukan nating, meskipun sebagaian dari masyarakat Pagaralam
ada juga yang menyangsikan keberadaan nating apakah sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip muammalah dalam Islam.
Berikut hasil wawancara yang penulis lakukan pada beberapa tokoh
masyarakat dan tokoh agama di kota Pagaralam.
Menurut pendapat bpk Syahril Pudi[117], berikut penuturannya:
"Nating sudah berlangsung begitu lama di Pagaralam, bahkan tidak
hanya berlangsung di sini, daerah sekitar Pagaralam juga melakukan
hal yang sama, seperti Lahat, dan Empat Lawang, untuk mengetahui
nating dibolehkan atau tidak dapat kita lihat dari perjanjian awal
atau akad ijab qabul nya, biasanya nating berlangsung dalam jangga
waktu yang lama bahkan bisa jadi sampai bertahun-tahun, hal ini
menurut saya yang harus penulis kaji lebih dalam karena menurut
pendapat saya ada unsur yang merugikan sepihak (untuk nating kuasa),
dan untuk nating biasa diperjelas bahwa niat awal pelaksanaan nating
merupakan azas tolong-menolong bukan investasi, jadi semua keuntungan
maupun kerugian yang dihasilkan kedua belah pihak harus siap
menaggungnya, baik itu untung atau rugi dari setiap kali hasil panen,
hal inilah yang menjadi landasan awal mengapa gadai di bolehkan dalam
Islam, karena dalam muammalah gadai di bolehkan untuk menjamin
keberlangsungan keduabelah pihak, baik itu pemberi gadai dan penerima
gadai. Dikaitkan dengan praktik nating yang ada di Pagaralam memang
sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama di Pagaralam, ada
yang mengaitkan bahwa praktik nating bertentangan dengan ajaran Islam
dikarenakan ada unsur pemanfaatan di dalamnya dan terindikasi ada
sistem riba, lain halnya dengan tokoh masyarakat ataupun ulama yang
membolehkan praktik nating ini, mereka beranggapan bahwa bolehnya
pemanfaatan bararng gadai dibolehkan karena seizin pemilik harta
gadai.
Menurut penuturan bpk Ahmad Nizom[118] bahwa :
"Nating harus bebas dari unsur riba, dan harus bebas juga dari
pinjaman yang mengambil manfaat yang berlebihan, karena hutang yang
mengambil manfaat adalah haram, kalau dikaitkan dengan budaya nating
yang terjadi pada masyarakat Pagaralam sebagaian sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam muammalah dalam Islam Karena dalam nating ada
unsur kerjasama dan hasilnya pun dibagi dengan cara bermusyawarah",
karena dalil yang melandasinya adalah semua muammalah adalah mubah,
namun dalam nating kuasa masih terdapat unsur-unsur riba didalamnya,
karena ada ekspoitasi barang gadai, dimana pemanfataan dan hasil di
serahkan sepenuhnya kepada pemilik modal atau penerima barang gadai,
dimana dalam periode perjanjian nating berlangsung pemilik harta
gadai sepenuhnya tidak berhak atas harta yang digadaikan.
Dan menurut Ust Amril mukminin al-hafidz menerang kan bahwa[119]:
"Pada masa Rosul sudah terjadi sistem gadai seperti ini, pada masa
itu disebut ar-rhan dimana Rasulullah saw. membeli makanan dari
seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya, jadi gadai sudah
berlangsung sejak lama, dan sudah di contohkan oleh rosul,
pertanyaan nya bagaimana dengan sistem gadai yang ada saat ini dan
dikatkan dengan nating yang ada di Pagarlam, secara umum saya
menyimpulkan bahwa nating kuasa itu dilarang karena banyak
mengandung unsur riba disana, dimana pemegang gadai mengambil
manfaat dari barang gadai dengan memanfaatkan sepenuhnya hasil dari
barang gadai, dan seolah-olah pemilik asli dari barang gadai tidak
berhak sedikitpun dari barang yang sudah digadaikannya, hal inilah
yang menurut saya bertentangan dengan sistem muammalah dalam Islam
karena mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari harta gadai sama
seperti mengambil manfaat dari hutang, berbeda dengan nating biasa
yang masih mengandung unsur bagi hasil mudharobah didalamnya, jadi
muammalah nating biasa ini masih dapat dilaksanakan di Pagaralam."
Dari keterangan narasumber yang ada, dan melihat fakta yang terjadi di
lapangan praktik nating dapat diindikasikan bahwa pelaksanaan nating pada
masyarakat Pagaralam terindikasi terdapat unsur riba didalamnya namun ada
juga proses nating ini sudah sesuai dengan hukum syari'ah kerena sudah
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam melakukan muammalah dan
juga semua pihak merasakan manfaat dari akad tersebut, secara garis besar
prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam melakukan
aktifitas nating dirumuskan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya segalah bentuk muammalah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan lain oleh al-Quran dan sunnah Rasul
b. Muammalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan
dan tanpa mengandung unsur riba
c. Muammalah dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudharat dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian
maka segala hal yang dapat membawa mudharat harus dihilangkan.
d. Muammalah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Dilihat dari pendekatan antara nilai sosial dan investasi komersia
pelaksanaan gadai dalam Islam ada beberapa aspek yang harus difahami yang
diantaranya:
1. Kedudukan Barang Gadai.
Gadai pada dasarnya mempunyai nilai sosil yang tinggi, namun pada
kenyataan nya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai dan dirasa tidak
adil karena adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan kita dapat melihat
dari bentuk nating kuasa dengan memberikan jaminan berupa sawah, ladang
ataupun rumah kepada murtahin atau penerima gadai dengan jangka waktu yang
telah ditentukan dan penerima gadai berhak memanfaatkan marhum atau jaminan
sepenuhnya, dan pemanfaatan jaminan seperti inilah yang sangat rentan
sekali dengan praktik riba, dengan dalil bahwa semua pinjaman yang
menghasilkan keuntungan atau manfaat adalah riba', berikut adalah pendapat-
pendapat menurut ulama ahli fiqih:
a. Pendapat Ulama as-Syafi'iyah
Mengenai pemanfaatan barang gadai, imam syafi'i mengatakan bahwa
Syafi'iyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili memberikan definisi
gadai (rahn) sebagai berikut:
"Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, di
mana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan)
tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan."
Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang
menggadaikannnya, tidak ada satu pun dari barang jaminan itu bagi yang
menerima gadai[120], lebih lanjut Syafi'I mengatakan bahwa orang yang
menggadaikan adalah yang mempunyai ha katas manfaat barang yang
digadaikannya, meskiun barang yang digadaikan ada dalam pengawasan pihak
penerima gadai, peguasaan pihak penerima gadai atas barang yang digadaikan
agar tidak hilang dan tidak berpindah tangan.
Secara umum Pendapat ulama Syafi'iyah bahwa tidak ada hak bagi
murtahin untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikan, karena sabda
Rasulullah saw, dari Muhammad bin Ismail bin Abu Fudail mengabarkan kepada
kami dari Ibnu Abu Dzi'b dari ibnu Syihab, dari Sa'id bin Al-Musayab bahwa
Rasulullah saw bersabda, transaksi gadai tidak menutup pemilik barang dari
barang yang digadaikannya, dialah yang menebusnya dan dia pulalah yang
menaggung dendanya.
b. Pendapat Ulama Malikiyah
Malikiyyah memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut:
"Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya
sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi
tetap."
Mengenai pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian, ulama
Malikiyah berpendapa bahwa: hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu
yang dihasilkan padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan, hasil
gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama pihak penerima gadai tidak
mensyaratkan sesuatu. Apaila penerima gadai mensyaratkan bahwa hasil
gadaian itu untuknya, maka hal ini bisa saja terjadi dengan beberapa syarat
yang memungkinkan, yaitu: Hutang disebabkan karena jual beli dan bukan
karena menguntungkan, hal ini dapat terjadi seperti orang menjual barang
dengan harga tangguh (tidak dibayar kontan), kemudian orang tersebut
meminta gadai dengan sesuatu barang yang sesuai dengan sisa hutang nya,
maka pemanfaatan hasil dengan cara ini dibolehkan.[121]
Adapun pendapat Ulama Malikiyah ini apabila seorang rahin memberi izin
kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhum, atau murtahin
mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan yang
berasal dari akad jual beli atau serupa (akad yang didalam nya terdapat
kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatannya
ditentukan atau diketahui (untuk menghindari dari ketidak jelasan yang
dapat merusak muammalah), contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara
cuma-cuma untuk dirinya atau manfaat itu dihitung sabagai hutang dengan
catatan rahin segara melunasi sisa hutangnya.
Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain
(hutang) barasal dari akad al-qardh (hutang piutang), karena hal ini
termasuk dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan
manfaat tetap tidak diperbolehkan meskipun seorang rahin secara sukarela
memberikan manfaat kepada murtahin (maksudnya tidak diisyaratkan oleh
murtahin), karena hal ini termasuk dalam kategori hadiyah midyan (hadiah
dari orang yang berhutang).
c. Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah sebagai berikut:
"Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai
harta dalam pandangan syara' sebagai jaminan untuk utang, dengan
ketentuan dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil
sebagaiannya dari benda (jaminan) tersebut."
Tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadian yang mengakibatkan
kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang menggadaikan memberi izin,
maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari barang yang digadaikan oleh
penggadai.[122]
Adapun alasan bagi para ulama Hanafiyah bahwa yang berhak mengambil
manfaat dari barang yang digadaikan adalah sebagai berikut:
1. Hadist Rasulullah saw:
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw bersabda: barang
jaminan utang bisa ditunggangi dan diperah susunya dan atas dasar
menungganginya dan memerah susunya wajib menafkahinya (HR. Bukhari)
2. Menggunakan alasan dengan akal (rasio)
Sesuai dengan fungsinya barang gadaian sebagai kaminan dan kepercayaan
bagi penerima gadai, maka barang tersebut dikuasai oleh penerima gadai,
dalam hal ini para ulama hanafiyah berpendapat bahwa: apabila barang
gadaian dikuasai oelh pemberi gadai, berarti keluar dari tangannya dan
barang jaminan mnjadi tidak ada artinya, sedangkan apabila barang gadaian
dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh yang menguasainya maka berarti
menghilangkan manfaat dari barang tersebut, dan apabila barang tersebut
memerlukan biaya untuk pemeliharaannya, kemudian jika setiap saat pemberi
gadai harus dating kepada penerima gadai untuk memelihara dan mengambil
manfaatnya, maka hal ini akan mendatangkan mudharat bagi kedua belah
pihak, terutama bagi pembari gadai. Demikian pula bila setiap kali
penerima gaai harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadaian
kepada pemberi gadai itupun sama mudharatnya, maka dengan demikian
penerima gadai berhak mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut
karena ia pulalah yang memelihara dan menahanbarang tersebut sebagai
jaminan[123]
Pendapat ulama hanfiyah tersebut telah menunjukan bahwa yang berhak
menerima dan memanfaatkan barang gadai adalah pihak penerima gadai dengan
terleboh dahulu menysaratkan kesepakatan antara kedua belah pihak, hal ini
disebabkan oleh karena barang gadaian tersebut yang telah dipelihara pihak
penerima gadai da nada dibawah penguasaannya.
d. Pendapat Ulama Hanabilah
Hanabilah memberikan definisi rahn sebagai berikut:
"Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang
bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam
pengembaliannya dari orang yang berutang."
Dalam masalah ini ulama hanabil memperhatikan jenis barang yang
digadaikan itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sednagkan hewan pun
dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau yang dapat ditunggangi,
sedangkan pendapat yang dikemukakanoleh hanbaliyah adalah sebagai berikut:
Barang yang digadaikan adakalanya hewan yang dapat ditunggangi dan
diperah dan adakalahnya bukan hewan, maka apabila yang digadaikan berupa
hewan yang dapat ditunggangi, pihak penerima gadai dapat mengambil manfaat
baranggadai tersebut dengan menungganginya dan memerah susu nya tanpa
seizin yang menggadaikan.
Adapun jika barang gadaian itu tidak dapat ditungganigi dan diperah
susunya, maka dalam hal ini dibolehkan bagi penerima gadai untuk mengambil
manfaat dari barang tersebut dengan seizing dari pihka penggadai dengan
catatan gadai tersebut bukan sebab hutang[124], selanjutnya syarat-syarat
bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat barang gadaian yang bukan
berupa hewan adalah sebagai berikut:
1. Ada izin dari yang menggadaikan
2. Adanya gadai bukan sebab mengutangkan.
Sedangkan apabila barang yang digadaikan itu tidak dapat diperah dan
tidak pulah dapat di tunggangi, maka barang tersebut tidak boleh diambil
manfaatnya.
Adapun yang menjadi alasan bagi imam Ahmad atas pendapatnya tersebut
diatas adalah sebagai berikut:
a. Kebolehan penerima gadai mengambil manfaat barang gadaian yang dapat di
tunggangi dan diperah ialah hadist Rasulullah saw yang artinya:
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bersabda Rasulullah saw gadaian
dikendarai oelh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susu nya
untuk diminum, dengan nafkahnya apabila digadaikan dan atas orang yang
mengendarai dan meminum susunnya wajib menafkahinya (HR. Bukhari)
Hadist lain yang dijadikan alasan penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari barang gadaian adalah hadist yang diriwayatkan oelh Hammad:
Dari Hammad bin Salamah ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda,
apaila seekor kambing digadaikan, maka yang menerima gadai boleh
meminum susu nya sesuai dengan kadar memberi makannya, apabila meminum
susu itu melebihi harganya memberi nafkahnya maka itu termasuk riba.
Kedua hadist ini membolehkan penerima gadai untuk memanfaatkan barang
gadaian atas seizing dari pihak penggadai, dan nilai manfaatnya harus
sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkannnya untuk baranag gadaian
tersebut.
b. Tidak bolehnya penerima gadai mengambil manfaat barang gadai selain
dari barang yang dapat di tunggangi dan diperah susunya, hal ini
sesuai dengan hadist yang artinya:
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw, ia bersabda: gadaian itu tidak
menutup akan yang pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya
kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya
(HR. Bukhari)
Alasan ketidak bolehan mengambil manfaat barang gadaian oeleh penerima
gadai dalam hadist tersebut adalah sama dengan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh Imam imam sebelumnya.
e. Pendapat Ulama Sayid Sabiq
Hampir sama dengan pendapat ulama Hanbali, Sayid Sabiq mengemukakan
bahwa akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dari menjamin hutang,
bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang tidak
ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh
yang mengalirkan manfaat adalah riba[125]. Keadaan qiradh yang mengandung
unsur riba ini, jika agunan bukan berbentuk binatang yang ditunggani atau
binatang ternak yang bisa diambil susunya atau pun lahan yang menghasilkan
sesuatu darinya. Cara yang demikian berpegang pada hadist: "Semua Pinjaman
yang menarik manfaat adalah riba[126] (HR Al-Haris Bin Abi Usamah)
f. Fatwa Dewan Syariah Nasional[127]
Sedangkan menurut ketentuan umum nomor (2) Dewan Syariah Nasional
Nomor Fatwa 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn mengatakan
bahwa marhun (barang) dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin (yang
menyerahkan barang). Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan
oleh murtahin (penerima barang) kecuali seizin rahin, dengan tidak
mengurangi nilaimarhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.[128]
Mengenai biaya penyimpanan atau pemeliharaan barang gadai menurut
kebanyakan ulama' menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbalan
terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaiannya. Pendapat
ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriayatkan dari Al-Syafi'I, Al-
Atsram, dan Al-Daruquthni dari muawiyah bin Abdullah bin Ja'far.
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Ia (pemilik barang gadai berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul
bebannya (beban pemeliharaannya)
Sebagian ahli fikih berkata, barang gadaian terbagi menjadi dua,
yaitu yang membutuhkan biaya perawatan dan yang tidak membutuhkan
perawatan[129] Adapun barang gadai yang membutuhkan perawatan dibagi lagi
menjadi dua. Pertama, berupa hewan yang bisa ditunggangi dan diperah
susunya. Dan hal ini diperbolehkan bagi penerima gadai untuk menungganginya
dan mengambil susunya.
Kedua, yang tidak bisa ditunggangi dan diambil susunya. Seperti
halnya budak laki-laki dan perempuan. Jenis kedua ini tidak diperbolehkan
diambil manfaatnya oleh penerima gadai kecuali dengan seizing pemiliknya.
Dan jenis kedua dari barang gadai ialah yang tidak membutuhkan biaya
perawatan, seperti rumah, perabotan, dan sejenisnya. Jenis ini tidak
diperbolehkan mengambil manfaatnya oleh penerima gadai kecuali dengan
seizin pemiliknya. Namun walaupun dibolehkan jika ada izin dari penggadai
tetapi dikecualikan jika pemanfaatannya tersebut dikarenakan utang. Dalam
hal ini tidak diperbolehkan mengambil manfaat darinya. Sebagaimana yang
telah diterangkan sebelumnya, yaitu agar menjadi pinjaman yang mendatangkan
manfaat sehingga termasuk riba.
Berdasarkan ketentuan umum nomor (3) dan (4) Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI yaitu fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn bahwasannya
(3) pemeliharaan dan penyimpananmarhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. (4) besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.[130]
g. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
Dalam kompilasi hukun ekonomi syariah hanya memberikan keterangan di
dalam pasal 396 tentang pemanfaatan barang gadaian dengan menyebutkan bahwa
murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa izin dari rahin.
2. Analisis Terhadap Pendapat Ulama tentang Pemanfatam Barang gadai
dihubungkan dengan Perilaku nating di kota Pagaralam
Berdasarkan pemaparan mengenai pendapat-pendapat para ulama tentang
pengambilan manfaat barang gadai berikut ulasan analisis nya yang dikaitkan
dengan kondisi nating yang ada di Pagaralam.
a. Analisis terhadap pendapat Ulama as-Syafi'iyah dan Malikiyah.
Kedua ulam tersebut sependapat bahwa pengambilan manfaat barang gadai
adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang atau rahin), sedangkan
penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin
dari pihak yang menggadaikan. Mereka beralasan dari hadist Abu Hurairah,
seperti yang dijelaskan diatas, hadist tersebut menegaskan bahwa rahin
tetap tidak bisa tertutup dari manfaat barang yang digadaikan, kerugian dan
keuntungan adalah di pihak rahin itu sendiri, karena hadist yang
dikemukakan diatas shahih, maka sah jika dijadikan dalil. Hadist tersebut
diperkuat lagi dengan hadist Ibnu umar yang mengatakan bahwa: hewan
seseorang tidak bisa diperah tanpa seizing pemiliknya, hadist ini
diriwayatkan oleh Bukhari dan shahih derajatnya.
Atas dasar kedua hadist tersebut diatas, maka jelaslah bahwa yang berhak
mengambil manfaat barang gadaian adalah pemberi gadai, karena sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa barang gadaian hanya merupakan kepercayaan
bukan penyerahan hak milik. Oleh karena pemilik barang gadaian adalah
pemilik yang sah, maka dia lah yang berhak mengambil manfaat dari padanya,
sedang penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian
kecuali siizin pemiliknya (Pemberi gadai).
b. Analisis terhadap pendapat Ulama Hanabilah
Imam Ahmad berpendapat bahwa penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat
dari barang yang digadaikan kecuali hanya hewan yang dapat ditunggangi dan
diperah susunya dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya[131], pendapat
imam Ahmad tersebut didasarkan pada hadist yang maksudnya: punggung
dikendarai oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan susu nya diminum
dengan nafkahnya, apabila digadaikan dan atas orang yang mengendarai nya
dan meminum susunya wajib nafkah, hadist tersebut diatas menunjukan bahwa
penerima gadai dapat mengambil manfaat atas barang gadaian seimbang dengan
nafkah yang telah dikeluarkannya, meski tanpa seizing dari pemiliknya.
Tetapi hadist tersbut secara khusus mensyaratkan bagi binatang yang dapat
ditunggangi dan diperah saja. Oleh karena itulah Imam Ahmad hanya
membolehkan mengabil manfaat barang gadaian hanya pada hewan yang dapat
ditunggangi dan diperah susunya saja. Sedangkan bagi barang-barang lainnya,
kemanfaatannya tatap pada pemberi gadai.
c. Analisis terhadap pendapat ulama Hanafiyah.
Imam Abu Hanafiyah berpendapat bahwa manfaat barang gadaian adalah hak
penerima gadai. Pendapat ini didasarkan pada hadist Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa barang gadaian itu bisa di tunggangi dan diperah susunya.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh Daruquthny dan Hakim serta menganggapnya
shahih.
Dalam mentafsirkan hadist tersebut diatas, Imam Bukhari memahambkan
bahwa yang berhak menunggangi dan memerah susu binatang itu adalah penerima
gadai, hal ini ditunjang oleh alasan yang kedua, yaitu karena barang
gadaian berada di tangan dan kekuasaan penerima gadai, oleh sebab itu dia
pula yang berhak mengambil manfaatnya, dan bahwa hadist diatas hanya dapat
diterapkan bagi hewan yang ditunggaingi dan diperah susunya, sednagkan bagi
yang lainnya tidak dapat diqiyaskan. Demikian juga dengan alasan kedua
(dengan jalan akal) adalah menyalahi maksud dan tujuan gadai, yaitu bahwa
barang gadai itu sebagai kepercayaan bukan pemilikan. Apabila membolehkan
mengambil manfaat dari barang tersebut kepada penerima gadai berarti
membolehkan mengambil manfaat kepada bukan pemiliknya, sedang yang demikian
itu dilarang oleh syara', Imam Abu Hanifah juga tidak menyebut-nyebut
tentang hadist yang dijadikan alsan oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa
segala risiko keuntungan dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan,
mungkin hadist dimaksud tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah atau mungkin
sampai, tetapi perawi nya hadistnya kurang terpercaya, sehingga beliau
tidak menggunakannya sebagai dasar hukum atau hujjah.
Berdasarkan penjelasan dan analisis diatas, tidak dijumpai keterangan
secara langsung mengenai masalah gadai-menggadai tanah, sawah, kebun
ataupun rumah baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah, da nada yang ada
hanyalah mengenai masalah binatang, gadai menggadai tanah, sawah, kebun
ataupun rumah tidak bisa diqiyaskan kepada binatang, karena binatang adalah
hewan, dan termasuk benda bergerak, sedangkan tanah, sawah, kebun ataupun
rumah benda yang tidak bergerak[132]
Adapun ketentuan gadai sawah, tanah, kebun ataupun rumah menurut Imam
Syafi'I termasuk kepada gadai umum, hal ini berdasarkan pada hadist yang
artinya:
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw ia bersabda: Gadaian itu
tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu (faidah kepemilikan
dan dia wajib mempertanggung jawabkan nya segala risiko (HR.
Bukhari).
Berdasarkan hadist diatas Imam Syafi'I berpendapat bahwa tidak boleh
mengambil suatu manfaat dari barang milik orang lainkecuali dengan izin
pemiliknya, maka oleh karena pemilik barang gadaian itu adalah orang yang
menggadaikan, berarti penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari
barang gadaian karena dia bukan pemiliknya[133]
Dengan demikian menururt pendapat para ulama mazhab jika dikaitkan
dengan perilaku nating yang terjadi di Pagaralam yakni pinjaman uang yang
dilakukan oleh rahin disertai dengan pemanfaatan dan pembagian hasil dari
sawah maupun rumah kepada murtahin dalam jangga waktu tertentu maka hukum
nya ada sistem nating yang dibolehkan (mubah) dan ada juga sistem nating
yang dilarang (haram), karena jika dilihat dari pendapat imam Syafi'i
membolehkan pemanfaatan barang jaminan gadai jika tidak diisyaratkan diawal
akad, sedangkan praktik nating yang terjadi di Pagaralam semua persaratan
terdapat di awal akad, termasuk penetapan jenis nating yang di lakukan dan
jumlah pembagian dari hasil yang diperoleh dari pemanfaatan jaminan gadai
(marhun), maka dapat disimpulkan menurut pendapat Imam Syafi'i bahwa semua
jenis nating yang terjadi di Pagaralam merupakan muammalah yang dilarang
(haram).
Sedangkan apabila dilihat dari pendapat imam Maliki bahwa boleh
memanfaatkan barang jaminan gadai baik itu disyaratkan di awal atau tidak
di isyaratkan tetapi dengan catatan hutang (dain) tersebut didapatkan dari
akad jual beli ataupun akad ijarah dan sejenisnya. Akan tetapi apabila
peranjian tersebut didapatkan dari akad hutang piutang (qard) maka hukumnya
adalah haram. Karena setiap hutang piutang yang mengambil manfaat adalah
haram, sedangkan praktik nating di Pagaralam semua akadnya merupakan akad
hutang piutang dengan jaminan berupa sawah, kebun maupun rumah, maka
menurut Imam Maliki praktik nating di Pagaralam termasuk kategori muammalah
yang dilarang (haram). Selanjutnya apabila dilihat dari pendapat Imam
Hanafiah, mereka berpendapat murtahin tidak berhak memanfaatkan barang
gadaian kecuali mendapatkan izin dari rahin, karena hak murtahin hanya
menahan barang jaminan tersebut tidak dengan mengambil manfaatnya,
Menurut pendapat Imam Hanbali bahwa selain untuk hewan yang dapat
ditunggangi atau hewan yang menghasilkan susu, maupun sesuatu yang
membutuhkan perawatan, pemeliharaan dan menghasilkan, yaitu sesuatu yang
tidak membutuhkan perawatan seperti rumah dan barang lainnya, maka murtahin
tidak boleh memanfaatkannya kecuali dengan seizing rahin , akan tetapi
apabila hutang tersebut dari akad qard (hutang piutang) meskipun rahin
telah mengizinkan tetap saja hal ini tidak boleh dimanfaatkan, karena ini
adalah bentuk hutang piutang yang mendatangkan manfaat, pendapat imam
Hambali inilah yang paling mendekati kondisi yang terjadi di Pagaralam,
dimana dalam proses nating murtahin memperoleh manfaat dari barang yang
diagadaikan tentunya dengan seizing rahin, ini terjadi pada proses nating
biasa dan barang yang ditatingkan berupa sawah, ladang ataupun kebun
mereka, untuk barang gadai yang berupa rumah hambali berpendapat tidak
boleh mengambil manfaat dari barang tersebut.
Namun terjadi permasalahan mengenai akad yang ada di dalam akad gadai,
karena dalam proses nating akad yang digunakan adalah akad hutang piutang
sehingga menurut para imam tidak boleh mengambil manfaat dari akad qardh,
sehingga untuk proses nating yang terjadi selama ini untuk pemanfaatan nya
menurut para imam adalah jenis muammalah yang dilarang,
Terlepas dari itu semua tinjauan penulis tentang proses nating yang
terjadi di Pagaralam mempunyai karakteristik yang berbeda dalam hal
pembagian hasil ataupun pemanfaatannya, sistem gadai yang umumnya terjadi
pada masyarakat yakni dengan menggadaikan emas, ataupun sejenisnya dan
harta gadai ditahan oelh penerima gaai dalam hal untuk nating biasa
misalnya, pengelolaan marhun (barang gadai) masih sepenuhnya dikelolah oleh
rahin, namun setelah barang gadai memperoleh hasil dari masa panen (sawah,
kebun), rahin memberikan sebagaian hasilnya kepada murtahin sesuai dengan
akad yang disepakati di awal, ketidak tahuan tentang akad inilah yang
menyebabkan proses nating ini belum sesuai dengan syariat hukum Islam. Dan
jika kondisi ini diharamkan maka akan menimbulkan mudharat dari pihak yang
menerima gadai dan ini bertentangan dengan asas-asas dalam bermuammalah
yaitu muammalah yang dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudharat dalam hidup bermasyarakat, dan muammalah harus
dilakukan dengan memelihara nilai-nilai keadilan. Hal ini juga sesuai
dengan asas-asas akad yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) pasal 21 huruf (e) yang menerangkan bahwa akad dilakukan
atas dasar saling menguntungkan para pihak, sehingga tercegah dari praktik
yang merugikan salah satu pihak.
Mudharat yang harus dihilangkan dalam pemanfaatan sawah, kebun atau
pun rumah yaitu ketika penerima gadai dilarang dalam memanfaatkan barang
gadaian sawah yang menjadi barang gadaian, karena hal ini akan menyebabkan
kerugian bertahun-tahun yang dialami oleh pihak penerima gadai (murtahin)
hal ini bisa dikaitkan dengan teori inflasi mata uang Indonesia, dan juga
pengharaman dalam pemanfaatan sawah tersebut akan mencidrai asas-asas
keadilan karena ketika mengharamkan pemanfatan sawah oleh pihak penerima
gadai sedangkan pihak yang menggadaikan (rahin) bisa menikati keuntungan
dengan mendapatkan dana segar untuk kebutuhan ataupun mengembangkan usaha
yang dimiliki oleh pihak penggadai sawah (rahin).
Adapun mengenai mekanisme akad dalam nating biasa yang semsetinya
dilakukan pada proses ini adalah
a. Rahin mendatangai murtahin untuk meminta fasilitas pembiayaan dengan
membawa atau menunjukan dimana letak dan kondisi marhun (barang jaminan
yang dapat dimanfaatkan atau dikelola) yang kan diserahkan kepada
murtahin.
b. Murtahin melakukan pemeriksaan dan ternasuk juga menaksir harga barang
jaminan yang akan dibarikan oleh rahin sebagai jaminan hutangnya
c. Setelah semua persaatan terpenuhi, maka murtahin dan rahin melakukan
akad nating biasa.
d. Selanjutnya, setelah akad nating dilakukan, maka murtahin
akanmemberikan sejumlah pinjaman uang yang jumlahnya dibawah nilai
barang jaminan yang telah ditaksir kepada rahin.
e. Setelah rahin menerima sejumlah uang pinjaman dari murtahin, maka
selanjutnya kedua belah pihak melakukan lagi negosiasi kembali mengenai
pemanfaatan barang gadaian tersebut yaitu apakah barang tersebut akan
dikelola atau dimanfaatkan atau tidak , jika barang tersebut disepakati
untuk dikelola, selanjutnya akan ditentukan siapa yang akan mengelola
(sesuai kesepakatan), selanjutnya baru dilakukan akad pemanfaatan barang
gadaian tersebut dengan akad kerjasama, hasil dari pengelolaan atau
pemanfaatan barang jaminan tersebut dengan pembagian bersama sesuai
dengan hasil kesepakatan.
Sesuai dengan tinjauan penulis terhadap nating pada masyarakat
Pagaralam dengan menggunakan pendekatan dari sudut pandang empat mazhab
ditambah dengan pendapat ulama serta tokoh masyarakat yang ada di Pagaralam
dan menggunakan pendekatan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), maka
pemanfaatan barang gadai (marhun), yang dilakukan masyarakat kota Pagaralam
menjelaskan bahwa :
a. Untuk pelaksanaan nating kuasa, baik itu sawah, kebun ataupun rumah,
lebih mengindikasikan unsur riba didalamnya Karena proses nating yang
terjadi di Pagaralam rahin menyerahkan sepenuhnya marhun kepada murtahin
baik itu pengelolaan dan manfaat, maka meskipun secara legal barang gadai
masih menjadi milik rahin akan tetapi rahin tidak menerima apapun dari
hasil pemanfaatan harta gadai.
b. Untuk pelaksanaan nating biasa yang terjadi di pagaralam baik itu nating
sawah, kebun, ladang maupun rumah, dalam sisi akad memang masih terjadi
unsur riba didalam nya karena akad yang digunakan adalah akad qiradh
(hutang piutang), namun dalam prakteknya jenis muammalah ini yang paling
mendekati unsur-unsur muammalah yang ideal dalam sudut pandang Islam
dikarenakan :
1. Dalam proses nating sawah, kebun ataupun ladang misalnya, marhun (harta
gadai), tetap menjadi milik rahin baik itu pengelolaan, dan pengambilan
manfaatnya, namun karena sawah, kebun ataupun ladang tersebut sudah
menjadi jaminan gadai, maka dari awal perjanjian akad rahin dan murtahin
sudah menetapkan pembagian hasil dari pemanfaatan sawah, kebun ataupun
ladang tersebut.
2. Proses nating biasa ini dapat dikatagorikan sebagai akad mudharobah yang
intinya rahin dapat terus mengelola marhun dan hasil dari pengelolaan
tersebut dapat dibagi sesuai jenis pemanfaatannya, karena marhun
sepenuhnya masih milik milik rahin namun murtahin memberikan sejumlah
uang yang dapat digunakan untuk mengelola marhun maupun dapat digunakan
untuk keperluan rahin lainnya.
3. Untuk hasil pemanfaatan dalam proses nating ini harus disepakati di
awal dengan cara musyawarah dan dituangkan dalam keputusan resmi yang
mengikat dengan inti isinya adalah, bahwa murtahin memberikan sejumlah
uang kepada rahin dengan jaminan berupa sawah atau kebun dengan sistem
akad mudharabah (bagi hasil) selama periode yang disepakati, dan masing-
masing pihak berkewajiban untuk bersama-sama mengelola jaminan gadai
tersebut dan hasil dari pengelolaan dibagi dengan hasil kesepakatan
kedua belah pihak, baik itu rahin dan murtahin. Jadi kedua belah pihak
siap untuk menanggung untung mauun rugi dari setiap hasil panen.
c. Untuk pemanfaatan barang gadai berupa rumah, ataupun harta yang tidak
bergerak, proses nating yang terjadi dipagaralam baik itu nating biasa
ataupun nating kuasa apabila mengambil manfaat dari muamallah ini maka
muammalah ini dilarang ataupun belum sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Karena dalam nating kuasa penghuni rumah atau pemilik rumah menggadaikan
rumahnya kepada pemilik modal dan tetap menghuni rumah tersebut namun
pemilik rumah mash berhak membayar sewa sebagai pengganti uang sewa
rumah karena pemilik modal tidak menghuni nya, berbeda dengan dengan
nating kuasa yang apabila pemilik rumah mempunyai rumah lebih dari satu,
sebagai jaminan gadai rahin menggadaikan satu unit rumah yang akan
dihuni oleh pemilik modal, hal ini juga tidak bolehkan karena selama
perjanjian ini berlangsung si pemilik modal berkuasa penuh untuk
menghuni sekaligus memanfaatkan apa yang ada pada rumah tersebut.
Jadi dari beberapa poin diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam
muammalah nating ini masih terdapat unsur-unsur riba didalam nya, meskipun
sudah terdapat nilai-nilai muammalah namun gejala riba terutama dalam
proses nating kuasa masih begitu kuat nya unsur riba didalamnya, berbeda
dengan nating biasa yang menitik beratkan kepada pembagian hasil bukan
pemanfaatan hasil dari barang yang telah digadaikan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut pendapat penulis, bahwa pemegang gadai boleh mengambil manfaat
dari barang atau harta yang digadaikan jika itu mengandung kemaslahatan dan
adanya kesepakatan antara kedua belah pihak ('an-tarodhin). Hal ini sesuai
dengan hadis Nabi saw:
اَلرَّهْنُ مَرْكُوْبٌ وَمَحْلُوْبٌ
"Barang gadaian itu boleh dikendarai dan diperah susunya."
Sedangkan dalam hal keuntungan yang diperoleh oleh pemegang gadai
atau upah yang diberikan oleh pemilik barang atau harta kepada pemegang
gadai, penulis kurang sependapat. Alasannya, karena penulis memandang bahwa
sebenarnya gadai ini lebih menekankan pada akad tabarru' artinya
transaksinya lebih berorientasi pada jalur kebaikan atau kebajikan bukan
termasuk akad Tijarah yang berorientasi pada keuntungan semata.
Setelah penulis menguraikan pembahasan-pembahasan di atas mengenai
praktek nating di kota Pagaralam, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Beberapa dari faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya praktik
nating di kota Pagaralam dikarenakan faktor konsumtif yang semestinya
dialihkan ke faktor produktif yang apabila dalam kondisi tertentu
masyarakat merasa harus melakukan nating maka hasil dari pinjaman nating
dapat dikelola dengan sebaik dan seproduktif mungkin bukan hanya untuk
nilai-nilai konsumtif saja, dan dalam hal pemurnian tujuan utama dari
proses nating hendaknya tolong-menolonglah yang semsetinya didahulukan
bukan menjadikan nating sebagai sarana investasi apalagi menjadikan
nating sebagai sarana memperkaya diri.
2. Dalam hukum Islam, akad haruslah jelas isi, jenis, serta tujuan dari
pengadaan akad. Apabila tidak ada kejelasan mengenai akad diantara kedua
belah pihak yang nantinya dapat menimbulkan kekecewaan salah satu pihak,
maka hal itu dapat membuat akad menjadi cacat dan tidak sah dalam hukum
Islam. Jadi, dalam kajian hukum Islam, harus ada kejelasan di antara
pemberi dan penerima barang gadai.
3. Meskipun dalam praktik nating belum sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam
terutama dalam hal pemanfaatan barang gadai (marhun), namun demikian
dapat dilihat bahwa praktek nating yang dilakukan oleh masyarakat
Pagaralam sudah memenuhi syarat dan rukun gadai yang di syariatkan dalam
Islam, meskipun ada beberapa hal yang perlu dibenahi seperti pemanfaatan,
pengelolaan barang jaminan dan pembagian hasil barang jaminan. Karena
semestinya nating bukanlah sarana investasi seperti yang terdapat dalam
nating kuasa, serta dengan memurnikan kembali proses nating menjadi salah
satu budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan dan
kemaslahatan untuk bersama.
maka penulis mengambil kesimpulan bahwa proses nating kuasa lebih
terindikasi mengandung unsur-unsur riba didalamnya, karena dalam proses ini
pemanfaatan barang gadai hanya dilakukan sepihak, berbeda dengan nating
biasa yang kedua belah pihak berperan aktif dalam hal pengelolaan dan
pemanfaatan barang gadai, maka dengan memperhatikan lagi proses mulai dari
niat, tujuan, akad, maupun pelaksanaan selama nating biasa ini berlangsung,
maka nating biasa dapat dijadikan rujukan untuk proses muammalah yang
sesuai dengan syariat Islam dan dengan mengembalikan peran nating sebagai
sarana tolong menolong.
B. Saran-Saran
Dengan adanya beberapa uraian diatas, maka penulis memberikan saran-
saran untuk menjadi bahan pertimbangan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam melakukan gadai, antara penggadai dan penerima gadai harus
ada kejelasan waktu, jenis akad, waktu pengembalian hutang,
sehingga pelaksanaan gadai tidak berlarut lama dan dalam
pemanfaatan barang jaminan, keuntungan dari pengelolaan barang
jaminan harus dibagi dengan sistem bagi hasil.
2. Tradisi yang bersifat saling tolong menolong harus tetap
ditingkatkan sebagai tradisi yang dapat mempererat hubungan sosial
ekonomi masyarakat kota Pagaralam.
-----------------------
[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h 1
[2] Sejahtera diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan
sukses. Menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah aman sentosa dan
makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran.)
[3] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003), h. 2.
[4] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 14.
[5] Ibid, h. 14
[6] Munir, Praktik Gadai Sawah dan Implikasi Sosial Ekonomi. (Jurnal
Ilmiah, Universitas Brawijaya, Malang,), h. 3
[7] Ahmad M Saefudin , Studi Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam (Jakarta
: Media Da'wah), 1984, h 65.
[8] Menurut penuturan bapak Almidiansyah (Pimpinan Pagaralam Pos dan
budayawan kota Pagaralam)
[9] Hossein Askari and Roshanak Tagha The Principle Foundation Of An
Islamic Economy, (Jurnal Ilmiah, Bangladesh), h. 188
[10] Penating (Merupakan istilah masyarakat Pagaralam untuk
menyebutkan pemilik modal yang memberikan sejumlah uang kepada pemilik
barang yang akan di gadaikan atau dalam istilah bahasa arab disebut dengan
murtahin)
[11] Tien Yustini, Analisis Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi
Sawah Dan Kopi Pelaku Dan Non Pelaku nating Dalam Kaitannya Dengan Risiko
Ekonomi Dai Pagaralam Dan Lahat, (Universitas Sriwijaya), tahun 2011
[12] Mukhlas, Implementasi Gadai Syariah Dengan Akad Murabahah Dan
Rahn (Studi Di Pegadaian Syariah Cabang Melati Sleman Yogyakarta),
(Universitas Sebelas Maret), tahun 2010
[13] Muhammad Aris Syafi'i, Preferensi Nasabah Terhadap Gadai Emas
Syariah, (Yogyakarta, Program Pasca Sarjana, UIN Sunan Kalijaga), tahun
2011
[14] Ibnu Rusyd, Imam Ghazali Said, dan Achmad zaidun, Bidayatul
Mujtahid, Analisis Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
h.203.
[15] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003), h.54
[16] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqih Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994.), h. 48.
[17] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,(Bandung: Sinar Baru Algensindo,
Cetakan Ke-36, 2003), h. 310.
[18] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terj Moch. Anwar
dan tim, Fathul Mu'in (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994). h. 841
[19] Suseno dan Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran
Ekonomi, Jakarta: buku obor, 1999 ), h 89-92.
[20] Ibid, h. 153
[21] Mazhab neo klasik yang lebih dikenal dengan era marginalisme dan
perilaku konsumen dan banyak dipopulerkan oleh ekonom-ekonom barat sejak
tahun 1810-123, dan salah satu pencetus mazhab neo klasik adalah Herman
Heinrich Gossen
[22] http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-
ekonomi.html. Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib
[23] Kamil Muchtar,dkk, Usul Fiqih,(Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf,
1995), h. 146
[24] Asjmuni A Rahman,Qaidah-Qaidah Fiqh,cet ke-1,(Jakarta : Bulan
Bintang, 1976),h 35
[25] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa; Masdar Helmy,
ct ke 7,(Bandung, Gema Risalah Press, 1996), h. 357-358
[26] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalah (Hukum Perdata
Islam), Edisi Revisi, (Jogyakarta, UII Press, 2000), h 15-16.
[27] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),h. 3
[28] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih
Muamalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 253.
[29] Ibid, h 254
[30] Ibid, h 254
[31] Departemen Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya', (Surabaya: PT
Indiva Media Kreasi, 2009), h. 71.
[32] Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Quran Dibawah Naungan Al-Qur'an,
Jilid 2, diterjemahkan oleh As'ad Yasin, Abdul Azis Salim Basyarahil,
Muchotob hamzah, (Jakarta, Gema Insani Press, 2000, Cet 1), h. 301
[33] Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normative Dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h 192
[34] Joko P. Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: Rineka Cipta, !997), h. 88.
[35] Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,1998),h. 85.
[36] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 297.
[37] Ibid, h. 298
[38] Ibid, h. 300
[39] Ibid, h. 105
[40] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan
Praktik), (Jakarta: PT. Ranika Cipta, 1998), h. 237.
[41] Ellis.F, Peasent Economics: Farm Household and Agrarirant
Development, Cambride Universtiy Press, Cambride, 1998,
Dikutip ulang pada disertasi Tien Yustini Analisis Perilaku Ekonomi Rumah
Tangga Petani Padi Sawah Dan Kopi Pelaku Dan Non Pelaku 'nating' Dalam
Kaitannya Dengan Risiko Ekonomi Dai Pagaralam Dan Lahat ( Universitas
Sriwijaya, 2011), h 23
[42] Jim Ife dan Frank Tesoriere, Alternatif Pengembangan Masyarakat
di Era Globalisasi: Community Development, terj. Sastrawan Manulang dkk
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 423
[43] Zubaedi, Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013), h 4
[44] Sukriyanto, Pengembangan Masyarakat Islam Agama, Sosial, Ekonomi
dan Budaya", Populis Jurnal Pengembangan Masyarakat, Edisi No. III / 2003
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), h. 31
[45] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat
MemadukanPertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: Cides, 1996), . 142
[46] Roger M Kessing, Theories of Culture, Institute of advance
Studies Annual Review of Anthropology. (Australian National University
1974). page 74
[47] Binford, L. Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective
in Archaelogy. ed. L.R. Binford dan S.R. Binford. .1968, Chicago: Aldine
page 232
[48] Roger M Kessing, Theories of Culture, Institute of advance
Studies Annual Review of Anthropology. (Australian National University
1974). page 75
[49] Raharjo,Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian, (Jogyakarta,
Universitas Gadjah Mada, 2010), h. 66
[50] Ibid, h 98-99
[51] Asafri Jaya Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h 5.
[52] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid
Fiqhiyah terj. Wahyu Setiawan,(Jakarta: Amzah, 2009), h.181
[53] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Riwayat Abu Dawud dan Ibnu
Majah. Hadits Shahih Menurut Ibnu Hibban dan Hakim, hadits no 846
[54] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram. Haditst Shahih Menurut
Hakim, Hadits No 802
[55] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Hadits Shahih Menurut
Hakim, Hadits no 903
[56] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada, 1994), h. 43
[57] Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet 2, 1996), h. 139.
[58] http://ustadzkholid.wordpress.com/2007/09/11/al-rahn-gadai. Di
akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib
[59] Departemen Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya', (Surabaya: PT
Indiva Media Kreasi, 2009), h. 576
[60] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: PT.Sinar Baru
Algensindo, 1994), h. 309
[61] Ibid, h. 445
[62] Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, Terjemah Fathul
Mu'in Jilid I, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet I, 1994), h. 838
[63] M. Ali As'ad, Terjemah Fathul Muin jilid 2, (Kudus:Menara Kudus,
Kudus, 1979), h 215
[64] Sayid Sabiq, Ringkasan Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Percetakan Offset, 1998), h793
[65] Niniek Suparni, KUH Perdata, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet VI,
2005), h 290
[66] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),
h 16
[67] Departemen Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya', (Surabaya: PT
Indiva Media Kreasi, 2009), h. 71
[68] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h 125
[69] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h
286-287
[70] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003), h 52
[71] Ibid, hal 53
[72] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,
1998), h 141
[73] Rahmat Syafi'I, Fiqih Muammalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h
162, Cet 3
[74] Ibid, h 168.
[75] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, analisis Fiqih Para Mujtahid,
terj Imam Ghazali Said dan Achmad zaidun., (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
h 308
[76] Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, ), 1996, h 142, Cet II
[77] TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muammalah, (Jakarta:
PT. Pustaka Rizki Putra, , 1997), h 26, Cet I
[78] Ibid, h.29
[79] Ibid, h.31
[80] Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), h.160
[81] Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.142, Cet II
[82] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),h.32
[83] Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, cet 2, 1996), h142
[84] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,
1998), h. 141
[85] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003), h. 23
[86] Ibid, h. 24
[87] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid,
terj. Imam Ghazali Said dan Achmad zaidun. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
h 311
[88] Hasbi Ash Shiddieqy, 'Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar
Mazhab)', (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001), h 366, Cet II
[89] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,(Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 8
[90] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h 42
[91] Ibid, h. 43
[92] Ibid, h. 47
[93] Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic, Theory and Practice,
terj. Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), h. 165
[94] Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h 49
[95] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of
Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: E.J.
Brill, 1996), Page 20
[96] Muslim Muslihun, Fiqh Ekonomi, (Mataram: LKIM, 2005), h, 128
[97] Muslim Muslihun, Fiqh Ekonomi, (Mataram: LKIM, 2005), h, 132
[98] Ridha, Al-Manar, (Mesir: Mathba'ah M. Ali Shihab wa Abduh, 1374
H), h 113-114
[99] Muslim Muslihun, Fiqh Ekonomi, (Mataram: LKIM, 2005), h, 135
[100] Tavern ArtWork dan Bagian Humas & Protokol Pemerintah Kota
Pagaralam Refleksi Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagaralam, (Pagaralam:
Tavern ArtWork, 2011), h. 10
[101] Ibid, h. 12
[102] Tavern ArtWork dan Bagian Humas & Protokol Pemerintah Kota
Pagaralam Refleksi Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagaralam, (Pagaralam:
Tavern ArtWork, 2011), h. 10
[103] Dalam istilah Islam barang jaminan disebut marhum, pihak pertama
atau yang menyerahkan barang jaminan disebut rahin, dan pihak kedua atau
yang menerima barang jaminan disebut murtahin.
[104] Defri, Lahat 23 Februari 1974, Perumnas Nendagung, Kelurahan
Nendagung, Pagaralam Selatan (Pelaku nating biasa)
[105] Tavern ArtWork dan Bagian Humas & Protokol Pemerintah Kota
Pagaralam Refleksi Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagaralam, (Pagaralam:
Tavern ArtWork, 2011), h. 3
[106] Hasil penelitian Van Der Hoop berkebangsaan Belanda yang
meneliti tentang keberadaan Megalitikhum yang ada di Pagaralam, dengan
bukunya yang berjudul 'Megalithic Remains In South Sumatra' th 1932
[107] dr. Ida Fitriyati Basjuni Wali kota Pagaralam
[108] Dimyati Rais ,03 Juli 1950 (Ketua pengurus Muhammadiyah Kota
Pagaralam), Interview dilakukan pada hari kamis 30 April 2015 pkl 08.00 wib
[109] Hasil Wawancara dengan Meer Eisen (Pimpinan Bank BNI KLN
Pagaralam)
[110] Sumber Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD) Kota Pagaralam
[111] Sasih !LMd Š"¡ / — ª « ¹ Â ñ ò
ó ú
@
A
ñãñÛÓÆ¹¬ÆŸ'ŸÆ'Æ…xex'xeÆx'xXxh$-·hlXaJmH sH dalam istilah masyarakat
Pagaralam adalah hasil dari panen yang akan dibagikan antara pemilik lahan
dengan pemilik modal atau dengan istilah lainnya bagi hasil.
[112] Proses ini merupakan proses yang hanya disaksikan dan di
tandatangani oleh yang menatingkan sawah, kebun ataupun rumahnya kepada si
pemilik modal, dan biasanya hanya ditanda tangani okedua belah pihak dengan
disaksikan oleh kerabat ataupun tetangga mereka.
[113] Bpk Ahmad Rivai (Pelaku nating) dan Bpk Helmi (Camat Pagaralam
selatan)
[114] Defri, Lahat, 25 Februari 1974 Pelaku nating biasa
[115] Sasih Merupakan istilah masyarakat Pagaralam untuk menyebutkan
pembagian hasil yang dilakukan setelah masa panen berlangsung, sasih dapat
berupa hasil panen baik itu padi, maupun kopi dan dapat juga berupa uang
hasil penjualan hasil panen.
[116] Ahmad Rivai Lani 05 Mei 1959 pelaku nating kuasa dan nating
rumah
[117] Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Jarai dan Tokoh Muhammadiyah
Pagaralam
[118] Perwakilan Kantor Departemen Agama kota Pagaralam sekaligus
pengurus Majelis Ulama Indonesia kota Pagaralam
[119] Perwakilan ulama yang ahli dalam bidang fiqih di kota Pagaralam.
[120] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),
h 67
[121] ibid, h.70
[122] Chuziamah dan Anshari Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: LSIK 1997), h. 72
[123] Ibid, h. 73
[124] Ibid, h. 71
[125] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,
1998), h 153
[126] Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul maram Min Adilat Al-
Hakam, Terj Abdul Rosyad Siddiq; Terjemah Lengkap Bulughul Maram, Jakarta,
Akbar Media Eka Sarana, 2007, hal 384
[127] Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
[128] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm
286-287
[129] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : CV Haji Masagung,
1992), h 120-121
[130] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h
632
[131] Chuziamah dan Anshari Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: LSIK 1997), h. 75
[132] Ibid, h. 77
[133] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),
h 75-78
-----------------------
1
30
65
79
113