LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR LUMBAL
Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Surgikal Ruang 19 RSSA Malang
Miftakhul Jannah 180070300111019
PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL
A. DEFINISI
Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran besar, kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar 2002). Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan oleh jenis dan luasnya (Brunner and Suddarth, 2000). Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Batticaca, 2008).
B. ETIOLOGI
Menurut Arif muttaqin (2005) penyebab dari fraktur adalah : 1. Kecelakaan lalu lintas 2. Kecelakaan olahraga 3. Kecelakaan industri 4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan 5. Luka tusuk, luka tembak 6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance) 7. Kejatuhan benda keras
C. KLASIFIKASI
Wedg e f r actur acture es) 1. Fraktur kompresi ( Wedg Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. 2. Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih je las mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan. 3. Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan
yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf. 4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tibatiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.
D. PATOFISIOLOGI (TERLAMPIR)
E. MANIFESTASI
Manifestasi klinis fraktur antara lain: 1. Edema/pembengkakan 2. Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter i nvolunter pada otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur. 3. Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur 4. Deformitas 5. Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan 6. Kehilangan fungsi 7. Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah: 1. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical a)
C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
b)
C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c)
C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d)
C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e)
C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f)
C8 : gangguan fungsi jari gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkankelumpuhan tetrapareseb.
2. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal a)
T1 : gangguang fungsi tangan
b)
T1-T8
:
gangguan
fungsi
pengendalian
otot
abdominal,
gangguanstabilitas tubuh c)
T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh.
3. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan gejala paraparese a) L1 : Abdominalis b) L2 : Gangguan fungsi ejakulasi c) L3 : Quadriceps d) L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut 4. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan miksi dan defekasi tanpa para parese 5. Segmen lumbar dan sacral Cedera
pada
segmen
lumbar
dan
sakral
dapat
mengganggu
pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsisensoris
dan
motoris,
cedera
vertebra
dapat
berakibat
lain
sepertispastisitas atau atrofi otot. a) S1 : Gangguan pengendalian tungkai b) S2-S4 : Penile Erection c) S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus
F. PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah : 1.
Foto Polos Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view.
Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegaris an pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina,
artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet. 2.
CT Scan CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang
mengenai elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior. 3. MRI MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu penilaian. Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.
4.
Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah
terjadinya cedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral. 5.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi
pada organ lain akibat cedera tulang belakang.
G. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dan penanganan darurat: 1. Survey primer a)
Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang
b)
Breathing
c)
Sirkulasi dan perdarahan
d)
Disabilitas: AVPU /GCS, pupil
e)
Exposure : cegah hipertermi
2. Resusitasi a) Pastikan paten/intubasi b) Ventilasi adaptif c) Perdarahan berhenti nadi, CRT, urin output output 3. Survey sekunder a) GCS b) Kaji TTV: nadi, tekanan darah, suhu, RR Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk cegah kerusakan yang lebih parah.
H. TINDAKAN REHABILITASI
Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung dengan tipe fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut 1. Braces dan orchotics
Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah. 2. Reduksi fraktur (seting tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
a) Reduksi tertutup Pada kebanyakan kasus, teduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. b) Reduksi terbuka Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam membentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku, atau batang logam. 3. Traksi
Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilis asi. Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. 4. Imobilisasi fraktur
Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasikan atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau fiksator eksterna. Fiksasi interna dengan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 5. Mempertahankan Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Dilakukan dengan berbagai pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaran nyeri, pemberian analgetik, latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki fungsi.
I. KOMPLIKASI
1. Syok Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besarakibat trauma. 2. Mal union Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yangterjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) union) juga dapat menyebabkan mal union. union. 3. Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi te rjadi penyambungan tulang.Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a. Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi t erjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan bone grafting. b. Tipe
II
(atropic
non
union),
disebut
juga
sendi
palsu
(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupundilakukan
imobilisasi
lama.Beberapa
faktor
yang
menimbulkan non union seperti disrupsi periosteumyang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktuimobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).Non union adalah jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurangmemadai. c. Delayed union, Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara sec ara normal. Pada pemeriksaan pemerik saan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosispada ujung-ujung fraktur. d. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. e. Emboli lemak. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
f. Sindrom Kompartemen. Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu alirandarah dan terjadi edema didalam otot. Apabila ischemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann.Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis. g. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri ataukeadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan ataupemasangan traksi. h. Dekubitus. Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
J. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Primer
1) Respon Cek respon, dengan memanggil nama klien, menggoyangkan badan, dan member rangsang nyeri. 2) Airways
Bagaimana jalan nafas, bisa berbicara secara bebas
Adakah sumbatan jalan nafas (darah, lendir, makanan, sputum)
3) Breathing
Bagaimana frekuensi pernafasan, teratur atau tida k, kedalamannya
Adakah sesak nafas, bagaimana bunyi nafas
Apakah menggunakan otot tambahan
Apakah ada reflek batuk
4) Circulation
Bagaimana nadi, frekuensi, teratur atau tidak, lemah atau kuat Berapa tekanan darah
Akral dingin atau hangat, capillary refill < 3 detik atau > 3 detik, warna kulit, produksi urin
2. Pengkajian Sekunder
1) Pemeriksaan fisik: a. Keadaan umum b. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak, kulit kepala bersih/tidak c. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil, refleks cahaya +/d. Hidung :bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik atau tidak. e. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/f. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/+/ g. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/h. Dada a) Paru Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi intercostal Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-, crekles +/ b) Jantung Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak Palpasi : dimana ictus cordis teraba Perkusi : pekak +/Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, +/ -, mur-mur +/i. Abdomen Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit Palpasi : pembesaran hepar / lien
Perkusi : timpani +/-, pekak +/ j. Genetalia : bersih atau ada tanda – tanda tanda infeksi k. Ekstremitas :
Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri, pemendekan tulang, krepitasi
Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat
Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
Adakah spasme otot, ksemutan
Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur
Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang ja ringan/tulang yang keluar
l. Psikologis :
Cemas
Denial
Depresi
3. Diagnosa Keperawatan yang
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma b. Nyeri akut berhubungan dengan dengan agen cedera fisik c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler 4. Intervensi Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif efekti f berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis tidak ada. Intervensi keperawatan :
Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Kaji fungsi pernapasan.
Auskultasi suara napas.
Observasi warna kulit.
Kaji distensi perut dan spasme otot.
Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
Pantau analisa gas darah.
Berikan oksigen
Lakukan fisioterapi nafas.
b. Nyeri akut/kronis b.d agen cidera: fisik Tujuan perawatan : Setelah dilakukan tindakan,nyeri akut berkurang dengan Kriteria hasil: Pain level, pain control dan comfort level dengan criteria:
Menggunakan skala nyeri untuk mengidentifikasi nyeri yang dirasakan
Mendiskripsikan cara manajemen nyeri
Mengungkapkan kemampuan tidur dan istirahat
Mendiskripsikan terapi non farmakologi untuk mengontrol nyeri Intervensi:
Kaji karakteristik nyeri yang dialami klien
Observasi ketidak nyamanan non verbal terhadap nyeri
Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk klien
Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri
Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgetik
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, mobilitas fisik baik dengan kriteria hasil:
Mampu meminta bantuan untuk mobilisasi sesuai kebutuhan
Mampu memaksimalkan fungsi ekstrimitas yang sehat
Intervensi:
Observasi klien terhadap kelemahan
Ajarkan untuk melakukan latihan tentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat sedikitnya 4x sehari.
Posisikan tubuh untuk mencegah komplikasi, ubah posisi 2-4 jam.
Posisikan alat bantu yang sesuai
Ajarkan individu melakukantindakan kewaspadaankeamanan.
Kolaborasi untuk fisioterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta : EGC Mansjoer,Arif. Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid Jili d 2. Jakarta:Me J akarta:Media dia Aesculapius. McCloskey&Bulechek. McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : Fourth Edition. Mosby : USA Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification: Fourth Edition. Mosby : USA Mursada. 2011. Laporan Pendahuluan Fraktur Vertebra. www.scribd.com./doc/60966817/La www.scribd.com./doc/60966817/Laporan-Penda poran-Pendahuluan-Frakturhuluan-Fraktur-Vertebra Vertebra (Akses:15 Januari 2019) Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika. NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis Diagnosis : definitions and Classification. Classification. Philadephia : USA Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta : EGC Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keerawatan Edisi 2. Jakarta : EGC
PATWAY FRAKTUR LUMBAL