LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL DI RUANG HCU BEDAH RSUD dr. MOEWARDI SURAKARTA
Disusun Oleh:
IRFAN FAUZI J 230 170 121
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL
A. Pengertian
Vertebra lumbalis merupakan tulang terbesar dan terkuat dari semua tulang yang berada pada tulang belakang. Vertebra ini dimulai dari lengkung lumbal (yaitu, persimpangan torakolumbalis) dan meluas ke sacrum. Otot-otot yang melekat pada vertebra lumbalis menstabilkan tulang belakang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi di tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya (Brunner & Suddart, 2010). Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran besar, kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra Lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas (Hanna, 2007). Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan.
B. Etiologi
1. Menurut Arif Muttaqin (2008) penyebab dari fraktur lumbal adalah : a. Kecelakaan lalu lintas b. Kecelakaan olahraga c. Kecelakaan industri 1
d. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan e. Luka tusuk, luka tembak f. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance) g. Kejatuhan benda keras 2. Factor patologis, fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. 3. Factor stress, fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur stress ini biasanya menyertai peningkatan yang cepat – tingkat latihan atlet, atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Karena kekuatan ototmeningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang individu dapat merasa mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya, walaupun tulang mungkin tidak mampu menunjang peningkatan tekanan.
C. Klasifikasi
1. Fraktur kompresi (Wedge fractures) Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. 2. Fraktur remuk (Burst fractures) Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang 2
mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen, dan adanya perdarahan. 3. Fraktur dislokasi Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf. 4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tibatiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya 3
kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.
D. Patofiologi
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan selsel tulang rawan. Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler. Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
4
E. Pathway Trauma pada tulang belakang
Fraktur pada tulang lumbal
Perdarahan mikroskopik
Mengeblok saraf parasimpatif
Kerusakan jalur apatetik desending edema
Penekanan saraf & pembuluh darah
Reaksi peradangan
Syok spinal
Nyeri akut
Penurunan perfusi jaringan
Reaksi anantetik
Ileus paralitik, gangguan fungsi rektum
Kelumpuhan otot polos
Iskemia dan hipoksemia
Gangguan pola nafas
Gangguan eliminasi Hipoventilasi
Terputusnya jaringan saraf medula spinalis
Paralisis & paraplegi
Hambatan mobilitas fisik
Gagal napas
Kematian
5
F. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis fraktur antara lain: a. Edema/pembengkakan b. Nyeri, spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsungpada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur. c. Spasme otot, respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur d. Deformitas e. Echimosis, ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan f.
Kehilangan fungsi
g. Crepitasi, pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka 2. Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah a. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical 1) C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan) 2) C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas 3) C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan 4) C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit 5) C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep 6) C8 : gangguan fungsi jariGangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkankelumpuhan tetrapareseb. b. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal 1) T1 : gangguang fungsi tangan 2) T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan stabilitas tubuh 3) T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh c. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan gejala paraparese, L1 : Abdominalis. L2 : Gangguan fungsi ejakulasi. 6
L3 : Quadriceps. L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut. d. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguanmiksi & defekasi tanpa para parese. e. Segmen lumbar dan sacral Cedera
pada
segmen
lumbar
dan
sakral
dapat
mengganggu
pengendaliantungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsisensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain sepertispastisitas atau atrofi otot. S1 : Gangguan pengendalian tungkai. S2-S4 : Penile Erection. S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah : 1. Foto Polos Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet. 2. CT Scan CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.
7
3. MRI MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu penilaian Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang. 4. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah terjadinya cedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral. 5. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang belakang.
Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2008) pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita hams dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut. a. Diameter anteroposterior kanal spinal b. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra c. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal d. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus 8
e. Ketinggian ruangan diskus intervertebralis f.
Pembengkakanjaringan lunak
2. Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan dan pergeseran fraktur dalam kanal spinal. 3. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi. 4. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihatjaringanlunak, yaitu diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.
H. Komplikasi
1. Syok Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma. 2.
Mal union Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat menyebabkan mal union.
3. Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a. Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. b. Tipe
II
(atropic
non
union),
disebut
juga
sendi
palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa faktor 9
yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 4. Delayed union Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur. 5. Tromboemboli, infeksi, Koagulopati Intravaskuler Diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. 7. Sindrom Kompartemen Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran darah dan terjadi edema didalam otot. Apabila ischemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahanlahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
10
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi. 9. Dekubitus Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena Itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
I. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri akut b/d agen cedera biologis (kompresi saraf) 2. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular 3. Kerusakan integritas kulit b/d gangguan sensasi cedera medula spinalis 4. Ansietas b/d krisis situasi
J. Tujuan/ Rencana Tindakan (NOC/ NIC) No. Dx. dan Dx kolaborasi 1. Nyeri akut b/d agen cedera biologis (kompresi saraf).
Tujuan (NOC)
Intervensi (NIC)
NOC: NIC: Pain Level, Pain Management Pain control, Lakukan pengkajian nyeri secara Comfort level komprehensif termasuk lokasi, Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, Observasi reaksi nonverbal dari mampu menggunakan ketidaknyamanan tehnik nonfarmakologi Gunakan teknik komunikasi untuk mengurangi nyeri, terapeutik untuk mengetahui mencari bantuan). pengalaman nyeri pasien. Melaporkan bahwa nyeri Evaluasi pengalaman nyeri masa berkurang dengan lampau menggunakan manajemen Evaluasi bersama pasien dan tim nyeri. kesehatan lain tentang Mampu mengenali nyeri ketidakefektifan kontrol nyeri masa (skala, intensitas, frekuensi lampau. dan tanda nyeri). Bantu pasien dan keluarga untuk Menyatakan rasa nyaman mencari dan menemukan dukungan. setelah nyeri berkurang Kurangi faktor presipitasi nyeri. Tanda vital dalam rentang Ajarkan tentang teknik non normal. farmakologi. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri. 11
2.
Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular
NOC : Pergerakan sendi punggung Ambulasi Keseimbangan Kriteria Hasil : Memperlihatkan mobilitas, yang dibuktikan indikator sedang:pergerakan sendi dan otot, bergerak dengan mudah Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
3
Kerusakan integritas kulit b/d gangguan sensasi cedera medula spinalis
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membrane Kriteria Hasil : Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan
Tingkatkan istirahat. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
NIC: Mobiitas sendi Ajarkan dan berikan latihan ROM aktif atau pasif. Ubah posisi pasien yang immobilisasi minimal setiap dua jam, berdasarkan jadwal spesifik. Latihan untuk ambulasi Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman. Latihan Keseimbangan Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari. Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar Ajarkan pada klien/ keluarga untuk memperhatikan postur tubuh yg benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera. Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan. NIC : Pressure Management Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar. Hindari kerutan padaa tempat tidur. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.
12
kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Monitor kulit akan adanya kemerahan. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien. Monitor status nutrisi pasien. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Andrew L Sherman, MD, MS; Chief Editor: Rene Cailliet, MD. Lumbar Compression Fracture. (diakses tanggal
17 Juli 2014). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview Brunner, Suddarth. 2010. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta Hanna J, Letizia M. Kyphoplasty: A treatment for osteoporotic vertebral compression fractures. nursing journal center (serial online) 2007 ( diakses 3
Oktober
2017);
Dunduh
dari:
URL:
http://www.nursingcenter.com/library/journalarticle.asp?article_id=7558 99. Johnson, M., et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Rasjad C. Trauma. 2009 .Pengantar ilmu bedah ortopedi. 6th ed . Jakarta: Yarsif Watampone Maliawan S. dan Mahadewa T. 2009. Diagnosa Dan Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang Belakang. Jakarta. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
14