BAB III Defek Septum Atrium
3.1 Definisi Defek septum atrium adalah keadaan berlubangnya septum atrium atau dinding yang membatasi antara atrium kanan dan kiri. Defek ini akan menyebabkan pirau dari kiri ke kanan karena tekanan di atrium kiri lebih besar daripada atrium kanan. Hal ini menyebabkan kelebihan volume pada ventrikel kanan, sehingga sehingga ventrikel ventrikel kanan dan atrium atrium terdilatasi terdilatasi dan
hipertrofi. Arteri Arteri
pulmonal juga ikut terdilatasi (Rao, 2012). Keadaan kanan ini secara umum dapat ditoleransi pada anak kecil, namun dapat menimbulkan intoleransi terhadap aktivitas dan aritmia pada anak yang lebih besar, serta resiko penyumbatan vaskular paru. Defek septum atrium terdiri dari tiga tipe, yaitu defek ostium sekundum, ostium primum, dan defek sinus venosus (Rao, 2012).
3.2 Embriologi Pembentukan septum atrium terjadi pada akhir minggu ke empat. Sebuah selaput berbentuk bulan sabit terbentuk dari atap atrium ke dalam lumen. Pembatas ini merupakan cikal bakal dari septum primum. Septum ini bergabung dengan endocardial cushion pada kanalis atrioventrikularis. atrioventrikularis. Lubang antara batas bawah septum primum dengan endocardial cushion disebut sebagai ostium primum. Lubang ini tertutup seiring dengan perkembangan endocardial cushion sepanjang tepi septum primum, namun sebelum lubang tertutup sempurna, fenestrasi muncul pada bagian atas septum primum yang akan bergabung membentuk ostium sekundum (Sadler et al, 2010). Ketika lumen atrium kanan membesar akibat penggabungan oleh sinus horn, horn, muncullah septum sekundum. Septum ini tidak membagi atrium secara sempurna. Bagian depannya menggabung dengan septum pada kanalis atrioventrikularis. Septum sekundum akhirnya menutup ostium sekundum secara sempurna, namun pada bagian bawah terdapat bagian yang tidak tertutup oleh septum sekundum. Bagian ini berbentuk oval, sehingga disebut sebagai foramen ovale. Akhirnya bagian atas septum primum terresorpsi sehingga bagian bawah septum primum menjadi suatu katup bagi foramen ovale. Katup ini memastikan aliran darah hanya terjadi dari atrium kanan ke kiri (Sadler et al, 2010).
3
Setelah lahir, ketika sirkulasi paru berjalan karena tekanan vaskular di paru menurun dan tekanan di atrium kiri meningkat, katup f oramen ovale tertekan ke septum sekundum, sehingga menutup foramen oval dan secara sempurna memisahkan atrium kanan dengan atrium kiri (Sadler et al, 2010).
Gambar 2.1 Defek Septum Sekundum (Sadler et al, 2010) 3.3 Defek ostium sekundum Defek ostium sekundum merupakan defek septum atrium yang paling sering ditemukan. Diperkirakan 75% dari defek septum atrium adalah defek ostium sekundum (McDaniel, 2001). Septum dapat absen sama sekali atau septum tetap ada namun berlubang – lubang (fenestrasi). Defek ostium sekundum dapat terjadi akibat kematian sel - sel dan resorpsi septum primum yang berlebihan, atau dapat disebabkan juga oleh perkembangan septum sekundum yang tidak adekuat (Sadler et al, 2010). Defek ini menimbulkan pirau dari atrium kiri ke kanan. Derajat pirau kiri ke kanan bergantung pada besarnya defek septum, komplians relatif dari ventrikel kanan dan kiri, dan tahanan vaskular relatif pada sirkulasi sistemik dan pulmonal (Rao, 2012).
4
3.4 Defek Ostium Primum Defek
ostium
primum
terjadi
akibat
dari
gangguan
pertumbuhan
endocardial cushion (McDaniel, 2001). Defek ini termasuk kumpulan defek yang disebut atrio-ventrikular septal defect (AVSD). Terdapat defek pada daun anterior dari katup mitral, yang menyebabkan insufisiensi mitral dengan derajat yang bervariasi. Terjadi pula dilatasi pada ventrikel kanan seperti yang didapatkan pada defek ostium sekundum. Dilatasi ventrikel kiri dapat terjadi jika derajat insufisiensi mitral sedang atau berat ( Rao, 2012). Gambaran klinis defek ostium primum secara esensial sama dengan gambaran klinis pada defek ostium sekundum. Jika didapati insufisiensi mitral yang signifikan, dapat didapati gambaran klinis gagal jantung (Rao, 2012). Pada pemeriksaan fisik, defek septum primum memberikan gambaran yang sama dengan defek ostium sekundum. Pada auskultasi dapat didapati murmur apikal sebagai akibat dari insufisiensi mitral. Defek septum AV yang komplit menyebabkan gagal jantung dan infeksi paru yang muncul pada masa bayi. Hati membesar, dan bayi menampakkan tanda – tanda gagal tumbuh (Djer et al, 2007).
3.5 Defek Sinus Venosus Defek sinus venosus mencakup 5 – 10% dari semua ASD. Mayoritas defek terletak di bagian postero-superior dari septum inter-atrial. Defek ini seringkali diikuti dengan anomali vena pulmonalis dimana vena pulmonalis atas bermuara di atrium kanan (Rao, 2012). Pada defek ini terjadi dilatasi dari ventrikel kanan, sama seperti pada defek setum atrium lainnya. Pada pemeriksaan EKG ditemukan gelombang P yang orientasinya superior (>30°). Ekokardiogram menunjukkan overload dari ventrikel kanan, sama seperti pada ASD lain, namun tanpa terlihat adanya ASD pada posisi ostium sekundum. Indikasi dilakukan intervensi pada defek ini sama seperti pada ASD septum sekundum. Namun defek ini tidak dapat ditutup menggunakan teknik transkateter.
Pembedahan
merupakan
terapi
yang
dianjurkan.
Pada
pembedahan dilakukan penutupan defek ASD dan pengarahan vena pulmonalis ke arah atrium kiri ( Rao, 2012).
5
3.6 Gejala Klinis Sebagian besar anak yang mengalami ASD tidak menimbulkan gejala klinis dan tampak sehat. Pada umumnya gejala baru timbul pada usia dekade 2 dan 3 dimana sudah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru sehingga PJB jenis ini kadang baru terdiagnosa pada usia dewasa. Namun, jika ASD-nya cukup besar, sebagian besar darah akan masuk ke jantung bagian kanan, lalu ke atrium kanan, ventrikel kanan, dan kemudian ke paru sehingga terjadi gagal jantung kanan. Beberapa gejala yang mungkin timbul adalah: anak mudah lelah, lemas,
berkeringat,
pernapasan
menjadi
cepat,
napas
pendek-pendek,
pertumbuhannya akan terganggu (Djer et al, 2007).
3.7 Diagnosis Pada inspeksi toraks tidak didapatkan adanya suatu kelainan. Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan menetap dan tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area pulmonal (Roebiono, 2003). Bising sistolik ejeksi tersebut biasanya halus, dengan grade antara I-II/IV. Bising tersebut diakibatkan oleh peningkatan aliran darah melalui katup pulmonal dan paling baik didengarkan di area parasternal kiri atas. Sedangkan bising mid-diastolik grade I-II/IV terdengar pada parasternal kiri bawah. Ini disebabkan oleh aliran darah yang besar yang melalui katup trikuspid (Rao, 2012). Tidak ada murmur yang terdengar karena aliran darah melalui defek septum atrium, karena biasanya tekanan antar atrium tidak terlalu berbeda. Pada pemeriksaan EKG, didapati tanda pembesaran ventrikel kanan, antara lain right axis deviation (RAD) dan pola rsR` pada lead dada kanan. Gambaran EKG ini mirip dengan RBBB ( Right Bundle Branch Block) (McDaniel, 2001)
6
Gambar 2.2 Gambaran EKG pada ASD (Nelson)
Gambaran radiologis menunjukkan adanya kardiomegali ringan sampai sedang, arteri pulmonalis yang menonjol dan peningkatan corakan vaskular paru (Rao, 2012). Pemeriksaan lanjutan yang disarankan adalah USG jantung. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang ultrasound untuk melihat struktur anatomis jantung dan juga pergerakan jantung. Lokasi dan besarnya defek juga dapat
ditentukan.
Gambaran
yang
tampak
pada
USG
jantung
adalah
pembesaran ventrikel kanan, terutama pada defek septum yang besar. Dengan menggunakan ekokardiogram dua dimensi, defek dapat tervisualisasi dengan mudah. Tipe defek septum juga dapat ditentukan dengan USG jantung. Untuk menekan positif palsu, diperlukan pembuktian adanya aliran darah melalui defek septum menggunakan color Doppler (Rao, 2012).
3.8 Terapi Karena sering asimptomatik, defek septum atrium sering tidak diketahui hingga pasien beranjak dewasa. Gejala gagal jantung, meskipun jarang ditemukan, memerlukan tatalaksana menggunakan diuretik dan digoksin. Defek ostium sekundum berukuran kecil dengan pirau kiri ke kanan minimal secara konsensus tidak memerlukan terapi penutupan. Defek tersebut diharapkan dapat
7
menutup sendiri (Djer et al, 2007). Pada defek yang berukuran kurang dari 3 mm yang ditemukan sebelum usia 3 bulan, pada usai 1,5 tahun defek tersebut telah menutup sempurna pada hampir 100% pasien (Djer et al, 2007). Sedangkan pada defek septum ukuran sedang sampai besar, meskipun tidak bergejala, perlu dilakukan tindakan penutupan untuk mencegah terbentuknya penyakit penyumbatan vaskular paru di kemudian hari, mengurangi kemungkinan terjadinya
aritmia
supra-ventrikular
dan
mencegah
perburukan
gejala
di
kemudian hari (Rao, 2012). Indikasi penutupan ASD adalah bila defek telah menimbulkan gejala, atau jika belum timbul gejala namun rasio aliran darah ke paru dan sistemik (Qp:Qs) lebih dari 1,5 (Bernstein, 2007). Operasi dilakukan secara elektif pada usia pra sekolah (3 –4 tahun) kecuali bila sebelum usia tersebut sudah timbul gejala gagal jantung kongestif yang tidak teratasi secara medikamentosa. Tindakan penutupan ASD tidak dianjurkan lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2003). Terapi bedah yang dilakukan pada usia dini memilliki outcome yang lebih baik daripada terapi bedah yang dilakukan pada usia lebih dewasa. Mortalitas tindakan bedah ini kurang dari 1% (McDaniel, 2001) Terapi koreksi bedah merupakan terapi konvensional tatalaksana defek septum atrium. Pasien dibius total, kemudian dilakukan sternotomi median, aorta dan vena kava dikanulasi, lalu pasien diletakkan dalam suatu bypass kardiopulmonar. Atriotomi kanan dilakukan sehingga defek septum dan katup mitral dapat terlihat. Defek ditutup dengan mendekatkan batas – batas defek kemudian dijahit, atau ditutup menggunakan patch perikardial, tergantung dari besarnya defek (Rao, 2012). Saat ini pembedahan hanya ditujukan untuk defek septum yang tepinya tidak rata, sedangkan dengan mempertimbangkan morbiditas, komplikasi postoperasi, biaya, dan trauma psikologis yang berkaitan dengan tindakan pembedahan, beberapa tindakan penutupan defek secara trans-kateter telah diciptakan. Diantaranya adalah okluder Amplatzer. Alat ini berupa anyaman kawat yang terbuat dari nikel-titanium, berupa cakram ganda, yang dapat diinsersikan melalui kateter. Alat ini memiliki berbagai macam ukuran yang disesuaikan dengan besarnya defek. Penutupan defek trans-kateter ini terutama digunakan pada defek ostium sekundum, sedangkan untuk defek septum lainnya terapi utamanya masih berupa pembedahan (Djer et al, 2007).
8
Gambar 2.3 Algoritma Tatalaksana ASD
3.9 Prognosis ASD yang terdeteksi pada bayi atterm dapat menutup dengan sendirinya. ASD sekundum dapat ditoleransi dengan baik, dan biasanya gejala tidak muncul sampai dengan dekade ketiga kehidupan. Gejala yang muncul dapat berupa gejala hipertensi pulmonal, atrial disritmia, insufisiensi mitral, dan gagal jantung. Gejala – gejala tersebut dapat muncul lebih dini pada pasien yang sedang hamil (Bernstein, 2007). Hasil penutupan defek secara transkateter secara umum baik. Gejala menghilang secara cepat, pertumbuhan pasien meningkat, jantung kembali ke ukuran normal, dan terdapat perbaikan pada EKG (Bernstein, 2007).
3.10 Komplikasi Komplikasi yang akan timbul jika tidak dilakukan penutupan defek adalah pembesaran jantung kanan dan penurunan komplians ventrikel kanan, aritmia, dan kemungkinan untuk menyebabkan penyakit vaskular paru obstruktif
9
(McDaniel, 2001). Sindrom Eisenmenger adalah keadaan pirau kanan ke kiri parsial atau total pada pasien dengan defek septum akibat perubahan vaskular paru. Pada defek septum yang menyebabkan pirau dari kiri ke kanan, peningkatan aliran darah ke paru menyebabkan perubahan histologis pada pembuluh darah paru, yang dapat menimbulkan peningkatan resistansi dari pembuluh paru. Hal ini menyebabkan tekanan darah di paru meningkat, sehingga pirau berbalik arah menjadi dari kanan ke kiri. Gejala yang timbul berupa sianosis, dyspnea, lelah, dan disritmia. Pada tahap akhir penyakit, dapat timbul gagal jantung, nyeri dada, sinkop. dan hemoptisis (Bernstein, 2007). Beberapa komplikasi menyertai tidakan penutupan defek septum, baik trans-kateter atau melalui pembedahan. Komplikasi mayor, yaitu komplikasi yang perlu penanganan segera antara lain kematian, dekompensasi hemodinamik yang mengancam nyawa, memerlukan intervensi bedah, dan lesi fungsional atau anatomik yang permanen akibat tindakan kateterisasi (Djer et al, 2007). Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan pembedahan antara lain aritma atrial, blok jantung.
10