Laporan Laporan Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Daging dan Ikan
Oleh : Kelompok 3 Tri Angga Maulana
(141710101027) (141710101027)
Khalifah Ghina
(141710101060) (141710101060)
Awi Metalisa
(141710101090) (141710101090)
Sofin Murdiana
(141710101111) (141710101111)
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS UNIVERSITAS JEMBER 2015
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
5.1.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar Pengamatan mengenai daging dapat dilakukan dengan mempersiapka n terlebih dahulu 2 sampel daging (daging segar dan daging tidak segar). Letakkan sampel pada wadah yang bersih. Hal itu dilakukan agar daging terhindar dari kotoran yang dapat mempengaruhi pengamatan.
Setelah
itu
lakukan
pengamatan
keakuratan hasil mengenai
tekstur
(kekenyalan), warna dan aroma pada masing-masing sampel sehingga dapat diketahui perbandingan daging yang segar dan
yang tidak segar
menggunakan pengamatan panelis. Pengamatan mengenai ikan diawali dengan mempersiapkan sampel ikan (ikan segar dan ikan tidak segar). Letakkan sampel pada wadah yang bersih dengan tujuan terhindar dari kotoran dan dapat menghasilkan pengamatan yang akurat. Pengamatan yang dilakukan pada ikan segar maupun tidak segar adalah dari segi bentuk, mata, insang, kulit, sisik, lendir, tekstur (kekenyalan), warna dan aroma menggunakan pengamatan panelis.
5.1.2 Pengamatan Marbling Daging Pengamatan mengenai Marbling dilakukan dengan mempersiapkan irisan daging segar pada wadah yang bersih. Amati dan bandingkan marbling pada irisan daging segar dengan standart marbling sehingga dapat diketahui tingkat marbling pada irisan daging segar tersebut.
5.1.3 Pengamatan Warna Daging dan Ikan Pengamatan mengenai warna daging dan ikan dapat dilakukan secara visual terlebih dahulu. Selanjutnya dilakukan pengirisan daging menjadi 2 bagian irisan yang bertujuan sebagai sampel untuk pengamatan cooking loss dan curing. Irisan I (sampel cooking loss) diberi perlakuan perebusan diatas air bersuhu 80 oC selama 10 menit. Sementara irisan II
(sampel curing) dilakukan perendaman pada larutan curing selama 60 menit. Setelah itu lakukan pengamatan mengenai perubahan warna pada masing-masing irisan sampel daging atau ikan.
5.1.4 Penentuan pH pada Daging dan Ikan Pengamatan mengenai penentuan pH dapat dilakukan dengan mempersiapkan
daging
sebanyak
5
gram.
Langkah
awal
ialah
pencincangan daging/ikan menggunakan pisau tajam/ stainless steel agar daging tercincang halus. Pencincangan dilakukan bertujuan untuk mempermudah dalam percobaan selanjutnya yaitu pencampuran dengan aquades perbandingan 1:1 didalam beaker glass. Dilakukan pengadukan agar larutan menjadi homogen lalu ukur nilai pH menggunakan pH meter untuk mendapatkan hasil nilai pH yang akurat.
5.1.5 Pengukuran Tekstur (metode Rheotex) pada Dag ing dan Ikan Pengamatan dan pengukuran tekstur daging/ikan dapat dilakukan dengan metode Rheotex yaitu diawali dengan penyalaan power dan pemasangan jarum penekan diatas tempat test pada alat Rheotex. Setelah itu tekan tombol distance dengan besaran 0,5 mm dilanjutkan dengan menekan tombol hold. Letakkan irisan daging/ikan dibawah jarum Rheotex dan diharuskan ujung jarum tepat menyentuh permukaan irisan daging/ikan agar dapat diukur teksturnya. Selanjutnya tekan tombol start beberapa detik sampai terdengar bunyi tanda selesai. Angka pada jarum Rheotex dengan satuan (g) yang tertera di alat Rheotex merupakan nilai tekstur dari daging/ikan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dapat dilakukan pengukuran sebanyak 4 kali pada bagian atas, bawah, kanan dan kiri irisan daging/ikan.
5.1.6 Pengukuran Cooking Loss pada Daging dan Ikan Pengamatan dan pengukuran cooking loss dapat dilakukan dengan menyiapkan terlebih dahulu sampel irisan (dari pengamatan warna) sebanyak 5 gram. Selanjutnya masukkan sampel kedalam plastik polietilen dan dijepit atau di ikat agar tidak berkontak langsung dengan udara. Daging/ikan dalam plastik polietilen selanjutnya dimasukkkan kedalam waterbath dengan suhu 80 o C selama 10 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air mengalir pada suhu kamar sampai dingin. Keluarkan sampel daging/ikan dari plastik polietilen dan keringkan menggunakan tisu pada permukaan sampel tanpa adanya pemerasan atau penekanan karena hal tersebut dapat mengurangi susut masak daging/ikan dengan keluarnya kadar air ataupun nutrisi didalamnya. Langkah berikutnya adalah penimbangan yang dilakukan menggunakan neraca analitik dan hitung besar cooking loss menggunakan rumus.
5.1.7 Pengukuran Drip Loss Pengamatan dan pengukuran drip loss diawali dengan menyiapkan 15 gram sampel daging/ikan dan dibagi menjadi 3 bagian dan masingmasing dimasukkan kedalam kantong plastik lalu diberi label agar tidak tertukar antar sampel. Ketiga sampel dimasukkan kedalam freezer selama 3 hari. Setelah itu daging/ikan beku diberi perlakuan thawing sampai es mencair menggunakan 3 cara yaitu chilling selama 24 jam untuk sampel I, penyimpanan dalam suhu kamar untuk sampel II dan pencucian daging/ikan pada air mengalir untuk sampel III. Selanjutnya tiriskan daging dan timbang menggunakan neraca analitik. Nilai drip loss dapat diketahui dengan perhitungan menggunakan rumus dan angka yang telah didapatkan.
5.1.8 Pengamatan Daging Beberapa Spesies Ternak Pengamatan mengenai daging dari beberapa spesies ternak dapat dilakukan dengan menyiapkan beberapa spesies daging dan amati serta
bandingkan sampel-sampel tersebut berdasarkan parameter yang telah ditentukan yaitu warna, bentuk serat, tekstur (kekenyalan), aroma, warna lemak dan keberadaan lemak.
5.2 Analisa Data
5.2.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar Pengamatan pada daging dapat diketahui dari tabel perbedaan daging segar dan daging kurang segar. Parameter yang diamati antara lain warna, tekstur, dan aroma. Pengamatan dilakukan secara sensoris dan didiskripsikan. Dari data pengamatan diperoleh bahwa warna daging merah atau cerah lembab. Hal ini dikarenakan daging segar masih baru mengalami pemotongan, memiliki kandungan air yang cukup dan masih mengalami proses respirasi dengan baik. Ketika daging berada didalam lingkungan beroksigen, maka permukaan daging segar akan berwarna merah
terang
karena
terjadinya
oksigenasi
mioglobin
menjadi
oksimioglobin. Warna merah yang terdapat pada daging disebabkan oleh kandungan dari mioglobin. Semakin tinggi kandungan mioglobin, maka semakin merah warna daging tersebut (Syamsir, 2010) . Menurut Tobing (2012), warna pada daging sangat dipengaruhi oleh konsentrasi pigmen daging yaitu mioglobin yang berjumlah sekitar 50-80 % dari total pigmen yang ada. Sementara daging yang kurang segar memiliki warna merah gelap atau tua sedikit lebih kering. Hal itu dikarenakan perubahan warna pada daging merah (daging sapi/daging kerbau) diakibatkan oleh proses oksidasi (interaksi) antara oksigen (O 2) di udara dan mioglobin (pigmen atau zat warna kemerahan) di dalam daging merah menjadi metmioglobin (pigmen kecokelatan). Ini biasanya terjadi bila daging dibiarkan selama ± 5 jam di udara terbuka (Lukman, 2010). Selain itu, daging yang kurang segar memiliki warna yang lebih gelap karena terlalu lama berkontak langsung dengan udara sehingga mikroba kontaminan menempel dan menjadikan daging terlihat tidak segar.
Mengenai tekstur (kekenyalan) didapatkan pada daging segar memiliki tekstur yang kenyal, empuk atau lunak. Sementara daging yang kurang segar memiliki tekstur yang kaku atau keras dibagian atas atau permukaannya. Hal ini dikarenakan pada daging segar masih mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga menyebabkan tekstur kenyal dan lunak. Berdasarkan penilitian Sayuti (2006) menyatakan tekstur dan kekenyalan sangat berhubungan dengan daya mengikat air. Selain itu, setelah daging mengalami pemotongan, daging akan mengalami fase rigor mortis dimana antomiosin yang merupakan pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot masih terjadi kontraksi dan relaksasi (reversible). Namun setelah ATP yang tersisa didalam daging sudah habis, maka antomiosin akan terkunci (irreversible). Hal ini menyebabkan daging yang kurang segar memiliki tekstur yang kaku atau keras dibagian atasnya. Selain itu, daging mengalami respirasi dan terjadi penguapan jika dibiarkan berkontak langsung dengan udara dalam waktu yang lama, menyebabkan kandungan air dalam daging menurun dan testur daging menjadi kering (Soeparno, 1994). Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Mengenai aroma, daging segar memiliki aroma daging yang segar dan lebih menyengat (amis). Sedangkan daging yang kurang segar memiliki aroma daging tidak segar atau tidak terlalu amis. Hal ini dikarenakan daging yang segar masih terdapat banyak darah dan respirasi dagingnya masih berlangsung, sedangkan daging yang kurang segar terdapat darah yang sudah mengering dan respirasi dagingnya sudah tidak berlanjut. Menurut Komariah (2009), daging yang segar memiliki aroma khas. Apabila daging sudah rusak akan tercium bau yang tidak sedap. Bau ini dikarenakan adanya aktivitas mikroba, reaksi kimia, atau kombinasi keduanya.
Menurut Deptan (2010), daging segar mempunyai warna merah cerah dan mengkilap. Adapun daging yang mulai rusak berubah warna menjadi coklat kehijauan, kuning, dan akhirnya tidak berwarna. Daging yang segar tidak berbau masam atau busuk, tetapi berbau khas daging segar. Daging segar bertekstur kenyal, padat, dan tidak kaku, bila tertekan dengan tangan, bekas pijatan cepat kembali ke posisi semula. Selain itu, daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya. Pengamatan pada ikan digunakan dua sampel yakni ikan segar dan ikan kurang segar dengan beberapa parameter, yaitu bentuk, mata, insang, lendir, kulit, sisik, warna, aroma, dan tekstur. Parameter bentuk ikan, pada ikan segar lebih memiliki bentuk yang segar dan utuh daripada ikan yang kurang segar. Hal ini ditandai dengan kenampakan pada permukaan ikan dan keutuhan bagian-bagian tubuh ikan atau kulitnya. Mengenai kondisi insang, ikan segar memiliki warna merah segar, terang, dan lamella insang terpisah serta insang tertutup oleh lendir berwarna jernih. Sementara ikan yang kurang segar memiliki
warna
merah gelap/tua pada insangnya. Hal itu dikarenakan pada ikan yang kurang segar, didalam insangnya darah mengendap pada kapiler darah. Ikan segar memiliki lendir yang tidak lengket, kulit halus dan sisik yang kaku. Sementara ikan kurang segar memiliki lendir yang lengket, kulit yang berlendir dan sisik yang lebih lembek/lunak. Ikan segar memiliki warna putih terang aromanya tidak terlalu menyengat (tidak amis) dan tekstur lebih kenyal sementara pada ikan kurang segar warnanya putih pucat, bau amis yang sangat menyengat dan teksturnya lembek atau tidak bisa kembali ketika ditekan. Ciri-ciri ikan segar yaitu memiliki mata pupil hitam menonjol dengan kornea jernih, bola mata cembung dan cemerlang atau cerah. Insang berwarna merah cemerlang atau merah tua tanpa adanya lendir, tidak tercium bau yang menyengat, tekstur daging elastis dan jika ditekan tidak ada bekas jari, serta padat atau kompak. Keadaan kulit dan lendir memiliki warnanya sesuai dengan aslinya dan
baunya segar sesuai khas menurut jenisnya. Keadaan perut dan sayatan daging yaitu perut tidak pecah masih utuh dan sayatan ikan jika dibelah daging melekat kuat pada tulang terutama rusuknya. Bau spesifik menurut jenisnya dan segar seperti bau rumput laut (Afrianto dan Evi, 1991).
5.2.2 Pengamatan Marbling pada Daging
Pada pengamatan marbling daging, didapatkan sampel 1 memiliki pola pola penyebaran lemak intraseluler dalam jaringan serat -serat daging hampir sama dengan gambar skala marbling kode BMS 2 (Quality Grade 2). Pada sampel 2 sesuai dengan skala marbling kode BMS 4 (Quality Grade 4). Pada sampel 3 sesuai dengan skala marbling kode BMS 2 (Quality Grade 2). Pada sampel 4 sesuai dengan skala marbling kode BMS 4 (Quality Grade 4). Hal itu menunjukkan pada sampel 1 dan 3 memiliki pola penyebaran lemak (kandungan lemak) sedikit.
Sementara pada
sampel 2 dan 4 memiliki pola penyebaran lemak (kandungan lemak) yang lebih banyak. Semakin banyak marbling menandakan semakin tinggi juiciness, flavor dan kelunakan daging karena kandungan lemaknya sangat
tinggi. Lemak marbling tidak dapat dihilangkan dan hal tersebut mempengaruhi kualitas daging (Priyanto et al., 1999). 5.2.3 Pengamatan Warna pada Ikan Hasil pengamatan dari kelompok 3 menggunakan sampel ikan laut didapatkan daging ikan laut segar dengan pengamatan panelis pada warna didapat nilai (+) sebanyak 5 yang berarti menunjukkan warna cerah dan segar. Pada daging ikan yang direbus dilakukan pengamatan warna menggunakan colour reader sebanyak 3 kali pengulangan berturut-turut adalah 46,1; 48,1 dan 49,5. Didapatkan rata-rata lightness sebesar 47,9. Pada daging ikan yang telah dicuring didapat warna 33,6; 38,4; 39,8 dan didapat rata-rata sebesar 37,27 dengan pengamatan menggunakan colour reader. Dari data hasil pengamatan tersebut dapat dianalisis bahwa perlakuan perebusan dapat menjadikan warna ikan laut lebih putih/terang daripada perlakuan dengan perendaman pada larutan curing. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perebusan, kadar air dan nutrisi akan keluar dari daging ikan (Nurjanah et., al, 2005). Hal itu menyebabkan warna pada daging ikan lebih putih dari sebelumnya karena kandungan nutrisi dan pigmen pada daging ikan hilang. Sementara pada perlakuan perendaman larutan curing, terlepasnya nutrisi maupun kadar air dapat terminimalisir karena larutan curing itu sendiri dapat meresap pada dag ing ikan. 5.2.4 Penentuan pH pada Ikan Penentuan pH pada ikan laut didapatkan hasil pengamatan yaitu Penentuan pH pada ikan laut segar dilakukan menggunakan alat pH meter dan didapat hasil sebesar 6,85. Pada ikan laut yang mengalami proses cooking loss atau perebusan didapat pH sebesar 7,9 dan ikan laut dengan perlakuan perendaman pada larutan curing didapat pH sebesar 7. Hal ini menunjukkan bahwa proses perebusan dapat meningkatkan nilai pH ikan laut lebih tinggi daripada menggunakan metode perendaman (curing), sehingga dapat dianalisis bahwa proses perebusan atau cooking loss dapat
menyebabkan kerusakan atau menurunkan nilai mutu ikan karena lebih cepat menjadikan ikan laut
lebih basa. Pengukuran kemunduran mutu
ikan secara kimiawi dapat dilakukan dengan mengukur derajat keasaman (pH) daging ikan. Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar, dagingnya mempunyai pH lebih basa (tinggi) daripada yang masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti misalnya ammonia, trimethylamine, dan senyawa-senyawa volatil lainnya (Hadiwiyoto, 1993). 5.2.5 Pengukuran Tekstur pada Ikan Pengamatan sampel ikan laut segar menggunakan deskripsi panelis didapatkan nilai (+) sebanyak 5 pada teksturnya yang segar. Pada ikan laut setelah direbus menggunakan alat Rheotex didapatkan tekstur bagian atas, bawah dan samping secara berturut-turut adalah 0,13; 0,16; 0,13 dengan rata-rata sebesar 0,14. Sementara ikan laut yang mengalami proses curing memiliki tekstur bagian atas, bawah dan samping sebesar 0,19; 0,28; 0,17 dan rata-ratanya adalah 0,21. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan perebusan dapat mengurangi tekstur lunak pada daging ikan laut daripada dengan perlakuan perendaman larutan curing. Semakin tinggi angka yang didapat pada alat Rheotex menunjukkan semakin lunak tekstur daging ikan yang diukur. Menurut Nurjanah et., al. (2005) menyatakan bahwa, penurunan kadar air disebabkan oleh proses pemanasan (perebusan) yang menyebabkan terlepasnya air bebas dari bahan. Bahan yang mengandung protein seperti ikan dan kerang akan mengalami denaturasi dan koagulasi, sehingga daging kerang yang direbus akan lebih padat. 5.2.6 Pengukuran Cooking Loss pada ikan Pengamatan dan pengukuran sampel ikan laut sebelum mengalami pemasakan/perebusan memiliki berat pada sampel I (digunakan untuk pengamatan warna), sampel II (digunakan untuk pengamatan tekstur), sampel III (digunakan untuk pengamatan pH) adalah sama yaitu sebesar 5
gram. Sementara ikan laut setelah mengalami pemasakan/perebusan memiliki berat pada sampel I, II dan III sebanyak 3,38; 4,24; 3,88. Hal ini menunjukkan dengan adanya perlakuan pemasakan/perebusan pada daging akan mengurangi berat pada daging tersebut karena terjadi penyusutan (susut masak/cooking loss). cooking loss atau susut masak merupakan indikator kualitas daging, dimana daging dengan susut masak yang lebih rendah lebih baik dibandingkan dengan susut masak yang relatif besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Yanti dkk, 2008). 5.2.7 Pengukuran Drip Loss pada ikan Pengamatan dan pengukuran sampel ikan laut segar mengenai drip loss diketahui berat awal daging ikan sebelum dibekukan sebesar 5 gram. Setelah mengalami pembekuan, perlakuan daging dengan chilling, air mengalir dan suhu ruang memiliki berat secara berturut-turut sebesar 4,97; 4,79; dan 5,02. Dari data tersebut ditunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan berat daging ikan laut segar pada perlakuan pembekuan dan pencairan menggunakan chilling maupun air mengalir, sedangkan perlakuan pencairan dengan suhu ruang dapat meningkatkan sedikit berat daging
ikan
laut
segar.
Data
hasil
pengamatan
ini
mengalami
penyimpangan karena perlakuan dengan suhu ruang seharusnya lebih menurunkan nilai berat dari ikan karena terjadi penyusutan lebih besar akibat keluarnya drip dari daging ikan daripada pencairan dengan chilling dan pencucian dengan air mengalir. Drip adalah cairan yang berwarna putih pucat yang tidak terserap kembali oleh jaringan daging ikan beku ketika dicairkan. Drip mengandung air yang melarutkan protein dan unsure-unsur nitrogen lain, vitamin, mineral, komponen pembentuk rasa dan lain-lain. Pembentukan drip harus dibatasi sekecil mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu jenis ikan, kecepatan pembekuan, jangka waktu penyimpanan, kestabilan suhu penyimpanan
dan
suhu
pelelehan. Drip dapat
dikurangi
dengan
menggunakanlarutan
garam
atau larutan
polifosfat
(Murniyati
dan
Sunarman, 2000). 5.2.8 Pengamatan Jenis Daging 1. Daging Sapi Pengamatan jenis daging sapi didapatkan warna daging merah cerah, bentuk serat teratur, tekstur (kekenyalan) lebih kenyal, aroma yang menyengat, lemak berwarna putih bening, keberadaan lemak dipermukaan daging. Data pengamatan tersebut didukung oleh pendapat Potter (1993), daging sapi memiliki warna cerah, bau dan rasa aromatis, berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat/kenyal, permukaan mengkilat, dan bersih tidak ada darah. 2. Daging Kambing Pengamatan pada daging kambing didapatkan warna daging merah tua, bentuk serat tidak teratur, tekstur kenyal, aroma sangat menyengat, warna lemak putih pucat, lemak berada didalam dan diluar daging. Menurut Lawrie (2003), karakteristik daging kambing adalah merah muda pucat, lemak menyerupai lemak domba warna putih, dan bau daging kambing jantan lebih menyengat dari pada bau daging kambing betina.
3. Daging Ayam Pengamatan mengenai jenis daging ayam dapat diketahui dari tabel hasil pengamatan yaitu daging ayam memiliki warna putih pucat, bentuk serat teratur, tekstur kenyal, aroma amis atau menyengat, warna lemak putih kekuningan dan keberadaan lemak berada dipermukaan daging. Menurut SNI 2010, Ciri-ciri daging ayam broiler yang baik antara lain adalah sebagai berikut :
Warna putih-kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan, tidak terlalu merah).
Warna kulit ayam putih-kekuningan, cerah, mengkilat dan bersih.
Bila disentuh, daging terasa lembab dan tidak lengket (tidak kering).
Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak berbau busuk).
Konsistensi otot dada dan paha kenyal, elastis (tidak lembek).
Bagian dalam karkas dan serabut otot berwarna putih agak pucat.
Pembuluh darah di leher dan sayap kosong (tidak ada sisa-sisa dara h).
4. Daging Babi Pengamatan pada daging babi didapatkan hasil warna daging putih pucat, bentuk serat teratur, tekstur yang sedikit kenyal, aroma tidak terlalu menyengat, warna lemak putih kekuningan dan keberadaan lemak dipermukaan daging. Menurut Naruki dan Kononi (1992), warna daging babi pucat hingga merah muda, serabut halus dengan konsistensi padat dan berbau spesifik, dan pada umur tua daging berwarna lebih tua, sedikit lemak dan serabut kasar.
DAFTAR PUSTAKA
Aeni, E. N. 2009. Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tanaman Nanas (Ananas Comosus (Linn.) Merr.) di Desa Bumihayu Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Afrianto, E dan Evi, L. (1991). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta. Penerbit Kanius. Halaman 11-16, 24-25. Anaeto MJ, Adeyeye A, Chioma GO, Olarinmoye AO, Tayo GO. 2010. Goat Products: Meeting the Challenges of Human Health and Nutrition . Agric Biol J N Am. 6:1231-1236. Apple J.K., W.A. Wallis-Phelas, C.V. Maxwell, L.K. Rakes, J.T.Sawyer, S.Hutchison dan T.N, Fakler. 2007. Effect of Supplemental Iron On Finishing
Swine
Performance,
Carcass
Characteristics,
and
pork quality during retail display. J. Anim.Sci. 85:737-745. Astawan, W. 2007. Teknologi Pengolahan Pangan Tepat Guna . Jakarta: CV Akademika Pressindo Badan Standardisasi Nasional. 2010. Ayam Broiller . (SNI 01-4258-2010). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Bintoro, V.P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk . Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Blakely, J. dan D.H Bade 1998. Ilmu Peternakan. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Casey NH, Webb EC. 2010. Managing Goat Production for Meat Quality . Small Rumin Res. 89:218-224. Departemen Pertanian. 2010. LIPTAN: Pemilihan dan Penanganan Daging Segar . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, PadangMarpoyan, Riau. Food and Agricultural Organization. 2007. Seafood Production and International Trade: Global trends.
Hadiwiyoto, S, 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Jibir M, Hassan WA, Maigandi SA, Garba S, Adeyaniju JB. 2010. The Effect of Breed, Age and Fasting Status on Macro-nutrient Composition of Meat from Goat Breeds of North-Western Nigeria. Niger J Basic Appl Sci. 18:269-271. Komariah, S. Rahayu dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau, dan Domba pada Lama Postmortem yang berbeda. Buletin Peternakan. 33:183-189. Lawrie, R. A., 1995. Ilmu Daging . Penerbit Universitas Indonesia. UI-Press, Jakarta. Lawrie, R. A. 2003. Meat science. Edisi Ke-5. Penerjemah: A. Perakasi. UI press. Jakarta. Lukman, D. W. 2010. Nilai pH Daging (2). Wab-site: www.higiene pangan.blogspot.com. Diakses: Tanggal 17 maret 2010. Mahmud, M. K., Hermana N. A., Zulfianto R., Rozzana I., Ngadiarti B., Hartati dan Bernadus T. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. PERSAGI. Jakarta. Murniati,
AS
dan
Sunarman.
2000.
Pendinginan
Pembekuan
dan
Pengawetan Ikan. Kanisius. Yogyakarta Naruki, S., dan S. Kononi. 1992. Kimia Teknologi Pengolahan Hasil Hewan I . Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nurjanah. Zulhamsyah. dan Kustiyariyah. 2005. Kandungan Mineral dan Proksimat Kerang Darah (Anadara granosa) yang Diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, 8 (2) : 15-24
Nurwantoro, V. P, Mulyani. 2011. Nilai pH, Kadar Air dan Total Escherichia coli Daging Sapi yang Dimarinasi dalam Jus Bawang Putih . Pros. Seminar Nasional Pangan Hewani-2. Semarang, 12 September 2011. hlm. 9 – 13. Ockerman HW and Hansel CL. 2000. Animal by Product Processing & Utilization. Pollan, M. 2006. Dilema Omnivora. The Penguin Press. New York. Potter, M.D.1993. Principles of Meat Science 2th. Publishing Co.Lowa Priyanto, R., E.R. Johnson & D.G. Taylor. 1999. The Importance of Genotype in Steers Fed Pasture or Lucerne Hay and Prepared for the Australian and Japanese Beef Markets. New Zealand J. of Agric. Res. 42:393-404. Soeparno.
1998.
Ilmu
dan
Nutrisi
Daging .
Fakultas
Peternakan.
Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging . Cetakan II. Fakultas Peternakan . Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging . Cetakan Ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2729-1992 . Persyaratan Mutu Ikan Segar . Badan Standarisasi Nasional-BSN. Jakarta.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 3932. 2008. Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta. 14 hlm Suharyanto, 2008. Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak . Jurnal Kimia Pangan. Tobing, S.W, Lumban. 2012. Perbandingan Kualitas Karkas dan Daging antara Babi Peliharaan dengan Babi Hutan. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.
United State Department of Agriculture. 2001. Nutrient Data Base for Standard Reference. Release 14. Agricultural Research Service United States Department of Agriculture. Maryland. Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wood JD, Richardson RI, Nute GR, Fisher AV, Campo MM, Kasapidou E, Sheard PR, Enser M. 2008. Effects of Fatty Acids on Meat Quality: A Review. Meat Sci. 66:21-32. Yanti, H., Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan Plastik PE (polyethylen) dan Plastik PP (Polypropylen) di Pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 – 27).