TUGAS
TOKSIKOLOGI FORENSIK
TOKSIKOKINETIK DAN TOKSIKODINAMIK
ABDUL HADI FURQONI
091424653003
MAGISTER ILMU FORENSIK
FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang diartikan sebagai kapasitas suatu zat kimia/beracun yang dapat menimbulkan efek toksik tertentu pada makhluk hidup. Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Risiko didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Keanekaragaman efek merugikan potensial dan keberagaman bahan kimia di dalam llingkungan menjadikan toksikologi ilmu pengetahuan yang sangat luas. Ruang lingkup toksikologi mencakup lingkungan (misalnya, polusi, air, dan udara), ekonomi (misalnya, bahan tambahan makanan dan pestisida) (Stringer, 2008).
Efek toksik mempengaruhi atau menentukan keberadaan zat kimia atau metabolitnya dalam sel sasaran atau tempat kerjanya. Untuk menentukan keberadaan zat kimia atau metabolit toksik ini maka perlu diketahui mekanisme masuk nya zat toksik serta bagaimana mekanisme zat tersebut merusak suatu organisme.
Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditarik identifikasi masalah sebagai berikut:
Bagaimana cara kerja tokson dalam tubuh organisme
Bagaimana interaksi tokson dengan reseptornya
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui cara kerja tokson yang masuk ke dalam organisme
Untuk mengetahui interaksi yang terjasi antara tokson dan organisme
BAB II
ISI
Toksikologi
Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Toksikologi juga membahaspenilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk hidup.
Bila zat kimia dikatakan berracun (toksik),maka kebanyakan diartikan sebagai zat yangberpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatuorganisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor "tempat kerja", sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakanistilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme.
Pada umumnya efek berbahaya / efekfarmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik).
(Wirasuta dan Niruri, 2007).
Toksikologi lingkungan berhubungan dengan dampak zat kimia yang berpotensi merugikan, yang muncul sebagai polutan lingkungan bagi organisme hidup. Istilah lingkungan mencakup semua lingkungan yang mengelilingi individu organisme, terutama udara, tanah, dan air. Polutan adalah suatu zat yang didapatkan dalam lingkungan, yang mempunyai efek merugikan bagi kehidupan organisme, khususnya manusia; yang sebagian merupakan akibat dari perbuatan manusia.
Efek toksik ialah efek yanng merusak fungsi fisiologis dan fungsi biokimia tubuh manusia sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius dan dapat fatal, yang ditimbulkan oleh pemakaian obat atau zat kimia dalam dosis berlebihan. Efek toksik obat umumnya merupakan efek lanjutan dari efek farmakologi yang normal sehingga gejala yang timbul merupakan efek farmakologik/farmakodinamik yang berlebihan.
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2009).
Cara Kerja Toksik
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, danbiologik yang sangat rumit dan komplek. Prosesini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga faseyaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fasetoksodinamik. Dalam menelaah interaksixenobiotika/tokson dengan organisme hidupterdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruhorganisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik.
Fase Eksposisi
Fase ini merupakan kontak suatuorganisme dengan xenobiotika, pada umumnya,kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam kontek pembahasan efek obat, fase iniumumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi hancurnya bentuksediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat kontaknya.Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik.
Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian toksikologi, paparan xenobiotika dapat terjadi melalui jalurinjeksi, seperti injeksi intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.
Fase Toksikokinetik
Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya dikelompokkan ke dalamproses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dariabsorpsi, transpor, dan distribusi, sedangkkanevesi juga dikenal dengan eleminasi. Absorpsisuatu xenobiotika adalah pengambilanxenobiotika dari permukaan tubuh (disinitermasuk juga mukosa saluran cerna) atau daritempat-tempat tertentu dalam organ dalaman kealiran darah atau sistem pembuluh limfe. Apabila xenobiotika mencapai sistem sirkulasi sistemik, xenobiotika akan ditranspor bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. WEISS (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi (transpor xenobiotika bersama peredaran darah) dan difusi (difusixenobiotika di dalam sel atau jaringan). Sedangkan eliminasi (evesi) adalah semua proses yang dapat menyebabkan penurunan kadar xenobiotika dalam sistem biologi / tubuh organisme, proses tersebut reaksi biotransformasi dan ekskresi.
Fase Toksikodinamik
fase toksodinamik atau farmakodinamik akan membahas interaksi antara molekul tokson atau obat pada tempat kerja spesifik, yaitu reseptor dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya timbul efek toksik atau terapeutik. Kerja sebagian besar tokson umumnya melalui penggabungan dengan makromolekul khusus di dalam tubuh dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika dari makromolekul tersebut. Makromolekul ini sejak seabad dikenal dengan istilah reseptor, yaitu merupakan komponen sel atau organisme yang berinteraksi dengan tokson dan yangmengawali mata rantai peristiwa biokimia menuju terjadinya suatu efek toksik dari tokson yang diamati.
(Wirasuta dan Niruri, 2007).
Gambar 1. Rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara biologik.
(Mutschler (1999) dalam Wirasuta dan Niruri, 2007).
Toksikokinetik
Sederetan proses toksikokinetik sering disingkat dengan ADME, yaitu: adsorpsi, distribusi,metabolisme dan eliminasi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah xenobiotika (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke sistem sistemik atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah xenobiotika yang dapat masuk ke sistem sistemik dikenal sebagai ketersediaan biologi / hayati. Keseluruhan proses pada fase toksokinetik ini akan menentukan menentukan efficacy (kemampuan xenobiotika mengasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya.
Adsorbsi
Adsorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak (paparan)menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluhlimfe. Adsorpsi didefinisikan sebagai jumlah
xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Toksondapat terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular.Adsorpsi sistemik tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomikdan fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Pada pemasukan tokson langsung ke sistem sirkulasi sistemik (pemakaian secara injeksi), dapat dikatakan bahwa tokson tidak mengalami proses absorpsi. Absorpsi suatu xenobiotika tidak akan terjadi tanpa suatu transpor melalui membran sel, demikian halnya juga pada distribusi dan ekskresi. Oleh sebab itu membran sel (membran biologi)dalam absorpsi merupakan sawar barier" yaitu batas pemisah antara lingkungan dalam dan luar.
Penetrasi xenobiotika melewati membran dapatberlangsung melalui: difusi pasif, filtrasilewat pori-pori membran "poren", transpordengan perantara molekul pengemban "carrier",pencaplokan oleh sel "pinositosis".
Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi umumnya xenobiotika. Tenaga pendorong untuk difusi ini adalah perbedaan konsentrasi xenobiotika pada kedua sisi membran sel dan daya larutnya dalam lipid. Menurut hukum difusi Fick, molekul xenobiotika berdifusi dari daerahdengan konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi
yang lebih rendah.
Filtrasi lewat pori-pori membran "poren".Membran sel umumnya memilika lubang dengan ukuran yang bervariasi tergantung pada sifat dari membran selnya. Umumnya kebanyakan sel mempunyai pori dengan diameter sekitar 4 Å (amstom). Saluran pori ini umumnya penuh terisi air, sehingga hanya memungkinkan dilewati oleh tokson yang relatiflarut air dengan berat molekul kurang dari 200 Da (Dalton). Oleh karena itu, kemungkinan laju aliran air melewati pori ini yang bertindak sebagai daya dorong molekul-molekul tokson melintasi pori ini. Terdapat asumsi, bahwa pemberian suatu obat dengan derajat hipotonikyang tinggi akan mempercepat laju absorpsi obat melalui pori. Namun anggapan ini akanbertentangan dengan kecepatan difusi suatu tokson. Umumnya senyawa dengan ukuranmolekul kecil, (seperti urea, air, gula dan ion Ca, Na, K) memanfaatkan lubang pori ini untuk
melintasi membran sel. Laju absorpsi lewat sistem ini Disamping itu terdapat juga membransel yang memiliki ukuran pori yang relatif besar (sekitar 70 Å), seperti memban kapiler danglomerulus ginjal. Pori ini dimungkinkan dilewati oleh molekul-molekul dengan ukuran lebih kecil dari albumin ( sekitar 50.000 Da). Aliran air lewat pori-pori terjadi karena tekanan hidrostatik dan/atau osmotik dan dapat bertindak sebagai pembawa tokson.
Transpor dengan perantara molekul pengemban "carrier". Transpor dengan perantara molekul pengemban lebih dikenal dengan transpor aiktif, yaitu proses melinatasi membran sel diperantarai oleh pembawa "carrier". Transpor aktif merupakan proses khusus yang memerlukan pembawa untuk mengikat tokson membentuk komplek toksonpembawa yangmembawa tokson lewat membran dan kemudian melepas tokson di sisi lain dari membran. Sesuai dengan sifat dari transpor ini, umumnya transpor ini ditandai dengan pewatakanyaadanya fakta bahwa tokson dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi, misal dari dari daerah konsentrasi tokson rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh sebab itu pada sistem transpor ini umumnya memerlukan masukan energi untuk dapat terjadi transpor.
Jalur transpor ini akan bergantung pada jumlahmolekul pembawa, atau dengan lain kata, jumlahmolekul tokson yang dapat diangkut (ditranspor) oleh sistem per satuan waktu, tergantung pada kapasitas sistem (jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiap ikatan). Bila konsentrasi tokson pada sistem meningkat secara terus menerus, sehingga pada awalnya laju transpor akan meningkat, dan akhirnya tercapai suatu keadaan yang menunjukkan sistem menjadi jenuh. Dengan demikian laju transpor akan mencapai laju maksimumnya, dimana pada keadaan ini telah terjadi kejenuhan komplek tokson-pembawa.
Molekul pembawa bisa sangat selektif terhadap molekul tokson. Bila struktur tokson menyerupai subtrat alami yang ditranpor aktif, maka tokson itu sesuai untuk ditranspor aktif dengan mekanisme pembawa yang sama. Oleh karena itu toksontokson yang mempunyai struktur serupa dapat berkompetisi untuk membentuk komplek tokson pembawa pada tempatabsorpsi, sehingga dapat terjadi antagonisme kompetitif untuk menduduki molekul pengemban. Oleh karena ini transpor suatu zat dapat diinhibisi oleh zat lain yang menggunakan sistem transpor yang sama. Namun berdasarkan sifat stereokimia molekulpengemban, maka sistem transpor demikian, paling sedikit mempunyai kekhasan untuk zat yang akan diangkut.
Difusi yang dipermudah (fasilitated diffusion)kadang dikelompokkan juga ke dalam sistemtranspor aktif, dimana difusi ini diperantarai olehpembawa. Namun terdapat sedikit perbedaanantara pranspor aktif yaitu tokson begerakmelintasi membran karena perbedaan konsentrasi(yaitu dari daerah dengan konsentrasi tinggi kedaerah yang konsentrasinya lebih rendah), olehkarena itu difusi ini tidak memerlukan masukanenergi. Namun karena difusi ini diperantarai olehmolekul pembawa, sistem ini dapat jenuh dansecara struktur selektif bagi tokson tertentu danmemperlihatkan kinetika persaingan bagi tokson-toksondenganstrukturserupa. Dalam arti absorpsi tokson, difusi dipermudah ini tampaknya memainkan perananyang sangat kecil.
Pencaplokan oleh sel "pinositosis".Pinositas merupakan proses fagositosis ("pencaplokan") terhadap makromolekul besar,dimana membran sel menyelubungi sekelilingbahan makromolekular dan kemudian mencaplokbahan tersebut ke dalam sel. Makromolekul tetaptinggal dalam sel sebagai suatu gelembung atauvakuola. Pinositas merupakan proses yangdiusulkan untuk absorpsi dari vaksin sabin polioyang diberikan secara oral dan berbagai molekulprotein besar lainnya.
Distribusi
Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan diedarkan/
didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistemsirkulasi sistemik ia akan terdistribusi lebih jauhmelewati membran sel menuju sitem organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu
xenobiotika di dalam tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di dalam tubuh. Di beberapa buku reference jugamenjelaskan, bahwa distribusi adalah proses dimana xenobiotika secara reversibel meninggalkan aliran darah dan masuk menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau masuk ke dalam sel dari jaringan atau organ.
Eliminasi
Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud proses eliminasiadalah proses hilangnya xenobiotika dari dalamtubuh organisme. Eliminasi suatu xenobiotikadapat melalui reaksi biotransformasi(metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melaluiginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalureksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar mamai,kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasiyang paling penting adalah eliminasi melalui hati(reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal.
Metabolisme
Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim tubuh, sehinggasenyawa tersebut akan mengalami perubahanstruktur kimia dan pada akhirnya dapat dieksresidari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialamioleh "xenobiotika" dikenal dengan reaksibiotransformasi yang juga dikenal dengan reaksimetabolisme. Biotransformasi atau metabolismepada umumnya berlangsung di hati dan sebagiankecil di organ-organ lain seperti: ginjal, paru-paru,saluran pencernaan, kelenjar susu, otot, kulit ataudi darah. Secara umum proses biotransformasi dapatdibagi menjadi dua fase, yaitu fase I (reaksifungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase pertama ini tokson akan mengalamipemasukan gugus fungsi baru, pengubahangugus fungsi yang ada atau reaksi penguraianmelalui reaksi oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi,deaminasi, desulfurisasi, pembentukan oksida,hidroksilasi, oksidasi alkohol dan oksidasialdehida); rekasi reduksi (reduksi azo, reduksinitro reduksi aldehid atau keton) dan hidrolisis(hidrolisis dari ester amida). Pada fase II initokson yang telah siap atau termetabolismemelalui fase I akan terkopel (membentukkonjugat) atau melalui proses sintesis dengansenyawa endogen tubuh, seperti: Konjugasidengan asam glukuronida asam amino, asamsulfat, metilasi, alkilasi, dan pembentukan asammerkaptofurat.
Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasipada umumnya tidak spesifik terhadap substrat.Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase)umumnyaterikatpadamembrandariretikulumendoplasmikdansebagianterlokalisasijugapadamitokondria,disampingituadabentukterikatsebagaienzimterlarut(sepertiesterase,amidase,sulfoterase).SistemenzimyangterlibatpadareaksifaseI umumnyaterdapatdidalamretikulumendoplasmikhalus,sedangkansistemenzimyangterlibatpadareaksifase IIsebagianbesarditemukandisitosol.Disampingmemetabolismexenobiotika,sistemenziminijugaterlibatdalamreaksibiotransformasisenyawaendogen(seperti: hormonsteroid,biliribun,asamurat,dll).Selainorgan-organtubuh,bakterifloraususjugadapatmelakukanreaksimetabolisme,khususnyareaksi reduksi dan hidrolisis. Uraian tentang reaksi biotransformasi yang terjadi atau yangdialami oleh suatu xenobiotika di dalam tubuh berikutnya akan dibahas di dalam bahasan tersendiri (BAB Biotrasnformasi).
(Wirasuta dan Niruri, 2007).
Toksikodinamik
Interaksi tokson - reseptor umumnya merupakaninteraksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik(irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.
Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkankerusakan sistem biologi, seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti karsinoma, mutasi gen. Umumnya efek irreversibel "nirpulih" akan menetap atau justru bertambah parah setelah pejanan tokson dihentikan.
Pada umumnya semakin tinggi konsentrasi akan meningkatkan potensi efek dari obat tersebut, untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bahasan hubungan dosis dan respon. Jika konsetrasi suatu obat pada jaringan tertentu tinggi, maka berarti dengan sendirinya berlaku sebagai tempat sasaran yang sebenarnya, tempat zat tersebut bekerja. Jadi konsentrasi suatu tokson/obat pada tempat kerja "tempat sasaran" umumnya menentukan kekuatan efek biologi yang dihasilkan.
Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan jugaproses-proses yang terkait dimana pada akhirnyamuncul efek toksik / farmakologik.
Farmakolog menggolongkan efek yang mencul berdasarkan manfaat dari efek tersebut, seperti:
Efek terapeutis, efek hasil interaksi xenobiotika dan reseptor yang diinginkan untuk tujuanterapeutis (keperluan pengobatan),
Efek obat yang tidak diinginkan, yaitu semuaefek / khasiat obat yang tidak diinginkan untuktujuan terapi yang dimaksudkan pada dosisyang dianjurkan, dan
Efek toksik, pengertian efek toksik sangatlahbervariasi, namun pada umumnya dapatdimengerti sebagai suatu efek yangmembahayakan atau merugikan organisme itusendiri.
Contoh Kasus
Toksikinetik Benzen
Pajanan utama benzen terhadap tubuh manusia melalui rute inhalasi (pernapasan), selain melalui pajanan oral (mulut) dan dermal (kulit) juga dapat terjadi. Benzen yang terabsorpsi kemudian dengan cepat didistribusikan ke selurh tubuh dan cenderung terakumulasi di jaringan lemak. Hati memiliki peranan penting dalam menghasilkan beberapa metabolit benzen yang reaktif dan berbahaya (ATSDR, 2007).
Benzena dengan cepat diabsorpsi melalui saluran pernapasan dan pencernaan. Penyerapan melalui kulit cepat tetapi tidak luas, hal ini disebabkan karena benzena yang menguap dengan cepat. Sekitar 50% dari benzen yang dihirup diabsorpsi setelah pajanan 4 jam pada konsentrasi sekitar 50 ppm benzena di udara.
Distribusi benzen ke seluruh tubuh melalui absorbsi dalam darah, karena benzen bersifat lipofilik, maka distribusi terbesar adalah dalam jaringan lemak. Jaringan lemak, sumsum tulang, dan urin mengandung sekitar 20 kali konsentrasi benzena lebih banyak daripada yang terdapat dalam darah. Kadar benzena dalam otot dan organ-organ 1-3 kali lebih banyak dibandingkan dalam darah. Eritrosit mengandung benzena sekitar 2 kali lebih banyak di dalam plasma (ATSDR, 2007).
Metabolit benzena dalam jumlah sedikit terdapat dalam sumsum tulang (ATSDR, 2007). Langkah pertama adalah enzim cytochrome P-450 2E1 (CYP2E1) mengkatalis reaksi oksidasi benzena menjadi benzena oksida yang berkesetimbangan dengan benzena oxepin, yang kemudian termetabolisme menjadi fenol (produk metabolit utama benzen). Fenol kemudian dioksidasi dengan katalis CYP2E1 menjadi katekol atau hidrokuinon, yang kemudian dengan enzim myeloperoxidase (MPO) dioksidasi menjadi metabolit reaktif 1,2 dan 1,4-benzokuinon. Katekol dan hidrokuinon dapat diubah menjadi metabolit 1,2,4-benzoenatriol dengan katalis CYP2E1. Reaksi metabolisme benzena yang lain adalah reaksi dengan glutathion (GSH) yang menghasilkan asam S-fenilmerkapturat. Kemudian reaksi dengan katalis Fe (besi) yang menghasilkan produk dengan cincin terbuka, yaitu asam trans, trans-mukonat dengan senyawa intermediet trans, trans-mukonaldehida yang merupakan metabolit benzena yang hematoksik (racun terhadap sistem darah) (ATSDR, 2007).
Toksikodinamik CO (Karbon Monoksida)
Hemoglobin adalah pengangkut oksigen. Hemoglobin mengandung dua rantai α dan dua rantai ß, serta 4 gugus heme, yang masing-masing berikatan dengan rantai polipeptida. Masing-masing gugus heme dapat mengikat satu molekul oksigen secara bolak- balik. Sebagian besar hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah "eritrosit". Gangguan pada hemoglobin dan sel darah merah akan menggagu transpor oksigen bagi organisme tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan efek yang tidak dinginkan. Gangguan-gangguan ini mungkin melalui:
Keracunan karbon monoksida "CO".Karbonmonoksida mempunyai tempat ikatan yangsama dengan oksigen pada heme. Komplekshemoglobin dengan karbon monoksida disebutkarboksi hemoglobin. Kompleks ini menujukkankenendrungan ikatan yang lebih kuat dari padaikatan oksigen pada heme. Pendudukan COpada heme berarati dapat menurunkan bahkanmeniadakan kemampuan eritrosit untukmentranpor oksigen. Keracunan CO dapatmengakibatkan dari efek perasaan pusing,gelisah sampai kematian.
(Wirasuta dan Niruri, 2007).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai toksikokinetik dan toksikodinamik pada bahasan sebelum nya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Sederetan proses toksikokinetik sering disingkat dengan ADME, yaitu: adsorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah xenobiotika (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke sistem sistemik atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah xenobiotika yang dapat masuk ke sistem sistemik dikenal sebagai ketersediaan biologi / hayati. Keseluruhan proses pada fase toksokinetik ini akan menentukan menentukan efficacy (kemampuan xenobiotika mengasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya.
Interaksi tokson - reseptor umumnya merupakaninteraksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik(irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida.
DAFTAR PUSTAKA
ATDSDR. Toxicological Profile for Benzena. Atlanta, 2007. Diunduh dari http://www.atsdr.cdc..gov/toxprofiles/tp3-c8.pdf
ATSDR. Case Study in Environment Medicine. Atlanta, 2006. Diunduh dari http://www.atsdr.cdc..gov/csem/lead/docs/lead.pdf
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi, Ed. 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Stringer, Janet L. 2008. Konsep Dasar Farmakologi: Panduan Untuk Mahasiswa Ed. 3. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Wirasuta, I Made Agus Gelgel dan Niruri, Rasmasya. 2007. Toksikologi Umum. Denpasar. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana