C L I N I C A L SC SC I E N CE C E SE SS I ON
Dampak Penyalahgunaan Dextromethorphan terhadap Gangguan Jiwa Pembimbing Pembimbing : dr. Tumpak Saragi, Sp. KJ
Disusun Oleh Rahayu Oktaliani
G1A217113
M Yudhi Surya Chandra
G1A217094
Shanna Alysia Aziz
G1A217102
Tommy Akasia Laksana Putra
G1A217106
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2018
1
BAB I PENDAHULUAN
Dextromethorphan telah disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1958 sebagai obat antitusif yang dapat diperoleh secara bebas (Over (Over The Counter ) baik dalam bentuk cairan maupun tablet. Romilar merupakan sediaan tablet pertama dan ditarik dari perdagangan dikarenakan penyalahgunaan. Sediaan dextromethorphan kemudian diganti menjadi sediaan sirup dan gel tabs serta rasanya dibuat menjadi tidak enak untuk menurunkan angka kejadian penyalahgunaan. 1 Penyalahgunaan dextromethorphan telah diketahui dalam beberapa tahun ini, dan terdapat peningkatan insiden terutama penggunaan remaja. Pada awal tahun 1975, penyalahgunaan dextromethorphan meningkat, berujung pada pemberhentian dextromethorphan dari peredaran. Beberapa tahun kemudian, dekstrometorfan kembali dipasarkan. Keracunan dextromethorphan dapat disebabkan karena tertelannya obat dengan dosis tunggal yang besar atau penggunaan dosis supraterapeutik yang kronis. Selain itu, dextromethorphan juga diketahui dapat digunakan sebagai substansi untuk bunuh diri. 1 Dextromethorphan memiliki nama ilmiah
3-methoxy-17-methyl-N-
morphinan hydrobromide monohydrate. monohydrate . Dextromethorphan merupakan zat yang dapat disalahgunakan karena tidak terdeteksi pada skrining urin. 6 Dextromethorphan termasuk obat derivate derivate opioid, analgesik opioid, yang dapat diperoleh secara bebas, tanpa menggunakan resep dokter. Obat yang dijual bebas sering diasumsikan aman oleh pasien, persepsi ini menyebabkan obat yang dijual bebas menjadi substansi penyalahgunaan yang menarik. Penyalahgunaan obat ini terkait dengan masalah toleransi, adiksi atau ketagihan yang selanjutnya bisa berkembang menjadi ketergantungan obat (drug dependence). dependence). Pengguna umumnya sadar bahwa mereka melakukan kesalahan, namun mereka sudah tidak dapat menghindarkan diri dari kebiasaan tersebut.2 Dextromethorphan juga sering disalahgunakan dengan dosis yang berlebihan sehingga memberikan efek euforia, rasa tenang,
2
halusinasi penglihatan dan pendengaran. Selain itu, i ntoksikasi atau overdosis dextromethorphan
dapat
menyebabkan
hipereksitabilitas,
kelelahan,
berkeringat, bicara kacau, hipertensi, serta dapat menyebabkan depresi sistem pernapasan. Jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa menjadi lebih berbahaya yaitu menyebabkan kematian. 3 Maraknya penyalahgunaan dextromethorphan serta dampak dari dextromethorphan yang berbahaya. Maka peneliti tertarik untuk menggangkat topik permasalahan ini.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dextromethorphan 2.1.1 Struktur Kimia
Dextromethorphan (DMP) merupakan senyawa dari
methylether
dextrorotary enantiomer dari methyl ether, levorphanol, suatu senyawa analgesic opioid yang tingkat penyalahgunaannya cukup tinggi. Penamaan untuk dextromethorphan (+)-3-methoxy-17-methyl-9α,13α,14α-morphinan.3
Gambar 1. Struktur kimia dekstrometorfan 2.1.2 Sifat Fisiko-Kimia
Serbuk berbentuk kristal berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau. Tidak larut dalam air, larut dalam kloroform. Disimpan dalam wadah tertutup rapat.3 2.1.3 Indikasi
Penggunaan utama dari dextromethorphan adalah sebagai obat batuk, yaitu untuk menghilangkan batuk yang disebabkan oleh iritasi tenggorokan ringan dan bronkial (sebagaimana biasanya menyertai flu), serta penyebab lainnya seperti iritasi saluran pernafasan. Penggunaan lainnya, kombinasi dextromethorphan dengan kuinidin telah terbukti mengurangi gejala mudah
4
tertawa dan menangis (pengaruh pseudobulbar) pada pasien dengan amiotrofik lateral sklerosis dan multiple sclerosis.3 Nama Bbat
Umur 2-6 tahun
Umur 6-12
Umur >12 tahun
tahun Dekstrometorfan
3,5 mg tiap 4 jam atau
HBr sirup (Benylin,
7,5 mg tiap 6 -8 jam (30 jam atau 15 mg
Robitussin,
mg/hari)
Vicks
7,5 mg
tiap 4
30 mg tiap 6-8 jam (120 mg/hari)
tiap 6-8 jam (60
44, Pertussin CS)
mg/hari)
Dekstrometorfan
5 mg tiap 4 jam (30
5-15 mg tiap 2-6
HBr
mg/hari)
jam (60 mg/hari) jam (90 mg/hari)
Dekstrometorfan
15 mg tiap 12 jam (30
30 mg tiap 2-6
60 mg tiap 12 jam
polistirex (Delsym)
mg/hari)
jam (60 mg/hari)
(120 mg/hari)
lozenges
5-15 mg tiap 2-4
(Trocal)
Tabel 1. Dosis terapi anjuran dan dosis maksimal dekstrometorfan 3 2.1.4 Farmakokinetik
a. Absorbsi Pada penggunaan secara oral, dextromethorphan diabsorbsi secara cepat pada traktus gastrointestinal dan mengalami metabolisme dalam waktu ½ sampai 1 jam. Dalam waktu 2,5 jam, kadar konsentrasi dalam plasma mencapai puncak.3 DMP cepat diserap melalui usus, kemudian masuk ke aliran darah dan menembus sawar darah otak .4 b. Metabolisme Di dalam hepar, dextromethorphan mengalami proses demethylasi oleh enzim CYP2D6 dan sitokrom P450 menjadi D-methoxymorphinan, D-hydroxymorphinan dan dexthrorphan. 12,16 CYP2D6 berperan penting dalam metabolisme DMP menjadi bentuk inaktif. Sebagian populasi mengalami defisiensi enzim CYP2D6 sehingga metabolisme obat tersebut
5
terganggu sehingga durasi dan efek obat tersebut mengalami peningkatan tiga kali lipat.3,4 Dari ketiga hasil proses demethylasi, dexthrorphan merupakan metabolit senyawa antitusif yang paling banyak dihasilkan, sedangkan dari seluruh dosis dekstrometorfan, hanya 15% saja yang diubah menjadi metabolit minor, yaitu D-methoxymorphinan dan D-hydroxymorphinan. c. Ekskresi
Dextromethorphan terutama diekskresikan melalui urine. Hasil ekskresi dextromethorphan tergantung pada metabolism di hepar, sampai 11% dapat diekskresikan dalam bentuk tidak berubah dan sampai 100% dapat diekskresikan dalam bentuk senyawa morphin yang terkonjugasi. 3
2.1.5 Farmakodinamik
Dekstrometorphan merupakan isomer D dari kodein analog metorfan tetapi berbeda dengan isomer I dimana dextromethorphan tidak bekerja pada reseptor opoid tetapi berikatan dengan kuat dengan ligan sigma dan berikatan lemah dengan phencyclidine (PCP) reseptor dari N methyl-D-aspartate (NMDA) berdasarkan penelitian yang dilakukan pada hewan. Sebagian besar reseptor NMDA methyl-D-aspartate (NMDA) berada di otak dan berbentuk pentametrik ataupun tetrametric. Bentuk metabolit aktif dari DMP adalah dextrorphan (3-hydroxy-17-methylmorphinan) yang berikatan lemah dengan ligan sigma dan berikatan kuat dengan PCP. Hubungan antara reseptor dengan mekanisme farmakologi dari dextromethorphan tidak diketahui dengan pasti tetapi ada beberapa penelitian yang menghubungkan dengan nalokson sebagai antagonis dari efek antitusif dari kodein. 4,5 Pada dosis terapeutik, dextromethorphan dapat berperan secara sentral (artinya bekerja pada otak) bukan secara lokal (pada traktus respiratorius). Obat ini bekerja meningkatkan ambang batas batuk, tanpa menghambat aktivitas silia. Obat ini cepat diserap melalui saluran cerna dan dimetabolisme 30 sampai 60 menit setelah konsumsi, dipengaruhi juga oleh usia. Dosis lazimnya 15-60 mg, bergantung pada umur. Durasi kerja obat 3-8 jam untuk
6
Dextromethorphan hidrobromida dan 10-12 jam untuk dextromethorphan polistirex.7 Kadar puncak pada serum dicapai dalam waktu 2-3 jam dan waktu paruhnya 3 jam.5 Dexstromethorphan dapat melalui sawar darah otak dan menimbulkan beberapa efek seperti: antagonis reseptor NMDA, agonis reseptor 1 dan
2,
antagonis reseptor nikotinik, serotonin reuptake inhibitor dan dopamine reuptake inhibitor . Efek psikologis dekstrometorphan bisa disebabkan oleh dekstrofan. Sama seperti semua antagonis NMDA, dekstrofan dan dekstrometorfan menghambat neurotransmiter (khususnya glutamat) di otak. Hal ini mengakibatkan melambatnya atau bahkan mematikan jalur saraf tertentu sehingga menyebabkan gangguan psikologis. Efek euforia sering dikaitkan dengan peningkatan kadar dopamin, seperti efek yang ditimbulkan oleh obat antidepresan.6
2.2. Penyalahgunaan Dextromethorphan 2.2.1. Definisi
Substance use disorder (gangguan penggunaan zat) secara umum mempunyai definisi setiap gangguan mental atau perilaku akibat penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif, baik diresepkan atau tidak. Golongan zat tersebut adalah opioid, alcohol, kanabis, sedative atau hipnotik, kokain, dan stimulant lain termasuk kafein, halusinogen, tembakau, dan zat yang mudah menguap. 7 Dextromethorphan merupakan salah satu obat yang banyak disalahgunakan. Dextromethorphan sejatinya merupakan obat antitussive yaitu obat yang bekerja untuk menekan respon batuk dan merupakan salah satu produk OTC (Over the counter). Bila pemberian dosis DMP yang dianjurkan dilampaui, banyak gejala gangguan jiwa yang dapat terjadi. Efeknya bergantung pada dosis dan bervariasi dari gangguan motorik dan kognitif ringan sampai gejala para-psikotik seperti PCP seperti delusi, keadaan disosiatif, paranoia, dan halusinasi visual. Kombinasi gejala ini dapat menyebabkan tindakan impulsif atau kekerasan, seperti serangan, bunuh diri, atau pembunuhan. 8
7
2.2.2. Patofisiologi Intoksikasi
1. Efek sistem saraf pusat a) Analgesi Efek analgetik dekstromethorpan berdasarkan pada cara kerjanya sebagai antagonis reseptor NMDA. Ikatan obat-obat antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan perubahan pada kalsium channel (Cachannel). Perubahan pada kalsium channel (Ca-channel) ini akan menyebabkan aktivitas neuron yang dirangsang oleh NMDA, jika itu menetap akan diikuti dengan peningkatan intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya fenomena wind-up dan pencetusan dari nyeri sekunder. Dekstrometorfan memiliki kemampuan mengurangi influks ion Ca2+ melalui channel reseptor NMDA dan mengatur channel voltase Ca yang pada keadaan normal diatur oleh konsentrasi K + ekstrasel yang tinggi. Eksitabilitas neuron di kornu dorsalis medulla spinalis menurun karena berkurangnya influks ion Ca 2+, sehingga sensitisasi menurun dan terjadi pengurangan nyeri. 9,10 b) Efek psikotropika Menkonsumsi dosis besar dekstromethorpan akan menyebabkan beberapa efek psikotropika, terutama sebagai akibat akumulasi metabolit aktif dextrophan. Awalnya, pelaku melaporkan efek stimulan ringan diikuti oleh halusinasi dan delusi. Selanjutnya, pelaku melaporkan perkembangan perasaan disosiasi yang digambarkan sebagai "out-of-body", pengalaman serupa yang mereka rasakan dari phencyclidine dan ketamine. Efek ini sering disertai dengan perasaan euforia, ataksia, gelisah, dan kehilangan konsentrasi. Biasanya, gejala ini terjadi pada dosis dekstromethorpan lebih besar dari 2 mg/kg, dengan kadar yang lebih tinggi dosis (> 7 mg / kg) menghasilkan lebih banyak efek disosiatif. 10 c) Sedasi Terdapat sedikit amnesia atau tidak sama sekali.10
8
d) Depresi napas Menghambat mekanisme pernapasan batang otak. PCO 2 alveoler akan meningkat. Depresi napas ini tergantung pada dosis dan dipengaruhi oleh tingkat masukan sensorik yang yang terjadi pada saat itu. 10 e) Penekan batuk Dapat menekan reflek batuk,serta dapat menyebabkan akumulasi sekresi dan menghambat jalannya udara dan atelektasis. 10 f) Miosis Akan tampak kontraksi pupil. 10 g) Mual dan Muntah
2. Efek-efek Perifer a) Saluran cerna Konstipasi (sembelit) sudah lama dikenal sebagai efek suatu opioid. Reseptor opioid tetap dalam densitas tinggi pada s aluran cerna dan efek konstipasi opioid dimediasi melalui sebuah kerja pada saraf enterik setempat dan juga sistem saraf pusat.10 b) Saluran bilier Dapat menyebabkan kontraksi otot empedu, yang dapat mengakibatkan nyeri empedu (kolik bilier). Spingter Oddy mengalami kontraksi mengakibatkan kembalinya aliran bilier dan sekresi pankreas dan menaikkan amilase dan lipase plasma.10 c) Saluran genitourinaria Fungsi ginjal didepresi oleh golongan opioid. Dipercaya bahwa di dalam tubuh manusia hal ini dihubungkan dengan menurunnya aliran plasma ginjal. Opioid dapat menurunkan tekanan darah sistemik dan laju filtrasi glomerular. Opioid juga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus ginjal.
9
Gambar 2 Pengikatan Reseptor Dextromethorphan di CNS Mekanisme dextromethorphan sebagai penekan batuk (anti tusif) diduga terkait dengan kemampuannya mengikat reseptor sigma-1 yang berada di dekat pusat batuk di medulla dan terlibat dalam pengaturan refleks batuk. Fungsi fisiologis reseptor sigma-1 masih banyak yang belum diketahui, tetapi aktivasi reseptor sigma-1 salah satunya memberikan efek penekanan batuk. Reseptor sigma semula diduga merupakan subtipe dari respetor opiat, namun penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ia merupakan reseptor non-opiat, walaupun dapat diikat juga dengan beberapa senyawa turunan opiat. Selain merupakan agonis bagi reseptor sigma, dextromethorphan adalah antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-aspartat) yang berada di sistem syaraf pusat. Dengan demikian efek farmakologi dextromethorphan, terutama jika pada dosis tinggi, menyerupai PCP (phencyclidine) atau ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA. Antagonisme terhadap reseptor NMDA dapat menyebabkan efek euforia, antidepresan, dan efek psikosis seperti halusinasi penglihatan maupun pendengaran. Selain itu, dari banyak bukti yang telah dikumpulkan, terlihat bahwa psikosis mungkin disebabkan berkurangnya pembentukan norepinefrin atau serotonin atau keduanya di otak. Sejumlah neuro penyekresi norepinefrin terletak di batang otak,
10
terutama pada lokus seruleus. Neuron-neuron ini mengirimkan serabut-serabutnya ke atas menuju sebagian besar sistem limbik otak, thalamus, dan korteks serebri. Selain itu, banyak neuron penghasil serotonin yang terletak di pertengahan nuclei rafe pada bagian bawah pons dan medulla, mengirimkan serabut-serabut ke sejumlah besar area sistem limbic dan beberapa area lain di otak. Ada anggapan bahwa sistem norepinefrin dan serotonin normalnya menibulkan dorongan bagi area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa nyaman seseorang, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor, walaupun apabila terlalu banyak dapat menyebabkan mania. Didukung dengan mudahnya didapat dan hargan dextromethorphan yang murah, hal inilah yang menyebabkan dextromethorphan menjadi obat yang sering disalahgunakan dalam dosis tinggi. Mekanisme intoksikasi dextromethorphan D-methosymorphinan Dextromethorphan D-hydroxymorphinan Dexthrorphan
Menghambat neurontransmitter (terutama glutamat) di otak
Gangguan jalur saraf
Gangguan psikosis Tabel 2. Mekanisme intoksikasi dextromethorphan 2.2.3. Dampak terhadap Gangguan Jiwa
Dekstromethorphan adalah dekstroisomer dari kodein analog metorfan. Dekstrometorfan tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma. Dekstromethorphan memiliki efek halusinogen. Zat yang memiliki peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif dari dekstrometorfan yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan). Dekstrorfan dapat terikat
11
dengan afinitas lemah dengan reseptor opioid tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA ( N -methyl- D-aspartate). Dextrometorfan bekerja sebagai antagonis reseptor N -methyl-D-aspartate (NMDA) yang akan memproduksi efek yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisiklidin (PCP). Hal inilah yang menyebabkan orang menggunakan dekstrometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ketamin. Ketamin sendiri adalah obat yang digunakan sebagai anestetik umum. Dibawah ini terdapat efek samping dari penggunaan dekxtromethorpan.11
Gambar 3. Efek Samping Dextromethorpan Penyalahgunaan dextromethorphan menggambarkan adanya 4 plateau yang tergantung dosis, seperti berikut:
Plateau
Dose (mg)
Behavioral Effects
1st
100 – 200
Stimulasi ringan
2nd
200 – 400
Euforia dan halusinasi
3rd
300 – 600
Gangguan persepsi visual dan hilangnya koordinasi motorik
12
4th
500-1500
Dissociative sedation
Tabel 3 Plateau Dextromethorpan
Untuk derajat toksisitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Derajat toksisitas dextromethorphan : Derajat 1 (1.5 – 2.5 mg/kg) - Peningkatan kewaspadaan - Tidak butuh istirahat - Sensitisasi penglihatan dan pendengaran - Euforia Derajat 2 (2.5 – 7.5 mg/kg) - Peningkatan fungsi penglihatan dan pendengaran secara berlebihan diikuti periode deprivasi - Tidak seimbang - Halusinasi - Energi meningkat Derajat (7.5 – 15 mg/kg) - Gangguan penglihatan dan pendengaran - Setengah sadar - Reaksi dan respon melambat - Gangguan kemampuan kognitif - Mania dan /atau panik - Disasosiasi parsial Derajat 4 (>15 mg/kg) - Disasosiasi - Halusinasi/delusi - Ataxia
Tabel 4 Derajat Toksisitas Dextromethorpan
2.3.Tatalaksana12
1. Prinsip umum Dalam penanganan intoksikasi dextrometorfan pada prinsipnya perlu menilai dan menjaga saluran napas, ventilasi, dan sirkulasi. Nalokson dapat digunakan sebagai anti depresi pernafasan. Dekontaminasi lambung dianjurkan untuk keracunan yang baru terjadi, lebih dari 10 mg / kg dekstrometorfan.
13
Pasien dengan depresi pernafasan memerlukan perawatan intensif di ICU. Selain itu dapat diobservasi terlebih dahulu di fasilitas gawat darurat selama 4 sampai 6 jam. Sejumlah pasien dengan gejala minor (seperti ataksia atau kegelisahan) dapat dikirim ke rumah di bawah pengawasan ketat. Anak-anak yang telah menelan preparat long-acting sebaiknya dirawat dan diobservasi di rumah sakit. 2. Dekontaminasi Dekontaminasi lambung dianjurkan untuk keracunan akut dengan menelan lebih dari 10 mg / kg. Kejang dan / atau depresi sistem saraf pusat (SSP) terjadi dalam waktu 30 menit setelah menelan dekstrometorfan. Bilas lambung diikuti penggunaan arang aktif dapat digunakan dalam waktu 1 sampai 2 jam setelah menelan DMP dan diindikasikan untuk keracunan oral dalam jumlah besar atau pada pasien yang koma atau risiko kejang-kejang. Bilas lambung pada pasien koma harus didahului oleh intubasi.
Arang aktif / katarsis
dapat
diberikan sendiri atau dengan katarsis
seperti sorbitol atau magnesium sitrat, meskipun pada saat ini belum ada data mengenai adsorpsi dekstrometorfan oleh arang. Karena tidak ada data mengenai adsorpsi dekstrometorfan oleh arang dan pengosongan lambung rutin dilakukan maka pasien menerima pengobatan inadekuat jika arang saja yang digunakan. Perlu mempertimbangkan bilas lambung pada pasien yang menelan lebih dari 10 mg / kg dekstrometorfan, mereka dengan klinis overdosis, atau pada pasien yang tidak diketahui waktu dan jumlah DMP yang dikonsumsi. Dosis optimum arang aktif belum ditentukan, sebagai panduan disarankan 1 g sampai 2 g / kg arang aktif, terutama pada bayi. Pada dewasa dosis arang aktif 30 g sampai 100 g dan dosis pada anak-anak 15 g sampai 30 g. Jika pasien muntah dosis dapat diulang. Jangan gunakan tablet arang atau antidotum universal sebagai pengganti arang aktif.
14
Whole bowel lavage. Jika long-acting dextromethorphan telah tertelan, whole bowel lavage bisa dipertimbangkan.
Katarsis. Sebuah katarsis salin atau sorbitol dapat diberikan bersamaan dengan dosis pertama arang aktif atau dapat diberikan secara terpisah. Meskipun ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaan katarsis, penggunaannya tampak logis untuk mempersingkat waktu transit dan menghindari sembelit yang disebabkan oleh arang. Dosis katarsis berulang tidak dianjurkan terutama pada anak-anak. Dosis berulang harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
3. Eliminasi lebih lanjut Saat ini belum ada informasi tersedia tentang efektivitas penggunaan forced diuresis, alkalinization, pengasaman, haemoperfusion, atau dialisis untuk pengobatan overdosis dekstrometorfan. Penggunaan metode ini unyuk meningkatkan eliminasi obat tidak dianjurkan untuk pengobatan keracunan dekstrometorfan. 4. Antidotum a. Dewasa Nalokson dapat bermanfaat sebagai reverse efek pernapasan dan SSP yang disebabkan dextromethorphan. Meskipun ada laporan tentang respon terhadap nalokson yaitu gejala neurologis yang terjadi lebih dari tiga sampai delapan jam setelah pemberian nalokson, dan hal ini lebih menggambarkan perjalanan alami toksisitas dextromethorphan daripada respon terhadap nalokson. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan keberhasilan signifikan yang terkait dengan penggunaan nalokson.
b. Anak Tidak ada data yang tersedia. Pemberian Naloxone 1. Tanpa hipoventilasi
: Dosis awal diberikan 0,4 mg iv
2. Dengan hipoventilasi : Dosis awal diberikan 1-2 mg iv
15
3. Bila tidak respon dalam 5 menit, diberikan nalokson 1-2 mg iv hingga timbul respon perbaikan kesadaran & hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg 4. Efek nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dpt kembali pada keadaan intoksikasi, maka perlu dipantau kesadaran, respirasi, pupil dan tanda vital dalam 24 jam 5. Pemeriksaan sampel urine dan foto thorax 6. Pertimbangkan ETT 7. Puasakan untuk mencegah aspirasi
2.4.Prognosis
Prognosis umumnya dipengaruhi oleh besar kecilnya predisposisi (pengaruh faktor kepribadian, sosio budaya dan fisik), mudah-sukarnya mendapatkan obat tersebut dan sering-jarangnya kesempatan memakai obat tersebut serta lamanya ketergantungan. Makin mudah faktor-faktor ini dapat ditangani, makin baik prognosisnya.
16
BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan
Dexstromethorphan dapat mempengaruhi kesadaran seseorang pada dosis 7 sampai 50 kali dari dosis terapi dalam waktu yang singkat. Dekstromethorpan bila dikonsumsi pada dosis di bawah 200 mg, dapat memberikan efek euphoria dan halusinasi. Pada pemberian dosis yang lebih tinggi (600mg ke atas), terjadi perubahan mendalam pada kesadaran atau psikosis sementara. Pada penggunaan yang sering dalam jangka panjang dapat menyebabkan psikosis dan masalah psikologis yang sifatnya permanen. Efek psikologis dextromethorphan bisa disebabkan oleh dekstrofan (DXO).
Sama
seperti
semua
antagonis
NMDA,
dekstrofan
dan
dekstrometorfan menghambat neurotransmiter (khususnya glutamat) di otak. Hal ini mengakibatkan melambatnya atau bahkan mematikan jalur saraf tertentu sehingga menyebabkan gangguan psikologis. Dextromethorphan sering disalahgunakan karena pada dosis besar ia menyebabkan
efek
euforia
pendengaran.
Intoksikasi
dan
atau
halusinogen overdosis
penglihatan
maupun
dextromethorphan
dapat
menyebabkan hiper-eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Gejala-gejala yang timbul dari tahap-tahap toksisitas dextromethorphan antara lain peningkatan kewaspadaan , restlessness, sensitisasi visual dan auditorik, euphoria, halusinasi, energi bertambah dan eksitabel, penurunan kesadaran, gangguan kognitif, mania/panik, asosiasi terganggu dan ataksia. Pada penyalahgunaan DMP jangka panjang dapat menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan gejala putus zat seperti muntah, berkeringat di malam hari, mialgia, diare, dan gelisah. DMP juga dapat menimbulkan gejala sindrom serotonin, berupa instabilitas otonom, perubahan status mental,
17
kejang, gejala ekstrapiramidal seperti kekakuan otot (muscle rigidity), hipertermi, dan kematian. Gejala sindrom serotonin ini terjadi karena stimulasi berlebih pada reseptor 5-HT di otak.
18
Daftar Pustaka
1. Cyhka Peter et all. Dextromethorphan poisoning: An evidence-based consensus guideline for out-of-hospital management. Clinical Toxicology 2007:
45,
662 – 677.
available
from
http://informahealthcare.com/doi/pdf/10.1080/15563650701606443. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Jakarta; 2006. 3. Gan GS. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal : 228. 4. Carlson KR, Patton LE. Toxicity Review for Dimethyl Phthalate. United States Consumer Product Safety Commision; 2010. P : 5-20. 5. Bryner Jk, Wang UK, Hui JW, Bedodo M, McDougall C, Anderson IB. Dextromethorphan
Abuse
in
Adolescence.Arch
Pediatr
Adlesc
Med/Vol160, December; 2006. P : 1217-22. 6. Romanli F, Smith KM. Dextromethorpan Abuse: Clinical Effect and Management. Pharmacy Today; 2009 (Mar); 15(3): 48-55. 7. Leksikon Istilah Kesehatan Jiwa dan Psikiatri Edisi 2. EGC. 1998 8. Dextrometrophan abuse: clinical effects and management. Frank romanell. American pharmacist association; 2009. 9. Dextrometrophan in cough syrup : the poor man’s psychosis. Bridgette martinak, ramy A. Bolis, Jeffrey Ryne Black, Rachel E. Fargason, Badari birur. Ncbi; 2017. 10. Weinbroum AA, Rudick V, Paret G, Ben-Abraham R,. The role of dextromethorphan in pain control (Review Article), Can J Anesth ; 47; 6; 585-896; 2000. 11. Christine, Q., Carlson, K. D., and Girirajan, S. Lessons from model organisms: phenotypic robustness and missing heritability in complex disease. PLoS Genet. 8:e100304; 2002.
19
12. International Programme on Chemical Safety Poisons Information Monograph
179
Pharmaceutical
available
http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/pim179.htm
20
from