34
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sistem Pembelajaran PAI 1. Pengertian Sistem Pembelajaran PAI Sistem pembelajaran PAI merupakan sebuah rangkain dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Setiap kata dari rangkain tersebut secara bahasa dan istilah punya arti tersendiri dan secara independen bisa dibentuk makna yang utuh. Oleh karena itu sebelum pembahasan tentang arti sistem pembelajaran PAI secara utuh maka dipandang perlu terlebih dahulu ditelusuri makna perkata dari rangkain tersebut diantaranya adalah kata sistem, pembelajaran, Pendidikan Agama Islam, sistem pembelajaran, pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan secara utuh terbentuk rangkaian kata sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Menurut Lorens Bagus kata „sistem‟ berasal dari bahasa Inggris yaitu system dan bahasa Yunani systema yang tersusun dari dua kata yaitu syn yang berarti „dengan‟ dan istanai berarti „menempatkan‟. Sedangkan dalam satu kata utuh, kata systema punya arti tentang keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian atau komposisi. Diacukan pada penjelasan tersebut maka secara istilah kata sistem memiliki pengertian “kumpulan hal-hal yang disatukan ke dalam suatu keseluruhan
35
yang konsisten karena saling terkait (interaksi, interdependensi, saling keterkaitan yang teratur dari bagian-bagiannya).”32 Maka dapat disimpulkan dalam setiap tatanan „sistem‟ pasti terdapat sebuah komponen-komponen yang berperan dalam penyuksesan kinerja organisasi atau tatanan tersebut. Namun tentu kinerja dari salah satu komponen itu perlu didukung oleh komponen yang lain agar terjadinya prinsip efektif dan efisien. Sebagaimana menurut Lauralee Sherwood serta menurut Campbell, N.A. dkk. yang dinyatakan dalam terminologi bidang biologi ada beberapa istilah „sistem‟ yang digunakan sebagai penjelas tentang organisasi kinerja dari beberapa organ dalam tubuh manusia misalnya dalam tubuh terdapat sistem reproduksi, sistem pencernaan, dan sistem pernapasan. Sebagai contoh pada sistem pernapasan terdapat komponen (organ tubuh) yang berperan utama yaitu paru-paru serta komponen lain sebagai pendukung yaitu bulu hidung untuk menjaga kebersihan udara yang masuk ke paru-paru dan rongga hidung yang berlendir untuk menjaga suhu udara yang masuk agar stabil (sesuai dengan kekuatan paru-paru). Dengan demikian tidak ada sistem dalam tubuh manusia bekerja tersendiri dan kesehatan tubuh tergantung pada semua sistem tubuh dalam berinteraksi.33 Kata sistem juga digunakan dalam istilah „Sistem Pendidikan Nasional‟ yang pengertiannya adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan 32
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 1015. “Fisiologi Manusia,” Wikipedia, http:// www.id.wikipedia. org/wiki/Fisiologi_manusia, diakses tanggal 12 Juni 2013. 33
36
nasional.”34 Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sistem dimiliki banyak arti di antaranya adalah pertama; suatu perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga terbentuk suatu totalitas, kedua; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya, dan yang ketiga; sebuah metode. Namun dalam kamus tersebut di dalamnya juga ada penjelasan arti dari istilah “sistem pengajaran” yang bermakna sistem proses, perbuatan, cara penyamaan arah, jarak, dan sebagainya.35 Oleh karena itu berdasarkan dari seluruh pembahasan di atas secara garis besar dapat disimpulkan kata sistem berdefinisi beberapa rangkaian (satu kesatuan) komponen yang saling terjadi pendukungan satu sama lain untuk tercapainya sebuah tujuan secara terorganisir. Sedangkan arti pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir dan merasakan. Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaranan apabila pikiran dan perasaannya aktif.36 Berbeda menurut Ahmad Sabri disampaikan tentang orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih bahagia, lebih pantas
dalam
pemanfaatan
alam
sekitar,
penjagaan
kesehatan,
peningkatan pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil
dalam
pengimplementasian pembedaan (terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses pembelajaran).37 Dengan
34
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. Pasal 1 ayat 3. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 950-951. 36 R. Ibrahim, dkk., Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawal, 2011), 125. 37 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 34. 35
37
demikian dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.38 Lebih jauh peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri dalam pemecahan masalah dan mampu terbiasa dalam penggunaan empati
beserta
logikanya.
Oleh
karena
itu
dapat
disimpulkan
pembelajaran bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di dalam kelas yang sangat formal dan kaku. Lebih lanjut jika antara kedua kata yaitu sistem dan pembelajaran dikombinasikan menjadi satu menjadi „sistem pembelajaran‟ maka menurut Oemar Hamalik sistem pembelajaran dimiliki arti “suatu kombinasi yang terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur-prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.”39 Dari beberapa pembahasan sebelumnya dapat ditarik garis lurus bahwa kata sistem pembelajaran bermakna rangkaian beberapa komponen atau unsur-unsur materi, manusia, dan ilmu (cara/metode) yang bersatu dalam implementasi prosedur tertentu agar tercapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu apabila salah satu komponen tidak bisa bergerak sesuai yang diharapkan, menjadi berdampak dampak secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi komponen lain sehingga bisa terjadi perubahan tatanan kinerja sistem pembelajaran yang telah berjalan mapan. 38
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 20. Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran: Berdasarkan Pendekatan Sistem (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), 12. 39
38
Meskipun sebenarnya secara tersirat tanpa kata „sistem‟ pada istilah „pembelajaran‟ secara otomatis sudah terdapat sebuah tatanan sistem di dalamnya. Hal ini nampak dalam pembelajaran sudah terdapat komponen-komponen penyusun misalnya pendidik, peserta didik, media pembelajaran, dan komponen penting lainnya. Pendapat di atas didukung oleh argumentasi Laila Nusibat, sebenarnya kata pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena di dalamnya sudah terkandung komponen yang saling berkaitan untuk pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan.40 Namun demikian pendapat ini bisa dikesampingkan karena lebih banyak referensi lain yang kokoh dalam penggunaan istilah‟sistem pembelajaran‟ dari pada hanya istilah „pembelajaran‟ yang berfungsi untuk pemertegas dalam pembahasan yang lebih mendalam. Selanjutnya untuk pendalaman tentang makna PAI, bahwasanya secara terminologi kata Pendidikan Agama Islam dimiliki pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain) yang meliputi nilai ibadah, nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), dan nilainilai kedamaian dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif dalam pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilainilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika 40
Laila Nusibad, “Manajemen Proses Pembelajaran Pada Sekolah Kejuruan (Studi Kasus Di SMK Negeri 4 Malang),” dalam http:// karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/ASP/article/view/18498, diakses tanggal 05 Mei 2012 pukul 19.30 WIB.
39
atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tentang Pendidikan Agama Islam di atas didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin disampaikan PAI adalah “upaya Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”41 Didasarkan pada semua rangkaian penjelasan di atas maka dapat disimpulkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebuah tatanan dari beberapa komponen pembelajaran yang terorganisir, saling terkait, dan di dalamnya termuat nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati.
2. Komponen Sistem Pembelajaran PAI Untuk
penelahaan
sistem
pembelajaran
secara
mendalam
sesungguhnya dalam sistem pembelajaran terdapat beberapa komponen penyusun yang berperan dalam pelancaran mekanisme organisasi pembelajaran. Di antara beberapa komponen tersebut sangat berperan penting bagi terwujudnya tujuan pembelajaran, bahkan diantaranya merupakan komponen utama dan yang paling vital. Diantara beberapa komponen dalam sistem pembelajaran menurut Wina Sanjaya adalah: a. Peserta didik: Mahasiswa sebagai peserta didik dalam sistem pembelajaran PAI merupakan komponen pertama, utama, dan yang paling penting (vital). Dalam proses pembelajaran mahasiswa harus
41
Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), 130.
40
dijadikan pusat dari segala kegiatan, keputusan, dan pembentukan suasana pembelajaran. Dengan demikian berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan dan desain pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi mahasiswa, baik kondisi kemampuan dasar, minat, bakat, motivasi, dan berbagai keberagaman di antara beberapa mahasiswa di lingkungan pembelajaran. b. Tujuan: Tujuan merupakan salah satu komponen dalam sistem pembelajaran yang berkaitan dengan misi dan visi suatu lembaga pendidikan. Dengan kata lain sebuah proses pembelajaran pada mata kuliah PAI harus dimiliki tujuan pembelajaran yang diturunkan dari tujuan institusional atau tujuan lembaga perguruan tinggi. Komponen ini adalah komponen yang penting, oleh karena itu harus dituangkan dalam bentuk tulisan pada sebuah draft perencanaan pembelajaran sehingga komponen tujuan ini dirumuskan sejak awal untuk penentuan arah dan bahan apa yang digunakan dalam pembelajaran. c. Kondisi: Kondisi atau keadaan dalam proses pembelajaran diupayakan dapat menjadi penggugah mahasiswa berperan aktif baik secara fisik maupun non fisik dalam pembelajaran, berinisiatif dalam pemecahan masalah, dan dimilikinya nalar yang logis oleh mahasiswa dalam penyampaian sebuah teori-teori yang ditemukannya dari beberapa sumber. Oleh karena itu kondisi atau suasana pembelajaran dalam perkuliahan dirancang secara matang agar tercapainya tujuan khusus yang telah disepakati bersama.
41
d. Sumber-sumber belajar: Sumber belajar tidak hanya berupa buku ataupun sumber-sumber yang tertulis semata, namun sumber belajar merupakan segala sesuatu yang punya kemampuan dalam penambahan dan
pengisian
pengalaman-pengealaman
mahasiswa. Dengan
pembelajaran
demikian maka lingkungan
fisik
bagi seperti
lingkungan pembelajaran, bahan atau alat ajar, dosen, petugas perpustakaan atau siapa saja yang mampu berperan dalam pemberian pengaruh baik langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam terwujudnya pengalaman pembelajaran disebut sumber belajar. e. Hasil belajar: Dalam sistem pembelajaran komponen hasil belajar menjadi tolak ukur tercapainya kemampuan mahasiswa yang sesuai dengan tujuan khusus yang telah direncanakan. Oleh karena itu diukur terlebih dahulu tingkat kemampuan dan pengetahuan tentang agama serta intensitas keberagaman (heterogenitas) mahasiswa sebelum penentuan dan pematokan target hasil belajarnya (tingkat pencapaian) yang dirancang oleh dosen. Titik tekan hasil belajar akan berbeda dari rombongan belajar yang satu dengan yang lain, sehingga diyakini setiap rombongan kelas dimiliki karakter atau ciri khas yang berbeda.42 Dari penjelasan di atas maka dapat dirumuskan bahwa khusus untuk sistem pembelajaran PAI terdapat komponen khas yang menjadi pembeda dengan sistem pembelajaran ilmu pengetahuan umum atau pada mata kuliah umum lain di antaranya adalah dalam pelaksanaan
42
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2011), 9-13.
42
pembelajaran PAI harus dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam. Dengan kata lain pembelajaran ilmu PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi (peserta didik lebih banyak dalam penghafalan dan pengimanan terhadap materi begitu saja) yang diberikan pendidik. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.43 Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Ciri istimewa lainnya adalah dalam PAI tidak hanya semata-mata digambarkan pada pembahasan tentang bagaimana umat Islam dalam beragama namun secara umum ada pembahasan permasalahan yang lebih luas tentang pentingnya konsep penciptaan „kesuksesan‟ di dunia hingga akhirat. Ini berarti dalam PAI seharunya juga ada „pendoktrinan‟ peserta didik agar saat fokus pada pembelajaran ilmu pengetahuan umum dimaksudkan untuk digunakan demi kesejahteraan umat Islam dan tentunya juga bagi manusia lainnya secara umum. Dapat disimpulkan pembelajaran PAI tidak hanya pengajaran kepada mahasiswa tentang bagaimana cara bersyiar melalui ibadah dan dakwah yang bersifat normatif. Namun menjadi pendorong bagi mahasiswa untuk bersyiar 43
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), 51.
43
Islam dengan cara dihasilkannya produk ilmu pengetahuan umum, budaya, dan gaya hidup yang berlapiskan nilai-nilai Islam sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat.44 Dengan demikian PAI sebagai materi dari salah satu mata kuliah yang diberikan pada mahasiswa bukan hanya sebagai bentuk doktrinasi yang dogmatis semata namun juga harus bisa menjadi pembangkit nalar logis mahasiswa untuk didalami secara ilmiah. Dengan kata lain materi PAI tidak dipandang sebagai sebuah materi khutbah Jumat atau materi ceramah keagamaan yang sering ditemui di masyarakat berisi tentang dalil-dalil, doktrin-doktrin, dan seruan-seruan mulia (moralitas)
yang
bersifat dogma agama semata. Padahal nasehat-nasehat dan petuah-petuah semuanya itu sering kali berlawanan dengan kenyataan suasana lingkungan peserta didik, artinya terjadi disparitas suasana antara ajaran Islam dengan keadaan nyata yang jauh lebih komplek yang dihadapi oleh peserta didik.45 Sedang dari sudut pandang lain menurut Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.46
44
Fathoni, Pendidikan Islam dan, 52-56. Ibid., 41. 46 Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin&Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), 219. 45
44
3. Peran Penting Sistem Pembelajaran PAI Proses pembelajaran agama Islam adalah sebagai perwujudan dakwah yang senantiasi terjadi secara dinamis serta dimunculkannya kesadaran motivasi yang besar pada peserta didik guna pencarian keridhaan dari Allah SWT. Jika pembelajaran agama Islam dimaknai sebagai sesuatu yang statis maka pembelajaran hanyalah menjadi rutinitas yang kurang dimiliki makna. Selain itu pembelajaran pendidikan Islam hendaknya didasarkan dan digerakkan pada keimanan dan komitmen tinggi terhadap ajaran agama Islam.47 Oleh karena itu untuk diperolehnya hasil dan pencapaian tujuan secara optimal pada pembelajaran PAI maka perlu dibentuknya sistem pembelajaran PAI secara utuh dan kokoh. Selain itu dengan adanya sistem pembelajaran PAI yang kokoh dapat menjadi pengaruh positif, baik sistem pembelajaran PAI yang dinaungi oleh satu pendidik sebagai penanggung jawab tujuan pembelajaran di dalam kelas (sistem pembelajaran PAI yang dilaksanakan dan dikelola oleh satu pendidik) maupun sistem pembelajaran PAI dalam lingkup satu lembaga yang terdiri dari seluruh pendidik atau dosen PAI di lembaga tersebut dalam usaha pensuksesan tujuan institusional. Guna sebagai pendukung pada pembahasan di atas tentang peran penting sistem pembelajaran PAI secara umum dan lebih bersifat konstruksi pada PAI agar eksistensinya terjaga maka menurut Wina Sanjaya ada beberapa manfaat yang dicapai jika kajian tentang sistem 47
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: Lkis, 2009), 18-19.
45
pembelajaran dilaksanakan dengan baik, di antara manfaat tersebut adalah: a. Arah dan tujuan pembelajaran dapat direncanakan serta dirumuskan dengan jelas, konkrit, dan terorganisir. Hal ini supaya dapat membantu dalam penentuan langkah-langkah proses pembelajaran, sebagai bahan utama dalam pengembangan komponen-komponen pembelajaran, dan dijadikan tolak ukur sejauh mana efektivitas proses pembelajaran. b. Kinerja pendidik lebih sistematis, sehingga pola fikirnya dan kegiatannya lebih runtut yang dimungkinkan diperoleh hasil optimal. Dengan kata lain bisa terhindar dari kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dilakukan. c. Sebagai perancang pembelajaran dengan optimalisasi segala potensi serta sumber daya yang relevan dan tersedia. Pada akhirnya diharapkan tercapainya efisiensi, dengan alakosi waktu yang sama namun bisa dihasilkan mutu pembelajaran yang berkualitas. d. Menjadi bahan umpan balik, yaitu untuk diketahuinya keberhasilan pembelajaran sudah sesuai tujuan atau belum. Selain itu untuk penilaian komponen pembelajaran manakah yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki kualitasnya agar bisa pada tahap pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan.48
48
Sanjaya, Perencanaan dan Desain, 7-8.
46
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil intisarinya yaitu sistem pembelajaran secara umum punya nilai guna teknis yang sangat tinggi dan sebagai instrumen dalam perbaikan-perbaikan dari beberapa komponen pada sistem yang dinilai masih kurang. Namun sebagaimana pada pembahasan sebelumnya khusus untuk sistem pembelajaran PAI di dalamnya perlu ditambah komponen yang tak nampak (non fisik) yaitu penyelenggaraan sistem pembelajaran PAI menjadi bagian dari salah satu bentuk dakwah. Artinya penyelenggaraan sistem pembelajaran PAI tidak hanya bentuk mentransfer ilmu saja, namun sebagai wujud dakwah atau ajakan untuk menuju kebenaran. Dengan penekanan pada ajakan atau seruan ini maka sistem pembelajaran PAI bisa menjadi salah satu cara dalam mencetak generasi yang cinta pada kebenaran, pada nilai-nilai moralitas, dan nilai-nilai etika serta estetika yang Islami. Sebagaimana menurut Syafaruddin dan Irwan Nasution tentan perang penting sistem pembelajaran adalah sebagai bantuan bagi pendidik supaya mudah dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga mampu menjadi pengantar peserta didik
kepada tujuan. Selain itu agar kinerja dosen bisa dipermudah
dengan adanya solusi permasalahan yang terjadi pada pembelajaran secara holistik yang muncul bisa dari peserta didik, pendidik (dosen), kurikulum, dan karena faktor lingkungan.49 Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan tentang peran penting sistem pembelajaran PAI dengan sudut pandang tertentu bisa
49
Syafaruddin & Irwan Nasution, Manajemen Pembelajaran (Ciputat: Ciputat Press, 2005), 49.
47
digunakan dalam penilaian dan pemahaman tentang PAI yang tidak hanya berkutat tentang masalah–masalah syariat seperti benar-salah, haramhalal, pahala-dosa, iman-kafir, dan surga-neraka. Namun sistem pembelajaran PAI diupayakan bisa terjadi pemaduan antara pengetahuan keagamaan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan teknologi untuk peningkatan mutu manusia. Sebagaimana menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 pada pasal 2 ayat 2 yang diterangkan
“Pendidikan
agama
bertujuan
untuk
berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
agama
yang
menyerasikan
penguasaannya
dalam
ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.”50
4. Komponen Kurikulum PAI Komponen kurikulum secara umum dalam dunia pendidikan yang luas menurut Syaodih Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau komponenen dalam anatomi51 tubuh kurikulum. Komponen tersebut terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian serta medianya, dan evaluasi, yang mana keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.52 Hampir sama menurut Hamid Syarief walaupun terjadi sedikit perbedaan istilah telah diuraikan
50
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidkan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 51 Penggunaan kata anatomi kurikulum juga digunakan dalam artikel ilmiah. Lihat Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184. 52 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), 102.
48
tentang kurikulum secara struktural terbagi menjadi beberapa komponen di antaranya adalah tujuan kurikulum, komponen isi/bahan, komponen strategi pelaksanaan, dan komponen evaluasi.53 Dari pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan komponen kurikulum setidaknya harus terdiri dari empat komponen yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Oleh karena itu dari pembahasan sebelumnya tentang pembelajaran PAI maka khusus untuk kurikulum PAI di dalamnya harus bermuatan nilai-nilai ajaran Islam pada setiap komponen secara integral sehingga digambarkan sebagaimana gambar berikut ini:
Tujuan
NilaiEvaluasi nilai Islam
Isi/materi/ bahan ajar
Metode/stategi mangajar
Kondisi masyarakat, kondisi peserta didik, dan perkembanga n ilmu pengetahuan serta teknologi.
Gambar 2.1 Skema Komponen Kurikulum PAI
Dari gambar di atas jika dikaitkan pada pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan komponen kurukulum PAI satu sama lain terjadi hubungan dan keterkaitan sebagai bentuk kerjasama dalam perwujudan kurikulum PAI agar tetap relevan dengan realitas, waktu, kondisi masyarakat, kondisi peserta didik, dan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Namun yang perlu ditekankan adalah pada 53
A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 79.
49
kurikulum PAI harus ditanamkan nilai-nilai Islam sebagai sumbu utama yang menjadi ciri khas. Walaupun demikian pendidik tetap berupaya dalam pengembangan kurikulum terutama pada materi PAI agar sistem pembelajaran PAI tetap menarik terutama bagi mahasiswa yang memiliki nalar kritis. Dengan demikian dapat ditarik garis lurus bahwa salah satu komponen dari sistem pembelajaran PAI adalah kurikulum PAI yang juga terdiri dari beberapa komponen lain yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Sedang komponen lain dari sistem pembelajaran PAI adalah pendidik, peserta didik, pengelola lembaga, dan sumber pembelajaran selain pendidik.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Sistem Pembelajaran PAI Hasil dari pencermatan dari fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang ini baik secara global maupun nasional perlu ada perhatian serius pada penggalian format dan model sistem PAI di lembaga pendidikan umum54 yang ada muatan akomodasi tuntutan dan kebutuhan zaman dalam sinaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Oleh karena itu orientasi PAI dalam zaman informasi mendatang perlu diubah, yang
54
Tidak mengherankan jika terdapat kesimpulan dari sebagian kalangan pendidikan bahwa terjadi ketidak efektifan metode pembelajaran PAI. Hal ini sebagaimana pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail dikatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa membumi dengan realitas yang terjadi di Masyarakat. Selain itu metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif. Lihat http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari 2013.
50
semula berorientasi kepada kehidupan ukhrawy menjadi duniawyukhrawy.55 Untuk pemaparan yang lebih rinci dan praktis maka perlu dipaparkan beberapa faktor yang bisa menjadi pengaruh dalam sistem pembelajaran
PAI.
Faktor
yang
mempengaruhi
Kualitas
sistem
pembelajaran PAI secara langsung saat pembelajaran di kelas atau di luar kelas dapat di bagi menjadi tiga yaitu: a. Pendidik Permasalahan pembelajaran adalah permasalahan yang rumit dan dinamis dimana pendidik merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Secara intensif tugas pendidik adalah berperan dalam pembangunan interaksi dan komunikasi dalam proses pembelajaran dengan peserta didik secara efektif. Kesuksesan dosen sebagai pendidik dalam pembangungan suasana harmonis, komunikatif, dan pembelajaran yang efektif tergantung pada metodenya dalam pembelajaran. Tentunya juga peran dosen dalam pemanfaatan media pembelajaran. Ketidaklancaran dalam komunikasi di kelas dapat berakibat terhadap pesan atau materi yang bermuatan afektif, kognitif, dan ketrampilan yang disampaikan oleh pendidik bisa tidak terserap dengan sempurna oleh peserta didik.56 Kompetensi pendidik juga menjadi pengaruh dalam kualitas pembelajaran karena pendidik yang bertugas dalam pembangunan
55 56
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan – Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), 7. Asnawir & Basyaruddin Usman, Media Pembelajaran (Jakarta: Ciputat Press 2002), 1.
51
interaksi antara pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik lainnya, dan peserta didik dengan sumber belajar. Dengan asumsi pendidik adalah penanggung jawab dan teladan hidup bagi murid-muridnya dalam proses pembelajaran. Di sisi lain kualitas dan profesionalitas dosen juga penting karena bagaimanapun bagusnya dan lengkapnya strategi/metode, sarana prasarana, tujuan pembelajaran, dan canggihnya teknologi pembelajaran jika tidak diimbangi dengan kualitas dosen yang terjamin maka hal tersebut akan tidak berefek yang signifikan bagi kualitas sistem pembelajaran57. Dengan demikian dapat disimpulkan tentang faktor pengaruh dosen dalam pembelajaran merupakan komponen penting yang dapat menjadi pengaruh terhadap kualitas pembelajaran PAI. Artinya pembelajaran khususnya dalam PAI tanpa pendampingan dosen atau bahkan dosen hanya duduk diam di dalam kelas atau hanya sebagai pemberi perintah dan pengerjaan tugas kepada mahasiswa, tanpa pemberian materi pendalaman yang bersifat wawasan, aplikatif, dan penciptaan suasana pembelajaran yang canggih maka bisa menjadi penyebab pembelajaran PAI hanya berhenti pada aspek kognitif saja. Padahal menurut pembahasan sebelumnya PAI merupakan ajaran dan pedoman hidup untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat yang harus dilaksanakan bagi setiap mahasiswa dengan sadar, mandiri, dan
57
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 32-33.
52
konsisten dalam beribadah serta dinamis dalam pengembangan IPTEK hingga kematiannya tiba. Pernyataan tersebut secara detail sesuai dengan pendapat Suryo Subroto yaitu faktor-faktor pembelajaran yang terlekat pada pendidik adalah kepribadiannya, penguasaan bahan, penguasaan kelas, cara berbicara (intonasi, penguasaan bahasa, dan pengulangan), penciptaan suasana kelas, pembedaan individu (mahasiswa), dan yang paling penting adalah seorang dosen PAI harus terbuka, mau bekerja sama, tanggap terhadap inovasi, dan secara rutin mampu dalam pelaksanaan penelitian dalam kegiatan pengajarannya.58 Selama ini profil dan performa pendidik dalam sistem pembelajaran PAI dianggap masih kurang dalam peningkatan kualitas pembelajaran PAI yang mana penggunaan metode pembelajaran PAI di lembaga pendidikan umum masih banyak digunakan cara-cara pembelajaran
tradisional,
yaitu
ceramah
monoton
dan
statis
kontekstual.59 Hal ini berarti pendidik PAI lebih cenderung menjauhi teks-teks keilmuan dan lebih condong pada penguatan teks-teks alQuran, Hadis, dan pendapat Ulama dengan minimnya keterkaitan dengan realitas yang ada. Padahal berdasarkan pada pembahasan sebelumnya seorang mahasiswa kapasitasnya tidak lagi hanya memperoleh sumber belajar dari ceramah dosen namun perlu dibiasakan dalam aktivitas pembacaan teks-teks ilmiah yang didasarkan 58 59
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 153-154. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 92.
53
pada kredibilitasnya dan merupakan hasil dari penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan moral. Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid disampaikan tentang peran PAI dalam dunia akademik yang sarat dengan nilai keilmiahan tidak hanya
diposisikan pada
justification), namun
ranah pembenaran
(context
of
juga yang terpenting adalah pada lingkup
penemuan (context of discovery) serta visi baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu penggunaan ayat-ayat Allah yang kauliyah beserta kauniyah perlu dipahami dan diberi intrepretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan intrepretasi beserta reintrepretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.60 Permasalahan lain yang sering dijumpai dalam pembelajaran PAI adalah bagaimana cara penyajian materi kepada peserta didik secara baik dan sistematis sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Hal ini dilakukan agar kesan PAI di mata peserta didik bukan mata kuliah kaku dan kuno. Dengan kata lain dosen PAI terbiasa dalam penggunaan variasi metode pembelajaran dan pengembangan materi PAI menjadi lebih menarik bagi mahasiswa sehingga mereka tertantang untuk aktif dalam pendalaman materi karena kedinamisan isinya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail 60
Nurcholish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58.
54
dikatakan tentang persoalan-persoalan yang selalu menjadi selimut pada dunia PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa membumi dengan realitas yang terjadi di Masyarakat. Selain itu metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang dalam pendukungan proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.61 Ketelitian lain yang perlu diperhatikan tentang mahasiswa adalah karakteristiknya yang berbeda satu dengan yang lain. Karakteristik tersebut meliputi tingkat kemampuannya, tingkat perkembangannya, usia, latar belakang pendidikan, dan unsur lain yang berhubungan dengan proses pembelajaran mahasiswa. Sehinga hal ini dibutuhkan suatu usaha untuk penentuan pendakatan yang tepat. Jika ditinjau dari cara mahasiswa belajar maka salah satu caranya adalah dengan penggunaan pendekatan pembelajaran kooperatif. Artinya mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk pembahasan suatu masalah, atau pemahanan terhadap suatu teori. Kelompok yang dibentuk bisa heterogen dan homogen, walaupun dari masing-masing cara itu terdapat kelemahan dan keunggulan. Mahasiswa dalam kelompok tersebut belajar bersama melalui diskusi. Pendekatan kooperatif ini digunakan
61
http:// www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari 2013.
55
untuk masalah bidang tertentu agar terjadi pengurangan kecemasan pada mahasiswa.62 Langkah ini diambil supaya metode pembelajaran PAI tidak didominasi oleh tipe pembelajaran teacher centered, yang mana pendidik dianggap berhak atas kepemilikan otoritas penuh dalam penentuan segala permasalahan pembelajaran. Padahal mahasiswa bisa bermain peran dalam penyelesaian masalah yang di-setting oleh dosen. Aktif dalam penggunaan metode-metode yang tidak menimbulkan kejenuhan,
dinamis,
dan
penggunaan
pendekatan-pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan konteks kekinian. Penyebab lain yang masih menjadi problem pendidik dalam pengembangan PAI adalah minimnya semangat dan produktifitas dalam penciptaan
dan
penemuan
hasil
penelitian-penelitian
tentang
pendidikan, khususnya penelitian yang berkaitan dengan PAI. Sebagaimana yang telah dipaparkan dari hasil penelitian dinyatakan dosen PAI di UPI telah ikut aktif dalam penelitian ilmiah.63 Gejala lain yang menjadi problematika adalah pembaruan serta reorientasi dosen dalam implementasi pembelajaran PAI. Reorientasi ke dalam bisa dihasilkan pernyataan-pernyataan seperti untuk apa aku mengajar PAI, untuk siapa aku mengajar, bagaimana aku mengajar, mengapa materi ini diajarkan, dan sebagainya. Dan reorientasi ke luar dihasilkan
62
Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 179-180. 63 Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 24.
56
pernyataan-pernyataan akan diarahkan ke mana mahasiswa dan bagaimana agar peserta didik suka terhadap materi serta pembelajaran PAI. Oleh karena itu untuk penyelesaian permasalahan yang terjadi pada dosen maupun mahasiswa perlu dibentuk suatu wadah profesi dosen PAI di PTU yang menjadi tempat kegiatan akademik, saling berbagi, dan belajar untuk pemertajaman keahlian masing-masing. Diharapkan dengan adanya wadah ini bisa dilanjutkan dengan kegiatan studi bersama seperti seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan ilmiah lainnya yang dapat menjadi cara dalam peningkatan wawasan keilmuan dosen PAI. Melalui wadah ini juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi dengan dosen-dosen lain dari berbagai bidang disiplin ilmu. Dengan kata lain adanya sinergitas dan hubungan antara dosen PAI dengan dosen umum untuk penambahan wawasan keilmuan dari berbagai disiplin keilmuan umum bagi dosen PAI dan wawasan keagamaan bagi dosen-dosen di bidang lain.64 b. Peserta didik Peserta didik sebagai manusia adalah makhluk yang unik dan penuh misteri, makhluk yang dinamis, dan punya potensi yang pada setiap perkembangannya dimiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karena manusia sebagai makhluk hidup punya perbedaan yang khusus
64
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 37-38.
57
dengan makhluk lain. Manusia punya hak untuk kepemilikan iman dan ilmu sedangkan makhluk lain tidak diberi anugerah itu.65 Motivasi peserta didik dalam pelaksanaan proses pembelajaran PAI ditentukan oleh tujuan atau paling tidak fasilitas yang sesuai dengan keinginan peserta didik untuk pencapaian tujuan tersebut. Jika tujuan
atau
motivasi
peserta
didik
dalam
melakukan
proses
pembelajaran tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka tugas pendidik adalah bertindak dalam pelurusan „niat‟ yang ada pada peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran PAI. Jika dikaji dan dianalisis dari gelaja sosial akademik yang menjadi latar belakang dalam kekurang minatan atau menjadi beban yang besar bagi mahasiswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran PAI di kelas maka dapat dibedakan ke dalam berbagai orientasi berikut ini yaitu banyak tugas yang terlalu sulit secara kuantitas dan kualitasnya, banyaknya pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari pada kuliah PAI misalnya tugas mengajar, bekerja di perusahaan, atau untuk pengerjaan tugas mata kuliah lain, ketidak cocokan dengan dosen atau teman sekelas, materi PAI yang sulit karena penuh dengan bahasa Arab, adanya peraturan lembaga atau kontrak belajar dengan dosen yang tidak sesuai dengan keinginannya, materi maupun metode serta media yang monoton, dan niat utama dalam pembelajaran PAI adalah untuk pepenuhan kewajiban beban kuliah
65
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 24.
58
serta karena faktor mendapat nilai PAI yang bagus untuk peningkatan jumlah nilai IPK. Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Abdul Aziz dan Martin Handoko disampaikan tentang problematika mahasiswa yang bisa menjadi penghambat dalam sistem pembelajaran adalah segala sesuatu yang bisa menjadi penyebab adanya kelambatan atau ketidak lancaran dalam pencapaian hasil pembelajaran. Hambatan-hambatan tersebut meliputi terjadinya kelambatan dan alenialisasi perkembangan psikologi, terjadinya kelambatan dan alenialisasi daya fikir (kognitif), terjadinya kelambatan dalam komunikasi (linguistik) dan kelambatan dalam pemahaman kehidupan sosial,66 dan terjadinya kesalahan dalam pembangunan tujuan awal dan kemauan mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran (motivasi).67 c. Suasana atau kondisi pembelajaran Menurut Muhaimin dalam sistem pembelajaran PAI terdapat tiga komponen utama yang saling berpengaruh satu sama lain, yaitu kondisi pembelajaran PAI, metode pembelajaran, dan hasil pembelajaran PAI. Yang mana kondisi pembelajaran PAI seperti tujuan intruksional, karakteristik bidang studi PAI, karakter peserta didik, dan kendala
66
Abdul Aziz Asy Syakhs, Kelambanan dalam Belajar dan Cara Penanggulangannya (Jakarta: Gema Insani), 25-30. 67 Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku (Yogyakarta: Penerbit Konisius, 1992), 9.
59
pembelajaran PAI merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam upaya peningkatan hasil pembelajaran PAI.68 Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah metode serta waktu dalam pengimplementasian evaluasi, menurut Muhaimin evaluasi bermanfaat untuk diketahuinya tingkat perubahan belajar mahasiswa terhadap bahan atau materi ajar, metode, dan sarana tertentu yang digunakan untuk tercapainya tujuan yang telah direncanakan. Intinya evaluasi merupakan alat pengukur tercapainya proses interaksi pembelajaran.69 Dapat disimpulkan evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembelajaran di kelas. Evaluasi di sini tidak hanya berupa ujian formal sekolah saja semisal Ulangan Harian, UTS, dan UAS namun juga evaluasi secara bertahap tiap satu kali pertemuan untuk diketahui perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik mahasiswa. Lebih detailnya menurut Husnul Atiah tentang kualitas sistem pembelajaran disampaikan “proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik apabila seorang pendidik mampu mengatur waktu yang tersedia dengan sebaik mungkin.”70 Dapat disimpulkan faktor waktu dan kemampuan dosen dalam pengaturan waktu berperan dalam mempengaruhi kualitas pembelajaran. Berikut telah diidentifikasikan 68
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 146. 69 Ibid., 148-149. 70 Husnul Atiah, “Manajemen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sebagai Upaya Guru Dalam Menciptakan Peserta didik Aktif di Sekolah Dasar Negeri 120/V Tungkal Harapan,” (Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An – Nadwah Kuala Tungkal Kopertais Wilayah XIII, Jambi,2010).
60
oleh Husnul ada empat fungsi umum yang merupakan ciri pekerjaan seorang pendidik sebagai manajer sehingga sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran PAI adalah: 1) Perencanaan; merupakan pekerjaan pendidikan dalam penyusunan tujuan belajar. 2) Pengorganisasian; adalah kemampuan pendidik dalam pengaturan dan berperan aktif dalam penghubungan sumber-sumber belajar terhadap peserta didik, sehingga dapat terwujud tujuan pembelajaran dengan cara yang paling efektif dan efisien. 3) Kepemimpinan; adalah tugas pendidik untuk pemberian motivasi, pendorong, dan pemberi stimulasi peserta didiknya sehingga mereka akan siap dalam upaya perwujudan tujuan pembelajaran. 4) Pengawasan; adalah pekerjaan seorang pendidik dalam penentuan apakah fungsinya dalam pengorganisasan dan kepemimpinan telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan.71
Lebih spesifik selain dari beberapa poin faktor di atas menurut Rohmat ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yaitu ”faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor kurikulum, faktor pembiayaan, dan lain-lain.”72 Untuk mempertegas realitas kualitas proses pembelajaran PAI selama ini, maka perlu dipaparkan pendapat Sukirman, berikut pendapatnya: 71
Atiah, “Manajemen Pembelajaran Pendidikan,” (Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) An – Nadwah Kuala Tungkal Kopertais Wilayah XIII, Jambi,2010). 72 Ali Rohmad, Kapita Selekta Pendidikan (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2004), 20.
61
Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah rendahnya kualitas manajerial pembelajaran baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan maupun cara pengendaliannya, akibatnya proses pembelajaran pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif peserta didik. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah model konvensional yang kurang menarik. Ketidakberdayaan pendidikan agama dalam menginternalisasikan nilai-nilai agama juga merupakan salah satu faktor penyebab munculnya output yang tidak mampu mengemban misi pendidikan nasional yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh karenanya rekonstruksi terhadap manajemen programprogram pembelajaran agama mutlak dilakukan demi tercapainya tujuan yang diharapkan.73
Selain beberapa faktor di atas, kualitas sistem pembelajaran PAI juga dipengaruhi oleh karakteristik kelas. Variabel karakteristik kelas tersebut antara lain pertama besarnya ukuran kelas (class size) artinya banyak sedikitnya jumlah mahasiswa yang ikut serta dalam proses pembelajaran. Kedua suasana pembelajaran yaitu suasana pembelajaran yang demokratis dapat menjadi pemberi peluang dalam pencapaian hasil pembelajaran yang optimal dibandingan dengan suasana yang kaku, disiplin yang ketat dengan otoritas penuh pada pendidik. Dan ketiga fasilitas serta sumber pembelajaran yang tersedia di mana sering ditemukan dalam proses pembelajaran di kelas posisi pendidik sebagai sumber pembelajaran satu-satunya. Padahal seharusnya peserta didik
73
Sukirman, “Manajemen Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Malang,” (Tesis MA., Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2010), v.
62
diberi kesempatan untuk berperan sebagai sumber pembelajaran dalam proses pembelajaran.74 Faktor pembelajaran PAI di kelas juga bisa dititik tekankan pada organisasi kelas dan organisasi lembaga perguruan tinggi secara umum, baik secara formal maupun non formal. Misalnya hirarkinya, kekuatan pengaruh, nilai-nilai yang tertanam dalam kelas atau dalam lembaga perguruan tinggi yang dibangun oleh mahasiswa, dan iklim sosial psikologisnya.75 Dengan kata lain tiap mahasiswa berada tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kelembagaan perguruan tinggi. Di dalamnya juga mereka berhak atas kepemilikan kebutuhan dalam berkedudukan dan berperan
untuk
mendapat
pengakuan
temannya
dan
lingkungan
kampusanya. Jika seorang mahasiswa diterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak, maka ia akan merasa tertekan.76 Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain. Seorang mahasiswa yang bersikap konservatif (faktor internal) terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif eksentrik (faktor eksternal) biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang mahasiswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan ada dorongan positif dari orang tuanya (faktor
74
Sabri, Strategi Belajar Mengajar, 51-52. Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), 202. 76 Dimyati, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), 239. 75
63
eksternal) akan cenderung digunakan pendekatan belajar yang lebih pada kepentingan kualitas hasil belajar.77 Dari pembahasan dia atas maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang
mempengaruhi
kualitas
sistem
pembelajaran
PAI
adalah
sebagaimana berikut: 1) Faktor mahasiswa; mahasiswa punya karakteristik dan perbedaan satu sama lain, mulai dari fisik, gaya belajar, motivasi belajar, kecerdasan, orientasi bersekolah, cita-cita, dan berbagai perbedaan lain.78 2) Faktor sarana prasarana; sarana adalah segala yang jadi pendukung secara langsung terhadap proses pembelajaran, contohnya media, alat, perlengkapan
sekolah,
dan
perpustakaan.
Sedangkan
prasarana
merupakan segala yang jadi pendukung secara tidak langsung bagi keberhasilan proses pembelajaran seperti kamar kecil, penerangan, taman, dan infrakstuktur kampus yang lain. 3) Faktor lingkungan; dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosio psikologis.79 4) Faktor Keluarga; mahasiswa berangkat ke kampus dari rumah tidak hanya membawa buku serta peralatan dan sumber belajar lainnya, namun juga membawa latar belakang ideologi dari rumah (mazhab), serta dibawa pula asumsi-asumsi dasar yang ia bangun dari lingkungan
77
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,“ http:// www.id.shvoong.com/social-sciences/education/2194125-faktor-faktor-yang-mempengaruhipembelajaran/#ixzz2F0ahy41L, diakses tanggal 05 Desember 2013. 78 Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohammad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 198-202. 79 Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 197-201.
64
keluarga. Hal tersebut sebagaimana menurut Slameto Faktor keluarga dibagi menjadi tiga yaitu cara orang tua dalam pendidikan anak, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang budaya.80 5) Faktor Waktu; Faktor waktu dapat dibagi dua, yaitu yang bersangkutan dengan jumlah waktu dan kondisi waktu. Di mana jumlah waktu diidentifikasikan ke dalam berapa jumlah jam pelajaran yang tersedia untuk proses pembelajaran. Sedangkan yang menyangkut kondisi waktu ialah kapan pembelajaran itu dilaksanakan. Pagi, siang, sore atau malam, kondisinya akan berbeda. Hal tersebut akan menjadi pengaruh terhadap proses pembelajaran yang terjadi.81 6) Faktor pendidik; merupakan faktor utama dalam sistem pembelajaran, karena ia yang bertanggung jawab dalam berperan tercapainya tujuan sistem pembelajaran.
B. Tinjauan Tentang Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum 1. Pengertian Perguruan Tinggi Umum Perguruan tinggi menurut Nano Supriono adalah satuan pendidikan yang padanya diselenggarakan jenjang pendidikan tinggi di mana peserta didiknya disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen. Disebutkan pula perguruan tinggi terdiri dari dua jenis, yaitu perguruan
80
Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 6064. 81 Toto Fathoni dan Cepi Riyana, “Komponen-Komponen Pembelajaran”, dalam Kurikulum dan Pembelajaran dalam Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), 156.
65
tinggi negeri dan perguruan tinggi suasta. Yang mana perbedaannya adalah terletak pada yang berwenang dalam pengelolaan dan peregulasian yang dilakukan.82 Dengan demikian maka perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan tinggi, yaitu setingkat di atas jenjang pedidikan dasar dan pendidikan menengah. Penjelasan tersebut searah dengan keterangan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas bab VI bagian keempat tentang pendidikan tinggi pada pasal 19
nomor 1 dijelaskan
“pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.” Pada nomor 2 diterangkan tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yaitu “pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.”83 Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia kata umum memiliki beberapa arti, yang salah satunya dikandung pengertian sebagai segala sesuatu yang dikenai semuanya, secara atau untuk keseluruhan, tidak disangkutkan pada yang khusus atau bidang tertentu saja, dan diperuntukkan bagi orang banyak atau untuk siapa saja.84 Dengan demikian apabila dari semua pengertian di atas dirangkai menjadi satu maka arti dari Perguruan Tinggi Umum adalah unit pelaksana pendidikan yang berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan tujuan secara khusus untuk pengembangan ilmu pengetahuan umum (non Agama) yang sesuai dengan 82
Nano Supriono, “Arti Perguruan Tinggi,” http://www. id.shvoong.com/socialsciences/education/2124265-arti-perguruan-tinggi/, 27 Februari 2011, diakses tanggal 01 Februari 2013. 83 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 3. 84 Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa, 1103.
66
ketentuan serta peraturan dan undang-undang Republik Indonesia di mana mahasiswa dan tenaga pendidiknya berasal dari khalayak umum atau terbuka untuk umum. Hal ini bukan berarti perguruan tinggi umum merupakan lembaga pendidikan tinggi yang bersifat sekuler, karena undang-undang telah mewajibkan untuk dimasukkannya nilai-nilai agama ke dalam kurikulum, salah satunya dengan diwajibkan alokasi mata kuliah agama di dalamnya. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya di Bab I. Namun Muh. Sain Hanafy bersikap kritis terhadap Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan di Bagian Kesatu (umum) pasal 15 disebutkan “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.” Kata pendidikan umum dan keagamaan pada pasal tersebut menurutnya dengan jelas terdapat dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum.85 Ini berarti terdapat peluang bagi pemerintah untuk membedakan pada segi kebijakan, fasilitas, dan perhatian antara lembaga pendidikan umum dengan lembaga pendidikan keagamaan. Definisi perguruan tinggi umum secara inplisit atau tersurat sangat sulit sekali ditemukan dengan penjelasan yang pasti dan utuh dalam kamus, artikel ilmiah, karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan, buku ilmiah, dan referensi lain yang dipandang relevan dengan hal tersebut. Hal ini 85
Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009), 177.
67
dimungkinkan karena istilah PTU sudah menjadi konsesus bagi masyarakat umum terutama dari kalangan umat Islam yang terbiasa dalam penggunaannya sebagai pembeda antara perguruan tinggi yang berafiliasi Agama tertentu khususnya agama Islam yang lumrah disebut PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Sedangkan PTU lebih terbuka untuk semua golongan dan agama yang dianut oleh mahasiswa. Namun tidak dapat dipungkiri sering kali penggunaan istilah perguruan tinggi umum sudah lumrah digunakan dan dimasukkan dalam beberapa judul karya tulis meskipun di dalamnya tidak dijelaskan secara gamblang tentang pengertian Perguruan Tinggi Umum ataupun pembahasan tentang perbedaan PTU dengan PTAI. Penggunaan istilah PTU sudah diketahui secara jamak oleh kalangan akedemisi dan cendikiawan, di antaranya adalah buku karyanya Aminuddin dkk.,86 Ajat Sudrajat dkk.,87 Kasinyo Harto,88 Syahidin,89 Marzuki,90 Hamdan Mansoer dkk.,91 dan Wahyuddin dkk.92 Sedangkan karya dalam bentuk jurnal dan artikel sebagaimana yang ditulis oleh Imam
86
Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: Ghalia Indonesia dengan Universitas Indonusi Esa unggul, 2005). 87 Ajat Sudrajat, Din-al-Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press, 2008). 88 Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008). 89 Syahidin, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Proyek Dikti, 2003). 90 Marzuki, Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Ombak, 2012). 91 Hamdan Mansoer dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 2004). 92 Wahyuddin dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan TinggI (Jakarta: PT. Grasindo, 2009).
68
Bawani,93 Abidin Nurdin,94 Nuryadin,95 Pudji Mulyono,96 Nurcholish Madjid,97Yahya Aziz,98 dan Marzuki.99 Dari pemaparan di atas berdasarkan analisis yang telah dilakukan hampir semuanya dari karya tulis tersebut digunakan istilah Perguruan Tinggi Umum sebagai pembeda antara perguruan tinggi agama (PTA) yang berciri khas keagamaan atau fokus pada bidang kajian agama tertentu dengan PTU yang cenderung pada pembahasan ilmu pengetahuan umum yang tidak terikat dengan kekangan ilmu agama tertentu. Dengan kata lain istilah Perguruan Tinggi Umum merupakan istilah yang sudah umum untuk digunakan dan diakui oleh kalangan akademis sebagai bahan kajikan keilmuan. Walaupun secara historis belum ditemukan kapan pastinya istilah tersebut mulai digunakan pada pembahasan di dunia pendidikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan istilah „PTU‟ masih relevan digunakan dalam penelitian ini karena semua aspek syaratnya terpenuhi. Untuk pemaparan yang konkrit agar lebih jelas maka perlu disajikan data-data tentang perguruan tinggi beserta runtutannya sebagai contoh yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas diuraikan sebagai berikut: 93
Imam Bawani, “Metodologi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal IAIN Sunan Ampel: Media Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Edisi 12 (1998), 17-21. 94 Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,” 95 Nuryadin, “Tantang dan Harapan pada Pendidikan Agama di PTU untuk Membangun Sumber Daya Manusia Indonesia,” http:// alulum.baak.web.id/files/7.%20nuryadin%20april%202010.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2013. 96 Pudji Muljono, “Kelompok Keagamaan di Kampus Perguruan Tinggi Umum: Kajian Sosiologi,” Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, Vol. 24 No. 4 (2007) , 483-484. 97 Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,” http://www. oocities.org/fauzy70/para/p036.html, 12 April 2001, diakses tanggal 01 Pebruari 2013. 98 Yahya Aziz, “Penguatan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal Sosial dan Hukum ITS Surabaya Vol. 4. No. 2 (2011). 99 Marzuki, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia,” Cakrawala Pendidikan, no. 1 XIV (Februari 1997), 93-101.
69
Tabel 2.1 Contoh-contoh Perguruan Tinggi di Indonesia No.
Bentuk Perguruan Tinggi100
Jenis Pendidikan101
1.
Akademik
PTU
2.
Politeknik
PTU
3.
Sekolah Tinggi
PTU
PTA
PTU 4.
Institut PTA PTU
5.
Univeristas PTA
Keterangan:
100
Contoh102 Akademi Tata boga, Akademi Sekretari dan Manajemen, Akademi Akuntansi, Akademi Keuangan dan Perbankan, Akademi Perikanan Sorong, Akademi Manajemen dan Ilmu Komputer, Akademi Maritim, Akademi Teknologi Industri, Akademi Farmasi, Akademi Kebidadan, Akademi Keperawatan, Akademi Kesehatan, Akademi Teknologi, Akademi Perpajakan, Akademi Komunikasi Indonesia, Akademi Pariwisata, Akademi Militer, Akademi Kepolisian, dll. Politeknik Perikanan, Politkenik Teknologi, Politeknik Pertanian, Politeknik Informatika, Politeknik Manufaktur Timah, Politeknik Pos Indonesia, Politeknik Komputer, dll Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Sekolah Tinggi Desain, Sekolah Tinggi Seni, Sekolah Tinggi Perkebunan, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen dan Ilmu Komputer, Sekolah Tinggi Filsafat, Sekolah Tinggi Perpajakan, Sekolah Tinggi ilmu Kesehatan, Sekolah Tinggi Ilmu Psikologi, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Sekolah Tinggi Teknologi, Sekolah Tinggi Pertanahan, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sekolah Tinggi Hukum Militer, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Pariwisati, Sekolah tinggi Ilmu Komunikasi, dll. Sekolah Tinggi Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten Jawa Tengah, dll. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Teknologi, Institut Pertanian, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Institut Kesenian, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, Institut Keungan Perbankan dan Informatika, Institut Manajemen Koperasi, dll. Institut Agama Islam, Institut Studi Islam, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, dll. Universitas Informatika dan Bisnis, Universitas Indonesia, Universtias Nusantara PGRI Kediri, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Komputer, dll. Universitas Islam, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Universitas Katolik, dll.
- PTU adalah Perguruan Tinggi Umum (Pendidikan Umum) - PTA adalah Perguruan Tinggi Agama (Pendidikan Keagamaan)
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 20 ayat 1. Ibid., Pasal 15. 102 Tim Penyusun Direktori Hasil Akreditasi Program Studi Tahun 2009, Direktori Hasil Akreditasi Program Studi Tahun 2009 Buku I, II,III, IV, VI,VII IX,X, Kelompok Program Studi Agama,Pertanian, Sosial, Teknik,Seni, Ilmu Kesehatan, Ekonomi, dan Pendidikan (Jakarta: BANPT, 2009). 101
70
Dari sajian tabel di atas dapat disimpulkan sebuah universitas jika tidak diberikan label agama tertentu misalnya adalah Universitas Islam atau Universitas Katolik maka itu merupakan perguruan tinggi umum, salah satunya Universitas Nusantara PGRI yang menjadi lokasi penelitian tesis ini. Lebih lanjut lagi karena penelitian ini adalah pengkajian tentang sebuah universitas yaitu Universitas Nusantara PGRI Kediri maka didasarkan pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dincatumkan ”universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.”103 Oleh Karena itu dapat disimpulkan bahwa UNP Kediri merupakan salah satu dari Perguruan Tinggi Umum atau perguruan tinggi yang jenis pendidikannya adalah pendidikan umum yang ada di Kota Kediri yang berbentuk Universitas.
2. Ciri Utama PAI di Perguruan Tinggi Umum Salah satu ciri utama perguruan tinggi umum adalah adanya tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang mana menurut Muhammad Nuh dari ketiganya harus dilakukan secara utuh
103
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
71
tidak boleh dibeda-bedakan.104 Sebagaimana pada amanat Undang-undang Sisdiknas pada bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan pada Bagian keempat Pasal pasal 20 ayat 2 “perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan,
penelitian,
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.”105 Dari pernyataan tersebut konsekuensi logisnya adalah seluruh dosen tidak terkecuali dosen PAI dituntut menjadi contoh bagi mahasiswa dan elemen lainnya di kampus untuk aktif dalam tiga hal tersebut, terutama dalam dunia penelitian. Namun berdasarkan temuan Nana Sudjana dan Awalkusumah bahwa penelitian yang dilakukan oleh para dosen di perguruan tinggi masih belum optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini karena umumnya dosen lebih tertarik pada tugas pengajaran jika dibandingkan dengan penelitian.106 Padahal dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, bab VI, pasal 24, ayat 2 dinyatakan “perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.”107 Dengan demikian maka kegiatan penelitian di perguruan tinggi beserta hasil yang diperolehnya sangat penting sebagai penunjang dalam pengembangan pembelajaran.
104
Dinna Handini, “Nuh: Tri Dharma Perguruan Tinggi Harus Ditumbuhkan dan Ditegakkan,” Dikti on Line, http://www dikti.go.id/?p=8628&lang=id, 22 Maret 2013, diaksess tanggal 12 Juni 2013. 105 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. 106 Nana Sudjana dan Awalkusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi: Panduan bagi Tenaga Pengajar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 21-22. 107 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003.
72
Secara spesifik tugas utama dosen dalam amanat Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional pada BAB XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 ayat 2 diterangkan “pendidik merupakan
tenaga
profesional
yang
bertugas
merencanakan
dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.”108 Oleh karena itu secara umum pada perguruan tinggi strategi pendidikan ditujukan pada penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan Teknologi) agar dapat berkarya dan bersaing dalam forum internasional, atau paling tidak mampu dalam penanggunalan arus globalisasi yang lambat laun pasti terjadi. Namun IPTEK saja tidak cukup perlu penekanan pada budaya kerja atau etos kerja yang positif. Etos kerja sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat walaupun pembentukannya relatif sulit karena sifatnya yang sangat mendasar. pembentukan etos kerja dapat dilakukan
melalui
pembentukan pribadi dengan berbagai kegiatan pendidikan, keteladanan, dan bimbingan.109 Secara Ideal ciri lain Pendidikan Agama Islam di PTU adalah “perguruan tinggi mengupayakan terwujudnya suasana lingkungan kampus yang kondusif dan tersedianya fasilitas yang mampu menumbuhkan interaksi lintas agama yang religius untuk seluruh sivitas akademika.” Oleh
108
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 3. Satryo Soemantri Brodjonegoro, “Strategi Kebijakan Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada PTU,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 10. 109
73
karena itu guna terwujudnya tujuan tersebut diperlukan sarana fisik meliputi perpustakaan dengan literatur berbagai agama dalam judul dan jumlah yang memadai serta ruang serbaguna untuk kegiatan akdemik secara kelompok. Sedang sarana non fisiknya adalah adanya peraturan yang menjadi pengantar sistem interaksi akademik yang religius.110 Sebagai penunjang dicapainya tujuan pembelajaran PAI perlu diadakan kegiatan keagamaan di perguruan tinggi yang mana kegiatan tersebut tidak hanya pengulangan-pengualan (rutinitas) aspek ritual semata, namun
lebih berperan
sebagai
manifestasi/celupan (sibghah) bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sunguh-sungguh bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat. Serta diupayakan kehadiran PAI di perguran tinggi umum mampu memayungi kemajuan ilmu pengetahuan teknologi yang senantiasi berada pada rel agama dan diperoleh dari inspirasi wahyu Allah.111
3. Kedudukan PAI di Perguruan Tinggi Umum Kedudukan PAI di PTU adalah sebagai mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa Islam di seluruh Perguruan Tinggi Umum baik pada perguruan tinggi negeri maupun suasta. Hal ini agar mahasiswa mampu menjadi manusia yang punya kepribadian muslim secara utuh, yaitu yang taat pada perintah agama Islam, dan bukan hanya sekedar menjadi mahasiswa yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam tanpa 110
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Pasal 11 (1). 111 Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,” 38.
74
diamalkan. Dengan demikian kedudukan PAI di PTU adalah sangat penting yaitu menjadi suatu mata kuliah yang diharapkan darinya mampu dihasilkan para sarjana yang punya jiwa agama (religius) dan taat pada perintah agamanya, tidak hanya menjadi manusia yang hanya ahli dalam bidang pengetahuan tentang agama Islam tanpa pengamalan secara konkrit dalam sehari-hari.112 Idealnya mata kuliah PAI menjadi mata kuliah kunci dan terintegrasi secara fungsional dengan mata kuliah lain. Setidaknya mata kuliah umum tersebut dipelajari sarat dengan muatan moral agama, disesuaikan dengan tingkat dan jenis lembaga pendidikannya.113 Lebih konkritnya adalah dalam pembelajaran PAI mahasiswa didorong dalam pengembangan ilmu pengetahuan dengan lebih dalam disesuaikan dengan kerangka pengembangan konsep-konsep keilmuan didasarkan pada prodi yang dia pilih. Oleh karena itu bidang ilmu atau keahlian sesuai dengan prodi yang mahasiswa tekuni benar-benar dipandu dan disumberkan pada ajaran-ajaran Islam. Pada akhirnya dalam jangka panjang bisa terbentuk kehidupan kampus yang akademis religius sebagai pengisi sempitanya waktu pembelajaran PAI yang hanya 3 sks.114 Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Bawani secara lengkap sebagai berikut:
Kemungkinan banyak dan heterogennya fakultas atau program studi yang ada di sebuah perguruan tinggi, maka perlu adanya penjabaran dalam kurikulum, yang kemudian 112
Zainul Muhibbin, Pendidikan Agama Islam: Membangun Karakter Madani (Surabaya, ITS Prress, 2012), 5-6. 113 Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 36. 114 Ibid., 34.
75
direalisasikan secara bertahap pada tujuan pembelajaran sehari-hari. Jadi, dari tujuan akhir yang menggambarkan sosok manusia ideal menurut ajaran Islam, diupayakan perwujudannya melalui tujuan institusional pada level perguruan tinggi umum. Lebih lanjut, dialakukan spesialisasi tujuan kurikuler untuk setiap fakultes atau program studi yang ada, dan akhirnya dijabarkan dalam bentuk tujuan pembelajaran yang ingin dicapai langsung di lokal perkuliahan.115 Namun menurut Mastuhu pada kenyataannya “PAI masih menempati posisi pinggiran, teralienasi,...
Selain itu, mata kuliah PAI
bukanlah mata kuliah keahlian, tetapi ia hanya merupakan mata kuliah umum yang bersifat melayani.” Lebih spesifik dijelaskan pengembangan dan pengimplementasian IPTEK dalam perilaku keseharian kurang dikaitkan dengan nilai-nilai luhur agama. Artinya belum ada kemampuan dalam pengembangan teori atau konsep keilmuan yang benar-benar murni bersumber pada ajaran–ajaran atau nilai Islam.116 Dengan demikian dapat disimpulkan PAI di PTU bukan hanya sebagai ilmu agama yang lebih diacu pada ranah kognitif, namun dipandang lebih pada acuan ranah afektif, PAI di PTU sebagai dasar pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian utuh, beriman, serta bertaqwa kepada Allah SWT, dan PAI menjadi sumber inspirasi etika, moral, serta spiritual sebagai penangkal perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek negatif karena dampak modernitas.117
115
Imam Bawani, “Metodologi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal IAIN Sunan Ampel: Media Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Edisi 12 (1998), 18. 116 Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,30-31. 117 Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184.
76
4. Tantangan PAI di Perguruan Tinggi Umum Dengan adanya media massa dan teknologi informasi komunikasi yang canggih serta begitu mudahnya diakses oleh siapapun menjadi penyebab masyarakat mudah terpengaruh terhadap tayangan atau „ajaran‟ yang ada di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena seringnya dan mudahnya diaskes hampir setiap hari. Hal tersebut menjadi penyebab secara lambat laun terjadi perubahan budaya, etika, dan moral pada masyarakat dan tak terkecuali pada mahasiswa. Masyarakat yang pada mulanya merasa asing dan tabu pada model-model pakaian yang terbuka (porno), hiburan-hiburan yang berlebihan, dan sadisme yang ditayangkan pada media tersebut kemudian lama kelamaan karena tidak terbendung lagi menjadi terbiasa bahkan selanjutnya mereka menjadi bagian dari fenomena tersebut. Oleh karena itu pada kehidupan masyarakat bahkan pada mahasiswa ditemui kehidupan yang kontroversial dapat dialami dalam waktu yang sama dalam individu pribadi yang sama. Misalnya dalam satu pribada punya keseimbangan antara kesalehan dan keseronohan, kelembutan dan kekerasan, antara korupsi dan dermawan, antara korupsi dan keaktifan ibadah, antara kehidupan masjid dengan mall, yang keduanya terus menerus berdampingan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi alasan diperlukannya kajian keilmuan (penelitian) dalam bidang PAI sebagai penemuan jawaban atas masalah-masalah seperti itu.118
118
Muhaimin,Nuansa Baru Pendidikan, 86.
77
Lebih detail menurut Arif Furqan peran PAI di PTU sangat strategis hal ini karena para mahasiswa di PTU sebagian besar akan menjadi pemimpin dan praktisi di berbagai bidang kehidupan seperti politik, keuangan, ekonomi, pertahanan, kesehatan, sosial, kebudayaan, pariwisata, dan lain sebagainya. Ketahanan mental mereka amat diperlukan agar mereka dapat menjadi pemimpin dan praktisi yang jujur, amanah, dan tahan godaan yang merusak tatanan sosial. Ketahanan mental yang didasari pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam yang mantap akan jauh lebih kokoh daripada ketahanan mental yang dilandasi oleh norma sosial dan pengawasan aparat penegak hukum. Namun kenyataannya pembelajaran PAI di PTU belum terasa efektif di mana iman, taqwa, dan akhlaq mulia lulusan PTU belum tampak sebagai akibat pembelajaran PAI di PTU. Masih banyak aliran eksklusif di PTU, sehingga dapat dikatakan PAI di PTU belum dibuahkan hasil sesuai harapan. Hal ini disebabkan karena kurikulum, dosen, kepedulian pimpinan PTU, lingkungan PTU yang kurang kondusif bagi PAI, serta kurangnya bahan bacaan agama di perpustakaan umum PTU.119 Hal ini sebagaimana menurut Arif Rahman yang dikutip oleh Soedarto diungkapkan tentang tantangan yang dihadapi oleh PAI di PTU secara
eksternal adalah terjadinya perubahan yang dialami masyarakat
dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bisa terjadi pergeseran-pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. 119
Arief Furqan, “Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi, Misi, dan Program.” Dalam http://ditpertais.net/visi.htm diakses pada tanggal 03 April 2013.
78
Salah satu bentuk pergeseran menurut Arif Rahman adalah “agama tidak dijadikan pegangan hidup yang sifatnya rutin dan dogmatis, agama tidak hanya diterima melalui keyakinan dan masyarkaat perlu penjelas yang bersifat multi demensional”. Dengan demikian tugas berat PAI adalah bagaimana nilai kandungan PAI bisa dirasionalisasikan agar bisa diterima oleh masyarakat yang semakin cenderung rasionalis, lebih berpikir progesif, dan menjadi budak teknologi. Sedangkan tantangan internalnya menurut Malikhah Towaf yang dikutip oleh Soedarto yaitu adanya pola fikir dikotomis yang terjadi pada dosen maupun mahasiswa. Seharusnya mahasiswa sebagai calon ilmuwan Islam punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya konsep dan prinsip ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan Allah saja namun juga kerangka berfikir tentang kesatuan ilmu pengetahuan, penggalian, dan pengembangannya. Sedang tantangan lainnya di mana PAI merupakan program pendalaman ilmu agama di PTU baik pada tatanan perencaan maupun pelaksanaannya yang masih dipertanyakan perolahan hasil optimalnya.120 Sedang dari tinjauan organisasi sistem pembelajaran PAI belum ada pengelolaan secara profesional, manajemen yang dibangun belum berjalan secara modern, dan lemahnya pengawasan dari pihak lain. Terlihat pada kenyataan umumnya pendidik PAI lebih cenderung bekerja secara individu khususnya pada pemecahan masalah dalam pembelajaran. Ini
120
Soedarto, “Tantangan, Kekuatan, dan Kelemahan,” 74-75.
79
berarti pada diri pendidik ada pengkultusan dirinya sebagai kyai, ulama, dan ahli agama Islam yang tidak sembarang orang boleh kritis terhadapnya, aktif dalam pemberian masukan, dan pemberian bantuan dalam pemecahan masalah terlebih lagi masukan dari mahasiswanya.121 Jika paradigma seperti itu digunakan maka sebagaimana pembahasan sebelumnya pembelajaran PAI bukan lagi sebagai mata kuliah keilmuan yang dinamis, tapi nilainya tidak lebih dari sebuah materi ceramah keagamaan yang dogmatis dan statis. Lebih spesifik tantangan-tantangan pelaksanaan PAI di PTU yang masih menjadi kelemahan yaitu meliputi adanya upaya perombakan kerangka pikir dikotomis masih dilakukan secara parsial (setengahsetentah). Artinya belum dilakukan secara terpadu dan utuh dengan strategi yang jelas, pendekatan masih lebih cenderung normatif yaitu penggunaan norma-norma tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga mahasiswa minim penghayatan pada nilai-nilai agama sebagai nilai hidup keseharian. Tantangan lain adalah kurikulum yang dirancang nilai tawarnya masih minim kompetensi dan minim informasi bagi mahasiswa. Ditambah lagi dosen yang juga masih terpaku pada kurikulum tersebut tanpa adanya pengembangan dan pengayaan kurikulum, sehingga minimnya pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh. Selain itu penggunaan metode pembelajaran yang dilakukan dosen masih minimalis sehingga pembelajaran PAI dilakukan cenderung monoton.122 Dan tantangan yang berkaitan dengan mahasiswa adalah pembelajaran PAI dihadapkan pada heterogenitas 121 122
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 32-33. Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 75.
80
konidisi objektif raw input mahasiswa di PTU (baik wawasan dan pengalaman maupun ketaatan) dari segi latar belakang yang meliputi sosiokultural, kondisi kehidupan kampus, kondisi lingkungan tempat tinggal (termasuk sekitar kampus), status sosial mutakhir, dan banyaknya kekeluargaan (usrah) yang tumbuh di kampus.123
5. Peran Penting PAI di Perguruan Tinggi Umum a. Didasarkan Aspek Historis Secara historis pendidikan agama Islam pada masa sebelum kemerdekaan pada semua jenjang pendidikan tidak berada pada posisi yang diutamakan, bahkan bisa dikatakan disingkirkan oleh pihak penjajah terutama pada masa penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka sebagai hadiah dari pemerintah serta karena keaktifan tokohtokoh umat Islam dalam upaya pemajuan umat Islam melalui dunia pendidikan maka pendidikan agama Islam secara umum telah punya perhatian dari pemerintah. Hal ini terutama setelah pada tahun 1951 dikeluarkan peraturan bersama melalui Penetapan Bersama Antara Menteri Agama dan Menteri PP&K Nomor 17678/Kab. Tanggal 16-71951(PP&K) dan Nomor K/1/9180 Tanggal 16-7-1951(Agama) oleh Pemerintah. Peraturan tersebut secara ekplisit telah ditunjukkan bahwa
123
Wahab, “Pembelajaran PAI di PTU,” 155.
81
pendidikan agama diresmikan untuk digunakan pada pendidikan formal baik yang negeri maupun suasta.124 Terlebih lagi pada tahun 1960 setelah adanya Ketetapan MPRS no. II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang berbunyi “menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai dengan Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya”. Tambahan kalimat “murid-murid berhak tidak ikut serta….” adalah hasil perjuangan PKI (partai komunis) yang saat itu berkuasa di Indonesia. Dengan adanya tambahan kalimat tersebut maka status Pendidikan Agama Islam di Indonesia bersifat fakultatif yang berarti tidak menjadi pengaruh utama dalam kenaikan kelas. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum juga baru terdapat perhatian dari pemerintah setelah dikeluarkan
Ketetapan
MPRS.
No
II/MPRS/1960
yang
dasar
opersaionalnya adalah UU no. 22 th 1961 tentang Perguruan Tinggi dalam Bab III pasal 9 ayat 2 sub b, yaitu “pada Perguruan Tinggi Negeri diberikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatannya”. 125
124
“Sejarah Perkembangan Pendidikan Agama (PA) di Sekolah-Sekolah Umum,” Blog Umy, http:// blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/sejarah-perkembangan-pendidikan-agamapa-di-sekolahsekolah-umum/, diakses tanggal 20 Juni 2013. 125 “Sejarah Perkembangan Pendidikan,” Blog Umy, diakses tanggal 20 Juni 2013.
82
Status Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum berubah menjadi sangat kuat posisinya setelah terjadinya Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Hal ini terlihat nyata setelah diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966 dengan Ketetapan MPRS no. XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal 1, yaitu “menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Dengan adanya ketetapan tersebut, kalimat tambahan yang merupakan hasil perjuangan kaum PKI dihapus bersamaan dengan dilarangnya Partai Komunis di Indonesia. Sejak saat itu Pendidikan Agama di Indonesia merupakan mata pelajaran pokok dan ikut menentukan kenaikan kelas bagi muridnya mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Kedudukan Pendidikan Agama semakin kokoh karena adanya dukungan GBHN (Garis-garis Besar dan Haluan Negara) yaitu “diusahakan supaya terus betambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai Sekolah Dasar(SD) sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”.126 Sedang pada tahun 1989, ditetapkan Undang-undang Nomer 2 oleh Dewan Perwakilan Rakyat tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi dalam
126
“Sejarah Perkembangan Pendidikan,” Blog Umy, diakses tanggal 20 Juni 2013.
83
pelaksanaan pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata pelajaran agama di lembaga umum. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan di BAB IX tentang Kurikulum pada Pasal 39 Ayat 2, yakni “isi kurikulum setiap jenis dan jalur pendidikan wajib memuat: a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan agama; dan c. pendidikan kewarganegaraan.” Walaupun di dalam UUSPN tidak dicantumkan secara rinci tentang hak peserta didik pada pendidikan agama diajar oleh pendidik yang seagama sebagaimana yang tercantum pada Undangundang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.127 Dengan adanya undangundang tersebut maka posisi Pendidikan Agama pada lembaga formal baik yang negeri maupun suasta punya perhatian yang lebih. Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan secara historis sesungguhnya peran penting pendidikan agama terutama pendidikan agama Islam adalah sebagai penangkal paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa salah satunya paham komunisme. Selain itu karena perkembangan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat Islam yang sangat antusias dalam pendalaman ilmu-ilmu keduniaan (ilmu pengetahuan umum) sehingga menjadi penyebab banyaknya kalangan agamis belajar di perguruan tinggi umum. Hal tersebut berkonsekuensi banyaknya tuntutan dari kalangan agama untuk ditetapkannya mata kuliah agama sebagai mata kuliah wajib yang harus diberikan kepada
127
“Undang-undang Nomer 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,” http:// lugtyasyonos3ip.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/12/UU-No.-2-th-1989-ttg-sisdiknas.pdf, diakses tanggal 25 Juni 2013.
84
para mahasiswa agar mahasiswa tidak kehilangan atau minim atas ilmuilmu agama yang dianutnya. Dari hasil analisis sejarah dapat dikatakan bahwa kehadiran pendidikan agama tidak hanya untuk mendidik ilmu agama bagi peserta didiknya. Namun lebih daripada itu adanya pendidikan agama adalah sebagai upaya pengokohan „ideologi‟ agama yang ditanamkan pada peserta didik di lembaga pendidikan secara formal. Lebih detail karena di lembaga pendidikan umum terdapat banyak sekali mahasiswa yang beragama Islam maka dipandang perlu adanya perhatian khusus terhadap adanya pendidikan agama Islam secara inten di perguruan tinggi umum. Hal ini tentu sebagai bentuk agar mahasiswa Islam terhindar
dari
faham
sekuler128
dan
supaya
mampu
dalam
pengantisipasian terhadap fenomena-fenomena arus modernisme pada dua dekade di akhir abad 20.
b. Didasarkan Aspek Filosofis Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, sehingga pendidikan Islam punya peran yang signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan karakter
128
Pendalaman terhadap ajaran-ajaran Islam untuk pencegahan dari arus sekularisme sudah terjadi pada tahun 1925 dengan berdirinya Jong Islamieten Bond yang dipelopori oleh R. Sam (Sjamsurijal), seorang aktivis partai politik Sarekat Islam. Organisasi ini diakui anggotanya mampu dalam pencegahan cendekiawan Muslim berjauhan dengan ajaran-ajaran Islam. Pada waktu itu kelompok-kelompok diskusi sudah berjamuran dengan pembahasan tentang masalahmasaiah mutakhir yang dinilai penting pada masanya, misalnya betema "Islam dan kebebasan berpikir", "poligami dan Islam", “perang dan etika di dalam Islam", "peranan dan kedudukan wanita di dalam Islam", "Islam dan nasionalisme", dan lain-lain. Lihat Pudji Muljono, “Kelompok Keagamaan di Kampus Perguruan Tinggi Umum: Kajian Sosiologi,” Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, Vol. 24 No. 4 (2007) 483-484.
85
unggul. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa budaya, kebiasaan, karakter, dan segala hal yang tercipta pada masyarakat merupakan cerminan dari hasil pendidikan Islam. Oleh karena itu peran penting pendidikan Islam adalah bagaimana agar ajaran Islam yang rahmatan lilalamin benar-benar diterapkan oleh setiap insan Islam.129 Peran penting PAI yang lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah sebagai bentuk antasipasi atau penanggulangan terhadap paham yang pada zaman sekarang ini mewabah di Indonesia, yaitu adanya pandangan bahwa pendidikan adalah sebagai sarana investasi, asumsinya adalah masyarakat rela generasi mudanya „diinvestasikan‟ dalam dunia pendidikan dengan harapan akan diperoleh keuntungan sebesar-besarnya setelah itu. Dalam tataran praktis di ranah sosial kemasyarakatan hal tersebut tidak bisa disalahkan dan hilangkan begitu saja. Oleh karena itu pendidikan agama yang salah satunya meliputi moral dan spiritual tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dimarginalkan atau tidak digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini supaya pendidikan Indonesia tidak dihasilkan mahasiswa yang berpaham materialistik, cenderung kapitalis, sehingga berujung pada sekulerisme.130 Hal ini sebagaimana menurut Hamdan Mansoer dkk. dikemukakan bahwa bila pada perguruan tinggi di Indonesia hanya fokus pada pengembangan intelektual keilmuan umum dengan pengabaian dalam upaya pengembangan kepribadian mahasiswa maka 129 130
Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan,” 174 Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan,” 176-177
86
bukan mustahil lulusan perguruan tinggi di Indonesia menjadi intelektual yang sekuler.131 Lebih gamblangnya sistem pembelajaran PAI adalah kebutuhan mendasar bagi suatu lembaga pendidikan umum, terutama pendidikan tinggi umum berbentuk universitas yang karakteristik mahasiswanya heterogen, salah satu cirinya bersifat multikultural. Keadaan tersebut bisa diatasi dengan adanya sistem pembelajaran PAI yang integral dengan adanya komunikasi antar dosen PAI dalam satu lembaga. Walaupun menurut Abidin Nurdin disampaikan bahwa antar dosen satu dengan yang lain titik tekan pembelajarannnya pada setiap lokal atau ruang pembelajaran berbeda, dengan teknik disesuaikan kepada karakter mahasiswa di setiap kelas dan prodi yang diambilnya.132 Oleh karena itu jika sistem pembejaran PAI tidak kokoh dan utuh maka dapat diperkirakan mata kuliah PAI dianggap sebagai mata kuliah kelas dua atau hanya sebagai pelengkap (sebagai hiasan dalam kurikulum perguruan tinggi umum). Sedang menurut Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Idris bahwa Pendidikan Agama adalah sebuah kebutuhan yang harus diajarakan agar bisa mencetak peserta didik yang paripurna (insan kamil) walaupun pada lembaga pendidikan umum. Insan Kamil atau berkepribadian Muslim adalah suatu kondisi fisik dan mental secara bersamaan terjadi satu kesatuan yang terpadu sehingga dalam 131
Hamdan Mansoer dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 2004), ii. 132 Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,” 179.
87
penampilan
atau
kegiatan
kehidupan
sehari-hari
tidak
terjadi
pendikotomian antara jasmani dengan rohani dan dunia dengan akhirat.133 Dengan kata lain pendidikan Agama Islam diharapkan mampu dalam pencetakan generasi Muslim yang berkemampuan dalam IPTEK, ketauhidan, dan berkepribadian Islam yang rahman lil alamin sehingga terbentuklah insan paripurna. Dengan demikian dimensi ketauhidan tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam dunia pendidikan, artinya adanya keterlibatan hubungan antara intrepretasi (pelibatan logika) manusia terhadap kebenaran hakiki tentang Allah SWT melalui ayat kauniyah dengan ayat kauliyah yang didasari pada ketundukan dan keimanan. Hal ini supaya dalam alam pikiran manusia tidak tercemari sifat angkuh dan merasa terkuat dari segalanya padahal ada yang lebih kutat dari segalanya yaitu yang Maha Kuat, sehingga kandungan inti dari pemahaman hubungan tersebut adalah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku sebagai berikut: 1. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia hanyalah kebenaran relatif, serta dalam skala temporal maupun spatial. 2. Kesadaran akan keterbatasan akal manusia pada intrepretasi tersebut menjadikan timbulnya sikap dan perilaku manusia yang tunduk dan patuh pada kehendak Allah SWT. Dengan kata lain adanya 133
Muh. Idris, “Pembaruan Pendidikan Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No. 1 (Juni, 2009), 17.
88
kesadaran bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai manusia adalah berasal sekaligus amanah dari Allah, dan yang menjadi motivasi untuk penerapannya pun dalam rangka pemenuhan amanah tersebut. 3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dengan agama. Dengan demikian jika ditemui pertentangan dalam praktiknya adalah semu belaka, artinya sebagai akibat dari kesalahan atau ketidak mampuan akal manusia dalam intepretasi terhadap ayat kauniyah, kauliyah, atau bahkan keduanya. 4. Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan umum bukan satu-satunya kebenaran, bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi permasalah kehidupan manusia.134 Dari pemaparan tersebut maka sungguh nampak peran penting pendidikan agama bagi sikap mental dan emosional manusia. Dengan kata lain pendidikan agama mampu menjadi solusi bagi kefrustasian manusia dalam menanggulangi problematika kehidupan. Secara grafik maka hubungan antara agama dengan ilmu apabila dielaborasisasikan tergambar pada hubungan berikut ini:135
134
Ahmad Watik Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 93-94. 135 Ibid., 94.
89
Gambar 2.2 Hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan melalui proses intrepretasi ayat-ayat
C. Sistem Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum 1. Materi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum Kurikulum PAI di PTU adalah kelanjutan dari kurikulum PAI pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lebih lanjut kurikulum PAI baiknya dikembangakan berdasarkan masukan dari koordinasi dan saling tukar informasi antar dosen PAI di beberapa perguruan tinggi.136 Sedangkan subtansi kajian pada mata kuliah Pendidikan Agama yang harus diajarkan oleh dosen dan hendaknya dikuasai oleh mahasiswa setidak-tidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut ini: a. Tuhan Yang Maha Esan dan Ketuhanan - Keimanan dan ketaqwaan - Filsafat ketuhanan (Teologi) b. Manusia - Hakikat manusia - Martabat manusia - Tanggungjawab manusia 136
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 34.
90
c. Hukum - Menumbuhkan kesadaran untuk taat hukum Tuhan - Fungsi profetik agama dalam hokum d. Moral - Agama sebagai sumber moral - Akhlak mulia dalam kehidupan e. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni - Iman, ipteks, dan amal sebagai kesatuan - Kewajiban menuntut dan mengamalkan ilmu - Tanggungjawab ilmuwan dan seniman f. Kerukunan antar umat beragama - Agama merupakan rahmat Tuhan bagi semua - Kebersamaan dalam pluralitas beragama g. Masyarakat - Masyarakat beradab dan sejahtera - Peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat beradab dan sejahtera - Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi h. Budaya - Budaya akademik - Etos kerja, sikap terbuka, dan adil i. Politik - Kontribusi agama dalam kehidupan berpolitik - Peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa137
Dari penjelasan di atas maka pada proses internaliasasi nilai-nilai agama yang bersifat universal pada mata kuliah PAI di PTU harus ada daya dukung terhadap kerukunan umat beragama. Dengan demikian pada wilayah pengimplementasian pembelajaran digunakan pendekatan multikultural, sedang materi atau kurikulumnya diubahsesuaikan dengan kearifan lokal yang cocok dengan masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena 137
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Pasal 4 (1).
91
itu PAI sejatinya selain dapat menjadi pemberi kepuasan batin dan sosial bagi pemeluknya juga dalam konteks kemajemukan masyarakat mampu tampil sebagai penyejuk di tengah komunitas yang prular. Dengan kata lain agama berfungsi sebagai perekat persaudaraan dan kerukunan di antara umat beragama.138 Selain itu pengembangan materi pembelajaran PAI di PTU harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku secara universal maupun sempit, diantaranya adalah landasan agama, landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan historis. Lebih spesifik tujuan khusus mata kuliah PAI di PTU adalah untuk pembentukan manusia taqwa yang patuh pada Allah SWT dalam pengimplementasian ibadah dengan titik tekan pada pembinaan kepribadian muslim, yakni pembinaan akhlakul karimah serta mampu dalam pengaplikasian nilai-nilai ajaran Islam dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.139 Hal ini sesuai dengan struktur kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia yang telah menjadi pemberi fasilitas mahasiswa dalam pemilihan bidang ilmu yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Artinya kemampuan mahasiswa termanifestasi ke dalam sejumlah program studi yang ditetapkan dan disediakan oleh perguruan tinggi sesuai dengan kurikulum nasional. Selain itu kurikulum nasional juga berisi penetapan mata kuliah agama adalah salah satu mata kuliah wajib yang harus diberikan pada seluruh mahisiswa pada perguruan tinggi. Hal ini secara tidak langsung
138
Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,” 176-177. “Pertemuan 1: Pendahuluan,” Esa Unggul, http:// ueu6448.blog.esaunggul.ac.id/2012/08/04/pertemuan-1-pendahuluan/, 4 Agustu 2012, diakses tanggal 31 Januari 2013. 139
92
nampak dikehendaki terwujudnya mahasiswa yang mampu dalam penguasan iptek sekaligus secara bersamaan diserapkan ajaran-ajaran Islam yang dilandaskan pada ketaqwaan dan keimanan pada Allah SWT. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peningkatan kualitas materi PAI di PTU adalah kebutuhan yang senantiasa disesuikan dengan tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam era globalisasi.140 Pernyataan
di
atas
sejalan menurut
pemaparan
Muhaimin,
hendaknya dosen menitiktekankan masalah keimanan kepada Allas SWT sebagai inti dalam pengembangan isi atau materi PAI di PTU. Pembelajaran yang tidak dititiktekankan pada keimanan berakibat pada lemahnya keimanan mahasiswa sehingga menimbulkan krisis multidemensional bangsa.141 Misalnya pada akhir-akhir ini di media massa sedang marakmaraknya pencabulan guru oleh muridnya, maraknya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), keterlibatan mahasiswa perempuan di pusaran kasus koruptor, dan pejabat atau pemimpin yang tidak memiliki semangat untuk menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Padahal pada umumnya profesi tersebut berasal dari lulusan PTU, namun data-data ini bukan berarti bisa menjadi pengambing hitaman bagi kegagalan PAI di PTU. Alasannya adalah karena kegagalan PAI di PTU disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah minimnya fasilitas pembelajaran PAI seperti buku PAI serta laboratorium PAI dan kesempatan dosen PAI dalam pengembangan
140
Brodjonegoro, “Strategi Kebijakan Pembinaan,” 11. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali, 2012), x. 141
93
serta aktualisasi masih ditekan (tidak diprioritaskan).142 Lebih detail dijelaskan oleh Oemar Hamalik tentang sistem pembelajaran yang efisien dan efektif di perguruan tinggi ditentukan oleh kadar perilaku awal para mahasiswanya, kualifikasi dosen, program pendidikan, sumber material, sumber pembiayaan, dan dukungan sosial budaya masyarakat. Ditekankan pula bahwa kunci utama keberhasilahan dalam sistem pembelajaran dalam sebuah mata kuliah adalah keseriusan mahasiswanya dalam berkuliah.143 Oleh karena itu materi atau kurikulum pembelajaran PAI di PTU harus dikembangan berdasarkan pada pemerhatian situasi, latar belakang kebutuhan mahasiswa, dan situasi serta kondisi pelaksanaan PAI. Dengan pendekatan kontekstual seperti penjelasan sebelumnya maka pengembangan materi dan proses yang tidak hanya pada pemberian gambaran utuh tentang ajara Islam yang dianut mahasiswa tapi juga pencerminan kebutuhan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, serta adanya pengasahan kepekaan mahasiswa terhadap masalah aktual di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.144 Sebagaimana ruang lingkup materi PAI di PTU menurut Aminuddin, dkk. secara garis besar mencakup ajaran-ajaran Islam yang utuh, menyeluruh, dan punya totalitas yang terdiri atas akidah, syariah, dan
142
Soedarto, “Tantangan, Kekuatan, dan Kelemahan Penyelenggaraan PAI di PTU dalam menghadapai Globalisasi Informasi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 75. 143 Oemar Hamalik, Manajemen Belajar di Perguruan Tinggi: Pendekatan Sistem Kredit Semester (SKS) (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), 6. 144 Rochmat Wahab, “Pembelajaran PAI di PTU; Strategi Pengembangan Kegiatan Kokuler dan Ekstra Kurikuler,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 169.
94
akhlak. Secara skematis ruang lingkup ajaran Islam yang tertuang dalam materi PAI di perguruan tinggi umum dapat dijelaskan sebagai berikut:145 Islam
Akidah (iman) Rukun Iman
Akhlak (Ikhsan)
Syariah (islam) Kepada Allah Ibadah Khusus Rukun Islam
Muamalah Hukum Publik
Kepada Mahluk-Nya
Manusia
Hukum Perdata
Biotik dan Abiotik
Gambar 2.3 Skema Ruang Lingkup Materi PAI di PTU
2. Kompetensi Mahasiswa yang Diharapkan setelah Mengikuti Mata Kuliah PAI di PTU Secara institusional tujuan pendidikan dan pengajaran PAI di PTU meliputi pertama kognitif berisi tentang pengetahuan, pemahaman, dan pengertian tentang akidah dan syariah Islam (Q.S al-Tawbah: 122). Kedua psikomotorik bermuatan pengamalan, penghayatan, dan keyakinan pada syari‟ah Islam baik ibadah maupun muamalah sehingga ia mampu berzikir pada Allah dan bertafakur tentang ciptaan-Nya (Q.S ali Imran: 190-191). Ketiga merupakan Afektif yang terdiri dari
pembudayaan diri dan
lingkungannya dengan nilai-nilai Islam (Q.S. al Baqarah 138 dan Q.S ali Imran: 110). Dan tujuan keempat adalah menjadi sarjana muslim yang
145
Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam, 15.
95
mampu dalam pengamalan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan ajaran Islam (Q.S Ibrahim: 24-27).146 Sedang secara umum kemampuan mahasiswa yang harus tercapai setelah ikut serta pada mata Kuiah PAI diantaranya meliputi kemampuan literasi, numerasi, pemahaman perkembangan sejarah, pengertian terhadap pluralitas, kedewasaan moral, kedewasaan estetika, pemahaman terhadap proses pencarian kebenaran, dan kelapangan dada terhadap perbedaan penemuan
ilmu
pengetahuan
teknologi.
Dengan
demikian
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan mahasiswa perlu disertai nilai kepercayaan pada kemahakuasaan Tuhan supaya ia tidak sombong dan merasa unggul setelah kemudian berhasil menjadi ilmuwan atau menjadi penemu.147 Oleh karena itu dengan adanya PAI salah satunya berfungsi supaya mahasiswa mampu dalam pengatasan dan pengendalian emosi serta kehendak ketika mereka berhasil dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan umum berupa terciptanya produk-produk IPTEK. Pelaksanaan pembelajaran PAI di PTU tidak hanya dijalankan untuk pemenuhan kewajiban penyelenggaraan perkuliahan saja namun juga memiliki visi dan misi. Visi PAI di PTU adalah “menjadikan agama sebagai sumber nilai dan pedoman berperilaku mahasiswa dalam menekuni disiplin ilmu yang dipilihnya.” Sedangkan misinya adalah pemberi motivasi mahasiswa dalam pengamalan nilai-nilai agama untuk produktifitas dan
146
Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142. 147 Ibid., 82.
96
pemanfaatan IPTEK.148 Bisa dikatakan PAI di PTU tidak hanya berperan pada pecerdasan mahasiswa dalam beragama secara teoritis dan praktis namun juga pendorong mahasiswa untuk pengembangan ilmu pegetahuan umum beserta produk-produknya. Bisa dikatakan fungsi PAI di PTU adalah sebagai penyokong mata kuliah lain yaitu sebagai pembentuk mental, kepribadian, dan inspirasi bagi mahasiswa dalam pengembangan materimateri mata kuliah umum tersebut. Dengan kata lain diharapkan mahasiswa berkompetensi dalam ilmu pengetahuan umum yang didasarkan pada sumber nilai dan pedoman ajaran agama Islam. Memang tidak mungkin keilmuan bisa dikuasai dalam semua bidang-bidangnya oleh
seseorang secara utuh dalam waktu bersamaan.
Namun secara hakiki PAI bisa dijadikan pendorong terhadap munculnya penemuan-penemuan yang sangat diperlukan untuk pemecahan sebagaian dari persoalan dunia.149 Dengan kata lain muatan kompetensi dalam PAI sangat dihargai bahkan menjadi pendorong untuk tejradinya perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana yang tertuang pada SK no. 34/2006 Dirjen Dikti dalam pasal 3 ayat 2 poin (a) diterangkan tentang pendidikan agama di perguruan tinggi harus punya kompetensi dasar sebagaimana rumusan berikut yaitu lulusan atau mahasiswa harus “menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
148
Sudrajat, Din-al-Islam Pendidikan Agama, iv. Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 83. 149
97
berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.”150 Idealnya mahasiswa yang ikut dalam mata kuliah PAI punya bekal minimal dan standar yang ditentukan oleh lembaga perguruan tinggi yang bersangkutan, serta siap dihadapkan pada pemikiran-pemikiran kritis yang tidak emosional. Oleh karena itu mahasiswa dituntut mampu dalam pembedaan antara ajaran Islam yang dihasilkan dari penafsiran dengan ajaran atau pemikiran agama yang murni tanpa penafsiran. Namun pada kenyataannya banyak ditemui di PTU tentang sejumlah mahasiswa yang punya kesiapan dan kemampuan agama Islam tersebar secara tidak merata. Dengan kata lain ada mahasiswa yang punya kemampuan unggul dalam agama Islam, namun ada pula yang nyaris buta dalam ajaran agama.151 Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan PAI tidak hanya berkutat pada pengetahuan atau wawasan ilmu agama namun juga sebagai pemberi kontribusi bagi mahasiswa menjadi ilmuwan profesional yang agamis. Pernyataan tersebut didukung oleh Zainul Muhibbin, dkk. diterangkan PAI di PTU diharapkan mampu dalam penciptaan lulusan dengan kualifikasi sebagai berikut: a. Manusia yang unggul secara intelektual; penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat.
150
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. 151 Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 33-34.
98
b. Manusia yang anggun secara moral; punya nilai-nilai religius, etika, moral, dan estetika yang berguna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat di mana ia tinggal. c. Berkompeten; penguasaan ilmu pengetahuan umum dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan zaman. d. Memiliki komitmen tinggi bagi berbagai peran sosial kemanusiaan.152
3. Strategi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum Stertegi pembelajaran adalah perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk pencapaian tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain strategi digunakan untuk diperolehnya kesuksesan atau keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Sedangkan metode adalah upaya pengimplementasian rencana yang sudah disusun dalam kegiatan yang nyata agar tujuan yang disusun tercapai secara optimal. Dengan demikian metode digunakan untuk perealisasiaan strategi
yang telah
ditentukan. Artinya bisa terjadi pada satu stertegi pembelajaran digunakan beberapa metode misalnya ceramah, tanya jawab, diskusi dll.153 Sedangkan Made Wena fokus dalam penitiktekanan strategi pembelajaran pada „cara‟, yaitu cara-cara yang berbeda untuk pencapaian hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda
pula.
Secara
detail
menurutnya
strategi
pembelajaran
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: 152
Zainul Muhibbin, Pendidikan Agama Islam: Membangun Karakter Madani (Surabaya, ITS Prress, 2012), 6-7. 153 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi: Standar Proses Pendidikan (Jakarta:Kencana, 2011), 126.
99
1. Strategi pengorganisasian (organizational strategy), yaitu cara untuk menata isi suatu bidang studi, dan kegiatan ini berhubungan dengan tindakan pemilihan isi/materi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan semacamnya. 2. Strategi penyampaian (delivery strategy), adalah cara penyampaian pembelajaran pada mahasiswa dalam menerima serta merespon masukan dari mahasiswa. 3. Strategi pengelolaan (management strategy), yakni cara dalam penataan interaksi antara siswa dengan variabel strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian. Ini berarti strategi pengelolaan berhubungan dengan pemilihan tentang dua strategi tersebut yang mana harus digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Misalnya dilakukan penjadwalan, kontrol pembelajaran, pembuatan catatan kemajuan belajar, dan motivasi.154 Penggunaan strategi pembelajaran sangat penting sekali baik bagi dosen maupun mahasiswa. Bagi pendidik strategi dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam bertindak secara sistematis. Sedang bagi mahasiswa sebagai pemermudah dan pemercepatan mahasiswa untuk paham tentang isi atau materi pembelajaran yang telah disampaikan sehingga dapat dikatakan setiap strategi pembelajaran dirancang sebagai pemermudah proses pembelajaran oleh mahasiswa.155 Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan strategi pembelajaran PAI merupakan cara dalam perencanaan 154
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 5-6. 155 Ibid., 3.
100
pembelajaran PAI yang dilandaskan padan sumber-sumber agama Islam agar tercapai pembelajaran PAI yang mampu sebagai penarik, penggugah mahasiswa untuk mempelajarinya, dan agar tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Dengan demikian segala strategi bisa digunakan disertai berbagai inovasi pembelajaran dengan berbagai bentuk strategi pembelajaran asal sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Dengan kata lain strategi pembelajaran Agama Islam tidak lagi relevan dengan jenis strategi yang menjaga kemandekan inovasi PAI di perguruan tinggi umum. Pada konsep ideal seharusnya materi perkuliahan agama Islam juga bersentuhan dengan aspek rasional yang dikaitkan erat relevansinya pada kebutuhan-kebutuhan modernitas yang menjadi konsekuen bersama. Namun pada kenyataannya materi agama Islam masih lebih banyak menyentuh sapek tradisional yang dogmatis dan aspek ritualnya saja sehingga kehadiran mata kuliah PAI menjadi kajian membosankan, tidak hidup, dan tidak menantang. Padahal hasil atau kompetensi yang dicapai dari aspek tradisional tersebut tidak dapat dinilai atau dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan, namun hanya dapat dijelaskan dengan perbuatan dan amalan. Selain itu materi PAI di PTU dengan 2 SKS pada umumnya dianggap terlalu minim dan tidak mencukupi sehingga dosen dipaksa untuk cerdas dalam pemilihan aspek materi agama, metodologi, dan mantap dalam pengamalannya.156
156
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 31.
101
Lebih gamblang sebagaimana sikap kritis Muhaimin tentang sistem pembelajaran PAI di lembaga pendidikan umum yang mana masih terdapat titik lemah terletak pada komponen metodologinya. Kelemahan tersebut teridentifikasi yang meliputi kurang bisa diubahnya pengetahuan agama yang kognitif menjadi „makna‟ dan “nilai”, kurang bekerja sama dan berjalan bersama dengan program-program pendidikan non agama, dan kurang adanya relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya. 157 Dengan demikian dapat disimpulkan pembelajaran PAI dipandang masih kering dengan makna, tidak membumi dengan ilmu pengetahuan, dan tidak kontekstual dengan kondisi masyarakat. Padahal sebagaimana pada penjelasan sebelumnya sesungguhnya ruang lingkup pembelajaran PAI itu sangat luas, tidak boleh diambil secara parsial, dan harus dijabarkan secara umum terlebih dahulu. Sedang pada strategi penangan mahasiswanya biasanya pada awal kuliah mahasiswa merasa bingung karena belum pernah tahu materi apa yang akan diajarkan atau bahkan sebaliknya mata kuliah PAI diremehkan karena beberapa faktor. Untuk pencegahan terhadap keraguan dan kebutaan mahasiswa tentang peta perjalanan mata kuliah PAI dari awal hingga akhir semester maka lebih baik dosen aktif dalam pendalaman serta penggalian seberapa besar pengetahuan mahasiswa tentang PAI dengan digunakan strategi pembelajaran critical incident (pengalaman penting) dengan cara
157
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 27.
102
mahasiswa dilibatkan untuk berbicara tentang pengalaman pribadinya berkaitan dengan mata kuliah PAI.158 Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat disimpulkan suatu bahan ajar atau materi bisa mudah dipahami dan masuk dalam struktur kognitif apabila terkandung makna dan terkait dengan apa yang ada dalam struktur kognitif mahasiswa. Namun pada kenyataannya sturktur kognitif tiap mahasiswa tidak sama, tergantung pada pengalaman yang dilihat dan dipelajarinya. Oleh karena itu penyampaian materi PAI harus terkait dengan pengetahuan yang dimiliki mahasiswa. Dalam ini bisa berakibat mahasiswa lebih senang pada mata kuliah agama yang selalu dikaitkan dengan bidang studinya (sesui prodi). Maka perlu dibutuhkan pendekatan kontekstual, walaupun pendekatan ini diperlukan dosen PAI yang punya wawasan dalam bidang studi (prodi) yang diminati mahasiswa. Masalah ini bisa diminimalisir dengan penempuhan atau pengadaan pelatihan bagi dosen PAI.159
4. Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum Menurut Oemar Hamalik evaluasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen masukan, proses, dan produk. Di mana komponen masukan terdiri dari beberapa aspek yaitu mahasiswa yang dinilai, perlengkapan instrumen yang digunakan dalam penilaian, biaya yang disediakan, dan informasi tentang mahasiswa. Sedang komponen 158
Zaini, dkk. Strategi Pembelajaran Aktif, 2. Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 181. 159
103
proses meliputi program penilaian, prosedur dan teknik penilaian, teknik penganalisaan data, dan kriteria penentuaan kelulusan. Dan komponen produk merupakan hasil-hasil penilaian yang berguna untuk pembuatan keputusan dan sebagai bahan balikan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem penilaian atau evaluasi merupakan komponen atau bagian terpenting dari sistem pembelajaran. Oleh karena itu, pengadaan evaluasi merupakan keharusan untuk dilaksanakan hal ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang proses pembelajaran maupun keberhasilan studi para mahasiswa. Sedang tujuan dari diadakannya evaluasi adalah sebagai pegidentifikasian apakah mahasiswa sudah mampu dalam pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan bahan yang disajikan dalam mata kuliah. Selain itu sebagai dasar atau acuan pengelompokan mahasiswa ke dalam beberapa kriteria atau tingkatan prestasi belajarnya. Dan tujuan evaluasi bagi dosen adalah untuk diketahui derajat kesesuaian antara bahan mata kuliah yang disajikan dengan cara penyajiannya.160 Pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan ranah afektif dan psikomotorik. Artinya mata kuliah PAI diharapkan mampu diaktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel) dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam penjelasan praktik ibadah serta hukum-
160
Hamalik, Manajemen Belajar di, 148-149.
104
hukum dalam agama, dan mampu dalam beretorika keagamaan. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran Surat as Shaf: “wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”161 Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 diterangkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dalam rangka sebagai pemantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil proses pembelajaran peserta didik secara berkesinambungan.162
Namun
pada kenyataannya menurut Muhaimin selama ini pendidik PAI lebih diprioritaskan model evaluasi acuan yang normatif serta evaluasi yang diacukan pada patokan atau berdasarkan kriteria dari pada evaluasi yang didasarkan pada etik. Dengan asumsi bahwa pendidikan agama tidak hanya berkutat pada penilaian tentang hafalan-hafalan tentang sejarah Islam, hafalan kitab-kitab dan ayat, kemampuan pelaksanaan ibadah, dan kemampuan dalam penjelasan kembali tentang ajaran-ajaran (kandungan) Islam baik secara lisan maupun tulisan. Namun hendaknya juga dinilai dari perilaku mahasiswa secara objektif, rutin, dan benar yang ditinjau baik dari perilaku moral, ibadah, dan tutur katanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.163
161
Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,” 38. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. 163 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 53. 162
105
Masih dijelaskan oleh Muhaimin bahwa sebelum diadakan tes atau pengukuran keberhasilan belajar oleh pendidik, maka terlebih dahulu harus dipertimbangkan dulu model evaluasi apa yang cocok dilakukan terhadap materi tertentu. Misalnya jika yang akan dites adalah kemampuan dasar mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah acuan norma/kelompok, namun jika yang akan dites adalah prestasi belajar maka evaluasi yang cocok digunakan adalah acuan patokan (kriteri), dan jika yang akan dites adalah kepribadian mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah evaluasi acuan etik. Yang mana PAI banyak terkait dengan masalah yang terakhir ini,164 karena PAI bukanlah materi kuliah retorika namun materi kuliah aplikatif. Dalam sistem pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum pengujian permata kuliah sebagai bentuk salah satu evaluasi merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa agar diperoleh kelulusan. Sebagaimana menurut Yahya Ganda disampaikan bahwa ujian yang dilakukan permata kuliah untuk diketahuinya tingkat penguasaan mahasiswa telah pada capaian standar akademik atau belum, jika sudah maka bisa dinyatakan lulus mata kuliah tersebut. Oleh karena itu pemberian nilai pada mahasiswa tidak hanya semata-mata terhadap hasil pengerjaan ujian pada lembar kertas ujian saja, namun juga didasarkan pada kehadiran mahasiswa secara kuantitas dan kualitas saat di dalam kelas, karya tulis ilmiah, tugas-tugas yang terprogram,
164
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 53.
106
tugas insidental yang dianggap perlu oleh dosen, dan sikap ilmiah dalam mata kuliah itu. 165 Secara konkrit salah satu cara untuk pengukuruan proses keberhasilan pembelajaran PAI dilakukan penilaian dengan cara mahasiswa ditugaskan dalam pembuatan laporan aktivitas keagamaan di tempat tinggal masing-masing. Sedang untuk komponen-komponen yang dinilai pada saat proses pembelajaran meliputi penyajian makalah, penyampaian gagasan, cara bertanya, cara menjawab, cara pengambilan kesimpulan, keterampilan menjadi moderator, dan keterampilan menjadi notulen. Semua komponen di atas disusun dalam format khusus yang telah disiapkan oleh dosen masingmasing dan diberikan kepada setiap kelompok pada pertemuan pertama.166 Sedang lebih spesifik menurut Zainul Muhibbin terdapat klasifikasi bentukbentuk evaluasi PAI di Perguruan tinggi umum yang meliputi keikutsertaan mahasiswa dalam mentoring, sikap Islam (akhlak) dalam perilaku seharihari, penilaian terhadap pelaksaan tugas-tugas, keaktifan dalam ikut serta kuliah, diskusi, dan presentasi makalah, dan ujian tulis.167 Penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan dengan tes perbuatan dan pengamatan.168
165
Ganda, Petunjuk Praktis Cara, 69-70. Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 35. 167 Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, 10. 168 Lilik Nur Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Surabaya” (Disertasi Doktor, Universitas Negeri Malang, Malang), 58. 166
107
Sejalan dengan penjelasan di atas menurut pendapat Kholidah dalam pembelajaran PAI digunakan pendekatan pembelajaran yang mampu dalam pengakomodiran aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan. Pada domain afektif mahasiswa mampu berperilaku konsisten (ajeg), secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasaian sejumlah nilai yang diwujudkan dalam perilaku, dan kepemilikan terhadap sejumlah perilaku yang menyatu dalam kesatuan kebiasaan. Dan pada domain psikomotorik mahasiswa terampil dalam penggunaan keahliaan secara spontan .169
169
Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran,” 56.