BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sepsis 2.1.1. American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine/SCCM Agustus 1992 Pada bulan Agustus 1992, telah dicapai konsensus yang dihasilkan American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine/SCCM beberapa pengertian tersebut di bawah ini:3,4 1. Infeksi adalah respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme yang secara normal pada jaringan tersebut seharusnya steril. 2. Bakteremia adalah adanya bakteri hidup dalam darah. 3. Sindroma reaksi inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/ SIRS), merupakan reaksi inflamasi massif sebagai akibat dilepasnya berbagai mediator secara sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi organ atau Multiple Organ Dysfunctions (MODS). 4. Sepsis adalah SIRS yang disebabkan oleh infeksi seperti terlihat pada gambar 2.1. 5. Sepsis berat (Severe Sepsis) adalah sepsis disertai disfungsi organ, yaitu kelainan hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan >40 mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa disertai penyebab dari penurunan tekanan darah yang lain). Hipoperfusi atau kelainan perfusi ini meliputi timbulnya asidosis laktat, oligouria atau perubahan akut status mental.
4
6. Syok sepsis mengacu pada kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi arteri persisten yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Hipotensi didefinisikan oleh tekanan sistolik arteri di bawah 90 mmHg, MAP < 60 mmHg, atau pengurangan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg dari baseline, meskipun diberikan resusitasi volume yang adekuat, dengan tidak adanya penyebab lain hipotensi.
Tabel 2.1. Kriteria Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine.3,4 Dua atau lebih dari kriteria berikut dibutuhkan: 1. Suhu tubuh >38°C atau <36°C 2. Laju nadi >90 kali per menit 3. Laju pernapasan >20 kali per menit atau pCO2 <32mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik 4. Leukosit >12.000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% bentuk imatur Sepsis mewakili SIRS yang diinduksi oleh infeksi
Gambar 2.1. Diagram Venn Sepsis.7
5
2.1.2. Konsep PIRO 2001 Pada tahun 2001, konferensi kedua tentang definisi sepsis secara internasional memodifikasi model SIRS dan mengembangkan sebuah pandangan luas mengenai sepsis. Konferensi ini mengembangkan konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah yang disebut sebagai PIRO. Tabel 2.2. Konsep PIRO.4,5 Kriteria P (Predisposisi)
I (Infeksi)
R (Respons)
O (disfungsi Organ)
Klinis
Pemeriksaan Lain
Usia, penyalahgunaan alkohol,
Monitoring
steroid atau terapi imunosupresif
faktor genetik
Spesifik lokasi (eq. pneumonia,
Rontgen,
peritonitis)
bakteriologi
Malaise, suhu, laju napas, laju
Leukosit,
nadi
APTT modifikasi
Tekanan arterial, produksi urin,
PaO2/FiO2,
skor koma Glasgow
bilirubin, trombosit
imunologik,
CT
scan,
CRP,
PCT,
kreatinin,
APTT: Activated partial thromboplastin time; CRP: C-reactive protein; CT: Computed tomography; PCT: Procalcitonin
2.1.3. The Surviving Sepsis Campaign 2004 Pada tahun 2004, muncul The Surviving Sepsis Campaign yang memperjelas kriteria diagnosa dari sepsis. Tabel 2.3.Kriteria Diagnosa Sepsis dan Sepsis Berat Surviving Sepsis Campaign.15 General variables Fever (> 38.3°C) Hypothermia (core temperature < 36°C) Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for age Tachypnea Altered mental status Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)
6
Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes Inflammatory variables Leukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1) Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1) Normal WBC count with greater than 10% immature forms Plasma C-reactive protein more than two sd above the normal value Plasma procalcitonin more than two sd above the normal value Hemodynamic variables Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sd below normal for age) Organ dysfunction variables Arterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300) Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation) Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s) Ileus (absent bowel sounds) Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1) Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L) Tissue perfusion variables Hyperlactatemia (> 1 mmol/L) Decreased capillary refill or mottling Severe Sepsis Sepsis-induced hypotension Lactate above upper limits laboratory normal Urine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitation Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection source Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection source Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L) Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L) Platelet count < 100,000 μL Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)
7
2.1.4. Sepsis-3 2016 Telah banyak penelitian tentang sepsis, namun kita masih belum mencapai pemahaman yang menyeluruh dan akurat tentang sepsis. Hal ini melatarbelakangi adanya konsensus internasional ketiga definisi untuk sepsis dan syok sepsis yang dikenal sebagai “Sepsis-3”, yang dipresentasikan pada acara tahunan SCCM Critical Care Congress 45th di Orlando pada 22 Februari 2016.6 Sepsis-3 lebih meningkatkan pemahaman tentang patobiologi sepsis meliputi perubahan pada fungsi organ, morfologi, biologi sel, biokimia, imunologi, dan sirkulasi. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh disregulassi respon host terhadap infeksi. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis terdapat kelainan sirkulasi, seluler atau metabolik yang cukup mendalam dan meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi melalui klinis sepsis dimana didapatkan hipotensi yang persisten membutuhkan vasopressor untuk menjaga MAP ≥65 mm Hg dan memiliki serum laktat tingkat >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun telah diberikan resusitasi volume yang memadai. Pada keadaan ini, kematian di rumah sakit adalah lebih dari 40%.6 2.1.4.1. SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Filure Assessment) Sistem skoring SOFA pertama kali dikembangkan melalui konsensus konferensi di Paris, Prancis tahun 1994. Pada mulanya sistem skoring ini digunakan untuk menilai pasien sepsis namun telah divalidasi dan dapat digunakan untuk populasi lain. Enam sistem organ ( respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati,sistem saraf pusat, dan koagulasi) dipilih berdasarkan telaah dari literatur, dan setiap fungsi diberi nilai dari 0 (fungsi normal) hingga 4 (sangat abnormal), yang memberikan
8
kemungkinan nilai dari 0 sampai 24. Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada hari pertama saja, namun dapat dinilai harian dengan mengambil nilai yang terburuk pada hari tersebut. Variabel paremeter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ. Perubahan pada skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. Pada studi prospektif dari 352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA selama 48 jam pertama perawatan memberikan mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA memberikan mortalitas hanya 27%.Tujuan utama dari skoring kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarkan urutan dari komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan antara kegagalan fungsi organ dan kematian.6 Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor total SOFA
(Sequential (Sepsis-related) Organ
Filure
Assessment) ≥2
sebagai
konsekuensi dari adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskular, central nervous system, dan ginjal yang masingmasing memiliki gradasi nilai 0 sampai 4. Dasar penentuan skor SOFA dasar nilai nol diasumsikan bahwa pada pasien yang tidak diketahui memiliki disfungsi organ sebelumnya. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko kematian 10% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi.6
9
Tabel 2.4.The Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) score.6 SOFA score
1
2
3
4
PaO2/FIO2 (mm Hg)
<400
<300
<220
<100
SaO2/FIO2
221-301
142-220
67-141
<67
<150
<100
<50
<20
1.2-1.9
2.0-5.9
6.0-11.9
>12.0
MAP <70
Dopamine ≤5 Dopamine >5 or Dopamine
Respirationa
Coagulation Platelets ×103/mm3 Liver Bilirubin (mg/dL) Cardiovascularb Hypotension
>15
or
norepinephrine norepinephrine >0.1
dobutamine
≤0.1
10-12
6-9
2.0-3.4
3.5-4.9 or <500 >5.0 or <200
CNS Glasgow Coma Score
13-14
<6
Renal Creatinine
(mg/dL)
or 1.2-1.9
or
urine output (mL/d)
2.1.4.2. qSOFA (quickSOFA) Pada Sepsis-3 juga direkomendasikan penggunaan qSOFA (quick SOFA) untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan dan dan memprediksi lama pasien dirawat baik pasien di ICU atau non ICU. Pasien-pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat 2 atau lebih dari 3 kriteria klinis: perubahan status mental (GCS<15), kecepatan pernapasan ≥22 kali/menit, dan tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg. Untuk mendeteksi apakah
10
pasien akan memiliki kecenderungan mengalami sepsis dapat dilakukan uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA seperti pada gambar 2.2.6
Gambar 2.2. Kriteria Klinis Pasien Sepsis dan Syok Septik.6
2.1.4.3. Perbedaan SOFA, SAPS III (Simplified Acute Physiology Score), APACHE IV ( Acute Physiology and Chronic Health Evaluation IV), dan qSOFA Tabel 2.5. Perbedaan SOFA, SAPS III, APACHE IV dan qSOFA.5,6,70 Kriteria Tahun
Dasar
SOFA 1994
Derajat beratnya disfungsi organ berhubungan dengan derajat beratnya penyakit
SAPS III 2000 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit pasien: 1.FIsiologis pasien 2.Latar belakang penyakit kronis 3.Latar belakang perawatan pasien
11
APACHE IV 2006 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit pasien: 1.FIsiologis pasien 2.Latar belakang penyakit kronis 3.Latar belakang perawatan pasien 4.Diagnosa saat MRS
qSOFA 2016 Pasien-pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat 2 atau lebih dari 3 kriteria klinis: perubahan status mental (GCS<15), kecepatan pernapasan ≥22 kali/menit,
Skor didefinisikan (0-4) untuk masing-masing enam sistem organ 1. Pernafasan 2. Kardiovaskuler 3. CNS 4. Ginjal 5. Faktor koagulasi 6. Hati Skor
Total Skor : 0-24
Jumlah variabel
Interpretasi
6 Total Skor 0-6 7-9 1012 1314 15 1524
Usia, lama dirawat di ICU, indikasi masuk IC, pernah dilakukan oprasi sebelum masuk ICU, adanya indikasi operasi kegawatdarurata n, latar belakang penyakit, tempat dirawat sebelum masuk ICU, terapi utama sebelum masuk ICU (pemberian vasoaktif), rencana masuk ICU terprogram/tidak , adanya infeksi akut saat masuk ICU, GCS, total bilirubin serum, suhu tubuh, kreatinin serum, lekosit darah, trombosit darah, tekanan darah sistolik, denyut jantung, pH darah, saturasi oksigen. Total skor : 0217
20 Angka Total Kematian (%)Skor <10 4 15-20 5-6 40-50 7-8 50-60 9-10 11>80 12 >90 1314
Angka Kematia n (%) 10.7 13.3 19.4 24.7 30.7
12
dan tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg. -
1.Kondisi fisik pasien 2.Latar belakang penyakit kronis (penyakit jantung, sirosis hati, keganasan, limfoma, gagal ginjal kronis, leukemia, AIDS, pemakaian obat imunosupresan). 3.Latar belakang perawaatan pasien (pernah menjalani perawatan ICU, perawatan di RS lain sebelumnya, sering dirawat di RS, menjalani oprasi kegawatdaruratan ) 4.Diagnosa saat MRS Total skor : 0 – 286
142 Total Skor 0-4 5-9 1014 1519 2024
3 Angka Kematian (%) 4 8 15 25 40
Total Angka Skor Kematia n (%) >1 10%
Waktu dalam melakukan pengukuran
Pengukuran harian selama dirawat di ICU
Outcome pada pasien
Respon terapi terhadap disfungsi organ terapi dapat diikuti dari waktu ke waktu
Sensitivitas Spesivisitas
86.9% 79.2%
1532.1 16 1744.2 18 1950.2 20 >20 81.1 Pengukuran di 1 jam pertama masuk ICU Tidak mungkin untuk memprediksi hasil pasien individu atau respon terhadap terapi
85% 72.2%
2529 3034 >34
55 75 80
Pengukuran di 24 jam pertama masuk ICU
Tidak mungkin untuk memprediksi hasil pasien individu atau respon terhadap terapi
83.2% 74%
Pengukuran di awal pasien MRS Metode yang cepat dan sederhana untuk mengidentifikas i pasien yang terinfeksi di luar ICU dan memilki kemungkinan terjadi sepsis 55% 84%
2.2. Epidemiologi Studi oleh Martin et al pada tahun 2005 memperkirakan insidens sepsis di Amerika Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al tahun 2014 melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000 orang. Insidens diproyeksikan meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Laju mortalitas yang dilaporkan pada studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai 28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang lebih 750.000 episode baru untuk sepsis berat, dengan mortalitas tahunan berkisar 220.000 (29%) di AS.1,2 Sepsis yang terjadi paska operasi, saat ini juga sedang mendapat perhatian khusus. Insidensnya semakin meningkat, akibat para ahli bedah
13
semakin berani melakukan intervensi pada pasien pasien usia tua atau terhadap pasien pasien dengan komorbid resiko tinggi, atau melakukan operasi operasi ekstensif yang dahulu tidak bisa dilakukan namun karena kemajuan dalam teknik bedah saat ini bisa dilakukan sehingga pasien pasien ini menjadi rentan untuk terjadinya sepsis. Meski ditemukan peningkatan angka insidens sepsis post operatif, namun angka kematian sepsis post operasi justru menurun bermakna yaitu dari 37,9% menjadi 29,8%. Hal ini dikarenakan mulai dikenalnya definisi dan kriteria sepsis sejak tahun 1991, dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya panduan sepsis Surviving Sepsis Campaign tahun 2004.1
14
2.3. Etiologi Sepsis dapat terjadi akibat respon dari setiap kelas mikroorganisme baik bakteri, virus, jamur, maupun parasit yang menginvasi aliran darah dan melakukan penyebaran secara lokal maupun sistemik. Dari seluruh kasus, bakteri memegang presentasi terbanyak penyebab sepsis, dengan jenis Gram-positif sebanyak 3050%, bakteri gram-negatif sebanyak 25-30%, polimikroba sebanyak 11-19%, serta 1 - 4% adalah jamur, virus dan parasite, seperti tampak pada gambar 2.3.11
Gambar 2.3. Etiologi Sepsis.11
2.3.1. Bakteri Gram Negatif Bakteri gram negatif mempunyai lapisan LPS atau endotoksin pada dinding luar bakteri. Lapisan LPS tersebut terdiri dari 3 struktur, yaitu : 1. Polisakarida yang terdiri dari rantai O 2. Lapisan tengah yang terdiri dari lapisan luar dan dalam 3. Lapisan lipid A
15
LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dan LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.12 Lapisan lipid A merupakan lapisan terpenting yang berperan dalam toksisitas endotoksin. Pada bakteri gram negatif mempunyai kemiripan pada struktur lapisan tengah dan lipid A tetapi berbeda pada rantai spesifik O. Berikut adalah beberapa bakteri Gram-negatif yang sering menyebabkan sepsis :12 - Pseudomonas aeruginosa; bersifat invasif dan toksigenik, mengakibatkan infeksi pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, dan merupakan patogen nosokomial yang penting. Pseudomonas aeruginosa sering ada dalam jumlah sedikit pada flora normal usus dan kulit manusia dan merupakan pathogen dari kelompok kuman-kuman Pseudomonas. - Escherchia coli; menghasilkan tes positif terhadap indole, lisin dekarboksilase, dan memfermentasi manitol serta menghasilkan gas dari glukosa. Escherchia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam usus. Pathogen ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, diare, sepsis, meningitis. - Klebsiella pneumoniae; menunjukkan pertumbuhan mucoid, kapsul polisakarida yang besar, dan tidak motil. Klebsiella biasanya memberikan hasil tes yang positif untuk lisin dekarboksilase, sitrat dan reaksi Voges-Proskauer. Klebsiella pneumonia berada dalam sistem pernapasan dan tinja lebih dari 5% individu normal. Patogen ini dapat menimbulkan konsolidasi hemorraghic intensif pada paru-paru. Kadang-kadang
16
menyebabkan infeksi saluran kemih dan bakteremia dengan luka yang melemahkan pasien. 2.3.2. Bakteri Gram Positif Pada bakteri gram positif, yang berperan dalam kejadian sepsis adalah eksotoksin yang terdapat pada fragmen dinding sel bakteri gram positif yaitu lapisan peptidoglikan dan lipoteichoid acid (LTA). Keduanya akan menginduksi pembentukan nitrit oxide (NO), syok dan kegagalan organ.13 Berikut adalah beberapa bakteri Gram positif yang sering menyebabkan sepsis : - Staphylococcus; berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk bergerombol yang tidak teratur seperti anggur. Beberapa spesien merupakan flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia; yang lain menyebabkan supurasi dan bahkan septikemia berat. Staphylococcus yang pathogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan enzim ekstraseluler dan toksin yang stabil terhadap panas. - Streptococcus β haemoliticus; berbentuk bulat yang mempunyai karakteristik yang dapat membentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Streptococcus yang jenis hemolisisnya beta terdiri dari Streptococcus pyogenes, S. agalactiae dan S. anginosus. Habitatnya di kerongkongan, kulit, saluran genitalia wanita, dan usus besar. Keman-kuman tersebut dapat menimbulkan faringitis, impertigo, demam rematik, glomerulonefritis, sepsis, meningitis, infeksi piogenik dan abses otak. - Enterococcus spp; penyebab paling sering dari infeksi nosokomial, khususnya dalam unit perawatan intensif. Enterococcus biasanya menyebabkan meningitis. Tempattempat yang paling sering terjadi infeksi adalah saluran kemih, luka, saluran biliary
17
dan darah. Pada orang dewasa Enterococcus sering menyebabkan endokarditis. Angka kematian penderita sepsis dengan endotoksemia (41,17%) lebih tinggi dibandingkan tanpa endotoksemia (12,5%). Walaupun secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna. Jenis kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif (55,26%) diikuti gram positif (39,47%) dan jamur atau sel ragi (5,26%).1 - Mycobacterium tuberculosis; jarang menjadi penyebab sepsis akan tetapi angka mortalitasnya cukup tinggi dibandingkan infeksi bakteri lainnya. Infeksi MTB adalah penyebab utama kematian di negara-negara berkembang. Namun, diperkirakan insiden dan angka kematian akibat TB di Amerika Serikat, Kanada, dan Arab Saudi (3.6, 4.7, dan 32-64 per 100.000 dan 0.2, 0.2, dan 0.9 per 100.000 penduduk) yang jauh lebih rendah daripada banyakdaerah lain di dunia.72 Strain virulen mikobakteri masuk ke dalam endosom makrofag diperantarai reseptor manosa makrofag yang mengenali glikolipid berselubung manosa di dinding sel tuberkular. Setelah itu, organisme dapat menghambat respon mikrobisida normal dengan memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan endosom. Dengan
terganggunya
pembentukan fagolisosom
efektif, mikobakteri dapat
berproliferasi tanpa gangguan. Polimorfisme pada gen NRAMP1 (natural resistanceassociated machrophage protein-1) dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insiden tuberkulosis. Dipostulasikan bahwa variasi genotipe NRAMP1 tersebut menurunkan fungsi mikrobisida. 73 Berdasarkan proses di atas, fase dini TB primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara sehingga terjadi bakterimia dan penyebaran ke
18
berbagai tempat. Namun, pada tahap ini kebanyakan masih asimptomatik atau mengalami gejala mirip flu.72 Imunitas seluler umumnya muncul dalam 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium diproses kemudian mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel T H0 CD4+ uncommited yang memiliki reseptor sel Tαβ. Selanjutnya, sel tersebut akan mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 dengan bantuan IL-12. IL12 itu sendiri dihasilkan oleh makrofag yang menampilkan antigen M.tuberculosis tersebut.72 Subtipe TH1 tersebut dapat mengeluarkan TNF-γ yang penting untuk mengaktifkan makrofag. Selanjutnya, makrofag akan mengeluarkan mediator seperti TNF (yang berperan untuk merekrut monosit) dan IFN-γ yang bersama TNF akan mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS). Monosit nantinya akan mengalami pengaktifan dan differensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai respon granulomatosa. Sementara itu, iNOS akan menyebabkan peningkatan nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada beberapa konstituen mikobakteri dari dinding sel sampai DNA.72-73 Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik CD8+ yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi tuberkulosis. Selain sel Tαβ, ada juga sel Tγδ yang tidak hanya mengeluarkan IFN-γ tetapi juga sebagai sel efektor sitotoksik.73
19
2.3.3. Virus Virus yang sering menyebabkan sepsis adalah Haemophilus influenza terutama tipe A dan B.56 Kematian influenza dapat terjadi karena pneumonia dan juga eksaserbasi kardiopulmoner serta penyakit kronis lainnya. Penelitian di Amerika dari 19 musim influenza diperkirakan kematian yang berkaitan influenza kurang lebih 30 hingga lebih dari 150 kematian / 100.000 penderita dengan usia > 65 tahun. Lebih dari 90% kematian yang disebabkan oleh pneumonia dan influenza terjadi pada penderita usia lanjut.58 Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixasion test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dari tipe A dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomixovirus golongan RNA dan berdasarkan namanya sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.59 Struktur antigenik virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama berupa: antigen S (atau soluble antigen), hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S merupakan suatu inti partikel virus yang terdiri atas ribonukleoprotein. Antigen ini spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin menonjol keluar dari selubung virus dan memegang peran pada imunitas terhadap virus. Neuramidase juga menonjol keluar dari selubung virus dan hanya memegang peran yang minim pada imunitas. Selubung inti virus berlapis matriks protein sebelah dalam dan membran lemak disebelah luarnya.59
20
Salah satu ciri penting dari virus influenza adalah kemampuannya untuk mengubah antigen permukaannya (H dan N) baik secara cepat atau mendadak maupun lambat. Peristiwa terjadinya perubahan besar dari struktur antigen permukaan yang terjadi secara singkat disebut antigenic shift. Bila perubahan antigen permukaan yang terjadi hanya sedikit, disebut antigenic drift. Antigenic shift hanya terjadi pada virus influenza A dan antigenic drift hanya terjadi pada virus influenza B, sedangkan virus influenza C relatif stabil. Teori yang mendasari terjadinya antigenic shift adalah adanya penyusunan kembali dari gen-gen pada H dan N diantara human dan avian influenza virus melalui perantara host ketiga. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa adanya proses antigenic shift akan memungkinkan terbentuknya virus yang lebih ganas, sehingga keadaan ini menyebabkan terjadinya infeksi sistemik yang berat karena sistem imun host baik seluler maupun humoral belum sempat terbentuk. Setelah virus berhasil menerobos masuk kedalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain. Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen lipopoli-sakarida kuman Gram-negatif. 59 Masa inkubasi dari penyakit ini yakni satu hingga empat hari (rata-rata dua hari). Pada orang dewasa, sudah mulai terinfeksi sejak satu hari sebelum timbulnya gejala influenza hingga lima hari setelah mulainya penyakit ini. Anak-anak dapat menyebarkan virus ini sampai lebih dari sepuluh hari dan anak-anak yang lebih kecil dapat menyebarkan virus influenza kira-kira enam hari sebelum tampak gejala
21
pertama penyakit ini. Para penderita imunocompromise dapat menebarkan virus ini hingga berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan. 2.3.4. Jamur Jamur yang sering menyebabkan sepsis adalah Candida sp.57 Penyebab yang tersering ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina. Genus Candida merupakan sel ragi uniseluler yang termasuk ke dalam Fungi imperfecti atau Deuteromycota, kelas Blastomycetes yang memperbanyak diri dengan cara bertunas, famili Cryptococcaceae. Genus ini terdiri lebih dari 80 spesies, yang paling patogen adalah C. albicans selain itu adalah C. Glabrata, C. tropicalis, C. parapsilosis, C. guillermondii dan C. Krusei. C.albicans merupakan penyebab tersering (60-75%) berbagai manifestasi klinis.60 Imunitas seluler memegang peranan dalam pertahanan melawan infeksi kandida. Terbukti dengan ditemukannya defek spesifik imunitas seluler pada penderita kandidiasi mukokutan kronik, pengobatan imunosupresif dan penderita dengan infeksi HIV. Sistem imunitas humoral kurang berperan, bahkan terdapat fakta yang memperlihatkan titer antibodi antikandida yang tinggi dapat menghambat fagositosis. Patogenesis kandidiasis :63 1. Mekanisme imun seluler dan humoral Tahap pertama timbulnya kandidiasis adalah menempelnya kandida pada sel epitel disebabkan adanya interaksi antara glikoprotein permukaan kandida dengan sel epitel. Kemudian kandida mengeluarkan zat keratinolitik (fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga
22
mempermudah invasi jamur ke jaringan. Dalam jaringan kandida mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang akan menimbulkan reaksi radang akut. Lapisan luar kandida mengandung manoprotein yang bersifat antigenik sehingga akan mengaktifasi komplemen dan merangsang terbentuknya imunoglobulin. Imunoglobulin ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida, yang dapat melindungi kandida dari fungsi imunitas tuan rumah. Selain itu kandida juga akan mengeluarkan zat toksik terhadap netrofil dan fagosit lain. 2. Mekanisme non imun Interaksi antara kandida dengan flora normal kulit lainnya akan mengakibatkan persaingan
dalam
mendapatkan
mikroorganisme
dalam
berkembangnya
infeksi.
nutrisi
seperti
glukosa.
Menempelnya
jaringan sel pejamu menjadi syarat mutlak Secara
umum
diketahui
bahwa
interaksi
untuk antara
mikroorganisme dan sel pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor. Manan dan manoprotein merupakan molekulmolekul Candida albicans yang mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat pada dinding sel Candida albicans juga berperan dalam aktifitas adhesif. Pada umumnya Candida albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saproba dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh pejamu. 63 2.4. Patogenesis Sepsis Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang timbul pada saat respons awal pejamu yang sesuai terhadap infeksi menjadi teramplifikasi dan kemudian mengalami disregulasi. Penentuan komponen struktural bakteria yang bertanggung jawab menginisiasi proses sepsis menjadi penting, tidak hanya untuk
23
memahami mekanisme mendasar, namun juga untuk mengidentifikasi target terapi potensial. Pola-pola bakterial ini, yang dikenali oleh sistem imun tubuh, telah dikenal sebagai pathogen associated molecular patterns (PAMPs), meskipun mungkin lebih akurat untuk disebut sebagai microorganism associated molecular patterns oleh karena belum jelas bagaimana pejamu membedakan antara sinyal patogen dengan komensal. 2.4.1. Pengenalan Pejamu terhadap Komponen Mikrobial Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sebuah reseptor LPS selama ini menjadi penghalang untuk memahami bagaimana bakteria gram negatif dapat menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu tergantung pada adanya protein pengikat LPS (LPB, LPS binding protein) dan reseptor opsonik CD14. Meskipun CD14 awalnya diidentifikasi sebagai koreseptor esensial yang memerantarai aktivasi monosit oleh LPS, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sel ini juga berperanan dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram positif, seperti peptidoglikan, memerantarai apoptosis makrofag dan penting dalam transfer LPS antara protein-protein serum yang mempunyai kemampuan mengikat LPS seperti LBP dan lipoprotein serum. Meskipun penemuan CD14 mewakili suatu langkah ke depan dalam memahami respon pejamu terhadap LPS, fakta bahwa CD14 tidak mempunyai struktur intraselular berarti bahwa masih belum jelas bagaimana ligasi kompleks LPSLBP dapat menyebabkan aktivasi selular. Ketidakpastian ini dipecahkan dengan penemuan sekelompok TLR (Toll-like Receptors). TLR mempunyai domain intraselular yang homolog terhadap reseptor IL-1 dan IL-18. Protein adapter
24
memfasilitasi pengikatan terhadap kinase terkait reseptor, yang kemudian menginduksi faktor 6 terkait reseptor TNF, menyebabkan translokasi nuklear dari faktor nuklear κB dan akhirnya menyebabkan aktivasi promotor gen sitokin. Saat ini telah diidentidikasi 10 TLR yang mempunyai spesifisitas ligan luas, termasuk protein bakterial, fungal dan khamir, dengan TLR 4 merupakan resptor LPS, TLR2 terutama untuk mengenali struktur dinding sel gram positif, TLR5 merupakan reseptor flagelin dan TLR9 mengenali elemen CpG pada DNA bakteri. Secara keseluruhan mekanisme pengenalan lipopolisakarida bakteri gram negatif oleh system imun tubuh terdapat pada gambar 2.4.15-20
Gambar 2.4. Lipopolisakarida, komponen dinding sel bakteri gram negatif dikenali oleh TLR4 dan CD14 pada permukaan sel imun. Hal ini akan mengaktivasi kaskade intraselular, yang menghasilkan aktivasi gen-gen dependen NFκB.18
2.4.2. Amplifikasi Sinyal Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons pertahanan, baik
25
komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear melepaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun beberapa sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekul-molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik yang memerantarai banyak fitur imunopatologis dari renjatan karena LPS. Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS, mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan spesies oksigen reaktif serta juga meningkatkan produksi molekul-molekul adhesi sel, yang kemudian menginisiasi migrasi sel inflamatorik ke dalam jaringan. Salah satu konsep paling menarik mengenai pengenalan pejamu dan amplifikasi sinyal setelah rangsangan dengan mikroba adalah toleransi. Paparan makrofag terhadap LPS atau stimulus proinflamatorik lainnya, seperti sitokin TNF-α, dapat menginduksi keadaan toleransi yang akan menyebabkan penurunan aktivasi setelah paparan dengan LPS atau mediator inflamasi berikutnya. Diantara mekanisme-mekanisme yang ada, penurunan ekspresi TLR telah diduga sebagai penyebabnya. Bruniati et al telah mendemonstrasikan secara elegan bahwa ekspresi TLR 2 dan 4 di dalam monosit pasien septik tetap terjaga, meskipun mereka menemukan produksi sitokin-sitokin yang lebih rendah setelah stimulus inflamatorik. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa regulasi menurun yang ditemukan pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis nampaknya terkait dengan jalur intraselular dan bukan oleh karena ekspresi TLR. Bukti-bukti tak langsung dari beberapa peneliti telah mendemonstrasikan hal ini, dengan menggunakan LPS terbiotinilasi dan flow cytometry untuk mempelajari interaksi LPS-monosit dan aktivasi
26
selular terinduksi LPS pada darah pasien sepsis. Lebih jauh lagi, kelompok yang sama telah mendemonstrasikan bahwa netrofil dari pasien sepsis mempertahankan kapasitasnya untuk fagositosis dan menghasilkan pula spesies oksigen reaktif. Apabila disatukan, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa toleransi merupakan suatu fenomena terkait respons makrofag dan tidak terkait dengan ekspresi TLR.15-18 2.4.3. Migrasi Netrofil Netrofil mempunyai peran ganda di dalam sepsis. Pada satu sisi, sel-sel ini penting untuk kontrol lokal pertumbuhan bakteri dan oleh karenanya juga untuk mencegah diseminasi bakterial. Pada sisi lain, netrofil memainkan peranan penting dalam aktivasi endotel dantimbulnya kegagalan organ. Migrasi netrofil ke fokus infeksi yang terganggu dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan peningkatan jumlah bakteri pada eksudat peritoneal dan darah pada suatu model ligasi caecal dan CLP pungsi pada tikus. Sebaliknya, pada sepsis subletal, migrasi netrofil tidak tertekan dan infeksi bakterial terbatasi pada kavitas peritoneal, sehingga tidak terdapat mortalitas signifikan. Mereka telah mendemonstrasikan bahwa jalur oksida nitrat dan sinyal TLR terlibat dalam proses ini. 15-20 2.4.4. Kaskade Koagulasi Sitokin juga penting dalam menginduksi efek prokoagulan pada sepsis. Gangguan koagulasi sering terjadi pada sepsis, dan 30-50% pasien mempunyai bentuk klinis yang lebih berat yakni koagulasi intravaskular diseminata. Jalur koagulasi awalnya diinisiasi oleh LPS dan komponen-komponen mikrobial lainnya, menginduksi faktor jaringan dalam sel-sel mononuklear dan endotelial. Faktor jaringan mengaktivasi beberapa kaskade proteolitik serial yang menyebabkan konversi
27
protrombin menjadi trombin yang kemudian menghasilkan fibrin dari fibrinogen. Secara bersamaan, mekanisme regulasi fibrinolitik (pemecahan fibrin oleh plasmin) terganggu oleh karena kadar plasminogen-activator inhibitor type-1 (PAI-1) yang tinggi sehingga mencegah pembentukan plasmin dari plasminogen. Hasil akhirnya adalah peningkatan produksi dan penurunan pembuangan fibrin, sehingga menyebabkan sumbatan-sumbatan fibrin pada pembuluh darah kecil, mengganggu perfusi jaringan dan fungsi organ. Sitokin-sitokin proinflamasi, secara khusus IL-1 dan IL-6 merupakan penginduksi kuat koagulasi, sebaliknya IL-10 mengatur koagulasi dengan menghambat ekspresi faktor jaringan dalam monosit (gambar 2.5).15-18 Penyebab tambahan keadaan prokoagulan pada sepsis adalah penekanan protein-protein antikoagulan alamiah, yakni protein C, antitrombin dan inhibitor jalur faktor jaringan. Antikoagulan-antikoagulan alamiah ini penting oleh karena mereka memiliki sifat anti-inflamasi sebagai tambahan dari efek mereka terhadap produksi trombin. Efek-efek ini termasuk pelepasan TNF-α monosit dengan menghambat aktivasi faktor-faktor transkripsi NFκB dan protein aktivator (AP-1). Perhatian khusus diberikan terhadap protein C, yang dikonversi kedalam bentuk aktif pada saat trombin berikatan dengan trombomodulin, suatu glikoprotein transmembran. Setelah aPC terbentuk, terjadi disosiasi dari reseptor protein C endotelial (EPCR) sebelum berikatan dengan protein S, menghasilkan inaktivasi faktor-faktor Va dan VIIIa dan kemudian menghambat kaskade koagulasi.
28
Pada pasien sepsis, kadar aPC menurun dan ekspresi trombomodulin dan EPCR endotelial terganggu, sehingga memberikan dukungan terhadap pendapat bahwa penggantian aPC dapat memberikan nilai terapetik.15-18
Gambar 2.5. Model untuk disregulasi rekrutmen netrofil terhadap infeksi bakterial dalam jarungan non-pulmonar pada keadaan normal (kiri) dan pada sepsis (kanan).15-18
2.4.5. Respon Umpan Balik Inflamatorik Respons proinflamasi nyata yang timbul pada sepsis diseimbangkan oleh sekumpulan molekul regulator-umpan balik yang berusaha untuk mengembalikan keseimbangan imunologikal. Sitokin-sitokin umpan balik inflamatorik termasuk antagonis-antagonis seperti reseptor TNF solubel dan antagonis reseptor IL-1, reseptor umpan seperti reseptor IL-1 tipe II, inaktivator kaskade komplemen dan sitokin-sitokin anti-inflamasi di mana IL-10 merupakan prototipe. Seiring dengan
29
reaksi ini, respons pejamu terhadap trauma termasuk perubahan nyata pada aktivitas metabolik (peningkatan produksi kortisol dan pelepasan katekolamin), induksi protein fase akut dan aktivasi endotelial dengan regulasi meningkat molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta faktor aktivasi trombosit (PAF-platelet activating factors). Mekanisme secara lengkap dapat dilihat pada gambar 2.6.18-20
Gambar 2.6. Imbalans koagulasi pada saat sepsis. Imbalans antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis serta penurunan mekanisme antikoagulan dapat dilihat pada gambar di atas. 18-20
Sisi lain dari regulasi menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis adalah timbulnya apoptosis limfosit; beberapa analisis otopsi jaringan telah menunjukkan adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4. Proses ini dan akibat fungsionalnya dipandang sebagai bagian dari keadaan imunosupresi yang lebih luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi, yang timbul pada sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai respons keseimbangan (dan terkadang respons berlebihan) terhadap keadaan proinflamasi awal. Oleh karena respons berlebihan ini beberapa peneliti memandang respons inflamasi
30
umpan balik sebagai penyebab perhatahan pejamu yang inadekuat terhadap infeksi dan merupakan sebagai mediator potensial sepsis serta kegagalan organ progresif. Beberapa peneliti telah berusaha membuktikan pendapat bahwa keadaan imunosupresif ini mungkin mempunyai peranan terapeutik. 17-20 2.4.6. Mekanisme Kegagalan Organ Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ multipel. Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ terhadap perawatan intensif dan kemungkinan kesintasan serta antara jumlah organ yang gagal dengan risiko kematian. Mekanisme ini melibatkan deposisi fibrin luas yang menyebabkan oklusi mikrovaskular, timbulnya eksudat jaringan yang kemudian menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan hemostasis mikrovaskular yang timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin dan prostanoid. Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara langsung dengan melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas turunan superoksida.
31
TNF-α dan sitokin-sitokin lainnya meningkatkan ekspresi sintase oksida nitrat terinduksi dan peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut akan menyebabkan instabilitas vaskular dan juga berkontribusi terhadap depresi miokardial yang timbul pada sepsis (gambar 2.8).17-20
Gambar 2.8. Deskripsi beberapa mekanisme imunosupresi.21
Hipoksia jaringan yang timbul pada sepsis digambarkan dengan hutang oksigen, misalnya perbedaan antara hantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen. Beratnya hutang oksigen terkait dengan hasil akhir sepsis, dan strategi yang dirancang untuk mengoptimalkan hantaran oksigen ke jaringan dapat memperbaiki kesintasan. Sebagai tambahan terhadap hipoksia, sel dapat menjadi disoksik semisal tidak mampu untuk mengutilisasi oksigen yang tersedia. Data-data terbaru menunjukan bahwa hal ini mungkin merupakan akibat dari kelebihan produksi oksida nitrat, oleh karena biopsi otot skeletal dari pasien sepsis menunjukkan bukti-bukti adanya gangguan respirasi mitokondrial, yang dihambat oleh oksida nitrat. 16,17
32
Komunikasi silang antara sitokin dan neurohormon merupakan pangkal pemulihan homeostasis selama stres. Produksi dan pelepasan vasopresin serta hormon pelepas kortikotropin ditingkatkan oleh TNF dan interleukin-1, 6 dan 2 yang beredar, dengan ekspresi lokal interleukin 1 dan NO serta oleh serabut-serabut vagal aferen. Terlebih lagi, sintesis kortisol dimodulasi oleh ekspresi lokal interleukin-6 dan TNFα. Hormon-hormon yang diregulasi meningkat membantu untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskular dan metabolisme selular serta melokalisasi fokus inflamasi. Gangguan respons endokrin sampai sepsis dapat terjadi sebagai akibat dari sitokin, apoptosis neuronal, gangguan metabolik dan juga iskemik pada kelenjarkelenjar hipotalamik-hipofisis dan adrenal serta oleh pemberian obat-obatan. Gangguang fungsi kelenjar adrenal dan produksi vasopresin timbul pada setengah dan sepertiga kasus syok sepsis, dan berkontribusi pada hipotensi dan kematian. Gangguan endokrin lainnya pada saat sepsis tidak mempunyai mekanisme dan akibat yang jelas.15-20 Imunomodulasi merupakan suatu jaringan interaksi yang kompleks dan saling tumpang tindih antara zat-zat yang bekerja sama untuk mengendalikan serangan berat terhadap tubuh. Namun, jaringan ini juga dapat menyebabkan gangguan terhadap tubuh dan menimbulkan keadaan yang disebut sebagai SIRS dan MODS. Saat ini terdapat suatu hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan keadaan paradoksikal ini yang diamati pada pasien-pasien sakit kritis.
33
Lima stadium (gambar 2.9) yang terdapat pada perkembangan disfungsi organ multipel adalah sebagai berikut:23-24,26 1. Reaksi lokal pada lokasi trauma atau infeksi 2. Respons sistemik awal 3. Inflamasi sistemik masif 4. Imunosupresi berlebihan 5. Disonansi imunologik
Gambar 2.9. Konsep untuk sekuel klinis sepsis, SIRS, CARS dan MARS. 26
Stadium 1 Sebelum timbulnya SIRS atau MODS terjadi gangguan seperti nidus infeksi, kerusakan traumatik, luka bakar atau pankreatitis yang menyebabkan pelepasan berbagai macam mediator ke dalam lingkungan mikro. Respons awal tubuh adalah untuk menginduksikeadaan proinflamatorik, di mana mediator-mediator mempunyai
34
efek tumpang tindih multipel yang dirancang untuk membatasi kerusakan baru dan untuk
menghambat
kerusakan
yang
telah
timbul.
Reaksi-reaksi ini akan
menghancurkan jaringan rusak, membantu pertumbuhan jaringan baru dan memerangi organisme patogenik, sel neoplastik dan antigen asing (tabel 2,6).24-26 Tabel 2.6. Daftar sebagian dari molekul-molekul proinflamatorik dan anti-inflamatorik. 24-25
Molekul proinflamatorik TNFα
Tromboksan
Molekul antiinflamatorik L-1ra
IL-1β
Faktor aktivasi trombosit
IL-4
IL-2
IL-10
IL-6
Molekul adhesi solubel Neuropeptida vasoaktif
IL-8
Kinase tirosin
Reseptor IL-1 tipe II
IL-15
Faktor perubah pertumbuhan-β epinefrin
IFN-γ
Inhibitor aktivator plasminogen-1 Pembentukan radikal bebas CD14
Kinase protein
Prostasiklin
Antagonisme reseptor
MCP-1*
Prostaglandin
leukotrien B4
MCP-2
Fosfolipase A2
Rekombinan solubel
Elastase netrofil
Faktor inhibitor (faktor-D)
IL-13
Reseptor TNFα solubel
leukemia
CD-14
Protein pengikat LPS*
MCP = protein kemoatraktan monosit; LPS= lipopolisakarida
Suatu
respons
anti-inflamatorik
kompensatorik
yang
segera
timbul
memastikan bahwa efek dari mediator-mediator inflamasi ini tidak menjadi destruktif. Molekul-molekul seperti IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, reseptor faktor nekrosis tumor solubel (TNF-ot), antagonis reseptor IL-1, faktor perubah pertumbuhan β dan lainnya
35
yang masih belum ditemukan bekerja untuk menekan ekspresi kompleks histokompatibilitas II monositik, menekan aktivitas penghantaran antigen dan menurunkan kemampuan sel untuk menghasilkan sitokin-sitokin inflamatorik. Kadar lokal baik mediator-mediator proinflamatorik dan anti-inflamatorik dapat secara substansial lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan secara sistemik. Stadium 2 Apabila gangguan awal cukup berat, pertama mediator proinflamatorik dan kemudian anti-inflamatorik akan timbul pada sirkulasi sistemik melalui berbagai mekanisme. Adanya mediator-mediator proinflamatorik di dalam sirkulasi adalah bagian dari respons normal terhadap infeksi dan meerupakan sinyal peringatan bahwa lingkungan mikro tidak mampu mengendalikan gangguan awal. Mediatormediator proinflamatorik membantu untuk merekrut netrofil, sel dan B, trombosit dan faktor-faktor koagulasi ke lokasi kerusakan atau infeksi. Kaskade ini merangsang suatu respons anti-inflamatorik sistemik kompensatorik, yang biasanya akan menekan secara cepat respons proinflamatorik. Sedikit, bila ada, tanda dan gejala klinis yang ditimbulkan.organ-organ mungkin dapat dipengaruhi oleh kaskade inflamatorik, namun disfungsi organ signifikan jarang ditemukan. Stadium 3 Kehilangan regulasi respons proinflamatorik menghasilkan suatu manifestasi reaksi sistemik masif sebagai temuan klinis SIRS. Mendasari temuan klinis adalah perubahan-perubahan patofisiologi yang termasuk sebagai berikut: (1) Disfungsi endotelial progresif, menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular. (2) Pembentukan lumpur trombosit yang menghambat sirkulasi mikro,menyebabkan
36
maldistribusi aliran darah dan mungkin menyebabkan iskemia, yang kemudian akan menyebabkan trauma reperfusi dan menginduksi protein renjatan panas. (3) Aktivasi sistem koagulasi dan mengganggu jalur inhibitorik protein C dan S. (4) Vasodilatasi berat, transudasi cairan dan maldistribusi aliran darah dapat menyebabkan syok berat. Disfungsi organ dan akhirnya kegagalan akan diakibatkan oleh perubahanperubahan ini kecuali segera terjadi pemulihan homeostasis. Stadium 4 Terdapat berlebihan
kemungkinan
dengan
akibat
reaksi
terjadi
anti-inflamatorik
imunosupresi.
kompensatorik
Beberapa
peneliti
dapat telah
menamakannya sebagai paralisis imun dan jendela imunodefisiensi, sedangkan pada konsep ini dinamakan sebagai sindrom respons anti-inflamatorik kompensatorik (compensatory anti-inflammatory respons syndrome-CARS). CARS merupakan respons tubuh terhadap inflamasi dan lebih dari sekedar paralisis imun. CARS dapat menjelaskan kelainan-kelainan seperti meningkatnya kerentanan pasien luka bakar terhadap infeksi dan bahkan anergi pasien pankreatitis. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa terapi pada pasien sepsis dengan
IFNγ tidak hanya
mengembalikan ekspresi HLA-DR pada monosit namun juga mengembalikan kemampuan monosit untuk mensekresi sitokin IL-6 dan TNFα. Stadium 5 Stadium akhir pada MODS adalah apa yang disebut sebagai disonansi imunologik. Istilah ini menunjukkan adanya suatu respons sistem imunomodulatorik yang tidak sesuai dan keluar dari keseimbangan. Pada beberapa pasien, keadaan ini timbul sebagai akibat dari inflamasi persisten dan berat yang dapat timbul persisten
37
pada pasien SIRS dan MODS, dengan peningkatan risiko kematian. Pada pasien lainnya, persistensi penekanan sistem imun menyebabkan terjadinya disonansi imunologik. Studi-studi telah menunjukkan tidak hanya deaktivasi monosit timbul pada banyak pasien namun persistensi deaktivasi tersebut meningkatkan risiko kematian secara signifikan. Pada pasien-pasien dengan imunosupresi persisten, penyebab kegagalan organ dapat berupa inhibisi sintesis zat-zat proinflamatorik yang dibutuhkan oleh organ-organ untuk pulih. Pada pasien-pasien dengan disonansi imunologik, pemulihan fungsi organ dapat dimungkinkan apabila tubuh dapat mengembalikan keseimbangannya. 2.4.6.1. Kegagalan Fungsi Hati Hati diduga mempengaruhi mekanisme metabolik dan pertahanan pejamu selama sepsis. Organ ini secara aktif mengatur proses-proses inflamatorik dengan menyaring, menginaktivasi dan membersihkan bakteri, produk-produk bakteri (misal endotoksin), zat-zat vasoaktif dan mediator-mediator inflamasi. Sebagai tambahan, hati yang testimulasi sendiri memproduksi dan melepaskan berbagai macam sitokin, lipid bioaktif dan protein-protein fase akut dalam jumlah besar. Disfungsi hepatik awal timbul pada beberapa jam pertama sepsis dan terkait dengan hipoperfusi hepatosplanknik. Gangguan ini dapat menyebabkan peningkatan akut penandapenanda biologis kerusakan hati (transaminase, dehidrogenase laktat, bilirubin). Meskipun demikian, biasanya dapat dipulihkan secara cepat dengan terapi suportif adekuat. Sebaliknya, disfungsi hati lanjut merupakan proses yang berjalan secara lebih perlahan dan berat. Proses ini dikarakteristikkan dengan kerusakan struktural dan fungsional serta dapat bertanggungjawab terhadap meluapnya bakteri,
38
endotoksin
dan
molekul-molekul
inflamatorik
yang
dapat
memicu
atau
mempertahankan terjadinya kerusakan organ multipel. Disfungsi hepatik awal dan lanjut terkait dengan perubahan global dan mikrosirkulasi perfusi hati. Sepsis dapat menyebabkan perubahan besar pada peredaran darah mikrosirkulasi pada semua organ splanknik yang tidak dapat diprediksikan dari perubahan aliran darah regional atau sistemik. Redistribusi peredaran darah intrahepatik mengalirkan darah menjauhi pembuluh darah yang terkontraksi menuju ke pembuluh darah yang terdilatasi, menyebabkan terjadinya penurunan daerah total sinusoidal yang terperfusi. Sel endotel sinusoidal (SES) dan sel Kupffer (SK) membentuk garis kontak utama untuk bakteri, produk bakterial dan debris mikrobial yang dihantarkan oleh darah portal dan arteri hepatika. Respons mikrovaskular hepar terhadap zat-zat ini berkorelasi dengan keadaan aktivasi, jumlah dan distribusi SK di dalam lobulus hepar. Setelah terstimulasi, SK melepaskan berbagai macam mediator-mediator inflamatorik, toksik dan vasoaktif yang semuanya dapat menyebabkan kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung (gambar 2.10).24 Sel endotel sinusoidal memproduksi zat-zat vasoaktif, seperti prostasiklin dan oksida nitrat, yang memodulasi tonus vaskular baik pada makro dan mikrosirkulasi hepar. Pada sisi lain, SES mengalami perubahan struktural dan fungsional signifikan. Pembengkakan, distensi dan gangguan SES menyebabkan kebocoran albumin, plasma dan sel inflamatorik ke dalam interstitium, menyebabkan kerusakan jaringan secara langsung. Sel endotel sinusoidal mengalami kehilangan sifat antikoagulan dan mengekspresikan molekul-molekul adhesi permukaan sehingga menarik sejumlah
39
besar trombosit dan leukosit. Pada akhirnya, sinusodi menjadi tersumbat dengan bekuan fibrin dan kelompok-kelompok sel darah merah. Hasilnya penurunan aliran darah ini akan memperberat keadaan hipoperfusi sinusoidal. Pada keadaan inflamasi tidak terkendali dan koagulopati terus menerus, proses di atas akan menyebabkan iskemia dan disfungsi mikrovaskular yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan kegagalan hepatoselular.24,25
Gambar 2.10. Sinusoid hepatik setelah 3 jam syok endotoksin pada hewan coba anjing dengan resusitasi cairan.25
2.4.6.2. Kegagalan Fungsi Jantung Dengan menggunakan pemeriksaan sineangiograf radionuklida, Calvin et al mendemonstrasikan disfungsi miokardial pada pasien sepsis yang telah diresusitasi cairan secara adekuat dengan adanya penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan indeks volume akhir diastolik. Dengan menambahkan keteter arteri pulmonar terhadap sineangiografi radionuklida, Parker et al memperluas temuan di atas dengan dua temuan utama yang menunjukkan bahwa (1) pasien yang hidup setelah sepsis syok dikarakteristikkan dengan peningkatan indeks volume akhir diastolik dan
40
penurunan
fraksi
ejeksi,
sedangkan
pasien
yang
meninggal
biasanya
mempertahankan volume jantung normal, serta (2) perubahan akut pada indeks akhir diastolik dan fraksi ejeksi, walaupun dipertahankan selama beberapa hari, dapat dipulihkan. Baru-baru
ini,
penelitian
dengan
menggunakan
ekokardiografi
telah
mendemonstrasikan adanya gangguan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri pada pasien sepsis. Penelitian-penelitian pada manusia, sesuai dengan penelitian eksperimental mulai dari level selular sampai ke penelitian menggunakan jantung terisolasi dan juga pada model hewan in vivo, telah memperlihatkan secara jelas adanya penurunan kontraktilitas dan gangguan komplians miokardial sebagai faktor utama yang menyebabkan disfungsi miokardium pada sepsis. Tanpa melihat perbedaan struktural dan fungsional antara ventrikel kiri dan kanan, perubahan fungsional yang sama dengan didiskusikan di atas juga dapat ditemukan pada ventrikel kanan, yang menimbulkan dugaan bahwa disfungsi ventrikel kanan pada sepsis mirip dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun demikian, kontribusi relatif ventrikel kanan terhadap kardiomiopati sepsis belum diketahui.26,27
41
Gambar 2.11. Sinopsis mekanisme mendasar pada disfungsi miokardial pada sepsis. MDS mengindikasikan Myocardial Depressant Substances.27
2.4.6.3. Kegagalan Fungsi Paru Dua pembatas terpisah membentuk pembatas alveolar-kapiler, endotel mikrovaskular dan epitel alveolar. Fase akut dari kerusakan paru akut (acute lung injury – ALI) dan sindrom distres pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome – ARDS) dikarakteristikkan dengan aliran masuk cairan edema kaya protein ke dalam ruang udara sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas pembatas alveolar-kapiler. Kepentingan kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas vaskular terhadap pembentukan edema paru pada kelainan ini telah dijelaskan secara mapan. Kepentingan kritis kerusakan epitelial baik kepada terbentuknya maupun pemulihan dari kelainan di atas kini telah lebih dikenali. Derajat kerusakan epitel alveolar merupakan prediktor penting dari hasil akhir. Epitelium alveolar normal terdiri atas dua tipe sel (gambar 2.12). Sel tipe I meliputi 90 persen area permukaan alveolar dan mudah cedera. Sel kuboidal tipe II meliputi 10 persen sisanya dan lebih tahan terhadap cedera; fungsi mereka termasuk menghasilkan surfaktan, transpor ion dan proliferasi serta diferensiasi menjadi sel tipe I setelah kerusakan terjadi. Kehilangan integritas epiteal pada ALI dan ARDS mempunyai beberapa akibat. Pertama, pada keadaan normal, pembatas epitelial lebih kurang permeabel dibandingkan dengan pembatas endotel. Oleh karenanya, kerusakan epitel dapat berkontribusi terhadap kebanjiran alveolar. Kedua, kehilangan integritas epitel dan kerusakan sel tipe II mengganggu transpor cairan epitel normal, mengganggu pengeluaran cairan edema dari ruang alveolar. Ketiga, kerusakan sel
42
tipe II menurunkan produksi dan perputaran surfaktan. Keempat, kehilangan pembatas epitel dapat menyebabkan syok sepsis pada pasien dengan pneumonia bakterial. Pada akhirnya bila kerusakan terhadap epitel alveolar berat, perbaikan epitel yang tidak teratur ataupun tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya fibrosis. Penelitian klinis dan eksperimental telah memberikan bukti adanya kerusakan yang diperantarai neutrofil pada ALI dan ARDS. Penelitian histologik dari spesimen paru yang diperoleh pada awal kelainan menunjukkan akumulasi nyata netrofil. Netrofil mendominasi komponen selular cairan edema pulmonar dan lavase bronkoalveolar yang diperoleh pada pasien serta banyak model hewan ALI sangat tergantung netrofil.34-35
Gambar 2.12. Alveolus normal (sisi kiri) dan alveolus cedera pada fase akut ALI dan ARDS (sisi kanan).28
43
2.4.6.4. Disfungsi Neurologis Disfungsi neurologis terutama ditandai dengan gangguan kesadaran dan fungsi serebral. Tanda perubahan fungsi sistem saraf pusat meliputi penurunan Glasgow Coma Scale, koma, obtundasi, confusion, dan psikosis.31 EEG secara umum memperlihatkan perlambatan difus, sementara CT-scan kepala dan analisa carian serebrospinal memberikan hasil normal. Polineuropati dan polimiopati dapat terjadi pada kondisi MODS. Patofisiologi polineuropati melibatkan degenerasi aksonal primer akibat mediator proinflamasi. Dibutuhkan 3-6 bulan untuk perbaikan
akson. Fakta ini dapat menjelaskan ketergantungan ventilator yang
lama pada pasien-pasien sakit berat. Pasien seperti ini membutuhkan rehabilitasi setelah penyapihan dari ventilator,sebelum pasien pulang.33 Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta hiperfusi serebral selama keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas, confussion, delirium, dan koma.16 Pada sepsis terjadi peningkatan release hormone epinefrin dan norepinefrin yang akan merangsang pengeluaran ACTH dan pada akhirnya akan dikeluarkan glukokortikoid berlebihan untuk menekan sitokin proinflamasi. Selain glukokortikoid juga dikeluarkan hormn asetilkolin untuk homeostasis system imun tubuh.
44
Namun jika keseimbangan tidak terjadi akan terjadi efek negatif pada system saraf akibat peningkatan glukokortikoid yakni kerusakan sel saraf akibat proses demielinisasi serabut saraf oleh ROS yang diaktifkan glukokortikoid (gambar 2.13). 85
Gambar 2.13. Respon Imun terhadap Sistem Saraf pada Sepsis. 85
2.4.6.4. Kerusakan Ginjal Akut Kerusakan ginjal akut pada sepsis diduga memiliki patogenesis multifaktorial. Meskipun hipoperfusi global ataupun regional berkelanjutan, dengan iskemia dan reperfusi yang mengikutinya diduga sebagai pemicu utama yang menyebabkan terjadinya AKI, saat ini mulai dikenali pentingnya peranan apoptosis pada AKI septik. Meskipun tidak tersedia baku emas untuk menilai perfusi ginjal global dan regional pada situasi klinis, pemeriksaan pencitraan terbaru seperti MRI menjanjikan untuk mengidentifikasi perubahan fungsi serta lokasi terjadinya inflamasi dan apoptosis pada manusia, sedangkan pemeriksaan seperti mikroskopi multifoton intravital
45
memungkinkan peneliti untuk lebih baik memahami mengenai hubungan temporal dan kausal antara hipoperfusi, inflamasi dan apoptosis pada model AKI hewan coba. Molitoris menggambarkan fase-fase gagal ginjal akut iskemik, membagi mereka menjadi inisiasi, ekstensi, pemeliharaan dan penyembuhan, paradigma ini dapat dikembangkan untuk saling tumpang tindih dengan proses pada AKI septik. Sebagai contoh, Wu et al telah mengidentifikasi kerusakan tubular pada model sepsis menggunakan tikus, namun disfungsi endotel dengan kehilangan tonus vaskular, perfusi, permeabilitas, inflamasi dan adhesi akan menyebabkan perluasan kerusakan sebagaimana diajukan oleh Molitoris. Sebagai tambahan, penemuan-penemuan baru telah menunjukkan bahwa patogenesis AKI septik lebih mengarah kepada peningkatan dan ketidakimbangan antara mediator pro dan anti-inflamasi yang disertai dengan disfungsi endotel dan gangguan kaskade koagulasi, yang secara sinergistik menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal akut. Model-model hewan coba terbaru lebih menekankan kerusakan ginjal terkait sepsis lebih disebabkan oleh ketidakimbangan
faktor-faktor
di
atas,
dibandingkan
dengan
kerusakan
hipoksik/iskemik sederhana.30-32 2.4.7. Koagulopati Intravaskular Diseminata Cukup banyak studi telah menunjukkan adanya aktivasi koagulasi pada sepsis. Buktibukti menunjuk kepada jalur faktor jaringan (tissue factor – TF) faktor VII sebagai rute utama aktivasi di dalam sepsis. Penelitian-penelitian selama dekade-dekade lalu pada hewan coba telah meningkatkan harapan akan adanya inhibitor koagulasi yang menghambat antara pembentukan atau aktivitas trombin, serta pada saat yang sama, dapat membantu menghambat inflamasi yang dapat dipakai sebagai terapi sepsis
46
efisien pada manusia. Meskipun demikian, hasil studi-studi multicenter yang mengevaluasi efek dari tiga dari golongan penghambat ini telah mengecewakan: kecuali untuk penelitian terhadap protein C teraktivasi (activated protein C – APC) yakni PROWESS, yang menunjukkan penurunan risiko absolut sebesar 6% untuk mortalitas, sedangkan untuk TFPI (tissue factor pathway inhibitor) dan AT (antithrombin) tidak terdapat keuntungan terhadap mortalitas sepsis berat yang dapat ditunjukkan. Meskipun konsep patofisiologis AT, TFPI dan APC menjanjukan, hanya yang terakhir yang telah terbukti bermanfaat untuk sepsis pada manusia. APC juga direkomendasikan dalam “Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock” (protokol Delphi). Untuk mendapatkan keuntungan optimal dan menghindari komplikasi perdarahan, rAPC harus diberikan hanya kepada pasien dengan skor APACHE II ≥25 dengan disfungsi organ terinduksi sepsis dan dengan syok sepsis serta ARDS terinduksi sepsis. Untuk menghindari efek perdarahan pada terapi rAPC, pemberiannya harus dibatasi pada pasien dengan kadar trombosit ≥30.000 sel/μL dan tidak mempunyai kondisi-kondisi peningkatan risiko perdarahan.
47
Meskipun demikian, posisi pasti APC dalam terapi sepsis harus diklarifikasi oleh studi-studi mendatang (gambar 2.14).29
Gambar 2.14. Kendali koagulasi pada vaskulator normal dan inflamasi. 2
2.5. Laboratorium Petanda Sepsis 2.5.1. C-Reactive Protein (CRP) C-Reactive Protein (CRP) adalah suatu globulin yang disintesa oleh sel hepatosit. CRP berperan penting pada respon imun innate dan telah dikenal merupakan salah satu petanda inflamasi. Individu tanpa inflamasi biasanya memiliki kadar CRP <1 mg/L, kadar CRP bisa meningkat sampai 100 kali lipat nilai normal pada kasus inflamasi akut, seperti infeksi, trauma, keganasan dan pembedahan . Creactive protein merupakan metode yang sangat sensitif untuk lebih awal pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi bakteri (sepsis). Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP adalah : 1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.
48
2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti granulosit dan monosit/makrofag. 3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai dengan C1q maupun jalur alternatif. 4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama proses keradangan. 5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon. 6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan. Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat sejumlah mikroorganisme yang mengandung fosforilkolin dalam membran mereka, kompleks yang berguna untuk mengaktifkan komplemen. Ini mengakibatkan deposisi C3b diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk perlekatan pada fagosit. Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya penarikan dan pema2uan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah diselaputi oleh C3b melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan mereka. CRP juga diikat C1q dan karenanya dapat mengaktifkan komplemen atau bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada fagosit. Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang tetap persisten. CRP sebagai penanda sepsis meiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 75%.18
49
2.5.2. Prokalsitonin Prokalsitonin (PCT) adalah sebuah precursor dari hormon kalsitonin yang diproduksi oleh neuroendokrin sel di paru-paru dan usus halus. Procalcitonin (PCT) pertama kali dikenali dari sel karsinoma medula tiroid. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein, yang disandi oleh gen CALC-1 di lengan pendek kromosom 11. PCT dan dihasilkan dalam sel-sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon calcitonin. Secara normal, semua PCT dipecah di dalam tiroid menjadi calcitonin. Waktu paruh PCT adalah 25 sampai 35 jam, secara signifikan tidak berubah pada gagal ginjal, oleh karena itu kepekatan serum dapat digunakan untuk tujuan diagnostik pada penderita yang fungsi ginjalnya rusak. Jaringan asal PCT belum jelas, meskipun ada data yang menyatakan bahwa makrofag aktif dan hepatosit kemungkinan merupakan tempat asalnya.33 PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri (virus) dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam. Seperti halnya CRP, IL6 juga tidak dapat membedakan secara jelas sumber inflamasi. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu > 2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT > 0,05 ng/ml tetapi biasanya < 1 ng/ml. Interpresi nilai PCT pada keadaan normal dan infeksi dapat dilihat pada gambar 2.16.34
50
PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole blood. Menurut Whicher et alpemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan PCT peran dalam fisiologi sepsis yang didukung oleh untaian (sequensing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL6 dan granulocyte colony-stimulating factor. PCT dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemberian dan penghentian antibiotik (gambar 2.15). Nilai sensitivitas dan spesivisitas 75% dan 79%.34
Gambar 2.15. Rekomendasi Memulai dan Menghentikan Antibiotik berdasarkan Nilai Prokalsitonin pada studi PRORATA.34
51
Gambar 2.16. Interpretasi Kadar PCT.34
2.5.3. Asam Laktat Pada individu sehat terdapat siklus berkelanjutan dari metabolisme dan produksi laktat sehingga kadar laktat dalam darah rendah dalam keadaan normal. Kadar laktat tinggi ketika produksi lebih tinggi dari eliminasi, ketika kapasitas eliminasi menurun atau lebih sering keduanya terjadi secara bersamaan. Kadar laktat normal pada individual sehat 1± 0.5 mmol/L.35 Laktat diproduksi melalui proses glikolisis dan bentuk didalam sitosol yang dikatalisasi oleh enzim lactate dehidrogenase. NADH/NAD+ merupakan kofaktor pertukaran atom hidrogen yang dilepaskan atau yang dipakai.Oleh karena itu, rasio laktat/piruvat selalu sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di sitosol.Konsentrasi laktat yang tinggi juga disertai konsentrasi yang tinggi dari piruvat atau NADH disitosol, atau keduanya. Ini merupakan reaksi reversibel yang membantu sintesis laktat dengan rasio normal laktat menjadi piruvat adalah 25:1. Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di sitosol melebihi penggunaannya oleh mitokondria.Ini terjadi 52
bila didapati peningkatan metabolik yang cepat atau bila hantaran oksigen ke mitokondria menurun, seperti pada keadaan hipoksia jaringan.Sintesis laktat juga dapat terjadi bila metabolisme glukosa melebihi kapasitas oksidatif mitokondria. 39 Konsentrasi laktat di arteri tergantung pada produksinya dan penggunaannya oleh berbagai organ.Konsentrasi laktat di darah secara normal dipertahankan <2 mmol/L. Laktat diproduksi oleh otot skelet, otak, usus, dan eritrosit.Laktat dimetabolisme oleh hati, ginjal, dan jantung. Bila kadar laktat di darah melebihi 4 mmol/L, otot skelet dapat menjadi satu jaringan pengguna laktat.39 Penurunan transport oksigen di sel menyebabkan lebih banyak ambilan oksigen dari kapiler darah. Cara ini meredistribusi cardiac output ke organ-organ sesuai dengan kemampuan organ tersebut untuk menerima darah kapiler. Pada keadaan dengan penurunan transport oksigen yang berat, terjadi peningkatan kompensasi ambilan oksigen untuk menyokong metabolism aerob. Oleh karena itu sel harus berkerja secara anaerob untuk menghasilkan ATP, yang mengakibatkan pembentukan laktat dan H+.38 Peningkatan laktat dalam darah (hiperlaktatemia) merupakan respon fisiologis tubuh dalam keadaan beraktivitas berat. Peningkatan kadar laktat yang berhubungan dengan penurunan pH darah akan mengarah pada keadaan asidosis laktat. Asidosis laktat didefinisikan sebagai keadaan asidosis metabolik dengan kadar laktat ≥5 mmol/L dan pH arteri <7.35. Hiperlaktatemia terjadi pada pasien dengan kadar laktat >2 mmol/L. Pada pasien kritis asidosis laktat biasanya memiliki angka mortalitas yang tinggi pula, pada konsentrasi >8 mmol/L memprediksi kematian. Studi prospektif baru tentang kadar
53
laktat melaporkan kematian mencapai 83% pada pasien dengan kadar laktat >10 mmol/L. Tetapi pada setiap individu, prognosis sangat tergantung kepada penyakit dasar, dengan asidosis laktat sebagai indikator beratnya keadaan syok, dan responnya terhadap terapi.42-43 Kadar laktat dapat dijadikan sebagai surrogate marker hipoksia jaringan dan keparahan penyakit, tidak bergantung pada tekanan darah. Peningkatan kadar laktat yang persisten lebih baik dibandingkan variabel transportasi oksigen (hantaran oksigen,konsumsi oksigen, rasio ekstraksi oksigen) jika digunakan sebagai indikator angka kematian. Kadar laktat yang tinggi pada inisial dan akhir fase syok berhubungan erat dengan mortalitas. Oleh karena itu pengukuran laktat serial lebih bermakna karena; pertama, konsentrasi laktat dalam darah merefleksikan interaksi antara
produksi
dan
eliminasi
laktat.
Kedua,
peningkatan
kadar
laktat
mengindikasikan terdapat mekanisme lain selain hipoksia sel seperti aktivitas upregulationNa/K-ATP yang distimulasi oleh epinefrin di otot rangka dan inhibisi metabolisme piruvat atau peningkatan produksi laktat. Nilai sensitivitas dan spesifisitas asam laktat sebagai penanda sepsis adalah 53% dan 86%. 37 2.5.5. Rasio Neutrofil-Limfosit (RNL) Respons fisiologis sistem imunitas terhadap inflamasi sistemik adalah peningkatan jumlah neutrofil danbpenurunan jumlah limfosit atau peningkatan rasio neurofil-limfosit (RNL). Korelasi RNL dengan kategori sepsis ini juga ditemukan pada penelitian oleh Zahorec. Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa korelasi penurunan jumlah neutrofil dan jumlah limfosit terhadap perbaikan kondisi klinis p asien SIRS dan sepsis. Penjabaran tersebut menunjukkan bahwa pada inflamasi
54
sistemik berat seperti severe sepsis serta syok septik, sistem imunitas tubuh berespons dengan terjadi peningkatan rasio neutrofil limfosit lebih besar bila dibandingkan dengan kondisi inflamasi sistemik yang ringan ataupun kondisi tubuh tanpa inflamasi. Salah satu respons fisiologis pada system imunitas terhadap inflamasi sistemik adalah peningkatan jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit. Hal ini disebabkan perubahan dinamika dan regulasi apoptosis pada keadaan inflamasi sistemik bila dibandingkan dengan keadaan noninflamasi. Pada penelitian respons imunitas terhadap proses inflamasi pada kelompok pasien yang diberikan endotoksemia, ternyata setelah 4–6 jam akan terjadi penurunan jumlah limfosit sekitar 85% sedangkan neutrofil meningkat sekitar 300%.57 Penundaan proses apoptosis neutrofil akan berakibat pemanjangan fungsi neutrofil dalam proses inflamasi serta memperlama elaborasi metabolik toksik, sebaliknya apoptosis limfosit yang meningkat berakibat penurunan efektor inflamasi dan menyebabkan imunosupresi.65-66 Metabolik toksik yang dilepaskan neutrophil yang teraktifasi dan ditambah dengan sitokin inflamasi akan merusak jaringan serta fungsi organ. Di samping itu, proses apoptosis limfosit mengakibatkan imunosupresi sistem imunitas adaptif sehingga akan mudah terserang infeksi nosokomial dan juga bakteri oportunistik yang akan mencetuskan reaksi inflamasi sistemik lebih lanjut. Akibat peningkatan jumlah neutrofil serta penurunan jumlah limfosit akan meningkatkannilai rasio absolut antara neutrofil dan limfositjika dibandingkan dengan pasien tanpa reaksi inflamasi sistemik. Sejalan dengan peningkatan rasio neutrofil limfosit, maka risiko morbiditas dan mortalitas pasien yang ditandai dengan kerusakan
55
dan kegagalan fungsi organ akan semakin meningkat. Nilai sensitivitas dan spesivisitas 60% dan 70%. 60 2.5.6. Interleukin 6 (IL-6) IL-6 merupakan sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh banyak tipe sel seperti mo nosit, fibr oblas, sel-sel endotel, dan limfosit T dan B. IL-6 tidak diekspresikan secara terus-menerus, melainkan banyak diinduksi dan diproduksi sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan inflamatori seperti IL-1, TNF-α, produk-produk bakteri, dan infeksi virus. Sitokin ini mempunyai fungsi yang berbeda, meliputi differensiasi dan/atau aktivasi makrofag dan sel-sel T, sel-sel pertumbuhan dan differensiasi selsel B, stimulasi hematopoesis dan differensiasi neural. Interleukin-6 merupakan sitokin multifungsi dengan proinflamasi dan fungsi imunoregulator. Interleukin-6 merupakan kunci pengaktifan respon fase akut dan bekerja pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus. IL-6 merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah protein plasma yang disebut protein fase akut seperti CRP yang dapat meningkat 1000 kali. IL-6 meningkatkan konsentrasi SGOT, SGPT dan kreatinin pada tikus percobaan yang megalami sepsis. IL-6 juga menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. 62-63 Sinyal Interleukin-6 diregulasi oleh umpan balik negatif oleh supressors of cytokine signaling (SOCS) dan protein inhibitors of activated STATs (PIAS). Interaksi Interleukin-6 atau reseptor IL-6 menyebabkan aktivasi STAT3 kemudian SOCS-1. Molekul SOCS-1 berikatan dengan janus activated kinase (JAK), tyrosine kinase yang bertindak sebagai regulator negatif dari transduksi sinyal gp-130. SOCS-1, SOCS-2
56
dan SOCS-3 diinduksi oleh beberapa sitokin termasuk IL-6, IFN-γ, IL-4, dan granulocyte colony-stimulating factor serta beberapa faktor lainnya, kemudian menghambat jalur sinyal cytokine-activated JAK ( gambar 2.17). Sensitivitas dan spesifisitas adalah 85% dan 62%. Nilai cut off IL-6 sebagai penanda sepsis jika >310 pg/ml.60
Gambar 2.17. Regulasi umpan balik sinyal IL-6 oleh Supressors Of Cytokine Signaling (SOCS).
60
2.5.7. Kultur Darah Kultur darah adalah satu prosedur yang paling penting untuk mendeteksi infeksi
sistemik
dan
mendapatkan
diagnosis
definitif
dibutuhkan
isolasi
mikroorganisme dari darah atau situs lokal infeksi yang disebabkan oleh bakteri. 74 Pada beberapa penelitian kultur darah menggunakan media bifasik. Caranya dengan menambahkan 1-3ml darah ke kultur media dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C. Darah dimasukkan ke botol BACTEC lalu diinkubasi dalam 35-37o C sebelum segera dikirim ke laboratorium dalam waktu kurang dari 2 jam. Botol BACTEC dibiakkan selama 5 hari dengan mesin BACTEC. Apabila hasil kultur
57
menunjukkan positif, hasil kultur dikeluarkan dan dilakukan proses lebih lanjut untuk pengisolasian. Koloni kuman yang tumbuh diidentifikasi sampai level spesies. Kultur darah merupakan gold standart untuk pemeriksaan sepsis dengan sensitivitas 98,7% dan spesivisitas 99%.67-68 2.5.8. Xpert MTB/RIF (Cepheid) GeneXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin, cocok untuk negara endemis, dan dapat dilakukan walaupun sampel sputum hanya 1 ml. Uji konvensional untuk mendiagnosa TB resisten OAT yang mengandalkan kultur bakteri dan uji kepekaan obat yang telah lama digunakan merupakan proses yang lama dan tidak praktis. Pada saat ada kemungkinan pasien menerima pengobatan yang tidak tepat, strain M. tuberculosisyang resisten obat dapat menyebar dan resistensi dapat menjadi lebih luas. Meskipun metode molekuler yang telah ada sebelumnya untuk mendiagnosa TB resisten OAT, tetapi alat uji yang ada seperti PCR konvensional atau LPA, memakai metode yang terlalu rumit untuk selalu dilakukan di negara berkembang. Sampel yang selalu diproses dan DNA yang diekstraksi menambah kesulitan untuk dilakukan karena sumber daya manusia kurang. GeneXpert, suatu perangkat platform, yang diluncurkan oleh Cepheid pada tahun 2004 dan menyederhanakan uji molekuler yang terintegrasi dan automatis dengan 3 proses (persiapan sampel, amplifikasi, dan deteksi) berdasarkan real timePCR.69 World Health Organization merekomendasikan pemakaian GeneXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien tersangka TB MDR dan pasien dengan BTA
58
negatif.78 Tuberkulosis paru BTA negatif dihubungkan dengan rendahnya hasil pengobatan, termasuk kematian yang disebabkan lamanya diagnosa atau tidak terdiagnosa. Teknologi baru seperti GeneXpert memberikan keuntungan untuk diagnosa awal TB dan penggunaan sistem diagnostik ini dapat meningkatkan diagnosa pasti secara cepat untuk semua pasien dengan TB paru.70-71 Uji GeneXpert MTB/RIF merupakan uji diagnostik TB yang memiliki banyak kelebihan diantaranya: mudah dipakai, mengurangi pemakaian biosafety cabinet, hasil diperoleh lebih cepat yaitu kurang lebih 2 jam, dan tidak memerlukan tenaga ahli khusus untuk melakukannya. Tetapi GeneXpertMTB/RIF juga memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu: adanya batasan masa pakai catridge, suhu pengoperasian/ kelembaban dibawah 300C sehingga di negara tropis membutuhkan penyejuk udara yang tetap menyala, biaya mahal , ketersediaan aliran listrik,dan memerlukan perawatan tahunan serta kalibrasi tiap mesin.74 2.5.9. Line Probe Assay (LPA) Line
Probe
Assay
merupakan
pemeriksaan
molekuler
berdasarkan
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan dikenal sebagai Hain test/GenoType MTB DR plus. Teknologi molekuler LPA sebagai rapid test untuk mendeteksi TB MDR didukung WHO pada tahun 2008. Teknologi LPA terdiri dari 4 langkah yaitu: ekstraksi DNA dari isolasi M. tuberculosis (uji tidak langsung) atau secara langsung dari spesimen klinik (uji langsung), amplifikasi PCR untuk menentukan region gen dengan menggunakan primer, hibridisasi produk PCR dengan oligonucleotide probe dan capture hibridisasi yang dideteksi dengan kolorimetri yang memungkinkan deteksi keberadaan M.
59
tuberculosis complex sama baiknya dengan mendeteksi keberadaan wild type dan mutasi probe untuk resistensi.69,75 Line Probe Assay atau MTB DR plus dapat mendeteksi dua resistensi yaitu resistensi rifampisin dan isoniazid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin ternyata juga resisten terhadap isoniazid sehingga tergolong TB MDR.77 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa LPA mempunyai sensitivitas ≥ 97% dan spesifisitas ≥99% untuk mendeteksi resistensi rifampisin dan untuk mendeteksi resistensi isoniazid juga mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu ≥90% dan ≥99% dibandingkan dengan kultur dan hasil uji kepekaan obat konvensional.86 Kebanyakan hasil LPA yang tidak valid ditemukan pada spesimen sputum dengan bacillary load yang rendah (1+) atau sampel kultur negatif, sesuai dengan petunjuk bahwa LPA tidak cocok digunakan pada spesimen dengan apusan dahak negatif. Kelemahan metode genotype MTBDR plus adalah biaya yang mahal, memerlukan infrastruktur tepat, pelatihan yang memenuhi syarat dan keahlian petugas laboratorium.77-78 Tes LPA juga tidak berguna pada spesimen sputum dengan bacillary load rendah dan spesimen paucibacillary TB ekstra paru. Genexpert MTB/RIF tidak dapat mendeteksi resistensi isoniazid dan hal ini dapat menyebabkan luputnya kasus monoresisten isoniazid. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa diantara metode molekuler, LPA memberikan profil uji kepekaan obat yang lebih baik dibandingkan dengan Genexpert MTB/RIF. Metode LPA juga berguna pada surveilan pada negara dengan monoresisten isoniazid yang tinggi.75
60
2.6. Efek Sepsis Jangka Panjang Sepsis didefinisikan sebagai respon inflamasi tubuh terhadap adanya infeksi berat yang mengancam nyawa dengan disertai kelainan biokimia dan disfungsi organ. Sebuah studi kohort yang dilakukan oleh Quartin dkk. menemukan bahwa orang yang selamat dari sepsis memiliki peningkatan risiko kematian yang berlangsung hingga 5 tahun setelah awal terjadinya sepsis, sesuai dengan penyakit dasarnya. Data terbaru menunjukkan bahwa sebagian pasien setelah pasien mengalami sepsis akan memiliki kualitas hidup yang buruk, memilki gangguan kognitif dan fungsional dalam jangka panjang. Kemungkinan penyebab untuk gangguan jangka panjang diamati meliputi hipoperfusi, toksin-toksin dalam darah, respon stres yang berlebihan (sitokin), penggunaan obat (seperti steroid), imobilitas, perkembangan komplikasi seperti cedera paru akut atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut.80 Pada sepsis disamping proses hiperinflamasi dapat pula terjadi keadaan imunosupresi akibat perubahan epigenetic dari sistem imun baik sistem imun adaptif maupun sistem imun bawaan (gambar 2.19 dan gambar 2.20). Perubahan epigenetik sistem imun ini secara keseluruhan akan mengurangi kinerja sitokin proinflamasi dan meningkatkan
kerja
sitokin
antiinflamasi sehingga
tubuh
imunosupresi jangka panjang seperti terlihat pada gambar 2.18.79
61
akan
mengalami
Gambar 2.18. Respon kekebalan pada sepsis, imunosupresi tipe lambat dan imunosupresi jangka panjang berdasar pada teori Hotchkiss et al.79
Gambar 2.19. Perubahan Epigenetik Sistem Imun Bawaan.80
62
Gambar 2.20. Perubahan Epigenetik Sistem Imun Adaptif.81
Berikut beberapa efek jangka panjang pada sepsis : 1. Nutrisi Kaheksia otot adalah respons metabolik secara sistemik dengan berbagai penyebab seperti post operasi, sepsis, cedera parah, gagal ginjal, dan kanker. Pada pasien sepsis akan berkurang massa ototnya sebesar 2% per hari. Pada sepsis terjadi peningkatan
ekspresi
gen
dan
Ubioquitin/Proteasome-Proteolytic.
aktivitas
Calcium/Calpain
Calcium/Calpain
mengatur
dan
jalur
pengeluaran
miofilamen-miofilamen dari sarkomer sedini mungkin. Pada sepsis aktivitas Calcium/Calpain yang berlebihan ini menyebabkan peningkatan respon katabolik yang berlebihan pula. Selain itu pada sepsis pengaktifan jalur Ubioquitin/Proteasome-Proteolytic menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang memecah protein otot untuk menghasilkan ATP.85 Setelah mengalami sepsis beberapa pasien juga sering mengalami penurunan nafsu makan dan tidak bisa merasakan makanan dengan baik akibat atrofi dari indra perasa selama sepsis.86
63
2. Neuropati dan Miopati Pada sepsis akan terjadi perubahan dari mikrovaskular, metabolik, penjalaran sinyal-sinyal elektrik tubuh dan juga perubahan biologis yang lain dimana akan menyebabkan suatu polineuropati maupun miopati. Sepsis akan menyebakan vasodilatasi sistemik sehingga meningkatkan permeabilitas membrane sel sehingga terjadi influx cairan berlebih di ruang interstisial sehingga terjadi edema sistemik termasuk di sel saraf. Hal ini akan memicu gangguan penghantaran sinyal pada serabut saraf sehingga terjadi polineuropati. Pada sepsis juga terjadi gangguan homeostasis kalsium dimana kalsium ini diperlukan untuk kerja sel-sel otot yakni mengatur kontraksi dan relaksasi secara seimbang. Pada sepsis sering terjadi kondisi hipokalsemi akibat gannguan penyerapan kalsium pada usus serta peningkatan eksresi kalsium melalui ginjal. Hipokalsemi yang berkepanjangan ini menyebabkan sel-sel otot kesulitan memulai kontraksi dan bahkan terjadi atrofi otot yang jika berkelanjutan akan menyebabkan suatu miopati. Untuk lebih jelasnya polineuropati dan miopati pasca sepsis akan dijelaskan pada gambar 2.21. 87
Gambar 2.21. Polineuropati dan Miopati pada Penyakit Kritis. 88
64
3. Sistem pernapasan Sistem respirasi merupakan kombinasi antara kerja otot, tulang dan saraf pernapasan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada keadaan infeksi dimana terjadi disregulasi ketiga sistem tersebut sehingga menyebabkan efek jangka panjang yakni dispnea seperti yang dijelaskan pada gambar 2.22.89
2.22. Mekanisme Dispnea setelah Keadaan Kritis.89
4. Disfungsi seksual Salah satu efek jangka panjang pasca sepsis adalah disfungsi seksual. Peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF alfa pada saat terjadi infeksi akan meningkatakan deposisi matrik ekstraseluler pada endothel corpus cavernosa sehingga terjadi penurunan elastisitas endothel tersebut. Disamping itu peningkatan TNF alfa yang berlebihan akan menghambat aktivitas NO sehingga tidak tercapai vasodilatasi sempurna sehingga mengganggu proses ereksi dan ejakulasi.
65
Secara lebih lengkap akan dijelaskan pada gambar 2.23.90
Gambar 2.23. Mekanisme Inflamasi Kronis Menginduksi Disfungsi Seksual. 90
5. Gangguan Pembentukan dan Resopsi Tulang Pengeroposan tulang pasca infeksi merupakan
efek langsung dari
peradangan, gizi buruk, penurunan massa tubuh tanpa lemak, imobilitas dan efek dari perawatan, terutama glukokortikoid. Mekanisme ini sangat kompleks dan saling terkait, tetapi pada akhirnya dimediasi melalui efek pada siklus remodeling tulang.
66
Infeksi dapat meningkatkan resorpsi tulang, menurunkan pembentukan tulang, seperti dijelasskan pada gambar 2.24.91
Gambar 2.24. Gangguan Pembentukan dan Resopsi Tulang pada Penyakit Kritis.91
6. Gangguan Fungsi Kognitif Delirium
merupakan
gangguan
fungsi
kognitif
dimana
terjadi
ketidakseimbangan antara neurotransmitter yang meningkatkan (dopamine) dan yang menghambat (asetilkolin) eksitasi pada serabut saraf. Pada kondisi sepsis terjadi peningkatan sitokin proinflamasi dan peningkatan release dopaminergik sehingga terjadi over eksitasi yang akan memicu terjadinya hipoksia sel-sel saraf dan memicu terjadinya delirium yang berkepanjangan.
67
Selain itu gangguan metabolic, hipotensi dan gangguan regulasi glukosa saat terjadi sepsis akan memperberat derajat kerusakan sel-sel saraf seperti dijelaskan pada gambar 2.25.92
Gambar 2.25. Gangguan Fungsi Kognitif Pasca Penyakit Kritis. 92
2.7. Manajemen Sepsis dan Syok Sepsis Berikut adalah tata cara penge olaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :
68
Tabel 2.7. Surviving Sepsis Campaign Care Bundles.15 Harus diselesaikan dalam waktu 3 jam pertama: 1) Mengukur kadar asam laktat 2)Pemeriksaan kultur darah sebelum memberikan antiniotik 3) Pemberian antibiotic spectrum luas 4) Pemberian kristaloid 30 mL/kg untuk pasien hipotensi dan nilai asam laktat 4mmol/L Harus diselesaikan dalam waktu 6 jam pertama: 5) Pemberian vasopressor (untuk pasien hipotensi yang tidak respon dengan resusitasi cairan) untuk menaikkan MAP > 65 mmHg 6) Pada keadaan hipotensi yang persisten meskipun telah diberikan resusitasi (syok sepsis) atau nilai awal laktat 4 mmol/L (36 mg/dL): - Dilakukan pengukuran central venous pressure (CVP)* - Dilakukan pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO2)* 7) Pengukuran kembali kadar laktat jika nilai awalnya * *Target dari adalah nilai CVP > 8 mmHg , ScvO2 of 70%, dan nilai normal dari laktat. Tabel 2.8. Rekomendasi Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi. 15 A. Resusitasi Awal 1. Sesuai protocol, resusitasi diberikan pada pasien dengan sepsis yang diinduksi hipoperfusi jaringan (terjadinya persisten hipotensi dan kadar laktat ≥ 4 mmol/L ). Target yang dicapai selama 6 jam pertama resusitasi adalah : a) Central venous pressure 8–12 mm Hg b) Mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mm Hg c) Produksi urin ≥ 0.5 mL/kg/jam d) Central venous (superior vena cava) or mixed venous oxygen saturation 70% atau 65%, (grade 1C).
69
2. Pada pasien dengan kadar laktat yang meningkat target dari resusitasi adalah nilai normal dari laktat (grade 2C). B. Skrining untuk Pasien Berisiko Sepsis dan Peningkatan Kinerja Tim Kesehatan 1. Skrining rutin pada pasien sakit berat yang berpotensi menjadi sepsis sehingga dapat memberikan terapi lebih dini (grade 1C). 2. Penanganan sepsis dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin ilmu yang terkait. C. Diagnosis 1. Kultur sesuai klinis pasien dilakukan sebelum diberikan antibiotik (grade 1C). Minimal diperiksa kultur darah (botol aerob dan anaerob) (grade 1C). 2. Digunakan 1,3 beta-D-glucan assay (grade 2B), mannan dan anti-mannan antibody assays (2C), jika perlu dilakukan kultur untuk Candidiasis sebagai diagnose banding infeksi. 3. Studi pencitraan dilakukan segera mengkonfirmasi sumber potensial infeksi (UG). D. Terapi Antimikroba 1. Pemberian antimikroba intravena efektif dalam satu jam pertama pada syok septik (grade 1B) dan sepsis berat tanpa syok grade 1C). 2a. Terapi empirik awal dengan satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas terhadap semua kemungkinan patogen yang menginfeksi (bakteri dan / atau jamur atau virus) serta dapat menembus dalam konsentrasi yang memadai ke jaringan dianggap menjadi sumber sepsis (grade 1B). 2b. Rejimen antimikroba harus ditinjau kembali setiap hari untuk kemungkinan dieskalasi (grade 1B). 3. Penggunaan tingkat procalcitonin rendah atau biomarker yang sama untuk membantu dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada pasien yang awalnya muncul septik, tapi tidak punya bukti infeksi (grade 2C).
70
4a. Kombinasi terapi empiris untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat (grade 2B) MDR, bakteri patogen seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. (grade 2B). Untuk pasien dengan infeksi berat terkait dengan kegagalan pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan spektrum diperpanjang dari beta-laktam dan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk bacteremia akibat P. aeruginosa (grade 2B). 4b. terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan selama lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi untuk terapi tunggal yang paling tepatvharus dilakukan segera setelah profil sensitivitas diketahui (grade 2B). 5. Durasi terapi biasanya 7-10 hari; terapi yang lama mungkin tepat pada pasien yang memiliki respon klinis yang lambat, bakteremia dengan S. aureus; beberapa infeksi jamur dan virus atau defisiensi imunitas, termasuk neutropeni (grade 2C). 6. terapi antivirus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik dengan penyebab virus (grade 2C). 7. agen antimikroba tidak boleh digunakan pada pasien dengan keadaan inflamasi parah dengan penyebab non infeksi (UG). E. Mengontrol Sumber Infeksi 1. Diagnosis anatomi tertentu dari infeksi yang memerlukan pertimbangan untuk kontrol sumber harus dicari dan ditegakkan secepat mungkin, dan intervensi dilakukan untuk kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika memungkinkan (grade 1C). 2. Ketika terinfeksi nekrosis peripancreatic, intervensi definitif terbaik ditunda sampai terdapat batas yang memadai dari jaringan yang viable dan nonviable (grade 2B). 3. Ketika kontrol sumber pada pasien sepsis berat diperlukan, intervensi yang efektif adalah dengan meminimalkan fungsi fisiologis (seperti dilakukan pembuangan abses perkutaneis dibandingkan oprasi drainase abses) (UG).
71
4.Jika akses intravaskular diduga sebagai sumber sepsis berat atau syok septik, akses tersebut harus disingkirkan segera setelah terdapat akses intravascular yang baru (UG). F. Pencegahan Infeksi 1a.Dekontaminasi lisan selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus dilakukan sebagai metode untuk mengurangi timbulnya ventilator-associated pneumonia (grade 2B). 1b. Pemberian chlorhexidine glukonat oral digunakan sebagai bentuk dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko ventilator-associated pneumonia pada pasien ICU dengan sepsis be (grade 2B). Tabel 2.9. Rekomendasi Dukungan Hemodinamik dan Terapi Ajuvan G. Terapi Cairan pada Sepsis Berat 1. Kristaloid sebagai cairan awal dalam resusitasi sepsis berat dan syok septik (grade 1B). 2. tidak disarankan penggunaan hidroksietil untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B). 3. Albumin bisa diberikan dalam resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid (grade 2C). 4. Terapi cairan awal pada pasien dengan hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis dengan kecurigaan hipovolemia adalah 30 mL / kg kristaloid dapat diberikan lebih banyak jika diperlukan (grade 1C). 5. Terapi cairan awal diberikan sampai didapatkan hemodinamik yang stabil (UG). H. Vasopressor 1. Terapi awal vasopresor diberikan sampai target mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mm Hg (grade 1C). 2. Norepinefrin merupakan vasopressor pilihan pertama (grade 1B).
72
3. Epinefrin dapat deiberikan sebagai terapi tambahan norepinefrin jika diperlukan untuk mempertahankan MAP yang optimal (grade 2B). 4. Vasopresin 0,03 unit / menit dapat ditambahkan pada norepinefrin (NE) dengan tujuan menaikkan MAP atau menurun dosis NE (UG). 5. Vasopressin dosis rendah tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal tunggal untuk pengobatan hipotensi yang diinduksi sepsis dan dosis vasopressin lebih tinggi dari 0,030,04 unit / menit harus disediakan untuk terapi penyelamatan (gagal mencapai target MAP) (UG). 6. Dopamin sebagai agen vasopressor alternatif dari norepinefrin hanya pada pasien yang sangat tertentu (misalnya, pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif) (grade 2C). 7. Phenylephrine tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam keadaan di mana (a) NE meningkatkan resiko aritmia, (b) COP yang tinggi dengan tekanan darah yang rendah(c) terapi penyelamatan jika kombinasi antara inotropic atau vasopressor gagal mencapai target MAP (grade 1C). 8. terapi dopamine dosis rendah sebaiknya tidak dilakukan untuk melindungi fungi ginjal (grade 1A). 9. Semua pasien yang membutuhkan vasopressor harus memiliki akses intravascular secepatnya (UG). I. Terapi Inotropik 1. Pemberian infus dobutamin hingga 20 mikrogram / kg / min diberikan atau ditambahkan pada vasopressor jika terjadi (a) disfungsi miokard seperti peningkatan tekanan pengembalian curah jantung dan penurunan COP, or (b) tanda-tanda adanya hipoperfusi, meskipun cairan telah diberikan secara optimal dan MAP telah mencapai target (grade 1C).
73
2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan indeks jantung ke tingkat lebih atas dari batas normal yang telah ditentuka (grade 1B). J. Kortikosteroid 1. Tidak disarankan memberikan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien syok septik
dewasa
jika
resusitasi
cairan
yang
memadai
dan
vasopressor
telah mengembalikan stabilitas hemodinamik. Jika belum tercapai hemodinamik tang stabil, disarankan hidrokortison intravena saja dengan dosis 200 mg per hari (grade 2C). 2.Tidak menggunakan uji stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison (grade 2B). 3. terapi hidrokortison harus diturunkan jika vasopressor sudah tidak diperlukan lagi (grade 2D). 4. kortikosteroid tidak diberikan pada sepsis tanpa adanya tanda-tanda syok (grade 1D). 5. Ketika hidrokortison diberikan, diberikan dengan tetesan yang terus-menerus (grade 2D).
Gambar 2.26. Perbandingan Pemberian Terapi Norepinefrin dengan Dopamin pada Pasien Sepsis Berat.15
74
Tabel 2.10.Terapi Suportif pada Sepsis Berat.15 K. Pemberian Produk Darah 1. Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan tidak adanya keadaan khusus, seperti iskemia miokard, parah hipoksemia, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik, kami merekomendasikan bahwa transfusi sel darah merah diberikan hanya ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga <7,0 g / dL dengan target konsentrasi hemoglobin 7,0 -9,0 g / dL pada orang dewasa (grade 1B). 2. Tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan khusus anemia terkait dengan sepsis berat (grade 1B). 3. Fresh frozen plasma tidak digunakan untuk memperbaiki kelainan pembekuan laboratorium tanpa adanya perdarahan atau akan direncanakan tindakan invasif (grade 2D). 4. Tidak menggunakan antitrombin untuk pengobatan sepsis berat dan syok septik (grade 1B). 5. Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan trombosit profilaksis bila jumlahnya <10.000 / mm3 (10 x 109 / L) dengan sumber perdarahan yang jelas. Untuk trombosit <20.000 / mm3 (20 x 109 / L) diberikan jika pasien memiliki risiko yang signifikan terjadi pendarahan. jumlah trombosit lebih tinggi (≥50,000 / mm3 [50 x 109 / L]) disarankan jika didapatkan perdarahan aktif, rencana dilakukan operasi, atau prosedur invasi (grade 2D). L. Imunoglobulin 1. Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan sepsis berat atau syok septik (grade 2B). M. Selenium 1. Tidak menggunakan selenium pada pasien dewasa dengan sepsis berat (grade 2C).
75
N. Sejarah Rekomendasi Mengenai Penggunaan Recombinant Activated Protein C (rhAPC) Sebuah sejarah evolusi rekomendasi SSC untuk rhAPC (tidak lagi tersedia) telah disediakan. O. Ventilasi Mekanik untuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang Diinduksi Sepsis 1. Target volume tidal dari 6 mL / kg berat badan perkiraan pada pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis (grade 1A vs. 12 mL/kg). 2. Tekanan Plateau diukur pada pasien dengan ARDS dan batas atas target awal untuk tekanan plateu pada paru-paru menjadi ≤30 cm H2O (grade 1B). 3. tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) diterapkan untuk menghindari alveolar yang kolaps pada akhir ekspirasi (atelectrauma) (grade 1B). 4. Strategi berdasarkan pada tingkat tinggi daripada tingkat yang lebih rendah dari PEEP untuk pasien dengan berat atau ARDS sedang atau berat yang diinduksi sepsis (grade 2C). 5. Ventilasi dapat diberikan pada keadaan hipoksemia berat refrakter (grade 2C). 6. Posisi prone digunakan dalam sepsis yang diinduksi ARDS pasien dengan rasio PaO2 / Fio2 ≤100 mm Hg pada RS dengan fasilitas yang tersedia (grade 2B). 7. Ventilasi mekanik dipertahankan dengan sudut kepala untuk 30-45 derajat dari bed untuk mencegah resiko aspirasi dan untuk mencegah perkembangan ventilator-associated pneumonia (grade 1B). 8. That noninvasive mask ventilation (NIV) digunakan dalam sebagian kecil pasien ARDS yang diinduksi sepsis dimana manfaat NIV telah dipertimbangkan dan diperkirakan lebih besar daripada risiko (grade 2B). 9. Weaning ventilator mekanik dilakukan jika: a) Pasien sadar b)hemodinamik stabil tanpa vasopresor; c) tidak ada potensi perburukan kondisi; d) dibutuhkan tekanan
76
end-expiratory pressure yang rendah; dan e) dibutuhkan Fio2 yang rendah yang dapat diberikan dengan nasal kanul (grade 1A). 10. Tidak disarankan pemakaian akses rutin pada arteri pumonalis pada pasien ARDS yang diinksi sepsis (grade 1A). 11. pemberian terapi cairan dosis maintenance pada pasien ARDS yang diinduksi sepsis jika tidak didapatkan hipoperfusi jaringan (grade 1C). 12. Jika tidak ada indikasi tertentu seperti bronkospasme, tidak digunakan beta 2-agonis untuk pengobatan ARDS yang diinduksi sepsis (grade 1B). P. Sedasi, Analgesik dan Pelumpuh Neuromuskular pada Sepsis 1. Pemberian sedasi terus menerus atau intermiten diminimalkan pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik (grade 1B). 2. Neuromuscular blocking agents (NMBAs) harus dihindari pada pasien septik tanpa ARDS karena risiko blokade neuromuskuler yang berkepanjangan sampai dengan penghentian. Jika NMBAs harus diberikan, baik bolus intermiten sebagai diperlukan atau infus kontinu harus dilakukan monitor yang ketat (grade 1C). 3. NMBA diberikan tidak lebih dari 48 jam untuk pasien dengan awal ARDS yang diinduksi sepsis dan PaO2 / Fio2 <150 mm Hg (grade 2C). Q. Kontrol Gula Darah 1. Manajemen glukosa darah pada pasien ICU dengan sepsis berat dosis insulin dimulai saat 2 kali pengulangan kadar glukosa darah berturut-turut adalah> 180 mg / dL. Target glukosa darah ≤180 mg / dL lebih baik daripada ≤ 110 mg / dL (grade 1A). 2. nilai glukosa darah dimonitor setiap 1-2 jam sampai nilai glukosa dan tingkat infus insulin stabil dan kemudian dimonitor setiap 4 jam(grade 1C).
77
3. Monitor kadar glukosa melalui darah kapiler ditafsirkan dengan hati-hati, karena pengukuran tersebut mungkin tidak akurat memperkirakan nilai glukosa darah arteri atau plasma (UG). R. Renal Replacement Therapy 1. terapi pengganti ginjal yang terus menerus dan hemodialisis intermiten diberikan pada pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut (grade 2B). 2. terapi diberikan terus-menerus sampai diperoleh status volum (grade 2D). S. Terapi Bikarbonat 1. Tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi asidemia laktat dengan pH ≥7.15 (grade 2B). T. Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT) 1. Pasien dengan sepsis berat diberikan terapi farmakologis untuk mengobati venous thromboembolism (VTE) (grade 1B). Diberikan low-molecular weight heparin (LMWH) rutin (grade 1B atau 2x/hari UFH, grade 2C Atau 3x/hari UFH). Jika kliren kreatinin <30 mL/min, digunakan dalteparin (grade 1A) atau LMWH yang tidak dimetabolisme oleh ginjal (grade 2C) atau UFH (grade 1A). 2. Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis dan kompresi pneumatik intermiten bila memungkinka (grade 2C). 3. pasien septik yang memiliki kontraindikasi untuk diberikan heparin (misalnya, trombositopenia,
koagulopati
berat,
perdarahan
aktif,
baru-baru
ini
perdarahan intraserebral) tidak diberikan farmakoprofilaksis (grade 1B), tapi menerima terapi profilaksis mekanis (grade 2C), kecuali jika didapatkan kontraindikasi. Ketika resiko berkurang dapat diberikan farmakoprofilaksis (grade 2C).
78
U. Profilaksis untuk Stress Ulcer 1. Profilaksis stress ulcer dengan menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor pada pasien dengan sepsis berat / syok septik yang berisiko perdarahan (grade 1B). 2. lebih disarankan proton pump inhibitors rather daripada H2RA (grade 2D) 3. Pasien tanpa resiko stress ulcer tidak diberikan profilaksis (grade 2B). V. Nutrisi 1. Pemberian nutrisi oral atau enteral (jika perlu) disusui, jika mengharuskan puasa tetap diberikan glukosa intravena dalam 48 jam pertama setelah terdiagnosis sepsis berat / syok sepsis (grade 2C). 2. Hindari pemberian kalori penuh di minggu pertama melainkan menyarankan makan dosis rendah (misalnya, hingga 500 kalori per hari), dinaikkan sesuai kondisi paien (grade 2B). 3. Pemberian infus glukosa intravena dikombinasikan nutrisi enteral lebih disarankan daripada pemberian total parenteral nutrition (TPN) saja atau nutrisi parenteral dengan enteral pada 7 hari pertama setelah terdiagnosis sepsis berat / syok sepsis (grade 2B). 4. Pemberian nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi khusus lebih disarankan pada pasien dengan sepsis berat (grade 2C). W. Menetapkan Tujuan Perawatan 1. Diskusikan tujuan perawatan dengan pasien dan keluarga (grade 1B). 2. Menggabungkan tujuan perawatan dan pengobatan serta perencanaan dalam mengakhiri kehidupan, memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan paliatif secara tepat (grade 1B). 3. Tentukan tujuan perawatan sedini mungkin, tidak lebih dari 72 jam masuk ICU (grade 2C).
79