BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan, antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya. Kebakaran-kebakaran
yang
sering
terjadi
digeneralisasi
sebagai
kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan
1
perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan kebakaran
masalah
harus
ini
maka
berdasarkan
manajemen
hasil
penelitian
penanggulangan dan
tidak
lagi
bahaya hanya
mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).
1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1
Apa definisi dari disaster/bencana?
1.2.2
Apa saja klasifikasi klasifik asi disaster/bencana?
1.2.3
Apa definisi dari kebakaran?
1.2.4
Apa saja klasifikasi klasifik asi kebakaran?
1.2.5
Bagaimana pengaturan penanggulangan bencana secara umum?
1.2.6
Bagaimana proses kebakaran?
1.2.7
Apa saja dampak dari kebakaran?
1.2.8
Apa definisi dari kebakaran hutan?
1.2.9
Apa saja penyebab dari kebakaran hutan?
1.2.10 Apa saja dampak dari kebakaran hutan? 1.2.11 Bagaimana pencegahan kebakaran hutan di Indonesia? 1.2.12 Bagaimana penanggulan kebakaran hutan di Indonesia? 1.2.13 Bagaimana peran perawat dalam pencegahan primer? 1.2.14 Bagaimana peran perawat dalam keadaan darurat (impact phase)? 1.2.15 Bagaimana peran p eran perawat di dalam posko pengungsian dan posko posk o bencana?
2
perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan kebakaran
masalah
harus
ini
maka
berdasarkan
manajemen
hasil
penelitian
penanggulangan dan
tidak
lagi
bahaya hanya
mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).
1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1
Apa definisi dari disaster/bencana?
1.2.2
Apa saja klasifikasi klasifik asi disaster/bencana?
1.2.3
Apa definisi dari kebakaran?
1.2.4
Apa saja klasifikasi klasifik asi kebakaran?
1.2.5
Bagaimana pengaturan penanggulangan bencana secara umum?
1.2.6
Bagaimana proses kebakaran?
1.2.7
Apa saja dampak dari kebakaran?
1.2.8
Apa definisi dari kebakaran hutan?
1.2.9
Apa saja penyebab dari kebakaran hutan?
1.2.10 Apa saja dampak dari kebakaran hutan? 1.2.11 Bagaimana pencegahan kebakaran hutan di Indonesia? 1.2.12 Bagaimana penanggulan kebakaran hutan di Indonesia? 1.2.13 Bagaimana peran perawat dalam pencegahan primer? 1.2.14 Bagaimana peran perawat dalam keadaan darurat (impact phase)? 1.2.15 Bagaimana peran p eran perawat di dalam posko pengungsian dan posko posk o bencana?
2
1.2.16 Bagaimana peran perawat dalam fase post impact?
1.3 TUJUAN PENULISAN 1.3.1
Untuk mengetahui definisi daridisaster/bencana. daridisaster /bencana.
1.3.2
Untuk mngetahui klasifikasi klasifik asi dari disaster/bencana.
1.3.3
Untuk mengetahui definisi dari kebakaran.
1.3.4
Untuk mengetahui klasifikasi klasifik asi dari kebakaran.
1.3.5
Untuk mengetahui pengaturan penanggulangan bencana secara umum
1.3.6
Untuk mengetahui proses dari kebakaran.
1.3.7
Untuk mengetahui dampak dari kebakaran.
1.3.8
Untuk mengetahui definisi dari kebakaran hutan.
1.3.9
Untuk mengetahui penyebab dari kebakaran hutan.
1.3.10 Untuk mengetahui dampak dari kebakaran hutan. 1.3.11 Untuk mengetahui pencegahan kebakaran hutan di Indonesia. 1.3.12 Untuk mengetahui penanggulan kebakaran hutan di Indonesia. 1.3.13 Untuk mengetahui peran perawat dalam pencegahan primer. 1.3.14 Untuk mengetahui peran perawat dalam keadaan darurat (impact phase). 1.3.15 Untuk mengetahui peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana. 1.3.16 Untuk mengetahui peran perawat dalam fase post impact.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bencana (Disaster) Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Bencana atau disaster menurt Wikipedia adalah disaster is the impact of a natural or man-made hazards that negatively effects society or environment (bencana adalah pengaruh alam atauancaman yang dibuat manusia yang berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan). Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
dikenal pengertian
dan
beberapa
istilah
terkait
dengan
bencana.Bencana adalah peristiwa atau masyarakat rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwanonalam
yang
antara
lain
berupa
gagal
teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan
harta benda
dan jiwa manusia, merusak
struktur social
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).
2.2 Klasifikasi Bencana 2.1.1 Bencana yang disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) : a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkanoleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan b. Letusan gunung merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah ”erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujanabu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar c. Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasayang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. d. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tibatiba,
mempunyai
pusat,
bergerak
melingkar
menyerupai
spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
5
e. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. f. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya,
menuruni atau keluar
lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. g. Kebakaran hutan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis danatau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yangdapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. h. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. 2.1.2 Bencana yang disebabkan oleh ulah manusia (manmade disaster) a. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan udara b. Kerusuhan social adalah suatu gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial,
budayadan
ekonomi
yang
biasanya
dikemas
sebagai
pertentangan antar suku, agama, ras. c. Gas beracun merupakan gas kimia yang berupaya menyebabkan kesan keracunan apabila gas tersebut masuk melalui paru-paru. d. Terorisme adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadaporang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup ataufasilitas publik internasional.
6
2.3 Definisi Kebakaran Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil atau besar pada tempat yang tidak kita kehendaki, merugikan pada umumnya sulit dikendalikan (Perda DKI,2002). Kebakaran memiliki arti proses penyalaan api yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta didukung ketersediaan material sebagai bahan bakar. Kata ‘kebakaran’ mengandung makna adanya bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial (Agung, 2004). Kebakaran senantiasa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, baik menyangkut kerusakan harta benda, kerugian materi, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, terhentinya proses produksi barang serta jasa, serta ancaman terhadap keselamatan jiwa. Kebakaran yang terjadi di permukiman padat penduduk menimbulkan akibat-akibat sosial, ekonomi dan psikologi yang luas serta kebakaran di kawasan kumuh padat bisa langsung menghancurkan ekonomi masyarakat korban kebakaran.
2.4 Klasifikasi Kebakaran Agar dapat menentukan sikap dalam menanggulangi bahaya kebakaran ada baiknya memahami klasifikasi kebakaran agar dapat menetukan tindakan dalam mempercepat atau meredam wilayah terbakar yang lebih luas. Ada empat jenis kebakaran dan bahan pemadamnya, yaitu: 1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda padat kecuali logam yang mudah terbakar seperti kertas, kayu dan pakaian yang tergolong sebagai kelas A. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air, foam, CO2, atau bubuk kimia kering. 2.
Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak bumi, gas, lemak dan sejenisnya disebut kebakaran kelas B. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia yaitu foam, CO2, atau bubuk kimia kering.
7
3. Kebakaran listrik seperti kebocoran listrik atau korsleting, kebakaran pada alat-alat listrik generator dan motor listrik disebut jenis kebakaran kelas C. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam jenis CO2 dan bubuk kimia kering. 4. Kebakaran logam seperti seng, magnesium, serbuk alumunium, sodium, titanium disebut jenis kebakaran kelas D. Pada tabel di bawah djelaskan mengenai klasifikasi kebakaran menurut Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Tahun 2006, berdasarkan kelas resiko, material dan media pemadam kebakaran di Indonesia.
RESIKO
MATERIAL
ALAT PEMADAM
Kelas A
Kayu, kertas, kain
Dry Chemichal Multiporse dan ABC Soda Acid
Kelas B
Bensin,
Minyak
tanah,
varnish
Dry
Chemichal
bubuk),
BCF
Foam
(serbuk
(Bromoclorodiflour
Methane), CO2, dan Gas Hallon Kelas C
Bahan – bahan
Kelas D
seperti
Dry Chemichal, CO2, Gas Hallon
asetelin, methane, propane
dan
BCF
(Bromoclorodiflour
dan gas alam
Methane).
Uranium, magnesium dan
Metal x, metal guard, dry sand dan
titanium
Bubuk Pryme
Dari keempat jenis kebakaran tersebut yang jarang ditemui adalah kelas D, biasanya untuk kelas A, B dan C alat pemadamnya dapat digunakan dalam satu tabunng atau alat yang dijual secara umum, kecuali bila diperlukan jenis khusus. Menurut Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, tingkat resiko kebakaran dapat diklasifikasikan dalam angka untuk menentukan kualitas resiko yang harus dihadapi dan ditindaklanjuti, yaitu: 1.
Angka
Klasifikasi
Resiko
Bahaya
3,
angka
klasifikasi
yang
harus
mempertimbangkan resiko bahaya yang paling rawan dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya sangat tinggi. Terdapat perkiraan terhadap
8
berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau kurang. 2.
Angka
Klasifikasi
Resiko
Bahaya
4,
angka
klasifikasi
yang
harus
mempertimbangkan resiko bahaya yang tinggi dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya tinggi. Terdapat perkiraan terhadap berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau kurang. 3.
Angka
Klasifikasi
Resiko
Bahaya
5,
angka
klasifikasi
yang
harus
mempertimbangkan sebagai hunian bahaya sedang dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi 3,7 meter. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang. 4.
Angka
Klasifikasi
Resiko
Bahaya
6,
angka
klasifikasi
yang
harus
mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi 2,5 meter. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang. 5.
Angka
Klasifikasi
Resiko
Bahaya
7,
angka
klasifikasi
yang
harus
mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas yang rendah. Dari tingkat status resiko bahaya kebakaran dapat disimpulkan bahwa semakin kecil angka klasifikasi maka status bahaya semakin tinggi dan sebaliknya bahwa semakin besar angka klasifikasi maka status bahaya semakin rendah. Dengan memahami klasifikasi resiko bahaya kebakaran terhadap bahan yang terbakar serta pencegahannya dan kalsifikasi memberi status resiko kebakaran akan memudahkan kita untuk menentukan sistem penanggulangan yang sesuai.
9
2.5 Pengaturan Penanggulangan Bencana Secara Umum Menurut Departemen Sosial RI, pengaturan penanggulangan bencana bersifat dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkahlangkah yang berhubungan dengan pengamatan setempat dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Pengaturan bencana ini sangat baik diterapkan di lingkungan padat permukiman perkotaan yang diakibatkan oleh bencana agar dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. siklus atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi terus-menerus sebagai rangkaian respon dalam mengahadapi bencana sesuai permasalahan yang ditemui
Gambar Siklus Pengaturan Bencana
Siklus pengaturan bencana terdiri dari: 1. Pencegahan yaitu langkah-langkah yang dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. 2. Lalu mitigasi yaitu tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan
dampak
dari
ancaman
sehingga
demikian
mengurangi
kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan. 3. Berikutnya kesiapan yaitu perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul bila terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan sumberdaya untuk memenuhi
10
kebutuhan tersebut, dengan demikian membawa penduduk ke dalam tataran kesiapan lebih baik dalam menghadapi bencana. 4. Penanggulangan kedaruratan/respon (early warning system) yaitu tindakantindakan yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana. 5. Kemudian pemulihan yaitu tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta kempatan-kesempatan yang ada. 6. Terakhir, pembangunan yaitu pembangunan kembali sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana sebagai alat mempermudah menuju pengaturan bencana tersebut, yaitu: 1.
Disaster Management Continuum Model Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar.
2.
Pre-During-Post Disaster Model Model
ini
sedikit
berbeda
dengan
model
sebelumnya
yang
menganggap perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencna dalam fase bencana. Bedanya adalah pada pandangan bahwa bencan dapat diakhiri atau
dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi dan
perbaikan dapat dilakukan sebelum, selama dan setelah terjadinya bencana.
3.
Contract-Expand Model Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya melampaui kapasitas komunitas untuk manajemen bencana tersebut,
11
semua komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan penekanan yang berbeda-beda. Bencana tidak dapat dihindari dan datang dalam jangka waktu yang pendek.
4.
Risk Reduction Disaster (RRD) Framework Bencana akan lebih besar jika bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) meningkat dan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini memfokuskan
pada
menghilangkan
manajemen
kerentanan,
resiko
memahami
dengan
mengurangi
karakteristik
bahaya
atau dan
membangun ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimiliki suatu wilayah dalam lingkup analisis sosial dan keilmuan.
5.
Crunch Model Awotona (1997) mengemukakan model ini adalah bahwa bencana merupakan produk dari kerentanan bertemu dengan bahaya. Model ini menunjukkan bahwa bencana hanya terjadi jika bahaya bertemu dengan kondisi yang membuat masyarakat atau elemen non-manusia mudah terkena dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana sebagai konsep sosial yang perlu dilakukan penanganannya terhadap akar penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas
suatu
lingkungan
serta
analisis
sosial
untuk
mengurangi
kerentanan dan bahaya. Metodenya, dengan adanya pengurangan tingkat bahaya dapat digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan serta memperkecil tingkat kerentanan seuatu lingkungan terhadap suatu bahaya. Atas pemahaman terhadap model Crunch, Pusat Mitigasi Bencana menterjemahkan model ini ke dalam rumus yang dapat mempermudah untuk menganalisis kualitas bencana terhadap dialektik antara bahaya, kerentanan dan ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang bertemu dengan kerentanan serta tidak adanya ketahanan. Dengan adanya pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko
12
bencana dapat dikurangi dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada. Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat diukur melalui sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan-nya.
Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Dari ke lima konsepsi dalam memahami bencana serta proses dalam menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk menuju pendekatan sistem penanggulangan bencana kebakaran yang akan terbentuk atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak. Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan dan mempertimbangkan segala aktor yang terlibat bersama-sama saling mendukung dalam menyelesaikan permasalahan bencana dengan menterjemahkan ‘bahaya’ di dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan meningkatkan ‘ketahanan’. Apabila pemikiran ini dilaksanakan, maka dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus tingkat kerentanan melalui pemenuhan ‘ketahanan’.
2.6 Proses Kebakaran Kebakaran berawal dari proses reaksi oksidasi antara unsur Oksigen (O ), 2
Panas dan Material yang mudah terbakar (bahan bakar). Keseimbangan unsurunsur tersebutlah yang menyebabkan kebakaran. Berikut ini adalah definisi singkat mengenai unsur-unsur tersebut:
13
2
1. Oksigen atau gas O yang terdapat diudara bebas adalah unsur penting dalam pembakaran. Jumlah oksigen sangat menentukan kadar atau keaktifan pembakaran suatu benda. Kadar oksigen yang kurang dari 12 % tidak akan menimbulkan pembakaran. 2. Panas
menyebabkan
suatu
bahan
mengalami
perubahan
suhu/temperatur, sehingga akhirnya mencapai titik nyala dan menjadi terbakar. Sumber – sumber panas tersebut dapat berupa sinar matahari, listrik, pusat energi mekanik, pusat reaksi kimia dan sebagainya. 3. Pada gambar dibawah dijelaskan tentang segitiga api (tetrahedron api) . Bahan yang mudah terbakar (bahan bakar), bahan tersebut memiliki titik nyala rendah yang merupakan temperatur terendah suatu bahan untuk dapat berubah menjadi uap dan akan menyala bila tersentuh api. Bahan makin mudah terbakar bila memiliki titik nyala yang makin rendah. Dari ketiga unsur-unsur bahan bakar, oksigen dan panas dapat menyebabkan rantai reaksi kimia.
Gambar Tetrahedron Api
Proses kebakaran berlangsung melalui beberapa tahapan, yang masingmasing tahapan terjadi peningkatan suhu, yaitu perkembangan dari suatu rendah kemudian meningkat hingga mencapai puncaknya dan pada akhirnya berangsur-angsur menurun sampai saat bahan yang terbakar tersebut habis dan api menjadi mati atau padam. Pada umumnya kebakaran melalui dua
14
tahapan, yaitu tahap pertumbuhan (growth period) dan tahap pembakaran (steady combustion). Tahap tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah kurva suhu api.
Gambar Kurva Suhu Api
Kemudian tahap kebakaran menurut ilmu fisika bangunan terdiri atas tiga tahap yaitu: 1. Tahap Pembaraan, yaitu tahap dimana permukaan bahan mulai membara dan suhu udara memanas sampai suhu mengizinkan lompatan api (flash over) dan permukaan bahan menyala di seluruh ruang yang terkena api. Oleh karena itu, ciri khas pembaraan tergantung dari luas ruang yang terkena api dan pada beban kebakaran. Indikator lain belum mempengaruhi kebakaran secara berarti. Tahap pembaraan ini akan sangat singkat jika cairan menyala karena flash over terjadi langsung sesudah penyalaan. 2. Tahap Pemanasan, yaitu tahap dimana permukaan barang menyala, maka suhu di dalam ruang meningkat tajam. Selain beban kebakaran, kebanyakan udara (oksigen) di dalam ruang. Berarti bentuk ruang dan pengudaraannya sangat mempengaruhi kebakaran. Makin tahan bagian bangunan yang melingkupi ruang yang sedang terkena api, maka makin lama pula jangka waktu api meluas dan makin kecil bahaya kebakaran meluas. 3. Tahap Pendinginan, tahap dimana jumlah energi bahan bakar tidak cukup lagi untuk mengatur atau meningkatkan suhu dalam ruang
15
kebakaran, kemudian suhu mulai menurun. Tahap pendinginan ini membutuhkan waktu agak lama karena jika suhu dalam ruang mulai menurun, maka bagian bangunan yang mengelilingi ruang tersebut mulai melepaskan panas yang tersimpan di dalamnya.
2.7 Dampak Kebakaran Peristiwa kebakaran memberikan efek bahaya antara lain: a. Asap Asap adalah kumpulan partikel zat carbon ukuran kurang dari 0,5 micron sebagai hasil dari pembakaran tak sempurna dan bahan yang mengandung karbon. Efeknya iritasi/rangsangan pada mata, selaput lendir pada hidung dan kerongkongan. b. Panas Panas adalah suatu bentuk energi yang pada 300 oF dapat dikatakan sebagai temperatur tertinggi di mana manusia dapat bertahan /bernafas hanya dalam waktu yang singkat. Efeknya tubuh kehilangan cairan dan tenaga, luka bakar/terbakar pada kulit dan pernafasan, mematikan jantung. c. Nyala/Flame Nyala/Flame biasa timbul pada proses pembakaran sempurna dan membentuk cahaya berkilauan. d. Gas Beracun Gas beracun antara lain: 1.
Karbon Monoksida ridak berasa, tidak berbau, tidak berasa NAB 50ppm
2.
Sulfur Dioksida (SO2) sangat beracun, menyebabakna gejala lambat diri, kerusakan sistem pernafasan seperti bronchitis
3.
Hidrogen Sulfida (H2S) >NAB 10ppm
4.
Ammonia (MH3) >NAB 25ppm
5.
Hydrogen Sianida (HCN) >NAB 10ppm
6.
Acrolein (C3H4O) >NAB 0,1ppm
7.
Gas hasil pembakaran zat sellulosa (kertas, kayu, kain) seperti karbon monoksida, formaldehida, asam formiat, asam karboksitat, metilalkohol, asam asetat, dll
16
8.
Gas hasil pembakaran plastik seperti karbon monoksida, asam klorida dan sianida, nitrogen eksida, dll
9.
Gas hasil pembakaran karet seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, dan asap tebal
10. Gas hasil pembakaran scilena seperti hidrogen sianida, gas amonia. 11. Gas hasil pembakaran wool seperti karbon monoksida, hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan hidrogen sianida 12. Gas hasil pembakaran hasil minyak bumi seperti karbon monoksida, karbon dioksida, axcolin, dan asap tebal.
2.8 Definisi Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. A p i P e r m u k a an atau K e b a k a r an P e r m u k a a n yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan. 2. A p i T a j u k atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang
17
daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak
terjadi
apabila
tajuk-tajuk
pohon
penyusun
tidak
saling
bersentuhan. 3. A p i T a n ah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
2.9
Penyebab Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut: 1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang. 2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung
rokok
sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan. 3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi. 4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme. 5. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
2.10
Dampak Kebakaran Hutan 2.10.1 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan decomposer. Dampak yang ditimbulkan
dari
adanya
kebakaran
hutan
khususnya
terhadap
lingkungan biologis antara lain sebagai berikut:
18
1. Terhadap flora dan fauna Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak
kesimbangan
alam
sehingga
spesies-spesies
yang
berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti. Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut: a.
BANGSA BINATANG Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan
kehilangan
tempat
tinggal
yang
digunakan
untuk
berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah
terjadinya
kebakaran
tersebut
akan
mengalami
penurunan jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:
Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda & Mastigophora, dll)
Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)
b.
BANGSA TUMBUHAN Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan
tempat
hidupnya.
Kebakaran
hutan
dapat
mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut: 19
Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)
Tumbuhan
tingkat
rendah
(bakteri,
cendawan
dan
ganggang).
2.10.2 Hilangnya vegetasi tanah Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah 1. Terhadap keanekaragaman hayati Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
2. Terhadap mikroorganisme Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Makroorganisme
tanah
misalnya:
cacing
tanah
yang
dapat
meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah misalnya: mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun. Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisma mati, karena sebagian besar mikroorganisma tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila mikroorganisme tanah tersebut 20
mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.
3. Terhadap organisme dalam tanah Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun. Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain. Selain
itu
juga
dapat
menimbulkan
gangguan
jarak
pandang/
penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang
terkena
gangguan
kesehatan
yang
disebabkan
oleh
asap.
(Cifor,2001). Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu
21
membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001). Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.
2.11 Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain. Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
22
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini. Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif. Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini : 1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masingmasing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:
pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu maupun hasil prediksi.
pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
23
analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
pengolahan data hasil pengintaian petugas
3. Sosialisasi: pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat. Penyuluhan
dimaksudkan
agar
menginformasikan
kepada
masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya. Pembinaan
merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat
untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan. 4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure). Untuk
memudahkan
tercapainya
pelaksanaan
program
pencegahan
kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
Metode pelaporan Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
24
Peralatan Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun
menangani
kebakaran
hutan
yang
terjadi.
Adanya
standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan 5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan
langsung
dengan
penyediaan
data,kemudian
pengawasan
merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh : patroli hutan
Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei
25
ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu : Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya
perusakan
lingkungan
(pembakaran
hutan).
Contohnya
:
pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi kebakaran huta Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan. Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi : 1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah. 2. Pengembangan organisasi penyelenggara pencegahan kebakaran hutan Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif. 3. Pengembangan sistem komunikasi Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran
26
early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan.
2.12
Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor:
P.12/Menhut-Ii/2009
Tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain: 1.
Memberdayakan
sejumlah
posko
yang
bertugas
menanggulangi
kebakaran hutan di semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I dan juga Siaga II. 2.
Memindahkan
segala
macam
sumber
daya
baik
itu
manusia,
perlengkapan serta dana pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain bahkan juga pihak swasta. 3.
Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.
4.
Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia bahkan Amerika Serikat. Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron
dengan upaya pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang kering,
27
kegiatan pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya
adalah
dengan
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.
28
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Peran Perawat dalam Pencegahan Primer Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana
ini, antara lain: 1. Mengenali instruksi ancaman bahaya; 2. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda) 3. Melatih penanganan pertama bencana kebakaran. 4. Berkoordinasi berbagai dinas kebakaran, dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang
merah
nasional
maupun
lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kebakaran kepada masyarakat Pendidikan kesehatan diarahkan kepada : 1. usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut) 2. pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar 3. memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, RS dan ambulans. 4. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai) 5. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko bencana kebakaran
29
3.2
Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase) Pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan
pertolongan
pertama. Ada
saat
dimana ”seleksi”
pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase ) TRIASE 1. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II 2. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II 3. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi 4. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
3.3
Peran Perawat Di Dalam Posko Pengungsian Dan Posko Bencana 1. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan seharihari 2. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian 3.
Merencanakan
dan
memfasilitasi
transfer
pasien
yang
memerlukan
penanganan kesehatan di RS 4. .Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
30
5. .Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatan 6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa 7. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot) 8. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain. 9. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater 10. Konsultasikan
bersama
supervisi
setempat
mengenai
pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
3.4
Peran Perawat Dalam Fase Postimpact Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi. 3.5
Kegiatan Pra-Bencana (Pre Disaster) Kebakaran Upaya penanganan yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk dari kegiatan antisipasi sebelum terjadinya bencana kebakaran hutan ini. Adapun beberapa langkah atau tindakan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pra bencana (pre disaster) sebagai berikut : 1. Menyiapkan peralatan kesehatan di daerah rawan kebakaran 2. Mengaktifkkan semua peralatan pengukur debu di daerah rawan kebakaran 3. Menyediakan waduk air di daerah rawan kebakaran 4. Membuat parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran
31
5. Mengembangkan partisipasi massyarakat di kawasan rawan kebakaran, seperti : a.
Pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan
b.
Membuat peta kerawanan kebakaran
c.
Penyiapan regu pemadam
d.
Penentuan lokasi Pos Pengamatan
e.
Membangun manara pengawas
f.
Inventarisasi lokasi titik titik api
g.
Berkoordinasi dengan instansi pengamat cuaca dan iklim
h.
Simpan senter dan radio portabel untuk mengantisipasi mati listrik
i.
Tidak membuang puntung rokok sembarangan
j.
Berladang secara bergiliran dan senantiasa dipantau
k.
Peladang hanya membakar lahan yang benar benar kering
6. Menentukan
tingkat
siaga
dan
tindakan
pengendalian
kebakaran
hutan/lahan seperti pada tingakatan berikut : a. Normal
Memastikan semua peralatan pemadam siap digunakan
Pelaksanaan program penyadaran untuk pencegahan hutan atau lahan
Melakukan kegiatan pelatihan penyegaran untuk staff pemadam kebakaran
Memonitor, mengevaluasi dan mengelola seluruh informasi dan laporan mengenai kebakaran hutan dari kabupaten atau kota.
b. Siaga III
Patroli atau deteksi taktis bila diperlukan, tergantung pada kondisi lokal
Memastikan semua peralatan dan personil pemadam siap digunakan
Melaksanakan sosialisasi atau kampanye atau penyuluhan pada daerah rawan kebakaran hutan/lahan
Mempersiapkan
posko
kebakaran
hutan
dan
lahan
serta
menyebarluaskan nomor telepon faksimili dan daftar nama petugas (koordinator) yang dapat dihubungi di masing masing daerah.
32
c. Siaga II
Melakukan patroli dan deteksi lapangan minimal 5 kali per minggu
Meningkatkan jumlah peralatan pemadam kebakaran dan personil yang ditugaskan di lokasi kebakaran
Memfokuskan program pencegahan kebakaran pada daerah yang
memiliki tingkat resiko kebakaran tertinggi
Melakukan sosialisasi kampanye/penyuluhan penyebarluasan informasi bahaya kebakaran hutan dan lahan melalui media cetak dan media elektronik
Melakukan koordinasi dan pemadaman hutan/lahan secara terpadu
d. Siaga I
Melakukan patroli/deteksi lapangan setiap hari per minggu
Menyiagakan posko kebakaran dan lahan selama 24 jam per hari
Melakukan
pemadaman
kebakaran
hutan
menggunakan
seluruh
peralatan dan personil Mengerahkan
seluruh
personil,
staf
pendukung
dan
melibatkan
masyarakat
Meningkatkan koordinasi dan mobilitas seluruh sumber daya secara terpadu
Pemimpin daerah mengeluarkan larangan pembakaran saat penyiapan lahan.
Kegiatan pra bencana (pre disaster) tersebut dapat dilakukan baik secara bertahap maupun secara serentak. Sehingga dapat terwujud berbagai program dan kegiatan penanggulangan bencana kebakaran hutan, setidaknya dapat mengurangi korban yang ada.
3.6
Kegiatan Tanggap Bencana (Disaster Respon se) Setelah dilakukan kegiatan Pra Bencana (Pre Disater) seperti yang telah disebutakan di atas, diharapkan dapat meminimalkan dampak yang terjadi pada saat benar-benar/ketika terjadi bencana. Kegiatan yang dapat dilaksanakan pada saat terjadi bencana kebakaran hutan merupakan suatu bentuk kegiatan Tanggap Bencana (Disaster Response). Adapun beberapa
33
kegiatan yang dapat dilakukan pada saat terjadi bencana kebakaran hutan, sebagai berikut : 1. Tindakan Warga Mengamankan Rumah Sesaat Kebakaran Hutan Pelaksanaan tindakan tersebut dapat dilakukan dengan standar sebagai berikut: a. Gunakan masker bila udara telah berasap b. Mengatur lokasi tumpukan kayu cukup jauh dari rumah c. Tutup spasi-spasi di bawah pintu dengan handu/selimut basah d. Tinggal di dalam rumah e. Hidupkan air conditioner f.
Hindari menumpuk potongan poho, rumput dan sejenisnya di belakang rumah, kebun, serta semak-semak.
g. Pastikan selang air kebun cukup panjang dan mencapai pinggir jalan h. Tanam jenis pohon yang tidak pernah terbakar i.
Bila mampu, belilah pompa air yang mudah dibawa untuk menyedot air dari kolam atau tangki air.
j.
Pahami cara menghubungi unit pemadam kebakaran terdekat
k. Pastikan alat pemadam api berfungsi dengan baik. l.
Meliburkan sekolah, kantor, serta pusat kegiatan lainnya
2. Tindakan Memadamkan Api Saat Terjadi Kebakaran Pelaksanaan tindakan ini dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan sebagai berikut: a. Mengisolasi api agar tidak merembet di daerah lain. Teknik sekat bakar ini bisa dilakukan dengan peralatan sederhana dan petugas tidak terlatih. Teknik ini berhasil jika api tidak terlalu besar dan angin tidak kencang. b. Secepat mungkin menyemprot dengan alat pemadam sederhana, misal pomp punggung atau pompa portable (mudah dipindah-pindah) c. Memuat sekat bakar menggunakan alat berat/buldoser di kawasan semak. d. Mengerahkan pesawat pembom air e. Membuat hujan buatan.
34
3. Tindakan Umum Warga Saat Terjadi Kebakaran Hutan Pelaksanaan tindakan umum ini dapat dilakukan berbagai bentuk penanggulangan sebagai berikut: a. Jangan masuk ke semak-semak jika ada asap dan api di daerah itu b. Padamkan api kecil dengan selang air sekop dan ember logam c. Tetap tenang dan melaporkan ke instansi berwenang d. Periksalah jika tetangga kaum lanjut perlu bantuan e. Penentuan jalur evakuasi penduduk lokasi kebakaran f.
Jika
anda
memilih
untuk
mengungsi
sendiri
lakukanlah
jauh
sebelumnya g. Jika diperintah petugas unutk mengungsu anda harus patuhi, kemasi dokumen/barang/binatang berharga h. Memakai kemeja lengan panjang dan alas kaki kuat i.
Tutup kaca kendaraan selama perjalanan
j.
Pakai masker khusus Pelaksanaan kegiatan tanggap bencana (disaster response) ini hendaknya dilaksanakan dengan cepat, cermat, dan tepat sasaran. Dalam pelaksanaanya juga membutuhkan bantuan dari berbagai instansi, lapisan masyarakat, serta orang lain atau daerah lain sebagai bentuk gotong royong dalam mengahadapi sebuah musibah. Sehingga dapat diperoleh hasil penanganan yang optimal dapan dapat mengurangi jumlah koraban jiwa,serta kerugian dari berbagai aspek lainnya.
3.7 Kegiatan Pasca Bencana (Post Disaster) Setelah kegiatan tanggap bencana (Disaster Renponse) dilaksanakan secara baik, dan bencana sudah berangsur-berangsur pulih. Maka dilakukan tindakan tindakan pasca bencana (post disaster) yang digunakan media pemulihan dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut. Adapun beberapa kegiatan pasca bencana (Post Disaster) yang dapat dilakujan sebgai berikut: 1. Menginventarisasikan kerugian 2. Menganalisis program pemulihan akibat dampak kebakaran hutan
35
3. Menginventarisasi penyakit yang belum sembuh, dan memerlukan perawatan, pengobatan, dan pengamatan terus-menerus.
36
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, kami dapat menarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut: Menurut Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dimana bencana diklasifikasikan menjadi dua, yaitu natural disaster dan manmade disaster. Salah satu dari natural disaster adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan memiliki dampak yang sangat besar, seperti: rusaknya keadaan tanah, flora dan fauna di sekitarnya, mikroorganisame dalam tanah, dan bahkan bagi kesehatan masyarakat di sekitarnya.
4.2 SARAN Karena begitu besarnya dampak dari kebakaran hutan, sebaiknya perlu lagi disosialisasikan kepada masyarakat bagaimana cara pencegahan, dan penanganan bila terjadi bencana ini. Dan perlu lagi pembelajaran serta pelatihan bagi perawat untuk mempersiapkan diri dalam menangani dampak yang muncul dan akan muncul bila terjadi bencana ini.
37