Maksimisasi Profit
Tujuan utama sebuah perusahaan adalah untuk mengumpulkan profit sebanyak-banyaknya. Namun pada hakekatnya, pengumpulan profit adalah tujuan jangka pendek oleh perusahaan. Dalam jangka panjang, yang akan didapat adalah benefit. Contohnya dalam perusahaan misalnya ketika perusahaan melakukan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan meningkatkan keahlian keahlian karyawannya, karyawannya, ini akan bermanfaat di masa depan ketika perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga ahli mereka tidak usah mencari lagi dari luar tapi dapat menggunakan karyawan-karyawan yang sudah dilatih sebelumnya. Agar profit yang didapat maksimal, perusahaan harus dapat menentukan tingkat output produksi yang tepat. Ada dua pendekatan untuk menentukan tingkat ouput di mana perusahaan akan mendapatkan keuntungan maksimum, yaitu pertama, pendekatan penerimaan total dan biaya total, atau sering disebut pendekatan total dan kedua adalah pendekatan penerimaan marjinal dan biaya marginal, atau biasa disebut pendekatan marginal. Pendekatan Total Keuntungan total sama dengan penerimaan (Total (Total Revenue, Revenue, TR) dikurangi dengan biaya total (Total (Total Cost, TC). Cost, TC). Penerimaan total merupakan perkalian antara tingkat harga yang terjadi di pasar dengan jumlah ouput yang dihasilkan, sedangkan biaya total adalah biaya yang dikeluarkan oleh produsen dalam menghasilkan output. Dalam jangka pendek, biaya dapat dibedakan atas biaya tetap (fixed ( fixed cost , FC) dan biaya variabel (variable (variable cost, VC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada besarnya jumlah output yang dihasilkan, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang tergantung kepada besar kecilnya jumlah output yang dihasilkan. di hasilkan. Untuk melihat perbedaan antara biaya tetap dan biaya variabel kita dapat mengambil contoh suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian. Perusahaan ini mempunyai gedung tempat usaha, mesin jahit, dan karyawan tetap. Walaupun perusahaan tidak berproduksi akan tetapi biaya tetap harus selalu dikeluarkan, seperti biaya penyusutan gedung, penyusutan mesin dan biaya gaji karyawan tetap. Sedangkan, yang termasuk biaya variabel adalah biaya untuk pembelian bahan baku, gaji karyawan tidak tetap, biaya listrik dan lain lain. Biaya variabel ini dapat diubah-ubah tergantung pada kondisi pasar, apabila permintaan pasar naik maka output yang dihasilkan dapat ditambah dengan menambah biaya variabel, misalnya menambah jam kerja tenaga kerja tidak tetap. Keuntungan maksimum akan terjadi apabila selisih TR dan TC mencapai angka terbesar. Untuk lebih lengkapnya perhatikan tabel berikut ini.
Berdasarkan tabel di atas kita dapat melihat keuntungan maksimum dicapai pada tingkat penjualan 4 unit dengan laba Rp 2.300
Pendekatan marginal Pendekatan marginal merupakan alternatif dari pendekatan total. Dalam memproduksi suatu barang dan menawarkannya di pasar, produsen atau perusahaan harus membandingkan antara biaya marjinal dengan penerimaan marjinal. Biaya marjinal (marginal (marginal cost , MC) adalah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen karena menambah memproduksi 1 unit ouput (MC = TCt – TCt-1 , di mana TC adalah biaya total). Sedangkan penerimaan marjinal (marginal revenue, MR) adalah tambahan penerimaan karena menambah produksi output 1 unit (MR = TRt – TR – TRt-1) Apabila penerimaan marjinal masih lebih besar dari biaya marginal maka masih relevan untuk meningkatkan produksi karena penerimaan meningkat lebih tinggi dari biaya sehingga karena keuntungan akan bertambah, sebaliknya apabila biaya marginal lebih besar dari penerimaan marjinal maka biaya meningkat lebih tinggi dari penerimaan sehingga kerugian menjadi bertambah. Keuntungan
maksimum (atau kerugian minimum) akan terjadi apabila penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal (MR = MC). Berdasarkan tabel yang pertama kita dapat melihat keuntungan maksimum dicapai pada tingkat penjualan 4 unit karena selisih MR dan MC sebesar Rp 300 (terkecil) dan nilai nilai MC dalam keadaan meningkat.
Sumber : http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4111/MENU3/Maksimisas http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4 111/MENU3/Maksimisasi%20Keuntungan i%20Keuntungan.h .h tm
18
2012
Bertolak dari aksioma, bahwa ke- universal -an -an islam tidak hanya mencakup aspek-aspek peribadatan seorang manusia dengan Tuhan-nya saja. Akan tetapi juga mencakup hubungan perilaku manusia dengan sesamanya. Aspek inilah yang sering kita kenal dengan aspek mu’āmalah atau interaksi seseorang dengan individu lainnya yang menyangkut di dalamnya adalah upaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, spiritual yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik. (QS. Al Maidah [5]: 3). Islam memiliki nilai komprehensif yang berarti syariah islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun social (mu’āmalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinyu tugas manusia sebagai khalifah-Nya khalifah- Nya di muka bumi ini. adapun mu’āmalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau atau aturan main manusia dalam kehidupan sosialny a[1] [1].. (Antonio syafi’I, 2001).
Dalam Islam ekonomi adalah bagian dari tatanan islam yang perspektif. Islam meletakan ekonomi posisi tengah dan keseimbangan yang adil. Keseimbangan ini diterapkan dalam segala bidang ekonomi. Segi imbang antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen, perantara, dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat. Termasuk dari keadilan dalam pola produksi, distribusi, dan sirkulasi ekonomi adalah adanya pelarangan jual beli yang dipandang merugikan keduabelah pihak atau salah satunya. Namun pada praktik jual-beli terkadang manusia lupa bahwa semua aktivitas yang dilakukannya seharusnya dikerjakan dikerjakan dalam kerangka “ ibadah ”, ”, Sehingga masing-masing masing -masing orang harus berpikir untuk dapat berbuat sesuatu dalam rangka menciptakan mashlahah timbal-balik (antar sesama manusia) yang semuanya kembali dari keyakinan konsep kepemilikan harta yang ada dalam islam. Kurangnya pemahaman dasar-dasar pengetahuan agama islam yang benar serta tidak meratanya informasi akan permasalahan ini menjadikan manusia melakukan transaksi jual beli yang ada tanpa melihat nilai yang ada pada transaksi tersebut. Tujuan dalam perdagangan dalam arti sederhana adalah memperoleh laba atau keuntungan, secara ilmu ekonomi murni asumsi yang sederhana me nyatakan bahwa sebuah industry dalam menjalankan produksinya adalah bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (laba/profit) dengan cara dan sumber-sumber yang halal . Demikian pula dengan transaksi bisnis dalam skala mikro, artinya seorang pengusaha atau industry dapat memilih dan menentukan komposisi tenaga kerja, modal, barang-barang pendukung proses produksi, dan penentuan jumlah output. Yang kesemua itu akan dipengaruhi oleh harga, tingkat upah, capital, maupun barang baku, dimana keseluruhan kebutuhan input ini akan diselaraskan oleh besarnya pendapatan dari perolehan output. Teori tersebut dapat diterima dalam konsep fiqh mu’āmalah y ang memiliki kaidah baku dan bersifat fleksible. Baku dalam artian bersifat dogmatis (mengandung perintah dan larangan), fleksible dalam artian sesuatu dapat dilaksanakan selama tidak ada bukti larangan dari al qur’an maupun as sunnah. Artinya disini segala ilmu ekonomi yang sudah ada bukan berarti tidak sesuai dengan islam dan bukan pula berarti semuanya sesuai dengan ketentuan islam. Begitu pula seperti permasalahan di atas tent ang permasalahan laba atau keuntungan yang dihasilkan dalam sebuah transaksi jual beli. Lantas apa yang membedakan hal tersebut di antara dua sistem ekonomi yang ada, yaitu ekonomi islam (dalam arti fiqh mu’āmalah) serta ekonomi konvensional yang mendominasi ekonomi global saat ini. Paling tidak kita dapat memulai dari terminologi, orientasi, serta epistimologi yang melandasi kedua konsep laba tersebut.
Dalam Islam jual beli secara etimologis berasal dari kata kata al bay’u ( (
) dan syirā ( syirā (
) yang berarti
mengambil sesuatu dan memberi sesuatu, sedang secara t erminologis para fuqaha memberikan definisi jual beli dalam banyak pengertian yang mengacu pada satu kesimpulan bahwa jual beli adalah, “Menukar suatu benda seimbang dengan harta benda yang lain yang keduanya boleh (ditasharrufkan) dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara’”. Term ini ini memberikan pengertian jual beli dalam arti ekonomi, yaitu adanya pertukaran komoditas dengan nilai kompensasi tertentu. Akan tetapi tetapi bila melihat kepada Al Qur’an, jual beli atau perdagangan mencakup pengertian yang eskatologis. Kata Jual beli bukan hanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas bisnis pertukarang barang atau produk tertentu. Jual beli dapat berarti “keyakinan, keta’atan, berinfaq dan jihād fī sabīillāh, , ” (QS. ” (QS. ash Shaff [61]: (10-12), (10- 12), al Baqarah [2]: 254, at Taūbah [5]: 111) . (Jusmaliani, 2008: 26). Jual beli yang memiliki makna makna eskatologis ini tentunya memberikan memberikan gambaran nyata akan akan hakikat dan tujuan jual beli dalam Islam sekaligus memberikan jawaban jawaban akan arti atau makna makna dari laba yang yang menjadi tujuan jual
beli itu sendiri. Sehingga dapat difahami Laba yang menjadi tujuan utama jual beli tidak hanya memiliki terminologi ekonomi sebagai selisih antara total penjualan dengan total biaya. Akan tetapi lebih komprehensif dari itu, laba dapat berarti, hasil dari bersabar , mensucikan diri , beriman , berdakwah , ber- ittibā’ ,berinfaq , dan laba adalah hidāyah dari Alloh . Alloh . (QS. al Laīl: 5 -7; QS. ays Syams: 9; QS. ali Imrān: 200; QS. al Baqarah [2]: 5; QS. al ‘Arāf: 157). Semua terakumulasikan dalam jannah dalam jannah dan dan kebahagian kekal di akhirat . Inilah makna jual beli serta laba yang menjadi orientasi dasar dalam konsep teori laba ekonomi Islam. , baik yang bermazhab kapitalis, sosialis, maupun negara kesejahteraan (walfare ( walfare state ), ), hampir dipastikan definisi jual beli hanya dilihat dari sudut pandang ekonomik. Bisnis atau jual beli hanyalah upaya dari prilaku seorang pengusaha dalam mengambil keputusan atau kebijakan dalam memproduksi barang dan jasa untuk meraih tingkat keuntungan dan kebutuhan. Keuntungan atau profit bagi produsen, sedangkan kebutuhan dalam arti kepuasan di tingkat konsumen. Maka orientasi laba yang menjadi tujuan produsen hanya berputar sekitar nilai materil dan memuaskan kebutuhan nafsu untuk menimbun kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari ekspresi dir i [2] [2].. (Sadono Sukirno, 1998).
Sudut pandang yang berbeda akan arti maupun orientasi bisnis dan laba diantara keduanya (Islam vs Konvensional), bertolak dari pemahaman ideologis dan cara pandang yang berbeda tentang konsep ekonomi dan asumsi tentang manusia dalam meraih keuntungan. Jual beli dalam Islam dilandasi dengan nilai kesatuan (ketauhidan), (ketauhidan), keseimbangan ,kebebasan , dan tanggung jawab . Setiap aktifitas bisnis dalam islam selalu diarahkan pada prinsip-prinsip yang tertuju kepada kemanslahatan pelakunya dan ummat. Jual beli dalam islam akan selalu selaras dengan fitrah tujuan penciptaan manusia, yaitu bernilai peribadatan. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat ( falāh ), ), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al- hāyah hāyah al -tayyibah -tayyibah ). ). Dalam konsep jual beli dan perolehan laba Islami, memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat pemuas
yang
tentunya
halal,
secara
zatnya
maupun
secara
perolehannya.
Prinsip keridhoan , ta’āwun , kemudahan , dan transparansi , dalam jual beli Islam mencegah usaha-usaha eksploitasi kekayaan dan serta mengambil keuntungan dari kerugian pihak lain. Konsep laba dalam Islam, secara teoritis dan realita tidak hanya berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah . Manusia dalam asumsi Islam adalah pengejewan tahan ‘Ibadurrahman, (QS al Furqan [25]:63). Dalam rangka upaya pemenuhan dan pemeliharaan kebutuhan primer manusia, yaitu agama ( ad Dien ), ), nyawa (an ( an Nafs ), ), akal (al (al ‘Aql ), ), keturunan (an ( an Nasl ), ), dan harta (al ( al māl ), ), Islam menurunkan kaidah berupa perintah dan larangan yang bertujuan memberikan mashlahāt. Islam menganggap manusia berperilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Seorang hamba Alloh dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada hari kiamat membuatnya senantiasa taat kepada rules Allah Allah dan Rasul-Nya.
dibangun di atas filosofis materialisme dansekulerisme dansekulerisme . Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality yang dimaksud adalah tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest ) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Menurut konvensional, rasionalitas diartikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan ( need ) dan keinginan-keinginan (want (want ) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Teori laba konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan asumsi mereka terhadap unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa me ngambil hari akhirat (Nur Kholis, 2011). Konvensional memandang manusia hanya bersifat materi semata, tanpa kecenderungan-kecenderungan spiritual. Mereka tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya harus dijadikan pijakan oleh masyarakta, seperti ketinggian moral dan sifat-sifat terpuji sebagai dasar bagi interaksinya. Dari sini dapat disimpulakan bila landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis. Landasan filosofis teori laba dalam bisnis menurut konvensional berdasarkan pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu dan tidak bersifat kekal, serta selalu membutuhkan perubahan tergantung untuk kepentingan apa dan siapa. Tentunya tujuan yang berbeda akan melahirkan implikasi yang berbeda pula.
Dari perbedaan terminologi, orientasi serta landasan ideologi di antara keduanya, tentunya berdampak pada kriteria penilaian sumber dari laba itu sendiri. Dengan prinsip dan tujuan bisnis yang telah ditetapkan dalam kaidah mu’amalah, laba dalam islam tidak hanya berpatokan pada bagaimana memaksimalkan nilai kwantitas laba tersebut, akan tetapi juga menyelaraskannya dengan nilai kwalitas yang diharapkan secara fitrah kemanusiaan dan Islam. Dalam konsep mu’amalah, tidak semua kebutuhan yang dipandang memiliki mashlahat dapat diproduksi, dikonsumsi, atau diperjualbelikan. Mashlahat dalam islam terbagi kepada tiga, yaitu; (1) Al Mashālihu al mu’tabarah ; yaitu segala sesuatu yang telah dijadikan perhatian oleh syari’ah dan dalam penetapannya mengandung mashalat atau manfaat bagi manusia. Seperti disyari’atkannya jihad, diharamkannya membunuh, minuman keras, zina, dan mencuri. Semua itu ditujukan untuk penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang termasuk kepada tujuan utama dari syari’ah. (2) Al Mashālihu al mulghāt; yaitu mulghāt; yaitu segala sesuatu yang didalamnya dianggap memiliki mashalat namun t idak nyata atau kecil kemungkinannya. Seperti adanya anggapan persamaan dalam masalah pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, maka anggapan tersebut tidak dijadikan sandaran oleh syari’ah walau dianggap memiliki mashlahat. Juga adanya mashlahat pertambahan keuntungan atau laba dalam bisnis ribawi, semua itu ditolak oleh syari’ah karena sisi kerusakan dan kemudharatan yang lebih besar di dalamnya. Dan (3) al Mashālihu al Mashālihu al Mursalāh; yaitu, yaitu, maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanyaqorinah adanya qorinah tersebut, tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum. Seperti membangun masjid, mencetak al Qur’ān, kitab -kitab dakwah, dan lain-lain. Untuk itu tidak semua yang dipandang dapat memenuhi kebutuhan manusia serta ada manfa’at di dalamnya dapat diperjualbelikan atau dikonsumsi oleh manusia. Laba yang merupakan hasil dari sebuah proses transaksi jual beli atau bisnis harus dinilai dari kwalitasnya bukan hanya sekedar kwantitas yang diperoleh, sehingga laba tersebut dapat dinilai baik dalam Islam. Prinsip ini sesuai dengan kaidah “
” , bahwa balasan itu tergantung dari
perbuatannya. Maka setiap laba yang dihasilkan melalui melalui sumber yang diharamkan atau proses
transaksi bisnis bi snis yang ilegal tidak diakui oleh syari’ah. Hal ini bisa dilihat melaui model -model bisnis yang dikembangkan oleh Rasulullah Rasulullah dalam meraih laba yang benilai materil materil serta keberkahan. Untuk mendapatkan Laba yang bersih dari unsur riba dan kecurangan, Islam menentukan prinsip dasar dalam mekanisme transaksinya. Prinsip saling ridho dalam bertransaksi adalah merupakan proses yang terjadi ketika barang yang akan dijual jelas kepemilikannya, tidak termasuk barang yang diharamkan, serta jelas pula penetapan harganya. harg anya. Prinsip kemudahan atau ta’awun dalam bertransaksi menunjukkan laba yang diperoleh bukan semata-mata untuk kepentingan egoisme sang penjual ( self oriented) . Akan tetapi lebih kepada memberikan manfa’at kepada sesama dan menutupi kebutuhan masyarakat. , tidak menyebutkan adanya pemilahan dalam masalah modal dan barang baik yang bersifat halal maupun haram. Bagi mereka selama modal dan barang itu bisa dijadikan sebagai alat usaha mereka dalam meraih keuntungan yang maksimal, maka hal itu sah-sah saja tanpa terkecuali. Suatu barang atau modal kerja dipandang baik oleh mereka hanya apabila barang itu bisa dipasarkan dan modal kerja bisa memenuhi kebutuhan produksinya. Terlepas barang tersebut adalah barang dapat merusak atau diharamkan atau modal kerja yang didapat melalui sistem bunga dan ribawi. Menurut mereka laba yang berasal dari barang-barang yang haram seperti candu, alkohol, rokok, babi, dan lain sebagainya dianggap bermanfa’at hingga bisa diproduksi dengan alasan semata kare na ada orang yang menginginkannya. Kalaupun mereka memproduksi sesuatu yang halal menurut pandangan Islam, kita perlu mempertanyakan mekanisme perolehannya. Karena faktor landasan dan tujuan dalam mencari laba itu sendiri sangatlah jauh berbeda dengan mu’amālah dalam Islam. Dalam pembahasan konvesional sumber keuntungan pendapatan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan: (1) menghadapi resiko terhadap ketidakpastian di masa yang akan datang, (2) melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi, (3) mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar pasa r[3] [3].. (Sadono Sukirno, 1998: 388). Point pertama dan kedua dapat diterima dalam teori laba mu’amalah islam dengan catatan, keuntungan yang di dapat dari
konsekuensi menghadapi resiko ketidakpastian ketidakpastian dan inovasi/pembaharuan inovasi/pembaharuan dalam
kegiatan ekonomi konvensional adalah merupakan salah satu komponen dari empat komponen proses produksi yaitu, upah (wages), ongkos (cost), modal berbunga , dan keuntungan (laba/profit). Islam mengakui laba adalah sebagai hasil dari modal yang tak berbunga. Islam sangat mengakui modal serta peranannya dalam proses produksi. Islam juga mengakui bagian modal dalam kekayaan hanya sejauh mengenai sumbangannya yang ditentukan sebagai presentase laba yang berubah-ubah dan diperoleh, bukan presentase tertentu dari kekayaan itu sendiri. Teori Islam mengenai modal lebih realistik, luas, dan mendalam, serta etik dari teori konvensional. Realistik karena produktivitas modal yang mengalami perubahan berkaitan dengan kenyataan dengan produksi, yang dianggap mudah berubah dalam keadaan pertumbuhan yang dinamis. Karena itu dalam kerangka sosial Islami, bunga yang diterapkan pada modal tidak diperbolehkan karena menimbulkan dampak yang merugikan kegiatan ekonomi. Artinya disini dalam mu’āmalah islam, keuntungan yang didapat dari konsekuensi menghadapi resiko ketidakpastian dan inovasi/pembaharuan dalam kegiatan ekonomi dihasilkan dari komponen modal yang tak berbunga. Lebih lanjut Islam telah membenarkan diterimanya laba hanya dalam arti yang terbatas, karena laba tak terbatas dan luar biasa biasa yang diperoleh seorang kapitalis kapitalis adalah penghisapan terhadap terhadap masyarakat. Jenis laba ini umumnya hasil monopoli dan dan gabungan perusahaan yang yang memonopoli harga dan produksi, yang menjadi ciri utama ekonomi kapitalis.
Setelah mempertimbangkan realita perbedaan di atas, d apat difahami bahwa laba dalam mu’āmalah Islam adalah merupakan hasil produktifitas model usaha kerjasama dalam modal dan upah tanpa unsur bunga di dalamnya, yang tidak hanya menjadikan kwantitas sebagai indikator perolehannya akan tetapi juga kwalitas dalam artian nilai etika yang melandasi produsen berinteraksi. Implementasi konsep laba dalam Islam adalah semua pebisnis dalam menjalankan usaha akan selalu menjaga diri dari perbuatan tercela, tidak amanah, penipuan, pengrusakan lingkungan, dan perbuatan tercela lainnya yang dilarang syariah. Keuntungan yang di dapat pun tidak akan terakumulasi pada diri mereka sendiri melainkan terdistribusi secara proporsional juga kepada masyarakat kurang mampu. Dalam jangka panjang, penerapan konsep laba ini akan mengarah pada terciptanya suatu tatanan kehidupan ekonomi yang sejahtera dan berkeadilan, tatanan kehidupan sosial yang saling menghargai, menghormati dan tolong menolong di antara seluruh masyarakat (Irham anas, 2011). Elastisitas penawaran menjadi anjuran dala m mu’malah Islam sehingga melahirkan konsep harga dan laba yang adil. Mengurangi margin keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan yang pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Keseimbangan produsen dan konsumen menjadi nilai sentral, dan terealisasikan dalam keuntungan yang wajar dan benefit bagi produsen serta hidup sederhana bagi konsumen. , sikap individualistik ( self interest ) dan hedonisme yang muncul karena prinsip konvesional akan mengakumulasi resiko yang kontraproduktif karena semua “proses dan produk” yang dihasilkan semata-mata berasal dari ego yang melembaga. Sebagai ilustrasi, dapat ditunjukkan satu contoh kasus sederhana, yaitu manakala terjadi transaksi di antara penjual dan pembeli. Dalam kaitan ini, baik penjual maupun pembeli, tentu masing-masing menghendaki tingkat kepuasan yang paling maksimum, di mana penjual menginginkan yang termahal, sementara pembeli justru menginginkan yang termurah. Dalam transaksi jual-beli seperti itu, orientasinya adalah pada jumlah dan tidak pada be rkah (kwalitas). Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, dan tolong menolong. Keadilan dalam pandangan mereka adalah “anda dapat apa yang anda upayakan” ( you get what you deserved ). Keuntungan hanya bisa diperoleh oleh mereka yang memiliki modal kuat dan dengan cara apa saja. Jual beli dilandasi pada kepentingan mencari keuntungan individu saja tanpa ada dilandasi menolong dan memberikan manfaat. Dari sini maka, jawaban dari pertanyaan di atas adalah untuk memaksimalkan proses perolehan keuntungan atau laba, maka sikap dan perilaku yang hanya berorientasi pada jumlah atau duniawi patut diketepikan. Kiranya perlu digarisbawahi bahwa prinsip keinginan tak terbatas, alat pemuas keinginan terbatas, dan juga prinsip mekanisme pasar konvensional perlu dibingkai oleh sistem nilai transendental berdimensi Ilahiyah sehingga etos perdagangan yang benar-benar Islam bisa membumi (Jusmaliani, 2008: 81) dan tujuan akhir dalam perdagangan itu sendiri yaitu la ba dapat sesuai dengan yang di harapkan syari’āh. (Fachri abu daud, koran republika edisi 29 maret 2012, rubrik iqtishodia) Wa allohu’alam Wa allohu’alam
[1] Muhammad Antonio Syafi’I, “Bank Syariah Dari Teori ke Praktik” . Praktik” . Jakarta. Gema Insani Press. 2001. Hal. 4 [2] Sadono Sukirno, “Pengantar Teori Mikroekonomi” , cet. Kesepuluh, 1998, Jakarta, Raja Grafinndo Perkasa. [3] Sadono Sukirno, “Pengantar Teori Mikroekonomi” , hal. 388.
Filosofi Laba dalam Perspektif Syariah
Sebagaimana diketahui bersama, tujuan perdagangan dalam arti yang sangat sederhana adalah untuk memperoleh laba atau keuntungan. Dalam ilmu ekonomi, sebuah industri dalam menjalankan produksinya diasumsikan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (laba/profit) dengan cara dan sumber-sumber yang halal. Demikian pula dengan transaksi bisnis dalam skala mikro, dimana sebuah perusahaan atau industri dapat memilih dan menentukan komposisi tenaga kerja, modal, barang-barang pendukung proses produksi, dan penentuan jumlah output, yang kesemuanya itu akan dipengaruhi oleh harga, tingkat upah, capital, maupun barang baku, dimana keseluruhan kebutuhan input ini akan diselaraskan oleh besarnya pendapatan dari perolehan output. Teori tersebut dapat diterima dalam konsep fiqh muamalah yang memiliki kaidah baku dan bersifat fleksibel. Baku dalam artian bersifat dogmatis (mengandung perintah dan larangan), fleksibel dalam artian sesuatu dapat dilaksanakan selama tidak ada bukti larangan dari Alquran maupun sunnah. Artinya, segala bentuk ajaran ilmu ekonomi yang sudah ada bukan berarti tidak sesuai dengan Islam, dan sebaliknya, bukan pula berarti semuanya telah sesuai dengan ketentuan Islam. Demikian pula halnya dengan permasalahan laba atau keuntungan yang dihasilkan dalam sebuah transaksi jual beli. Pertanyaannya, lantas apa yang membedakan antara ekonomi Islam (dalam perspektif fiqh muamalah) dengan ekonomi konvensional yang mendominasi ekonomi global saat ini? Paling tidak kita dapat memulai dari terminologi, orientasi, serta epistimologi yang melandasi kedua konsep laba tersebut. Definisi jual beli dan laba Dalam Islam, jual beli secara etimologis berasal dari kata al bayu dan syir? yang berarti mengambil sesuatu dan memberi sesuatu. Secara terminologis, para fuqaha memberikan definisi jual beli dalam banyak pengertian yang mengacu pada satu sat u kesimpulan, bahwa jual beli adalah Menukar suatu benda seimbang dengan harta benda yang lain yang keduanya boleh (ditasharrufkan) dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara. Istilah ini memberikan pengertian jual beli dalam arti ekonomi, yaitu adanya pertukaran komoditas dengan nilai kompensasi tertentu. Akan tetapi bila melihat kepada Alquran, jual beli atau perdagangan mencakup pengertian yang eskatologis. Kata jual beli bukan hanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas bisnis pertukarang barang atau produk tertentu. Jual beli dapat berarti keyakinan, ketaatan, berinfaq dan jih?d f? sab?ill?h, (QS. ash Shaff [61]: (10-12), al Baqarah [2]: 254, at Ta?bah [5]: 111) . (Jusmaliani, 2008: 26). Jual beli yang memiliki makna eskatologis ini tentunya memberikan gambaran nyata akan hakikat dan tujuan jual beli dalam Islam, sekaligus memberikan jawaban akan arti atau makna dari laba yang menjadi tujuan jual beli itu sendiri. Sehingga dapat dipahami bahwa laba yang menjadi tujuan utama jual beli tidak hanya memiliki terminologi ekonomi sebagai selisih antara total penjualan dengan total biaya, akan tetapi lebih komprehensif dari itu, laba dapat berarti hasil dari bersabar, mensucikan diri, beriman, berdakwah, ber-ittib?, berinfaq, dan merupakan hid?yah dari Allah (lihat QS al La?l: 5-7; QS ays Syams: 9; QS ali Imr?n: 200; 2 00; QS al Baqarah : 5; dan QS al Ar?f: 157). Semua terakumulasikan dalam jannah dan kebahagian kekal di akhirat. Inilah makna jual beli serta laba yang menjadi orientasi dasar konsep laba dalam ekonomi Islam.
Sedangkan dalam ekonomi konvensional, baik yang berpaham kapitalis, sosialis, maupun negara kesejahteraan (walfare state), hampir dipastikan definisi jual beli hanya ditinjau dari sudut pandang ekonomi. Bisnis atau jual beli hanyalah upaya dari perilaku seorang pengusaha dalam mengambil keputusan atau kebijakan dalam memproduksi barang dan jasa untuk meraih tingkat keuntungan dan kebutuhan. Keuntungan atau profit bagi produsen, sedangkan kebutuhan dalam arti kepuasan di tingkat konsumen. Perbedaan filosofis Sudut pandang yang berbeda akan arti maupun orientasi bisnis dan laba diantara ekonomi Islam dan konvensional, sesungguhnya bertolak dari pemahaman ideologis dan cara pandang yang berbeda tentang konsep ekonomi dan asumsi tentang manusia dalam meraih keuntungan. Jual beli dalam Islam dilandasi dengan nilai kesatuan (ketauhidan), keseimbangan, kebebasan, dan tanggung jawab. Jual beli dalam Islam akan selalu selaras dengan fitrah tujuan penciptaan manusia, yaitu bernilai ibadah. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (fal?h), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-h?yah altayyibah). Prinsip keridhoan, ta?wun, kemudahan, dan transparansi, dalam jual beli Islam mencegah usaha-usaha eksploitasi kekayaan dan pengambilan keuntungan dari kerugian pihak lain. Konsep laba dalam Islam, secara teoritis dan realita tidak hanya berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Allah SWT. Seorang hamba Allah dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau tidak, dan lain-lain. Sedangkan teori laba dalam konvensional dibangun di atas filosofi materialisme dan sekulerisme. Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionalitas yang dimaksud adalah tindakan individu yang bertumpu pada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Manusia diasumsikan hanya bersifat materi semata, tanpa kecenderungan-kecenderungan spiritual. Mereka tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya harus dijadikan pijakan oleh masyarakat, seperti ketinggian moral dan sifat-sifat terpuji sebagai dasar bagi interaksinya. Sumber laba Dari perbedaan terminologi, orientasi serta landasan ideologi di antara keduanya, tentunya berdampak pada kriteria penilaian sumber dari laba itu sendiri. Dengan prinsip dan tujuan bisnis yang telah ditetapkan dalam kaidah muamalah, laba dalam Islam tidak hanya berpatokan pada bagaimana memaksimalkan nilai kuantitas laba tersebut, akan tetapi juga menyelaraskannya dengan nilai kualitas yang diharapkan secara fitrah kemanusiaan dan Islam. Namun demikian, tidak semua yang dipandang dapat memenuhi kebutuhan manusia serta ada manfaat di dalamnya, dapat diperjualbelikan atau dikonsumsi oleh manusia. Laba yang merupakan hasil dari sebuah proses transaksi jual beli atau bisnis harus dinilai dari kualitasnya, bukan hanya sekedar kuantitasnya. Prinsip ini sesuai dengan kaidah al jaz?u min jinsil al amal, bahwa balasan itu tergantung dari perbuatannya. Maka setiap laba yang dihasilkan melalui sumber yang diharamkan atau proses transaksi bisnis yang ilegal, tidak diakui oleh syariah. Hal ini bisa dilihat melaui model-model bisnis yang dikembangkan oleh Rasulullah dalam dalam meraih laba yang benilai materil serta keberkahan. Untuk mendapatkan laba yang bersih dari unsur riba dan kecurangan, Islam menentukan prinsip dasar dalam mekanisme transaksinya. Prinsip saling ridho dalam bertransaksi adalah merupakan proses yang terjadi ketika barang yang akan dijual jelas kepemilikannya, tidak termasuk barang yang diharamkan, serta jelas pula penetapan harganya. Prinsip kemudahan atau taawun dalam bertransaksi menunjukkan laba yang diperoleh bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi sang penjual (self oriented), akan tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada sesama dan menutupi kebutuhan masyarakat. Wallahu alam. Disusun oleh: Fachri Fachrudin (Mahasiswa Fachrudin (Mahasiswa S2 Ekonomi Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor) Dr Irfan Syauqi Beik (Dosen (Dosen IE FEM IPB dan Ketua DPP IAEI) Dimuat di Republika 29 Maret 2012
Tujuan Perusahaan Dalam Perspektif Oleh: Dani dan Aji M Tujuan Perusahaan Dalam Perspektif I.Pengantar Ekonomi sebenarnya adalah studi tentang perikalu tentang manusia sebagai pelaku konsumsi dan produksi. Kemudian factor yang penting dalam menentukan perilaku manusia adalah system nilai yang di paktekkan. Kerenanya penting untuk mengetahui dan memperhatikan nilai tersebut. Kerangka teoritis, ekonomi telah berkembang menjadi sebuah bidang disiplin positif yang tidak memiliki segala konten normatif. Objek pembahasannya adalah sebuah hipotesis yang disebut 'pelaku ekonomi' yang diharapkan untuk berperilaku seperti apa yang diinginkan oleh ekonom. Alasan untuk menggunakan pendekatan ini adalah dua hal: Pertama, ekonomi mampu menghindari keragaman objek dengan yang seharusnya mereka hadapi. Kedua, pola perilaku manusia ekonomi sesuai dengan prediksi ekonomi. Norma-norma Islam dan nilai-nilai lokalitas dan melampaui batas-batas waktu, budaya serta hambatan rasial. Bidang ekonomi tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai universal tersebut. karena itu, ini yang membedakan ekonomi konvesional dari perspektif Islam. Makalah ini sebenarnya mencoba untuk melihat perilaku dari produsen atau perusahaan yang merupakan salah satu pelaku ekonom `konstruksi`. Kemudian perusahaan sebagai agen ekonomi dalam teori konvensional dan membandingkan perannya dalam syariah. Kedua, tujuan memaksimalkan keuntungan perusahaan. Ketiga berkaitan dengan tujuan perusahaan dalam suatu sistem Islam
II. Pembahasan A. Memaksimalkan Keuntungan Tujuan Perusahaan 1 Perusahaan sebagai Pelaku Ekonomi Perusahaan adalah organisasi yang dikembangkan oleh seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang dilakukan rumah tangga perusahaan meliputi kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi. Perusahaan adalah tempat berlangsungnya proses produksi. Dengan demikian, kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan adalah kegiatan produksi (menghasilkan barang). Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa perusahaan adalah pelaku ekonomi yang berperan sebagai produsen. 2 Teknis Efisiensi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi didefinisikan sebagai hubungan antara barang dan jasa yang dihasilkan dengan sumber daya yang dipakai untuk memproduksi. Perusahaan dapat dikategorikan efisien tergantung dari cara manajemen memproses input menjadi output. Perusahaan yang efisien adalah perusahaan yang dapat memproduksi lebih banyak output dibandingkan dengan pesaingnya dengan sejumlah input yang sama atau mengkonsumsi input lebih rendah untuk menghasilkan sejumlah output yang sama. 3 Maksimalisasi Laba
Pada teori ekonomi konvensional perusahaan mempertimbangkan maksimalisasi laba sebagai tujuan utama perusahaan. Hal ini jelas apakah perusahaan adalah price taker (persaingan sempurna). Ketika suatu perusahaan menghadapi persaingan pasar sempurna, ia dianggap tidak memiliki pengaruh pada harga pasar yang baik dia menjual. Maka ia harus mempertimbangkan harga yang diberikan kepadanya. Apa yang dia lakukan adalah untuk memilih rencana produksi yang efisien secara teknis sehingga ia akan mampu menghasilkan makanan dengan cara yang paling efisien. Dengan demikian ia benar-benar berusaha untuk mengurangi nya per unit atau biaya rata-rata dan pada saat yang sama memperoleh pendapatan maksimal. Ekonom berpendapat berikut, Mengingat bahwa perusahaan kompetitif sempurna bagaimana pun akan memilih proses produksi yang efisien secara teknis, tingkat output yang dihasilkan akan berada pada titik di mana biaya marjinal sama dengan penerimaan marjinal (MR). Persamaan MC dan MR diperoleh sebagai akibat dari obsesi dengan maksimalisasi laba. Karena laba adalah selisih antara penerimaan total dan biaya total, kita dengan mudah dapat menunjukkan bahwa memaksimalkan keuntungan akan memerlukan MC = MR. Sementara ini adalah kondisi yang diperlukan, kondisi cukup mengharuskan bahwa tingkat kenaikan MR harus kurang dari tingkat kenaikan di MC. Dalam kasus monopoli, harga tidak diberikan. Sebaliknya ia dapat menentukan harga yang ia ingin biaya untuk produknya. Lebih lanjut, ia juga dapat menentukan jumlah output ia ingin hasilkan. Tapi dalam kasus kedua, prinsip tetap sama. monopoli masih akan menyamakan MC dan MR nya untuk memaksimalkan keuntungan. Output yang dihasilkan akan berada pada titik di mana tingkat kenaikan MR kurang dari yang MC. Perbedaannya di sini adalah bahwa ia mungkin menginginkan harga dan biaya untuk produk, atas dasar harga ini, ia akan menentukan tingkat output yang dihasilkan. 4 Normal dan Keuntungan Abnormal Para ekonom telah menetapkan laba yang normal seperti yang dijamin tingkat keuntungan saat biaya rata-rata sama dengan pendapatan rata-rata. Lebih penting lagi, laba normal termasuk kembali ke pengusaha sebagai faktor produksi. Keuntungan abnormal terdiri dari dua jenis: normal dan sub-laba super normal. The-laba super normal diperoleh ketika pendapatan rata-rata melebihi biaya rata-rata. Ketika pendapatan rata-rata kurang dari biaya rata-rata, perusahaan dikatakan untuk mendapatkan keuntungan sub-normal atau hanya kerugian. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa laba super normal selalu melebihi laba yang normal. Oleh karena itu saham karena setiap faktor produksi atau nilai produk marjinal mereka berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang diperoleh ketika perusahaan memperoleh keuntungan normal. 5 Kritik pada Maksimalisasi Laba Sebuah perusahaan dikatakan rasional jika tujuan satu-satunya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Fitur ini ekonomi konvensional niscaya keberangkatan dari kenyataan. Kita tahu bahwa perusahaan tidak bisa eksis dengan sendirinya. Mereka perlu untuk beroperasi di masyarakat bahkan jika mereka harus hanya memperoleh keuntungan. Dengan demikian, ada pembenaran bagi perusahaan untuk melayani masyarakat selain dari memperoleh keuntungan. Dalam pencarian keuntungan, perusahaan selalu beroperasi secara optimal. Dengan kata lain, perusahaan tidak beroperasi pada kapasitas maksimum. Alasannya adalah sebagai berikut: Dan kondisi yang cukup diperlukan untuk keuntungan maksimal tidak memerlukan produksi dengan biaya rata-rata minimum. Pertimbangan utama adalah bahwa, selama output tambahan akan menghasilkan pendapatan tambahan yang lebih tinggi bahwa biaya tambahan, perusahaan dikatakan dapat meningkatkan keuntungan. Untuk perusahaan kompetitif murni, dalam jangka panjang, output akan diproduksi pada tingkat di mana biaya minimum. Maka perusahaan dikatakan untuk beroperasi secara optimal. Untuk monopoli, dalam jangka panjang, meskipun ia hanya mendapatkan keuntungan normal, output tidak diproduksi pada biaya rata-rata minimum. Hal ini terutama karena pertimbangan yang diberikan kepada pencapaian tujuan memaksimalkan keuntungan. Selain itu, di dunia nyata,
persaingan murni adalah tidak ada karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Dalam jangka lama kemudian, efisiensi ekonomi yang diwakili oleh MR = MC selalu dicapai tetapi efisiensi teknis tidak. Argumen terhadap maksimalisasi laba dalam konteks ini adalah sebagai tujuan utama yang dikejar dengan mengorbankan beberap pihak, baik konsumen yang akan harus membayar harga yang jauh lebih tinggi atau dengan mengorbankan biaya factor produksi, terutama tenaga kerja. Eksploitasi ini tidak luput dari perhatian. Bahkan mereka dengan baik didokumentasikan. Alasan utama adalah bahwa, sebagai pelaku ekonomi yang bersikap rasional, memaksimalkan keuntungan yang harus dicapai apakah berarti adalah kejam atau tidak bermoral. B.Tujuan Perusahaan dalam Perpektif Islam Para ahli ekonomi telah mendefinisikan suatu perusahaan yang rasional adalah perusahaan yang mampu mencetak keuntungan secara maksimal. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap tujuan utama sebuah perusahaan adalah mencetak keuntungan semaksimal mungkin, meskipun kegiatan usaha tersebut akan mengakibatkan eksploitasi alam yang dapat merugikan masyarakat sekitarnya. Misalnya dengan dalih penekanan biaya produksi untuk dapat menambah keuntungan, suatu pabrik menggunakan mesin yang berkualitas rendah yang dapat mengakibatkan meningkatnya polusi udara. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam. Dalam Islam suatu kegiatan usaha, baik individual maupun kelompok usaha tidak menjadikan maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan utama yang dapat mengorbankan segalanya demi mencapai tujuan tersebut. C.Keuntungan dalam Perspektif Islam Islam mendorong manusia untuk meraih keunggulan dan kemenangan, baik di dunia maupun di akhirat. Keunggulan dalam hal duniawi (materi) dan keunggulan ukhrowi (spiritual). Dengan demikian, Islam mendorong manusia untuk terlibat secara aktif dalam usaha untuk meraih keuntungan materi. Bahkan lebih dari itu, Islam memuji usaha seseorang untuk meraih keuntungan, terlebih-lebih dalam usaha perdagangan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 198, Allah mempersilahkan kita untuk meraih karuniaNya. Di sisi lain, Islam juga peduli akan karakter manusia yang sangat mencintai keuntungan duniawi. Oleh karena itu, Islam memberikan regulasi yang moderat dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan, agar kecintaan manusia terhadap harta tidak menjadikannya sebagai tujuan utama dalam hidup dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Manusia diperintahkan untuk tunduk terhadap regulasi syariah dalam mengejar keuntungan, regulasi “halal dan haram” dan “sah dan tidak sah” ini sebagai pedoman bagi manusia dalam mengejar keuntungan. Jadi manusia hanya diperbolehkan mengejar keuntungan yang halal dan sah menurut Islam, bukan hanya mengedepankan kuantitasnya saja. konsep “halal dan haram” ini bila dipatuhi oleh semua manusia, maka segala konflik ekonomi akan dapat terhindarkan. D.Saran Alternative dari Ekonom Islam Sejak maksimalisasi keuntungan sebagai teori dan dipraktekkan menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, beberapa ekonom islam telah menawarkan saran alternatif. Siddiqi menyarankan maksimalisasi keuntungan hendaknya harus dibatasi. Dia mengutip: kepatuhan penuh dengan konsep Islam tentang keadilan sosial dan tanggap terhadap kesejahteraan orang lain menjadi dua hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan usaha. Dan dua hal tersebut mejadi sesuatu yang paling urgen dalam kegiatan usaha, bukan maksimalisasi keuntungan. Jadi, setiap kegiatan usaha harus patuh terhadap regulasi syariah dan tidak menimbulkan efek negative bagi masyarakat. Dia berpendapat bahwa pembatasan maksimalisasi keuntungan menyiratkan bahwa: 1.Produsen tidak akan memaksimalkan keuntungan mereka jika mereka merasa bahwa dengan menurunkan margin keuntungan mereka mereka dapat memajukan masyarakat dengan memuaskan kebutuhan tidak akan pernah puas.
2.Tidak ada produser yang akan meningkatkan keuntungan dengan membebankan biaya kerusakan eksplisit ke konsumen atau pesaing nya. 3.Produsen umumnya akan puas dengan keuntungan yang memuaskan. Siddiqi mencoba untuk mendefinisikan "keuntungan memuaskan" dengan mengacu pada batas atas dan bawah. Batas atas adalah laba tertinggi yang dapat dihasilkan tanpa melanggar aturan yang mengikat dalam hukum syariah dan kode etik islam. Batas bawah adalah bahwa tingkat laba melebihi kerugian rata-rata. keuntungan Memuaskan adalah setiap keuntungan di antara dua batas tersebut. Gagasan memuaskan adalah subyektif dan kabur. Selain itu, tidak memungkinkan analisis ketat masalah memperbaiki tujuan perusahaan. Kahfi menolak maksimalisasi keuntungan karena tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam dalam hal ukuran keberhasilan, karena Islam tidak memandang suatu keberhasilan dikur dari kuantitas keuntungan, tapi dengan kualitas keuntungan yang didapat Kahfi juga menawarkan gagasan pembatasan maksimalisasi keuntungan. Menurutnya, pembatasan maksimalisasi keuntungan dapat diupayakan dengan adanya pembatasan tingkat minimum biaya produksi dan kwalitas yang dijamin oleh nilai-nilai etika dan undang-undang. jika kita mengadopsi gagasan tersebut dan meninggalkan maksimalisasi keuntungan yang tak dibatasi, perilaku perusahaan tidak lagi dapat diprediksi dan seragam. kekakuan sebagaimana yang terdapat dalam teori perusahaan konvensional juga akan hilang karena masuknya variabel yang tak dapat diukur. Ariff tidak m enemukan "keuntungan normal", norm al", dapat diterima diterim a oleh perusahaan perusa haan kompetitif murni m urni secara objektiv. Namun, ia menolak maksimalisasi keuntungan dalam situasi persaingan monopolistis, oligopoli, monopoli, dll, yang menghasilkan keuntungan yang abnormal. Dia berpendapat bahwa tidak adanya maksimalisasi keuntungan (yang diukur oleh MR = MC) tidak akan menurunkan motivasi pengusaha untuk menjadi lebih maju. Mereka akan terus begitu dengan memilih pertumbuhan usaha yang optimal dan dengan meminimalkan biaya. Dia menyarankan bahwa pengusaha muslim harus mencari kesetaraan antara biaya rata-rata dan pendapatan rata-rata bukan kesetaraan antara MR dan MC. Ini berarti output lebih tinggi dan harga yang lebih rendah, mengingat tingkat permintaan miring negatif. Dia secara implisit menyarankan agar memaksimalkan output sebagai alternatif tujuan perusahaan. Dia menyatakan bahwa harga yang diberikan garis horizontal, memaksimalkan output akan sama untuk memaksimalkan keuntungan normal jika jadwal permintaan tangensial ke kurva biaya rata-rata. Jika jadwal permintaan horisontal lebih tinggi daripada biaya rata-rata minimum, perusahaan akan memilih tingkat output yang lebih tinggi untuk mendapatkan total keuntungan yang lebih tinggi. Saran Ariff diatas sangat menarik, karena dengan memaksimalkan output (ketika AC = AR) perilaku perusahaan ini sesuai dengan etika syariah, yaitu melayani masyarakat. Di mana mereka mampu memperoleh keuntungan normal, mereka juga bisa memproduksi output yang maksimal dan mendapatkan keuntungan dari konsumen yang akan membayar harga yang lebih rendah. E.Implikasi terhadap Perekonomian Keragaman tujuan mungkin atau tidak mungkin membutuhkan analisis teori yang teliti. Ini dapat dilakukan jika variabel dimasukkan sebagai tujuan yang tidak dapat diukur. Karena kita belum menjadi subyek penelitian, kita hanya bisa membuat pernyataan berikut: a. dengan banyaknya sasaran tujuan, perusahaan itu akan bisa berfungsi dengan cara yang sejalan dengan ajaran Islam, prestasi "falah" memerlukan keseimbangan antara pencapaian material dan spiritual. b. Secara khusus, perusahaan harus mampu mengakumulasi jumlah kekayaan atas ekspansi usaha yang ditujukan untuk kebutuhan umum. c. Konsumen dalam masyarakat Islam cenderung lebih baik dalam hal output yang lebih tinggi dan harga yang lebih rendah. keuntungan yang berlebihan dalam arti-laba super normal tidak akan
diterima oleh perusahaan-perusahaan tetapi akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk output lebih banyak dengan harga lebih murah. d. Jenis barang yang dihasilkan akan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar. Hanya ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi, perusahaan kemudian akan masuk ke produksi barang untuk kebutuhan sekunder lain. e. Kesejahteraan masyarakat umum bukan hanya beban negara, tetapi juga harus ditanggung bersama oleh pengusaha. III. Kesimpulan Teori ekonomi konvesional menganggap bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan utama dalam setiap kegiatan usaha. Hanya saja teori ini telah mendapat banyak kritik, kerena maksimalisasi laba mengorbankan banyak pihak. Seperti konsumen yang harus membayar harga lebih tinggi atas kebutuhannya. Disisi lain teori ini juga mengorbankan pihak tenaga kerja, yang budgetnya harus dikurangi demi meminimalisasi biaya produksi. Kerena maksimalisasi laba tidak sejalan dengan ajaran islam, terutama dalam hal eksploitasi yang berlebihan terhadap konsumen. Para ekonom islam memberikan saran alternative yaitu dengan pembatasan maksimalisasi laba. Pelaku usaha dianjurkan untuk memperhatikan factor lain selain maksimalisasi keuntungan.
MAKSIMALISASI PROFIT ,CSR DAN EKONOMI ISLAM Rudy Wahyono Abstrak Maksimalisasi profit bukan untuk kelangsungan hidup perusahaan tetapi memberi dampak terhadap pengisapan dan perlakuan sewenang-wenang perusahaan terhadap karyawannya. C orporate Social Responsibility memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepe ntingan social,sebagi sarana untuk kelangsungan hidup perusahaan yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Ekonomi Islam sebagai alternative untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang mengatur bahwa pada hubungan pertukaran faktor produksi didasarkan atas kerjasama, saling menguntungkan dan jujur. Islam menolak bunga tetapi menghalalkan perdagangan. Bunga melanggar normal sosial pada tingkatan makro.Islam menginginkan bahwa pekerja yang terlibat dalam produksi massa memiliki kontrak kerja yang seadilnya dalam me nerima haknya sesuai output yang dihasilkan (tidak berlebihan) Kata kunci : Maksimalisasi profit, CSR, Ekonomi Islam. Pendahuluan Suatu perusahaan didirikan memiliki tujuan untuk memaksimalkan tingkat keuntungan dengan berupaya menjual produk dengan tingkat harga tertentu. Dalam pasar persaingan sempurna, perusahaan pada industri yang sama (produk homogen) tidak dapat menetapkan harga sendiri, tetapi akan mengikuti harga yang berlaku di pasar atau dikatakan semua perusahaan adalah sebagai penerima harga atau price taker. Berapapun kuantitas barang yang dijual , harga jual per unit akan tetap. Pada pasar persaingan sempurna dalam jangka pe ndek , harga merupakan datum sehingga perusahaan mengikuti harga pasar dan k urva permintaannya horizontal dan bersifat elastis sempurna (Varian, 1999).Hal ini terjadi karena produksi perusahaan hanya sebagian kecil di pasar sehingga perusahaan hanya dapat menjual pada harga tertentu, barang yang dihasilkan perusahaan bersifat homogen dengan perusahaan lainnya sehingga bila harga dinaikkan maka pembeli akan membeli barang lain yang harganya lebih rendah. Pada pasar persaingan sempurna pelaku pasar jumlahnya cukup banyak dan m emiliki informasi sempurna. Sehingga semua perusahaan akan menetapkan harga pasar yang sama untuk produk yang sejenis karena jika perusahaan menerapkan harga yang lebih tinggi dari harga pa sar maka perusahaan akan ditinggalkan oleh pelanggannya, sebab pelanggan memiliki informasi harga pasar ( pasar efisien ). Dengan demikian untuk memaksimumkan profitnya, perusahaan akan menentukan tingkat input dan output optimalnya. Untuk memperoleh profit yang maksimal, perusahaan berupaya memperbesar pe rbedaan antara pendapatan dengan biayanya. Semakin besar perbedaan maka akan semakin besar tingkat
keuntungan perusahaan. Pada pasar persaingan sempurna, dimana perusahaan sebagai price taker, maka upaya untuk memaksimalisasi profit dapat dilakukan dengan me ngefisienkan penggunaan sumber daya dan mengoptimalkan produksinya. Maksimalisasi Profit Sebagai Cita-Cita Kapitalisme Liberal Apabila tujuan perusahaan adalah memaksimalkan profit akan menimbulkan kondisi yang tidak etis karena semua kegiatan ekonomi diarahkan kepada tujuan pencapaian profit saja. Oleh karena pasar dalam persaingan sempurna, maka upaya perusahaan akan dilakukan dengan cara mengeksploitir tenaga kerja dan sumber daya alam. Sejarah telah membuktikan pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas secara tidak manusiawi dan mendapat upah yang tidak setara d engan pekerjaannya. Hal ini bisa digambarkan melalui analisis keuntungan maksimum jangka pendek seperti di bawah ini. Keuntungan Maksimum Jangka Pendek Perusahaan diasumsikan selalu berupaya memaksimalkan profit (keuntungan) sehingga perlu memaksimalkan perbedaan antara total revenue dengan total cost. Dalam jangka pendek produsen diasumsikan tidak dapat menambah kapasitas produksinya dan produsen baru juga tidak dapat membangun pabrik baru untuk memasuki pasar. Figur 1, Profit Maximization in the short run wiXi = cost A piYi = revenue B
0 Y0 Y* ∏(y)
Pada figure 1 dapat dijelaskan sebagai berikut : Profit negatif pada tingkat output rendah karena revenue tidak mencukupi untuk menutup biaya tetap dan variabel. Ketika output meningkat, revenue naik lebih cepat daripada cost sehingga profit menjadi positif. Profit berlanjut naik sampai output mencapai level Y * . Pada titik ini , marginal revenue dan marginal cost sama dan jarak vertikal antara revenue dan cost,AB adalah terbesar. Y*adalah output pada tingkat profit maksimal. Pada output diatas Y* cost meningkat lebih cepat daripada revenue yaitu marginal revenue lebih kecil daripada marginal cost. Sehingga profit menurun dari titik maksimum ketika output berada di atas Y*. Profit maksimal pada saat MR=MC untuk semua pe rusahaan baik pada kondisi persaingan maupun tidak. Kondisi semacam itu dapat dirumuskan dalam persamaan aljabar sebagai berikut : Profit, ∏ = TR – TC – TC Profit maksimal dicapai dengan syarat turunan pertama dari persamaan di atas sama dengan nol atau / y = 0 Jadi / Y = TR/ Y - TC/ Y 0 = MR – MC atau MR = MC Contoh kasus dua faktor input Untuk kasus dua faktor input X1 dan X2 , fungsi tujuan profit dapat dituliskan : ∏ = p.f(X1.X2)p.f(X1.X2)- w1.X1 – w2.X2 Turunan pertama untuk proses maksimisasi laba adalah :
Persamaan tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut : = p.f1 – w1 = 0 = p.f2 – w2 = 0
Kondisi turunan pertama ini menunjukkan bahwa nilai dari produk marjinal untuk masing -masing faktor (p.fi) harus sama dengan harga faktor inputnya (wi). Kondisi turunan pertama ini juga menunjukkan bahwa slope dari garis isoprofit sama dengan slope dari isoquant ( f ungsi produksi) seperti tampak pada figur 2 berikut :
Figur 2 Y slope = w1/p isoprofit Y* isoquant Y= f(X1,X2), Marginal Product X X* Dari figur 2 garis kurva menunjukkan fungsi produksi dengan dua faktor, sehingga persamaan profit sebagai berikut : Sedangkan untuk output dapat dihitung dengan rumus : Y= Pada figure 2, profit maksimum terjadi pada persinggungan isoprofit dengan isoquant. isoquant. (X*,Y*). Marginal product = MP1 = w1/p Dari gambar tersebut dapat dianalisis jika perusahaan dalam jangka panjang akan mempertahankan maksimalisasi profit maka yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah melakukan efisiensi internal berupa penekaanan upah karyawan atau eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan kerusakan linkungan. Contoh nyata yang dapat menjadi peringatan bagi bangsa indonesia adalah perusahaan Freeport di Papua. Kerusakan geologi dan ke lestarian alam sangat parah yang diakibatkan oleh p enggalian tambang secara serampangan. Walaupun perusahaan telah mengkompensasinya dengan program corporate social responsibility (CSR), hasilnya tidaklah sebanding dengan tingkat kerusakan yang dialami. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat dimana lokasi perusahaan berada. Secara teoretik, CSR dapat didefi nisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan pe rusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah seb uah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden -rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan me ngedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. (Mas Achmad Daniri http: //www.google.co.id /search?q= maksimalisasi+profit&hl maksimalisasi+profit&hl = id&star t= 180&sa =N) Entitas bisnis semenjak awal telah menunjukkan kekuatannya dengan memegang dua syara t sekaligus; modal (capital) dan kekuasaan (power) yang dengan syarat tersebut entitas bisnis dengan
leluasa mengintervensi perdagangan dunia dan pada titik yang paling menghawatirkan dan itu telah terjadi; membentuk tatanan dunia yang kapitalistik dengan se perangkat idiologi bawaanya. Diatas pondasi tersebut entitas bisnis mencapai tujuannya dengan kuasa penuh ditangan dan tak jarang; bahkan telah menjadi keniscayaan bahwa praktek mencapai tujuan bisnis yaitu akumulasi modal dicapai dengan cara yang merusak tatanan sosial dan lingkungan yang ada. Besarnya kekuatan modal entitas bisnis sering kali tidak diimbangi dengan kinerja sosial lingkungan yang memadai. Dalih kaum neoliberalis yang menyatakan bahwa kucuran dana investasi dalam industriaslisasi akan membawa trickle down effect bagi kesejahteraan yang merata bagi semua kalangan masyarakat serta berdampak pada manajemen ekologi yang lebih ramah ternyata meleset adanya. Kemiskinan, kebodohan, penyebaran penyakit menular, sulitnya akses hidup dan air b ersih maupun deforestasi, pemanasan global, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya masih menjadi permasalahan dunia yang seakan tiada berujung (Sampurno, 2007) Dampak negatif praktek bisnis dapat dilihat dapat dilihat dari aspek dan sudut pandang apapun baik dari produksi di hilir hingga hulu, baik dari perlakuan kepada internal resource seperti buruh, keluarga buruh maupun external resource yang membentang dari mulai masyarakat sekitar industri, konsumen, pemerintah dan yang paling penting terhadap lingkungan sekitar serta lingkungan yang dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan. banyak rentetan data kasus mengenai dampak negatif praktek bisnis yang berdampak pada tatanan sosial dan lingkungan di antaranya, kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, Ukraina (1986); eksekusi mati Ken Saro-Wiwa (1995) diikuti gerakan separatis MOSOP (Movement for the Survival of the Ogoni People) sebagai representasi kekecewaan masyarakat sipil terhadap ketidakadilan pemerintah Nigeria dan Shell; blokade aktivis Greenpeace terhadap aksi penenggelaman bekas rig milik Shell di Laut Atlantik Utara dalam da lam peristiwa Brent Spar (1995); sampai pada peristiwa dehumanisasi dan penghancuran lingkungan yang terjadi di Indonesia. Penculikan dan eksekusi terhadap Marsinah (1994), konflik tidak berkesudahan antara masyarakat adat Papua dengan PT Freeport Indonesia dan Pemerintah serta peristiwa semburan lumpur panas dari ladang eksplorasi Lapindo Brantas di Sidoarjo lebih dari satu tahun belakangan ini adalah segilintir contoh dampak negatif keberadaan industri di I ndonesia. Sejarah buruk industri ini yang membawa para pegiat bisnis pada salah satu sk ema mekanisme tanggung jawab atas dampak negatif yang dihasilkannya serta seiring dengan menguatnya tekanan dari masyarakat, organisasi sipil dan para aktifis HAM dan lingkungan di beberapa negara munculah beberapa aktifitas derma pihak industri sebagai kompensasi ganti rugi aktifitas negatif perusahaan (corporate philantropy). Evolusi konsep derma sosial perusahaan yang pada awalnya hanya merupakan mekanis me kompensasi dampak negatif aktifitas perusahaan yang berupa sejumlah dana yang dikeluarkan secara cuma-cuma baik dalam bentuk langsung maupun berupa program-program sosial kini mulai bergerak pada ranah kesadaran akan tangung jawab sosial perusahaan atau yang banyak dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep yang belakangan banyak d ibicarakan dan diujicobakan oleh banyak praktisi diperusahaan sebagai cara efektif bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Konsep ini yang sekarang marak dipakai oleh banyak entitas bisnis sebagai cara ampuh dan mujarab memoles aktifitas tanggung jawab sosialnya agar terlihat lebih “seksi” dan nge-pop. nge -pop. Maka bermunculanlah program-program yang berusaha menampilkan watak korporasi y ang sadar lingkungan dan peduli masyarakat melalui program-program sosial seperti bantuan bencana alam, mudik bareng, pendampingan UKM, bantuan pendidikan, kesehatan, community development masyarakat sekitar perusahaan dan masih banyak lagi. Tak jarang perusahaan mulai menggarap serius aktifitas CSR nya me lalui yayasan (foundation) yang khusus dibuat untuk mengimplementasikan program sosialnya atau mulai membentuk divisi khusus yang mengelola CSR perusahaannya. Begitu pun dengan apresiasi aktifitas CSR banyak diberikan oleh lembaga-lembaga yang mendukung usaha dunia bisnis dalam p rogram sosial lingkungannya seperti yang baru baru ini diselenggarakan seperti Danamon CSR Awards, suistainable reporting awards, CSR Expo Dsb. Belum cukup latah bicara CSR, pemerintah melalui DPR ikut -ikutan meregulasi aktifisas Tangung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) melalui UU PT terutama Pasal 74 yang terkenal kontroversial. Perkembangan CSR di Indonesia Penerapan CSR di indonesia bisa dilacak dari hasil k etegangan hubungan antara perusahaan dan pemangku kepentingan sosial yang biasanya direperesentasikan oleh pihak masyarakat, LSM ma upun pemerintah yang berupa seperangkat usaha untuk membungkam suara-suara kritis elemen sosial melalui sejumlah program sosial yang masih bersifat karitas dan sukarela. Melalui mekanisme self regulationnya menjamur para entitas bisnis yang secara sukarela menggelar program sosial lingkungannya yang tujuan utamanya adalah sebagai media promosi perusahaan dan pada titik
tertentu terlihat seperti aktifitas kosmetik komunikasi perusahaan belaka yang sangat jauh dari kebutuhan riil dan permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Sangat banyak data yang mencatat usaha perusahaan yang berkontribusi dalam p embangunan fisik maupun sosial melalui program CSR nya, berikut diantaranya: PT Freeport Indonesia mengklaim telah menyediakan layanan medis bagi masyarakat Papua melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di bidang pendidikan, PT Freeport menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar Papua, dan beke rja sama dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-gedung dan sarana sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program pengembangan wirausaha seperti di Komoro dan Timika.Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, Pertamina terlibat dalam aktivitas pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Pada aspek pendidikan BUMN ini menyediakan beasiswa pelajar mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga S2, maupun program pembangunan rumah baca, bantuan peralatan atau fasilitas belajar. Sementara di bidang kesehatan Pertamina menyelanggarakan program pembinaan posyandu, peningkatan gizi anak dan ibu, pembuatan buku panduan untuk ibu hamil dan menyusui dan berbagai pelati han guna menunjang kesehatan masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan persoalan lingkungan, Pertamina melakukan program kali bersih dan penghijauan seperti pada DAS Ciliwung dan konservasi hutan di SangattaPT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini juga menyediakan beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun mahasiswa. Selain kepada anak-anak pekerja PT HM Sampoerna, beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum. Selain itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini terlibat sebagai sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan.PT Coca Cola Bottling Indonesia melalui Coca Cola Foundation – didirikan pada Agustus 2000 - melakukan serangkaian aktivitas yang terfokus pada bidang-bidang: pendidikan, lingkungan, bantuan infrastruktur masyarakat, kebudayaan, kepemudaan, k esehatan, pengembangan UKM, juga pemberian bantuan bagi korban bencana alam.PT Bank Central Asia, Tbk berkolaborasi dengan PT Microsoft Indonesia menyelenggarakan pelatihan IT bagi para guru SMP dan SMA negeri di Tanggamus, Lampung. Pelatihan ini sebagai pelengkap dari pemberian bantuan pendirian laboratorium komputer untuk beberapa SMP dan SMA di Gading Rejo, Tanggamus yang merupakan bagian dari kegiatan dalam program Bakti BCA. Nokia Mobile Phone I ndonesia telah memulai program pengembangan masyarakat yang terfokus pada lingkungan dan pendidikan anak anak perihal konservasi alam. Perusahaan ini berupaya meningkatkan kesadaran sekaligus melibatkan kaum muda dalam proyek perlindungan orangutan, salah satu fauna asli Indonesia yang dewasa ini terancam punah.PT Timah, dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sosialnya menyebutkan bahwa ia telah menyelenggarakan program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaan ini menyatakan bahwa banyak dari program tersebut yang terbilang sukses dalam menjawab aspirasi masyarakat diantaranya berupa pembiakan ikan air tawar, budidaya rumput laut dan pendampingan bagi produsen garmen.Astra Group, melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra menyebutkan bahwa mereka telah melakukan program pemberdayaan UKM melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas produsen. Termasuk di dala m program ini adalah pelatihan manajemen, studi banding, magang, dan bantuan teknis. Di luar itu, grup Astra juga mendirikan yayasan Toyota dan Astra yang memberikan bantuan pendidikan. Yayasan ini kemudian mengembangkan beberapa program seperti: pemberian beasiswa, dana riset, mensponsori kegiatan ilmiah universitas, penerjemahan dan donasi buku -buku teknik, program magang dan pelatihan kewirausahaan di bidang otomotif. Dari rentetan contoh kecil data yang menggambarkan aktifitas sosial lingkungan perusahaan di atas dapat kita lihat perkembangan yang me nggembirakan dari penerapan CSR di Indonesia baik dari segi kuantitas maupun kualitas program. Namun sayangnya terdapat kelemahan dari skema CSR yang selama ini diimplementasikan oleh banyak perusahaan yang banyak ka langan berpendapat terdapat kelemahan yang sangat mendasar dari konsep tersebut. Lubang Hitam Praktik CSR di Indonesia Sebagaimana kita ketahui bahwa CSR merupakan konsep yang se benarnya tidak baru namun kini marak diperbincangkan banyak kalangan. Sebagai konsep yang mengalami perkembangan yang sangat cepat, CSR banyak diimplementasikan oleh ba nyak pihak sesuai dengan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Di Indonesia, infrastruktur pendukung CSR yang masih seumur jagung seperti literatur dan regulasi mengakibatkan banyak yang mengintepretasikan CSR secara beragam. Dari pelaksanaan CSR yang telah ada di Indonesia nampaknya kita harus jujur bahwa masih banyak kelemahan yang menjauhkan aplikasi dari substansi CSR itu sendiri.Kelemahan yang pertama yang harus kita akui bersama adalah be ragamnya definisi yang menggambarkan konsep CSR. Terkait permasalahan ini Jalal dan Taufik (2008) mengutip artikel Alexander Dahlsrud dengan tajuk “How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions”, (Jurnal (Jurnal
Corporate Social Responsibility and Environmental Management, No 15/2008) Dahlsrud menyatakan bahwa muara dari berbagai debat CSR se benarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan —sebuah proses perubahan yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dahlsrud juga mengidentifikasi 5 komponen pokok dari berbagai definisi CSR yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku ke pentingan dan voluntarisme. Buat Dahlsrud, habis sudah perdebatan soal definisi CSR. Kalau pun ada, itu cuma masalah artikulasi, bukan substansi. Maka dari itu sebenarnya debat mengenai definisi CSR telah selesai dan kita bisa berpijak dari dasar tersebut. Lain halnya dengan di I ndonesia Perdebatan definisi dan praktik ideal CSR menjadi wacana hangat di Indonesia. Bahkan ia memasuki ruang kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR masuk dalam U ndang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan Terbatas; pun disinggung secara tegas dalam Rencana Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Namun sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada pewajiban, sanksi, porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis. Tidak tersinggung sama sekali soal makna, nilai, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihak perusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan, dengan alasan sama: masalah dana. Jika pemerintah melihat CSR sebagai peluang memeroleh dana di l uar pajak dan kewajiban regulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan suara menyatakan bahwa pewajiban CSR sebagai hanyalah tambahan pengeluaran anggaran. Selanjutnya yang kedua adalah, CSR merupakan usaha insiatif yang diformulasikan sendiri oleh sektor bisnis itu sendiri melalui self regulationnya. Konsekuensinya tidaklah mengherankan apabila skema CSR yang lazim diadopsi oleh kalangan korporasi seringkali hanyalah merupakan rangkaian pernyataan atau prinsip yang bersifat kabur yang tak mampu menjadi panduan dalam situasi konkret. Mereka juga dalam ke banyakan kasus tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian berbagai masalah sosial dan lingkungan yang me ncuat sebagai dampak kinerja bisnis. Situasi semacam inilah yang menjadi landasan kritik bahwa CSR tidaklah lebih daripada aktivitas public relations pihak korporasi tanpa disertai suatu peru bahan yang substansial sifatnya. Sebuah kritik yang tentu saja sangat berdasar, terlebih manakala kita menyaksikan fakta bahwa seringkali pengadopsian CSR oleh sebuah korporasi tertentu sama sekali tidak menghentikan malpraktek yang dilakukannya. Kelemahan ketiga yang terjadi pada praktek CSR di indonesia adalah turunan dari kelemahan pertama yang menjatuhkan CSR pada praktek public relation belaka sehingga terkesan imagesentris dan mendahulukan program-program yang bisa dilihat oleh publik (sebagai strateg i komunikasi) dibandingkan melihat kedalam perusahaan yang pada dasarnya memiliki posisi yang sama didalam stakeholder CSR, yaitu buruh. Di satu sisi mengklaim telah meningkatkan standar sosial dan lingkungan pada proses operasi atau di perusahaan intinya, akan tetapi secara bersamaan menutup mata pada pelanggaran standar perburuhan atau lingkungan yang dilakukan subsidiary atau perusahaan-perusahaan dalam supplychain mereka. Hal serupa berlangsung pula dalam skema labor market flexibility yang dewasa ini telah menjadi trend di kalangan bisnis, dimana praktek subcontracting atau outsourcing outsourcing terbukti telah memperburuk kehidupan komunitas buruh, atas dasar ini entitas bisnis terjebak pada standar ganda. Lemahnya penerapan CSR yang substansial bisa jadi karena masih minimnya infrastruktuktur pendukung aktifitas CSR di Indonesia, padahal dana dan p eran strategis yang dimiliki perusahaan sangat besar dalam pembangunan di Indonesia. Maksimalisasi Profit Ekonomi Islam Upaya mengatasi dampak negatif dari perburuan pencapaian maksimalisasi profit perusahaan dilakukan dengan program CSR. Namun seperti telah dijelaskan di atas, disamping terdapat beberapa keuntungan CSR , lebih banyak lagi dampak negative yang akan diderita baik oleh karyawan, masyarakat dan lingkungan alam yang sulit tergantikan. Ekonomi kapitalis liberal menunjukkan pelakunya sangat agresif dalam mengeksplotasi sumber daya alam, tanpa menghiraukan dampak kerusakan social lingkungan. Guna mengatasi kagalauan manusia terhadap kerusakan sumber daya lingkungan maka kita perlu mencari solusi alternative konsep ekonomi yang mampu membawa kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Konsep memaksimalkan profit ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan. Ini dibuktikan dengan runtuhnya beberapa perusahaan Amerika yang terlibas krisis keuangan global, menunjukkan adanya yang salah dalam konsep ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam yang merupakan tata aturan dalam kehidupan ekonomi yang berasal dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa memberikan prinsip keadilan dari pelaku ekonomi dan masyarakatnya dalam transaksi ekonomi. Dalam ekonomi Iislam, konsep maksimalisasi memiliki nilai netral untuk kepentingan semua pihak. Ekonomi islam mempromosikan perdagangan sebagai peke rjaan dan anugareh keuntungan yang diberikan oleh Allah. Dalam rangka untuk mengganti transaksi bunga, ekonomi Islam memberikan
insentif memobilisasi sumber daya kedalam usaha produktif yang diperbolehkan melalui partisipasi dan perluasan kerjasama antar agen dan proyek-proyek ekonomi, diversifikasi efektif produksi, investasi dan risiko yang dicapai. Dengan demikian harga resiko dalam makna tingkat suku bunga digantikan oleh expected rate of returns. Pengembalian sektor riil dibagi oleh para peserta dalam korperasi. kompetisi Marginal antara sektor moneter dan sektor riil, antara pemilik modal dan tenaga kerja, serta antara orang kaya dan miskin ya ng disebabkan oleh prevalensi suku bunga, semuanya digantikan oleh usaha partisipatif. Dengan cara ini, mobilisasi sumber daya melalui profit sharing terkait langsung dengan komplementaritas antara kegiatan ekonomi dan pelaku ekonomi. Pada sektor produksi, komplementaritas antara faktor produksi (modal dan te naga kerja) dibawa oleh pilihan persamaan modal-tenaga kerja, perbesaran perubahan teknologi dan perluasa n usaha partisipatif ekonomi secara keseluruhan. Pengembangan dan pemberdayaan, yang merupakan konsekuensi dari keputusan partisipatif kerjasama berbagi risiko dan keuntungan, dapat terwujud. Dalam makroekonomi, sektor moneter dimana kapitalis keuangan berlaku, dan sektor produktif di mana tenaga kerja berlaku, terhubung dengan komplementaritas antara sektor-sektor dan pelaku ekonomi. Dalam bagi-hasil Islam dibawah kerja sama ekonomi, karena eksklusifitas liebilty modal dalam perusahaan joint venture, pemilik modal menganggap semua biaya ke uangan dalam kasus kerugian dan kehancuran bisnis. Di sisi lain, tenaga kerja dapat memilih untuk menunda mengambil dividen dan / atau menunda pembayaran upah pada perusahaan partisipasi tersebut. Namun terdapat pula, metode inovatif yang dapat dibentuk untuk mengelak dari masalah resiko dan biaya dalam perusahaan. Salah satu pilihannya adalah pengembangan dana yang dihasilkan dari upah dan keuntungan untuk digunakan pada saat keadaan darurat. Dana campuran seperti itu dapat pula diperlakukan sebagai upah dan asuransi korporasi. Konsep berbagi waktu sebagai suatu investasi sumber daya oleh pekerja untuk penundaan pengembalian dapat dianggap sebagai alat inovatif mengkapitalisasi pemegang saham antara modal dan tenaga kerja di sebuah perusahaan dan banyak di antara perusahaan untuk masalah tersebut. Semua ini kemungkinan penegasan prinsip komplementaritas antara faktor sumber daya, barang, dan usaha serta berbagai sektor melalui hubungan produksi yang bertentangan dengan sifat de-link suku bunga pembiayaan perusahaan (Vanek 1977). Variabel kontrak dalam bagi-hasil antara modal dan tenaga kerja belum dapat meningkatkan hak tenaga kerja dan menghasilkan lebih banyak aliran sumber daya dalam perekonomian melalui tingkat partisipasi dan mobilisasi kekayaan. Dalam partisipasi murni ekonomi Islam semua jenis variabel kontrak keuangan juga akan dihubungkan dengan pilihan pada opsi dan jaringan melalui indeks keuangan dalam sumber-sumber emerging dan da na investasi. Joint Ventures dan Partisipasi Modal Pemilik modal dapat saling bekerja sama dengan sesamanya dalam memperluas sumber investasi mereka dan juga dalam diversifikasi risiko dan usaha dengan membelanjakannya melalui perluasan ruang ekonomi. Risiko dan produk diversifikasi jadi disebabkan ole h perpanjangan sumberdaya campuran dan juga penghilangan relevansi suku bunga terhadap harga risiko, dalam hal ini uang dan produk pasar tetap obyektif dan bersaing untuk memperoleh keuntungan independen. Sehingga bunga secara efektif diganti dengan bagi hasil usaha dengan menyadari sepenuhnya terhadap evaluasi risiko. Meskipun ekonomi Islam memperlakukan profit-sharing dan partisipasi ekuitas dengan cara berbeda, tidak ada alasan atau manfaat dalam melakukan begitu. Sejak modal dan tenaga kerja saling melengkapi dalam eko nomi Islam dan partisipasi ekuitas adalah bentuk lain d ari mekanisme kerjasama antar pemodal, oleh karena itu, meningkatnya jumlah perusahaan dan tenaga kerja direalisasikan dan diinterkoneksikan oleh campuran antara profit-sharing dan partisipasi ekuity (modal), keduanya dianggap sebagai kegiatan kewirausahaan partisipatif. Konsekuensinya, dalam kasus- partisipasi ekuity (modal) kontrak dilakukan antara pemilik modal yang juga merupakan kontrak antara modal dan tenaga kerja dan dengan di antara keduanya atau di antara semuanya. Hal ini berarti sebuah perluasan sistemik mobilisasi sumber daya di seluruh proses ekonomi Islam. Partisipasi yang luas seperti itu harus ditegakkan jika bunga akan dihapuskan. Oleh karena itu prinsip komplementaritas berkaitan dengan modal uang untuk usaha produktif. Dengan cara yang sama, usaha-bersama dan partisipasi modal harus melayani pemberdayaan yang lebih dan pengembangan secara luas bagi tenaga kerja dan modal dalam suatu kerangka kewirausahaan dengan meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan. Dalam sudut pandang sistemik ekonomi Islam tidak p erlu membedakan secara khusus antara bagihasil dengan ekuitas-keuangan, kecuali untuk mengidentifikasi sumber dana dan klaim kontrak pada dividen oleh para peserta. Tetapi da lam kerangka sistem umum hubungan kausalitas antara sumber daya yang mengalir dari satu sumber ke sumber lainnya tidak membuat perbedaan dalam hal kekhususan sumber-sumber dana. Mendaftarkan kekhususan sumber dana tersebut tidak mempunyai singnifikansi ekonomi; hal ini hanya masalah legal formal dan pemunuhan standar akuntansi sebuah
kontrak. Pada kerangka sistem umum menjadi hal ya ng menarik untuk diteliti bahwa aliran sumber daya dapat berperan dalam membentuk k eseimbangan dinamis dengan sistem endogenous etika di dalamnya. Etika dilambangkan dalam sistemik Islam dengan sebuah prilaku intrinsik di semua entitas sebagaimana pengetahuan mengalir dari epistimologinya. Dengan demikian ketika komplementaritas universal berlaku lintas keanekaragaman di dalam ekonomi Is lam, kesatuan dalam pengertian ini adalah sebagai tanda pe nyatuan pengetahuan dari berbagai lembaga, sektor, dan variabel serta hubungannya. Seperti halnya komplementeritas diwujudkan melalui proses partisipasi. dapat diwujudkan melalui kedua instrumen keuangan di atas. Hal ini juga te rcermin dalam hal teknik metode yang memungkinkan evolusi sistem interaksi dan integrasi dapat dipelajati dan dianalisa (Shakun 1988). Daftar bacaan : Biswas, Basudeb, Hal R. Varian, Intermediate Microeconomics Robert S. Pindyck, Microeconomics Hal R. Varian, Microeconomic Analysis Hasan Hasan,Zubair, Theory of profit from Islamic Perspective Roby Akbar, http://robyakbar.wordpress. http://robyakbar.wordpress.com/2008/04/24/lubang-hitam-c com/2008/04/24/lubang-hitam-csr-indonesia/ sr-indonesia/
DIPOSKAN OLEH PENDIDIKAN EKONOMI MAKRO DI 06.06