BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Manusia menggunakan berbagai sumber energi yang berbeda untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari. Sumber energi di dunia diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Penduduk di dunia paling banyak menggunakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui padahal sumber energi tersebut jumlah persediaannya terbatas dan proses pembentukkannya membutuhkan waktu yang lama. Sumber energi yang tidak dapat diperbarui antara lain batu bara, minyak bumi, gas alam, propana dan uranium. Minyak bumi ditinjau dari manfaat hasil olahannya menjadi salah satu komoditi hasil pertambangan yang memiliki nilai penting dalam kehidupan suatu negara. Pemanfaatan minyak bumi sangat dekat dengan aktivitas sehari-hari masyarakat baik dalam lingkung industri maupun rumah tangga. Hasil olahan minyak bumi antara lain adalah naptha (petroleum eter), gasolin (bensin), kerosin (minyak tanah), minyak solar, minyak pelumas serta residu minyak bumi seperti parafin dan aspal. Hasil olahan berupa naptha digunakan sebagai pelarut dalam industri. Gasolin dan solar digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, sedangkan minyak pelumas digunakan untuk lubrikasi mesin-mesin. Residu minyak bumi berupa parafin dapat digunakan dalam proses pembuatan obat-obatan, kosmetika, tutup botol, industri tenun, korek api, lilin batik dan sebagainya. Penggunaan kerosin atau minyak tanah sangat erat hubungannya dengan keperluan rumah tangga, misalnya sebagai bahan bakar, pembasmi serangga, atau sebagai campuran dalam cairan pembasmi serangga. Konsumsi minyak bumi dan gas alam cenderung terus meningkat setiap tahun, yang dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut.
1
Tabel 1.1. Konsumsi Minyak Bumi dan Gas Alam di Dunia Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2012
Minyak bumi*
78187
79686
82746
83925
84873
86321
85768
84631
87439
88034
Gas alam**
2515,7 2599,3 2679,4 2766,7 2824,3 2930,4 3005,1 2930,6 3153,1 3222,9
* dalam ribuan barels per hari ** dalam jutaan m3 Sumber : BP Statistical Review of World Energy 2012 Kebutuhan dan konsumsi setiap negara akan minyak bumi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perekonomian suatu negara dimana semakin maju suatu negara maka semakin besar pula ketergantungannya terhadap energi, termasuk minyak bumi. Setiap negara harus dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui produksi minyak bumi di dalam negeri atau dengan kegiatan impor. Adanya peningkatan konsumsi minyak bumi di dunia setiap tahunnya serta kebutuhan impor oleh negara-negara yang memiliki produksi minyak bumi yang rendah, menjadi peluang bisnis bagi negara-negara penghasil minyak bumi yang besar atau tinggi melalui perdagangan internasional dengan kegiatan ekspor. Konsumsi Sepuluh negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia adalah Saudi Arabia, Amerika Serikat, Rusia, China, Iran, Kanada, Uni Emirat Arab, Meksiko, Brazil, dan Kuwait.1 Kegiatan bisnis energi minyak bumi memiliki karakteristik yaitu ketidakpastian pasar karena adanya struktur permintaan yang dinamis dan kompleks. Selain itu, ketepatan jumlah dan kondisi pasokan serta cadangan minyak bumi yang merupakan energi tidak dapat diperbarui, sulit diprediksi. Ketidakpastian pasar dapat dipengaruhi oleh karakter perilaku produsen dan 1
Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012. http://finance.detik.com 2
konsumen, kemajuan teknologi, struktur demografi dan geografi. Mayoritas model-model ekonomi menggambarkan pasar energi secara sederhana dengan cara mengobservasi variabel pokok seperti kapasitas produksi, pola konsumsi, regulasi
dan
kebijakan,
perilaku
produsen
dan
konsumen.
Persoalan
perekonomian berkaitan dengan bisnis energi dipicu oleh faktor kelangkaannya. Kelangkaan minyak dunia disebabkan karena jumlah produksi minyak yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kebutuhan atau permintaan. Fenomena kelangkaan minyak bumi dapat menyebabkan kenaikan harga minyak di dunia. Kegiatan bisnis minyak bumi dilakukan melalui perdagangan internasional dengan adanya ekspor dan impor. Hasil dari penjualan minyak bumi dapat menjadi salah satu instrumen untuk mendapatkan sumber penerimaan atau devisa negara, termasuk di Indonesia. Minyak bumi menjadi komoditas yang memiliki peran penting dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hasil minyak bumi tersebut menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang diandalkan yang besarnya mencapai 36% dari sektor penerimaan negara bukan pajak dalam APBN 2013. Sedangkan apabila ditinjau dari penerimaan negara secara keseluruhan maka minyak bumi berkontribusi sebesar 7,9%. Angka tersebut menjadi jumlah terbesar dibandingkan dengan sumber penerimaan dari sektor bukan pajak yang lain. Hal ini dapat dilihat dari bagian Pendapatan dan Hibah Negara dalam Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun 2007-2013 berikut;
Tabel 1.2. Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun 2007-2013 (miliar rupiah) Uraian I.Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a.Pajak dalam negeri i. PPh -PPh Migas
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P APBN 706.108 979.305 847.097 992.248 1.205.346 1.357.380 1.525.289 490.989 658.701 619.922 723.307
873.874
1.016.237 1.192.994
470.052 622.359 601.252 694.392
819.752
968.293
1.134.289
238.431 327.498 317.615 357.045 44.000 77.019 50.043 58.873
431.122 73.095
513.650 67.917
584.890 71.381
3
-PPh 194.430 250.479 267.571 298.173 358.026 445.733 513.509 Nonmigas ii. PPN 154.527 209.647 193.067 230.605 277.800 336.057 423.708 iii. PBB 23.723 25.354 24.270 28.580 29.893 29.687 27.344 iv. BPHTB 5953 5.573 6.464 8.026 (0.7) v. Cukai 44.679 51.252 56.718 66.166 77.010 83.266 92.004 vi. Pajak Lainnya 2.738 3.034 3.116 3.969 3.928 5.632 6.343 b.Pajak 20.937 36.342 18.670 28.914 54.121 47.944 58.705 Perdagangan Internasional i.Bea Masuk 16.699 22.764 18.105 20.017 25.266 24.738 27.003 ii.Bea Keluar 4.237 13.578 565 8.898 29.855 23.206 31.702 2.Penerimaan Negara 213.120 320.605 227.174 268.942 331.472 341.143 332.195 Bukan Pajak a.Penerimaan 132.897 224.463 138.959 168.825 213.823 217.159 197.205 SDA i. Migas 124.784 211.617 125.752 152.733 193.491 198.311 174.868 -Minyak Bumi 93.604 169.022 90.056 111.815 141.303 150.847 120.918 -Gas alam 31.179 42.595 35.696 40.918 52.187 47.464 53.950 ii. Non Migas 8.109 12.846 13.207 16.092 20.333 18.848 22.336 -Pertambangan 5.878 9.511 10.369 12.646 16.370 15.272 17.599 umum -Kehutanan 2.115 2.315 2.345 3.010 3.216 3.075 4.154 -Perikanan 116 78 92 92 184 150 180 -pertambangan 941 400 344 563 349 403 Panas Bumi b.Bagian Laba 23.222 29.088 26.049 30.097 28.184 30.776 33.500 BUMN c.PNBP Lainnya 56.873 63.319 53.796 59.428 69.360 72.779 77.992 d.Pendapatan 2.131 3.743 8.369 10.591 20.104 20.408 23.499 BLU II.Hibah 1.698 2.304 1666 3.023 5.254 825 4.483 Pendapatan Negara 707.806 981.609 848.763 995.271 1.210.599 1.358.205 1.529.673 dan Hibah Keterangan : LKPP : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat APBN-P : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara - Perubahan APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Sumber :Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2013 Peran penting dari minyak bumi juga dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hasil minyak dan gas bumi adalah sekitar 8,3% dari total PDB keseluruhan yang dapat dilihat dari dua sektor yaitu dari sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan Penyumbang terbesar bagi PDB adalah dari sektor industri pengolahan yang di dalamnya 4
termasuk pengolahan minyak dan gas bumi. Industri pengolahan minyak dan gas bumi, besarnya mencapai 12,9% dari sektor tersebut (6,6% adalah dari pengilangan minyak) atau 3,3% dari total PDB keseluruhan (1,7% adalah dari pengilangan minyak). Sedangkan untuk sektor pertambangan dan penggalian, subsektor minyak dan gas bumi mencapai 39% dari jumlah sektor tersebut atau 5% dari total PDB keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.3. berikut; Tabel 1.3. Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2012 (miliar rupiah) Tahun Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan Pertambangan dan penggalian Minyak dan gas bumi Pertambangan bukan migas Penggalian Industri pengolahan Industri migas Pengilangan minyak bumi Gas alam cair Industri bukan migas Listrik, gas dan air bersih Konstruksi Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, real estate dan jasa
2006
2007
2008
2009
2010
433.233
541.931
716.656
857.197
985.470
366.521
440.609
541.334
592.061
719.710
879.505
970.599
200.082
234.162
283.283
254.948
290.467
371.823
382.697
130.716
160.267
195.286
254.243
332.970
398.550
464.012
35.723
46.180
62.765
82.870
96.272
109.132
123.890
919.539
2011
2012
1.091.447 1.190.412
1.068.594 1.376.442 1.477.541 1.599.073 1.806.140 1.972.846
172.095
182.324
237.771
209.841
214.433
253.078
254.408
117.952
122.118
145.942
129.456
124.111
131.482
130.123
54.142
60.206
91.829
80.385
90.322
121.596
124.285
747.444
886.329
30.355
34.724
40.888
46.680
49.119
56.789
65.124
251.132
304.997
419.772
555.192
660.890
754.483
860.965
501.542
592.304
691.487
744.513
882.487
231.523
264.263
312.190
353.740
423.172
491.283
549.115
269.121
305.213
368.129
405.162
466.563
535.153
598.523
1.138.670 1.267.700 1.384.640 1.553.062 1.718.439
1.024.009 1.145.601
5
perusahaan 336.259 398.197 481.848 574.116 660.365 783.970 886.676 Jasa-jasa 2.967.040 3.534.406 4.427.633 5.141.414 5.941.952 6.797.879 7.604.759 Total PDB Sumber: BPS, 2013 Struktur APBN Indonesia yang terlihat dalam tabel 1.2 menunjukkan bahwa jumlah penerimaan negara yang fluktuatif, sedangkan dari tabel 1.3 mengenai PDB, jumlah dari subsektor minyak dan gas bumi terus mengalami kenaikan. Hal ini bergantung pada faktor produksi (kelangkaan) minyak bumi yang juga mempengaruhi harga minyak di dunia. Permasalahan mengenai energi minyak bumi juga terjadi di Indonesia. Peningkatan konsumsi akan minyak bumi baik dalam lingkup rumah tangga maupun industri, menuntut adanya peningkatan produksi dengan cadangan minyak bumi yang tersedia di dalam negeri. Kepentingan ekonomi atas energi minyak bumi, baik sebagai penghasil devisa atau sumber penerimaan negara maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri harus dapat terpenuhi. Pertumbuhan konsumsi energi rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir (hingga tahun 2009) mencapai 7% karena adanya pembangunan prasarana dan industri yang terus berkembang. Peningkatan yang tinggi tersebut menuntut Indonesia untuk menemukan cadangan minyak bumi yang baru, baik di dalam negeri maupun dengan ekspansi ke luar negeri, serta memaksimalkan potensi yang telah ada. Potensi sumber daya minyak bumi di Indonesia masihh banyak yang dapat dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam, sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang belum dieksplorasi secara intensif. 2 Kondisi perbandingan antara cadangan, produksi, dan konsumsi minyak bumi di Indonesia dapat dilihat dalam tabel 1.4. berikut;
2
Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan Bagi Pengelola BUMN. http://lmfeui.com 6
Tabel 1.4. Kondisi Minyak Bumi di Indonesia Tahun 2006-2012 Tahun 2008 8,22 3,75 4,47 314.221 515.151 134.872 92.175
2006 2007 2009 2010 2011 8,93 8,40 8,00 7,76 7,73 Cadangan* Terbukti 4,37 4,56 4,30 4,23 4,04 Potensial 3,99 4,41 3,70 3,53 3,69 322.350 305.137 301.663 300.923 289.899 Produksi ** 397.366 397.318 Konsumsi*** 386.148 423.326 134.960 135.267 133.282 121.000 100.744 Ekspor ** 116.232 115.812 120.119 101.093 96.039 Impor** * dalam milyar barel ** dalam ribu barel *** dalam ribu Setara Barel Minyak (SBM); (BBM dan non-BBM) Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, 2013 (diolah oleh Peneliti) Tabel 1.4 di atas menunjukkan bahwa masih banyak cadangan minyak yang dapat dimanfaatkan. Cadangan minyak dalam kelompok terbukti berupa minyak bumi yang keberadaannya telah terbukti dan dapat dieksplorasi. Sedangkan cadangan minyak dalam kelompok potensi masih berupa lokasi yang diyakini ada cadangan minyak namun belum ditemukan. Pada faktanya, cadangan minyak yang berstatus potensi dapat mengalami perubahan menjadi status terbukti. Pengelolaan ladang minyak bumi di dalam negeri menjanjikan keuntungan yang tinggi. Akan tetapi untuk dapat mengetahui potensi dan mengelolanya diperlukan teknologi yang mahal, modal yang besar, faktor waktu yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta ahli atau sumber daya manusia terbaik.3 Tantangan untuk dapat mengolah dan mengelola cadangan minyak di dalam negeri tersebut membutuhkan peran serta dari investor sebagai pemodal dan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Saat ini, Peraturan Pemerintah mengenai usaha minyak dan gas bumi baik di sektor hulu maupun hilir belum dapat menjamin investor untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena masih ada permasalahan yang menjadi hambatan untuk berinvenstasi antara lain lingkungan hidup, otonomi daerah dan peraturan perpajakan yang 3
Ibid. 7
2012 7,40 3,74 3,66 279.412 -
menyulitkan perusahaan untuk beroperasi. Padahal, konsumsi minyak bumi (BBM dan non-BBM), sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1.4, telah melebihi kapasitas produksi. Data menunjukkan bahwa penyediaan minyak bumi dalam negeri tidak dapat sepenuhnya dipenuhi oleh produksi dalam negeri segera harus mengimpor dari negara lain. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan konsumsi minyak bumi akan terus meningkat, sedangkan ladang minyak akan terus menua dan produksi menurun. Oleh karena itu, sangat diperlukan kilang minyak baru yang harus dibangun dalam waktu dekat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu alasan keengganan investor untuk berinvestasi adalah karena adanya peraturan perpajakan yang dirasa memberatkan. Beban pajak yang ditanggung oleh investor dalam kegiatan eksplorasi minyak bumi diantaranya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PPB). Peraturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk industri minyak dan gas bumi saat ini menyatakan bahwa keseluruhan Wilayah Kerja yang mencakup wilayah eksplorasi dan eksploitasi dalam wilayah hukum pertambangan dikenakan PBB. Insentif yang diberikan saat ini hanya sebatas pengecualian cara penentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk wilayah yang belum atau tidak meghasilkan yang berbeda dengan cara penentuan NJOP untuk wilayah lainnya. 1.2.
Pokok Permasalahan Penentuan NJOP untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
di daerah
pertambangan minyak bumi dilakukan dengan dibagi menjadi dua bagian yaitu untuk permukaan bumi dan tubuh bumi. NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk permukaan bumi ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar atau perbandingan dengan obyek lain yang sejenis. Sedangkan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk tubuh bumi ditentukan dengan nilai jual pengganti yang dhitung berdasarkan hasil perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi minyak bumi dan harga minyak bumi. Berdasarkan PMK 76/PMK.03/2013 , penentuan NJOP tersebut tidak berlaku bagi wilayah yang belum atau tidak menghasilkan. Peraturan perpajakan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sektor pertambangan 8
minyak bumi saat ini belum memperhatikan kondisi penerimaan Kontraktor dari usaha eksplorasi minyak bumi. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atau ditanggung oleh KKKS meskipun terdapat lahan atau sumur yang tidak menghasilkan. Selain itu, KKKS harus menanggung beban PBB seluas Wilayah Kerja padahal dalam wilayah tersebut belum tentu seluruhnya menghasilkan minyak bumi. Di dalam Wilayah Kerja terdapat bangunan-bangunan lain yang digunakan untuk kegiatan selain sektor pertambangan minyak bumi, seperti rumah sakit, perkebunan, sekolah dan lain-lain, yang bukan merupakan kepentingan pemilik Wilayah Kerja tersebut. Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
di wilayah eksplorasi
minyak bumi tidak sejalan dengan kebutuhan negara untuk meningkatkan produksi dengan mengolah kilang minyak baru agar permintaan akan minyak terpenuhi. Beban PBB di sektor minyak dan gas bumi, selain menyebabkan keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia dirasa dapat mematikan perusahaan yang telah ada saat ini. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan penerimaan negara. Berdasarkan uraian tersebut, maka pokok permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana implementasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan minyak dan gas bumi dalam kegiatan eksplorasi ? 2. Apa yang menjadi pertimbangan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas satu Wilayah Kerja? 3. Bagaimana implikasi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas seluruh Wilayah Kerja terhadap industri minyak dan gas bumi Nasional? 4. Apa alternatif kebijakan sebagai bentuk insentif pajak terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Industri minyak dan gas bumi di
Indonesia?
9
BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1.
Kerangka Teori 2.1.1. Kebijakan Pajak Menurut Mansury, kebijakan pajak merupakan pengertian kebijakan fiskal dalam arti sempit. Hal ini juga terlihat dalam definisi kebijakan fiskal atau fiscal policy menurut International Tax Glossary. International Tax Glossary menyatakan bahwa fiscal policy is part of economic policy which relates to taxation and public expenditure. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Tujuan kebijakan perpajakan sama dengan tujuan kebijakan publik pada
umumnya,
yaitu
mempunyai
tujuan
pokok:
peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran, distribusi penghasilan yang lebih adil, dan stabilitas.4 Michael P. Devereux dalam Rosdiana mengatakan bahwa terdapat isu-isu penting dalam kebijakan pajak adalah sebagai berikut, a. What should the tax base be; or income, expenditure, or a hybrid? b. What should the tax rate schedule be? c. How should international income flows be taxed? d. How should environmental taxes be designed? 5 Selain berbicara tentang tax base dan tax rates, isu yang juga harus diperhatikan dari kebijakan pajak adalah tentang bagaimana mengukur 4
R. Mansury. Kebijakan Perpajakan. (Jakarta : Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), 2000) h.5
5
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. Perpajakan Teori dan Aplikasi. ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) h. 94 10
kemampuan (ability to pay atau faculty to pay) dari Wajib Pajak, hak Wajib Pajak serta kewajiban dari Wajib Pajak. 6 Terlaksananya suatu kebijakan pajak tidak terlepas dari dua fungsi yang dimiliki oleh pajak itu sendiri yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Fungsi budgetair atau yang dikenal sebagai fungsi mengisi kas negara merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Fungsi ini pada hakikatnya merupakan fungsi utama pajak.Fungsi regulerend atau yang dikenal sebagai fungsi mengatur merupakan upaya pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan, terutama banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Kedua fungsi pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 7 2.1.2 Asas Perpajakan Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan yang harus dilaksanakan.Salah satunya adalah pendapat dari Adam Smith (1723-1790) yang merupakan bapak aliran ekonomi klasik, menuliskan mengenai empat kaidah yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak. Dalam buku An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations atau sering disingkat The Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1976, empat kaidah pemungutan pajak yang disebut four maxims atau four canons, yaitu: Asas equality, yang menekankan pada pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. Artinya, dalam pemungutan pajak tidak ada hal diskriminasi antara sesama Wajib Pajak. 6
Thuronyi, Victor. Tax Law Design and Drafting. (Washigton DC : International Monetary Fund, 1998) h. 2
7
R. Mansury, Kebijakan Fiskal (Tangerang: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan, 1999), h. 2-3 11
Asas certainty, yang ditekankan dalam asas ini adalah mengenai kepastian pemungutan pajak yaitu kepastian mengenai hukum yang mengaturnya, subjek pajak, objek pajak, dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya. Asas convenience of payment, dalam asas ini ditekankan mengenai pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Asas Efficiency, asas ini menekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam asas ini diberikan pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya sekecil-kecilnya. 8 2.1.3 Konsep Property Tax 2.1.2.1 Pengertian Property tax Property tax adalah salah satu pajak yang tertua dan lebih dikenal terlebih dahulu di seluruh dunia.Property Tax sudah dikenal sejak Tahun 1800an. Jika dilihat dari sejarah dipungutnya property tax, pajak ini didesain sebagai pajak atas penghasilan. Property tax juga merupakan pajak yang lazim dipungut di berbagai negara di seluruh dunia. Definisi mengenai property taxes mungkin dapat dilhat dari penjabaran Watkin mengenai dasar pengenaan pajak dari property tax. Weston mengatakan bahwa “a tax upon property becomes indirectly a tax upon persons, upon personal productive capacity and ability, upon the economic means of satisfying personal wants, and thus upon the entire personality of the taxpayer”
9
Jika dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Weston,
property tax dapat dikatakan bahwa pemajakan atas property sama halnya 8
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis, Cetakan Keempat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 10-11. 9
Weston, Stephen F. Principle of Justice in Taxation. (New York : Columbia University Press, 1903) h.47 12
dengan pemajakan atas perseorangan secara tidak langsung. Pemajakan atas
perseorangan
tersebut
berdasarkan
kapasitas
produksi
dan
kemampuan Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan atas property tax harus juga memperhatikan kondisi subjektif dari Wajib Pajak. Stotsky dan Yocelik mengatakan bahwa the taxation of land and property may be justified on the grounds of both the benefits and ability to pay principles of taxation .10 Bahkan, antara ability to pay atau faculty to pay dengan property adalah suatu hal yang dapat dipertukarkan sejak ability dijadikan dasar pemajakan.11 Property tax harus memiliki basis pemajakan atau justifikasi. Berdasarkan justifikasi property tax yang diungkapkan Stotsky dan Yocelik, dapat dilihat terdapat dua indikator yang harus dipenuhi dalam property tax, yaitu : benefit dan ability to pay. Sommerfeld mengatakan bahwa benefit principle dapat dilihat dari manfaat yang disediakan pemerintah terkait barang publik. Semakin banyak menikmati barang publik, semakin besar pajak yang harus dibayar.12 Benefit Beberapa ahli yang mengikuti aliran Adam Smith mengatakan bahwa benefit principle dapat diukur melalui penghasilan yang didapatkan di bawah perlindungan negara. 13. Pada umumnya, benefit principle dapat dikatakan sebagai prinsip kesetaraan antara manfaat yang diterima oleh orang banyak (publik) dengan penerimaan yang didapatkan dari pajak. Shome mengatakan bahwa benefit principle adalah generally, however, the application of the benefit principle of taxation is justified when it can be shown that the value of the benefits of publicly provided goods equals the tax yield 14
10
11 12
Shome, Prathasarathi. Tax Policy Handbook. (Washington DC : Fiscal Affairs Department International Monetary Fund, 1995), h. 185 Op.cit, h.176 Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan; edisi 3. (Jakarta : Granit Kelompok Yayasan Obor Indonesia, 2005) h.23
13
Op.cit, h.169
14
Shome, h. 185 13
Indikator dari property tax yang kedua menurut Stotsky dan Yocelik adalah ability to pay. International Tax Glossary menyatakan bahwa “Ability to pay or taxable capacity (also known as the accretion principle) is the theoritical amount of tax which each individual taxpayer is able to contribute to his government and is based on the principle that individuals with the higher income or greater wealth should pay more tax that those with lower income or lesser wealth. Ability to pay thus relates to the economic capacity of each tax-payer as compare to the economic capacity of individuals in different circumstances. In other word, ability to pay is more a matter of a equitable distribution of the tax burden among taxpayers then a tool to determine the actual amount that can be paid by each individual taxpayer” 15 Konsep ability to pay berkaitan dengan kemampuan ekonomi dari tiap-tiap Wajib Pajak. Berdasarkan definisi tersebut jelas terlihat kemampuan untuk membayar
ditentukan oleh seberapa
besarnya
penghasilasn atau
pendapatan yang didapat. Secara tidak langsung, prinsip ability to pay terkait prinsip benefit. Benefit turut menentukan ability to pay, bukan ability to pay yang menentukan benefit. Pengenaan atas property tax bergantung pada penilaian atas property berupa tanah, bangunan dan sebagainya. Akan tetapi, sebelum berbicara mengenai bagaimana suatu property dinilai, hal yang lebih utama adalah membahas kriteria property yang dikenakan pemajakan. Terdapat dua kondisi dimana suatu property dapat dikenakan pajak, yaitu : Pertama,
property
yang
terpillih
untuk
dipajaki
harus
mengindikasikan adanya pendapatan/penghasilan
15
Nurmantu, h. 23 14
Kedua, tingkatan kepastian dari nilai atau value dapat dipastikan, sementara penghasilan tidak sebanding dengan nilai property 16 Kondisi pertama yang dikatakan oleh Weston senada dengan justifikasi property tax yang dikatakan oleh Stotstky dan Yocelik. Adanya benefit dan ability to pay principle dapat dilihat dari penghasilan sehingga pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dijalankan. 2.1.2.2 Penilaian (Valuation) Property Tax Property tax memiliki tiga jenis dasar bentuk pemajakan. Ketiga jenis pemajakan ini menentukan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak atau base. Setidaknya terdapat tiga jenis property tax yang nantinya akan menentukan jenis properti dan dasar pengenaan pajaknya.
Bahl
mengungkapkan bahwa the property tax may be levied on the annual or rental value of the property, the capital value of land and improvements, or the site value land.17 Pembedaan jenis property tax juga akan menentukan sistem perpajakan yang mencakup perbedaan struktur tarif dan yang paling terpenting adalah praktik penilaian atau assessment. Pada annual value atau rental value, dapat dikatakan sebagai pemajakan atas penghasilan tahunan dari properti. Under the annual value system, the tax is based on an estimate of the annual net rental value from the use of the property. Net rental value is usually derived from income flows, with some adjustments, or from capital values. 18Pada capital value system, penilaian atau assessment bergantung pada perubahan atau perbaikan terhadap tanah dan bangunan (properti). Pada beberapa negara, assessment terhadap perubahan atau perbaikan tanah dan bangunan (properti) dilakukan secara terpisah. Namun pada beberapa negara lain, assessment antara perubahan tanah dan bangunan (properti) dijadikan satu 16 17
18
Weston, h.268 Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. Urban Public Finance in Developing Countries. (New York : Oxford University Press Inc, 1992) h.83 Shome, h.185 15
kesatuan. Pada capital value system, terdapat pengklasifikasian dari tanah yang ada. Hal ini terlihat pada pendapat Bahl yang menyatakan bahwa the process typically starts with a classification of land according to location, amenities, and/or use.19 Pada capital value system, adanya klasifikasi dan dua cara lainnya membuat metode assessment lebih rumit jika dibandingkan rental value system. Capital value system menggunakan beberapa sumber informasi untuk menilai sebuah properti. Capital value system menggunakan sistem assessment yang terpusat. Site valuation merupakan bagian dari capital value system. Assessment pada site valuation hanya dilakukan pada bangunan atau tanah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Site valuation mendorong adanya penggunaan tanah dengan efisien. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Bahl bahwa this form of taxation is straightforward : if only the land is taxed, the owner will have no disincentive to developing the land to its most efficient use. 20 2.1.3 Tax Incentives Kebijakan perpajakan di berbagai negara ditentukan dengan mempertimbangkan banyak sektor, termasuk adanya kemudahan bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Stotsky dalam Easson mengemukakan bahwa tax incentives adalah “a special tax provision granted to qualified investment projects (however determined) that represents a statutorily favorable deviation from a corresponding provision applicable to investment project in general (i.e projects that receive no special tax provision). An implication of this definition is that any tax provision that is applicable to all investment projects does not constitute a tax incentive ... In effective term, a tax incentive would be a special tax
19
Op.Cit, h.95
20
Op.Cit, h. 96 16
provision granted to qualified investment projects that has the effect of lowering the effective tax burden – measured in some way – on those projects, relative to effective tax burden that would be borne by investors in the absence of the special tax provision” 21 Dalam definisi di atas disebutkan bahwa tax incentives memiliki dua definisi dalam statutory dan effective term. Kedua definisi tersebut mengungkapkan bahwa tax incentive merupakan pengurangan beban pajak dari beban pajak yang seharusnya. Dalam konferensi berbagai negara di New York dan Jenewa, tax incentives didefinisikan sebagai “as any incentives that reduce the tax burden of enterprises in order to induce them to invest in particular projects or sectors.
22
Tax incentives dapat
memiliki berbagai bentuk atau model, misalnya tax holiday, zero rated atau exemption, dan investment allowances. 2.2.
Tinjauan Literatur Internasional Peningkatan konsumsi dan kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak dan
bentuk lain dari berbagai energi menyebabkan Pemerintah membuat insentif pajak agar
dapat
meingkatkan upaya penggunaan energi alternatif.
Garrison
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tipe insentif pajak yang dapat diberikan antara lain : a. Insentif Pajak Badan/ Perusahaan (Corporate Tax Incentives) Corporate Tax Incentives termasuk di dalamnya adalah tax deductions (pengurangan pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax exemptions (pengeculian pajak). b. Insentif Pajak Perorangan (Personal Tax Incentives)
21
Easson, Alex. Tax Incentives For Foreign Direct Investment. (CN The Haque : Kluwer Law International, 2004) h. 2
22
UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey. United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en 17
Personal Tax Incentives sama seperti dengan Corporate Tax Incentives, yaitu di dalamnya terdapat tax deductions (pengurangan pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax ecemptions (pengeculian pajak). c. Insentif Pajak Properti (Property Tax Incentives) Insentif Pajak Properti dapat diberikan dalam bentuk exemptions, exclusions, dan credits. d. Insentif Pajak Penjualan (Sales Tax Incentives) Insentif Pajak Penjualan dapat diberikan dalam bentuk tax exemptions. e. Insentif lainnya (Other Incentives) Insentif pajak ini termasuk mengenai hibah, pinjaman, atau dalam hal produksi. Dalam jurnal ini, Larry membandingkan berbagai tax incentives yang diberikan oleh Pemerintah di negara-negara bagian Amerika untuk menunjang produksi energi alternatif. 23
23
Larry R. Garrison. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative EnergyAn Update. Januari- Februari 2013. 18
BAB III PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran Umum Industri Migas merupakan sebuah usaha yang memiliki tahapan yang
panjang dan terintegrasi penuh (fulli intergrated oil company). Tahapan usaha tersebut dibagi menjadi tujuh tahap sesuai dengan teknik produksinya yaitu eksplorasi, eksploitasi (produksi), pengilangan (Pengolahan), penimbunan, transportasi, pemasaran, dan distribusi. Kegiatan di industri migas dibedakan menjadi kegiatan hulu (upstream) yang merupakan jenis usaha pertambangan, meliputi eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan hilir (downstream) yang merupakan jenis usaha Industri, meliputi pengolahan, penyulingan, pemasaran dan distribusi. Usaha hulu migas di Indonesia, yaitu eksplorasi dan eksploitasi, sering dikelola bersama sebagai usaha terintegrasi yang dapat dipisahkan dari tahapan usaha migas yang lainnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sektor usaha hulu merupakan tahapan usaha yang memiliki tingkat resiko usaha paling tinggi. Perusahaan sumber daya alam biasanya terlibat dalam empat aktivitas, yaitu 24 : a. Penguasaan tanah yang mengandung sumber daya alam (mineral property acquisition) b. Eksplorasi sumber daya alam yang terkandung di dalam tanah yang dikuasai (exploration for oil and gas/steam reserves on the property) c. Pengeboran dan pembangunan sarana untuk mengeskploitasi sumber daya alam (drilling and development of properties) d. Produksi/ekstraksi sumber daya alam (production.extraction of the minerals)
24
Grace. F. Johnson, Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M. Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd Eddition) Vol.2, Pentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1994, h.891 19
Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan usaaha mencari cadanagan migas yang ada dalam perut bumi. Kegiatan eksplorasi ditujukan untuk mendapatkan penemuan cadangan minyak baru sebagai hidro karbon yang telah diproduksi. Eksplorasi dilakukan dengan cara mempelajari suatu wilayah untuk menemukan kemungkinannya yang dilanjutkan dengan penelitian yang lebih detail, kemudian dilakukan pemetaan perut bumi. Setelah tahap tersebut, maka dilanjutkan dengan pengeboran untuk mengetahui contoh lapisan tanah untuk dapat memperkirakan resiko dan jumlah cadangan minyak dan gas bumi di dalamnya. Apabila cadangan minyak bumi dianggap mencukupi, baru kemudian dilakukan kegiatan produksi atau eksploitasi. Kegagalan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas sangat mungkin dan sering terjadi meskipun telah menghabiskan modal yang besar. kegiatan eksplorasi dan eksplotasi di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui Pertamina yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan cara operasi sendiri dan kerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dalam bidang migas berupa Kontrak Production Sharing memiliki variasi antara lain: 25 a. JOB (Joint Operation Body), yaitu kerjasama anatara Pertamina dan perusahaan swasta dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi migas serta panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik. b. (technical Assistance Contract), yaitu kerjasama antara Pertamina dan perusahaan swasta dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur lama atau lapangan yang ditinggalkan dalam wilayah kuasa pertambangan Pertamina. c. (Enhanced Oil Recovery, yaitu kerjasama antara Pertamina dan perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada sumur dan laoangan yang masih dioperasikan Pertamina tetapi sudah menglami penurunan produksidengan menggunakan teknologi tinggi mepliputi usaha secondary dan tertiary recovery. 25
The Indonesia Production Sharing Contract, Directorate E&P Pertamina, p.14 dalam Shinta Nurzana Permata Irwandy, (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan 20
Pelaksanaan pola kontrak production saring dalam pertambangan minyak dan gas bumi diatur dalam Pasal 6 ayat 1 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas bumi yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama, yaitu kontrak production sharing. Kontrak production sharing merupakan kontrak perjanjian kerja sama natara pemerintah melalui Badan Pelaksana Migas dengan perusahaan asing selakuu kontrakyor untk melaksanakan usaha eksplorasi dan ekploitasi bahan galian migas berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebur, kontrak production sharing harus memuat persyaratan berupa: a. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan penjualan migas b. Pengendalian manajemen operasi yang berupa persetujuan atas rencana dan anggaran, rencana pengembangan lapangan serta pengawasan dari realisasi rencana berada pada Badan Pelaksana c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap. Berdasarkan konsep kontrak production sharing, maka hasil produksi migas di Indonesia adalah hasil usaha Pertamina dalam kegiatan ekplorasi dan eksploitasi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan usaha sendiri atau dengan kerjasama yaitu kontrak production sharing. Dengan adanya pola kontrak production sharing, maka mengindarkan beban resiko investasi dari Pertamina dan diharapkan dapat menarik swasta untuk berinvestasi dengan adanya pembagian hasil produksi. Dasar hukum yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi adalah Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha minyak bumi berdasarkan asas ekonomi kerakyatan yang membawa kemakmuran bersama serta berwawasan lingkungan. Tujuan usaha minyak dan gas bumi adalah untuk menjamin efisiensi dan efektivitas serta mengembangkan kemampuan nasional untuk menyediakan minyak dan gas bumi 21
baik sebagai sumber energi maupun bahan baku. Dalam menjalankan usaha minyak dan gas bumi bahwa kekayaan nasional atas sumber daya tersebut menjadi kuasa negara dimana kegiatan usaha hulunya dilakukan dengan melalui Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama menyebutkan bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi pada Badan Pelaksana dari Pemerintah serta modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan melalui kontrak kerjasama dalam hal usaha hulu dan izin usaha dalam hal usaha hilir. Berkaitan dengan Pasal 31 tentang penerimaan negara menyebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan negara bukan pajak. 4.2.
Analisis Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Daerah Pertambangan dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan Usaha hulu
minyak dan gas bumi atau dapat berupa kontraktor memiliki kewajiban yang harus dipenuhi terkait dengan penerimaan negara sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab gambaran umum. Kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam Penerimaan negara berupa pajak adalah termasuk pajak-pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah. Sedangkan kewajiban atas penerimaan negara bukan pajak antara lain adalah bagian negara atas usaha minyak dan gas bumi, pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus-bonus. Kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha hilir diwajibkan membayar pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan pajak yang merupakan komponen penerimaan negara tersebut merupakan salah satu bentuk fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Namun, pemenuhan fungsi pajak tersebut tetap harus memerhatikan prinsip pemungutan 22
pajak yaitu adequacy. Prinsip pemungutan pajak tersebut mengungkapkan bahwa pemungutan pajak harus dapat mencapai kecukupan untuk memenuhi pengeluaran negara. Namun, pemenuhan kecukupan tersebut juga harus memerhatikan prinsip yang lain yaitu elasticity agar dapat menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan ekonomi. Kewajiban perpajakan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan salah satu bentuk property tax. Meskipun kepemilikan lahan yang menjadi tempat kegiatan usaha adalah tetap menjadi milik Pemerintah Indonesia, namun penguasaan dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Sehingga pembebanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditanggung oleh badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kas negara atau penerimaan negara. Namun, apabila penerapannya tidak dilakukan dengan memerhatikan kondisi Wajib Pajak yang diseimbangkan dengan ekonomi negara dapat berakibat justru kekosongan atau kehilangan potensi penerimaan kas negara dari sektor tersebut. Pemerintah dalam menerapkan pajak tidak hanya fokus pada penerimaan pajak yang sebesar-besarnya namun juga kondisi Wajib Pajak. Jika fokus
Penerimaan
mengakibatkan
pajak
yang
sebesar-besarnya
tersebut
justru
dapat
Wajib Pajaknya ‘mati’. Sehingga konsekuensinya justru
belawanan dengan tujuan pemungutan pajak yaitu hilangnya penerimaan dari sektor pajak tersebut karena Wajib Pajaknya tidak mampu mempertahankan eksistensi. Di sisi lain, dengan hilangnya atau tidak adanya Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengusahakan kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi serta hilangnya juga potensi penerimaan negara bukan pajak dari sektor minyak dan gas bumi akibat tidak adanya perdagangan atas komoditi tersebut. Neraca perdagangan internasional pun menjadi semakin tidak seimbang karena adanya pembengkakan impor minyak dan gas bumi. Konsekuensinya, penerimaan negara turun namun terjadi peningkatan pengeluaran negara. Artinya, 23
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor minyak dan gas bumi menjadi tidak sebanding dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan seperti turunya produksi, investasi dan ekspor serta penambahan impor. Implikasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang besar tersebut dijelaskan oleh Gde Pradyana sebagai berikut; “Jadi begini, jangan kita berpikir secara sektoral. Kami mengerti bahwa teman-teman dari pajak menginginkan penerimaan pajak sebesarbesarnya. Tapi kalau penerimaan pajak sebesar-besarnya tadi malah mengakibatkan wajib pajaknya mati, ya pajaknya akhirnya tidak dapat juga. “26 Penerapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan yaitu untuk sektor minyak dan gas bumi saat ini pelaksanaannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 76/PMK.03/2013 jo. PMK 15/PMK.03/2012. Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan gas bumi dengan melihat kepada masing-masing area yaitu area produktif, area belum atau tidak produktif dan area emplasemen. Berikut contoh penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan gas bumi; 27 Contoh : PT. Mutiara, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman Kalimantan menguasai atau memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sbb: A. Bumi (Tanah ) a.Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2 b.Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2 c.Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
26
Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013. http://migasreview.com 27
Darwin, Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012). Widyasiswara Utama Pusdiklat Pajak. http:// bppk.depkeu.go.id 24
d.Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2 e.Areal Emplasemen : 1.Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2 2.Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2 3.Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2 4.Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2 B. Bangunan : 1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2 2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2 3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2 4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2 C. Hasil penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut: 1. Triwulan pertama produksi sebesar: 25.000 barrel dengan harga US $45 per barrel 2. Triwulan kedua produksi sebesar: 30.000 barrel dengan harga US $46 per barrel 3. Triwulan ketiga produksi sebesar 33.000 barrel dengan harga US $45,5 per barrel 4. Triwulan keempat produksi sebesar 34.000 barrel dengan harga US $46 per barrel. Angka Kapitalisasi = 9,5 Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00 Hitung Pajak Bumi dan Banguna (PBB) yang menjadi kewajiban PT.Mutiara tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00 Maka, penghitungan Pajak Bumi dan Bangunannya adalah sebagai berikut: 25
Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut: Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150
= Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150
= Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150
= Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150
= Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun
= Rp50.970.075.000,-
A. NJOP Bumi: a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000
= Rp484.215.713.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,-
= Rp
600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200
= Rp
600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150
= Rp
150.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150
= Rp
1.500.000,-
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900
= Rp
180.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 900
= Rp
18.000.000,-
3. Kantor: 10.000 x 1.000
= Rp
10.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100
= Rp
55.000.000,-
f. Areal Emplasemen:
Jumlah Nilai Bumi:
= Rp485.830.213.000,-
Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51 Hasil konversi: Kelas 105 = Rp78.000,-/M2 NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,26
B. NJOP Bangunan: 1. Pabrik: 50.000 x 365.000
= Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000
= Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000
= Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000
= Rp 5.950.000.000,-
Jumlah Nilai Bangunan:
= Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58 Hasil konversi: Kelas 082 = Rp408.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan:
= Rp517.956.000.000,-
NJOPTKP:
= Rp
NJOP untuk perhitungan PBB:
= Rp517.944.000.000,-
12.000.000,- -
PBB= 0,5% x 40% x 517.944.000.000 = Rp1.035.888.000,Contoh penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) minyak dan gas bumi tersebut menunjukkan bahwa beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih cukup besar yang harus ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Insentif Pajak untuk sektor pertambangan minyak dan gas bumi pada dasarnya telah diberikan oleh Pemerintah. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pengembalian biaya operasional yang dikeluarkan oleh industri hulu minyak dan gas bumi. Insentif pajak tersebut berkaitan dengan Pajak Penghasilan 27
yang dipungut berdasarkan penghasilan netto yaitu penghasilan setelah dikurangi oleh biaya. Biaya operasional yang dapat dikembalikan, dalam arti mendapat pengembalian dari Pemerintah, berlaku bagi kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi. Peraturan yang mengatur mengenai cost recovery atau biaya yang dapat diganti tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan peraturan tersebut, dalam Pasal 11 menerangkan mengenai biaya operasi yang dapat dikembalikan yaitu antara lain adalah biaya umum dan administrasi termasuk di dalamnya pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak. Namun, pajak yang dapat dikembalikan hanya pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009, pajak daerah yang dipungut pemerintah daerah antara lain Pajak Kendaraan
Bermotor
(PKB),
Pajak
Bea
Balik
Nama
Kendaraan
Bermotor(PBBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Maka, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan bukan merupakan Pajak Daerah, melainkan Pajak Pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat. Sehingga insentif pajak yang diberikan oleh Pemerintah masih berupa insentif Pajak Penghasilan, belum mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih menjadi beban bagi pengusaha atau kontraktor minyak dan gas bumi di Indonesia. Perumusan kebijakan pajak dengan memerhatikan asas-asas pajak sebagaimana yang diungkapkan oleh Adam Smith yang salah satunya adalah asas convenience yaitu di mana pemungutan pajak dilakukan di saat yang baik. Berdasarkan asas ini, maka pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) harus 28
memerhatikan kondisi
Wajib Pajak.
Sedangkan dalam Undang-Undang
menyebutkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tetap dipungut meskipun masih dalam kegiatan eksplorasi yaitu usaha untuk mencari minyak dan gas bumi. Pengecualian hanya diberikan untuk penetapan NJOP selama daerah tersebut belum atau tidak menghasilkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelunnya, bahwa pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan dikenakan untuk seluruh wilayah kerja, termasuk yang tidak berkaitan dengan kegiatan utama pertambangan. Padahal, dengan adanya sumur yang tidak atau belum menghasilkan
maka ada potensi penghasilan yang hilang. Kondisi tersebut
menjadi salah satu kondisi buruk dari kontraktor. Ditinjau dari asas convenience, pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan belum memerhatikan kondisi Wajib Pajak. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semakin dirasa menjadi beban bagi para kontraktor dalam menjalankan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, sehingga hal ini dapat menjadi hambatan dalam mengembangkan industri minyak dan gas bumi nasional. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi merupakan usaha jangka panjang yang membutuhkan modal besar dan berisiko tinggi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses industri hulu minyak dan gas bumi harus melalui beberapa tahapan yang penuh ketelitian. Tahapan yang dilalui membutuhkan modal uang, tenaga, dan alat yang banyak namun hasilnya masih belum dapat dipastikan. Risiko kegagalan dalam menemukan ladang minyak yang mana masih dalam tahapan eksplorasi menjadi beban tersendiri bagi kontraktor. Jika pada akhirnya, dalam suatu wilayah belum menghasilkan minyak dan gas bumi, maka ada penghasilan yang belum atau tidak diterima. Hal ini menyebabkan beban kontraktor semakin bertambah disamping modal dan risiko yang besar. Pertimbangan rencana insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadinya overlapping pemungutan pajak. Suatu wilayah kerja yang digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mencakup perkebunan, sekolah, dan lainnya selain sumur minyak dan wilayah yang memang digunakan untuk kegiatan pertambangan. Wilayah selain 29
sumur yang berkaitan dengan kegiatan minyak dan gas bumi telah dipungut pajaknya, oleh sebab itu jika perusahaan minyak dan gas bumi harus membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam satu wilayah kerja dapat menimbulkan pemungutan pajak berlapis sebagaimana diungkapkan oleh Gde Prayana, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebagai berikut; “Aturan yang sekarang menyebutkan bahwa seluruh WK dikenai pajak. Contohnya begini, ada perusahaan migas memiliki 1 hektare WK. Tapi, di atas WK tersebut ada kegiatan lain selain sektor migas, seperti rumah sakit, perkebunan, sekolah, dan lain sebagainya. Apakah si pemilik WK harus membayar pajak atas kegiatan yang tidak ada hubungan dengan kepentingannya? Satu blok WK bisa ribuan kilometer atau bisa seluas DKI Jakarta padahal lahan yang perlu dibebaskan hanya seluas whale pen (kepala sumur pengeboran) sekitar 1-2 hektare. Kalau ditambah dengan fasilitas produksi lainnya bisa mencapai 10-15 hektare. Sehingga, itu saja yang perlu dibayarkan pajaknya.. Selama fasilitas tersebut digunakan untuk kepentingan migas, maka harus dibayarkan pajaknya. Yang terjadi sekarang adalah over lapping pajak, di mana perusahaan migas membayar satu WK, yang mana di atas lahan tersebut, misalnya, ada kegiatan perkebunan dan lain-lainnya. Padahal, yang punya perkebunan dan kegiatan lainnya tersebut juga sudah bayar pajak. Kan jadi dobel pajaknya” 28 Insentif pajak yang diharapkan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih dipertimbangkan dengan berbagai alternatif. Apabila dilakukan dengan kebijaka zero rate maka Wajib Pajak masih harus mengurus mengenai masalah administrasi dengan tetap melaporkan pajaknya meskipun tarifnya o%. Atau dapat dilakukan pula dengan tax excemption. Hal ini dapat dilakukan dengan mengecualikan daerah yang tidak berkaitan dengan usaha eksplorasi minyak dan gas bumi dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Maka, perusahaan akan tetap menanggung beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hanya dari lahan sumur-sumur minyak saja. Selain itu, Pemerintah juga dapat mengambil kebijakan yaitu berupa penghapusan Pajak eksplorasi yang termasuk di dalamnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
28
Ibid. 30
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1.
Simpulan Pemungutan
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
(PBB)
untuk
sektor
pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah eksplorasi masih dengan menghitung daerah tersebut sebagai obyek Pajak. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan dalam satu wilayah kerja yang terdiri atas wilayahwilayah untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi maupun wilayah lain yang tidak berkaitan dengan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja dilakukan atas dasar pemenuhan fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Fungsi budgetair adalah fungsi pajak untuk memenuhi kas negara (penerimaan negara). Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja menjadi beban pajak yang cukup besar bagi perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini dapat berimplikasi terhadap keengganan kontraktor atau investor untuk melakukan usaha di bidang minyak dan gas bumi. Akibatnya, dapat terjadi penurunan jumlah produksi minyak dan gas bumi nasional padahal konsumsi terus meningkat. Kelangkaan minyak dan gas bumi nasional akan berpengaruh terhadap harga minyak nasional dan pembengkakan impor serta penurunan ekspor. Negara akan mengalami dampak ekonomi yaitu hilangnya potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) itu sendiri dan dari sektor non pajak atas minyak dan gas bumi akibat penurunan jumlah investor. Insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diperlukan agar produksi minyak dapat digenjot. Alternatif kebijakan yang dapat diambil adalah zero rate, tax excemption, atau penghapusan pajak. 4.2.
Saran Untuk pemerintah, insentif pajak diharapkan dapat segera diberikan atau
diterapkan dalam hal pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk bekerja sama dalam hal produksi minyak dan gas bumi. 31
DAFTAR REFERENSI Buku Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. (1992). Urban Public Finance in Developing Countries. New York : Oxford University Press Inc Easson, Alex. (2004). Tax Incentives For Foreign Direct Investment. CN The Haque : Kluwer Law International Johnson, Grace. F. (1994). Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M. Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd Eddition) Vol.2, Pentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Mansury, R. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4) Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan; edisi 3. Jakarta : Granit Kelompok Yayasan Obor Indonesia Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Shome, Prathasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC : Fiscal Affairs Department International Monetary Fund Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Drafting. Washigton DC : International Monetary Fund Weston, Stephen F. (1903). Principle of Justice in Taxation. New York : Columbia University Press Jurnal Garrison , Larry R. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative Energy-An
Update.
Januari-
Februari
2013.,
27-54.
http://deepwebaccessui.ui.ac.id
32
Karya Akademis Irwandy, Shinta Nurzana Permata. (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan. Lainnya Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi. Internet Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan Bagi Pengelola BUMN. http://lmfeui.com BP. (2012). Statistical Reciew of World Energy 2012. http://bp.com Darwin. Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012). Widyasiswara Utama Pusdiklat Pajak. http://bppk.depkeu.go.id Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012. http://finance.detik.com Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2012). Statistik Minyak Bumi. Agustus, 2012. http://esdm.go.id
33
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013). Data Pokok APBN 20072013. http://depkeu.go.id Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013. http://migasreview.com BPS.
(2013).
Produk
Domestik
Bruto
Menurut
Lapangan
Usaha.
http://www.bps.go.id UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey. United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en
34