BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa kelainan pada sistem integument memiliki keterkaitan dengan baik tidaknya system pertahanan tubuh atau imunitas. Salah satu penyakit yang akan kami bahas pada makalah ini mengenai penyakit LUPUS ERIMATOSUS SISTEMIK SISTEMIK ( LES ).
Penting untuk diketahui bahwa LES memiliki manifestasi ke berbagai organ didalam tubuh. Sebagai profesi perawat sudah sepatutnya kita mengetahui tentang apa itu LES dan yang terpenting adalah Asuhan Keperawatan seperti apa yang dapat kita tegakkan berkenaan dengan penyakit
ini. Sebagai gambaran prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang LES baru di seluruh dunia. Dapat mengenai semua ras, adapun wanita AfrikaAmerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius. LES juga umum mengenai wanita hispanik, asia. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara tahun 1988-1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Tidak menutup kemungkinan prevalensi LES akan terus bertambah dari waktu ke waktu, oleh karenanya asuhan keperawatan yang kompetibel dan komprehensif wajib diketahui dan sedapat mungkin dilaksanakan pada pasien dengan LES.
1
B. Maksud dan tujuan 1. Maksud
Makalah ini dibuat agar pembaca mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan LES ( Lupus Eritematosus Sistemik ) dan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan. 2. Tujuan
Setelah membaca makalah ini, mahasiswa dapat : a. Mengetahui tentang Patomekanisme Lupus Eritematosus Sistemik. b. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik c. Mengetahui pencegahan dan komplikasi Lupus Eritematosus Sistemik d. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Lupus Eritematosus Sistemik
2
B. Maksud dan tujuan 1. Maksud
Makalah ini dibuat agar pembaca mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan LES ( Lupus Eritematosus Sistemik ) dan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan. 2. Tujuan
Setelah membaca makalah ini, mahasiswa dapat : a. Mengetahui tentang Patomekanisme Lupus Eritematosus Sistemik. b. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik c. Mengetahui pencegahan dan komplikasi Lupus Eritematosus Sistemik d. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Lupus Eritematosus Sistemik
2
BAB II KONSEP MEDIS
A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO DO ;2006 ) Menurut Prof.DR.Dr. Marwali Harahap, Sp.KK tahun 2000, Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit sistemik yang mengenai berbagai organ sistemik, karateristik dengan adanya AAN ( Antibody ( Antibody Antinuclear ). Prevalensinya terjadi antara 50,8 per 100.000 orang diatas usia 17 tahun. Dan lebih sering mengenai wanita dengan perbandingan 7 : 1. Pada wanita kulit putih terjadi pada usia 18 – 18 – 65 65 tahun ( 1 / 1000 ) dan pada wanita kulit hitam 1/1250.
B. ETIOLOGI
Etiologi dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan lingkungan dan faktor faktor hormonal hormonal terhadap respons imun. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan mencetus kan penyakit inflamasi i nflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.
a. Faktor genetik
Berpengaruh sekitar 10% terhadap penyebab LES, resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
3
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, diantaranya kelainan pada gen HCA, B8, DR2, DRW52, DQ101, DQWL dan DQW2. Sedangkan untuk kelainan pada gen NULL-C4 banyak ditemui pada pasien dan keluarganya. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. b. Faktor lingkungan Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Karena dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
c. Faktor hormonal Diketahui terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
4
C. PATOFISIOLOGI
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T, menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ ( supresor/sitotoksik ) dan CD4+ (helper ). CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi
CD8+
(Isenberg
and
Horsfalli,
1998).
Berkurangnya jumlah sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T yang disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3 mekanisme yaitu : 1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. 2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan jaringan. 3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi komplemen yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998). Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun terjadi penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga fagositosis yang inadekuat pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi
5
kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktifasi komplemen
yang
menghasilkan
mediator-mediator
inflamasi
yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar, 2003). Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemik adalah sebagai berikut : Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) yang berasal dari luar (bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus) dan dari dalam (protein DNA/RNA)
Terdapatnya antibodi antilimfosit T
Limfositopenia sel T, Hiperaktivitas sel B, fungsi sel T supresor abnormal
Double negatif (CD4-CD8-), hipergamaglobulinemia, penimbunan kompleks ag-ab (igG/igM) dalam jaringan/pembuluh darah
Mengaktifkan komplemen
Komplemen melepaskan MCF ( Macrophage chemotactic factor )
Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut
Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin (oksigen radikal bebas)
Merusak jaringan sekitarnya (autoimun)
Lupus Eritematosus Sistemik
6
D. KLASIFIKASI LES
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang
menyerang kulit.
2. Systemics Lupus , penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus). 3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan
E. MANIFESTASI LES 1. Manifestasi secara umum
a. Kelelahan : moderate sampai berat sekitar 76% b. Demam (83%) dicurigai karena terpapar infeksi c. Penurunan berat badan ( 63%) d. Lesi kulit ( 85% ) berupa ruam kemerahan, dan 52% diantaranya berupa ruam kemerahan seperti kupu-kupu pada pipi dan hidung. e. Fotosensivitas 2. Manifestasi pada persendian
Terjadi pada 95% penderita LES, diantaranya : a. Artritis ; nyeri pada pergerakan, nyeri tekan dan efusi. Artritis dengan kelainan bentuk terjadi pada 15% LES yang mempunyai bentuk leher seperti angsa. b. Artralgia ; terjdi pada bagian antar falang, lutut, pergelangan tangan dan persendian metacarpal. c. Mialgia dan miositis. Ditemukan pada 1/3 LES. Kelemahan otot bagian pangkal mungkin terjadi karena pengobatan dengan kortikosteroid. 3. Manifestasi pada ginjal
a. Proteinuria, hematuria dan nefritis sindrom
7
b. Gagal ginjal ( 20% ) tanpa dialysis dapat bertahan hidup sekitar 5 tahun dengan pengobatan agresif. c. Pada nefritis lupus, tanda adanya hipertensi merupakan prognosis yang jelek dan harus diobati secara agresif. 4. Manifestasi pada jantung a. Nyeri dada ( 40% ) b. Perikarditis ( 25% ) c. Radang pada arteri korona, terutama pada LES lanjut dengan pengobatan kortikosteroid. d. Disfungsi katup jantung dan endokarditis bacterial ( 5% ) e. Angina pektoris f. Infark miokard dan gagal jantung kongestif 5. Manifestasi pada paru-paru
a. Radang interstisial parenkim paru (pneumonitis) b. Emboli paru c. Hipertensi pulmonal d. Perdarahan paru 6. Manifestasi pada sistem saraf.
a. Neuropati perifer berupa campuran sensorik motorik seperti mono neurotis multipleks ( 14% ) b. Kadang ditemukan Guillain Barre syndrome c. Disorientasi d. Gangguan persepsi sensori dan fungsi intelektual e. Nyeri kepala karena adanya infark otak. f. Kejang g. Meningitis aseptik 7. Manifestasi pada organ pencernaan
a. Mual, muntah dan anoreksia b. Nyeri perut, berupa kram c. Perforasi usus besar karena radang pada arteri mesenterika d. Hepatomegali
8
8. Manifestasi hemik dan limfatik
a. Anemia tanpa diperantarai proses imun, anemia defisiensi besi, sel sabit b. Anemia yang diperantarai proses imun : anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia pernisiosa. c. Leucopenia d. Trombositopenia e. Peningkatan Laju Endap darah f. Limpadenopati g. Splenomegali
F.
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS DAN PENUNJANG 1. Diagnostik
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : a. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi. b. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan p arut. c. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari. d. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring. e. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi. f. Serositis 1. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura. 2. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
9
g. Kelainan ginjal 1. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+ 2. Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran. h. Kelainan neurologis : kejang atau psikosis. i. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 4000/mm3)
atau
limfopenia
(kurang
dari
1500/mm 3), atau
trombositopenia (kurang dari 100.000/mm 3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut. j. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid k. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafu ente, 2002).
2. Pemeriksaan penunjang
a. ANA (antibodi antinuklear) Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan
pemeriksaan
yang
baik,
99%
penderita
LES
menunjukkan pemeriksaan yang positif
b. Anti dsDNA (double stranded) Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostic. Peningkatan kadar anti ds-DNA 20 menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES, anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan
10
aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. c. Antibodi anti-S (smith) Antibodi spesifik terdapat pada 20-30 % pasien. d. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES. e. Pemeriksaan komplemen Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai ( self amplifying ) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal f. CBC (Complete Blood Cell Count) Mengukur
jumlah
sel
darah,
maka
terdapat
anemia,
leukopenia,trombositopenia. g. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat daripada normal. h. Fungsi hati dan ginjal (biopsi) i. Urinalysis Pengukuran urin untuk mengetahui kadar protein dan sel darah merah dalam urin. j. X-ray dada k. ECG (Echocardiogram) l. Faktor rheumatoid
Pemerikasaan laboratorium : darah dan urin
a. Darah rutin : anemia, LED, trombositopenia, limfopenia, atau leucopenia b. Urin lengkap : proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
11
Pemeriksaan autoantibody
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan molekuler antigenik terhadap epitop selT, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebagainya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher
G. PENATALAKSANAAN 1.
Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum
penderita LES diberi pengobatan, harus
diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, mengancam
atau
imunosupresif
nyawa
dan
yang
mengenai
agresif.
Bila
organ-organ
penyakit mayor,
ini
maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004): a. Kelelahan Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan
12
hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. b. Hindari merokok Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok. c. Cuaca Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda da n hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi. d. Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK ( Natural Killer ). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya. e. Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan ( fish
oil ) yang mengandung
eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.
13
f. Sinar matahari (sinar ultra violet) Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut. g. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala
atau
tromboflebitis
jangan
menggunakan
obat
yang
mengandung estrogen. 2.
Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi. Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
3.
Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari. Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
14
b. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus. c. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE d. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun. e. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan gejala artritis. f. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut. g. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel. h. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowa lak, Welsh, Mayer . 2002).
15
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit ini sering diderita
oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8 : 1. b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina. c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif. d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini. 2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. 3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain. 4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut. b. Mulai kapan keluhan dirasakan. c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan. d. keluhan-keluhan lain yang menyertai. 5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
16
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit autoimun yang lain. 7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
.
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction rub
perikardium
yang
menyertai
miokarditis
dan
efusi
pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine
(menilai
filtrasi glomelorus), B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
17
B6 ( Bone )
Nyeri persendian, rentang gerak, oedema persendian, nyeri tekan, kesimetrisan skeletal. Selain pemeriksaan fisik diatas, dapat pula dilakukan pemeriksaan system integument yang meliputi : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri, hiperventilasi 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perikarditis, penurunan fungsi ventrikel, gangguan volume sekuncup 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, gangguan aliran arteri, hipovolemia 4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agenn penyebab cedera ; kimia 5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan
nafsu makan akibat luka di mulut, mual, muntah,
anoreksia, nyeri abdomen. 6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin akibat retensi natrium / glomerulonefritis. 7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan
daya
tahan fisik. 8. Intoleransi
aktivitas
fisik
berhubungan
dengan
kelemahan
atau
keletihan akibat anemia. 9. Kerusakan integritas kulit; ruam, lesi berhubungan dengan perubahan sirkulasi, fotosensitivitas, dan edema.
18
10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ruam, ulkus, lesi, purpura, kebotakan. 11. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin 12. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor pembekuan darah 13. Defisit perawatan diri : berpakaian, makan, berdandan berhubungan dengan keletihan,
gangguan
muskuloskeletal,
nyeri,
kelemahan,
intoleransi
terhadap aktifitas 14. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan
kurang
terpajan/mengingat,
salah
interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri, hiperventilasi
Tujuan : Menunjukkan pola pernafasan efektif Kriteria Hasil : a. Respirasi rate normal (16-24 x/menit) b. Klien tidak mengalami sesak nafas c. bunyi nafas bersih d. kepatenan jalan nafas e. TTV dalam batas normal
No
1.
2.
Intervensi
Rasional
Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah memperkirakan adanya perkembangan paru yang mengalami penurunan / komplikasi atau infeksi pernafasan. kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius misalnya, krekels, mengi, ronchi Takipnea, sianosis, tak dapat Catat kecepatan / kedalaman beristirahat, dan peningkatan nafas
19
pernafasan, sianosis, peggunakan otot menunjukkan kesulitan pernafasan dan aksesori/peningkatan kerja pernafasan adanya kebutuhan untuk meningkatkan dan munculnya dipsnea, ansietas. pengawasan / intervensi medis.
3.
Tinggikan kepala tempat tidur.
4.
Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan. Pertahankan lingkungan yang tenang. Ajarkan pasien teknik nafas dalam
5. 6.
2.
Berikan tambahan oksigen yang dilembabkan melalui cara yang sesuai misalnya melalui kanula, masker, intubasi / ventilasi mekanis.
Meningkatkan fungsi pernafasan yang optimal. Menurunkan konsumsi O2
Nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi. mempertahankan ventilasi / oksigenasi efektif untuk mencegah / memperbaiki krisis pernafasan
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perikarditis, penurunan fungsi ventrikel, gangguan volume sekuncup Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan,menunjukkan curah jantung yang memuaskan Kriteria hasil: Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung (mis : parameter hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat). Melaporkan penurunan episode dispnea,angina. Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
NO. Intervensi Rasional 1. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara Memonitor adanya perubahan teratur setiap 4 jam. sirkulasi jantung sedini mungkin. 2. Catat bunyi jantung. Mengetahui adanya perubahan irama jantung. 3. Kaji perubahan warna kulit Pucat menunjukkan adanya terhadap sianosis dan pucat. penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel. 4. Pantau intake dan output setiap 24 Ginjal berespon untuk menurunkna jam. curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium. 5. Batasi aktifitas secara adekuat. Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi
20
6.
jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan. Berikan kondisi psikologis Stres emosi menghasilkan lingkungan yang tenang. vasokontriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, gangguan aliran arteri, hipovolemia Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan, menunjukkan perfusi jaringan adekuat. Kriteria hasil: warna kulit normal, integritas kulit baik, vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat, pasien sadar/terorientasi, tidak ada udema, bebas nyeri/ketidaknyamanan.
NO. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Intervensi Pantau pembedaan ketajaman atau ketumpulan atau panas atau dingin observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer.
Rasional Dapat membedakan sensasi menandakan perfusi jaringan adekuat
Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi Pantau pernafasan Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernafasan. Namun dispnea tiba-tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi tromboemboli paru. Dorong latihan kaki aktif/pasif. Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko tromboplebitis Kaji fungsi GI, catat anoreksia, Penurunan aliran darah ke mesentrika penurunan bising usus, dapat mengakibatkan disfungsi GI, mual/muntah, distensi abdomen, contoh kehilangan peristaltik. konstipasi. Pantau masukan dan perubahan Penurunan pemasukan/mual teruskeluaran urine. menerus dapat mengakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan organ. Kaji tanda Homan (nyeri pada Indikator adanya trombosis vena dalam betis dengan posisi dorsofleksi),
21
eritema, edema. Anjurkan pasien atau keluarga untuk memeriksa kulit setiap hari
8.
Untuk mengetahui perubahan integritas kulit
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agen penyebab cedera ; kimia
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien dapat memperlihatkan pengendalian nyeri Kriteria Hasil : 1)
Pasien menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
2)
Mempertahankan skala nyeri atau dapat berkurang.
3)
RR normal (16-24 x/menit), Nadi normal (60-100 x/menit)
4)
Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
5)
Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.
6)
Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgetik dan nonanalgetik secara tepat.
7)
Wajah klien nampak rileks.
No 1.
Intervensi Observasi tanda-tanda vital
2.
Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
3.
4.
Rasional Pada pasien yang nyeri akan terjadi peningkatan RR dan nadi Penjelasan seseorang mengenai nyeri yang dirasakannya merupakan indikator yang dapat diandalkan dari pada hasil pengukuran yang objektif, seperti perubahan TTV, gerakan tubuh, dan ekspresi wajah. Pengungkapan dengan kata-kata merupakan tahap yang penting dalam koping
Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya. Laksanakan sejumlah tindakan Rasa nyeri dapat responsive terhadap yang memberikan kenyamanan intervensi bukan obat-obatan, seperti (kompres panas /dingin; masase, perlindungan sendi, teknik relaksasi, perubahan posisi, istirahat; kasur dan bentuk-bentuk terapi suhu.
22
5.
6.
7.
8.
5.
busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya. Berikan preparat antiinflamasi,analgetik seperti yang dianjurkan. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri. Jelaskan patofisiologik nyeri, membantu pasien sadar bahwa nyeri membawanya pada terapi yang belum terbukti manfaatnya.
Dampak nyeri pada kehidupan individu sering menimbulkan kesalapahaman tentang nyeri dan teknik-teknik penanganannya. Nyeri terhadap penyakit LES responsif terhadap pemberian obat satu macam saja atau kombinasi. Pengalaman nyeri sebelumnya dan strategi pentalaksanaan dapat berbeda dengan yang dibutuhkan untuk nyeri persisten Pengetahuan tentang nyeri terapi yang tepat dapat membantu pasien untuk menghindari bentuk-bentuk terapi yang tidak aman dan tidak efektif
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan akibat luka di mulut, mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen. Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat, setelah dilakukan tindakan. Kriteria Hasil : 1) Mempertahankan BB atau memperlihatkan peningkatan BB 2) Mempertahankan LILA 3)
Hb normal : Pria (13-16 g/dl), wanita (12-14 g/dl)
4)
Albumin normal : 4 g/dl
5) Konjungtiva tidak anemis 6) Tak ada mual/muntah 7)
Anoreksia (-)
8)
Menunjukkan perbaikan tingkat energi
9)
Porsi makanan dapat dihabiskan
23
No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
6.
Intervensi Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan, dan menelan.
Rasional Lesi mulut, tenggorok, dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan. Auskultasi bising usus Hipermotalitas saluran interstinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diar, yang dapat mempengaruhi pilihan diet /cara makan. Berikan perawatan mulut yang Mengurangi ketidaknyamanan yang terus menerus. Hindari obat berhubungan dengan mual/muntah, kumur yang mengandung alkohol. lesi oral. Mulut yang bersih akan meningkatkan nafsu makan. Batasi makanan yang Rasa sakit pada mulut atau ketakutan menyebabkan mual dan muntah akan mengiritasi lesi mulut mungkin mungkin kurang ditoleransi oleh akan menyebabkan pasien enggan pasien karena luka pada mulut. untuk makan. Tindakan ini mungkin Hindari menghidangkan makanan akan berguna dalam meningkatkan / cairan yang sangat panas. pemasukan makanan. Sajikan makanan yang mudah untuk ditelan. Konsultasikan dengan tim Menyediakan diet berdasarkan pendukung ahli diet / gizi kebutuhan individu dengan rute yang tepat. Berikan obat-obatan sesuai Mengurangi insiden muntah, petunjuk : meningkatkan fungsi gaster. Antiemetik,misalnya metokloropramid. Kekurangan vitamin terjadi akibat Suplemen vitamin penurunan masukan makanan dan/atau kegagalan mengunyah dan absorbs dalam sistem gastrointestinal. Berikan informasi yang tepat Meningkatkan kepedulian pasien tentang kebutuhan nutrisi dan mengenai nutrisi yang adekuat bagaimana memenuhinya Ajarkan metode untuk Merangsang minat pasien untuk perencanaan makan makan sedikit tapi sering Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin akibat retensi natrium / glomerulonefritis. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, Kelebihan volume cairan dapat dikurangi
24
Kriteria hasil :
Nadi perifer teraba kuat
Berat jenis urine dalam batas normal
Intake-output / 24 jam seimbang
Tidak ada acites, edema anasarka <
Tidak ada suara nafas tambahan
Berat badan stabil
Membran mukosa lembab
No 1.
Intervensi Monitor keluaran urine, jumlah dan warna
2.
Monitor status hidrasi Membran mukosa lembab (kelembaban membran mukosa, menunjukkan hidrasi yang adekuat kuatnya nadi)
3.
Monitor vital sign
4.
Rasional catat Urine mungkin sedikit pekat karena penurunan perfusi
Hipertensi menunjukkan kelebihan natrium, serta dapat menunjukkan terjadinya kongesti paru Monitor indikasi kelebihan cairan Tanda kelebihan cairan yang muncul (cracles, edema, distensi vena dapat segera di atasi jugularis, acites)
5.
Pantau status nutrisi
6.
Timbang berat badan setiap hari
7.
8. 9.
Status nutrisi yang baik menunjukkan perbaikan hidrasi
Memonitor status nutrisi dan kelebihan cairan Kolaborasi pemberian cairan, Natrium dapat memperberat udema pembatasan asupan natrium sesuai indikasi Kolaborasi pemberian diuretik Membantu pengeluaran cairan dari dalam tubuh Ajarkan pasien tentang penyebab Memenuhi kebutuhan informasi dan cara mengatasi udema ; pasien agar dapat mengurangi pembatasan diet dan penggunaan kecemasan obat
25
7.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya
tahan
fisik. Tujuan : Setelah dilakukan perawatan pasien dapat memperlihatkan peningkatan rentang gerak Kriteria Hasil : 1) Peningkatan rentang sendi 2) Menggunakan teknik-teknik yang tepat dan / atau alat bantu untuk membantu mobilitas. 3) Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu. 4) Mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas. 5) Keseimbangan 6) Bergerak dengan mudah
No
Intervensi
Rasional
1.
Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi : a. Menekankan kisaran gserak pada sendi yang sakit b. Meningkatkan pemakaian alat bantu c. Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman. d. Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
Latihan yang bersifat terapi, pemakaian alas kaki yang tepat dan / atau alat bantu dapat memperbaiki mobilitas. Postur tubuh dan pengaturan posisi yang benar diperlukan untuk mempertahankan mobilitas yang optimal.
2.
Pertahankan istirahat tirah baring / Istirahat sistemik dianjurkan selama duduk jika diperlukan. eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan. Mempertahankan / meningkatkan Bantu dengan rentang gerak aktif / fungsi sendi, kekuatan otot, dan pasif. stamina umum. Konsul dengan ahli terapi fisik / Berguna dalam memformulasikan okupasi dan spesialis vokasional. program latihan / aktivitas yang
3.
4.
26
5.
8.
Berikan obat-obat sesuai indikasi. Steroid
berdasarkan pada kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasikan alat/bantuan mobilitas. Mungkin dibutuhkan untuk menekan inflamasi sistemik akut.
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia. Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas. Kriteria hasil : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari- hari)
menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis,
misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal. No 1. 2.
3.
Intervensi Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah atau berdiri Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktifitas Kaji kemampuan ADL pasien.
mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan. keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot. menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan
4.
Kaji kehilangan atau keseimbangan jalan,kelemahan otot
5.
Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktifitas
6.
Gunakan teknik menghemat energi, terjadi kelelahan dan kelemahan. anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri). Berikan lingkungan tenang meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru. Berikan pengobatan nyeri sebelum Obat diberikan apabila nyeri aktifitas merupakan salah satu penyebab Ajarkan pentingnya nutrisi yang Nutrisi yang adekuat merupakan
7.
8. 9.
gangguan gaya
Rasional Untuk menilai sejauh mana pasien dapat mentoleril aktifitas Menilai tingkat kemauan pasien dapat bergerak
27
baik 9.
energi untuk dapat beraktifitas
Kerusakan integritas kulit ; ruam, lesi berhubungan dengan perubahan sirkulasi, fotosensitivitas, dan edema. Tujuan : setelah dilakukan perawatan, pasien dapat menunjukkan integritas kulit yang baik Kriteria hasil : Menunjukkan regenerasi jaringan, Mencapai penyembuhan tepat waktu wilayah yang luka, tidak terjadi infeksi pada kulit, kulit tidak gatal, warna kulit normal
No 1.
Intervensi Menjaga kulit bebas dari tekanan.
2.
Kaji keadaan luka (warna, abses, ukuran)
3.
Bebaskan area yang hambatan sirkulasi
4.
Lakukan perawatan berkala terhadap area yang sakit
5.
Pastikan area yang sakit mendapatkan sirkula udara yang optimal Berikan informasi pada klien tentang informasi yang baik dan jelas kondisi luka dan prosedur membiat klien mengerti tentang perawatannya penyakitnya dan mengurangi kecemasan Berikan terapi antibiotic dan Antibiotic dan antiinflamasi antiinflamasi sesuai anjuran membantu mencegah komplikasi Konsultasikan pada ahli gizi tentang Makanan yang bergizi dapat makanan tinggi protein, mineral, membantu perbaikan jaringan kalori dan vitamin
6.
7. 8.
sakit
dari
Rasional Meningkatkan sirkulasi dan mencegah iskemia, nekrosis Menentukan secara spesifik prosedur perawatan, dan monitoring awal regenerasi luka. Sirkulasi yang adekuat membantu proses penyembuhan area yang sakit dan regenerasi sel Perawatan yang baik dan sesuai mengurangi potensial komplikasi dan perluasan area yang sakit Sirkulasi udara yang baik mencegah pertumbuhan kuman anaerob
10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ruam, ulkus, lesi, purpura, kebotakan. Tujuan : menunjukkan citra tubuh yang baik Kriteria Hasil : Menerima perubahan konsep diri tanpa meniadakan diri, mengungkapkan penerimaan diri dalam situasi, Kinerja peran meningkat,
28
Bicarakan dengan keluarga tentang situasi dan perubahan yang telah terjadi, Mengembangkan tujuan yang realistis dan rencana untuk masa depan, keinginan menyentuh bagian tubuh yang mengalami gangguan No 1.
Intervensi Menilai arti kehilangan atau perubahan ke klien termasuk harapan masa depan dan dampak budaya dan agama
Rasional Hasil episode traumatis secara tibatiba, perubahan tak terduga, menciptakan perasaan duka atas kerugian aktual atau dirasakan. Hal ini membutuhkan dukungan untuk bekerja optimal menerima perasaan ini sebagai respon normal terhadap apa yang telah terjadi. Hal ini bisa membantu atau mendorong klien sebelum ia siap untuk berurusan dengan situasi. Denial mungkin berkepanjangan dan menjadi adaptif karena Mekanisme klien tidak siap untuk mengatasi masalah pribadi agar klien dan keluarga cenderung untuk menangani krisis ini dengan cara yang sama dan bukan hanya membantu penyembuhan tetapi harus menyadari bahwa perilaku diarahkan kearah adaptif
2.
Mengakui dan menerima ekspresi perasaan frustrasi, ketergantungan, kemarahan, kesedihan, dan permusuhan. Perhatikan perilaku dan penggunaan penyangkalan.
3.
Menetapkan batas perilaku maladaptif (misalnya, manipulatif atau agresif). Menjaga sikap tidak menghakimi saat memberikan perawatan, dan bantuan klien mengidentifikasi perilaku positif yang akan membantu dalam pemulihan.
4.
Bersikaplah realistis dan positif Meningkatkan kepercayaan dan selama perawatan, dalam pengajaran hubungan antara klien dan perawat. kesehatan dan dalam menetapkan tujuan dalam keterbatasan
5.
Dorong klien dan keluarga untuk melihat luka dan membantu dengan hati-hati,
6.
Memberikan harapan dalam Meningkatkan sikap positif dan parameter situasi individu, jangan memberikan kesempatan untuk memberikan jaminan palsu. mengatur tujuan dan rencana untuk masa depan didasarkan pada kenyataan.
Meningkatkan penerimaan realitas cedera dan perubahan dalam tubuh dan citra diri sebagai yang berbeda.
29
7.
8.
9.
10
11
12
11.
Membantu klien untuk Membantu memulai proses melihat mengidentifikasi tingkat perubahan ke masa depan dan bagaimana aktual dalam penampilan /fungsi hidup akan berbeda. tubuh. Berikan penguatan positif kemajuan Kata-kata dorongan dapat dan mendorong upaya menuju mendukung perkembangan positif pencapaian tujuan rehabilitasi. perilaku coping.
Mendorong interaksi keluarga Mempertahankan atau membuka dengan satu sama lain dan dengan jalur komunikasi dan menyediakan tim rehabilitasi. dukungan yang berkelanjutan bagi klien dan keluarga Memberikan dukungan kelompok Meningkatkan status perasaan klien untuk klien Memberi informasi dan memungkinkan untuk lebih tentang bagaimana keluarga dapat bermanfaat membantu untuk klien Bermain peran dalam situasi sosial Siapkan klien dan keluarga untuk agar menjadi perhatian klien melihat reaksi orang lain dan mengantisipasi cara untuk berurusan dengan mereka Rujuk ke terapi fisik atau okupasi, Membantu dalam mengidentifikasi konselor kejuruan, dan konseling cara dan perangkat untuk kejiwaan, misalnya, psikiatri mendapatkan kembali kepercayaan. spesialis perawat klinis, pelayanan Klien mungkin perlu bantuan lebih sosial, atau psikolog, sesuai lanjut untuk mengatasi masalah. kebutuhan. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin Tujuan : tidak terjadi penyebaran infeksi Kriteria hasil : dapat mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi, meningkatkan penyembuhan luka
No 1. 2.
3.
Intervensi Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien Pertahankan tehnik aseptik ketat
Rasional Mencegah kontaminasi silang
pada prosedur/perawatan luka
infeksi bakteri
Berikan
perawatan
kulit
Menurunkan
dengan Menurunkan
resiko
kolonisasi/
kejadian
kerusakan
30
4.
cermat
kulit/jaringan dan infeksi
Pantau suhu, catat adanya menggigil
Adanya
dan takikardi dengan atau tanpa
membutuhkan pengobatan
proses
inflamasi/infeksi
demam 5.
12.
Amati eritema/cairan luka
Indikator infeksi lokal
Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor pembekuan darah Tujuan : Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut, Jumlah trombosit meningkat Kriteria hasil : mempertahankan homeostatis dengan tanpa perdarahan, menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan
No 1.
Intervensi Pantau tanda penurunan trombosit
Rasional Indikator terjadinya perdarahan
yang disertai gejala klinis 2.
3.
Anjurkan
pasien
untuk
banyak
Meminimalkan penggunaan tenaga
beristirahat
dan kehilangan darah
Pantau trombosit setiap hari
Sebagai
indikator
terjadinya
perdarahan 4.
5.
Beri penjelasan untuk segera melapor
Mencegah dan dapat menangani
jika ada tanda perdarahan
dengan cepat perdarahan
Anjurkan pasien untuk minum obat
Meningkatkan sintesis protombin
secara teratur (contoh vitamin K, D dan koagulasi dan C) 6.
Antisipasi adanya perdarahan
Menurunkan
resiko
terjadinya
perdarahan 7.
Kolaborasi
dalam
pemeriksaan
laboratorium secara lengkap
13.
Sebagai
indikator
terjadinya
perdarahan
Defisit perawatan diri : berpakaian, makan, berdandan berhubungan dengan keletihan, gangguan muskuloskeletal, nyeri, kelemahan, intoleransi terhadap aktifitas
31
Tujuan : setelah dilakukan perawatan, pasien dapat menunjukkan perawatan diri dalam aktivitas kehidupan sehari-hari Kriteria hasil : pasien dapat menunjukkan melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan orang lain
No 1.
Intervensi kemampuan
Kaji
untuk Mengetahui
menggunakan alat bantu 2.
Rasional batasan
kemampuan
pasien dalam beraktivitas
Pantau peningkatan atau penurunan Menilai batas toleransi kemampuan kemampuan untuk berpakaian dan pasien melakukan
perawatan
rambut,
untuk makan sendiri 3.
Pantau
tingkat
kekuatan
dan
toleransi terhadap aktivitas 4.
5.
6.
7.
14.
Dukung
kemandirian
Mengetahui
tingkat
kemampuan
pasien dalam
Membantu pasien dalam memenuhi
berpakaian/berhias
kebutuhas berpakaian
Dorong kemandirian dalam makan
Membuat pasien tidak tergantung
dan minum
kepada bantuan
Tawarkan
pengobatan
nyeri
Meminimalkan
nyeri
pada
saat
sebelum berpakaian/berhias
beraktifitas
Tunjukkan penggunaan alat bantu
Membantu pasien dalam beraktifitas
dan aktifitas adaptif
dan meminimalkan kegiatan
Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi , tidak mengenal sumber informasi Tujuan : Klien dan keluarga mengetahui tentang proses penyakitnya. Kriteria hasil : mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis, dan komplikasi potensial, mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan terapi, Benar melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan
32
tindakan, Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan berpartisipasi dalam prosedur pengobatan
No 1.
Intervensi Kaji tingkat pemahaman proses penyakit, harapan /prognosis, kemungkinan pilihan pengobatan
2.
Berikan informasi khusus tentang penyakitnya.
3.
Mengulang informasi tentang obat termasuk tujuan, dosis, dan hasil yang diharapkan serta efek samping.
4.
anjurkan klien untuk menghindari kelelahan, kebosanan, emosi yang labil, dan masalah penyesuaian. Dengan memberikan informasi tentang kemungkinan diskusi serta interaksi dengan spesilisasi yang sesuai. Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala yang membutuhkan evaluasi medis seperti : demam, menggigil, perubahan dalam karakteristik nyeri, atau kehilangan fungsi mobilitas
5.
6.
7.
8.
Rasional Mengidentifikasi area kekurangan/salah informasi dan memberikan informasi tambahan sesuai keperluan. Kebutuhan atau informasi mengenai penyakit dan situasi terhadap individu Pengulangan memungkinkan kesempatan bagi klien untuk mengajukan pertanyaan dan memastikan pemahaman akurat. Menyediakan perspektif untuk beberapa masalah yang klien mungkin alami, dan menyakinkan bahwa bantuan tersedia bila diperlukan.
Deteksi dini komplikasi (misalnya infeksi, yang dapat menunda penyembuhan) dapat mencegah pengembangan menjadi lebih serius atau situasi yang membahayakan jiwa.
Tekankan perlunya dan pentingnya follow-up dan program rehabilitasi.
Dukungan jangka panjang dengan reevaluasi terus-menerus dan perubahan terapi yang dibutuhkan untuk mencapai pemulihan yang optimal. Menyediakan nomor telepon untuk Menyediakan akses mudah ke tim contact person. pengobatan untuk mengklarifikasi kesalahpahaman, dan mengurangi potensi komplikasi. Mengidentifikasi sumber daya Memfasilitasi transisi ke rumah, masyarakat, seperti crisis center; menyediakan bantuan dengan
33
kelompok-kelompok pemulihan; dan pertemuan mengenai kebutuhan kesehatan mental individu
34
DAFTAR PUSTAKA
Doenges. Marilynn E. et al., 2010 Nursing Care Plans, Guidelines for individualizing Client Care Across the life span, edition 8. FA. Davis Company, Philadelphia USA. Wilkinson, J.M., Ahern, N.R,. Buku saku diagnosis keperawatan NANDA NIC NOC, 2011. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta Black, Jacobs. 2002. Lucmann and sorensen’s medical surgical nursing : a psychophysiologic approach edisi 4. Library of congress cataloging. Philadelpia Maxine, patrick. 2000. Medical surgical nursing. J.B Lippincontc company. Pennsylvania Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing. Jakarta Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004. “LupusEritematosus” Hal 246 - 249 Edisi ketiga, Cetakan Kelima, FK UI, Jakarta, Sukmana, Nanang. 2011. Systemic Lupus Erytemathossus : Pathogenesis. Upload : www.New England Of Medicine Journals (diakses 30 April 2013) Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit FKUI Mansjoer, Arif. 1999. kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC
35