BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit yang penyebabnya tidak diketahui, dengan terjadinya kerusakan pada jaringan atau sel akibat autoantibodi atau imun kompleks langsung terhadap satu atau lebih komponen inti. Kejadinnya 90% pada wanita, sekitar 500 pada masa subur. Masa hidup akibat penyakit ini dengan lam 10 tahun sebesar 75% dan dengan lama 20 tahun sebesar 50%. Penyebab kematiannya adalah infeksi samapi sepsis, lupusflares (serangan mendadak), kegagalan organ vital, atau penyakit jantung. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Faktor pencetusnya adalah faktor keturunan, akibat pengaruh lingkungan, atau keadaan abnormal hormone seksual. Bukti faktor keturunannya adalah kejadiannya lebih besar pada monozigot dibandingkan dizigot. Sekitar 10% dapat terjadi pada lingkungan keluarga. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang
1
terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang dirumuskan dari penulisan makalah ini antara lain : 1. Apa itu sistemik lupus eritematosus ? 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem imun i mun ? 3. Apa saja etiologi dari sistemik lupus eritematosus ? 4. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus ? 5. Bagaiamana WOC pada penyakit sistemik lupus eritematosus ? 6. Apa saja manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus ? 7. Apa saja komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik lupus eritematosus ? 8. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan pada klien sistemik lupus eritematosus? 9. Apa saja pemeriksaan penunjang pada sistemik lupus eritematosus ? 10. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis pada pasien SLE dan aplikasi NANDA, NOC, dan NIC? NIC?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain : 1. Untuk mengetahui pengertian dari sistemik lupus eritematosus. 2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi dari sistem imun. 3. Untuk mengetahui Untuk mengetahui Etiologi dari sistemik lupus eritematosus. 4. Untuk mengetahui patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus.
2
terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang dirumuskan dari penulisan makalah ini antara lain : 1. Apa itu sistemik lupus eritematosus ? 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem imun i mun ? 3. Apa saja etiologi dari sistemik lupus eritematosus ? 4. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus ? 5. Bagaiamana WOC pada penyakit sistemik lupus eritematosus ? 6. Apa saja manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus ? 7. Apa saja komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik lupus eritematosus ? 8. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan pada klien sistemik lupus eritematosus? 9. Apa saja pemeriksaan penunjang pada sistemik lupus eritematosus ? 10. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis pada pasien SLE dan aplikasi NANDA, NOC, dan NIC? NIC?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain : 1. Untuk mengetahui pengertian dari sistemik lupus eritematosus. 2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi dari sistem imun. 3. Untuk mengetahui Untuk mengetahui Etiologi dari sistemik lupus eritematosus. 4. Untuk mengetahui patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus.
2
5. Untuk mengetahui WOC pada penyakit sistemik lupus eritematosus 6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus 7. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik lupus eritematosus 8. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dilakukan pada klien sistemik lupus eritematosus 9. Untuk
mengetahui
pemeriksaan
penunjang
pada
sistemik
lupus
eritematosus 10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada pasien SLE dan aplikasi NANDA, NOC, dan NIC
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan memberi manfaat yang luas, baik bagi penulis sendiri maupun pembaca umumnya umumnya : 1. Bagi penulis, sebagai pemenuhan tugas keperawatan sistem imun dan hematologi, penulisan makalah ini banyak memberi manfaat baik langsung maupun tidak langsung, diantaranya penulis mendapatkan pengetahuan mengenai penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut dengan lupus saja. Disamping itu penulis merasa dilatih untuk menulis dan menjadikannya sebagai bahan referensi serta kajian untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan. 2. Bagi pembaca, tidak jauh beda dengan yang penulis sampaikan diatas, diharapkan melalui tulisan ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih banyak tentang penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut dengan lupus ini.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi mulitisistem yang disebabkan
oleh
banyaka
faktor
(Isenberg
and
Horsfall,1998)
dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi aotoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya ribonukleoprotein menyebabkan
autoantibodi
intraseluler,
kerusakan
terhadap
sel-sel
jaringan
DNA,
darah,
(Albar,
berbagai
dan
2003)
fosfolipid
melalui
macam dapat
mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). 2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun dan Hematologi
2.2.1 Sistem Imun 1. Pengertian Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan. Sistem
imun
adalah
sistem
pertahanan
manusia
sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yg terjadi pd autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi mjd tumor.
4
2. Letak Sistem Imun
3. Fungsi Sistem Imun a. Sumsum Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain. b. Thymus Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit yang kemudian bergerak
ke jaringan limfatik yang
lain,dimana T limfosit dapat berespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T limfosit. 1) Limfosit T sitotoksik limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel . Sel T sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal. 2) Limfosit T helper Limfosit
yang dapat meningkatkan respon sistem imun
normal. Ketika distimulasi
oleh antigen presenting sel sepeti
5
makrofag, T helper melepas faktor yang
yang menstimulasi
proliferasi sel B limfosit. 3) Limfosit B Tipe sel darah putih ,atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai antibodi/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B akan
berubah menjadi sel memori dan sel
plasma yang memproduksi antibodi. 4) Sel plasma Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain ,memiliki
retikulum endoplamik kasar dalam
jumlah yang banyak ,aktif memproduksi antibodi c. Getah Bening Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan, dan para- aorta daerah. d. Nodus limfatikus Nodus limfatikus
(limfonodi) terletak sepanjang
sistem limfatik.
Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak
dan
makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus,sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit. e. Tonsil Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil pharyngeal. f.
Limpa/ Spleen Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah ,merusak eritrosit tua dan sebagai penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe jaringan: pulpa merah dan pulpa putih 1) Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit 2) Pulpa putih terdiri limfosit dan makrofag
6
Benda asing di dalam darah yang
melalui pulpa putih dapat
menstimulasi limfosit . 4. Mekanisme Pertahanan a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Terdiri dari kulit dan kelenjarnya, lapisan mukosa dan enzimnya, serta kelenjar lain beserta enzimnya, contoh kelenjar air mata. Kulit dan silia merupakan system pertahan tubuh terluar. Demikian
pula
sel
fagosit
(sel
makrofag,
monosit,
polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
b. Mekanisme Pertahanan Spesifik Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yg diperankan oleh limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari cara diperolehnya, mekanisme pertahanan spesifik disebut juga sebagai respons imun didapat. 1) Imunitas humoral adalah imunitas yg diperankan oleh limfosit B dengan atau tanpa bantuan dari imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yg disekresi oleh plasma. Terdapat 5 kelas imunoglobulin yg kita kenal, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE.
7
Antibodi (antibody,
gamma globulin) adalah glikoprotein
dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Pembagian Immunglobulin. a) Antibodi A (Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang memainkan peran penting dalam imunitas mukosis. b) Antibodi D (Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah monomer dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop. c) Antibodi E (antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia. d) Antibodi G (Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai ringan, yang saling mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding. e) Antibodi M (Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin) adalah antibodi dasar yang berada pada plasma B. 2) Imunitas seluler didefinisikan sbg suatu respon imun terhadap suatu antigen yg diperankan oleh limfosit T dg atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. 2.2.2 Sistem Hematologi 1. Pengertian Hematologi adalah cabang ilmu kesehatan yg mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Hematologi berasal dari bahasa Yunani “haima” yang artinya darah. Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yg diperlukan oleh se-sel di seluruh tubuh. Darah juga
menyuplai
tubuh
dengan
nutrisi,
mengangkut
zat-zat
sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yg bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit.
Hormon-
hormon dari sistem endokrin juga diedarkan melalui darah.
8
Hematopoisis adalah proses pembentukan darah dan system imun, menghasilkan semua sel darah tubuh, termasuk sel darah unutk pertahanan imunologis. Terjadi di sumsum tulang, dimana sel batang multipotensial memunculkan 5 jenis sel yang berbeda yang dikenal sebagai sel batang unipotensial.
2. Macam - Macam Darah a. Sel darah merah b. Sel darah putih 1) Granulosit a) Neutrofil. Merupakan granulosit terbanyak. Fagosit kuat menangkap, mencerna, membuang benda asing. b) Eosinofil merupakan sejenis fagositik yang mengatur respon alergi dan bertahan melawan parasit. c) Basofil normalnya bukanlah fagositik tetapi dapat melepaskan histamine dan amin vasoaktif lain pada reaksi alergi akut. 2) Agranulosit a) Limfosit meliputi sel T yang matang di dalam thymus, dan sel B yang mungkin matang di sumsum tulang. Keduanya bertahan melawan antigen. b) Monosit. Monosit dibedakan kedalam macrofag yang sangat fagositik. Monosit merupakan sel terbesar dari kelima sel darah putih. c. Trombosit (keping darah) Trombosit melindungi permukaan vascular dan agregasi untuk meningkatkan koagulasi, yang menghentikan kehilangan darah. 2.3 Etiologi
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
9
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al ., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al .,
2000). Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat ( first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) . 2.4 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida
10
dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998). Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu
cell-mediated
immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003). Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan
sel
B
yang
teraktivasi
menyebabkan
terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg , 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer /helper ).
SLE
berhubungan dengan
ditandai
dengan
peningkatan
sel
B
terutama
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu
menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi
11
(Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya
DNA-anti
DNA)
terjebak
dalam
membran
jaringan
dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998). Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003). Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis
sel
keratonosit)
atau
beberapa obat
(seperti
klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
12
Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001). 2.5 WOC (terlampir) 2.6 Manifestasi Klinis
SLE adalah salah satu dari beberapa penyakit yang dikenal sebagai " peniru hebat "karena sering meniru atau keliru untuk penyakit lainnya. SLE adalah barang klasik dalam diagnosis diferensial, karena gejala lupus sangat bervariasi dan datang dan pergi tak terduga. Diagnosis demikian dapat sulit dipahami, dengan beberapa orang yang menderita gejala yang tidak jelas dari SLE yang tidak diobati selama bertahun-tahun. Keluhan awal dan kronis umum termasuk demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara. Karena mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE. Ketika terjadi dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain dan gejala (lihat di bawah), namun, mereka dianggap sugestif. 1.
Dermatologis manifestasi Sebanyak
30%
dari
penderita
memiliki
beberapa
gejala
dermatologi (dan 65% menderita gejala seperti di beberapa titik), dengan 30% sampai 50% menderita dari klasik ruam malar (atau ruam
13
kupu-kupu ) yang berhubungan dengan penyakit. Beberapa mungkin menunjukkan tebal, bersisik bercak merah di kulit (disebut sebagai lupus diskoid). Alopecia , mulut , hidung, saluran kemih dan vagina bisul, dan lesi pada kulit juga manifestasi mungkin. Air mata kecil dalam jaringan halus di sekitar mata bisa terjadi setelah menggosok bahkan minim. 2.
Musculoskeletal Perhatian medis yang paling sering dicari adalah untuk nyeri sendi, dengan sendi-sendi kecil dari tangan dan pergelangan tangan biasanya terpengaruh, meskipun semua sendi beresiko. The Lupus Foundation of America memperkirakan lebih dari 90 persen dari mereka yang terkena akan mengalami nyeri sendi dan / atau otot pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Tidak seperti rheumatoid arthritis , arthritis lupus kurang mematikan dan biasanya tidak menyebabkan kerusakan parah sendi. Kurang dari sepuluh persen orang dengan arthritis lupus akan mengembangkan kelainan bentuk tangan dan kaki. SLE pasien berada pada risiko tertentu mengembangkan osteoarticular tuberkulosis. Sebuah hubungan yang mungkin antara rheumatoid arthritis dan lupus telah menyarankan, dan SLE mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko patah tulang pada wanita yang relatif muda.
3.
Hematologi Anemia dapat berkembang pada sampai dengan 50% kasus. Rendah trombosit dan sel darah putih jumlah mungkin karena penyakit atau efek samping pengobatan farmakologi. Orang dengan SLE mungkin memiliki hubungan dengan sindrom antifosfolipid antibodi (gangguan trombotik), dimana autoantibodi untuk fosfolipid yang hadir dalam serum mereka. Kelainan yang berhubungan dengan sindrom antifosfolipid antibodi termasuk berkepanjangan paradoks tromboplastin
parsial
(yang
biasanya
terjadi
dalam
waktu
gangguan
14
hemoragik) dan tes positif untuk antibodi antifosfolipid, kombinasi dari temuan tersebut telah mendapatkan "istilah lupus antikoagulan positif ". Temuan lain autoantibody pada SLE adalah antibodi anticardiolipin , yang dapat menyebabkan tes positif palsu untuk sifilis . 4.
Jantung Seseorang dengan SLE mungkin memiliki peradangan berbagai bagian jantung , seperti perikarditis , miokarditis , dan endokarditis . Para endokarditis dari SLE adalah bersifat noninfective ( Libman-Sacks endokarditis ), dan melibatkan baik katup mitral atau katup trikuspid . Aterosklerosis juga cenderung terjadi lebih sering dan kemajuan lebih cepat dibandingkan pada populasi umum.
5.
[13] [14] [15 ]
Paru Paru-paru dan radang pleura dapat menyebabkan pleuritis , efusi pleura , pneumonitis lupus, penyakit paru kronis interstisial difus, hipertensi pulmonal , emboli paru , perdarahan paru , dan sindrom paru paru menyusut.
6.
Ginjal Painless hematuria atau proteinuria mungkin sering menjadi gejala ginjal hanya presentasi. Gangguan ginjal akut atau kronis dapat berkembang dengan nefritis lupus , yang mengarah ke akut atau stadium akhir gagal ginjal . Karena pengenalan dini dan manajemen dari SLE, stadium akhir gagal ginjal terjadi dalam waktu kurang dari 5% kasus. Sebuah tanda histologis membran SLE adalah glomerulonefritis dengan "loop kawat" kelainan. Temuan ini karena endapan komplek imun di sepanjang membran basal glomerulus, yang mengarah ke penampilan granular khas di immunofluorescence pengujian.
15
7. Neuropsikiatri Neuropsikiatri sindrom bisa terjadi ketika lupus mempengaruhi pusat
atau
sistem
saraf
perifer .
The
American College of
Rheumatology mendefinisikan sindrom neuropsikiatri 19 dalam lupus eritematosus sistemik. Diagnosis sindrom neuropsikiatri bersamaan dengan SLE adalah salah satu tantangan paling sulit dalam pengobatan, karena dapat melibatkan pola yang berbeda begitu banyak gejala, beberapa di antaranya mungkin keliru untuk tanda-tanda penyakit menular atau stroke. Gangguan neuropsikiatri paling umum orang dengan SLE miliki adalah sakit kepala, meskipun keberadaan tertentu sakit kepala lupus dan pendekatan optimal untuk sakit kepala dalam kasus lupus masih controversial, manifestasi neuropsikiatri umum lainnya dari SLE termasuk disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular, kejang, polineuropati, gangguan kecemasan, dan psikosis . Jarang sekali bisa hadir dengan sindrom hipertensi intrakranial, ditandai dengan peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, dan sakit kepala dengan sesekali abducens saraf paresis, adanya lesi menempati ruang-atau pembesaran ventrikel, dan normal cairan serebrospinal kimia dan hematologi konstituen. Manifestasi lebih jarang adalah negara confusional akut , sindrom Guillain-Barré,
meningitis
aseptik,
gangguan
otonom,
sindrom
demielinasi, mononeuropati (yang mungkin bermanifestasi sebagai multipleks mononeuritis), gangguan gerakan (lebih spesifik, chorea), myasthenia gravis, myelopathy, tengkorak neuropati dan plexopathy. 8. Neurologis Gejala saraf berkontribusi pada persentase yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan lupus. Sebagai hasilnya, sisi saraf lupus sedang dipelajari dengan harapan mengurangi angka
16
morbiditas dan mortalitas. Para manifestasi saraf lupus dikenal sebagai lupus erythematosus neuropsikiatri yang sistematis (NPSLE). Salah satu aspek dari penyakit ini adalah kerusakan parah pada sel-sel epitel dari penghalang darah-otak . Lupus memiliki berbagai gejala yang rentang tubuh. Gejala-gejala neurologis termasuk sakit kepala, depresi, kejang, disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular, polineuropati, gangguan kecemasan, psikosis, dan dalam beberapa kasus yang ekstrim, gangguan kepribadian. Di daerah tertentu, depresi dilaporkan mempengaruhi hingga 60% dari wanita yang menderita lupus. 9.
Reproduksi SLE menyebabkan tingkat peningkatan kematian janin dalam rahim dan aborsi spontan (keguguran). Tingkat kelahiran hidupkeseluruhan pada pasien SLE telah diperkirakan 72%. hasil Kehamilan tampaknya lebih buruk pada pasien SLE yang penyakit flare up selama kehamilan. Neonatal lupus adalah terjadinya gejala-gejala lupus di bayi lahir dari seorang ibu dengan SLE, paling sering menyajikan dengan ruam yang menyerupai lupus eritematosus diskoid, dan kadang-kadang dengan kelainan sistemik seperti blok jantung atau hepatosplenomegali. Lupus neonatal biasanya jinak dan diri terbatas.
10. Sistemik Kelelahan pada SLE mungkin multifaktorial dan telah terkait dengan aktivitas penyakit tidak hanya atau komplikasi seperti anemia atau hipotiroidisme, tetapi juga untuk rasa sakit, depresi, miskin tidur yang berkualitas, miskin kebugaran fisik dan dirasakan kurangnya dukungan sosial
17
2.7 Komplikasi
Yang menjadi komplikasi dari SLE adalh sebagai berikut. 1. Vaskulitis (radang pembuluh) 2. Perikarditis 3. Myokarditis 4. Anemia hemolitik 5. Intravascular thrombosis 2.8 Penatalaksanaan pada Pasien SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah
terjadinya
inflamasi
dan
kerusakan
jaringan,
memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al ., 2000). 1. Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. 2. Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk 18
penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al ., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). 3. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
19
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al ., 2000). Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60 – 80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13 – 26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t 1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002). Efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada
20
pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001). 4.
Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α). Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa manifestasi
SLE
teratasi.
Sebelum
bulan
pengobatan
sampai dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat. (Herfindal et al ., 2000). Obat malaria yang sering digunakan adalah : a. Klorokuin b. Hidroksiklorokuin
21
5. Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. 6.
Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
sitotoksik
bahan
pengalkilasi.
Obat
ini
bekerja
dengan
mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. 7.
Obat lain
8.
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
22
Selain dari pengobatan dengan terapi yang dilakukan diatas, ada beberapa penatalaksanaan medis dalam pengobatang penyakit lupus ini, yaitu sebagai berikut. 1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus. 2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE. 3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun. 2.9 Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosaSLE, antara lain : 1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA) yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah. 2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ). yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap mater i genetik di dalam sel. 3. Pemeriksaan anti-Sm antibody yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukandalam sel protein inti). 4.
Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam darah
5.
Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelomp ok proteinyang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)
6.
Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yan g dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakanjika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untukmendeteksi penyakit Lu pus dibandingkan dengan LE cell prep.
23
7.
Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8.
Urine Rutin
9.
Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit 11. Biopsy Ginjal
24
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS 3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, alamat, asal suku bangsa, pekerjaan, status. 3.1.2 Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama : penyebab utama klien dibawa ke rumah sakit. Mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien b. Riwayat kesehatan saat ini : adanya tanda dan gejala klinis berupa demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara. c. Riwayat penyakit dahulu : mengidentifikasi adanya faktor-faktor penyulit atau faktor yang membuat kondisi pasien menjadi lebih parah. d. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang. Adanya anggota keluarga yang menderita penyakit lupus. e. Kondisi lingkungan tempat tinggal : apakah tempat tinggal klien langsung terpapar dengan sinar UV atau matahari. 3.1.3 Pola Fungsional Gordon a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan
25
Keluhan utama demam, adanya sesak nafas, pembengkakan sendi, inspeksi adanya ruam kupu-kupu di bagian pipi dan hidung b. Pola nutrisi dan metabolik Adanya kehilangan berat badan sampai beberapa kg, adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan nafsu makan menurun c. Pola eliminasi Ada perubahan pola eliminasi (adanya diare), dan juga sebagian penderita SLE ini juga mengalami nefritis proliferative mesangial d. Pola aktivitas dan latihan Sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri pada persendiannya, sering merasa lelah dan lemah sehingga aktivitas terganggu e. Pola istirahat dan tidur Keluhan mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakan f. Pola kognitif dan persepsi Adanya perubahan pada daya perabaan yang mana pada jari-jari tangannya terdapat lesi vaskultik. Pada sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies g. Pola persepsi diri dan konsep diri Karena terjadinya lesi pada kulit yang bersifat irreversible yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada, seperti timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit h. Pola peran hubungan Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit, tidak dapat melakukan perannya dengan baik i. Pola reproduksi dan seksualitas Tidak ada gangggua dalam pola seksualitas dan reproduksi j. Pola koping dan toleransi stress
26
Timbulnya rasa depresi karena penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang dihadapi. Untuk itu, dukungan dari keluarga dan tetangga sangat diperlukan sehingga penderita semanagat untuk smebuh. k. Pola nilai dan kepercayaan Biasanya aktivitas ibadah penderita terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi yang dirasakan 3.1.4 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan tanda-tanda vital : Terlebih dahulu perlunya pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah (TD), nadi, respiratory rate (RR) dan suhu. Ini sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui tanda awal ketidakstabilan hemodinamik tubuh, gambaran dari tanda bital yang tidak stabil merupakan indikasi dari peningkatan atau penurunan kondisi perfusi jaringan. Adapun pemeriksaan fisik selanjutunya adalah sebagai berikut.
Sistem Integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
Sistem Kardiovaskuler Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematosus papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
Sistem Muskoloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeriketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
27
Sistem Paru Pleuritis atau efusi pleura
Sistem Vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematosus dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku sreta permukaan ekstensor bawah.
Sistem Renal Edema dan hematuria.
Sistem Saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
28
3.2. Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC
No 1
Diagnosa keperawatan Nyeri akut b.d inflamasi
NOC kontrol nyeri indicator :
NIC Manajemen nyeri
Mengenali faktor penyebab Mengenali onset (lamanya sakit) Menggunakan metode pencegahan Menggunakan metode nonanalgetik untuk mengurangi nyeri Menggunakan analgeti sesuai kebutuhan Mencari bantuan tenag kesehatan Melaporkan gejala pad tenaga kesehatan Menggunakan sumbersumber yang tersedia Mengenali gejala-gejal nyeri Mencatat pengalaman nyeri sebelumnya
lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri evaluasi pengalaman nyeri masa lampau evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan kurangi faktor presipitasi pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
29
Melaporkan nyeri sudah terkontrol
kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi ajarkan tentang teknik non farmakologi berikan analgetik untuk mengurangi nyeri evaluasi keefektifan kontrol nyeri tingkatkan istirahat
30
Melaporkan nyeri sudah terkontrol
kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi ajarkan tentang teknik non farmakologi berikan analgetik untuk mengurangi nyeri evaluasi keefektifan kontrol nyeri tingkatkan istirahat
30
Tingkat nyeri Indicator :
melaporkan adanya nye luas bagian tubuh yang frekuensi nyeri panjangnya episode nye pernyataan nyeri ekspresi nyeri pada waj posisi tubuh protektif kurangnya istirahat ketegangan otot perubahan pada frekuensi pernafasan perubahan nadi perubahan tekanan darah perubahan ukuran pupil keringat berlebih kehilangan selera makan
2
Gangguan mobilitas fisik Definisi :
Ketahanan Mobilitas Fungsi rangka
Terapi Aktifitas Tentukan komitmen pasien untuk peningkatan frekuensi – -kegiatan
31
Tingkat nyeri Indicator :
melaporkan adanya nye luas bagian tubuh yang frekuensi nyeri panjangnya episode nye pernyataan nyeri ekspresi nyeri pada waj posisi tubuh protektif kurangnya istirahat ketegangan otot perubahan pada frekuensi pernafasan perubahan nadi perubahan tekanan darah perubahan ukuran pupil keringat berlebih kehilangan selera makan
2
Gangguan mobilitas fisik Definisi :
Ketahanan Mobilitas Fungsi rangka
Terapi Aktifitas Tentukan komitmen pasien untuk peningkatan frekuensi – -kegiatan
31
keterbatasan dalam melakukan tindakan secara mandiri
Kriteria Hasil : Ketahanan untuk mempertahankan aktivitas kinerja rutin biasa aktivitas konsentrasi daya tahan otot pola makan libido energi di kembalikan setelah istirahat. Keseimbangan Koordinasi Kiprah gerakan tulang kinerja posisi tubuh berjalan melompat crawling Bergerak dengan mudah integritas tulang kepadatan tulang penyelarasan rangka -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Membantu untuk mengeksplorasi makna pribadi aktivitas biasa (misalnya, bekerja) dan atau kegiatan rekreasi favorit Membantu untuk memilih kegiatan sesuai dengan fisik, kemampuan psikologis, dan social Membantu untuk fokus pada apa yang pasien dapat lakukan, bukan pada defisit Membantu untuk mengidentifikasi dan memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk kegiatan yang diinginkan Membantu pasien untuk mengidentifikasi preferensi untuk kegiatan Membantu pasien untuk mengidentifikasi kegiatan yang berarti Membantu pasien untuk jadwal waktu tertentu untuk tingkat aktivitas pengalihan Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi tingkat defisit kegiatan Anjurkan pasien dan keluarga bagaimana melakukan aktivitas yang diinginkan atau ditetapkan Membantu pasien / keluarga untuk beradaptasi lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang diinginkan Menyediakan kegiatan untuk meningkatkan rentang perhatian dalam konsultasi dengan PL Membantu dengan kegiatan fisik secara teratur (e, g, perawatan pribadi), sesuai kebutuhan.
32
keterbatasan dalam melakukan tindakan secara mandiri
Kriteria Hasil : Ketahanan untuk mempertahankan aktivitas kinerja rutin biasa aktivitas konsentrasi daya tahan otot pola makan libido energi di kembalikan setelah istirahat. Keseimbangan Koordinasi Kiprah gerakan tulang kinerja posisi tubuh berjalan melompat crawling Bergerak dengan mudah integritas tulang kepadatan tulang penyelarasan rangka -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Membantu untuk mengeksplorasi makna pribadi aktivitas biasa (misalnya, bekerja) dan atau kegiatan rekreasi favorit Membantu untuk memilih kegiatan sesuai dengan fisik, kemampuan psikologis, dan social Membantu untuk fokus pada apa yang pasien dapat lakukan, bukan pada defisit Membantu untuk mengidentifikasi dan memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk kegiatan yang diinginkan Membantu pasien untuk mengidentifikasi preferensi untuk kegiatan Membantu pasien untuk mengidentifikasi kegiatan yang berarti Membantu pasien untuk jadwal waktu tertentu untuk tingkat aktivitas pengalihan Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi tingkat defisit kegiatan Anjurkan pasien dan keluarga bagaimana melakukan aktivitas yang diinginkan atau ditetapkan Membantu pasien / keluarga untuk beradaptasi lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang diinginkan Menyediakan kegiatan untuk meningkatkan rentang perhatian dalam konsultasi dengan PL Membantu dengan kegiatan fisik secara teratur (e, g, perawatan pribadi), sesuai kebutuhan.
32
-
-
-
-
Menyediakan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot. Membantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan. Memantau respon emosional, fisik, sosial, dan spiritual dengan aktivitas. Membantu pasien / keluarga untuk memantau kemajuan menuju pencapaian tujuan sendiri. Penahan Fisisk Membatasi aktivitas fisik untuk mengurangi gangguan. Menyediakan staf yang cukup untuk membantu klien dengan perangkat aplikasi yang aman. Menunjuk salah satu anggota staf perawat untuk staf langsung dan berkomunikasi dengan pasien selama penerapan pengekangan fisik. Gunakan hal yang sesuai ketika pasien dalam situasi darurat Monitor respon pasien untuk prosedur. Hindari mengikat hambatan di luar jangkauan pasien. Memberikan tingkat yang tepat dari pengawasan / memantau pasien dan untuk memungkinkan tindakan terapi, sesuai kebutuhan. Menyediakan untuk kenyamanan pasien
33
-
-
-
-
Menyediakan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot. Membantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan. Memantau respon emosional, fisik, sosial, dan spiritual dengan aktivitas. Membantu pasien / keluarga untuk memantau kemajuan menuju pencapaian tujuan sendiri. Penahan Fisisk Membatasi aktivitas fisik untuk mengurangi gangguan. Menyediakan staf yang cukup untuk membantu klien dengan perangkat aplikasi yang aman. Menunjuk salah satu anggota staf perawat untuk staf langsung dan berkomunikasi dengan pasien selama penerapan pengekangan fisik. Gunakan hal yang sesuai ketika pasien dalam situasi darurat Monitor respon pasien untuk prosedur. Hindari mengikat hambatan di luar jangkauan pasien. Memberikan tingkat yang tepat dari pengawasan / memantau pasien dan untuk memungkinkan tindakan terapi, sesuai kebutuhan. Menyediakan untuk kenyamanan pasien
33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
phychological, sesuai kebutuhan. Memberi obat PRN untuk kegelisahan atau agitasi. Memantau kondisi kulit pada saat menahan diri. Monitor suhu, dan sensasi di ekstremitas terkendali. Menyediakan alat untuk gerakan dan latihan, sesuai dengan tingkat kondisi, dan kemampuan pasien. Memfasilitasi pasien untuk kenyamanan posisi dan mencegah aspirasi dan kerusakan kulit. Memberikan informasi pada pasien cara memanggil bantuan ketika pengasuh tidak hadir. Membantu kebutuhan yang berkaitan dengan gizi, eliminasi, hidrasi, dan kebersihan pribadi. Libatkan pasien dalam kegiatan untuk meningkatkan kekuatan, koordinasi, penilaian, dan orientasi. Dokumen alasan untuk menggunakan intervensi terbatas, respon pasien terhadap intervensi, kondisi fisik pasien, asuhan keperawatan yang diberikan seluruh intervensi, dan dasar pemikiran untuk mengakhiri intervensi.
34
-
-
-
-
-
-
-
-
-
phychological, sesuai kebutuhan. Memberi obat PRN untuk kegelisahan atau agitasi. Memantau kondisi kulit pada saat menahan diri. Monitor suhu, dan sensasi di ekstremitas terkendali. Menyediakan alat untuk gerakan dan latihan, sesuai dengan tingkat kondisi, dan kemampuan pasien. Memfasilitasi pasien untuk kenyamanan posisi dan mencegah aspirasi dan kerusakan kulit. Memberikan informasi pada pasien cara memanggil bantuan ketika pengasuh tidak hadir. Membantu kebutuhan yang berkaitan dengan gizi, eliminasi, hidrasi, dan kebersihan pribadi. Libatkan pasien dalam kegiatan untuk meningkatkan kekuatan, koordinasi, penilaian, dan orientasi. Dokumen alasan untuk menggunakan intervensi terbatas, respon pasien terhadap intervensi, kondisi fisik pasien, asuhan keperawatan yang diberikan seluruh intervensi, dan dasar pemikiran untuk mengakhiri intervensi.
34
3 Pola Nafas tidak efektif Definisi : Pertukaran udara inspirasi dan/atau ekspirasi tidak adekuat
Respiratory status : Ventilation
Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau Airway patency jaw thrust bila perlu Vital sign Status Posisikan pasien untuk memaksimalkan Kriteria Hasil : ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat Mendemonstrasikan batuk efektif dan jalan nafas buatan suara nafas yang - Pasang mayo bila perlu bersih, tidak ada - Lakukan fisioterapi dada jika perlu sianosis dan dyspneu - Keluarkan sekret dengan batuk atau suction (mampu Auskultasi suara nafas, catat adanya suara mengeluarkan sputum, tambahan mampu bernafas - Lakukan suction pada mayo dengan mudah, tidak - Berikan bronkodilator bila perlu ada pursed lips) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Menunjukkan jalan Lembab nafas yang paten - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan (klien tidak merasa keseimbangan. tercekik, irama nafas, - Monitor respirasi dan status O2 frekuensi pernafasan Terapi oksigen dalam rentang normal, - Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea tidak ada suara nafas - Pertahankan jalan nafas yang paten abnormal) Atur peralatan oksigenasi Tanda Tanda vital Monitor aliran oksigen dalam rentang normal - Pertahankan posisi pasien (tekanan darah, nadi, Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi pernafasan) Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
35
3 Pola Nafas tidak efektif Definisi : Pertukaran udara inspirasi dan/atau ekspirasi tidak adekuat
Respiratory status : Ventilation
Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau Airway patency jaw thrust bila perlu Vital sign Status Posisikan pasien untuk memaksimalkan Kriteria Hasil : ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat Mendemonstrasikan batuk efektif dan jalan nafas buatan suara nafas yang - Pasang mayo bila perlu bersih, tidak ada - Lakukan fisioterapi dada jika perlu sianosis dan dyspneu - Keluarkan sekret dengan batuk atau suction (mampu Auskultasi suara nafas, catat adanya suara mengeluarkan sputum, tambahan mampu bernafas - Lakukan suction pada mayo dengan mudah, tidak - Berikan bronkodilator bila perlu ada pursed lips) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Menunjukkan jalan Lembab nafas yang paten - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan (klien tidak merasa keseimbangan. tercekik, irama nafas, - Monitor respirasi dan status O2 frekuensi pernafasan Terapi oksigen dalam rentang normal, - Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea tidak ada suara nafas - Pertahankan jalan nafas yang paten abnormal) Atur peralatan oksigenasi Tanda Tanda vital Monitor aliran oksigen dalam rentang normal - Pertahankan posisi pasien (tekanan darah, nadi, Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi pernafasan) Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
35
oksigenasi Vital sign Monitoring -
-
-
-
-
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Catat adanya fluktuasi tekanan darah Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas Monitor kualitas dari nadi Monitor frekuensi dan irama pernapasan Monitor suara paru Monitor pola pernapasan abnormal Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit Monitor sianosis perifer Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
36
oksigenasi Vital sign Monitoring -
-
-
-
-
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Catat adanya fluktuasi tekanan darah Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas Monitor kualitas dari nadi Monitor frekuensi dan irama pernapasan Monitor suara paru Monitor pola pernapasan abnormal Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit Monitor sianosis perifer Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
36
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor .dan karaktersasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan imun dan produksi autoantibody yang berlebihan. Manifestasi yang ditimbulkan berupa demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara. Karena mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE. SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria,manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasalelah, malaise,demam,penurunan napsu makan,dan penurunan BB.Tidak ada satu testlaboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE.pengobatan