1
ASKEP HEMATEMESIS MELENA EC SIROSIS HEPATIS A. KONSEP DASAR PENYAKIT HEMATEMESIS MELENA a. PENGERTIAN Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal. Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit. Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan dan lain-lain. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura trombositopenia dan lain-lain. lain-lain. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain. lain-lain. Pemakaian obat-obatan obat-o batan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dan lailain. Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas (Hilmy 1971: 58)
b. DIAGNOSIS Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah atau kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu Per lu ditanyakan riwayat penyakit dahulu, misalnya hepat itis, itis, penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan penyakit darah seperti: leukemia dan lain-lain. Biasanya pada perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus tidak dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah epigastrium dan gejala ge jala hematemesis timbul secara mendadak. Dar i hasil anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar dengan memakai takara yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng dan lain-lain. Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping D isamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai. tungka i.
2
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hemato krit, leukosit, sediaan darah hapus, golongan darah dan uji fungsi hati segera dilakukan secara berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita. 1) Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast pada lambung dan duodenum. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai po sisi terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini mungkin, dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.
2) Pemeriksaan endoskopik Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sedini mungkin setelah sete lah hematemesis berhenti. 3) Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi penyakit hati hat i kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja. c. TERAPI Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas meliputi : 1. Pengawasan dan pengobatan umum Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat o bat-obat yang menimbulkan efek sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair. Infus cairan langsung dipasang dan d iberilan larutan garam fisiologis selama belum tersedia darah. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu dipasang CVP monitor. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk mengikuti keadaan perdarahan. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga nor mal. Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom (Adona
3
AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan. Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian antibiotika yang t idak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan ensefalopati hepatik. 2. Pemasangan pipa naso-gastrik Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih. 3. Pemberian pitresin (vasopresin) Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian p itresin per infus akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa p itresin dapat menrangsang otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus berhatihati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap k emungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik. 4. Pemasangan balon SB Tube Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan. Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai. 5. Pemakaian bahan sklerotik Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 % sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus. 6. Tindakan operasi Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi . Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus, transeksi esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik. D. Prognosis
4
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk/.terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita sepert i faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas dipengaruhi oleh faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan hat i, seperti ikterus, encefalopati dan golongan menurut kriteria Child. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan sakuran makan bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.
PENGKAJIAN HEMATEMESIS DAN MELENA 1) Riwayat Kesehatan 1. Riwayat mengidap : Penyakit Hepatitis kronis, cirrochis hepatis, hepatoma, ulkus peptikum 2. Kanker saluran pencernaan bagian atas 3. Riwayat penyakit darah, misalnya DIC 4. Riwayat penggunaan obat-obat ulserogenik 5. Kebiasaan/gaya hidup : Alkoholisme, kebiasaan makan 2) Pengkajian Umum 1. Intake : anorexia, mual, muntah, penurunan berat badan. 2. Eliminasi : BAB : konstipasi atau diare, adakah melena (warna darah hitam, konsistensi pekat, jumlahnya) BAK : warna gelap, konsistensi pekat 3. Neurosensori : adanya penurunan kesadaran (bingung, halusinasi, koma). 4. Respirasi : sesak, dyspnoe, hipoxia 5. Aktifitas : lemah, lelah, letargi, penurunan tonus otot 3) Pengkajian Fisik 1. Kesadaran, tekanan darah, nadi, temperatur, respirasi 2. Inspeksi : Mata : conjungtiva (ada t idaknya anemis) Mulut : adanya isi lambung yang bercampur darah Ekstremitas : ujung-ujung jari pucat Kulit : dingin 3. Auskultasi : Paru Jantung : irama cepat atau lambat Usus : peristaltik menurun
5
4. Perkusi : Abdomen : terdengar sonor, kembung atau tidak Reflek patela : menurun 5. Studi diagnostik Pemeriksaan darah : Hb, Ht, RBC, Protrombin, Fibrinogen, BUN, serum, amonoiak, albumin. Pemeriksaan urin : BJ, warna, kepekatan Pemeriksaan penunjang : esophagoscopy, endoscopy, USG, CT Scan. 4) Pengkajian Khusus Pengkajian Kebutuhan Fisiologis 1. Oksigen Yang dikaji adalah : Jumlah serta warna darah hematemesis. Warna kecoklatan : darah dar i lambung kemungkinan masih tertinggal, potensial aspirasi. Posisi tidur klien : untuk mencegah adanya muntah masuk ke jalan nafas, mencegah renjatan. Tanda-tanda renjatan : bisa terjadi apabila jumlah darah > 500 cc dan terjadi secara kontinyu. Jumlah perdarahan : observasi tanda-tanda hemodinamik yaitu tekanan darah, nadi, pernapasan, temperatur. Biasanya tekanan darah (sistolik) 110 mmHg, pernafasan cepat, nadi 110 x/menit, suhu antara 38 - 39 derajat Celcius, kulit dingin pucat atau cyanosis pada bibir, ujung-ujung ekstremitas, sirkulasi darah ke ginjal berkurang, menyeba bkan urine berkurang. 2. Cairan Keadaan yang perlu dikaji pada klien dengan hematemesis melena yang berhubungan dengan kebutuhan cairan yaitu jumlah perdarahan yang terjadi. Jumlah darah akan menentukan cairan pengganti. Dikaji : macam perdarahan/cara pengeluaran darah untuk menentukan lokasi perdarahan serta jenis pembuluh darah yang pecah. Perdarahan yang terjadi secara tiba-tiba, warna darah merah segar, serta keluarnya secara kontinyu menggambarkan perdarahan yang terjadi pada saluran pencernaan bagian atas dan terjadi pecahnya pembuluh darah arteri. Jika fase emergency sudah berlalu, pada fase berikutnya lakukan pengkajian terhadap : Keseimbangan intake output. Pengkajian ini dilakukan pada klien hematemesis melena yang disebabkan oleh pecahnya varices esofagus sebagai akibat dari cirrochis hepatis yang sering mengalami asites dan edema. Pemberian cairan infus yang diberikan pada klien. Output urine dan catat jumlahnya per 24 jam. Tanda-tanda dehidrasi seperti turgor kulit yang menurun, mata cekung, jumlah urin yang sedikit. Untuk klien dengan hemetemesis melena sering mengalami gangguan fungsi ginjal. 3. Nutrisi Dikaji : Kemampuan klien untuk beradaptasi dengan diit : 3 hari I cair selanjutnya makanan lunak. Pola makan klien BB sebelum terjadi perdarahan Kebersihan mulut : karena hemetemesis dan melena, sisa-sisa perdarahan dapat menjadi sumber infeksi yang menimbulkan ketidaknyamanan. 4. Temperatur
6
Klien dengan hematemesis melena pada umumnya mengalami kenaikan temperatur sekitar 38 39 derajat Celcius. Pada keadaan pre renjatan temperatur kulit menjadi dingin sebagai akibat gangguan sirkulasi. Penumpukan sisa perdarahan merupakan sumber infeksi pada saluran cerna sehingga suhu tubuh klien dapat meningkat. Selain itu pemberian infus yang lama juga dapat menjadi sumber infeksi yang menyebabkan suhu tubuh klien meningkat. 5. Eliminasi Pada klien hematemesis melena pada umumnya mengalami gangguan eliminasi. Yang perlu dikaji adalah : Jumlah serta cara pengeluaran ak ibat fungsi ginjal terganggu. Urine berkurang dan biasanya dilakukan perawatan tirah baring. Defikasi, perlu dicatat jumlah, warna dan k onsistensinya. 6. Perlindungan Latar belakang sosio ekonomi klien, karena pada hematemesis melena perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai penegakan diagnosa dan terapi bagi klien. 7. Kebutuhan Fisik dan Psiologis Perlindungan terhadap bahaya infeksi. Perlu dikaji : kebersihan diri, kebersihan lingkungan klien, kebersihan alat-alat tenun, mempersiapkan dan melakukan pembilasan lambung, cara pemasangan dan perawatan pipa lambung, cara persiapan dan pemberian injeksi IV atau IM. Perlindungan terhadap bahaya ko mplikasi : Kaji persiapan pemeriksaan endoscop y (informed concern). Persiapan yang berhubungan dengan pengambilan/pemeriksaan darah.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX) 1. PENGKAJIAN Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan, pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan diagnosa keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1) 1) Pengumpulan data Dalam pengumpulan data ada urutan ± urutan kegiatan yang dilakukan yaitu a) Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (a lamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi. b) Riwayat penyakit sekarang Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. c) Riwayat penyakit dahulu Keadaan atau penyakit ± penyakit yang pernah diderita oleh klien yang mungkin sehubungan dengan hematemesis melena. d) Riwayat penyakit keluarga
7
Mencari diantara anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. e) Riwayat psikososial Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk. 2) Pola fungsi kesehatan a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada klien dengan hematemesis melena biasanya tinggal didaerah yang berdesak ± desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek. b. Pola nutrisi dan metabolic Pada klien dengan hematemesis melena biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun. c. Pola eliminasi Klien hematemesis melena tidak mengalami perubahan at au kesulitan dalam miksi maupun defekasi d. Pola aktivitas dan latihan Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas. e. Pola tidur dan istirahat Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita hematemesis melena mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat. f. Pola hubungan dan peran Klien dengan hematemesis melena akan mengalami perasaan asolasi. g. Pola sensori dan kognitif Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan. h. Pola persepsi dan konsep diri Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa khawatir klien tentang penyakitnya. i. Pola reproduksi dan seksual pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan. j. Pola penanggulangan stress Dengan adanya proses pengobatan yang maka akan mengakibatkan stress pada penderita. k. Pola tata nilai dan kepercayaan Karena nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien. 2. PEMERIKSAAN FISIK Berdasarkan sistem ± sistem tubuh 1) Sistem integument Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun 2) Sistem pernapasan Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai a. inspeksi : adanya tanda ± tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah. b. Palpasi : Fremitus suara meningkat. c. Perkusi : Suara ketok redup. d. Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring. 3) Sistem pengindraan Pada klien hematemesis melena untuk pengindraan tidak ada kelainan
8
4) Sistem kordiovaskuler Adanya takipnea, takikardia, sianosis. 5) Sistem gastrointestinal Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun. 6) Sistem musculoskeletal Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari ± hari yang kurang meyenangkan. 7) Sistem neurologis Kesadaran penderita yaitu kompos mentis dengan GCS : 456 8) Sistem genetalia Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1) Pemeriksaan Radiologi 2) Pemeriksaan laboratorium 4. ANALISA DATA Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada, nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur, gangguan harga diri. 5. DIAGNOSA KEPERAWATAN Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan. Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan hematemesis melena sebagai berikut : 1) Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan perdarahan esofagus dan anemia 2) Perfusi jaringan tidak efektif : serebral, perifer berhubungan de ngan penurunan kadar hemoglobin akibat perdarahan. 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status puasa, penurunan nafsu makan. 6. PERENCAAAN Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas Diagnosa keperawatan, menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan. Dan Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan. 7. PELAKSANAAN Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan yaitu : 1) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi 2) Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat 3) Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
9
4) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
8. EVALUASI Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan intervensi) harus di evaluasi, dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil. Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu alternatif tersebut adalah : 1) Tujuan tercapai 2) Tujuan tercapai sebagian 3) Tujuan tidak tercapai
10
Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter dan berisi darah yang telah dicerna. Fesesnya dapat terlihat seperti mengkilat, berbau busuk, dan lengket. (1) Warna melena tergantung dari lamanya hubungan antara darah dengan asam lambung, besar kecilnya perdarahan, kecepatan perdarahan, lokasi perdarahan dan pergerakan usus.(2) Patogenesis Pada melena, dalam perjalannya melalui usus, darah menjadi berwarna merah gelap bahkan hitam. Perubahan warna ini disebabkan oleh HCL lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Kadang-kadang pada perdarahan saluran cerna bagian bawah dari usus halus atau kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang/gelap.(3) Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50-100 cc baru dijumpai keadaan melena. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48-72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang berwarna hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat pada feses selama 7-10 hari setelah episode perdarahan tunggal.(4) Etiologi 1. Penyakit Esofagus : a. Varies esofagus b. Esofagitis dan ulkus peptic esophagus c. Tumor jinak dan ganas d. Sindrom Mallory-Weiss e. Sindrom Barret 2. Penyakit Lambung dan Duodenum a. Ulkus peptikum b. Gastritis dan gastritis erosiva c. Tumor lambung jinak dan ganas d. Karsinoma lambung dan ampula vateri e. Pecahnya pembuluh darah yang sklerotik, TBC, divertikulum sifilis, jaringan pankreas heterotropik, hernia hiatus esophagus, benda asing, ulkus duodenum, tukak stress akut. 3. Penyakit usus halus a. Tumor jinak dan ganas b. Syndrome Peutz- Jegher c. Divertikulum Meckel 4. Penyakit kolon proksimal a. Tumor jinak dan ganas b. Divertikulosis c. Ulserasi dan kolitis granulomatosa d. Tuberkulosis e. Disentri amuba f. Lain-lain ( Telangiektasis, Aneurisma sirsoid ) 5. Kelainan darah : polisitemia vera, limfoma, leukemia, anemia pernisiosa, hemofilia, hipoprotrombinemia, multiple mieloma, penyakit Christmas trombositopenia purpura, nontrombositopenia purpura dan lain-lain. 6. Penyakit pembuluh darah a. Telangiektasis hemoragik herediter b. Hemangioma kavernosum
11
7. Penyakit sistemik : amiloidosis, sarkoidosis, penyakit jaringan ikat, uremia dan lain-lain (4) 8. Penyakit infeksi : DHF, Leptospirosis (5) 9. Obat-obat ulserogenik : salisilat, kortikosteroid, alkohol, NSAID (indometasin, fenilbutazon, ibuprofen, nalproksen), sulfonamid, steroid, digitalis. 10. Kafein, alkohol, dll.(6) Diagnostik · Anamnesis Dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lemah dapat dilakukan alloanamnesis. Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu seperti hepatitis, penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik, dan penyakit darah seperti leukemia dan lain-lain.(2) 1. Penderita dengan riwayat ulkus peptikum, maka ulkus ini merupakan sumber perdarahan 2 Riwayat sering mengalami perdarahan mengarah ke kelainan darah. 3. Riwayat perdarahan saluran cerna pada keluarga berhubungan dengan hemofilia atau telangiektasis hemoragik herediter. 4. Riwayat alkoholisme menunjukan ada varises atau gastritis 5. Anamnesis Penggunaan obat-obat ulserogenik karena obat-obat ini dapat menginduksi perdarahan. 6. Penderita dengan feses hitam perlu ditanyakan tentang penggunaan obat-obat yang dapat merubah warna feses 7. Riwayat muntah-muntah hebat mengarah ke sindrom Mallory-weiss. 8. Hernia hiatus esophagus dicurigai bila penderita mengeluh pirosis yang sudah lama, sendawa, dan rasa tidak enak di daerah substernal atau epigastrium terutama waktu berbaring. 9. Riwayat anoreksia, rasa lemah, berat badan turun, dan keluhan pencernaan, terutama pada orang tua mengarah kepada keganasan. · Pemeriksaan Diagnostik 1. Pipa NGT dimasukan kedalam lambung untuk mengosongkan lambung, menentukan perdarahan terdapat pada SCBA, untuk memastikan tidak adanya obstruksi pylorus. 2. Tes fluorosein mungkin digunakan untuk menentukan letak perdarahan. 3. Setelah keadaan penderita stabil secepatnya dilakukan pemeriksaan sinar X, endoskopi atau kedua-duanya. 4. Varises esophagus dapat dilihat dengan esofagoskopi atau barium kontras esophagus atau dapat juga dengan venografi splenoportal perkutan. 5. Arteriografi abdomen kadang-kadang dapat membantu menentukan letak perdarahan, terutama pada perdarahan aktif. Juga dapat mendeteksi lesi yang menyebabkan perdarahan. (2)
12
ASUHAN KEPERAWATAN HERPES ZOSTER TINJAUAN TEORI A. Pengertian Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. B. Etiologi Reaktivasi virus varisela zoster C. Patofisiologi Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan syaraf tepi dan g anglion kranalis kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persyarafan ganglion tersebut. Kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranalis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik. D. Tanda dan Gejala Daerah yang paling sering terkena adalah daerah thorakal. Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama. Sedangkan mengenai umur lebih sering pada orang dewasa. Sebelum timbul gejala kulit terhadap ge jala prodromal baik sistemik seperti demam, pusing, malaise maupun lokal seperti nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya. Setelah timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritema dan edema. Vesikel ini berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) dapat menjadi pastala dan krusta. Kadang vesikel mengandung darah yang disebut herpes zoster haemoragik dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks. Massa tunasnya 7-12 hari. Massa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kurang lebih 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar geth bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persyarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus atas nervus fasialis dan otikus. Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang-caba ng pertana nervus trigeminus. Sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persyarafannya. Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasalis dan otikus sehingga menyebabkan pengelihatan ganda paralisis otot muka (Paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan t ingkat persyarafan, tinnitus vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan. Herpes zoster abortif artinya penyakit ini berlangsnug dalam waktu yang singkat dan kelainan kulit hanya berupa vesikel dan eritema. Pada Herpes Zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisa berupa vesikel yang solitar dan ada umbilikasi. Nauralgia pasca laterpetik adalah rasa nyeri yang t imbul pada daerah bekas penyembuhan. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Hal ini cenderung dijumpai pada usia lebih dari 40 tahun. E. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan percobaan Tzanck dapat ditemukan sel datia berinti banyak F. Komplikasi
13
Pada usia lanjut lebih dari 40 tahun kemungkinan terjadi neuralgia pasca herpet ik. G. Penatalaksanaan Terapi sistemik umumnya bersifat simtonatik, untuk nyerinya diberikan ana lgetik, jika disertai infeksi sekunder diberikan ant ibiotik. Pada herpes zoster oftalmikus mengingat komplikasinya diberikan obat antiviral atau imunostimulator. Obat-obat ini juga dapat diberikan pada pe nderita dengan defisiensi imunitas. Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk Sindro m Ramsay Hunt. Pemberian harus sedinidininya untuk mencegah terjadinya parasialis. Terapi seirng digabungkan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion. Pengobatan topical bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder bila erosit diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Data Subyektif Demam, pusing, malaise, nyeri otot-tulang, gat al dan pegal, hipenestesi. 1. Data Obyektif Eritema, vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritema dan edema. Vesikel berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (berwarna a bu-abu) dapat menjadi pustule dan krusta. Kadang vesikel mengandung darah, dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan aleus dengan penyembuhan berupa sikatrik. Dapat pula dijumpai pembesaran kelenjar lympe regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermafonal sesuai dengan t empat persyarafan. Paralitas otot muka 1. Data Penunjang Pemeriksaan percobaan Tzanck ditemukan sel datia berinti banyak. B. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan rasa nyaman nyeri s.d infeksi virus 2. Gangguan integritas kulit s.d vesikel yang mudah pecah 3. Cemas s.d adanya lesi pada wajah 4. Potensial terjadi penyebaran penyakit s.d infeksi virus C. Rencana No Diagnosa Perencanaan Keperawatan Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan 1. Gangguan rasa nyaman Kaji kualitas & kuantitas Tujuan : nyeri s.d infeksi virus, Rasa nyaman terpenuhi nyeri ditandai dengan : setelah tindakan keperawatan Kaji respon klien terhadap DS : pusing, nyeri otot, nyeri Kriteria hsil : tulang, pegal Rasa nyeri berkurang/hilang Jelaskan tentang proses DO: erupsi kulit berupa Klien bias istirahat dengan penyakitnya papul eritema, vseikel, cukup Ajarkan teknik distraksi dan pustula, krusta Ekspresi wajah tenang relaksasi Hindari rangsangan nyeri Libatkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang teraupeutik y
y
y
y
y
y
y
y
y
y y
14
y
2.
3.
4.
Gangguan integritas kulit Tujuan : s.d vesikel yang mudah Integritas kulit tubuh kembali pecah, ditandai dengan : dalam waktu 7-10 hari DS : Kriteria hasil : DO: kulit eritem vesikel, Tidak ada lesi baru krusta pustule Lesi lama mengalami involusi Cemas s.d adanya lesi pada Tujuan : wajah, ditandai dengan : Setelah dilakukan tindakan DS : klien menyatakan keperawatan cemas akan takut wajahnya cacat hilang/berkurang DO : tampak khawatir lesi Kriteria hasil : pada wajah Pasien merasa yakin penyakitnya akan sembuh sempurna Lesi tidak ada infeksi sekunder Potensial terjadi Tujuan : penyebaran penyakit s.d Setelah perawatan tidak infeksi virus terjadi penyebaran penyakit
y y
y
y
y
y
y
y
y y
y
y
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai program Kaji tingkat kerusakan kulit Jauhkan lesi dari manipulasi dan kontaminasi Kelola tx topical sesuai program Berikan diet TKTP Kaji tingkat kecemasan klien Jalaskan tentang penyakitnya dan prosedur perawatan Tingkatkan hubungan teraupeutik Libatkan keluarga untuk member dukungan Isolasikan klien Gunakan teknik aseptic dalam perawatannya Batasi pengunjung dan minimalkan kontak langsung Jelaskan pada klien/keluarga proses penularannya
15
HERPES ZOSTER
Herpes Zoster adalah penyakit setempat yang terjadi terutama pada orang tua yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler yang unilateral serta adanya erupsi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang di inervasi oleh serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis. Herpes Zoster rupanya menggambarkan reaktivasi dari refleksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten mengikuti infeksi Varicella yang telah ada sebelumnya. Hubungan Varicella dan Herpes Zoster pertama kali ditemukan oleh Von Gokay pada tahun 1888. ia menemukan penderita anak ± anak yang dapat terkena Varisela setelah mengalami kontak dengan individu yang mengalami infeksi Herpes Zoster. Implikasi neurologik dari distribusi lesi sementara Herpes Zoster diperkenalkan oleh Richard Bright tahun 1931 dan adanya peradangan ganglion sensoris dan saraf spinal pertama kali diuraikan oleh Von Bareusprung pada tahun 1862. Herpes Zoster dapat mengenai kedua jenis kelamin dan semua ras dengan frekuensi yang sama. Definisi Herpes Zoster disebut juga Shingles. Di kalangan awam populer atau lebih dikenal dengan
sebutan ³Dampa´ atau ³Cacar Air´. Herpes Zoster merupakan infeksi virus yang akut pada bagian dermatoma (terutama dada dan leher) dan saraf. Hal ini menyebabkan erupsi kulit yang terasa sangat nyeri berupa lepuhan yang berisi cairan. Herpes Zoster disebabkan oleh Virus Varicella Zoster (virus yang juga menyebabkan P enyakit Varicella atau Cacar / Chickenpox). Etiologi Herpes Zoster disebabkan oleh Virus Varicella Zoster. Virus Varicella Zoster terdiri dari
kapsid berbentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein ± virion yang lengkap dengan diameternya 150 ± 200 nm dan hanya virion yang terselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas dan suasana P h yang tinggi. Masa inkubasinya 14 ± 21 hari. Patofisiologi Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes (penerima virus).
Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi hasil reaktivasi virus varicella yang menetap di ganglion sensoris setelah infeksi chickenpox pada
16
masa anak ± anak. Sekitar 20 % orang yang menderita Cacar akan menderita Shingles selama hidupnya dan biasanya hanya terjadi sekali. Ketika reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit area dermatom. Faktor Resiko 1. Usia lebih dari 50 tahun. Infeksi ini sering terjadi pada usia tersebut akibat daya tahan
tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita Herpes Zoster makin tinggi pula resiko terserang nyeri. 2. Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti HIV dan leukimia.
Adanya
lesi
pada
ODHA
merupakan
manifestasi
pertama
dari
immunocompromised. 3. Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi. 4. Orang dengan transplantasi organ mayor seperti transplantasi sumsum tulang. Faktor Pencetus 1. Trauma atau luka.
2. Kelelahan. 3. Demam. 4. Alcohol. 5. Gangguan pencernaan. 6. Obat ± obatan. 7. Sinar ultraviolet. 8. Haid. 9. Stress. Tanda dan Gejala a. Gejala Prodomal atau Kataral
1. Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodomal, berlangsung selama 1 ± 4 hari. 2. Gejala yang mempengaruhi tubuh : demam, sakit kepala, fatige, malaise, nusea, rash, kemerahan, sensitive, sore skin (penekanan kulit), nyeri (rasa terbakar atau tertusuk), gatal dan kesemutan. 3. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus ± menerus atau hilang timbul. Nyeri juga bisa terjadi selama erupsi kulit.
17
4. Gejala yang mempengaruhi mata : Berupa kemerahan, sensitive terhadap cahaya, pembengkakan kelopak mata, kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan sensasi penglihatan dan lain ± lain. b. Gejala Erupsi 1. Timbul erupsi kulit. 2. Kadang terjadi limfadenopati regional. 3. Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang di persarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh. Yang tersering di daerah ganglion torakalis. 4. Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papula ± papula dan dalam waktu 12 ± 24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah menjadi pastul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7 ± 10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2 ± 3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental juga menghilang. 5. Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke 4, kadang ± kadang sampai hari ke 7. 6. Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitive terhadap nyeri yang dialami. b. Gejala Konvalensi 1. Erupsi mulai mongering dan membentuk keropeng pada hari ke 5 setelsh kemunculannya. 2. Erupsi yang luas atau menetap lebih dari 2 minggu biasanya menunjukkan bahwa sistem kekebalan penderita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 3. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar). Komplikasi 1. Neuralgia Pasca Herpes Zoster (NPH) merupakan nyeri yang tajam dan spasmodic (singkat
dan tidak terus ± menerus) sepanjang nervus yang terlibat. Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi. 2. Herpes Zoster menghilang, batasan waktunya adalah nyeri yang masih timbul satu bulan setelah timbulnya erupsi kulit. Kebanyakan nyeri akan berkurang dan menghilang spontan setelah 1 ± 6 bulan
18
3. Gangren superfisialis menunjukan Herpes Zoster yang berat, mengakibatkan hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. 4. Komplikasi mata, antara lain : Konjungtivitis, Keratitis Epithelial, Skleritis, Uveitis, Glaucoma Sekunder, Ptosis Paralitik, Korioretinitis, Neuritis Optika, Iridosiklitis dan Paresis otot penggerak bola mata. 5. Herpes Zoster diseminata / generalisata. 6. Komplikasi sitemik, antara lain : Endokarditis, Menigosefalitis, Paralysis saraf motorik, Progressive Multi Focal Leukoenche Phatopathy dan Angitis Serebral Granulomatosa disertai Hemiplegi (2 terakhir ini merupakan komplikasi herpes zoster o ptalmik). 7. Syndrom Ramsay Hunt akibat gangguan saraf fasialis dan saraf optikus dengan gejala lumpuh otot wajah (Paralisis Fasialis), telinga berdenging, sakit kepala, gangguan pendengaran dan mual. Kelumpuhan otot pada 1 ± 5 % kasus biasanya timbul dalam 2 minggu sejak kelainan kulit muncul. Umumnya sembuh spontan. Pemeriksaan Tes diagnostik untuk membedakan dari Impetigo, Kontak Dermatitis dan Herpes Simplex :
1. Tzanck Smear : mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan Herpes Zoster dan Herpes Simplex. 2. Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan diagnosis herpes virus. 3. Immunofluororescent : mengidentifikasi Varicella di sel kulit. 4. Pemeriksaan histopatologik. 5. Pemerikasaan mikroskop elektron. 6. Kultur virus. 7. Identifikasi anti gen atau asam nukleat VVZ. 8. Deteksi antibody terhadap infeksi virus. Penatalaksanaan 1. Pengobatan
a. Pengobatan topical Ø Pada stadium vesikular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kaladin untuk mencegah vesikel pecah. Ø Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit.
19
Ø Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 x sehari. b. Pengobatan sistemik Drug of choice-nya adalah acyclovir 5 x 800 mg perhari yang dapat mengintervensi sintesis virus dan replikasinya. Selin itu juga dapat menggunakan valasiklovir 3 x 1000 mg perhari atau famasiklovir 3 x 500 mg perhari. Meski tidak menyembuhkan infeksi herpes namun dapat menurunkan keparahan penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara oral, topical atau parenteral. Pemberian lebih efektif pada hari pertama dan kedua pasca kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil terhadap postherpetic neuralgia. Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara ± A, Vira ± A) dapat diberikan lewat infus intravena atau salep mata. Pemberian analgetik, dalam bentuk salep misalnya capsaicin dan lidokain. Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi dan efektif namun penggunaannya masih kontroversi karena dapat menurunkan penyembuhan dan menekan respon immune. Biasanya mempergunakan prednisone 3 x 20 mg perhari. Setelah sembuh, dosis dapat di turunkan bertahap. Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk manajemen nyeri dan antihistamin diberikan untuk menyembuhkan pr iritus. Ø Penderita dengan keluhan mata Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukan hubungan dengan cabang
nasosiliaris
nervus
optalmikus,
harus
ditangani
dengan
konsultasi
opthamologis. Dapat diobati dengan salaep mata steroid topical dan mydriatik, anti virus juga dapat diberikan. Ø Neuralgia Pasca Herpes zoster Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada fase akut, maka dapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya : amitriptilin 10 ± 75 mg/hari atau nutriplitin dan atau pregabalin saat po st herpes). Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan emosional merupakan bagian terpenting perawatan
20
Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada neuralgi berat yang tidak teratasi. Asuhan keperawatan pada pasien Herpes Zoster
1. Pengkajian 1. Riwayat § Riwayat menderita penyakit cacar § Riwayat immunocompromised (HIV/AIDS, leukimia) § Riwayat terapi radiasi 2. Diet 3. Keluhan utama § Nyeri § Sensasi gatal § Lesi kulit § Kemerahan § Fatige 4. Riwayat psikososial § Kondisi psikologis pasien § Kecemasan § Respon pasien terhadap penyakit 5. Pemeriksaan fisik § Tanda vital § Tes diagnostik 2. Diagnosa Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama yang muncul adalah : 1. Nyeri berhubungan dengan adanya lesi kulit. 2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus dan nyeri dari lesi herpes. 3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan fungsi barier kulit. 3. Intervensi keperawatan 1. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga. 2. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri, demam, drainase yang berbau busuk dan muncul pus.
21
3. Jelaskan tentang kemungkinan neuralgia pasca herpes dan tekankan bahwa anda dapat menangani nyeri. 4. Beritahu pasien bahwa mereka dapat menulari orang lain, oleh karena itu perlu diperhatikan tindakan higienis rutin seperti pemakaian alat pribadi. 5. Tidak melakukan kontak sosial hingga lesi mongering. 6. Gunakan obat sesuai aturan, pakai pakian yang menyerap keringat, pertahankan suhu udara tetap dingin / nyaman. 7. Dapat digunakan sarung tangan katun pada malam hari saat muncul keinginan untuk menggaruk. 8. Lakukan tehnik relaksasi untuk menurunkan nyeri dan batasi aktivitas yang ber lebihan. 4. Implementasi Melakukan tindakan sesuai dengan intervensi. 5. Evaluasi 1. Keluhan nyeri berkurang. 2. Pasien memperoleh periode istirahat / tidur yang adekuat. 3. Kondisi integritas kulit dapat dipertahankan. o Tidak ada lesi yang pecah. o Kulit terlindungi dari bahan iritan. 4. Tidak ada tanda infeksi. Pasien dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit.