1
ASKEP KRISIS HIPERTENSI Galih Kusuma Buana Suwoko , S.Kep. Ns.
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita . Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini. Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak). Gambaran klinis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namun para klinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosedur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT bersifat reversibel. Dalam menanggulangi krisis HT dengan obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran darah, pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek samping yang minimal. II. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas pengobatan, sebagai berikut : 1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh ICU RSUD dr.Moewardi
2 satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU). 2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut. Pendarahan intra cranial, emboli CVA atau pendarahan subarakhnoid. Hipertensi ensefalopati. Aorta diseksi akut. Oedema paru akut. Eklampsi. Feokhromositoma. Funduskopi KW III atau IV. Insufisiensi ginjal akut. Infark miokard akut, angina unstable. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain : - Sindrome withdrawal obat anti hipertensi. - Cedera kepala. - Luka bakar. - Interaksi obat.
Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak ) 1. r
Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I. KW I atau II pada funduskopi. Hipertensi post operasi. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif. Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien. ICU RSUD dr.Moewardi
3 2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. 3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peninggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal. 4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan. Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg. III. PATOFISIOLOGI Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu : 1. Teori “Over Autoregulation” Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CBF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark. 2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila TD mencapai threshold (ambang )tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikroinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole.
Overautoregulation Spasme Arteriole
Odema otak ICU RSUD dr.Moewardi
4
CBF TD naik Mendadak
Break Through Autoregulation
Hipertensi Ensefalopati
Petekhias Hemorhage
CBF
Mikro Infark Nekrosis Vaskuler
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg – 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema otak.
IV. DIAGNOSA Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi. IV.1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan : Riwayat hipertensi : lama dan beratnya. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, perubahan mental, ansietas ). Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ). Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ). Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi. IV.2. Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan ICU RSUD dr.Moewardi
5 kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner. IV.3. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 1. Pemeriksaan yang segera seperti : a. darah : rutin, BUN, creatinin, elektrolik, AGD. b. urine : Urinalisa dan kultur urine. c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi. d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana ). 2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama ) : a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ). b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CT Scan. c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ). d. Pemeriksaan Funduscopy diklasifikasikan berdasarkan Keith Wagner (KW) I,II,III,IV yaitu: I. Arteriolar lebih tebal, lumen sempit, reflex cahaya lebih kuat II. Arteriol lebih tebal, lumen lebih sempit, crossing phenomena yaitu persilangan arteriolar dengan venulae yang akan mengakibatkan venula menjadi tertekan III. Sama dengan KW II + Exudat perdarahan IV. Seperti KW III + Odema optik IV.4. Faktor presifitasi pada krisis hipertensi Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara lain : o Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial (tersering ). Hipertensi renovaskular. o akut.anti hypertensi. o Glomerulonefritis Sindroma withdrawal o Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat. o Renin-secretin tumors. o Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien yang mendapat MAO Inhibitors. o Penyakit parenkhim ginjal. o Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO ICU RSUD dr.Moewardi
6 Inhibitor, simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID. o Luka bakar. o Progresif sistematik sklerosis, SLE. IV.5. Difrensial diagnosa Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti : - Hipertensi berat - Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan. - Ansietas dengan hipertensi labil. - Oedema paru dengan payah jantung kiri. V. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI V.I. Dasar-dasar penanggulangan krisis HT : Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan . Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat. AUTOREGULASI Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60 – 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak ICU RSUD dr.Moewardi
7 dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. ( gambar 1 dan 2 ). Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD. Pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
ICU RSUD dr.Moewardi
8
Gbr. I : Auto regulasi Pada orang normotensi. Aliran darah otak dipertahankan pada MAP antara 60 – 120 – 140 mmHg.
Gbr. II : Auto regulasi pada orang hipertensi aliran darah otak pada HT krinis dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120 – 160 – 180 mmHg. Kurva bergeser ke kanan.
GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O ) dan systemic vasculer resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke Volume ( SV ) dan Hearth Rate ( HR ). Resistensi perifer terjadi akibat peripheral vascular resistensi ( PVRB) dan renal vascular resistence ( RVR ). TD
=
CO
><
SVR
SV HR PVR RVR Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 – 25%. Pada hipertensi maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan perubahan perubahan vasekonstriksi akut. Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan hemodinamik pada krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi CO lebih disukai oleh sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekcualian bagi disecting aneurysma aorta. Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa intrinsic sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah dihindari karena akan menyebabkan eksaserbasi gangguan hemodinanamik seperti payah jantung, kongestive dan oedem paru. Status volume cairan Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis dibuktikan adanya volume over load seperti payah jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan garam ( natrium ) serta diuretika pada ICU RSUD dr.Moewardi
9 hipertensi maligna akan menyebabkan bertambahnya volume depletion sehingga bukannya menurunkan TD malah meningkatkan TD. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan obat anti hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention. V. 2 : PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI : Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi - singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan organ sasaran Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien. - penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat. - Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta. - TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu. Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ). 1. Nicardipine Hydrochloride Kompatibilitas : Larutan infus glukosa atau normal salin (NS). Inkompatibilitas : Larutan Natrium bikarbonat, infus RL Larutan nicardipine (1 mg/ml dalam glukosa 5%) Dosis : Dewasa, Oral: Lepas segera : initial : 20 mg 3x sehari; biasanya : 20-40 mg 3 x sehari ( selama 3 hari sebelum dosis ditingkatkan ) Lepas lambat : initial : 30 mg 2x sehari ditingkatkan hingga 60 mg 2 x sehari. ICU RSUD dr.Moewardi
10 Catatan : Dosis total harian dari lepas segera mungkin tidak langsung setara dengan dosis harian lepas lambat. Dewasa IV : Hipotensi akut : Initial 5mg/jam setiap 15 menit dengan maksimum 15 mg/jam, pertimbangan pengurangan hingga 3 mg/jam setelah respon didapatkan. Monitor dan sesuaikan ke dosis terendah yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan tekanan darah . Dosis titrasi mulai dari 0,5 µg/kgBB/menit. Pelarut infus yang bisa digunakan NaCl 0,9%, Dextrose 5 %, Potacol-R, Ringer Asetat, KN Solution. Pelarut/cairan infus yang tidak dapat digunakan bikarbonas natrikus dan Ringer Laktat. Lansia : Dimulai dengan dosis rendah 2. Iso sorbid Dinitrat. Indikasi : Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri Kontra-indikasi : Hipersensitivitas terhadap nitrat, hipotensi dan hipovolemia, kardiopati obstruktif hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis konstriktif, stenosis mitral, anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak, glaukoma sudut sempit. Dosis dan Aturan pakai. Sublingual : 5-10 mg. Oral : sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg Infus Intravena : 2-10 mg/jam; dosis lebih tinggi sampai 20 mg/jam mungkin diperlukan 3. Nifedipin Indikasi: Pengobatan dan pencegahan insufisiensi koroner (terutama angina pektoris setelah infark jantung) dan sebagai terapi tambahan pada hipertensi Kontra Indikasi: - Hipersensitivitas terhadap nifedipine. - Karena pengalaman yang terbatas, pemberian nifedipine pada wanita hamil hanya dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Dosis: - Dosis tunggal: 5 - 10 mg. - Dosis rata-rata: 5 - 10 mg, 3 kali sehari. Interval di antara 2 dosis pemberian tidak kurang dari 2 jam. Peringan dan Perhatian: Pemberian nifedipine pada pasien dengan stenosis aorta atau pasien yang sedang diberikan betha-bloker atau obat depresan miokardium lainnya dapat menyebabkan resiko gagal jantung. Efek Samping: - Dose dependent disebabkan oleh dilatasi vaskular seperti: sakit kepala atau perasaan tertekan di kepala,flushing, pusing, gangguan lambung, mual, lemas, palpitasi, hipotensi, hipertensi ortostatik, edema tungkai, tremor, kram pada tungkai, kongesti nasal, takikardia, tinitus, reaksi dermatologi. - Sangat jarang terjadi, dilaporkan pada pemakaian nifedipine jangka panjang terjadi hiperplasia gusi dan segera kembali ketika ICU RSUD dr.Moewardi
11 pemakaian nifedipine dihentikan. - Efek samping berat yang memerlukan penghentian pengobatan relatif jarang terjadi. Interaksi Obat: - Penggunaan nifedipine bersamaan dengan betha-bloker mempotensi efek antihipertensi nifedipine. - Penggunaan nifedipine bersamaan dengan betha-bloker pada pasien dengan insufisiensi jantung, terapi harus dimulai dengan dosis kecil dan pasien harus dimonitor dengan sangat hati-hati. - Penggunaan nifedipine bersamaan dengansimetidin (tidak pada ranitidin) meningkatkan konsentrasi plasma dan efek antihipertensi nifedipine. 4. Diltiazem Kelas : Antiangina Efek Samping Hipersensitifitas terhadap diltiazem, sick sinus syndrome (kecuali bila menggunakan ventrikular pacemaker), second atau third degree AV block (kecuali bila menggunakan ventrikular pacemaker), atau hipotensi yang parah (sistolik<90 mmHg), atau syok kardiogenik. Diltiazem oral kontraindikasi pada pasien dengan infark miokard akut dengan kongesti paru. Diltiazem jangan digunakan pada pasien dengan ventrikular tahikardi..Diltiazem harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung, terutama yang juga menggunakan penyekat beta atau digoksin, karena diltiazem dapat memperburuk gagal jantung pada pasien-pasien ini karena kemungkinan efek inotropik negatifnya Dosis Pemberian Obat Angina pektoris kronis yang stabil, Prinzmetal variant angina: dosis awal diltiazem HCl 30mg 4 kali per hari. Dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan dengan interval 1 - 2 hari sampai pengontrolan angina yang optimum dapat tercapai.Dosis optimum diltiazem HCl berkisar antara 180 - 360 mg per hari dalam dosis terbagi 3 - 4 kali. Pasien geriatri dapat merespon dengan dosis yang lebih rendah. Setelah simtom angina terkontrol, dosis harus perlahan-lahan diturunkan sampai dosis terendah yang dapat menghilangkan gejala. Apabila diltizam HCl diberikan dalam bentuk sediaan kapsul lepas lambat, dosis awal biasanya 120 atau 180 mg per hari. Bila dosis perlu dinaikkan, dosis harus dititrasi dalam waktu 7 - 14 hari.1 ;Hipertensi: untuk pengobatan monoterapi dengan diltiazem, dosis awal untuk sediaan lepas lambat Herbesser 90 SR 2 kali/hari, Herbesser 180 SR 1 kali/hari, Herbesser CD 100 - 200 mg 1 kali/hari. Untuk diltiazem tablet biasa (immeadiate-release) dosis awal 30mg 3 kali/hari dan dosis maksimum 360 mg/hari dapat digunakan dalam dosis terbagi 3 - 4 kali/hari.1;Supraventricular Tachyarrythmia: Paroxysmal Supraventricular Tachycardia (PSVT). Untuk kembali segera ke ritme sinus normal , dosis IV awal 20 mg (0,25mg/kg) dengan waktu pemberian 2 menit. Bila pasien dapat mentolerir dosis pertama, tidak terjadi hipotensi tetapi respon belum adekuat, ICU RSUD dr.Moewardi
12 dosis kedua 25 mg (0,35mg/kg) dapat diberikan 15 menit setelah dosis pertama. Atrial fibrillation dan flutter. Untuk mengontrol sementara ventrikular rate yang cepat pada orang dewasa dengan atrial fibrillation atau atrial flutter, diltiazem IV bolus 20mg (0,25 mg/kg) diberikan selama 2 menit. Bila pasien dapat mentolerir dosis pertama tetapi respon belum adekuat, dosis kedua 25 mg (0,35 mg/kg) selama 2 menit dapat diberikan 15 menit setelah dosis pertama.1 5. Nitroglycerin : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration of action 3 – 5 menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi. 6. Captopril Indikasi: Untuk hipertensi berat hingga sedang, kombinasi dengan tiazida memberikan efek aditif, sedangkan kombinasi dengan beta bloker memberikan efek yang kurang aditif. Untuk gagal jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan digitalis, dalam hal ini pemberian kaptopril diberikan bersama diuretik dan digitalis. Kontra Indikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap kaptopril atau penghambat ACE lainnya (misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan dengan penghambat ACE lainnya). Dosis: Kaptopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung dari kebutuhan penderita (individual). Dewasa: Hipertensi, dosis awal: 12,5 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditambahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap hari. Dosis diuretik mungkin dapat ditingkatkan pada interval satu sampai dua minggu. Maksimum dosis kaptopril untuk hipertensi sehari tidak boleh lebih dari 450 mg. Gagal jantung 12,5- 25 mg tiga kali sehari; diberikan bersama diuretik dan digitalis, dari awal terapi harus dilakukan pengawasan medik secara ketat. Untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal perlu dikurangi disesuaikan dengan klirens kreatinin penderita 7. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa ICU RSUD dr.Moewardi
13 jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat. Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan yang tepat bagi pasien di ICU. Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 – 1,05 mg dalam 500 ml Dekstrose dan dosis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang minimal. *Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi : Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari adalah sbb : 1. Hipertensi ensenpalopati : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide. Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine. 2. Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol, B-antagonist,perdarahan Methydopa, Clonidine. : 3. Hindarkan Perdarahan:intacerebral, subarakhnoid Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol,. Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine. 4. Miokard iskemi, miokrad infark : Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loopdiuretuk. Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil. 5. Oedem paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik. Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labeta Lol. 6. Aorta disseksi : Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist, labetalol. Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil 7. Eklampsi : anjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, ICU RSUD dr.Moewardi
14 sodium nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist 8. Renal insufisiensi akut : anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Caantagonist Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan 9. KW III-IV : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist. Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa. 10. Mikroaangiopati hemolitik anemia : Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist. Hindarkan : B-antagonist.
ICU RSUD dr.Moewardi
15
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, nicardipin merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU. Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan bolus intravena.Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikan pada kondisi tertentu. Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperlukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik. Penaggulangan hipertensi urgensi : Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan. Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l : 1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 –10 menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 – 15 menit secara sublingual/buccal). Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong. 2. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2 nd degree atau ICU RSUD dr.Moewardi
16 3rd degree, heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline. 3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri sinosis. 4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala. Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi). Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. Pemeriksaan penunjang : Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat. Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KRISIS HIPERTENSI Pengkajian dengan pendekatan CABD. Circulation 1. Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara gallop 2. Kaji peningkatan JVP 3. Monitoring tekanan darah 4. Urin Output ICU RSUD dr.Moewardi
17 5. PemeriksaanEKG mungkin menunjukan: a) Sinus tachikardi b) Adanya Suara terdengar jelas pada S4 dan S3 c) right bundle branch block (RBBB) d) right axis deviation (RAD) e) Lakukan IV akses dekstrose 5% f) Pasang Kateter g) Lakukan pemeriksaan darah lengkap h) Jika ada kemungkina KP berikan Nifedipin Sublingual i) Jika pasien mengalami Syok berikan secara bolus Diazoksid,Nitroprusid Airway 1. yakinkan kepatenan jalan napas 2. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal) 3. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU Breathing 1. kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk mempertahankan saturasi >95%. 2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask. 3. Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan bag-valvemask ventilation 4. Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2 5. Kaji jumlah pernapasan / Auskultasi pernapasan 6. Lakukan pemeriksan system pernapasan 7. Dengarkan adanya bunyi krakles / Mengi yang mengindikasikan kongesti paru Disability 1. kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU 2. penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di ICU. Exposure 1. selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan KP 2. jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik lainnya. 3. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda gagal jantung kronik Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan perfusi cerebral berhubungan dengan penurunan aliran darah skunder PTIK 2. Gangguan perfusi jaringan, renal berhubungan dengan hipertensi ICU RSUD dr.Moewardi
18 3. Pertukaran gas tidak efektif berhubungan dengan kongestif paru skunder gagal jantung, IMA, kelebihan volume cairan 4. Kecemasan/ketakutan berhubungan perubahan status kesehatan Intervensi 1. CEK kesadaran 2. Jaga kepatenan jalan nafas 3. Berikan Oksigen bila diperlukan 4. Pasang IV line 5. Berikan obat-obat anti hipertensi 6.. Pasang monitor jantung 7. Amati warna kulit dan kelembaban, temp, dan waktu pengisian kapiler 8. Perhatikan kalau ada odema 9. Monitor kwalitas dan frekuensi pulsasi nadi 10.Auskultasi jantung dan paru 11.Batasi aktivitas 12. Observasi dan catat respon obat anti hipertensi. Bila Intravena: - Periksa TD tiap 5’ - Gunakan kertas beralur untuk TTV - Titrasi dosis obat untuk stabilkan TD - Jangan hentikan obat secara tiba-tiba - Gunakan pompa infus 13. Tirah baring selama fase akut 14. Minimalkan aktivitas 15. Jelaskan tentang peyebab TD, perawatan dan pengobatan
ICU RSUD dr.Moewardi
KEPUSTAKAAN Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hype tensive Crisis in manual of Cardiovascular Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med, 151 : 678-82. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med, 323 : 1177-83. Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45. Gonzale D.G, Ram C.SV.S., 1988 : New Approaches for the treatment of Hypertensive Urgencies and Emergencies, Cheast, I, 193-5. Haynes R.B, 1991 : Sublingual Captopril and Nifedipine on Hipertensive Emergencies, ACP Journal Clib, 45. Houston MC ; 1989 : Pathoplysiology Clinical Aspects and tereatment Dis, 32, 99-148. Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4th Edition, William & Elkins, Baltimore, 2273-89. Langton D, Mcgrath B ; 1990 : Refractory Hypertantion and Hypertensive Emergencies in Hypertention Management, Mc Leman & Petty Pty Limited, Australia, 169-75