ASKEP EPILEPSI TINJAUAN TEORI A. Pengertian Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007) Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000) Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008) B. Etiologi Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) Tumor Otak kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007) C. Patofisiologi Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-jutaneron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafyang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-aminobutiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neronneron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. D. Manifestasi klinik 1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan 2. Kelainan gambaran EEG 3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen 4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) E. Klasifikasi kejang 1. Kejang Parsial 1. Parsial Sederhana Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran Misal: hanya satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak Dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman 1. Parsial Kompleks Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat 1. Kejang Umum (grandmal) Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kejang Tonik-Klonik Kejang Tonik Kejang Klonik Kejang Atonik Kejang Myoklonik Spasme kelumpuhan Tidak ada kejang Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.
F.Pemeriksaan diagnostik 1. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral 1. Elektroensefalogram(EEG) Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan 1. Magnetik resonance imaging (MRI) 2. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. G. Penatalaksanaan 1. Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang 2. Farmakoterapi Anti kovulsion untuk mengontrol kejang 1. Pembedahan Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler 1. Jenis obat yang sering digunakan 1. Phenobarbital (luminal). Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah. 1. Primidone (mysolin) Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid. 1. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin). • • •
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. Tak berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
1. Carbamazine (tegretol). • • •
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguanfungsi hati.
1. Diazepam. • •
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
1. Nitrazepam (Inogadon). Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus. 1. Ethosuximide (zarontine). Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal 1. Na-valproat (dopakene) • • • •
Obat pilihan kedua pada petit mal Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia
1. Acetazolamide (diamox). • •
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
1. ACTH Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil. ASUHAN KEPERAWTAN I.Pengkajian 1. Riwayat kesehatan 1. Riwayat keluarga dengan kejang 2. Riwayat kejang demam 3. Tumor intrakranial 4. Trauma kepal terbuka, stroke 5. Riwayat kejang 1. Berapa sering terjadi kejang 2. Gambaran kejang seperti apa 3. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal 4. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang 5. Riwayat penggunaan obat
1. 2. 3. 4. 5.
Nama obat yang dipakai Dosis obat Berapa kali penggunaan obat Kapan putus obat Pemeriksaan fisik 1. Tingkat kesadaran 2. Abnormal posisi mata 3. Perubahan pupil 4. Gerakan motorik 5. Tingkah laku setelah kejang 6. Apnea 7. Cyanosis 8. Saliva banyak 9. Psikososial 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pekerjaan 4. Peran dalam keluarga 5. Strategi koping yang digunakan 6. Gaya hidup dan dukungan yang ada 7. Pengetahuan pasien dan keluarga 1. Kondisi penyakit dan pengobatan 2. Kondisi kronik 3. Kemampuan membaca dan belajar 4. Pemeriksaan diagnostik 1. Laboratorium 2. Radiologi
II. Diagnosa keperawatan 1. 2. 3. 4.
Resiko injury b/d aktivitas kejang Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi Cemas b/d terjadinya kejang Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
III. Intervensi keperawatan 1. Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi Intervensi: Mandiri 1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. 3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen. 4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi. 5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi. Kolaborasi 1. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal. 2. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi 2. Dx: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan Mandiri 1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/ prognosis penyakit dan perlunya pengobata/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi. 2. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurasi dosis. 3. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan, jika memungkinkan. 4. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperi mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik. 5. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam petunjuk yang memberitahukan bahwa pasien adalah penderita epilepsi. 6. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam. 7. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal 8. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya, alkohol, kefein dan obaat yang dapat menstimulasi kejang. 9. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi teratur. 10. Identifikasi perlunya penerimaan terhadap keterbatasan yang dimiliki, diskusikan tindakan keamanan yang diperhatikan saat mengemudi, menggunakan alat mekanik, panjat tebing, berenang, hobi dan sejenisnya.a
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN EPILEPSI February 8, 2010 in Dioxygenic's ASKEP A. Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori. Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. 1. Epidemiologi Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. 1. Etiologi Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut : •
o
o o o o o o o
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anakanak. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak
1. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan selsel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada: 1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum 2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf 3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol 4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) 5. Tumor Otak 6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007) 2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma. Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:
• • • • • • •
fever / panas (these are called febrile seizures) genetic causes head injury / luka di kepala. infections of the brain and its coverings lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran. hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities) disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.
1. Patofisiologi Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : • • •
•
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gamaaminobutirat (GABA). Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin. 1. Klasifikasi 1. Sawan Parsial
1. i. 2. ii.
Sawan parsial sederhana Sawan parsial kompleks
1. 1. Sawan Umum -
Sawan lena
-
Sawan mioklonik
-
Sawan klonik
-
Sawan Tonik
-
Sawan tonik-klonik
-
Sawan atonik 1. 1. Sawan tak tergolongkan 1. Manifestasi Klinis 1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
-
Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal 1. Dengan gejala motorik • • • • •
Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo. • • • • • •
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum. Visual : terlihat cahaya Auditoris : terdengar sesuatu Olfaktoris : terhidu sesuatu Gustatoris : terkecap sesuatu Disertai vertigo
1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). 2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat. Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. -
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll. -
Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) 1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. • •
• • •
1. 2. 3. 4.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran. Hanya dengan penurunan kesadaran Dengan automatisme Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif) 1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak. 1. i. Hanya penurunan kesadaran 2. ii. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. 3. iii. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. 4. iv. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. 5. v. Dengan automatisme 6. vi. Dengan komponen autonom. 7. vii. Lena tak khas (atipical absence) Dapat disertai: 1. Gangguan tonus yang lebih jelas. 2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak. 1. Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur. 1. Sawan Klonik Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak. 1. Sawan Tonik Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak. 1. Sawan Tonik-Klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegalpegal, lelah, nyeri kepala. 1. Sawan atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak. 1. Sawan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana. 1. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pungsi Lumbar Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi. -
Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
-
Mengalami complex partial seizure
-
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
-
Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. -
Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan. 1. EEG (electroencephalogram) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali
tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. 1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. 1. Neuroimaging Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya. 1. CT Scan Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral 1. Magnetik resonance imaging (MRI) 1. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. 1. Pemeriksaan fisik Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi, purpura, memar, pembengkakan. Palpasi
: pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi
: perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus. 1. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan : ¨ Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak. ¨ Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga. ¨ Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas. 1. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Penatalaksanaan •
-
Farmakoterapi Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
•
Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler Jenis obat yang sering digunakan : •
Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah. •
Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid. •
Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. Tak berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah. •
Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati. •
Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal. •
Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus. •
Ethosuximide (zarontine).
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal •
Na-valproat (dopakene)
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia •
Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi. •
ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil. Status epileptikus Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali. Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan kematian. Penatalaksanaan gawat darurat Kejang tonik-klonik Selama kejang : Waktu episode kejang -
lakukan pendekatan dengan tenang
-
jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri. -
Jangan : 1. i. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan 2. ii. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak 3. iii. Memberikan makanan atau minuman
-
Longgarkan pakaian yang ketat
-
Lepaskan kacamata
-
Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
-
Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
-
Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
Setelah kejang : -
Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
-
Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat. Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan -
Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
-
Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks menelan pulih -
Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
-
Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi) 1. Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien
epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi. Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang. Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang. B. Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan? 1. 1. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. 1. 2. Keluhan utama Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas. 1. 3. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat
pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan. 1. 4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan. 1. 5. Riwayat kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah 1. 6. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan : -
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
-
Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
-
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonikklonik, kejang mioklonik, kejang atonik. -
Apakah pasien menggigit lidah.
-
Apakah mulut berbuih.
-
Apakah ada inkontinen urin.
-
Apakah bibir atau muka berubah warna.
-
Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. 2. Sesudah serangan -
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
-
Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. -
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
-
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan -
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
-
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual. 4. Riwayat Penyakit -
Sejak kapan serangan terjadi.
-
Pada usia berapa serangan pertama.
-
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. -
Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
-
Apakah makan obat-obat tertentu
-
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan. Tanda : kelemahan otot, somnolen. b. Sirkulasi Gejala : palpitasi. Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat. c. Eliminasi Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine. d. Makanan / cairan Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia. Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut). e. Integritas ego Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan. Tanda : depresi, ansietas, marah. f. Neurosensori Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan. Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang. g. Nyeri / kenyamanan Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot. Tanda : gelisah, distraksi. h. Pernafasan Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal. Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal. Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati. B. Diagnosa Keperawatan 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan 2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif 3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. 1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis 1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi. 2. Termoregulasi tidak efektif 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas 4. Defisit perawatan diri 5. Gangguan persepsi sensori auditori C. Intervensi 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil : -
RR dalam batas normal sesuai umur
-
Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional 1. Tanggalkan pakaian pada daerah 1. Memfasilitasi usaha leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada 2. Masukkan spatel lidah/jalan napas 2. Dapat mencegah tergigitnya buatan lidah, dan memfasilitasi saat 3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai melakukan penghisapan indikasi lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan Kolaborasi 3. Menurunkan risiko aspirasi
atau asfiksia 1. Berikan tambahan O2 Kolaborasi 1. Dapat menurunkan hipoksia serebral 1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama … nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil: 1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami 2. Klien tidak menangis lagi 3. Wajah klien tampak ceria Intervensi Rasional 1. Kaji PQRST dengan menggunakan media gambar 2. Berikan posisi yang nyaman sesuai kebutuhan 3. Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien 4. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien 5. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesic 6. Pengkajian yang benar akan membantu dalam menentukan tindakan keperawtan selanjutnya 7. Posisi yang nyaman dapat memberikan efek malsimal untuk relaksasi otot 8. Kehadiran keluarga memberikan efek psikologis pada anak untuk mengurangi nyeri 9. Rangsang yang berlebihan dari lingkungan dapat memperberat rasa nyeri 10. Obat analgesic dapat meminimalkan rasa nyeri
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. Kriteria hasil : •
Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis • •
Riwayat kejang Tingkatan kejangnya
Intervensi 1. Kaji karakteristik kejang
1. 1.
1.
1.
Rasional Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan lebih baik Jauhkan pasien dari benda benda Benda tajam dapat melukai dan tajam / membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien Segera letakkan sendok di mulut Dengan meletakkan sendok diantara pasien yaitu diantara rahang pasien rahang atas dan rahang bawah, maka resiko pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancer Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi anti kejang derajat kejang yang dialami pasien, sehingga resiko untuk cidera pun berkurang Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : 1. pengetahuan keluarga meningkat 2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi 3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien. Intervensi Kriteria pengkajian focus 1. Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. 2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. 3. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang
Makna klinis 1 . pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan seseorang 1. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah
demam melalui penkes. 4. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. 5. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
mereka ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya akan diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan keluarga 2. untuk meningkatkan pengetahuan 3. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami 4. agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatu-waktu klien mengalami kejang berikutnnya.
D. Evaluasi 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan RR dalam batas normal sesuai umur Nadi dalam batas normal sesuai umur 1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami Klien tidak menangis lagi Wajah klien tampak ceria 1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien Kriteria pengkajian fokus makna klinis 1. i. 2. ii. 4.
Riwayat kejang Tingkatan kejangnya
Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Pengetahuan keluarga meningkat Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien. DAFTAR PUSTAKA • • •
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih bahasa Budi Santosa. Prima Medika.
KONSEP DASAR 1. Pengertian
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996). Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996). Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun. 2. Patofisiologi a. Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya). 1) Intrakranial Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular Infeksi : Bakteri, virus, parasit
Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz. 2) Ekstra kranial
Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K) Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat. Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus. 3) Idiopatik
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
b. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu
adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler. Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
c. Manifestasi klinik Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik. Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy. untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu : 1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion) 2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu : 1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun 2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit. 3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali 4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam 5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal 6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
3. Klasifikasi kejang Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik. a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik. c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
4. Diagnosa banding kejang pada anak Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna. a. Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik . b. Apnea Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan. Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan
bentuk
serangan
kejang
yang
lain
dan
tidak
disertai
bradikardia. c. Mioklonus Nokturnal Benigna Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang
berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan
pemeriksaan
EEG
normal.
Keadaan
ini
tidak
memerlukan
pengobatan
5. Penatalaksanaan Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut. Penatalaksanaan Umum terdiri dari : a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung c. Usahakan suhu tetap stabil d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu. Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV)
sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul. Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit. Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
6. Pemeriksaan fisik dan laboratorium a. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut : 1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular. 3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu. 4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri. 5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas. 6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus. 7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
b. Pemeriksaan laboratorium Perlu
diadakan
pemeriksaan
laboratorium
segera,
berupa
pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu 1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin
secara
berkala
penting
untuk
memantau
pendarahan
intraventikuler. 2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah. 3)
Fungsi
lumbal,
untuk
menentukan
perdarahan,
peradangan,
pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal 4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia 5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
6)
Bila
terdapat
indikasi,
pemeriksaan
lab,
dilanjutkan
untuk
mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup : a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes. c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak e) Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar. 7. Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu 1. Fisik f. Ubun-ubun anterior tertutup. g. Physiologis dapat mengontrol spinkter 2. Motorik kasar a. Berlari dengan tidak mantap b. Berjalan diatas tangga dengan satu tangan c. Menarik dan mendorong mainan d. Melompat ditempat dengan kedua kaki
e. Dapat duduk sendiri ditempat duduk f. Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh 3. Motorik halus a. Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan b. Melepaskan dan meraih dengan baik c. Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu d. Menggambar dengan membuat tiruan 4. Vokal atau suara a. Mengatakan 10 kata atau lebih b. Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh 5. Sosialisasi atau kognitif a. Meniru b. Menggunakan sendok dengan baik c. Menggunakan sarung tangan d. Watak pemarah mungkin lebih jelas e. Mulai sadar dengan barang miliknya 8. Dampak hospitalisasi Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan
hilang
kontrol
menunjukkan
temperamental,
menunjukkan
regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi. Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut : a) Rasa takut 1) Memandang penyakit dan hospitalisasi 2) Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal 3) Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit 4) Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan 5) Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang. b. Ansietas 1) Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal 2) Protes (menangis dan mudah marah, (merengek) 3) Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat 4) Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit 5) Tidak berdaya 6) Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan 7) Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau perawatan 8) Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol
9) Protes dan Ansietas karena restrain c. Gangguan citra diri 1) Sedih dengan perubahan citra diri 2) Takut terhadap prosedur invasive (nyeri) 3) Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS 1. Pengkajian
Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang. Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang. 1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter 2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan 3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan. 4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi 6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra 7. Riwayat jatuh / trauma 2. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul 1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot. 2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular 3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh 4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan 5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi 3. INTERVENSI Diagnosa 1 Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot. Tujuan Cidera / trauma tidak terjadi Kriteria hasil Faktor
penyebab
diketahui,
mempertahankan
meningkatkan keamanan lingkungan
aturan
pengobatan,
Intervensi Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari trauma atau kejang. Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan Diagnosa 2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular Tujuan Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi Kriteria hasil Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal Intervensi Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi Diagnosa 3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh Tujuan Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal Intervensi Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien. Observasi tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan ketiak. Diagnosa 4 Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan Tujuan Kerusakan mobilisasi fisik teratasi Kriteria hasil Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi Intervensi Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien. Diagnosa 5 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi Tujuan Pengetahuan keluarga meningkat Kriteria hasil
Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien. Intervensi Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien. 6. EVALUASI 1. Cidera / trauma tidak terjadi 2. Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi 3. Aktivitas kejang tidak berulang 4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi 5. Pengetahuan keluarga meningkat
Obat anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila: •diagnosis epilepsi telah dipastikan •setelah pasien dan/atau keluarganya
menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan •pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bengkitan maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan. Penghentian OAE:
•dapat
didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun. •gambaran EEG normal. •harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. •penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya. Sedangkan untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik ratarata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang yang berbeda.
OBAT PILIHAN Obat pilihannya yaitu Fenitoin. Nama generik: Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg. Nama dagang: • Dilantin®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg; cairan injeksi 50mg/ml • Ikaphen®, kapsul 100 mg; injeksi 50 mg/ml. • Kutoin-100®, kapsul 100 mg; ampul 100 mg/2 ml • Movileps®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg • Phenilep® , kapsul 100 mg • Phenytoin Ikapharmindo®, kapsul 100 mg; ampul 200 mg/2 ml • Zentropil®, kapsul 100 mg
Indikasi: Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status epileptikus; trigeminal neuralgia jika karbamazepin tidak tepat digunakan. Kontra-indikasi: Gangguan hati, hamil, menyusui, penghentian obat mendadak; hindari pada porfitia.
Dosis: Status epileptikus: i.v: Bayi dan anak: dosis awal 15-20 mg/kg pada dosis tunggal atau dosis terbagi; dosis pemeliharaan: awal: 5 mg/kg/hari pada 2 dosis terbagi; dosis biasa: 5 bulan-tahun: 8-10 mg/kg/hari 4-6 tahun: 7,5-9 mg/kg/hari 7-9 tahun: 7-8 mg/kg/hari 10-16 tahun: 6-7 mg/kg/hari, beberapa pasien mungkin membutuhkan setiap 8 jam. Dewasa:dosis awal:15-25 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap. Antikonvulsi: anak-anak dan dewasa: oral Dosis awal: 15-20 mg/kg; tergantung pada konsentrasi serum fenitoin dan riwayat dosis sebelumnya. Pemberian dosis awal oral pada 3 dosis terbagi diberikan setiap 2-4 jam untuk mengurangi efek yang tidak dinginkan pada saluran pencernaan dan meyakinkan bahwa dosis oral terabsorpsi sepenuhnya.; dosis pemeliharaan sama seperti i.v
Pembedahan saraf (profilaksis): 100-200 mg pada kira-kira interval 4 jam selama pembedahan dan selama periode setelah pembedahan. Penyesuaian dosis pada kerusakan ginjal atau penyakit hepar: aman pada dosis biasanya untuk penyakit hepar ringan. Level fenitoin bebas harus dimonitor. Efek samping: Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia, neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,trombositopenia, agranulositosis). Resiko khusus: Hamil dan menyusui. Selama kehamilan, kadar plasma total obat antiepilepsi (terutama fenitoin) menurun, tapi kadar obat bebas dalam plasma tetap sama. Terdapat kenaikan resiko teratogenik pada penggunaan obat antiepilepsi. Karena itu perlu dilakukan pemantauan oleh spesialis terkait. Dianjurkan untuk memberi asam folat 5 mg/hari untuk mengantisipasi terjadinya kelainan neural tube. Untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan neonatal, yang berkaitan dengan pemberian fenitoin, dapat diberi vitamin K pada ibunya. Ibu yang menyusui dapat terus mendapat obat antiepilepsi, dengan perhatian khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153-154, Depkes RI, Jakarta, Anonim, 2006, British National Formulary, edisi 52, 246-247, British Medical Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain Anonim, 2007, MIMS, Volume 8, 178-181, PT Info Master, Jakarta.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information Handbook, 14th Ed., 1260-1264, Lexicomp, Inc., USA Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 6th ed, 10231035, Mc Graw-Hill Companies, New York Tierney, L. M., Stephen J.M., Maxine A. P., 2006, Current Medical Diagnosis & Treatment, 45th ed, 980-986, Mc Graw-Hill Companies, USA