TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIDROCHEPALUS, KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI
KELOMPOK I 1. Crispina S. Nuryanti
131611123001
2. Leli Ika Hariyati
131611123002
3. Alfan Fachrul Rozi
131611123003
4. Anggar Dwi Untari
131611123004
5. Selvi Ratu Djawa
131611123005
6. Rian Kusuma Dewi
131611123006
7. Awalludin Suprihadi P
131611123007
8. Delisa Alfriani
131611123008
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016
1
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hidrochepalus Kejang Demam Epilepsi BAB III APLIKASI KASUS Contoh Kasus Pengkajian Daftar Masalah Rencana Keperawatan BAB IV PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
1 2 3 5 7 23 38 61 61 62 63 65 65 66
2
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut WHO Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang dapat terjadi di segala usia. Epilepsi dikenal sebagai salah satu kondisi tertua di dunia, sekitar 50 juta orang di dunia mengidap epilepsi. Penyakit ini telah lama dikenal dalam masyarakat terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan, tapi pengertian tentang penyakit ini masih kurang bahkan salah, penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga penderita tidak diobati bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan
dampak
klinik
dan
psikososial
yang
merugikan
bagipenderita maupun keluarganya. Sebagian besar kasus epilepsi dijumpai pada usia anak-anak, dan merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama pada kelompok usia tersebut. Insiden epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, terdapat sekitar 4-6 per 1000 anak, hal ini tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Laporan CDC12 menunjukkan
bahwa prevalensi epilepsi pada usia
kurang dari 15 tahun di Amerika Serikat tahun 1994 adalah sebesar 4 per 1.000 penduduk (95% CI 3,0-5,0), sebuah penelitian retrospektif terhadap 302 orang anak di Arab Saudi oleh El Awad dan Adedoyin menunjukkan bahwa menempati
urutan
pertama
penyakit
neurologis
kejang
pada anak-anak, dengan rasio
laki-laki dibanding wanita sebesar 1,0 : 0,6. Epilepsi merupakan urutan pertama (52,1%) penyebab kejang pada anak-anak (51,7% epilepsi idiopatik dan 48,3% epilepsi sekunder), sementara kejang demam menempati urutan kedua (38,3%) kasus Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Wishadewa et. al., diperoleh data dari rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI / RSCM selama 5 tahun terakhir tercatat pasien epilepsi yang dirujuk 526 kasus baru. Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 3
86
kasus
epilepsi
pada
anak,
di
dapatkan
data
bahwa penderita terbanyak pada golongan umur 0-1 tahun (8,14%),
kemudian 1-6 tahun (46,5%), 6-10 tahun (29,1%), dan 10-18 tahun (16,28%). Menurut data pasien epilepsi yang rawat jalan di RSUD Sleman tahun 2010, untuk golongan umur 28 hari-1 tahun terdapat 7 kasus, kemudian golongan umur 1-4 tahun terdapat 15 kasus, dan golongan
umur 5-14 tahun terdapat 22 kasus. Suwarba melakukan
penelitian di bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar Bali selama periode Januari 2007-Desember
2010,
dijumpai
pasien
epilepsi baru 276 kasus dan rata-rata 69 kasus per tahun, dengan insiden 5,3%, dari penelitian tersebut yang mempunyai riwayat kejang demam sebelumnya 48 (10,1%) kasus. Beberapa faktor yang menjadi penyebab epilepsi adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat kehamilan jelek, dan kejang demam. menyatakan
sekitar
0,5-12%
kejang
demam berulang
Lumbantobing
merupakan
faktor
predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan oleh Budiarto, menunjukkan bahwa kejang demam
bermakna
sebagai faktor risiko
terjadinya epilepsi (OR: 5,94; 95% CI: 3,49-10,09). Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak, lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah
5
tahun.
Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Sebagian besar kasus kejang demam sembuh
sempurna,
sebagian
berkembang menjadi epilepsi (2%-7%) dengan angka kematian 0,64%-0,75%. Kejang demam dikelompokkan demam kompleks.
menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
Kejang demam kompleks
dapat berkembang
menjadi status
epileptikus. Penelitian Livingston mendapatkan dari kejang demam sederhana
hanya
2,9% yang menjadi epilepsi dan epilepsi yang di provokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Hydrocephalus merupakan kelainan pada bagian kepala karena akumulasi cairan cerebrospinal dirongga otak. Menurut bahasa Hydrocephalus berasal dari kata hidro yang berarti air, dan cephal yang artinya kepala, berarti kepala yang membesar karena berisi air. Ada beberapa definisi tentang penyakit Hydrocephalus. Yang pertama adalah kelainan patalogis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakrainal yang meninggi sehingga terdapat pelebaran vertical (Darsono, 4
2005:209). Yang kedua adalah adanya kelainan-kelainan pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbs cairan serebrospinal (DeVito EE et al, 2007:328). Hydrocephalus dapat terjadi pada setiap golongan umur, karena berbagai hal yang menyebabkan. Sekarang dokter mulai mengidentifikasi dan menemukan hal yang berbeda dari hydrocephalus yang muncul pada golongan dewasa. Tekanan normal pada intracranial ditemukan pada orang dewasa yang menderita hydrocephalus. Berbeda dari hydrocephalus yang diagnosis pada masa bayi dan kanak-kanak. Hal ini dikarenakan 15%-30% wanita mempunyai antibody terhadap toxoplasma, infeksi TORCH di Indonesia pada kehamilan menunjukkan prevalensi cukup tinggi, berkisar antara 5,5% sampai 84%. Beberapa peneliti di Indonesia memperoleh dari ibu yang menderita toxoplasmosis sebanyak 56% bayi dapat menderita Toxoplasmosis kongenital bila ibu tersebut tidak diberi pengobatan selama kehamilan. Infeksi TORCH oleh Cornain dan kawan – kawan (1994) pada 67% wanita kasus infertilitas didapatka sebanyak 10,3 Toxoplasma, 13,8% positif Rubella, 13,8% positif infeksi CMV. Prevalensi toxoplasmosis di Jakarta sebesar 61,6%, Bandung 74,5%, Surabaya 55,5%, Yogyakarta 55,4%, Denpasar 23,0%, dan Semarang 44,0%.3 Insiden kelainan bawaan di Indonesia tahun 2009 berkisar 15 per 1.000 kelahiran. Angka kejadian ini akan menjadi 4 – 5% bila bayi diikuti terus sampai berusia 1 tahun. Menurut Maryuni tahun 2009, angka kejadian kelainan congenital dibeberapa rumah sakit di Indonesia yaitu RSCM Jakarta tahun 1975 – 1979 sebanyak 11,61 per 1.000 kelahiran hidup dan RS Pirngadi Medan tahun 1977 – 1980 sebanyak 3,3 per 1.000 kelahiran hidup. B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi dan hidrocephalus pada anak. 2. Tujuan Khusus Mahasiswa mampu: a. Menjelaskan definisi kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus pada anak. b. Menyebutkan klasifikasi dan manifestasiklinis kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus pada anak. c. Menjelaskan penyebab kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus pada anak. d. Menjelaskan patofisiologi kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus pada anak. 5
e. Menjelaskan penatalaksanaan kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus pada anak. f. Menganalisa data untuk menentukan diagnosis keperawatan yang timbul pada anak berkebutuhan khusus dengan riwayat kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus. g. Merencanakan dan melaksanakan tindakan keperawatan yang tepat berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditetapkan pada anak dengan riwayat kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus. h. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada anak dengan riwayat kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus. i. Melakukan pendokumentasian hasil asuhan keperawatan pada anak dengan riwayat kejang demam, epilepsi dan hidrocephalus.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HIDROCHEPALUS 1. Definisi Hidrosefalus adalah keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS (Ngastiyah, 2005). Harus dibedakan dengan pengumpulan cairan lokal tanpa tekanan intrakranial yang meninggi seperti pada kista porensefali atau pelebaran ruangan CSS akibat tertimbunnya CSS yang menempati ruangan sesudah terjadinya atrofi otak. 2. Anatomi Fisiologi Ruangan cairan serebrospinal (CSS) mulai terbentuk pada minggu kelima masa embrionik terdiri atas sistem ventrikel, sistemmagna pada dasar otak, dan ruang subaracknoid yang meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus koroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler di dalam pia meter dan arakhnoid yang meliputi susunan saraf pusat (Muttaqin, 2008). CSS dibentuk di dalam system ventrikel serebrum melalui pleksus koroideus yang berada dalam ventrikel ketiga dan keempat dan 25% berasal dari sumber diluar koroid termasuk endotel kapiler dalam parenkim otak. Ada pengendalian neurogenik aktif pembentukan CSS karena pleksus koroid diinervesi oleh saraf adrenargik dan kolinergik. Perangsangan adrenergic mengurangi produksi CSS (Behrman, 2000). Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen Monro ke ventrikel III,melalui akuaduktus sylvii keventrikel IV danmelalui foramen Luscha dan Magendii kedalam subaracknoid melalui sistem magna (Muttaqin, 2008). CSS diproduksi dan direabsorbsi terusmenerus didalam SSP. Volume total CSS diseluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml. CSS normal diproduksi=0,35 ml/ menit atau 500 ml/ hari, dengan demikian CSS diperbarui setiap 8 jam. Pada anak dengan hidrosefalus, produksi CSS ternyata berkurang menjadi=0,30 ml/ menit. Jumlah CSS dalam rongga serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan sehingga dapat merusak jaringan saraf (Muttaqin, 2008).
7
3. Klasifikasi Hidrosefalus memberikan gejala bila disertai tekanan CSS yang meninggi. Terdapat 2 macam hidrosefalus (Muttaqin, 2008) yaitu: a. Hidrosefalus non komunikans, tekanan CSS yang tinggi disebabkan oleh obstruksi pada salah satu tempat antara pembentukan CSS oleh pleksus koroidalis dan keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen Luschka dan Magendie. b. Hidrsefalus komunikans, ialah bila tekanan CSS yang meninggi tanpa penyumbatan sistem ventrikel. 4. Etiologi Banyak faktor penyebab terjadinya hidrosefalus, termasuk tumor, malformasi vaskuler, abses, kista intraventikuler, perdarahan intraventrikuler,meningitis, stenosis aqueduktus, dan trauma serebri. Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi didalam ruang sub araknoid. Akibat penyumbatan terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Tempat yang sering tersumbat dan terdapat dalam klinik ialah foramen Monroi, foramen Luschka dan Megandie, sisterna magna dan sisterna basalis. Secara teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang normal 8
akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, tetapi dalam klinik sangat jarang dijumpai misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Berkurangnya absorpsi CSS yang pernah dikemukakan dalam kepustakaan pada obstruksi kronis aliran vena otak pada trombosis sinus longitudinalis.Contoh lain ialah terjadinya hidrosefalussetelah koreksi bedah dari spina bifida dengan meningokelakibat berkurangnya permukaanuntuk absorpsi. Penyebab penyumbatan untuk aliran CSS yang sering terjadi pada bayi ialah kelainan bawaan (kongenital), infeksi, neoplasma, dan perdarahan (Ngastiyah, 2005). a. Kelainan bawaan 1) Stenosis akuaduktus Sylvii Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali atau abnormal ialah lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terliha sejak lahir. 2) Spina bifida dan kranium bifida Hidrosefalus pada kelainan inibiasanya berhubungan dengan sindrom ArnoldChiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnumsehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total. 3) Syndrom Dandy-Walker Merupakan atresia kongenital foramen Luschka dsan Magendie dengan akibat hidrosefalus obstruktifdengan pelebaran sistem ventrikelterutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnyahingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa posterior. 4) Kista Araknoid Dapat terjadi congenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu hematom. 5) Anomali pembuluh darah b. Infeksi Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi
ruangan
subaraknoid.
Pelebaran
ventrikel
pada
fase
akut
meningitispurulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvii atau sistem basalis. Lebih banyak hidrosefalus terdapat pada pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi pada beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis. c. Neoplasma
9
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glikoma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biassanya disebabkan suatu kraniofaringioma. d. Perdarahan Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri. 5. Patofisiologi Pada prinsipnya hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara produksi, obstruksi dan absorpsi dari CSS. Adapun keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan tersebut adalah: a. Produksi CSS yang berlebihan Ini merupakan penyebab hidrosefalus yang jarang terjadi. Penyebab tersering adalah papiloma pleksus khoroideus, hidrosefalus jenis ini dapat disembuhkan. b. Obstruksi aliran CSS Sebagian besar kasus hidrosefalus termasuk dalam kategori ini. Obstruksi dapat terjadi di dalam atau di luar sistem ventrikel. Obstruksi dapat disebabkan beberapa kelainan seperti: perdarahan subarakhnoid post trauma atau meningitis neonatus, dimana pada kedua proses tersebut terjadi inflamasi dan eksudasi yang mengakibatkan sumbatan pada akuaduktus Sylvius atau foramina pada ventrikel IV. Stenosis pada aquaductus merupakan manifestasi anomali kongenital yang paling sering. Stenosis pada aquaductus silvii juga bisa terjadi setelah lahir akibat infeksi atau perdarahan sehingga dapat pula dikategorikan kelainan yang didapat. Sisterna basalis juga dapat tersumbat oleh proses arakhnoiditis yang mengakibatkan hambatan dari aliran CSS. Lesi atau malformasi fossa posterior meupakan penyebab utama hidrosefaus, termasuk tumor fossa posteror, malformasi chiari, dan sindrom Dandy-Walker. c. Absorpsi CSS berkurang Kerusakan vili arakhnoidalis dapat mengakibatkan gangguan absorpsi CSS, yang selanjutnya menyebabkan penimbunan CSS. Keadaan-keadaan yang
10
dapat menimbulkan kejadian tersebut adalah: post meningitis, post perdarahan subarachnoid, kadar protein CSS yang sangat tinggi. (Behrman, 2000)
11
6. WOC Kongenital 7.
Neoplasma
Infeksi
Trauma
Plek meningen
Perdarahan cerebral
Ggn. Aliran CSS
Fibrosa lepto meningen
Steno akuadiltus
8.
Spina bifida Kista 9. dandi walker Kista arachnoid
10.
Keluar cairan (darah)
pada daerah basal otak
11. Masuk ke ruang intra cranial
12. 13. 14. 15. 16.
Gangguan produksi CSS Obstruksi aliran CSS Gangguan absorbsi CSS
Hidro Cepalus
17.
12
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Resiko ketidakefektifan Perfusi Jaringan Resiko Otak Keterlambatan Perkembangan Resiko Integritas Kulit
18. Manifestasi Klinis a. Bayi: 19. 1) 2) 3) 4) 5)
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala : Kepala makin membesar Veba-vena kepala prominen Ubun-ubun melebar dan tegang Sutura melebar Cracked-pot sign, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah
semangka pada perkusi kepala 6) Perkembangan motorik terlambat 7) Perkembangan mental terlambat 8) Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles) 9) Cerebral cry, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar 10) Nistagmus horisontal 11) Sunset phenomena, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita, sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam. b. Anak: 1) Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan 2) 3) 4) 5) 6)
intrakranial Muntah proyektil Nyeri kepala Kejang Kesadaran menurun Papiledema
c. Pada dewasa gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri kepala. Sementara itu gangguan visus, gangguan motorik/berjalan, dan kejang terjadi pada 1/3 kasus hidrosefalus pada usia dewasa. Pemeriksaan neurologik pada umumnya tidak menunjukkan kelainan, kecuali adanya edema papil dan/atau adanya paralisis n.abdusens. 20. Penatalaksanaan a. Medik 21.
Pada
sebagian
(arrestedhydrosefalus),
pasien
mungkin
oleh
pembesaran
kepala
rekanalisasiruanng
berhenti subaraknoid
sendiri atau
kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan bedah belum memuaskan 100%, kecuali bila penyebabnya ialah tumor yanng masih dapat diangkat. 22. Ada 3 prinsip penngobatan hidrosefalus: 1) Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya tidak memuaskan. 13
2) Memperbaiki hubungan antara tempat produksi CSS ddengan tempat absorpsi, yaitu menghubungkan ventrikel dan subaraknoid. 3) Pengeluaran cairan CSS ke dalam organ ekstrakranial a) Drainase ventrikulo-peritoneal b) Drainase lombo-peritoneal c) Drainase ventriko-pleural d) Drainase ventrikulo-uretrostomi e) Drainase ke dalam antrum mastooid f) Cara yang dianggap baik adalah mengalirkan CSS kedalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yanng berventil(Holter Valve) yang memungkinkan pengaliran CSS ke satu arah. Keburukan cara ini ialah bahwa kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak. Hasilnya kurang memuaskan karena masih sering terjadi infeksi sekunder dan sepsis. b. Keperawatan 1) Gangguan nuerologis 23.Dalam keadaan parah misalnya ada kejang dipasang infus dengan cairan glukosa (5-10%)dan NaCl 0,9%, selam dipasang infus tetesan harus diperhatikan agar tidak terlalu cepat karena dapat menambah tekanan pada otak. Selama kesadaran menurun makanan diberikan melalui sonde dan secara bertahap jika kesadaran mulai membaikdapat diberikann susu peroral dan diberikan berulang-ulang memakai dot atau sendok. Karena sering muntah setelah minum dibaringkan miring kekanan. Untik mengetahui perkembangan hidrosefalus dilakukan pengukuran kepalasetiap hari dan dicatat serta kejang dan muntah yang masih terjadi. 2) Resiko terjadi dekubitus 24.Keadan kepala yang makin membesar
menyebabkan kulit kepala
menjadi meregang hingga tipis serta keadaan pasien yang tidak bergerak menyebabkan mudah terjadi dekubitus. Untuk mengurangi resiko kepala pasien dialasi bantal yang lembut dan menjaga agar kulit kepala tetap kering. Kepala harus sering diubah letaknya misalnya 2 jam sekali, jika kulit kepala terlihat merah harus lebih sering diubah posisinya dan bila teranjur lecetdioeskan salep dan ditutup kasa. Tutup mata pasien dengan kasa steril yang dibasahi dengan air matang/boorwater saat tidur karena mata pasien dengan hidrosefalus selalu setengah terbuka. 3) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
14
25.Pada umumnya orang tua tidak mengerti mengenai penyakit anaknya, mengapa kepalanya menjadi besar dan bagaimana akibatnya. Orangtua perlu diberikan
penjelasan
bahwa
penyakit
ini
termasuk
berat
dan
sukar
pengobatannya, kelainan tersebut karena ada sumbatan pada sauran cairan otak maka pengobatannya dengan memperbaiki gangguannya yang dilakukan oleh dokter ahli bedah saraf, mencegah agar kulit kepala tidak lecet. Peru dikemukakan bahwa kemungkinan gangguan tumbuh kembang tetap ada. Jika penyebab hidrosefalus karena meningitis peru diberitahukan agar bila anak lain yang sakit apakah batuk, pilek dengan demam, apakah sakit telinganya anak tersebut agar segera dibawa ke dokter. 26. (Ngastiyah, 2005) 27. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 1) Anamnesa a) Keluhan Utama 28. Hal yang menjadi klien untuk meminta pertolongan seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada peningkatan tekanan intracranial meliputi muntah, gelisah, nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, dan kontriksi penglihatan perifer. b) Riwayat Penyakit Sekarang 29. Adanya riwayat infeksi (biasanya infeksipada selaput otak dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat meliputi seorang anak mengalami pembesaran kepala, tingkat kesadaran menurun (GCS<15), kejang, muntah. c) Riwayat Perkembangan 30. Kelahiran : prematur, lahir dengan pertolongan, Pada waktu lahir menangis atau tidak’ d) Riwayat Keluarga 31. Adanya anggota keluarga generasi terdahulu yang menderita stenosis akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit keluarga/keturunan yang terpaut dengan seks. e) Pengkajian psikososiospiritual 32. Adakah dampak yang timbul pada klien dan orang tua ,yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk 2)
melakukan aktifitas secara optimal Pemeriksaan fisik a) Keadaan Umum 33. Pada umumnya mengalami penurunan kesadaran (GCS<15) dan terjadi perubahan tanda – tanda vital. Kepala terlihat lebih besar 15
dibandingkan dengan tubuh , ubun-ubun melebar dan teraba tegang atau menonjol, dahi tampak lebar dengan kulit kepala yang menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala. b) B1 (breathing) 34. Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktifitas. Didapat klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, peningkatan frekuensi pernafasan, terdengar suara ronchi. c) B2 (blood) 35. Frekuensi nadi cepat dan lemah yang berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan tanda adanya perubahan perfusi jaringan otak d) B3 (brain) 36. Pengkajian tingkat kesadaran : 37. Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi persyarafan. Pada keadaan lebih lanjut tingkat kesadaran klien klien hidrosefalus biasanya pada tingkat letargi, stupor, sampai koma. 38. Pengkajian fungsi serebral : Fungsi Intelektual :Pada klien hidrosefalus didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori. Pada pengkajian anak, pemerisaan fungsi intelektual disesuaikan dengan usia dan tumbuh kembang anak yaitu sering di dapat penurunan dalam perkembangan intelektual anak dibandingkan dengan
perkembangan anak normal sesuai tingkat usianya. Lobus frontal : Kerusakan fungsi koknitif dan efek psikologis didapatkan jika jumlah CSS yang tinggi mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas , memori, atau kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditujukkan dengan kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi. Pada klien bayi dan anak penilaian
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. e) B4 (bledder) 39. Pada hidrosefalus tahap lanjut klien mungkin mengalami inkontinensia urin karena konfusi, ketidakmampuan system perkemihan karena kerusakan kontrol motoric dan postural. Inkontinensia urine berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. f) B5 (bowel) 40. Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun serta mual muntah pada fase akut. 16
g) B6 (bone) 41. Disfungsi paling utama adalah kelemahan fisik, pada bayi disebabkan pembesarn kepala sehingga mengganggu mobilitas fisik secara umum. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensoria tau paralisis/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan gangguan integritas kulit . b. Analisa Data 42. 43. NO 46. 1 47. 48. 49. 50.
63. 2 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73.
DATA 51. DS : Orang tua mengatakan anaknya kesadaran menurun 52. DO : GCS < 15 Muntah yang terjadi tiba-tiba tanpa didahului keluhan mual (muntah proyektil) Nyeri kepala Nadi bradikardi dan lemah Gelisah Perubahan pupil 53. 74. DS : Orang tua mengatakan anaknya batuk 75. DO : Peningkatan produksi sputum Sesak nafas Peningkatan frekuensi nafas Terdengar suara ronchi
44.
ETIOLOGI
45.
MASALAH
54. Gangguan CSS,obstuksi aliran CSS,gangguan absorbs CSS 55. ↓ 56. Hidrosefalus 57. ↓ 58. Desakan pada selaput otak dan meningens 59. ↓ 60. Peningkatan tekanan intrakranial 61.
62. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
76. Hidrosefalus 77. ↓ 78. Pembesaran kepala 79. ↓ 80. Gangguan mobilisasi 81. ↓ 82. Penumpukan sputum di saluran nafas
83. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas
17
84. 3 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96.
110. 4
97. DS : Orang tua mengatakan anaknya belum bisa beraktivitas seperti anak pada umumnya. 98. DO : Penilaian pada pemeriksaan DDST diperoleh hasil suspect 99.
100. Hidrosefalus 101. ↓ 102. Desakan pada otak 103. ↓ 104. Gangguan neurologis 105. ↓ 106. Retardasi mental 107. Gangguan kecerdasan 108. Penurunan memori
109. Resiko keterlambatan perkembangan
111. DS : Orang tua mengatakan anaknya susah bergerak 112. DO : Kepala terlihat membesar Anak hanya tidur ditempat tidur dan tampak sulit menggerakkan kepalanya
113. Hidrosefalus 114. ↓ 115. Sutura masih terbuka 116. ↓ 117. Lingkar kepala masih membesar 118. ↓ 119. Terdapat tekanan pada kepala
120. Resiko kerusakan integritas kulit
121. c. Diagnosa Keperawatan 1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak 122.
NOC :
a) Circulation status b) Tissue Prefusion : cerebral 123.
Kriteria Hasil :
a) Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan : Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan Tidak ada ortostatikhipertensi Tidk ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg) b) Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan: Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi Memproses informasi Membuat keputusan dengan benar c) Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunte 18
124.
NIC :
a) Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial) Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial) Berikan informasi kepada keluarga Set alarm Monitor tekanan perfusi serebral Catat respon pasien terhadap stimuli Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology terhadap
aktivitas Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal Monitor intake dan output cairan Restrain pasien jika perlu Monitor suhu dan angka WBC Kolaborasidan monitor pemberian antibiotik Posisikan pasien pada posisi semifowler Minimalkan stimuli dari lingkungan Kolaborasi pembedahan: VP Shunt (bila tidak terjadi infeksi) dan EVD
(bila terjadi infeksi) b) Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul Monitor adanya paretese Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi Gunakan sarun tangan untuk proteksi Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung Monitor kemampuan BAB Kolaborasi pemberian analgetik Monitor adanya tromboplebitis Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi 2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 125.
NOC:
a) Pencegahan aspirasi; tindkaan personal untuk mencegah masuknya cairan atau partikel padat kedalam paru b) Status pernapasan: ventilasi; pergerakan udara yang masuk dan keluar ke dan dari paru c) Status pernapasan: kepatenan jalan napas; jalur napas trakeobronkial bersih dan terbuka untuk pertukaran gas 126. 127.
Kriteria Hasil Menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif yang dibuktikan oleh,
pencegahan aspirasi, status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dan status pernapasan: kepatenan jalan napas 128. Pasien akan: 19
a) b) c) d) e) f) g)
Batuk efektif Mengeluarkan secret secara efektif Mempunyai jalan napas yang paten Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal Mempunyai fungsi paru dalam batas normal Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah
129.
NIC :
a) Airway suction Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion
a) b) c) d)
nasotrakeal Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan
dari nasotrakeal Monitor status oksigen pasien Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll. b) Airway Management Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2 3) Resiko keterlambatan perkembangan 130. NOC Perkembangan anak Pertumbuhan Perawatan diri : aktifitas sehari-hari Berat badan : Massa tubuh 131. NIC : a) Dukungan pengasuhan Mengkaji tingkat pengetahuan pengasuhan
20
Mengajar caregiver mengenai pemberian terapi bagi klien sesuai dengan
keinginan klien Memonitor interaksi keluarga dalam permasalahan berkaitan dengan klien b) Peningkatan perkembangan Berikan instruksi kepada orang tua mengenai gizi yang seimbang serta
manfaatnya Bangun struktur bermain dan perawatan seputar jenis perilaku dan pola
temperamen bayi Sediakan mainan dan aktivitas yang aman dan sesuai dengan tahap tumbuh
kembangnya Lakukan beberapa skrining yang direkomendasikan (misalnya anemia, cek
mata dll) Dukung anak untuk melakukan eksplorasi pada tempat yang aman Dukung fasilitas dan kelekatan orang tua dan anak Dukung dan berikan pujian terhadap upaya dan kemampuan orang tua Sediakan informasi mengenai tahap perkembangan pada anak 4) Resiko integritas kulit 132. 133. 134.
NOC Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes Kriteria Hasil :
a) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi) b) Tidak ada luka/lesi pada kulit c) Perfusi jaringan baik d) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang e) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami 135.
NIC :
a) Pressure Management Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar Hindari kerutan padaa tempat tidur Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali Monitor kulit akan adanya kemerahan Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien Monitor status nutrisi pasien B. KEJANG DEMAM 1. Definisi 136.
Kejang demam adalah kejang yang muncul akibat demam pada bayi
atau anak kecil (National Institute of neurological Disorders and Stroke/ NINDS, 21
2013). Anak sering kehilangan kesadaran selama kejang demam, dan tampak bergetar, bergerak kaki di kedua sisi tubuh. Anak mungkin menjadi kaku atau bergetar hanya sebagian dari tubuh, seperti tangan atau kaki, atau di sebelah kanan atau sisi kiri saja, tetapi ini lebih jarang terjadi. Kejang demam yang paling terakhir satu atau dua menit, meskipun beberapa dapat sesingkat beberapa detik sementara yang lain berlangsung selama lebih dari 15 menit (NINDS, 2013). 137. Kejang demam diklasifikasi menjadi dua jenis utama, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah jenis yang paling umum dari kejang demam, terhitung sekitar 8 dari 10 kasus (NHS, 2012). Kejang yang kurang umum terjadi adalah kejang demam kompleks dengan angka kejadian 2 dari 10 kasus. Masing-masing tipe kejang tersebut memiliki ciri khas atau manifestasi klinis yang berbeda. 2. Klasifikasi 138.
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi tiga golongan
(Sub bagian Syaraf Anak FK-UI), yaitu : a. Kejang demam sederhana 139. Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang tidak terulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. 140. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat 1) 2) 3) 4) 5)
diketahui melalui kriteria Livingstone, yaitu : Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit. Kejang bersifat umum Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal 6) Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan. 7) Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali b. Kejang demam kompleks 141. Berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multipel (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Kejang demam kompleks tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh criteria Livingstone. 142. Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini : 1) Kejang lama > 15 menit 143.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. 2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 144. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam 22
c. Kejang demam berulang 145. Kejang demam timbul pada lebih dari satu episode demam 3. Etiologi 146.
Menurut Mansjoer, dkk (2005: 434) Lumban Tobing (2005: 18-19) dan
Whaley and Wong (2005: 1929) a. Demam itu sendiri 147. Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul b. c. d. e.
pada suhu yang tinggi. Efek produk toksik daripada mikroorganisme Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau enselofati toksik sepintas. 148. Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor
presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial. 4. Patofisiologi 149.
Patofisiologi dari kejang demam sampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami (Shellhaas, et al., 2011). Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab pada sebagian besar kasus kejang demam. Kejang ini dipicu oleh kenaikan suhu yang drastis yang disebabkan oleh infeksi viral atau bakterial. Kenaikan suhu 1º C pada keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20% sehingga pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion K dan Na melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitar dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Kejang dapat terjadi pada kenaikan suhu sampai 38o C, ini terjadi pada anak yang memiliki ambang kejang yang rendah, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 39oC (Elsevier, 2012). 150. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa, tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan 23
hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. 151.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak adalah glukosa. Glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoddan bagian luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya. Kecuali ion klorida Cl-. Akibatnya konsentrasi kalium dalam neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan ini terdapat perbedaan potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATPase yang terdapat pada permukaan sel. 152. Kesimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh: a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. c. Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. 153. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbang dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sekitarnya dengan melalui neurotransmitter dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak akan menderita suhu tertentu. Berulangnya kejam demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah. Kejang yang berlangsung singkat pada umunya tidak berbahaya tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigendan akan menyebabkan metabolisme otak meningkat. Kejadian ini akan menyebabkan kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. 154. 24
5. WOC
166.
155. Faktor risiko: 156. Infeksi virus atau bakteri pada 157. saluran pernapasan atas, telinga, 158. ISK, kandung kemih, cacar air, 159. atau tonsillitis 160. 161. 162. 163. Inflamasi 164. 165. Defisinsi pengetahuan: manajemen suhu Hipertermia 167. 168. 169. Konsentrasi Na intrasel dan 170. K ekstrasel ↑ 171. 172. 173. Potensial membran ↓ 174. Gangguan fungsi astrosit 175. 176. 177. Eksitabilitas otak ↑ 178. 179.
180. Kejang: spasme otot involunter 181. Bersihan jalan nafas tidak efektif Spasme otot-otot respirasi 182. 183. 184. Hipoksia Resiko Cedera 185. 186. 187. Suplai O2 ke otak menurun 188. 189.
Gangguan perfusi jaringan otak
6. Manifestasi Klinis 190. Kejang yang dialami anak diawali dan disertai dengan suhu tubuh yang tinggi. Mayoritas anak-anak dengan kejang demam memiliki suhu rektal lebih dari 38,9oC (NINDS, 2013). Kejang demam pada anak umumnya terjadi selama hari pertama demam. Anak-anak yang rentan terhadap kejang demam tidak dianggap memiliki epilepsi, karena epilepsi ditandai dengan kejang berulang yang tidak dipicu
25
oleh demam. Seorang anak dikatakan mengalami demam saat suhu tubuh mencapai atau di atas salah satu dari level: a) 100.4 ° F (38 °C) diukur dalam bagian bawah (dubur), b) 99,5 ° F (37,5 ° C) diukur dalam mulut (per oral), c) 99 ° F (37,2 ° C) diukur di bawah lengan (aksila). 191. Sekitar satu dari 25 anak akan mengalami minimal satu kali kejang demam, dan lebih dari sepertiga anak-anak tersebut akan mengalami kejang demam berikutnya apabila belum mendapatkan penanganan (NINDS, 2013). Kejang demam biasanya terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 5 tahun (60 bulan) dan sangat umum pada balita. Anak-anak jarang menampakkan kejang demam pertama mereka sebelum usia 6 bulan atau setelah 3 tahun. Semakin tua usia seorang anak saat kejang demam pertama terjadi, semakin kecil kemungkinan anak mengalami kejang demam berulang. 192.
Menurut Arif Mansjoer (2000) gejala pada anak yang mengalami
kejang demam adalah sebagai berikut a. Suhu anak tinggi. b. Anak pucat / diam saja c. Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan. d. Umumnya kejang demam berlangsung singkat. e. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. f. Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri ) g. Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit h. Seringkali kejang berhenti sendiri. 7. Pemeriksaan dan diagnosis a. Anamnesis: biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung) b. Pemeriksaan neurologis: tidak didapatkan kelainan c. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darahtepi, elektrolit dan guladarah) d. Pemeriksaan radiologi: X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi e. Pemeriksaan cairan serebrospinal: tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagi berikut: 1) Bayi <12 bulan diharuskan 2) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3) Bayi> 18 bulan: tidak rutin ,kecuali bila ada tanda tanda meningitis
26
f. Pemeriksaan elektroensefalografi: tidak direkomendasikan kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada usia >6 tahun atau kejang demam fokal) 8. Penatalaksanaan 193. Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan kejang a. Penanganan saat kejang 1) Menghentikan kejang 194. Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal supposituria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. 2) Menurunkandemam: Antipiretik: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis per oral atau Ibuprofen 5-10
mg/KgBB/dosis per oral, keduamya diberikan sehari 3-4 kali. Kompres bila suhu >39 C dengan air hangat dan suhu > 38 dengan air biasa. Pengobatan penyebab: antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit
dasarnya Penanganan supportif lainnya meliputi : bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan
tekanan darah b. Pencegahan kejang 195. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana dengan diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis per oral dan antipiretik pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. Pencegahan kontinu untuk kejang demam kompilakata dengan asam valproat 15-40 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 2-3 dosis. 9. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 196. Pengkajian menurut Judha & Nazwar (2011) adalah pendekatan untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi: 1) Identitas 197. Biasanya kejang demam terjadi pada anak berumur 6 bulan-5 tahun. 2) Anamnesa a) Keluhan utama 198. Orang tua mengeluhkan anak demam tinggi disertai kejang. Kejang dapat berlangsung selama ≥15 menit atau ≤15 menit. b) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang, ditanyakan: Jenis, lama, dan frekuensi kejang 27
Demam yang menyertai, dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi memegang peranan
dalam terjadinya bangkitan kejang Jarak antara timbulnya kejang dengan demam Lama serangan Pola serangan, apakah bersifat umu, fokal, tonik, klonik Frekuensi serangan, apakah penderita mengalami kejang sebelumnya umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang pertahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul
pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, mual, muntah, sakit
kepala dan lain-lain Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur,
kesadaran menurun, ada paralise, menangis? Riwayat penyakit sekarang yang menyertai 199. Apakah muntah, diare, trauma kepala, gagap bicara, gagal jantung,
kelainan jantung, DHF, ISPA, dan lain-lain’ Riwayat penyakit dahulu 200. Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali. Apakah ada riwayat kepala, radang selaput otak
dan lain-lain. c) Riwayat Kehamilan dan Persalinan 201. Keadaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep atau vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang. d) Riwayat Imunisasi 202. Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang. 28
e) Riwayat Perkembangan Personal sosial (kepribadian dan tingkah laku sosial), kemampuan mandiri,
bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya. Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda,
dan lain-lain. Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan. f) Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (± 25% menderita kejang
demam mempunyai faktor keturunan) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang
demam. g) Riwayat sosial Perilaku anak dan keadaan emosional Hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebaya h) Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat 203. Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan serta kepatuhan pada setiap perawatan dan
tindakan medis. Pola nutrisi 204. Asupan kebutuhan gizi anak, kualitas dan kuantitas makanan, makanan yang disukai, selera makan dan pemasukan cairan Pola eliminasi 205. 206.
BAK : frekuensi, jumlah, warna, bau, dan nyeri BAB : frekuensi, konsistensi, dan keteraturan
Pola aktivitas dan latihan 207.
Aktivitas anak yang disukai, kesenangan anak dalam bermain,
dan lama berkumpul dengan keluarga.
Pola tidur atau istirahat 208.
Lama jam tidur, kebiasaan tidur (tidur siang dan malam)
3) Pemeriksaan Fisik a) Pemeriksaan tanda-tanda vital 29
209. Pemeriksaan suhu tubuh, denyut nadi, repirasi, kesadaran GCS. b) Pemeriksaan kepala 210. Keadaan ubun-ubun dan tanda kenaikan intrakanial. c) Pemeriksaan rambut 211. Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. d) Pemeriksaan wajah 212. Paralisis fasialis menyebabkan asimetris wajah, sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa sehingga wajah tertarik ke sisi sehat, tanda rhesus sardonicus, opistotonus, dan trimus serta gangguan nervus cranial. e) Pemeriksaan mata 213. Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. f) Pemeriksaan telinga 214. Periksa fungsi telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran. g) Pemeriksaan hidung 215. Pernapasan cuping hidung, polip yang menyumbat jalan nafas, serta secret yang keluar dan konsistensinya. h) Pemeriksaan mulut 216. Tanda-tanda cyanisis, keadaan lidah, stomatitis, gigi yang tumbuh, dan karies gigi. i) Pemeriksaan tenggorokan. 217. Tanda peradangan tonsil, tanda infeksi faring, cairan eksudat. j) Pemeriksaan leher 218. Tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran vena jugularis. k) Pemeriksaan thorax 219. Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi, adakah intercostalepada auskultasi, adakah suara tambahan. l) Pemeriksaan jantung 220. Bagaimmana keadaan dan frekuensi jantung, serta irama jantung, adanya bunyi tambahan, adakah bradicardia atau tachycardia. m) Pemeriksaan kulit 221. Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya, apakah terdapat oedema, hemangioma, dan turgor kulit. n) Pemeriksaan ekstremitas 222. Apakah terdaoat oedema, paralise, terutama setelah terjadi kejang. Bagaiman suhu pada daerah akral. o) Pemeriksaan genetalia 223. Adakah tanda-tanda kelainan pada daerah genetalia. 30
224. 225. 226. b. Analisa Data 227.
Data
230. DS: 231. DO: - Klien terlihat sesak, Terdengar
228.
Masalah
229.
Etiologi
232.
Ketidakefektifan
233. 234. 235. 236.
Kejang
bersihan jalan nafas
suara napas tambahan (ronkhi),
Spasme jalan
nafas
gigi mengatup, lidah terlipat kebelakang, RR: 30x/menit, terdapat peningkatan sekresi mukus, klien kejang 237. DS : 238. DO: satuasi O2: 76%, RR: 30x/menit, kulit pucat, CRV:≥ 3
239.
Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
detik.
240.
Spasme otot
respirasi 241. 242. Hipoksia 243. 244. Penurunan oksigen darah ke otak
245. DS: 246. DO: - Klien mengalami kejang,
247.
Risiko Cedera
penghalang tempat tidur tidak
248. 249. 250. 251.
Kejang Penurunan
Kesadaran 252. 253. 254. Gerakan
terpasang
involunteer 255. DS: - Orang tua klien mengatakan
258.
Hipertermi
259.
Kenaikan 1oC
pd keadaan demam 260. 261. Kenaikan
anak demam tinggi tidak turunturun 256. DO: 257. Suhu 39oC, Nadi:
metabolisme basal Disertai 262.
120x/menit, akral dingin, kulit
peningkatan
pucat, klien menggigil.
kebutuhan O2 263.
264.
Perubahan
keseimbangan difusi 31
ion K dan Na melalui membran sel 265. 266. Terlepas lah muatan listrik yang demikian besar dan meluas ke seluruh sel hingga membran sel 267. 268. Kejang yang disertai demam 269. DS: - Orang tua klien mengatakan
271.
Defisiensi
Pengetahuan
tidak mengetahui tentang
272. Kejang 273. 274. Kurang informasi
penanganan penyakit kejang
penanganan penyakit 275. 276. Defisiensi
demam 270. DO: - Orang tua klien bingung saat
pengetahuan
ditanya tentang penyakit
kejang demam. 277. c. Diagnosa Keperawatan 1) Sebelum terjadi kejang a) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik b) Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit 2) Saat terjadi kejang a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan napas b) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan penurunan oksigen darah ke otak c) Risiko cedera berhubungan dengan kejang d. Rencana Keperawatan 1) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik 278. NOC: 279. Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5oC-37oC), nadi dalam batas normal (120-130x/menit) dan respirasi dalam rentang normal (30-40x/menit). 280. NIC: a) Monitor suhu setiap 2 jam b) Monitor tanda nadi , respirasi c) Lakukan kompres hangat untuk menurunkan suhu tubuh d) Anjurkan pasien untuk memakai pakaian yang tipis e) Kolaborasi pemberian antipiretik 32
2) Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit 281. NOC: a) Orang tua mampu menyebutkan faktor risiko pada kejang demam b) Orang tua mampu menyebutkan tanda dan gejala kejang demam c) Orang tua mengetahui prosedur penanganan yang dilakukan pada anak kejang demam d) Orang tua mampu menyebutkan langkah-langkah prosedur penanganan yang dilakukan pada anak dengan kejang demam 282. NIC: a) Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien terkait dengan kejang demam b) Jelaskan kepada keluarga klien tentang tanda dan gejala yang umum dari penyakit kejang demam, sesuai kebutuhan c) Edukasi keluarga klien mengenai tindakan untuk mengontrol/meminimalkan gejala d) Jelaskan kepada keluarga klien tentang penanganan yang tepat saat anak demam maupun kejang e) Jelaskan kepada keluarga
klien
tentang
alasan
dibalik
manajemen/terapi/penanganan yang direkomendasikan 3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan napas 283. NOC: a) Frekuensi pernapasan dalam batas normal b) Tidak ada suara nafas tambahan c) Irama pernafasan dala batas normal d) Kedalaman inspirasi normal 284. NIC: a) Ukur tanda-tanda vital b) Monitor kecepatan, irma, kedalaman dan kesulitan bernafas c) Bersihkan mulut/ hidung dan sekresi trakea dengan tepat d) Pertahankan kepatenan jalan nafas e) letakkan klien pada posisi miring dan permukaan datar f) Berikan terapi oksigen sesuai instruksi dari dokter 4) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan penurunan oksigen darah ke otak 285. NOC: 286. Tanda-tanda vital dalam rentang normal, tidak ada tanda-tanda peningkatan intrakranial, saturasi oksigen dalam batas normal, tidak terjadi kejang. 287. NIC: a) Monitor tanda-tanda vital: nadi, suhu dan respirasi b) Monitor status pernapasan: nilai ABG, tingkat oksimetri, kedalaman, laju pernafasan dan usaha (bernafas) c) Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologis d) Sesuaikan posisi kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral 33
e) Lakukan pemberian oksigen dengan dosis 3liter/menit atau sesuai dengan kebutuhan f) Anjurkan keluarga untuk memanggil perawat/dokter jika dirasa tanda akan terjadinya kejang g) Kolaborasi pemberian obat anti-konvulsan. 5) Risiko cedera berhubungan dengan disfungsi biokimia (hipertermi dan konvulsi) 288. NOC: 289. Klien terbebas dari cidera, pemicu kejang dapat dicegah 290. NIC: a) Sediakan tempat tidur yang rendah b) Gunakan penghalang tempat tidur yang kuat c) Jaga penghalang tempat tidur untuk tetap dinaikan d) Lakukan manajemen kejang dengan cara memandu gerakan klien untuk mencegah terjadinya cidera e) Anjurkan keluarga untuk tetap disisi pasien selama pasien mengalami kejang f) Berikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai potensial dari faktor risiko C. EPILEPSI 1. Definisi 291.
Bangkitan epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai
dengan gangguan otak sementara yang bersifat paroksismal yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang episodik, fenomena motorik yang abnormal, gangguan psikis, sensorik dan sistem otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak (Batticaca, 2008). 292. International League Against
Epilepsy
(ILAE)
tahun
2005,
mendefinisikan epilepsi secara konseptual sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah tanda dan gejala yang timbul sesaat akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan abnormal. 293. Definisi operasional epilepsi menurut ILAE tahun 2013 adalah penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai berikut : a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang berselang lebih dari 24 jam b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya kemungkinan bangkitan ulangan yang sama dengan resiko rekurensi setelah dua bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang timbul hingga 10 tahun ke depan. c. Adanya diagnosis sindrom epilepsi bangkitan refleks yaitu bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik. 34
2. Anatomi dan Fisiologi Jaringan saraf 294. Anatomi a. Neuron (sel saraf) 295. Merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan. Bagian-bagian neuron : 1) Badan sel (inti sel terdapat didalamnya) 2) Dendrit : menghantarkan impuls menuju badan sel 3) Akson : menghantarkan impuls keluar dari badan sel 296.
297. 298. 299. b. Sel penyokong 1) Neuroglia yang merupakan penyokong pada sistem saraf pusat & sel schwannpadasistem saraf tepi). Ada 4 sel neuroglia yaitu: a) Mikroglia, mempunyai sifat fagosit, bertugas untuk mencerna sisa-sisa jaringan ayng rusak b) Ependimal : berperan dalam produksi cairan serebrospinal. c) Astroglia atau astrosit : berfungsi sebagai barrier darah-otak, memperbaiki kerusakan jaringan neuron dan menjaga perubahan interstisial d) Oligodendroglia atau oligodendrosit :bertanggungjawab menghasilkan mielin pada SSP yg merupakan selubung neuron. 2) Sel schwan, berfungsi membentuk myelin dan neurolema saraf tepi c. Mielin 300. Merupakan suatu komplek sprotein lemak berwarna putih yang mengisolasi tonjolan saraf.Myelin menghalangi ion natrium dan kalium melintasi membran neuronal.Daerah yang tidak bermielin disebut nodus ranvier.Transmisi impuls pada saraf bermelin lebih cepat dari pada yang tak bermelin. 301. Fisiologi a. Transmisi sinaps 302. Neuron menyalurkan sinyal-sinyal saraf ke seluruh tubuh.Kejadian ini dikenal sebagai impuls saraf.Impuls saraf bersifat listrik di neuron dan bersifat kimia 35
di antara neuron.Secara anatomis, neuron-neuron tidak bersambungan satu dengan yang lalin. Tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan neuron yang lain atau dengan organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari satu neuron ke neuron yang lain atau efektor. Setiap sinaps harus melibatkan dua neuron, impuls saraf berjalan dari neuron prasinaps menuju neuron post sinaps.Sinaps bisa bersifat elektrik ntuk melakukan kontrak antar sel atau bersifat kimia dengan melibatkan neurotransmitter.Sinaps-sinaps listrik terletak di sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST) lebih sering terdapat di pusat otak, dan jarang ada pada SST.Sinaps kimia, jauh lebih dinamis dari sinaps listrik karena sel-sel tidak berpasangan.Suatu potensial aksi dapat dilakukan oleh sinaps listrik melalui jalan propaganda sel-sel selanjutnya.Tetapi pada sinap kimia, potensial aksi dapat muncul dengan melepaskan sejumlah neurotransmitter menuju neuron post simaps. b. Neurotransmiter 303. Merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron melepaskan satu neurontansmiter yang akan menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron. Dengan bantuan neurotransmitter neuron akan lebih mudah dalam menyalurkan impul, tergantung dari jenis neuron dan neurotransmitter. 304. (Muttaqin, 2008)
305. 3. Klasifikasi 36
306.
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindrom epilepsi.Klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi dibuat berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram sedangkan klasifikasi sindroma epilepsi dibuat
berdasarkan
faktor-faktor
tipe
bangkitan
(umum
atau
terlokalisasi),
etiologi(simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasiyang berhubungan dengan bangkitan. a. Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi menurut ILAE 1981 1) Bangkitan Umum a) b) c) d) e) f) g)
Absans (lena) Klonik Tonik Tonik klonik Atonik Mioklonik Tonik klonik
2) Bangkitan Parsial / Fokal a) Parsial sederhana (kesadaran baik) Motorik Sensorik Otonom Psikis
b) Parsial kompleks (kesadaran terganggu) Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran. Gangguan kesadaran saat awal serangan. c) Kejang umum sekunder Parsial sederhana menjadi tonik klonik. Parsial kompleks menjadi tonik klonik Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik. 3) Tidak terklasifikasi b. Untuk sindrom epilepsy menurut ILAE 1989 1. Fokal/partial (localized related) a) Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
Epilepsi benigna dengan
gelombang paku di daerah
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes (Rolandik Benigna) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital Primary Reading Epilepsy
b) Simptomatik (sekunder)
Kronik progresif parsial kontinua (kojenikow's Syndrome) Epilepsi lobus temporal Epilepsi lobus frontal Epilepsi lobus parietal 37
sentrotemporal
Epilepsi lobus oksipital
c) Kriptogenik 2. Epilepsi umum a) Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) Kejang neonatus familial benigna Kejang neonatus beningna Kejang epilepsi mioklonik pada bayi Epilepsi absans (lena) pada anak Epilepsiabsans(lena) pada remaja Epilepsi mioklonik pada remaja Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak b) Kriptogenik atau simptomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) Sindrom West (spasme infantil dan hipsaritmia) Sindrom Lennox-Gastaut Epilepsi mioklonik astatik Epilepsi absans mioklonik c) Simtomatis Etiologi nonspesifik Ensefalopati mioklonik neonatal Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression Sindrom ohtara Etiologi/sindrom spesifik (Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit
lain) Malformasi serebral Ganggguan metabolisme 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum a) Bangkitan umum dan fokal 1) 2) 3) 4)
Bangkitan neonatal Epilepsi miklonik berat pada bayi Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
b) Tanpa gambaran tegas fokal atau umum c) Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 1) Kejang demam 2) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia, hiperglikemi nonketotik 3) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik) 307. 4. Etiologi a. Idiopatik epilepsi.
38
308. Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum dengan penyebab yangtidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik. b. Simptomatik epilepsi 309. Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, misalnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. c. Kriptogenik epilepsi 310. Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. 311. (Sunaryo, 2007)
312. 5. Patofisiologi 313.
Bangkitan epilepsi terjadi akibat letupan depolarisasi abnormal neuron
(terjadi secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat) pada fokus epilepsidi korteks serebri.akibat belum dapat diungkapkan secara rinci. Beberapa faktor yang ikut berperan dalam hal ini adalah : a. Gangguan pada membrane sel neuron. Dalam keadaan normal sel membran neuron permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan ion natrium yang 39
rendah dalam sel. Padan keadaan dimana permeabilitas membran sel neuron terganggu terjadi ketidakseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi perubahan kadar ion dan perubahan kada potencial yang menyertainya b. Gangguan pada mekanisme presinap dan pascasinap. Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan depolarisasi, zat inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan keseimbangan ini dapat mengakibatkan bangkitan kejang. c. Gangguan/cedera pada sel glía yang berfungsi mengatur ion kalsium disekitar neuron dan terminal presinap. Akan mengakibatkan pemingkatan eksitabilitas sel neuron disekitarnya. Tingginya kadar ion kalsium ekstrasel dibanding intrasel dapat mendepolarisasi membran neuron. 314.
Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan kemungkinan: 1)
aktivitas ini tidak menjalar ke sekitar, melainkan terlokalisasi pasa kelompok neuron tersebut kemudian berhenti; 2) aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tidak melibatkan seluruh otak, menjumpai tahanan dan berhenti; 3) aktivitas menjalar ke seluruh otak kemudian berhenti. Pada keadaan 1 dan 2 terjadi bangkitan kejang parsial, sementara pada keadaan 3 mengakibatkan bangkitan kejang umum. Jenis bangkitan kejang bergantung pada letak serta fungsi sel neuron yang melepas muatan listrik berlebihan serta penjalarannya. Gangguan pada daerah motor di lobus frontalis mengakibatkan kontraksi otot somatis. Pada lobus parietalis dan oksipital mengakibatkan gangguan sensori. Kehilangan kesadaran terjadi bila gangguan pada batang otak dan thalamus. Bangkitan kejang tidak terjadi pada gangguan neuron di daerah serebelum, bagian bawah batang otak dan medula spinalis. Serangan kejang yang berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah selselotak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-selotak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita (Oktaviana, 2008). 315.
40
6. WOC 316. Penyebab idiopatik 317. Lesi strukturL di otak sekunder akibat trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah 318. 319. diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif 320. 321. G3 mekanisme presinap & G3 membran sel neuron 322. 323. pascasinap Ketidakseimbangan difusi Na & Ca Ketidakseimbangan eksitasi dan 324. inhibisi 325. Kejang 326. 327. 328. Parsial Umum 329. Sederhana 330. Mioklonik Kompleks Absans TonikAtonik Klonik 331. Lebih dari 15 menit Kesadaran Aktivitas Otot + 332. Risiko Cedera Refleks ↓ 333. G3 Peredaran Risiko Cedera Menelan↓ 334. Resiko Bersihan Darah Otak Hipoksia Serebral Jalan Napas Resiko Perubahan 335. Tidak Efektif Perfusi Jaringan Resiko Aspirasi 336. Serebral
41
7. Manifestasi Klinis 337. Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : a. Kejang parsial 338. Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum.Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik. 1) Kejang parsial sederhana 339.
Berlangsung + 30 detik.Tidak disertai gangguan atau
penurunan kesadaran. Selama serangan berlangsung penderita tetap sadar dan mampu untuk menjawab pertanyaan ataupun melaksanakan perintah dan kemudian penderita ingat akan apa yang terjadi selama serangan berlangsung. Serangan parsial sederhana dapat sebagai pendahulu serangan parsial kompleks, dalam hal tersebut serangan parsial sederhana dianggap sebagai “aura” (penanda akan adanya serangan epilepsi). Manifestasi klinis serangan parsial sederhana biasanya berhubungan dengan area otak tertentu yang terlibat, sehingga manifestasi klinisnya dapat sangat bervariasi, termasuk manifestasi motorik, sensorik, otonomik, dan psikis.Serangan motorik pada umumnya merupakan refleksi terlibatnya korteks motorik atausupplementary motor cortexdan menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas otot. Gerakan tonik (kaku leher, mata melirik ke satu arah) atau gerakan klonik (menyentak) merupakan gambaran klinis yang biasa terjadi. Gerakan abnormal dapat terbatas pada salah satu bagian tubuh atau menyebar ke otot-otot pada sisi yang sama ataupun pada kedua sisi (secondarygeneralization).Serangan
sensorik
sering
kali
muncul
sebagai
halusinasi atau ilusi yang melibatkan rasa sentuh (parestesi atau baal), penghiduan (menangkap bau yang aneh), pengecapan lidah ( rasa yang aneh atau abnormal), penglihatan (halusinasi visual berbentuk atau tidak berbentuk), dan pendengaran (suara gemuruh, mendering, musik, atau aneka suara).Serangan otonomik dapat menyebabkan perubahan pada kecepatan denyut jantung atau pernapasan, berkeringat, bulu roma berdiri, atau rasa aneh di dalam perut (misalnya ada kupu-kupu di dalam perut), dada atau kepala.Serangan psikis muncul dari sistem limbik dan area neokorteks pada lobus frontalis dan temporalis. Serangan psikis tersebut berdampak pada cara berpikir, berperasaan, dan menerima pengalaman. Manifestasi klinisnya dapat berupa rasa takut, cemas,
42
depresi,déjà vu jamais vu, dan fenomena disosiasi misalnyaaotoscopy(out of body experience) 2) Kejang parsial kompleks 340.
Terjadi penurunan kesadaran.Penderita mengalami gangguan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Penderita dapat tampak sadar, namun apabila diperiksa lebih dekat maka penderita tidak sadar akan lingkungannya, tidak dapat menjawab pertanyaan secara tepat, dan kemudian tidak dapat mengingat kembali tentang apa yang baru saja dialaminya. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem limbik.Sekitar 50% penderita terlebih dahulu mengalami aura (serangan parsial sederhana). Aura yang paling sering muncul adalah rasa takut, perasaan mual, perasaan aneh, gangguan visual unilateral, dan kedutan (twitching) fokal pada wajah atau jari-jari.Selama serangan parsial kompleks sering tampak adanya otomatisme sederhana atau kompleks (aktivitas motorik yang berulang-ulang, tanpa tujuan, tanpa arah, dan aneh). Sebagai contoh, gerakan mengunyah atau menelan berulang kali, berkecap-kecap, menarik-narik baju, berkomat-kamit. Ada juga serangan parsial kompleks yang tidak disertai otomatisme.Rata-rata serangan berlangsung selama satu sampai tiga menit. Sesudah serangan penderita tampak bingung, mengantuk, mengalami perubahan perilaku, dan lupa akan apa yang terjadi b. Kejang umum 341. Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun. 1) Kejang Absans (lena) 342. Serangan terjadi pada anak usia 4-14 tahun dan sering kali menghilang pada umur 18 tahun. Serangan berupa mata terbelalak dalam waktu singkat disertai gangguan kesadaran, mulai tanpa tanda peringatan dan berhenti secara mendadak dan kemudian penderita sadar kembali seperti sediakala dengan perhatian yang penuh.Pada jenisabsans sederhana penderita hanya tampak seperti melamun sejenak. Pada serangan ‘absans’ kompleks maka mata menatap jauh dan kosong disertai gerakan otomatik sederhana misalnya mata berkedip-kedip, kepala tertunduk atau gerakan mengunyah
Sejumlah penderita menunjukkan
gejala-gejala yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada penderita yang 43
mengalami serangan klonik ringan pada sudut mulut, mata anggota gerak. Serangan berlangsung 10-45 detik dan penderita tidak menyadari apa yang sedang terjadi (Harsono, 2001) Penderita mungkin mendapat satu atau dua kali serangan dalam sebulan, atau mungkin selama beberapa kali sehari. Serangan absans hampir selalu terjadi pada anak-anak, awitan sangat jarang pada usia diatas 20 tahun. Dapat hilang sesudah anak mencapai usia remaja, atau mungkin dapat pula diganti oleh epilepsi jenis lainnya, terutama jenis tonik-klonik (Price dan Wilson, 1995). Absans tidak khas awitan pada usia 1-7 tahun. Gejala hampir sama dengan Absans yang khas hanya saja penurunan kesadaran tidak dalam, serangan muncul dan menghilang secara bertahap. Sementara itu komponen tonik, klonik, dan atonik nampak lebih jelas. Epilepsi jenis ebsence tidak khas sering kali berhubungan dengan retardasi mental atau kerusakan susunan saraf pusat. 2) Kejang Atonik 343.
Serangan biasanya muncul oada usia 2-5 tahun dan berlangsung
10-60 detik dan ditandai dengan hilangnya kontrol postur tubuh sehingga kepala menunduk dan penderita jatuh ke lantai, tidak kehilangan kesadaran. 3) Kejang Mioklonik 344.
Serangan
bersifat
mendadak,
singkat,
berupa
kedutan
otot.Serangan sering muncul pada saat penderita jatuh tertidur. Mioklonus epileptik menyebabkan sentakan sinkron dan bilateral pada leher, bahu, lengan atas, tubuh dan tungkai atas. 4) Kejang Tonik-Klonik 345.
Sering disebut dengan kejang grand mal..Pada beberapa
penderita serangan didahului oleh aura (tanda sensorik) yang berbentuk halusinasi visual, penciuman, pendengaran, dan sensorik lainnya.Hilangnya kesadaran segera diikuti oleh jatuhnya ke tanah atau ke lantai.Pada tahap tonik, otot menjadi kaku dan kontraksi diafragma serta otot-otot dada dapat menimbulkan timbulnya epileptic cry.bola mata terputar ke atas atau melirik ke satu sisi dan lidah dapat tergigit.Rigiditas segera berganti menjadi gerakan klonik secara sinkron yang melibatkan kepala, wajah, lengan dan tungkai. Dapat pula terjadi perubahan otonomik berupa kenaikan tekanan darah, denyut jantung dan tekanan vesika urinaria, pupil menjadi midriasis, kulit sionatik dan berkeringat serta terjadi hipersalivasi Serangan tonik-klonik umum dapat terjadi pada segala 44
usia, namun paling sering terjadi pada umur 0-20 tahun. Serangan berlangsung selama 2-5 menit.Pascaserangan, penderita tampak mengantuk sekali selama beberapa menit sampai beberapa jam. Setelah sadar pernapasan kembali normal secara berangsur-angsur, penderita mengalami amnesia parsial dan kadangkadang ada keluhan nyeri kepala 5) Kejang Klonik 346.
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit. 6) Kejang Tonik 347.
Dicirikan oleh pengakuan bilateral secara mendadak pada
tubuh, lengan atau tungkai.Serangan berlangsung kurang dari 20 detik dan muncul lebih sering pada saat penderita tidur.Dijumpai terutama ada anak berusia muda, biasanya berhubungan dengan gangguan metabolik atau defisit neurologis.Sering kali muncul bersama-sama dengan serangan lainnya maupun berbagai sindrom epilepsi.serangan berlangsung selama 10-60 detik, singkat dan dapat diikuti oleh gejala pascaserangan (Harsono, 2001).
45
348.
8. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah tepi secara rutin 2) Pemeriksaan CSS (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, berdarah, xantokrom, jumlah sel, kadar protein, gula, NaCl (Batticaca, 2008). 3) Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. 4) Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” 349. (Sunaryo, 2007) b. Pemeriksaan EEG 350. Merupakan penunjang yang penting untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan sebaiknya. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan 46
kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi. perekaman EEG dilakukan secara berkala pada waktu sadar, dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat. EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi berbentuk epileptiform.(Dischargeepileptiform activity) (Sunaryo, 2007). c. Pemeriksaan Video-EEG 351. Dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Sunaryo, 2007). d. Pemeriksaan Radiologi 352. CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004) 353. Indikasi CT Scan kepala adalah: (Sunaryo, 2007) 1) Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan 2) 3) 4) 5) 6)
struktural di otak. Perubahan serangan kejang. Ada defisit neurologis fokal. Serangan kejang parsial. Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. Untuk persiapan operasi epilepsi. 354. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi
namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Sunaryo, 2007). e. Pemeriksaan Neuropsikologi 47
355. Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan 356. akan dilakukan
terapi
pembedahan.
Pemeriksaan
ini
khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Sunaryo, 2007) 9. Penatalaksanaan a. Tatalaksana fase akut /saat kejang 357. Pengelolaan pada fase akut bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya akan berhenti sendiri dan berlangsung singkat Pengelolaan pertama untuk serangan kejang ddengan pemberian antkonvulsan perrectal yaitudiazepam supp dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. 358. Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain : 1) Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan lain – lain). 2) Jangan pernah meninggalkan penderita. 3) Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak Get help
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada). 4) Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan. 5) Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai. 6) Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum, penahan lidah. 359. Setelah
kejang
selesai,
tetaplah
menemani
penderita.Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur. b. Pengobatan epilepsi 360. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya.Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah 48
atau dikontrol dengan obat- obatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu : c. Terapi medikamentosa 361. Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat.Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif.Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tandakeracunan obat.Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang. d. Terapi bedah 362. Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus epileptik yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus 1) Lobektomi temporal 2) Eksisi korteks ekstratemporal 3) Hemisferektomi 4) Callostomi e. Terapi nutrisi 363. Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak.Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1 Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg.Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obatantiepilepsi. 10. Asuhan Keperawatan 49
a. Pengkajian 1) Identitas klien dan penanggungjawab 364.
Pengkajian yang dilakukan meliputi identitas klien dan
penanggungjawabnya. Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat (Sunaryo, 2007). 2) Keluhan Utama 365.
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara (Sunaryo, 2007). 3) Riwayat Kesehatan a) Riwayat Kesehatan Sekarang 366.
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk
menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien.
Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan 50
atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Apakah sejak dari awal ada periode bebas serangan kejang ? Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
b) Riwayat Kesehatan Dahulu
Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya? Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”? Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia? Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam
kompleks 13 %. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? Atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama? Apakah ada riwayat tumor otak? Apakah ada riwayat stroke?
c) Riwayat Kesehatan Keluarga 367.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan
apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan 51
kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Sunaryo, 2007). 4) Pemeriksaan Fisik a) Sistem Persepsi dan Sensori 368.
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot
sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan
tersebut,
apakah
lokasi
atau
sifatnya
berubah
pada
satu
posisi/keduanya b) Sistem Persyarafan Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik,
klonik,
mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh
kelantai Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi
c) d) e) f) g) h) i)
kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea Sistem Integumen: adakah memar, luka gores Sistem Reproduksi Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin Pemeriksaan penunjang 369.
Gambaran EEG berupa gelombang spike, spike and slow wave, poly
spike and wave, 3 Hz spike and wave. MRI / CT SCAN bisa tampak adanya massa di lobus otak. Perubahan yang bermakna tidak spesifik pada tanda-tanda vital. Dapat terjadi perubahan tidak spesifik pada hasil laboratorium (Glukosa darah, BUN, Elektrolit, Pa O2, Pa CO2 termasuk hasil fungsi lumbal). b. Analisa Data 370. 371.
Data
No . 374. 375. 376. 1.
372.
Diagnosa
373.
Etiologi
378. 379.
Kejang
Keperawatan DS : DO :
377.
Ketidakefekti
fan bersihan jalan 52
a. Klien
baru nafas berhubungan
menggalami dan
kejang dengan spasme pada
penurunan jalan nafas, obstruksi
kesadaran trakeobronkial b. Klien tampak batuk c. Terdengar suara ronchi d. RR 28 X/ menit 385. 386. DS : 388. Resiko cidera 387. DO : 2. berhubungan dengan a. Terjadi penurunan resiko perubahan kesadaran b. Terjadi kejang tingkat kesadaran, gelisah, gerakan involunteer dan 396. 397. DS : 398. Orang tua 3. mengatakan tidak mengetahui bagaimana penangganan saat anaknya kejang 399. DO : -
kejang 400. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan
380. 381.
Kesadaran 382. 383. 384. Spasme jalan nafas 389. 390. 391. 392.
kejang 401.
Kejang Penurunan
Kesadaran 393. 394. 395. Gerakan involunteer 402. Kejang 403. 404. 405. Kurang
kurangnya informasi penatalaksanaan
Penurunan
informasi penatalaksanaan 406. 407. 408. Defisiensi pengetahuan 409. 410.
c. Diagnosa keperawatan 1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme pada jalan nafas, obstruksi trakeobronkial 2) Resiko cidera berhubungan dengan resiko perubahan tingkat kesadaran, gelisah, gerakan involunteer dan kejang 3) Defisiensi pengetahuan berhubungan
dengan
kurangnya
informasi
penatalaksanaan kejang d. Intervensi keperawatan 1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme pada jalan nafas, obstruksi trakeobronkial 411. NOC 412. Kepatenan jalan nafas 413. Kriteria hasil 414. Pencegahan aspirasi 53
415. Sistem pernafasan: pertukaran gas 416. Tanda-tanda vital dalam rentang normal 417. NIC a) Buka jalan nafas dengan teknik chin atau jaw thrust, sebagaimana mestinya b) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi c) Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir d) Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea, sebagaimana mestinya e) Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar dan batuk f) Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya g) Berikan terapi oksigen 2) Resiko cidera berhubungan dengan resiko perubahan tingkat kesadaran, gelisah, gerakan involunteer dan kejang 418. NOC a) Tidak terdapat kejadian jatuh b) Mengurangi resiko keparahan cidera fisik 419. Kriteria Hasil a) Kepuasan klien: keamanan b) Perilaku pencegahan jatuh c) Kontrol kejang sendiri 420. NIC a) Catat karakteristik kejang (misalnya keterlibatanan anggota tubuh, aktivitas motorik dan kejang progresif) b) Catat lama kejang c) Balikkan badan klien ke satu sisi d) Pandu gerak klien untuk mencegah terjadinya cidera e) Monitor arah kepala daan mata selama kejang f) Longgarkan pakaian g) Tetap disisi klien selama klien mengalami kejang h) Monitor status neurologis dan tanda-tanda vital i) Monitor durasi peroiode ketidaksadaran dan karakteristiknya j) Orientasikan pasien kembali setelah kejang 3) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi
penatalaksanaan kejang 421. NOC 422. Peningkatan tingkat pengetahuan 423. Kriteria Hasil a) Prosedur tindakan b) Tujuan prosedur c) Langkah-langkah prosedur d) Pemakaian peralatanyang benar e) Tindakan yang sesuai untuk komplikasi 424. NIC a) Kaji tingkat pengetahuan keluarga pasien terkait dengan proses penyakit yang spesifik b) Jelaskan alasan dibalikmanajemen/terapi/penangananyang direkomendasikan 54
c) Informasikan pasien atau orang terdekat mengenai kapan dan dimana tindakan akan dilakukan d) Jelaskan prosedur/ penangganan e) Edukasai keluarga pasien mengenaitindakan untuk megkontrol/ meminimalkan efek samping penangganan dari penyakit, sesuai kebutuhan f) Edukasi keluarga pasien mengenai tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada petugas kesehatan, sesuai kebutuhan g) Berikan nomor telepon yang dapat dihubungi keluarga jika terjadi komplikasi h) Dukung informasi yang diberikan tenaga kesehatan lain a)
55
425. 426.
BAB III
APLIKASI KASUS
A. Contoh Kasus 427. An.R usia 9 bulan dibawa ke Rumah Sakit oleh pamannya dengan keluhan panas tinggi. Sehari sebelum MRS anak demam, tidak muntah, tidak batuk dan tidak pilek. Dan telah diberikan terapi parasetamol sirup oleh orang tua nya ½ sendok teh namun tetep saja demam masih tinggi. Saat tiba di UGD RS An.R mengalami kejang selama 2 menit. Dari Pengkajian keluarga mengatakan mempunyai riwayat kejang demam pada Ayah. Sewaktu ayah berumur 1 tahun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil: Suhu:39oC, RR: 33x/menit, nadi: 124x/menit, TB:77cm, BB:8Kg, klien tampak batuk, terdengar suara ronchi. Diagnosa Medis : Febril Convulsi. 428. Ibu mengatakan bahwa anaknya yang sakit saat ini di guna guna oleh orang yang tidak suka dengan keluarganya dan sempat membawa anak kedukun daerah tempat tinggalnya dan mengompreskan bunga setaman di dada anaknya. 429. B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Breathing RR : 33x/menit, cepat dan dangkal Wheezing/ronchie -/+ Anak batuk Terdapat retraksi interkosta b. Blood Tidak didapatkan pada pasien tanda-tanda syok dan sianosis. Pada monitor ECG
didapatkan data : SaO2 : 90 % Dari hasil laboratorium, didapatkan data pemeriksaan darah lengkap dalam batas
normal. Nadi : 124 kpm. Kulit teraba panas c. Brain GCS 456 S: 39,5oC Kejang di UGD selama 2 menit d. Bladder Dari hasil laboratorium, didapatkan data pemeriksaan darah dan urine lengkap dalam batas normal Tidak didapatkan adanya distensi/tahanan pada area kandung kemih e. Bowel Bising usus terdengar 5-15 kpm Distensi Abdomen (-) 56
f. Bone Hasil rontgen thorax normal 2. Daftar Masalah 430.
Data
431.
Masalah
433. DS : 435. Ketidakefe 434. DO : ktifan bersihan - Klien baru menggalami kejang dan jalan nafas penurunan kesadaran - RR : 33x/menit, cepat dan dangkal berhubungan - Wheezing/ronchie -/+ dengan spasme - Anak batuk - Terdapat retraksi interkosta pada jalan nafas,
432.
Penyebab
436. 437. 438. 439. 440. 441. 442.
Kejang
446. 447. 448. 449. 450. 451. 452.
Kejang
Penurunan Kesadaran Spasme jalan nafas
obstruksi 443. DS : 444. DO : - Terjadi penurunan kesadaran - Terjadi kejang
trakeobronkial 445. Resiko cidera berhubungan dengan resiko perubahan tingkat
Penurunan Kesadaran Gerakan involunteer
kesadaran, gelisah, gerakan involunteer dan 453. -
DS:
Ibu mengatakan bahwa anaknya
kejang 456. Defisiensi Pengetahuan
yang sakit ini di gunaguna oleh
457. Kejang 458. 459. 460. Kurang informasi
orang yang tidak suka dengan -
penatalaksanaan 461. 462. 463. Defisiensi
keluarganya Ibu sempat membawa anaknya ke tempat dukun di daerah tempat
-
pengetahuan
tinggalnya Ibu mengatakan tidak mengetahui
464. 465.
apa yang harus dilakukan saat anaknya saat kejang 454. 455.
DO: Terdapat bunga
setaman yang di kompreskan di dada 57
anak 466. C. Rencana Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme pada jalan nafas, obstruksi trakeobronkial 467. NOC 468. Kepatenan jalan nafas 469. NIC a. Buka jalan nafas dengan teknik chin atau jaw thrust, sebagaimana mestinya b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi c. Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir d. Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea, sebagaimana mestinya e. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar dan batuk f. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya 2. Resiko cidera berhubungan dengan resiko perubahan tingkat kesadaran, gelisah, gerakan involunteer dan kejang 470. NOC a. Tidak terdapat kejadian jatuh b. Mengurangi resiko keparahan cidera fisik 471. Kriteria Hasil a. Kepuasan klien: keamanan b. Perilaku pencegahan jatuh c. Kontrol kejang sendiri 472. NIC a. Catat karakteristik kejang (misalnya keterlibatanan anggota tubuh, aktivitas motorik dan kejang progresif) b. Catat lama kejang c. Balikkan badan klien ke satu sisi d. Pandu gerak klien untuk mencegah terjadinya cidera e. Monitor arah kepala daan mata selama kejang f. Longgarkan pakaian g. Tetap disisi klien selama klien mengalami kejang h. Monitor status neurologis dan tanda-tanda vital i. Monitor durasi peroiode ketidaksadaran dan karakteristiknya j. Orientasikan pasien kembali setelah kejang 3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi penatalaksanaan kejang 473. NOC 474. Peningkatan tingkat pengetahuan 475. NIC a. Kaji tingkat pengetahuan keluarga pasien terkait dengan proses penyakit yang spesifik b. Jelaskan alasan dibalikmanajemen/terapi/penangananyang direkomendasikan c. Informasikan pasien atau orang terdekat mengenai kapan dan dimana tindakan akan dilakukan 58
d. Jelaskan prosedur/ penangganan e. Edukasai keluarga pasien mengenaitindakan untuk megkontrol/ meminimalkan efek samping penangganan dari penyakit, sesuai kebutuhan f. Edukasi keluarga pasien mengenai tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada petugas kesehatan, sesuai kebutuhan g. Berikan nomor telepon yang dapat dihubungi keluarga jika terjadi komplikasi h. Dukung informasi yang diberikan tenaga kesehatan lain 476.
59
477. BAB IV 478. PENUTUP 479. A. Simpulan 480.
Hidrosefalus adalah keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinalis (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS. Sedangkan kejang demam adalah kejang yang muncul akibat demam pada bayi atau anak kecil yang diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Epilepsi sendiri secara konseptual sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. 481.
Dari ketiga penyakit Hidrosefalus, Kejang Demam, Epilepsi respon
pada anak pertama kali yaitu terjadinya peningkatan suhu tubuh (hipertermi) karena ketiga penyakit tersebut akibat dari infeksi. Penanganan pertama yang harus dilakukan yaitu menangani peningkatan suhu tubuh namun tidak meninggalkan respon lain yang terjadi pada anak. 482. B. Saran 483. Diharapkan dengan mengetahui definisi, gejala dan manifestasi klinik dari hidrosefalus, kejang demam, dan epilepsi pada anak, perawat selaku tenaga kesehatan yang professional dapat melakukan asuhan keperawatan dengan tepat. 484.
60
485.
DAFTAR PUSTAKA
486. Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. 487. Behrman. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson (15 ed., Vol. 3). (A. S. Wahab, Penerj.) Jakarta: EGC. 488. Glorya Bulechek et al. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC), 6 th Indonesian edition. Elsevier Singapore Pte Ltd 489.Harsono. (2001). Epilepsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 490. Judha, M., & Nazwar, H. (2011). Sistem persarafan dalam asuhan keperawatan Edisi 1. Yogjakarta. Gosyen Publishing. 491. Mansjoer,A., dkk. (2005). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas kedokteran UI 492.Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. 493.Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC. 494.Oktaviana, F. (2008). Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical application , 2, 4. 495.Riyadi, Sujono & Sukarmin. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogjakarta: Graha Ilmu 496. Sue Moorhead, et al. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Ed 5 thIndonesian Editon. Elsevier Singapore Pte Ltd 497. Sowden, C. L. (2002). Buku Saku Keperawatan Mosby's Pediatric Nursing Reference (3 ed.). (J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC. 498.Wong, Donna L dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Terjemahan oleh Andry Hartono, Sari Kurnianingsih dan Setiawan. Jakarta: EGC. 499.
61