ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) EPILEPSI NUZULUL ZULKARNAIN HAQ FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan
oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah konsep teori dan asuhan keperawatan yang tepat pada epilepsi?
1.3. Tujuan Umum Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat untuk klien dengan epilepsi.
1.4. Tujuan Khusus 1.4.1. Mahasiswa megetahui definisi Epilepsy. 1.4.2. Mahasiswa mengetahui etiologi Epilepsi. 1.4.3. Mahasiswa megetahui patofisiologi Epilepsy. 1.4.4. Mahasiswa mengetahui klasifikasi kejang pada Epilepsy. 1.4.5. Mahasiswa megetahui manifestasi klinis dan perilaku pada Epilepsy. 1.4.6. Mahasiswa megetahui pemeriksaan diagnostic pada Epilepsy. 1.4.7. Mahasiswa megetahui penatalaksanaannya Epilepsy 1.4.8. Mahasiswa megetahui pencegahan pada Epilepsy. 1.4.9. Mahasiswa mengetahui pengobatan pada Epilepsy. 1.4.10. Mahasiswa mengetahui prognosis pada Epilepsy. 1.4.11. Mengetahui Web of caution (WOC) pada Epilepsy. 1.4.12. Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat pada klien yang menderita Epilepsy.
1.5. Manfaat 1.5.1. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi Epilepsy. 1.5.2. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang etiologi Epilepsy. 1.5.3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang patofisiologi Epilepsy. 1.5.4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang klasifikasi kejang pada Epilepsy. 1.5.5. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang manifestasi klinis dan perilaku pada Epilepsy. 1.5.6. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pemeriksaan diagnostik Epilepsy. 1.5.7. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang penatalaksanaan Epilepsy. 1.5.8. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pencegahan Epilepsy. 1.5.9. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pengobatan Epilepsy. 1.5.10. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang prognosis Epilepsy. 1.5.11. Memberi pengetahuan tentang Web of caution (WOC) pada epilepsy 1.5.12. Memberi pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang tepat pada klien yang menderita epilepsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988). Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. 2.2. Etiologi Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) Tumor Otak Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anakanak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut: Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama. Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal Cedera lahir intrakranial Infeksi akut Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin) Malformasi kongenital
Anak (2- 12 th)
Gangguan genetic Idiopatik Infeksi akut Trauma
Remaja (12- 18 th)
Kejang demam Idiopatik Trauma Gejala putus obat dan alcohol
Dewasa Muda (18- 35 th)
Malformasi anteriovena Trauma Alkoholisme
Dewasa lanjut (> 35)
Tumor otak Tumor otak Penyakit serebrovaskular Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll ) Alkoholisme
2.3.Patofisiologi Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : 1)
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan. 3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA). 4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
2.4. Klasifikasi Kejang 2.4.1. Berdasarkan penyebabnya 1. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya 2. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya 2.4.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan 1. Epilepsi partial (lokal, fokal) 1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal Dengan gejala motorik - Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja - Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. - Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. - Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu - Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
-
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
-
Visual : terlihat cahaya
-
Auditoris : terdengar sesuatu
-
Olfaktoris : terhidu sesuatu
-
Gustatoris : terkecap sesuatu
-
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) -
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. -
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran. -
Hanya dengan penurunan kesadaran
-
Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik). Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
1. Epilepsi umum 1) Petit mal/ Lena (absence) Lena khas (tipical absence) Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak. - Hanya penurunan kesadaran - Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. - Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. - Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme - Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence) Dapat disertai: -
Gangguan tonus yang lebih jelas.
-
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal Mioklonik Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegalpegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
1. Epilepsi tak tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan b) Kelainan gambaran EEG c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar f)
Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat i)
Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j)
Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing l)
Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas b)
Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c)
Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
-
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
-
menilai fungsi hati dan ginjal
-
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
-
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan Manajemen Epilepsi : a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi b) Melakukan terapi simtomatik c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni: -
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
-
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
-
Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu. Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas. Cara menanggulangi kejang epilepsi : 1. Selama Kejang a)
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b)
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya. d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan. e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya. f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur. g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang a)
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten. c)
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d)
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e)
Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat. g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.8. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.9. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.11 Fenitoin (PHT) Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11 Karbamazepin (CBZ) Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11 Fenobarbital (PB) Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11 Asam valproat (VPA) VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron. VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11 Gabapentin (GBP) Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG) Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11 Topiramate (TPM) Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11 Tiagabine (TGB) Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya. Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
2.10.
Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya. Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi. Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic) b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara. c)
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d)
Riwayat penyakit dahulu:
-
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
-
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
-
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
-
Tumor Otak
-
Kelainan pembuluh darah
-
demam,
-
stroke
-
gangguan tidur
-
penggunaan obat
-
hiperventilasi
-
stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan. f)
Riwayat psikososial
-
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat). g)
Pemeriksaan fisik (ROS)
1)
B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2)
B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3)
B3 (brain): penurunan kesadaran
4)
B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5)
B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang h)
Analisis Data
Data DS:
Etiologi perubahan aktivitas listrik di otak
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, Keseimbangan terganggu ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol DS: sesak, gangguan nervus V, IX, X DO:apnea, cianosis
Masalah Keperawatan Resiko cedera
Bersihan jalan napas tidak efektif
lidah melemah menutup saluran trakea
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
Adanya obstruksi Terjadi depolarisasi berlebih
Gangguan persepsi sensori
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi DS: klien terlihat rendah diri Stigma masyarakat yang buruk Isolasi sosial saat berinteraksi dengan orang tentang penyakit epilepsi atau
lain
”ayan”
DO:menarik diri
Klien merasa rendah diri
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
Menarik diri Terjadi kejang epilepsi
Ansietas
Kurang pengetahuan tentang DO: takikardi, frekuensi napas kondisi penyakit cepat atau tidak teratur Bingung DS: pasien mengeluh sesak Terjadi bangkitan listrik di otak Ketidakefektifan pola napas DO: RR meningkat dan tidak teratur,
Menyebar ke daerah medula oblongata Mengganggu pusat respiratori
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas DO:takikardi, takipnea,
Mempengaruhi pola napas terjadi bangkitan listrik di otak Intoleransi aktivitas menyebar ke MO mengganggu pusat kardiovaskular takikardia CO menurun Suplai darah (O2) ke jaringan menurun metabolisme aerob menjadi anaerob ATP dari 38 menjadi 2 kelelahan
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak DO: penurunan kesadaran,
intoleransi aktifitas CO menurun Suplai darah ke otak berkurang Iskemia jaringan serebral (O2
Resiko penurunan perfusi serebral
penurunan kemampuan persepsi tidak adekuat) sensori, tidak ada reflek
3.2. 1)
Diagnosa Keperawatan Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva 3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat 4)
Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5)
Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6)
Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7)
Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8)
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3. 1)
Intervensi dan rasional Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Observasi:
Rasional
Identivikasi factor lingkungan yang
Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang Pasang penghalang tempat tidur pasien
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar kejang Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien sebelum kejang Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang
Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva Tujuan : jalan nafas menjadi efektif Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea Intervensi Mandiri
Rasional
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari menurunkan resiko aspirasi atau masuknya benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang sesuatu benda asing ke faring. lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Kolaborasi Berikan oksigen sesuai program terapi
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat Tujuan: mengurangi rendah diri pasien Kriteria hasil: -
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Observasi:
Rasional
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang factor berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien yang menyebabkan isolasi sosial pasien Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi Dukungan psikologis dan motivasi dapat pada pasien membuat pasien lebih percaya diri Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular
3.4.
Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
Evaluasi
1)
Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2)
Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder) 4)
Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal 6)
Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7)
Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8)
Status kesadaran pasien membaik
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
4.2. Saran Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35569-Kep%20NeurobehaviourAskep%20Epilepsi.html
BAB I TINJAUAN TEORITIS 1.
Definisi Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988). Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik
2.
Etiologi Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum 2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf 3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol 4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) 5. Tumor Otak 6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal Cedera lahir intrakranial Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin) Malformasi kongenital Gangguan genetic Anak (2- 12 th)
Idiopatik Infeksi akut Trauma Kejang demam
Remaja (12- 18 th)
Idiopatik Trauma Gejala putus obat dan alcohol Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th)
Trauma Alkoholisme Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35)
Tumor otak Penyakit serebrovaskular Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll ) Alkoholisme
3. Patofisiologi Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
4. Klasifikasi Kejang .
1. Berdasarkan penyebabnya
epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya .2.
Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkita
Epilepsi partial (lokal, fokal) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal Dengan gejala motorik - Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja - Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. - Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. - Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu - Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo). -
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
-
Visual : terlihat cahaya
-
Auditoris : terdengar sesuatu
-
Olfaktoris : terhidu sesuatu
-
Gustatoris : terkecap sesuatu
-
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) -
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
-
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. -
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
-
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
5. Manifestasi Klinis dan Perilaku
Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
Gigi geliginya terkancing
Hitam bola matanya berputar- putar
Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
6. Pemeriksaan Diagnostik
CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. -
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
-
menilai fungsi hati dan ginjal
-
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya -
infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian a)
Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya. Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi. Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic) b)
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan
kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara. c)
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d)
Riwayat penyakit dahulu:
-
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
-
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
-
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
-
Tumor Otak
-
Kelainan pembuluh darah
-
stroke
-
gangguan tidur
-
penggunaan obat
-
hiperventilasi
-
stress emosional
e)
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan
penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f)
Riwayat psikososial
-
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
-
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan
dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat)
B. Diagnosa 1). Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguankeseimbangan). 2). Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
C. Intervensi 1)
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh Intervensi
Rasional
Observasi: Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang Pantau status neurologis setiap 8 jam
Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri Jauhkan benda- benda yang dapat
Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien
Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar kejang Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien sebelum kejang Kolaborasi: Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak Edukasi: Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan sebagai permulaan terjadinya kejang. Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera pasien kejang
2. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat Tujuan: mengurangi rendah diri pasien Kriteria hasil: -
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
Rasional
Observasi: Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi: Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok Memberikan kesempatan untuk mendapatkan penyokong, seperti yayasan epilepsi dan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi sebagainya. masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama. Edukasi: Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat kepada pasien mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien Memberi informasi pada keluarga dan teman Menghilangkan stigma buruk terhadap dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi menular dapat menular).
PENUTUP
A. Kesimpulan Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik)
B. Saran Dosen; kiranya setelah mahasiswa selesai melakukan persentase makalah ini, sebaiknya kembali dijelaskan agar mahasiswa lebih memahami. Mahasiswa: agar lebih aktif dalam forum diskusi.
http://codenurman.blogspot.com/2012/12/v-behaviorurldefaultvmlo_29.html
ASKEP EPILEPSI A.PENGERTIAN Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik B.KLASIFIKASI 1.Berdasarkan penyebabnya dapat dibagi : a.Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya. b.Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya 2.Berdasarkan letak focus epilepsy atau tipe bangkitan: Menurut klasifikasi Internasional Bangkitan Epilepsi (1981) a.Bangkitan parsial atau fokal (partial seizure) b.Bangkitan parsial sederhana (simple Partial) -Motorik -Sensorik -Otonom -Psikis c.Bangkitan partial komplek (disertai gangguan kesadaran) d.BAngkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum e.Bangkitan umum (Konvulsif atau non. Lonvulsif) f.Bangkitan yang tidak terklarifikasi C.ETIOLOGI Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada: 1.Trauma lahir, Asphyxia neonatorum 2.Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf 3.Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol 4.Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) 5.Tumor Otak 6.kelainan pembuluh darah D.PATOFISIOLOGI Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-jutaneron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafyang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neronneron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. E.TANDA DAN GEJALA a.Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan b.Kelainan gambaran EEG c.Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen d.Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebrala.CT Scan untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu seranganb.Elektroensefalogram(EEG) c.magnetik resonance imaging (MRI) d.kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. G. PENATALAKSANAAN 1)Medik •Pengobatan Kausal : Perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya tumor serebri,hematome sub dural kronik. Bila ya, perlu diobati dahulu. •Pengobatan Rumat : Pasien epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Di klinik saraf anak FKUI-RSCM Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas serangan, kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan. Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas serangan.Selama pengobatan harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan laboratorium secara berkala. Obat yang dipakai untuk epilepsi yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang 1.Fenobarbital, dosis 3-8 mg/kg BB/hari. 2.Diazepam, dosis 0,2 -0,5 mg/Kg BB/hari. 3.Diamox (asetazolamid); 10-90 mg/Kg BB/hari.
4.Dilantin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/hari. 5.Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg /Kg BB/hari. Bila menderita spasme infantil diberikan : 1.Prednison dosisnya 2-3 mg/Kg BB/hari. 2.Dexametasone, dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/hari. 3.Adrenokortikotropin, dosis 2-4 mg/Kg BB/hari. 2.keperawatan Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya bahaya akibat bangkitan epilepsi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi gangguan psikososial , kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
ASUHAN KEPERAWATAN I.PENGKAJIAN a.Riwayat kesehatan •riwayat keluarga dengan kejang •riwayat kejang demam •tumor intrakranial •trauma kepal terbuka, stroke b.riwayat kejang •berapa sering terjadi kejang •gambaran kejang seperti apa •apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal •dapa yang dilakuakn pasien setelah kejang c.riwayat penggunaan obat •anama obat yang dipakai •dosis obat •berapa kali penggunaan obat •kapan putus obat d.pemeriksaan fisik •tingkat kesadaran •abnormal posisi mata •perubahan pupil •garakan motorik •etingkah laku setelah kejang •apnea •cyanosis •saliva banyak •psikososial •usia •jenis kelamin
•pekerjaan •peran dalam keluarga •strategi koping yang digunakan •gaya hidup dan dukungan yang ada e.pengetahuan pasien dan keluarga •kondisi penyakit dan pengobatan •kondisi kronik •kemampuan membaca dan belajar f.pemeriksaan diagnostik •laboratorium •radiologi
II.DIAGNOSA KEPERAWATAN Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi. Resiko injury b/d aktivitas kejang Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat III.INTERVENSI KEPERAWATAN 1.Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi Intervensi: Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi. Lakukan penghisapan sesuai indikasi. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi 2.Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan). Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh Intervensi Rasional Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera •Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi
kejang •Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh •Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien •Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali •Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar •Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien Kolaborasi: •Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter •Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak Edukasi: •Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang. •Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyaki tepilepsi dalam masyarakat Tujuan: mengurangi rendah diri pasien Kriteria hasil: - adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar - menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarak Intervensi Rasional •Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien •Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien Mandiri •Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien •Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri Kolaborasi: •Kolaborasi dengan tim psikiater •Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri. Edukasi: •Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien •Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien •Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
http://ners-nerskeperawatan.blogspot.com/2011/05/askep-epilepsi.html
ASKEP EPILEPSI
I.
PENDAHULUAN Epilepsi atau penyakit ayan dikenal sebagai satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM). Penyakit ini cukup sering dijumpai dan bersifat menahun. Penderita akan menderita selama bertahun-tahun. Sekitar 0,5 – 1 % dari penduduk adalah penderita epilepsy (Lumbantobing, 1998).
II. DEFINISI Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik. Bangkitan epilepsy adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversible dengan berbagai etiologi (Tjahjadi, dkk, 1996). Pengkajian kondisi/kesan umum Epilepsy adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang ditandai dengan terjadinya kejang secara berulang. Dapat berkaitan dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan suddarth, 2000). Kejang adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang besifat sementara. Istilah epilepsy biasanya merupakan suatu kelaianan yang bersifat kronik yang timbul sebagai suatu bentuk kejang berulang (Hudak dan Gallo, 1996). III. ETIOLOGI 1. Idiopatik. 2. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri. - Trauma Lahir - Trauma Kepala (5-50%)
- Tumor Otak - Stroke - Cerebral Edema (bekuan darah pada otak) - Hypoxia - Keracunan - Gangguan Metabolik - Infeksi. (Meningitis)
PATOFISIOLOGI Mekanisme terjadinya serangan epilepsi ialah : -
Adanya focus yang bersifat hipersensitif (focus epilesi) dan timbulnya keadaan depolarisasi parsial di jaringan otak
-
Meningkatnya permeabilitas membran.
-
Meningkatnya senstitif terhadap asetilkolin, L-glutamate dan GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps Fokus epilepsy dapat menjalar ke tempat lain dengan lepasnya muatan listrik sehingga terjadi ekstasi, perubahan medan listrik dan penurunan ambang rangasang yang kemudian menimbulkan letupan listrik masal. Bila focus tidak menjalar kesekitarnya atau hanya menjalar sampai jarak tertentu atau tidak melibatkan seluruh otak, maka akan terjadi bangkitan epilepsy lokal (parsial). Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang lokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah
disekitarnya
atau
daerah
yang
lebih
jauh
letaknya
di
otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat
ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi). Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak semuanya dapat dipahami. Beberapa pemicu menyebabkan letupan abnormal mendadak stimulasi listrik, menganggu konduksi syaraf normal otak. Pada otak yang tidak rentan terhadap kejang, terdapat keseimbangan antar sinaptik eksitatori dan inhibitori yang mempengaruhi neuron postsinaptik. Pada otak yang rentan terhadap kejang, keseimbangan ini mengalami gangguan, menyebabkan pola ketidakseimbangan konduksi listrik yang disebut perpindahan depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini dapat terlihat baik ketika terdapat pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh inhibitori yang tidak mencukupi (Hudak dan Gallo, 1996). Ketidakseimbangan asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam jumlah yang berlebihan menimbulkan bangkitan kejang, sedangkan GABA menurunkan eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang.
IV. KLASIFIKASI INTERNASIONAL TENTANG KEJANG EPILEPSI (dikutip dari Hudak dan Gallo, 1996) I.
Kejang Parsial 1.
2.
3. II.
Parsial sederhana (kesadaran klien baik) 1.
Motorik
2.
Sensorik
3.
Otonomi
4.
Fisik
Parsial kompleks (kerusakan kesadaran) 1.
Parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
2.
Kerusakan kesadaran saat awitan
Kejang parsial generalisasi sekunder
Kejang Umum 1.
Non kejang
2.
Tonik-klonik umum
3.
Tonik
4.
Klonik
III.
5.
Mioklonik
6.
Atonik
Kejang Tidak terklasifikasi
Ditinjau dari penyebabnya, epilepsy dibagi menjadi 2, yaitu : 1.
Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. 2.
Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma. V. MANIFESTASI KLINIK Kejang Parsial Sederhana Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan. Kejang Parsial Kompleks Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu. Kejang Umum (kejang grand Mal) Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum) VI. FASE SERANGAN KEJANG
1. Fase Prodromal Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam rasa (mood), tingkah laku 2. Fase Aura Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan, pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu. 3. Fase Iktal Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal. Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus spinkter ani meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi, lidah resiko tergigit, kesadaran menurun. 4. Fase Post Iktal Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit kepala, nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri. STATUS EPILEPTIKUS Serangan kejang yang terjadi berulang, merupakan keadaan darurat. Berakibat kerusakan otak permanen, dapat disebabkan karena : peningkatan suhu yang tinggi, penghentian obat epileptik, kurang tidur, intoksikasi obat, trauma otak, infeksi otak.
VII.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Elektroensefalografi (EEG) membantu dalam mengklasifikasikan tipe kejang. 2.
CT Scan untuk mendeteksi lesi, abnormalitas fokal, abnormalitas vaskuler cerebral, dan perubahan degeneratif serebral.
VIII.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan epilepsy direncanakan sesuai dengan program jangka panjang dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien. Tujuan dari pengobatan adalah untuk menghentikan kejang sesegera mungkin, untuk menjamin oksigenasi serebral yang adekuat, dan untuk mempertahankan klien dalam status bebas kejang.
Pengobatan Farmakologis 1. Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal. 2.
Pengobatan anti konvulsan utama termasuk karbamazepin, primidon, fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.
3.
Lakukan pemeriksaan fisik secara periodic dan pemeriksaan laboratorium untuk klien yang mendapatkan obat yang diketahui mempunyai efek samping toksik.
4.
Cegah terjadinya hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase gusi teratur untuk klien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).
5. Pembedahan 1.
Diindikasikan bila epilepsy diakibatkan oleh tumor intrakranial, abses, kista, atau anomaly vaskuler.
2. Pengangkatan secara pembedahan pada focus epileptogenik dilakukan untuk kejang yang berasal dari area otak yang terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa menghasilkan kelainan neurologis yang signifikan.
IX. PROSES KEPERAWATAN I.
PENGKAJIAN
1. Pengkajian kondisi/kesan umum Kondisi umum Klien nampak sakit berat 2. Pengkajian kesadaran
) : velbal (V) : nyeri (P) : respon (U) : 3.
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya. klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat. klien tidak berespon terhadap respon nyeri. klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan. Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan : 1. 2. 3. 4.
Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal Breathing dan ventilasi Circulation dengan kontrol perdarahan Disability
1. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal. Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal : - Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas - Distres pernafasan - Adanya kemungkinan fraktur cervical Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut 2. Breathing Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu 3. Circulation Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan tidak sadar. 4. Disability Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang 5. Exposure Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera tambahan akibat kejang
4. Pengkajian sekunder a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran c.
Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
-
Riwayat kesehatan
-
Riwayat keluarga dengan kejang
-
Riwayat kejang demam
-
Tumor intrakranial
-
Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang : -
Bagaimana frekwensi kejang.
-
Gambaran kejang seperti apa
-
Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
-
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
-
Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
-
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. -
Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher Sakit kepala, leher terasa kaku
-
Thoraks Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
-
Ekstermitas Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
-
Eliminasi Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
-
Sistem pencernaan Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi adalah: 1.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, peningkatan sekresi mucus
2. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan kognitif,selama kejang atau kerusakan perlindungan diri. 3.
Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan pengungkapan tentang perubahan gaya hidup, takut penolakan; perasaan negative tentang tubuh
4.
Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi
Rencana keperawatan No 1.
Dx. Keperawatan
Perencanaan
Tujuan
Intervensi Pola napas tidak efektif Mempertahankan pola Menurunkan Anjurkan klien untuk mengosongkan berhubungan dengan pernapasan efektif dengan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu masuknya kerusakan neuromuskuler, jalan napas paten atau alat lainnya jika fase aura terjadi peningkatan sekresi mucus dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal -
-
Meningkatka Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala mencegah menyumba selama serangan kejang Untuk memf Tanggalkan pakaian pada daerah leher, Mencegah dada, dan abdomen memfasilit Masukkan spatel lidah/ jalan napas penghisapa buatan atau gulungan benda lunak sesuai buatan setelah me indikasi jika pasien tidak dapa lidah yang
-
Dapat menu Lakukan penghisapan sesuai indikasi sebagai ak menurun terhadap Berikan tambahan oksigen/ ventilasi serangan k manual sesuai kebutuhan pada fase posiktal
2.
Resiko tinggi injuri b.d Mengurangi resiko injuriperubahann kesadaran , pada pasien kerusakan kognitif,selama kejang atau kerusakan
Menurunk asfiksia
Muncul berkepanja membutuh mekanik
Siapkan/bantu melakukan intubasi jika ada indikasi Untuk mn Kaji karakteristik kejang tingkatan pasien intervensi
perlindungan diri.
-
Benda taj Jauhkan pasien dari benda benda tajam / mencedera membahayakan bagi pasien Dengan m Masukkan spatel lidah/jalan napas diantara r buatan atau gulungan benda lunak sesuai bawah, menggigit indikasi jalan nafa lancer
-
Obat anti k Kolaborasi dalam pemberian obat anti derajat kej sehingga kejang berkurang
-
3.
Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol ditandai dengan pengungkapan tentang perubahan gaya hidup, takut penolakan; perasaan negative tentang tubuh
Mengidentifikasi perasaan Reaksi yan - Diskusikan perasaan pasien mengenai dan metode untuk koping diagnostic, persepsi diri terrhadap individu dengan persepsi negative penanganan yang dilakukannya. pengalama pada diri sendiri penyakitny penerimaa -
Adanya kelu Anjurkan untuk mengungkapkan/ dan sanga mengekspresikan perasaannya implikasin datang dap untuk men
-
-
Memberik berespon Identifikasi/antisipasi kemungkinan masalah d reaksi orang pada keadaan penyakitnya. control Anjurkan klien untuk tidak merahasiakan dihadapi masalahnya
Memfokuska dapat Gali bersama pasien mengenai menghilan keberhasilan yang telah diperoleh atau kegagalan yang akan dicapai selanjutnya dan diri sendir mulai men kekuatan yang dimilikinya penyakitny
Pandangan terdekat da perasaan - Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. klien dan Bantu menyadari perasaan tersebut yang diter adalah normal, sedangkan merasa tersebut y bersalah dan menyalahkan diri sendiri membatasi optimal tidak ada gunanya
4.
Kurang pengetahuan keluarga tentan proses perjalanan penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi
Ansietas da menjalar pasien dap - Tekankan pentingnya orang terdekat negative untuk tetap dalam keadaan tenang lingkungan selama kejang pengetahuan keluarga - Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. pendidikan meningkat, keluarga faktor pen mengerti dengan proses seseorang penyakit epilepsy, keluarga - Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. klien tidak bertanya lagi untuk me tentang penyakit, informasi perawatan dan kondisi ketahui,seh klien. nantinya ak dengan keb Jelaskan pada keluarga klien tentang untuk menin penyakit kejang demam melalui penyuluhan. -
untuk me Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. informasi y
-
agar kelu Libatkan keluarga dalam setiap tindakan penanngan pada klien. waktu kl berikutnny
.
Evaluasi Evaluasi merupakan bagian akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Disamping itu evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk proses berikutnya. Pada kasus epilepsi evaluasi dilakukan atas tindakan yang dilakukan sesuai dengan diagnosa dan tujuan yang sudah ditetapkan. http://emmang-arwanur.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-gawat-darurat-pada.html
KONSEP DASAR
A. KONSEP MEDIS 1. Definisi Epilepsi adalah gejala kompleks dan banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang yang berulang. ( Smeltzer, 2002 ; 2003 ) Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala – gejala yang datang dalam serangan berulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel otak yang bersifat reverseble dengan berbagai etiologi ( Mansjoer, 2000 : 27 ) Epilepsi adalah kelainan kejang akibat pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf kontek serebral yang ditandai dengan serangan tiba – tiba terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, gangguan fenomena sensori ( Dengoes, 2000 : 259 ) Epilepsi adalah bangkitan kejang akibat pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel saraf pusat dimana ditandai dengan terganggunya fungsi otak ( Ngastiyah, 1997 : 293 ) Epilepsi adalah kelainan kejang akibat pelepasan muatan listrik yang berlebihan sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi otak
B. ETIOLOGI 1. Faktor fisiologis 2. Faktor biokimia
3. Faktor anatomis 4. Gabungan dari faktor fisiologis, biokimia dan anatomis ( Depkes, 1995 : 83 )
Penyebab dari epilepsi antara lain : 1. Trauma lahir 2. Asphixia neonatrum 3. Cidera kepala 4. Beberapa infeksi 5. Keracunan 6. Gangguan metabolisme dan nutrisi 7. Intoksikasi obat – obatan ( Smeltzer, 2002 : 2203 )
C. PATHOFISIOLOGI Gejala yang timbul akibat serangan epilepsi sebagaian besar otak mengalami kerusakan berat atau ringanya gangguan tersebut tergantung dari lokasi dan keadaan patologinya. Bila terjadi lesi pada bagian otak tengah, thalamus dan kontkes serebri kemungkinan bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebellum dan batang otak biasanya tidak mengakibatkan serangan epileptik.
Serangan epileptik terjadi karena adanya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di neuron – neuron di susunan saraf pusat yang terlokalisir pada neuron tersebut. Dalamnya gangguan keseimbangan antara proses aksesif atau eksitasi dan inhibisi pada interaksi neuron. Hal ini juga disebabkan gangguan pada sel neuron sendiri atau transmisi sinaptiknya. Transmisi sinaptiknya oleh neuro transmiter yang bersifat eksitasi. Inhibisi dalam keadaan gangguan keseimbangan akan mempengaruhi polarisasi sel dimana pada tingkat membran sel maka neuron epileptik ditandai oleh proses biokimia tertentu ; yaitu ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel mudah diaktifkan. Neuron hipersensitifitas dengan menurun sehingga mudah terangsang serta dapat menyebabkan kejang atau memungkinkan terjadinya polarisasi yang berlebihan atau hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi karena perbedaan potensial listrik lapisan intra sel dan ekstra sel Neurotransmiter yang bersifat inhibisi akan menimbulkan keadaan depolarisasi yang akan melepaskan muatan listrik secara berlebihan yaitu asetiolin, roradrenalin, dopamen, 5 hidroksitriptomin Penyebaran epileptik di neuron ke bagian otak lain terjadi oleh gangguan pada kelompok neuron inhibitor yang berfungsi menahan pengaruh neuron lain, sehingga terjadi sinkronisasi dan aktifikasi yang berulang – ulang terjadi perluasan sirkuit kortino kartikal melalui serabut asosiasi atau ke kontralateral malalui koposkolosom profeksi thalonokortikal difusi. Penyebaran ke seluruh ARAS sehingga klien kehilangan kesadaran atau gangguan pada formatio retikularis sehingga sistim motovis kehilangan kontrol normalnya dan menimbulkan kontraksi otot polos. ( Depkes, 1995 ; 83 )
D. MANIFESTASI KLINIS 1. Kehilangan kesadaran
2. Aktivitas Motorik a. Tonik klonik b. Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau c. Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot d. Kedipan kelopak mata e. Sentakan wajah f. Bibir mengecap – ecap 3. Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi 4. Fungsi pernafasan a. Takipnea b. Apnea c. Kesulitan bernafas d. Jalan nafas tersumbat ( Tucker, 1998 : 432 ) E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Elektrolit, tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang 2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan pengobatan 4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat 5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik 6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan 7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur 8. Electro ensefalogran ( EEG ) melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak 9. CT scan, mengidentifikasi letak lesi serebral, infark hematoma, edema serebral, trauma, abses, tumor dan dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras 10. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik ( Dongoes, 2000 : 202 )
F. KOMPLIKASI 1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang 2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )
G. PENATALAKSANAAN
1. Atasi penyebab dari kejang 2. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam seseorang ( Elizabeth, 2001 : 174 ) 3. Pengobatan -
Anti konvulson
-
Sedatif
-
Barbirorat
4. Diit -
Reguler
-
Katogenisi
5. Operasi -
Reseksi bagian yang mudah terangsang (Tucker, 1998 : 483 )
H. KONSEP KEPERAWATAN 1. Pengkajian data dasar
Data dasar adalah dasar untuk mengindividualisasikan rencana asuhan keperawatan, mengembangkan dan memperbaiki sepanjang waktu asuhan perawat untuk klien. Pengumpulan data harus berhubungan dengan masalah kesehatan tertentu dengan kata lain data pengkajian harus relevan ( Potter, 2005 : 144 ) Identitas atau biodata terdiri dari tinggi atau kesiapan psikis. Pendidikan untuk mengetahui wawasan dan pengetahuan, agama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, pekerjaan untuk mengetahui status sosial ekonomi dan alamat untuk mengetahui komunitasnya Riwayat keperawatan sekarang didapatkan dengan pengkajian dari penyakit saat ini, riwayat kesehatan keluarga. Pada pengkajian riwayat penyakit saat ini diperoleh dengan pengumpulan data yang penting dan berkaitan tentang awitan gejala. Perawat menentukan kepan gejala timbul, apakah gejala selalu timbul atau hilang dan timbul. Perawat juga menanyakan tentang durasi gejala. Pada bagian tentang riwayat penyakit sat ini perawat mencatatkan informasi spesifik seperti letak, intentitas dan kualitas gejala Riwayat kesehatan masa lalu diperoleh dengan pengkajian tentang riwayat masa lalu sehingga memberikan data tentang pengalaman perawatan kesehatan klien. Perawat mengkaji apakah klien dirawat dirumah sakit atau pernah menjalani operasi juga penting dalam merencanakan asuhan keperawatan adalah deskripsi tentang alergi termasuk alergi terhadap makanan, obat – obatan atau polutan. Juga terdapat pada format pengkajian. Perawat juga mengidentifikasi kebiasaan dan pola gaya hidup. Penggunaan tembakau, alkohol, kafein, obat – obatan atau medikasi yang secara rutin digunakan dapat membuat klien berisiko terhadap penyakit yang menyerang napas, paru – paru, jantung, sistem saraf, atau berfikir dengan membuat catatan tentang tipe kebiasaan juga frekuensi dan durasi penggunaan akan memberikan data yang penting
Pengkajian pada riwayat keluarga adalah untuk mendapatkan data tentanghubungan kekeluargaan langsung dan hubungan darah. Sasarannya adalah untuk menentukan apakah klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetik atau familial dan untuk mengidentifikasi area tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Riwayat keluarga juga memberikan informasi tentang struktur keluarga, interaksi dan fungsi yang mungkin berguna dalam merencanakan asuhan, keperawatan
( Potter, 2005 : 158 )
Pada pola pengkajian fungsional, penulis menggunakan pola pengkajian menurut Virginia Handerson karena teory keperawatan tersebut (Handerson, 1955 ) mencakup seluruh kebutuhan dasar manusia. Handerson ( 1964 ) mengidentifikasikan keperawatan sebagai membantu individu yang sakit dan yang sehat dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi terhadap kesehatan dan penyembuhannya dimana individu tersebut akan mampu mengerjakannya tanpa bantuan. Bila ia memiliki kekuatan, kemampuan dan kebutuhan. Dalam hal ini dilakukan agar dapat mengembalikan kembali kemandiriannya secepat mungkin ( Potter, 2005 : 159 ) Pengkajian fisik pada kasus ini difokuskan pada sistem persyarafan dan sistem neurologis bertanggung jawab terhadap banyak fungsi, termasuk stimulus sensori, organisasi proses berfikir, kontrol bicara dan penyimpanan memori. Kebutuhan dasar menurut Virgina Handerson memberikan kerangka kerja dalam melakukan asuhan keperawatan diantaranya : 1. Bernafas secara normal Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat adalah membantu memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta menggunakan bantal, alas dan sejenisnya sebagai alat pembantu klien agar dapat bernafas dengan kontrol dan kemampuan mendemonstrasikan serta menjelaskan pengaruhnya kepada
klien. Perawat harus waspada terhadap tanda – tanda obstruksi jalan nafas dan siap memberikan bantuan dalam keadaan tertentu 2. Kebutuhan akan Nutrisi Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai tinggi dan berat badan yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan, pemilihan dan penyediaan makanan, pendidikan, kesehatan akan berhasil apabila diperhatikan latar belakang kultural dan sosial klien. Untuk itu perawat harus mengerti kebiasaan, kepercayaan klien tentang nutrisi disamping nutrisi dan tumbuh kembang 3. Kebutuhan Eliminasi Perawatan dasarnya meliputi semua pengeluaran tubuh, perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan keadaan normalnya. Jarak waktu pengeluaran dan frekuensi pengeluaran yang meliputi keringat. Udara yang keluar saat bernafas, menstruasi, muntah, buang air besar atau kecil 4. Gerak dan Keseimbangan Tubuh Perawat harus mengetahui tentang prinsip – prinsip keseimbangan tubuh miring dan besar artinya perawat harus bisa memberikan rasa nyaman dalam semua posisi dan tidak membiarkan terbaring terlalu lama pada satu sisi. Perawat harus dapat melindungi pasiennya selama sakit dengan berhati – hati saat memindahkan dan mengangkat
5. Kebutuhan Istirahat Tidur Istirahat dan tidur tergantung pada relaksasi otot, untuk itu perawat harus mengetahui tentang pergerakan badan yang baik disamping itu juga dipengaruhi oleh emosi (stress) dimana stress
merupakan keadaan dimana aktivitas dan kreatifitas dianggap patologis apabila ketegangan dapat diatasi atau tak terkontrol dengan istirahat cukup. 6. Kebutuhan Berpakaian Perawatan pada dasarnya meliputi membantu klien memilih pakaian yang tersedia dan membantu urutan memakainya. Perawat tidak boleh memaksakan pada klien pakaian yang tak sesuai dan disukai klien hal tersebut dapat menghilangkan rasa kebebasan klien. 7. Mempertahankan Temperatur Tubuh atau Sirkulasi Perawat harus mengetahui kebutuhan fisiologi pasien dan bisa mendorong kearah tercapainya keadaaan normal maupun dengan mengubah temperatur kelembapan, pergerakan udara atau dengan menguatkan serta mengurangi aktivitasnya. Menu makanan dan pakaian yang dikenakan mempengaruhi dalam hal ini. 8. Kebutuhan Akan Personal Higine Klien harus menyediakan fasilitas dan bantuan peralatan sangat dibutuhkan untuk membersihkan kulit, rambut, kuku, hidung, mulut dan giginya konsep – konsep mengeanai kebersihan berbeda tiap klien tetapi tak perlu menurunkan hanya karena sakit. Sebaliknya standart kerendah harus ditingkatkan perawat harus bisa menjaga posisinya tetap bersih terlepas dari keadaan fisik jiwa yang kotor. 9. Kebutuhan Rasa Aman Dan Nyaman Dalam keadaan sehat setiap orang bebas mengontrol keadaan sekelilingnya atau mengubah keadaan itu bila beranggapan sudah tak cocok lagi jiwa sakit sikap tersebut tidak dapat dilakukan ketidaktahuan dapat menimbulkan kekawatiran yang tak perlu baru dalam keadaan sehat atau sakit. Seorang klien mungkin mempunyai pantangan yang tak diketahui dan petugas kesehatan, kasta, adat istiadat
kepercayaan dari agama mempengaruhi peraturan dasarnya meliputi melindungi klien dari trauma dan bahaya yang timbul. 10. Berkomunikasi Dengan Orang Lain Dan Mengekspresikan Emosi, Keinginan Rasa Takut Dan Pendapat Keinginan rasa takut dan pendapat dalam keadaan sehat tiap bersikap emosi tampan pada ekpresi fisik bertambah, cepatnya denyut jantun, pernafasan atau muka yang mendadak merah dinterprestaikan sebagai pernyataan jiwa atau emesi. Perawat mempunyai tugas yang kompleks baik bersifat pribadi maupun yang mengarahkan keseluruhan personalitas dalam memberi bantuan kepada klien. Perawat harus menterjemahkan dalam hubungan klien dengan temperatur dalam memasukan kesehatannya tugas terberat perawat adalah membuat klien mengerti dirinya sendiri, mengerti perubahan sikap yang memperburuk kesehatan dan menerima keadaan yang tidak dapat diubah, menciptakan lingkunagan yang teraupetik sangat membantu dalam hal ini. 11. Kebutuhan Spritual Dalam memberiakn perawatan dalam situasi apapun kebutuhan spritual klien harus dicermati dan perawatan harus membantu dalam pemenuhan kebutuhan itu. Apabila sewaktu sehat melakukan ibadah agama merupakan perintah yang penting bagi seseorang maka saat sakit hal ini menjadi lebih penting perawat, petugas keshatan lain 12. Kebutuhan Bekerja Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap interprestasi terhadap kebutuhanklien sangat penting rasa keberatan terhadap therapy bedrest didasarkan pada meningkatnya perasaan tak berguna karena tidak aktif 13. Kebutuhan Bermain dan Rekreasi
Seringkali keadaan sakit menyebabkan seorang kehilangan kesepakatan meningkat variasi dan udara segar serta rekreasi, untuk itu perlu dipilihkan beberapa aktivitas yang sangat dipengaruhi oleh jenis kreatifitas, umur,kecerdasan dan pengalaman serta selera klien kondisi dan keadaan penyakitnya. 14. Kebutuhan Belajar Bimbingan latihan atau pendidikan merupakan bagian dari pelayanan dasar. Fungsi perawat adalah membantu klien belajar dalam mendorong usaha penyembuhan dan meningkatkan kesehatan serta memperkuat dan mengikuti rencana therapy yang diberikan pembimbing dapat dilakukan setiap resiko saat klien perawat memberikan asuhan Pengkajian fungsi neurologis dapat menghabisakan banyak waktu. Perawat yang efesiensi mengintegrasikan pemeriksaan neurologis dengan bagian pemeriksaan fisik lainnya sebagai contoh fungsi saraf cranial dapat diuji ketika survei kepala dan leher status emosi dan mental diobservasi pada saat data riwayat keperawatan dikumpulkan. Riwayat keperawatan untuk mengkaji sistem neurologis misalnya dengan menentukan apakah klien mengkonsumsi analgesik, tarutama apakah klien mempunyai riwayat kejang , skrining klien untuk menentukan adanya sakit kepala terutama pusing didiskusikan dengan anggota keluarga tentang adanya perubahan perilaku, kaji klien untuk adanya riwayat perubahan pada sistem penginderaan serta tinjau riwayat masa lalu untuk adanya cedera kepala ( Potter, 2005 ; 916 ). Pengkajian fisik meliputi pemeriksan keadaan umum meliputi memeriksa adanya keluhan pada kulit, bentuk tulang, kekenyataan otot, mengukur tanda-tanda vital untuk tubuh juga inspeksi gerakan – gerakan abnormal seperti fasikuli, mioclonic dll. Selanjutnya adalah pengkajian tes fungsi cerebral yang meliputi : pemeriksaan keadaan, omentasi baik tempat, waktu, daya ingat, bicara. Tes fungsi cerebral yang meliputi pengakajian secara nervus 1 – 12 nervus selanjutnya tes fungsi motorik dan fungsi
cerebellum, tes fungsi sensori, tes fungsi reflek yang meliputi reflek fisiologis, reflek abdominal dan reflek dinal, reflek bulbocavernosa yang terakhir terangsang meningkat. ( Depkes, 1995 ; 16-27 ) Pada pengkajian fisik juga dapat ditemukan data – data lain diantaranya : 1. Aktivitas atau istirahat
jala
:
keletihan, kelemahan, umur , keterbatasan dalam beraktivitas Tanda
:
perubahan tonus otot, kontraksi otot atau sekelompok otot
:
Hipertensi, peningkatan nadi,sianosis
2. Sirkulasi Gejala
3. Integritas Ego
ala
:
Stresor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan Tanda
:
Pelebaran rentang respon emosional
4. Eliminasi Gejala
nda
: :
Inkontensia episodik
Peningkatan tekanan kandung kemih, otot relaksasi yang mengakibatkan interkontensia. 5. Makanan
Gejala
:
Sertifitas terhadap makanan,mual muntah.
Tanda
:
Kerusakan jaringan lunak atau gigi, hiperplasia.
6. Neorosensori Gejala
:
Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang yang berulang, pingsan,pusing, riwayat trauma kepala.
Tanda
:
Karakteristik kejang :
doumal
:
adanya perubahan pola pada rekreasi emosi atau respon afectif yang tak menentu.
umum
:
tonik klonik, kekakuan,penurunak kesadaran.
arsial
:
pasien tetap sadar dengan aksi mimpi, melamun, jalan – jalan.
piletilikus :
aktivitas kejang yang terjadi terus menerus dengan spontan gejala putus anti konvulsan tiba – tiba dan fenomena metabolik lain. 7. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala
:
Sakit kepala, nyeri otot,nyeri abnormal.
Tanda
:
Sikap dan tingkah laku perubahan tonus otot. 8. Pernafasan
Gejala
:
Gigi mengatup,siasonis pernapasan dan turun cepat, peningkatan sekresi mukus. 9. Keamanan
Gejala
:
Riwayat jatuh, fraktur
Tanda
:
Tauma pada jaringan lunak, penurunan kekuatan otot
10. Interaksi Sosial Gejala
:
Masalah dalam hubungan inter personal dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. ( Doenges, 2000; 259 ) b. Fokus Intervensi 1. Resiko tinnggi terhadap trauma, pengeentian pernapsan b/d kelemahan, kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau kecil, kesulitan emosional - Hasil yang diharapkan : a. Mampu mengungkapkan pemaham faktor yang menunjang kemunginan trauma b. Mendemonstrasikan perilaku perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko c. Mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan d. Mampu mempertahankan antara pengobatan sesuai indikasi e. Mampu mengidentifikasi tindakan yang diambil bila terjadi kejang - Intervensi 1.
Gali bersaka pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang Rasionalisasi : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang Pertahankanlah bantalan lunak pada penghalang temapt tidur Rasionalisasi : mengurangi trauma saat kejang selama pasien berada ditempat tidur
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi Rasionalisasi : membantu untuk melokalisasi daerah otot yang terkena
4.
Lakukan penilaian neurologis atau tanda – tanda vital setelah kejang Rasionalisasi : mencatat keadaan pewintal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal
5. Observasi munculnya tanda – tanda status epileptikus Rasionalisasi : untuk keadaan darurat yang mengamcamhidup yang dapat menyebabkan henti nafas, hipolsia, kerusakan pada otak atau sel saraf 2.
Pola nafas tidak efectif b/d merusakan neuromuskuler, obstruksi trakea bronkial kerusakan persepsi - Hasil yang diharapkan : Mampu mempertahankan pola nafas yang efectif dengan jalan nafas paten aspirasi dicegah - Intervensi :
a. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari makanan Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke faring b. Letakan pasien pada posisi miring, permukaan datar, meiringkan kepala secara serangan kejang Rasionalisasi : meningkatkan aliran sekret mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas c. Masukan spatel lidah sesuai indikasi Rasionalisasi : mencegah tergigitnya lidah dan menfasilitasi saat melakukan penghiasapan lendir. d. Lakukan penghisapan sesuai indiaksi Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi serebal sebagai akibat di sirkulasi yang menurun e. Berikan tambahan oksigen
Rasionalisasi : dapat menurunkan hipeksia serebal sebagai akibat di sirkulasi yang menurun 3. Gangguan harga diri, identitas pribadi b/d stigma berkenaan dengan kondisi,persepsi tentang tidak kekontrol - Hasil yang diharapkan : a. Mampu mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan persepsi negatif pada diri sendiri b. Mampu meningkatkan masa harga diri dalam hubungan diagnosis c.
Mampu mengungkapkan persepsi realitis dan penerimaan diri dalam perubahanperan atau gaya hidup - Intervensi :
a. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukan Rasionalisasi : reaksi yang ada bervariasi diantaranya individu dan pengetahuan atau pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi pengobatan b. Identifikasi kemungkinan reaksi orang lain pada keadaan penyakitnya Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk bevespen pada proses pemecahan masalah dan memberikan kesadaran kontrol terhadap situasi yang dihadapi c. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh Rasionalisasi : memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau untuk kesadaran terhdap diri sendiri d. Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada pasien
Rasionalisasi : Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi depresi tentang keterbatasan e. Tekankan pentingnya orang terdekat untuk tetap dalam keadaan terang selama kejang Rasionalisasi : ansietas dari pemberian asuhan dalam menjalankan dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi kognitif terhadap keadaan lingkungan 4.
Kurang pengetahuan b/d kurang pemanjaan kesalahan interprestasi informasi, keterbatasan kognitif kegagalan untuk berubah - Hasil yang diharapkan
a.
Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan yang dapat meningkatkan aktivitas kejang
b. mampu memulai perubahan perilaku gaya hidup sesuai indikasi c. menaati aturan obat yang diresepkan - Intervensi : a Jelaskan kembali tentang patofisiologi penyakitnya Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk mengklasifikasikan kesalahan persepsi dan keadaan penyakit b. Beri petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan Rasionalisasi : dapat menurunkan iritasi lambung, mual dan muntah c. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik
Rasionalisasi : aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu menurunkan faktor predisposisi yang meningkatkan perasaan sehat d. Tinjau kembali kebersihan mulut dan perawatan gigi Rasionalisasi : menurunkan resiko infeksi mulut dan hiperplsia digusi ( Donges, 2000;262 )
2. Clinical Pathway dan Fokus Intervensi a. Pathway Etiologi Faktor Psikologis, Biokimia, anatomis
+ G3 keseimbangan eksesif / eksistasi + G3 transmisi sinapsik
Mempengaruhi polavisasi Membran sel
+Ketidak stabilan membran saraf + Hypersersifikas neuron + terjadi polarisasi >>
Perbedaaan potensial listrik Intra dan ekstra sel
Ion tidak seimbang
Membran neuron mengalami depolariasi
Melepaskan muatan listrik >> ( Asetilolin, norodrenalin, dopomin 5 hidrox sitriptamin )
Serebellum Batang otak
Otak tengah, thallamus Kontak peribri
http://kacamatanugroho.blogspot.com/2012/06/askep-epilepsi.html
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN EPILEPSI
Oleh:
Siti maemunah Bela debionita Mutia ayu Nur putrid wulan
PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Makalah ini berjudul “ Asuhan Keperawatan Gamgguam Epilepsi “ dapat di selesaikan dengan baik, semata-mata atas rahmat Allah SWT. Oleh sebab itu penulis mengucapkan puji syukur kepada-nya. Makalah ini di buat untuk melengkapi kegiatan mata kuliah Sistem Neurobehaviour, di Prodi S1 Keperawatan, Fakultas Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penulisan makalah ini di mungkinkan adanya dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu , penulis mengucapkan terima kasih kepada : orang tua, ketua Prodi S1 Keperawatan, dan bapak dosen Sistem Neuroehaviour. Saat menyusun makalah ini penulis telah berupaya melakukan dengan sebaik-baiknya. Namun penulis menyadari adanya kekurangan atau kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kritik dan saran akan penulis terima dengan rasa syukur. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Wasalamu’Alaikum, Wr. Wb.
Tangerang, September 2012
Penulis,
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB II 2.1
Pengertian
2.2
Etiologi
2.3
Patofisiologi
2.4
Tanda dan gejala
2.5
JENIS DAN KLASIFIKASI
2.6
Penatalaksanaan
2.7
Pemeriksaan penunjang
2.8
Komplikasi
BAB III 3.1
Asuhan keperawatan
3.1.1
Pengkajian
3.1.2
Diagnosis keperawatan
3.1.3
Perencanaan keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik (Doenges, 2000). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiolog. Epilepsi grand mal merupakan istilah Perancis. Grand berarti besar, mal, sakit. Pada epilepsi ini penderita nyeri kepala, mendadak kehilangan kesadaran, terjatuh, kekurangan oksigen, kemudian kejang tonik klonik kurang labih selama 60 detik, air liur keluar melalui mulut, setelah sadar penderita mengeluh badan terasa pegal, relaksasi, hipertensi, bingung, lupa, dan mampu tertidur 2 jam (Markam, 1998).
2.2 Etiologi Menurut Mansjoer (2000), etiologi dari epilepsi yaitu : 1. Idiopatik 2. Aquiret adalah kerusakan otak keracunan obat metabolik 3. Trauma kepala 4. Tumor otak 5. Stroke 6. Cerebral edema 7. Hipoksia 8. Keracunan 9. Gangguan metabolik 10. Infeksi
2.3 Patofisiologi
Skema bab 2.1 patofisiologi Menurut para peneliti bahwa sebagian besar kejang epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh adalah yang terdapar di bagian otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.
2.4 Tanda dan gejala 1. Kejang umum Tonik gejala kontraksi otot, tungkai dan siku berlangsung kurang lebih 20 detik, dengan ditandai leher dan punggung melengkung, jeritan epilepsi selama kurang lebih 60 detik. Klonik gejala spasmus fleksi berselang, relaksasi, hipertensi berlangsung kurang lebih 40 detik, dengan ditandai midriasis, takikardi, hiperhidrosis, hipersalivasi. Pasca serangan gejala aktivitas otot terhenti ditandai dengan penderita sadar kembali, nyeri otot dan sakit kepala, penderita tertidur 1 sampai 2 jam. 2. Jenis parsial a) Sederhana dengan tidak terdapat gangguan kesadaran
b)
Complex dengan gangguan kesadaran.
2.5 JENIS DAN KLASIFIKASI 1. Grand mal (tonik klonik) Ditandai dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, hilang kesadaran, tonus otot meningkat fleksi maupun ekstensi, sentakan kejang klonik, lidah dapat tergigit, hipertensi, takikardi, berkeringat, dilatasi pupil, dan hipersalivasi, kemudian setelah serangan pasien dapat tertidur 1-2 jam, penderita lupa, mengantuk,dan bingung. 2. Petit mal Kehilangan kesadaran sesaat, penderita dapat melamun, apa yang akan dikerjakan klien akan terhenti, penderita lemah namun tidak sampai terjatuh. 3. Infatile spasme Terjadi pada usia 3 bulan sampai 2 tahun, kejang fleksor pada ekstermitas dan kepala, kejang terjadi hanya beberapa detik dan berulang, sebagian besar penderita terjadi retardasi mental. 4. Focal Terbagi atas tiga jenis : o Focal motor yaitu Lesi pada lobus frontal. o Focal sensorik yaitu lesi pada lobus parietal. o Focal psikomotor yaitu disfungsi lobus temporal. 2.6 Penatalaksanaan Dibagi menjadi 2 pengobatan: 1. Pengobatan kausal Penyebab perlu diselidki terlebih dahulu, apakah penderita penyakit yang aktif misalnya tumor serebri, hematoma sub dural kronik, bila benar perlu diobati terlebih dahulu penyebab kejang tersebut. 2. Pengobatan rutin. Penderita epilepsi diberikan obat anti konvulsif secara rutin, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun, kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan. Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2 - 4 tahun bebas serangan. Selama pengobatan harus di periksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan laboratrium secara berkala. Obat yang diberikan untuk kesemua jenis kejang yaitu - Fenobarbital, dosis 3-8 mg / kg BB / Hari - Diazepam, dosis 0,2-0,5 mg / kg BB / Hari - Diamox (asetazolamid) , dosis 10-90 mg / kg BB / Hari - Dilantin (difenilhidantoin), dosis 5-10 mg / kg BB / Hari - Mysolin (primidion), dosis 12-25 mg / kg BB / Hari Bila menderita spasme infatil diberikan obat yaitu o Prednison, dosis 2-3 mg / kg BB / Hari o Dexamethason, dosis 0,2-0,3 mg / kg BB / Hari o Adrenokotrikotropin, dosis 2-4 mg / kg BB / Hari 2.7 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi 2. Pemeriksaan EEG
Gambar bab 2.1 pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform discharge atau (epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
3. Pemeriksaan radiologis
Gambar bab 2.2 Foto tengkorak a.
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
b.
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. c. Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma dan hematoma.
2.8 Komplikasi Mengakibatkan kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak, dan mengakibatkan retardasi mental, dapat timbul akibat kejang yang berulang, dapat mengakibatkan timbulnya depresi dan cemas.
BAB III PEMAHASAN 3.1 Asuhan keperawatan Sumber teoritis yang ada pada klien epilepsi, didapatkan pengkajian berdasarkan dari sumber (Doenges, 2000). 3.1.1 3.1.2
Pengkajian Diagnosis keperawatan Diagnosa yang didapat berdasarkan sumber dari (Doenges, 2000) 1. Resiko tinggi terhadap trauma dan henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kelemahan, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil. 2. Gangguan harga diri,identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol, ditandai ketakutan, dan kurang kooperatif tindakan medis. 3. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, salah interpretasi informasi, kurang mengingat.
3.1.3
Perencanaan keperawatan Perencanaan yang didapatkan berdasarkan sumber dari (Doenges, 2000) 1. Resiko tinggi terhadap trauma dan henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kelemahan, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil. Intervensi Rasional Kaji pencetus munculnya kejang alkohol, berbagai obat, dan stimulasi lain (kurang tidur, lampu yang pada pasien terang, menonton televisi terlalu lama), dapat meningkatkan aktivitas otak yang selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya kejang.
pertahankan bantalan lunak yaitu pada mengurangi trauma saat kejang. penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah.
Jaga aktivitas klien setelah kejang meningkatkan keamanan pasien terjadi
Catat tipe dari aktivitas kejang membantu untuk melokalisasi pasien seperti lokasi, durasi, daerah otak yang terkena motorik, penurunan kesadaran, inkontinensia.
2. Bersihan jalan nafas dan pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan nuromuskuler obstruksi trakeobronkial. Intervensi )
Rasional
Anjurkan klien melepas penggunaan menurunkan resiko aspirasi benda-benda dari dalm mulut, contoh gigi masuknya benda asing ke faring
atau
palu dan lainnya.
).
Letakkan pasien dalam posisi miring, meningkatkan aliran drainase secret, permukaan datar, miringkan kepala mencegah lidah jatuh, dan menyumbat selama serangan kejang terjadi. jalan nafas.
Masukkan spatel lidah kedalam mulut untuk mencegah tergigitnya lidah dan membantu melakukan peghisapan lender, klien dan membantu membuka jalan nafas.
Lakukan suction sesuai indikasi
menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia
Kolaborasi dalam pemberian tambahan dapat menurunkan hipoksia serebral, akibat dari menurunnya oksigen akibat oksigen spasme vaskuler selama kejang.
3. Gangguan harga diri,identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol, ditandai ketakutan, dan kurang kooperatif tindakan medis. Intervensi
Rasional
Kaji perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukan terhadap pasien
reaksi yang ada diantara individu dan pegetahuan merupaka awal dari penerimaan klien terhadap tindakan medis.
identifikasi dan antisipasi kemungkinan memberikan kesempatan untuk berespon reaksi orang lain pada keadaan pada proses pemecahan masalah dan penyakitnya. memberikan kontrol terhadap situasi.
Kaji respon pasien terhadap keberhasilan yang diperoleh, atau yang akan dicapainya dari kekuatan yang dimilikinya.
memfokuskan pada aspek positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri dan pasien menerima penanganan terhadapnya.
diskusikan rujukan kepada psikoterapi kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri seseorang dan pasien, dengan pasien atau orang terdekat. orang terdekat, akibat mungkin munculnya stigma dari masyarakat.
4.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, salah interpretasi informasi, kurang mengingat. Intervensi Rasional Kaji tingkat pengetahuan pasien mengetahui sebatas kemampuan klien dalam memahami jenis penyakitnya agar lebih kooperatif terhadap jenis penyakitnya akan pemahaman klien pentingnya pencegahan,pengobatan dan sebagainya.
jelaskan kembali mengenai memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi patofisiologi atau prognosis kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang penyakit, pengobatan, serta diderita penenganan dalam jangka waktu panjang sesuai prosedur.
Tinjau kembali obat-obatan, dosis, menambah pemahaman klien terhadap kondisi petunjuk, serta penghentian kesehatan yang diderita. penggunaan obat-obatan sesuai instruksi dokter diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup,
serta latihan olah raga yang sedang dan teratur, serta hindari makanan adan minuman yang mengandung zat yang berbahaya.
http://perawatstatusku.blogspot.com/2012/09/asuhan-keperawatan-epilepsi.html