ANTALOGI PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO
AKU INGIN Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
PADA SUATU HARI NANTI
pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari
DALAM BIS langit di kaca jendela bergoyang terarah ke mana wajah di kaca jendela yang dahulu juga mengecil dalam pesona sebermula adalah kata baru perjalanan dari kota ke kota demikian cepat kita pun terperanjat waktu henti ia tiada
HATIKU SELEMBAR DAUN hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput; nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
KETIKA JARI-JARI BUNGA TERLUKA
Ketika Jari-jari bunga terluka mendadak terasa betapa sengit, cinta kita cahaya bagai kabut, kabut cahaya di langit menyisih awan hari ini di bumi meriap sepi yang purba ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata suatu pagi, di sayap kupu-kupu disayap warna, suara burung di ranting-ranting cuaca bulu-bulu cahaya betapa parah cinta kita mabuk berjalan diantara jerit bunga-bunga rekah…
Ketika Jari-jari bunga terbuka mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya di langit menyisih awan hari ini di bumi meriap sepi yang purba ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
BUAT NING
pasti datangkah semua yang ditunggu detik-detik berjajar pada mistar yang panjang barangkali tanpa salam terlebih dahulu januari mengeras di tembok itu juga lalu desember musim pun masak sebelum menyala cakrawala tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu
Pada Suatu Pagi Hari Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
SAJAK KECIL TENTANG CINTA
mencintai angin harus menjadi suit mencintai air harus menjadi ricik mencintai gunung harus menjadi terjal mencintai api harus menjadi jilat mencintai cakrawala harus menebas jarak mencintaiMu harus menjadi aku
DALAM DIRIKU dalam diriku mengalir sungai panjang darah namanya…
dalam diriku menggenang telaga darah sukma namanya…
dalam diriku meriak gelombang sukma hidup namanya…
dan karena hidup itu indah aku menangis sepuas-puasnya…
NOKTURNO
kubiarkan cahaya bintang memilikimu kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya gelisah tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu entah kapan kau bisa kutangkap…
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
HUTAN KELABU DALAM HUJAN Hutan kelabu dalam hujan Lalu kusebut kembali kau pun kekasihku Langit di mana berakhir setiap pandangan Bermula kepedihan, rindu itu
Temaram temasa padaku semata Memutih dari seribu warna Hujan senandung dalam hutan Lalu kelabu, mengabut nyanyian
SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan suaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
DI RESTORAN
Kita berdua saja, duduk Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput kau entah memesan apa. Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras kau entah memesan apa. Tapi kita berdua saja, duduk. Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu.
KETIKA KAU TAK ADA ketika kau tak ada, masih tajam seru jam dinding itu jendela tetap seperti matamu nafas langit pun dalam dan biru, hanya aku yang menjelma kata, mendidih, menafsirkanmu
kau mungkin jalan menikung-nikung itu yang menjulur dari mimpi, yang kini mesti kutempuh, sebelum sampai di muaramu sungguh tiadakah tempat berteduh disini?
kalau tak ada di antara jajaran cemara itu kepada Siapa meski kucari jejak nafasmu? magrib begitu deras, ada yang terhempas tapi ada goresan yang tak akan terkelupas
ANGIN 1 angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?" angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi -- sampai pagi tadi: ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa
ANGIN 2 Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman. Seekor ular lewat, menghindar. Lelaki itu masih tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
ANGIN 3 "Seandainya aku bukan ...... Tapi kau angin! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu. "Seandainya aku . . . ., ." Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga. "Seandainya ...... Tapi kau angin! Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.
AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padamu; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja -- perahumu biar aku yang menjaganya
DALAM SAKIT
waktu lonceng berbunyi percakapan merenda kita kembali menanti-nanti kau berbisik, siapa lagi akan tiba? siapa lagi menjemputmu berangkat berduka? di ruangan ini kita kait dalam gema di ruang malam hari merenda keadaan rahasia kita pun setia memulai percakapan kembali seakan abadi menanti-nanti lonceng berbunyi
SAJAK DESEMBER
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua ketika daun penanggalan gugur lewat tengah malam. kemudian kuhitung hutang-hutangku pada-Mu mendadak terasa: betapa miskinnya diriku; di luar hujan pun masih kudengar dari celah-celah jendela. ada yang terbaring di kursi letih sekali masih patutkah kuhitung segala milikku selembar celana dan selembar baju ketika kusebut berulang nama-Mu; taram temaram bayang, bianglala itu
Metamorfosis
ada yang sedang menanggalkan kata-kata yang satu demi satu mendudukkanmu di depan cermin dan membuatmu bertanya tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu menimbang-nimbang hari lahirmu mereka-reka sebab-sebab kematianmu ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu
ATAS KEMERDEKAAN
kita berkata : jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya : langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
KUTERKA GERIMIS
Kuterka gerimis mulai gugur Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
SAJAK NOPEMBER
Siapa yang akan berbicara untuk kami siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur yang berjejal bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan siapa yang akan berbicara atas nama kami yang berjejal dalam kubur bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami siapa yang bisa paham makna kehendak kami kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung : ialah Tanah Air kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus untuk pergi lebih dahulu apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik tanpa mengeluh serta putus asa di Solo dua orang dalam satu kuburan di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik tapi katakanlah kepada anak cucu kami; di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu bertimbun dalam satu lobang dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami terompet yang paling lantang ditiup dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu kami pun bangkit dari kubur memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka dan hari depan, sudah itu : mati orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu tanpa tahu siapa kami ini tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah dan sudah itu : mati siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah di ladang dan di laut, meskipun kalian tiada menyadari kehadiran kami siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata tanah air adalah sebuah landasan dan kami tak lain baja yang membara hancur oleh pukulan ialah kemerdekaan kemarin giliran kami tapi besok mesti tiba giliranmu kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak hidup dan mengerti makna kemerdekaan dan kami adalah baja yang membara di atas landasan dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan (mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak ingat untuk apa kamu pergi siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia ingat kenapa kami tak kembali begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan apa saja untuknya jawablah : ya begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa jawab lagi : ya sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari datang untuk memberkati anak-anak yang tidur sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan bahasa dan kehendak kami sudah kau dengarkah suara napas kami menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak tapi toh tak ada bedanya: kami telah memulainya dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya dan memang tak ada bedanya : kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan bagimu adalah awal pertaruhan awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi meski kami pernah kau kenal atau tidak meski kami pernah kau jumpa atau tidak kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung lantaran satu harapan yang pasti walau tak pernah kembali kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan mengeluarkan ampun kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini agar tak lagi mengembara arwah kami kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati kami telah mati lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami kami telah berkelahi; dan mati tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami dan mengatakannya kepada siapa pun tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami yang telah mati pagi sekali dan berjalan tanpa nama dan tanda dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah selalu dan selalu berkelahi di mana dan kapan saja biarkan kami bicara lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja hari ini biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar atas rasa bangga kami yang sederhana biarkanlah kami bicara hari ini lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
SELAMAT PAGI INDONESIA
selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu. aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian, dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah, biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perepuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu
Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”
Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi.
Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan — sempurna, sendiri. Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?
“Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.) apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.) “Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.” (Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.