Analisis Puisi “AKU” January 15, 2010 Chairil Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul Semangat yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943 ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas, Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu. Puisi tersebut tentu bukan Chairil ciptakan tanpa tujuan, hanya saja tujuan dari puisi tersebut yang belum diketahui oleh masyarakat. puisi Aku ini adalah buah hasil dari pencarian Chairil sebagai manusia perbatasan yang terombang-ambing diantara dua kutub sebagaimana yang dikatakan oleh Sastrowardoyo. Selain itu, puisi Aku ini adalah puisi p uisi Chairil Anwar yang paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya. Alasannya, sajak Aku bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ’binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayudayu. Puisi Aku dan Chairil Anwara adalah dua d ua sisi yang tak pernah bisa dilepaskan. Sebagaimana pengarangnya, puisi Aku ini juga mempunyai banyak sisi yang menarik untuk diketahui lebih dalam. Oleh karena itu, penulis memilih judul tersebut untuk mengetahui lebih lanjut tentang puisi Aku dan keterkaitannya dengan Chairil Anwar sebagai pengarang dari puisi tersebut. Berikut ini adalah puisi “AKU” karya agung Chairil Anwar : AKU Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. Unsur Ekstrinsik dalam Puisi Aku Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri. (2) Kalau sampai waktuku Waktu yang dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan
yang dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut. (3) ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Pada kutipan (3) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembuicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (4). (4) Tidak juga kau Kau yang dimaksud dalam kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk. Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya. (5) Tidak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang. Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya. 6) Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap
Chairik yang tak mau mengalah. Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya. (7) Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya. Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baikburuknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Amir Hamzah: KUSANGKA Kusangka cempaka kembang setangkai Rupanya melur telah diseri….. Hatiku remuk mengenangkan ini Wasangka dan was-was silih berganti. Kuharap cempaka baharu kembang Belum tahu sinar matahari….. Rupanya teratai patah kelopak Dihinggapi kumbang berpuluh kali. Kupohonkan cempaka Harum mula terserak….. Melati yang ada
Pandai tergelak….. Mimpiku seroja terapung di paya Teratai putih awan angkasa….. Rupanya mawar mengandung lumpur Kaca piring bunga renungan….. Igauanku subuh, impianku malam Kuntum cempaka putih bersih….. Kulihat kumbang keliling berlagu Kelopakmu terbuka menerima cembu. Kusangkau hauri bertudung lingkup Bulumata menyangga panas Asmara Rupanya melati jangan dipetik Kalau dipetik menguku segera. (Pradopo, 2002:232-233) Chairil Anwar: PENERIMAAN Kalau mau kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kalau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. (Pradopo, 2002: 233) Puisi/sajak Chairil Anwar itu merupakan penyimpangan atau penolakan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Demikian halnya dengan pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistis Chairil Anwar. Keenam bait sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforisalegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati. Berdasarkan keenam bait itu dapat disimpulkan bahwa penyair (si aku) mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh pemuda-pemuda lain. Hal ini tampak pada bait /rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali / kulihat kumbang keliling berlagu / kelopakmu terbuka menerima cembu /. Chairil Anwar dalam menanggapi gadis (wanita) yang sudah tidak murni lagi, sangat berlawanan dengan sikap Amir Hamzah. Ia tidak berpandangan realistis. Si ‘aku’ mau menerima kembali wanitanya (kekasihnya, isterinya) yang barangkali telah menyeleweng, meninggalkan si aku’ atau telah berpacaran dengan laki-laki lain, asal si wanita kembali kepada si aku hanya untuk si ‘aku’ secara mutlak. Chairil Anwar mengekpresikan gagasannya secara padat. Untuk memberikan tekanan pentingnya inti persoalan, bait pertama diulang dengan bait kelima, tetapi dengan variasi yang menyatakan kemutlakan individualitas si ‘aku’. Dengan cara seperti itu, secara keseluruhan ekspresi menjadi padat dan tidak berlebih-lebihan. Dalam penggunaan bahasa Chairil Anwar juga masih sedikit romantik. Hal ini mengingatkan gaya sajak yang menjadi hipogramnya. Ia membandingkan wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni itu diumpamakan oleh Chairil Anwar sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi / bak kembang sari sudah terbagi / yang dekat persamaannya dengan Amir Hamzah: / rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali /. Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara keseluruhan Chairil Anwar mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Hal ini sesuai dengan sikapnya yang realistis (Pradopo, 2002: 232-235). Contoh análisis dan interpretasi puisi di atas hanyalah berupa contoh awal bagaimana sebuah puisi ditafsirkan. Tentu masih banyak model análisis puisi yang ditawarkan para
ahli. Namun, satu hal yang harus diingat, pemilihan model análisis harus disesuaikan dengan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh interpreter. Pemahaman awal tentang konsep dasar model análisis yang akan digunakan akan sangat membantu interpreter dalam menganalisis dan menginterpretasikan puisi tersebut.
Puisi-puisi Sutarji merupakan puisi inkonvensional, tidak seperti hanya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, maupun WS Rendra. Banyak kalangan siswa dan juga guru kesulitan dalam mengapresiasinya. Permasalahannya beberapa puisi Sutarji pernah muncul dalam soal-soal ujian nasional. Hal ini menimbulkan tuntutan adanya kemampuan untuk mengapresiasi puisi-puisinya, khususnya bagi para guru bahasa Indonesia, demikian pula para siswa. Diperlukan kemampuan analisis dan apresiasi, dan tidak ketinggalan wawasan yang luas terhadap wacana puisi di Indonesia. Banyak pendekatan maupun teori yang dapat digunakan dalam menganalisis memahami dan menganalisis puisi. Di antaranya strukturalisme (intrinsik dan ekstrinsik, lapis dalam dan lapis luar), sosiologi sastra, semiotik, pragmatisme, dan sebagainya. Khusus puisipuisi Sutarji perlu ada pertimbangan yang berbeda karena puisinya memang memiliki karakteristik yang berbeda. Apresiasi puisi terhadap puisi-puisi Sutarji perlu dilakukan karena beberapa kali puisinya dikeluarkan dalam soal ujian nasional. Dalam pembahasan oleh guru-guru di sekolah menengah terjadi silang pendapat karena tidak memiliki pijakan pendekatan dan teori yang tepat. Memang, apresiasi karya sastra (khususnya puisi) bisa berakibat polyinterpretable. Hasil apresiasi setiap orang bisa berbeda. Permasalahannya, dalam pembelajaran di sekolah hanya dibutuhkan satu kepastian jawaban dan menutup kemungkinan berbeda pendapat tergantung argumentasinya. Hal ini karena sudah tersedia pilihan jawaban dan harus dipilih satu yang paling tepat. Karena itu di sini kami mencoba menyajikan apresiasi beberapa puisi Sutarji dari aspek religiusitasnya. Pembahasan hanya dibatasi pada kumpulan puisi "O, Amuk, Kapak" (1981). Dalam kumpulan puisi ini berserak banyak puisi karya Sutarji. Beberapa di antaranya akan dianalisis khususnya yang mewakili dalam aspek religiusnya. Pengarang bisa saja menolak serta merta hasil analisis ini, namun yang harus dipahami kembali adalah pijakan karya sastra khususnya puisi itu polyinterpretable. a. Jadi
Puisi ini bertema pengakuan ketidakmutlakan manusia di bawah kekuasaan Tuhan. Tipografi puisi, penataan baris-baris dan kata-kata "tidak setiap ............ jadi .........." menunjukkan relatifitas hukum keniscayaan "jika .... maka ....." bagi manusia. Konklusi puisi jelas terlihat pada "memandang Kau, pada wajahku!". Sebagai sebuah simbol bahasa (semion), kata Kau mengacu pada "Tuhan". Karena itu bisa diartikan "kekuasaan Tuhan atasku". Puisi merupakan kristal jiwa dari pengarangnya. Pengalaman h idup yang berisi ungkapan pikiran dan perasaan pengarangnya terungkap dalam kata-kata yang kemudian melalui proses seleksi dan kontemplasi jadilah puisi. Bisa jadi penga rang puisi di atas telah mengalami dalam perjalanan hidupnya dan orang lain yang akhirnya membuat pengakuan akan ketidakmutlakan diri dan usahanya dalam kekuasaan Tuhan
Rusli marzuki Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain pu isi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah guga tan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.