Anestesiology
Anestesi Umum Intravena
Pada Kuretase
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada setiap pembedahan diperlukan upaya untuk menghilangkan nyeri. Keadaam itu disebut anestesia. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut juga perlu dihilangkan untuk mencptakan kondisi optimal. Kondisi optimal ini mencakup tiga unsur dasar yakni menghilangkan nyeri (anestesia), menghilnagkan kesadaran (hipnotik), dan relaksasi otot (Sjamsuhidayat et al., 2005).
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.
Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai risiko jauh lebih besar dari prosedur pembedahan itu sendiri, karena anestesi yang dalam akan mengancam nyawa pasien. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemilihan anestetikum yang memenuhi kriteria ideal, yaitu anestetikum yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman untuk sitem vital, serta mudah diaplikasikan (Miller, 2000).
Anestesi umum yang dinyatakan cukup aman dan sering digunakan untuk anjing adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di lapangan. Mengatasi kelemahan anestesi inhalasi dan untuk mengatasi permasalahan penggunaaan anestesi di lapangan, digunakan metode anestesi intravena total (total intraveous anesthesia, TIVA). Anestesi intravena total menggunakan anestetika secara intravena (IV) untuk induksi dan pemeliharaan anestesi (Miller,2010). Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot (Latief et al., 2010).
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal sehingga pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting dan membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan (Latief et al., 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi Umum
Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi.
Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu :
Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran
Anestesia : pasien bebas nyeri
Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
Teknik anestesi umum :
Anestesi umum intravena
Anestesi umum inhalasi
Anestesi imbang (Morgan et al., 2006).
Anestesi Umum Intravena
Anestesia intrvena adalah teknik anestesia dimana obat-obat anestesia diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot (Ting, 2007).
Indikasi Anestesi Intravena
Obat induksi anesthesia umum
Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
Obat tambahan anestesi regional
Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
Beberapa variasi anestesia intravena (Ratna dan Chandra, 2012).
Anestesia intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesia.
Indikasi :
Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler.
Kontraindikasi:
Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma
Pasien yang menderita hipertensi intrakranial
Pasien penderita glaukoma
Operasi intra okuler.
Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Indikasi :
Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal
Kontraindikasi :
Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.
Anestesia-analgesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin.
Indikasi:
Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi
Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal
Kontraindikasi :
Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala parkinson
Penderita penyakit paru obstruktif
Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.1,5
Jenis Obat Anestesi Intravena
Propofol (2,6 – diisopropylphenol)
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak-anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W (Morgan et al., 2006)
Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid) (Morgan et al., 2006)
Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif. Kelarutan lemak yang tinggi dari propofol menyebabkan onset kerjanya yang cepat yang hampir sama cepatnya dengan thiopental tersadar setelah pemberian dosis tunggal juga cepat akibat paruh waktu distribusinya yang sangat cepat (2-8 menit). Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi (rata - rata 30 – 45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot (Morgan et al., 2006).
Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35% (Morgan et al.,2006)
Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30% (Miller, 2000).
Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut (Miller, 2000).
Dosis dan penggunaan
Induksi : 1 sampai 2.5 mg/kg IV.
Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).
Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%
Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol (Goodman dan Gilman, 1985).
Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan "rapid acting non barbiturate general anesthesia" (Miller, 2000)
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena (Latief et al., 2010).
Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik (Morgan et al., 2006)
Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuscular dengan puncak level plasma dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskuler (Morgan et al., 2006).
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif (Miller, 2000).
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intracranial (Morgan et al., 2006).
Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan (Morgan et al., 2006):
Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:
Mimpi buruk
Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)
Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
20%-30% terjadi pada orang dewasa
Dewasa > anak-anak
Perempuan > laki-laki
Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah, halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll (Goodman dan Gilman,1985).
Thiopental
Berupa bubuk berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopos, asanya pashit, berbau seperti bawang putih. Thiopental dikemas dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan dilarutkan dalam akuabides sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg) (Sjamsuhidajat, 2005).
Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/KgBB dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri dan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain (Latief et al., 2010).
Mekanisme Kerja
Barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinaptik kompleks dari saraf dan pusat regulasi, yang terletak di batang otak yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmiter eksitator (seperti asetilkolin) dan meningkatkan transmisi neurotransmiter inhibitor (seperti asam γ-aminobutirik (GABA)) (Morgan et al., 2006).
Opioid
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan. Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang berlebihan (Hurford et al., 2002).
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung (Ting, 2007).
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah, kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal. Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin). Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari jantung (Ting, 2007).
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor yang berbeda sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek analgesia, depresi respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan miosis. Reseptor yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek negatif dari opioid (Ting, 2007).
Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine (demerol), fentanyl (efk 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil, alfentanil dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja.
DAFTAR PUSTAKA
F.S. Ratna, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care. Jakarta: FKUI RSCM
Goodman and Gilman's.1985. The pharmacological bases of therapeutics. 7th edition. New York : Mac Millian Publishing Co. Inc
Hurford, William E, et all. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 6th edition. Massachusetts General Hospital Dept. Of Anesthesia and Critical Care. Lippincott williams & Wilkins Publishers.
Latief et al., 2010. Petunjuk Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.Jakarta: FKUI.
Miller, Ronald D. 2000. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone. Elsevier: Espana
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange Medical Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York
Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at : http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 06 June 2013
11
[Type the company name]
[Type the document title]
[Type the document subtitle]