Anestesi pada Obestetri
BAB I PENDAHULUAN
Peredaan nyeri selama persalinan merupakan masalah yang unik. Awitan persalinan tidak dapat diduga dan mungkin diperlukan anestesi obstetri. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), serta American Society of Anesthesiologists (ASA) telah menerbitkan petunjuk tentang anestesi obstetri. Tiga hal esensial dalam meredakan nyeri obstetri adalah kemudahan, keamanan, dan dipertahankan homeostasis janin. Wanita yang mendapat analgesia spinal atau epidural dilakukan dengan sering mengkontrol tekanan darah, kadar anastetik, dan mengukur oksigenasi ibu dengan oksimeter nadi. Rasa takut dan ketidaktahuan akan menambah nyeri. Upaya untuk mengurangi ketegangan emosi dan kecemasan dapat mengurangi kebutuhan analgesia. Upaya tersebut adalah memberikan informasi dan edukasi antenatal mengenai proses melahirkan anak dan kehadiran pendamping (mis, suami, keluarga, dsb).
BAB II 1
Anestesi pada Obestetri
PEMBAHASAN
II.1. Perubahan fisiologi pada kehamilan Sistem pernapasan Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%. Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil. Sistem kardiovaskular Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin. Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state. Ginjal Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150% pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state pada saat 2
Anestesi pada Obestetri
kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron. Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun namun hal ini dianggap normal. Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai “normal”. Sistem gastrointestinal Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzimenzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung harus selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu makan terakhir. Sistem saraf pusat Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion). Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin. II.2. Teknik Anestesi Prinsip teknik anestesi harus memenuhi kriteria: 1. Sifat anelgesi yang cukup kuat 3
Anestesi pada Obestetri
2. Tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu 3. Toksisitas rendah aman terhadap ibu dan bayi 4. Tidak mendepresi janin 5. Relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi Rahim Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai berikut. 1. Adanya gangguan pengosongan lambung 2. Terkadang sulit dilakukan intubasi 3. Kebutuhan oksigen meningkat 4. Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia. Faktor resiko anestesi pada ibu hamil: 1. Kegemukan berlebihan 2. Edema berat atau anomali anatomis wajah dan leher 3. Gigi menonjol, mandibular kecil, atau kesulitan membuka mulut 4. Tubuh pendek, leher pendek, atau artritis leher 5. Tiroid membesar 6. Asma penyakit paru kronik 7. Penyakit jantung 8. Gangguan perdarahan 9. Pre-eklampsia berat 10. Riwayat mengalami komplikasi saat dianestesi 11. Komplikasi obstretri dan medis lain yang signifikan
II.2.1 Anestesi Lokal Macam-macam anestesi lokal a) Infiltrasi langsung di sekitar luka 4
Anestesi pada Obestetri
Inervasi saraf di sekitar perineum berasal dari nervus pudendus. Untuk luka perineum tingkat pertama dan kedua, cukup dilakukan infiltrasi lokal di sekitar lokasi jahitan luka. Bahan analgesia yang lazim dipergunakan adalah lidokain (2-3 ampul, untuk sisi kanan dan kiri). Selanjutnya ditunggu dua menit, dan jahitan terhadap luka episiotomi dapat dilakukan dengan aman dan tenang. b) Blok nervus pudendus Nervus pudendus menyarafi otot levator ani, dan otot perineum profunda serta superfisialis. Dengan memblok saraf pudendus, akan tercapai anestesi setempat sehingga memudahkan operator untuk melakukan reparasi terhadap perineum yang mengalami robekan. Teknik blok saraf pudendus:
Siapkan 10 cc larutan lidokain 0,5-1% untuk anestesia.
Tangan kanan dimasukkan kedalam vagina untuk mencapai spina iskiadika.
Jarum suntik ditusukkan sampai menembus ujung ligamentum sakrospinarium, tepat dibelakang spina iskiadika.
Kemudian jarum diarahkan agak ke inferolateralis, dilakukan aspirasi, untuk menghindarkan masuknya obat anestesi lokal ke dalam pembuluh darah.
Suntikan diberikan sebanyak 10 cc dan ditunggu selama 2-5 menit sehingga efek anestesi tercapai.
5
Anestesi pada Obestetri
Komplikasi anestesi lokal Komplikasi terjadi bila anestesia lokal masuk ke dalam pembuluh darah, sehingga menimbulkan intoksikasi susunan saraf pusat. Oleh karena itu harus dilakukan upaya untuk menghindarkan masuknya obat anestesi ke dalam pembuluh darah, dengan jalan melakukan aspirasi, sebelum penyuntikan dilakukan. Gejala intoksikasi obat anestesi lokal adalah : Pusing dan kepala terasa ringan Tinitus Perilaku aneh Kejang Terdapat gangguan pernapasan Intoksikasi pada sistem kardiovaskuler, dengan gejala awal hipertensi dan takikardi, kemudian diikuti hipotensi dan bradikardi. Penanganan intoksikasi obat anestesi lokal yang masuk ke pembuluh darah Bila terjadi kejang, dapat diatasi dengan memberikan : Pentotal Valium 6
Anestesi pada Obestetri
Bila terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler: Berikan infus secepatnya Berikan efedrin hingga tekanan darah naik Bila keadaan pasien gawat, maka pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas cukup. Apabila dalam melakukan pertolongan sederhana, diperkirakan dapat terjadi komplikasi yang serius, maka pasien perlu dipasangi infus, karena akan memudahkan pemberian obat-obat antidotum (jika diperlukan). II.2.2. Anestesi Regional Pelaksanaan blok epidural / blok spinal bersifat spesialistik, sehingga sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut ini dikemukakan beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal. Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral, atau kaudal. Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam. Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per abdominam/sectio cesarea. Keuntungan : Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat dicegah/dikurangi. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum) Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah siap.
7
Anestesi pada Obestetri
Kerugian : 1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis) 2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama 3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction Headache/ PDPH) 4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat. Kontraindikasi : a) Pasien menolak b) Insufisiensi utero-plasenta c) Syok hipovolemik d) Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi e) Sepsis f) Gangguan pembekuan g) Kelainan SSP tertentu Teknik :
Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid (Ringer Laktat).
15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
Observasi tanda vital
Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang epidural dicapai dengan perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum menembus ligamentum flavum.
Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.
8
Anestesi pada Obestetri
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus atau kapas.
Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa dan plester.
Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.
Obat anestetik yang digunakan Lidocain 1-5%, bupivacain 0.25-0.75%, atau chlorprocain 2-3% .Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal. Komplikasi yang mungkin terjadi Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi epidural dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine. Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 – 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis metabolik. Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut (abdominal binder). II.2.3 Anestesi Umum 9
Anestesi pada Obestetri
Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea. Indikasi : 1. Gawat janin. 2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional. 3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus. Keuntungan : 1. Induksi cepat. 2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal. 3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah. Kerugian : 1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar. 2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat. 3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis pada janin. 4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas maternal. Teknik : 1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri. 2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali. 3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap, dilakukan rapidsequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin. 4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif. 5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0% sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun. 10
Anestesi pada Obestetri
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut dapat menyebabkan atonia uteri. 7. setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan. 8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans (N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah. 9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.
Macam-macam anestesi intravena a) Pentotal (golongan barbiturate) Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat. 11
Anestesi pada Obestetri
Dosis pentotal Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5% dengan pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg. Keuntungan pentotal Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik). Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat. Tidak terdapat delirium Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas. Komplikasi pentotal
Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
Depresi pusat pernapasan
Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis
Kontraindikasi pentotal Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan berikut: Gangguan pernafasan Gangguan fungsi hati dan ginjal Anemia Alergi terhadap pentotal Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya pasien dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam, dan hal ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan. b) Ketamin Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas “rapid setting general anaesthesia”, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun 1965. Sifat ketamin : o Efek analgetiknya kuat o Efek hipnotiknya ringan 12
Anestesi pada Obestetri
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak) o Tekanan darah intrakranial meningkat o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat sekitar20-25% o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus) Premedikasi pada anestesia umum ketamin Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan premedikasi dengan obat-obat sebagai berikut:
Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah
Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi
Dosis ketamin Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja sekitar 10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K (dilatasi dan kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 – 1 mg/Kg BB. Indikasi anestesi ketamin Pada opersasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat Induksi anastesia umum Bila ahli anastesia tidak ada, sedangkan dokter memerlukan tindakan anastesia yang ringan dan singkat. Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)
Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg
Dekompensasi kordis
Kelainan jiwa
Komplikasi anastesia ketamin Terjadi disorientasi Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan dapat menimbulkan pneumonia. 13
Anestesi pada Obestetri
Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong. Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi tidurnya dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat sedikit lebih rendah. c) Anastesia analgesia dengan valium Valium tergolong obat penenang (tranquilizer), yang bila diberikan dalam dosis rendah bersifat hipnotis. Obat ini jarang digunakan secara sendiri (tunggal), dan selalu diberikan secara IV bersama dengan ketamin, dengan tujuan mengurangi efek halusinasi ketamin. Dosis Valium 10 g IV atau IM. Bila digunakan untuk induksi anastesi, dosis nyasebesar 0,2 – 0,6 mg/kg BB. d) Diprivan Komposisi diprivan adalah sebagai berikut : 10 % minyak kacang kedelai 1,2 % fosfatida telur 2,25 % gliserol Keseluruhannya merupakan larutan 1% dalam air, dalam bentuk emulsi. Diprivan sangat baik karena tidak memerlukan obat premedikasi. Disamping itu kesadaran pasien pulih dengan cepat, tanpa terjadi perubahan apapun. Diprivan juga tidak menimbulkan depresi pusat pernafasan ataupun gangguan jantung. Oleh karena itu, ketika diprivan digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1977, obat ini langsung menduduki tempat tertinggi untuk kepentingan operasi-operasi yang ringan dan singkat.
14
Anestesi pada Obestetri
BAB III KESIMPULAN Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anestesi yang akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia. Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi lahir dilanjutkan dengan pemberian pentotal dan N2O/O2 namun analgesi sering tidak memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah. Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.
15