Analisis Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 PENDAHULUAN Dewasa ini perkembangan jaman begitu pesat, rasanya diperlukan suatu peraturan yang memberikan batasan terhadap suatu kebebasan yang mutlak. Terlebih untuk dunia informasi teknologi dan elektronik misalnya. Dalam dunia informasi teknologi dan elektronik dikenal dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. UU ITE merupakan undang-undang Cyber pertama yang diberlakukan di Indonesia. RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo), yang kemudian disahkan pada tanggal 25 Maret 2008 menjadi UU ITE. Tujuan dari UU ITE adalah untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan internet, yang berimplikasi pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara. UU ITE pada dasarnya menata, mengelola, dan mengatur segala bentuk kegiatan penggunaan informasi dan transaksi elektronik yang berlangsung di dunia maya dan dilakukan dengan menggunakan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi elektronik yang dimaksud adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Yang tergolong informasi dalam UU ini tak terbatas pada tulisan, gambar atau suara, tapi juga e-mail , telegram dan lainnya.
ISI UU No. 11 Tahun 2008 Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas) Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37): Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan) Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan) Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti) Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking) Pasal 31(Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi) Pasal 32(Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia) Pasal 33(Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja) Pasal 34(Menjadikan Seolah Dokumen Otentik)
KRITISI Keunggulan
UU ITE mempunyai kelebihan salah satunya dapat mengantisipasi kemungkinan
penyalahgunaan internet yang merugikan contohny pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah dan transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan. Pada pasal 2, UU ITE berlaku terhadap orang – orang yang tinggal di Indonesia maupun diluar Indonesia ini dapat menghakimi dan menjerat orang – orang yang melanggar hukum di luar Indonesia. UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang men gupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Kelemahan UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen ), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling ban yak 1 milyar rupiah. Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar ne geri akan dapat bebas dari tuntutan hukum. PENUTUPAN
Meskipun dengan disahkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya, namun UU ITE ini masihmenuai banyak kontra dalam penerapannya, mengingat tidak sedikit kelemahanyang di jumpai dari Pasal-pasal di dalamnya, maupun dari UU ITE iu sendirisecara keseluruhan. Sehingga UU ITE ini masih condong berkarakter sebagai produk hukum yang konservatif karena masih banyak hal-hal yang perludiperbaiki, sebagai upaya untuk menyikapi penerapan UU ITE yang masihmenimbulkan banyak kendala secara teknis.