WALAU
walau penyair besar takkan sampai sebatas allah dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam dalam baris sajak tujuh puncak membilang bilang nyeri hari mengucap ucap di butir pasir kutulis rindu rindu walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah
Sutardji Calzoum Bachri, 1979
1
ANALISIS SEMIOTIKA DALAM PUISI
WALAU
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI
A.
Pembacaan Heuristik
Puisi Walau karya Sutardji ini merupakan puisi dalam kumpulan Kapak yang merupakan salah satu kumpulan puisi Sutardji yang bertema pencarian Tuhan. Dalam puisi ini, Sutardji menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh pembaca dan umum dipakai. Tetapi untuk urusan sintaksis, puisi ini tergolong puisi yang sedikit tidak memerdulikan susunan kalimat. Penyair menggunakan judul Walau karena penyair ingin mengungkapkan hal yang ia ingin capai di masa depan dengan kerja kerasnya. Sehingga penyair menggunakan kata walau sebagai judul puisi ini. Dengan kata lain, penyair ingin mengungkapkan seluruh isi dari puisi ini adalah kerja kerasnya. Kata walau merupakan partikel dalam bahasa Indonesia yang dapat disejajarkan dengan meski dan kendati. Penyair ingin mengungkapkan bahwa puisinya merupakan suatu tekad dan keinginan yang akan ia tempuh meskipun ada beberapa halangan. Bait pertama dapat dimaknai sebagai suatu sifat minder yang dimiliki penyair, ia adalah penyair besar tetapi ia tidak bisa menandingi Tuhannya. Hal in i dibuktikan dengan ingatan penyair pada bait kedua. Ia dulu pernah menginginkan untuk menjadi atau setara dengan Tuhannya tetapi sekarang ia tidak menginginkannya lagi. Bait ketiga merupakan pengandaian diri penyair jika ia mati kelak. Ia berandai jika ia mati, maka ia akan mati seperti batu atau seperti pasir. Dan ia berkeinginan agar ia dikenang seperti karya-karyanya. Pada bait keempat penyair mengungkapkan bahwa ia mengingkan mencapai tujuh puncak dengan jerih payahnya sendiri dan di atas pasir ia selalu tuliskan kata rindu. Bait terakhir pada puisi ini merupakan bentuk lain dari bait pertama. Bait terakhir ini merupakan bagian penjelasan dari puisi Walau ini. Bait ini menjelaskan bahwa meskipun kemampuan merangkai sajak telah mencapai batas akhir, kemampuannya tidak akan sampai sebatas Tuhannya.
2
B.
Pembacaan Hermeneutik 1.
Penggantian Arti
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini merupakan jenis gaya bahasa, sehingga penggantian arti dalam puisi tidak hanya sebatas pada dua gaya ini. Dalam puisi ini terdapat majas simile yang difungsikan untuk menegaskan makna pada baris sebelumnya. Berikut kutipannya: kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak Kata “bagai” pada kutipan di atas berfungsi untuk menganalogikan apa yang akan terjadi pada diri Sutardji setelah ia meninggal kelak. Penegasan yang muncul pada baris ini akan ditegaskan kembali pada baris berikutnya. Repetisi yang paling menonjol digunakan oleh penyair pada awal dan akhir puisi, yaitu pada kata “walau” dan “sebatas allah” menegaskan pada keinginan penyair yang takkan mungkin menyamai Tuhannya. Pada bait pertama ditegaskan oleh kata “takkan” dan bait kelima ditegaskan oleh “belum”. walau penyair besar takkan sampai sebatas allah ……………………………. walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah
Dalam puisi Walau karya Sutardji Calzoum Bachri terdapat pergantia n arti yaitu penggunaan metafora pada bagian puisinya. walau penyair besar takkan sampai sebatas allah Dalam kaliimat tersebut istilah “ penyair besar ” menggantikan tokoh “Sutardji” yang notabene ia menjadi “ presiden penyair ” di sastra Indonesia. Dalam kalimat tersebut dimaknai bahwa walaupun Sutardji adalah seorang
3
penyair besar (presiden penyair) atau sehebat apapun penyair atau manusia tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan. Dalam penggantian arti berikutnya dalam puisi Walau yang lain terdapat pada bait terakhir yaitu: Walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah Dalam kalimat di atas, istilah “alifbatak u” menggantikan arti dari kemampuan yang dimiliki oleh seorang manusia atau Sutardji pada khususnya. Dari kalimat tersebut dijelaskan bahwa kemampuan dari seorang manusia khususnya seorang pengarang tidak mampu mengalahkan kemampuan Tuhannya, sebesar apapun karya yang pernah dihasilkan oleh si pengarang tersebut.
Karena kemampuan dari seorang manusia memiliki
keterbatasan. Keterbatasan itu dapat sesuaikan dengan pengetahuan, umur, dan pengalaman yang dimiliki oleh si pengarang tersebut. Pada baris jiwa membumbung dalam baris sajak dapat dimaknai bahwa jiwa Sutardji yang telah meninggal akan selalu terkenang melalui puisi-puisinya. Karena ia adalah seorang penyair yang besar, seperti halnya para pahlawan bangsa, walaupun ia belum bisa menyamai Tuhan.
2.
Penyimpangan Arti
Riffaterre mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan karena tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. a.
Ambiguitas
Ambiguitas ini disebabkan karena bahasa puisi ini mempunyai arti ganda ( polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak Muncul sebuah ambiguitas pada kata “kuminta”. Pada makna harfiahnya, kata “kuminta” berarti penyair meminta sesuatu dari Tuhan dalam bentuk doa. Tetapi dalam konteks ini, makna “kuminta” adalah menginginkan menjadi seorang Tuhan dari para penyair yang dapat ditiru
4
dan dijadikan tauladan. Hal tersebut dijelaskan oleh baris berikutnya dalam diri/ sekarang tak .
walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah Kemudian pada bait terakhir, disebutkan kata “alifbataku”. Jika dalam konteks kehidupan sehari-hari, pengertian ini akan timbul pada cara membaca al-Quran, karena kebiasaan masyarakat jika belum bisa membaca al-Quran, maka harus mulai dari belajar membaca huruf-huruf arab, yaitu alif, ba, ta, dan seterusnya. Sedangkan dalam konteks puisi ini, makna
“alifbataku” adalah kemampuan pada diri Sutardji yang notabene adalah presiden penyair, yaitu dalam hal membuat sebuah puisi. b.
Kontradiksi
Kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi. walau penyair besar takkan sampai sebatas allah Kontradiksi pada frasa “penyair besar” dan kata “allah” ini yang sama-sama mempunyai makna sesuatu yang besar dan agung. Tetapi dalam konteksnya, “ penyair besar ” tertuju pada seorang manusia yaitu Sutardji yang notabennya adalah presiden penyair. Sedangkan “allah” adalah Tuhan manusia yang merupakan penyair yang menguasai alam dunia ini dan mempunyai keagungan yang luar biasa. Kontradiksi yang muncul pada kedua istilah ini adalah sesuatu yang dihasilkan. Seorang “penyair besar” akan menghasilkan mahakarya puisi yang mungkin dapat dipuji-puji oleh sebagian orang yang paham dengan dunia kepenyairan. Sedangkan Tuhan, atau dalam puisi ini adalah “allah”, menghasilkan puisi yang berbentuk firman-firman dalam kitab suci yaitu al-Qur’an. Puisi-puisi Tuhan ini merupakan pedoman seluruh umat manusia. c.
Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai
arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi nonsense itu mempunyai makna yaitu arti sastra karena konvensi sastra.
5
walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah Alifbataku secara linguistik tidak mempunyai makna, tetapi secara sastra mempunyai makna tentang kemampuan penyair yang tidak bisa menandingi kekuasaan Allah. Setinggi apapun kelebihan yang dipunyai manusia maka tidak bisa mengalahkan kekuasaan penguasa dunia, yaitu Allah.
3.
Penciptaan Arti
Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam puisi (karya sastra). Terjadi penciptaan arti bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tandatanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak artinya, misalnya simitri, rima, enjambemen, atau ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa kesejajaran arti antara bait-bait atau antara baris -baris dalam bait. a.
Tipografi
Tipografi disebut juga ukiran bentuk, ialah susunan bari-baris atau bait-bait puisi. Termasuk ke dalam tipografi ialah penggunaan huruf-huruf untuk menuliskan kata-kata suatu puisi. Setiap penyair memiliki kegemaran sendiri-sendiri dalam pembuatan bentuk atau wajah puisi. Pada puisi Walau ini, semua huruf pada kata di awal vbaris menggunakan huruf kecil. Hal ini menyebabkan adanya kesetaraan dari setiap baris dalam puisi tersebut. Pengguan huruf kecil ini dimaksudkan untuk
menggambarkan
bahwa
manusia
adalah
sosok
yang
kecil
dibandingkan dengan tuhannya. Pada beberapa kata penting yang seharusnya menggunakan huruf kapital di awal kata, Sutardji malah menggunakan huruf kecil untuk mengawali kata-kata itu. Kata-kata itu adalah “allah” dan “tuhan”. walau penyair besar takkan sampai sebatas allah
6
dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak …………………………… walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah Penggunaan huruf kecil ini digunakan penyair untuk menggambarkan bahwa seorang penyair yang hanya manusia biasa akan berusaha menyamai Tuhan, karena Tuhan juga menggunakan puisi-puisi yang berupa firmanfirman untuk masuk dalam masyarakat. Hal ini juga bisa dimaknai bahwa walaupun Tuhan telah menaikkan derajat para penyair itu, tetapi penyair tidak akan bisa menyamai Tuhan. Pada puisi ini ada koherensi antara bait pertama dengan bait kelima. Pada kedua bait tersebut penyair menggunakan pengulangan kata “walau” dan frasa “sebatas allah”. Kedua bagian ini dapat menunjukkan bahwa penyair mempunyai keinginan yang sangat tinggi tetapi takkan bisa menyamai kemampuan Tuhannya, yaitu Allah. Bentuk puisi Walau ini hampir jarang di temui pada puisi-puisi Sutardji, yang kebanyakan menggunakan permainan letak. Bentuk puisi di atas menggunakan kesejajaran kalimat atau bait dalam puisinya. Kesejajaran bait ini digunakan untuk menimbulkan persejajaran bentuk dan arti. Tipografi sejajar ini sengaja dibuat penyair karena mempunyai pengaruh makna dan rasa terhadap puisinya. Kesejajaran atau keteraturan ini menunjukkan bahwa penyair ingin mengungkapkan bahwa ia sebagai penyair besar takkan mampu menyamai kemampuan yang dimiliki Tuhan. Perulangan yang terjadi pada bait keempat, dimaksudkan oleh penyair untuk menekankan bagian-bagian tertentu dari puisi. Misalnya pada baris pertama bait tersebut, pengulangan yang terjadi pada “membilang bilang” yang mengikuti frasa “tujuh puncak” dimaksudkan untuk mempertegas tujuh puncak yang berlapis-lapis. b.
Enjambemen
Enjambemen ialah bagian atau baris kalimat yang mempunyai tugas ganda, menghubungkan bagian yang mendahuluinya dan bagian berikutnya
7
atau bagian yang mengikutinya. Hal ini dilakukan oleh penyair untuk lebih menekankan makna bagian-bagian tertentu, disamping memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa dalam rima atau persajakan. Beberapa pemanfaatan enjambemen dalam puisi Walau ini antara lain: 1)
Judul yang digunakan oleh penyair adalah bagian dari puisi tersebut.
Pada baris pertama bait pertama, terdapat kata “walau” yang berderetan dengan frasa “penyair besar”, dan pada baris pertama bait kelima terdapat kata “walau” yang berderetan dengan “huruf habislah sudah”. Walau walau penyair besar takkan sampai sebatas allah ………………………………. walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah
Jika dihubungkan antara judul dan kedua kata “walau” yang ditemukan akan timbul suatu pengertian bahwa penyair berandai-andai atau mempunyai keinginan yang ingin dicapai. Jika pengertian ini diperluas dengan menghubungkan dengan bagian puisi yang lain, maka akan muncul tujuan penyair dalam berandai-andai atau keinginan yang ingin dicapai tersebut. Judul ini telah mewakili maksud yang ingin diungkapkan oleh penyair. 2)
Hubungan antar baris dalam tiap bait
a)
Baris walau penyair besar dan diikuti oleh baris berikutnya takkan
sampai sebatas allah dapat memunculkan pengandaian bahwa meskipun
Sutardji adalah penyair yang terkenal dan hebat, ia takkan dapat mencapai kedudukan seperti kedudukan Tuhannya. b)
Baris dulu pernah kuminta tuhan diikuti baris dalam diri dan sekarang
tak menimbulkan makna bahwa dulu sebelum Sutardji menjadi penyair
hebat ia selalu meminta untuk dapat menjadi seorang Tuhan yang dapat menjadi panutan, tetapi setelah ia menyadari bahwa manusia takkan pernah dapat menyamai Tuhan, maka ia luluhkan semua keinginan itu. c)
Baris kalau mati yang diikuti baris mungkin matiku bagai batu tamat
bagai pasir tamat dan jiwa membumbung dalam baris sajak memunculkan
8
makna bahwa jika Sutardji meninggal ia akan dianalogikan seperti batu dan pasir yang telah terbuang, yaitu benda mati yang tak bisa berbuat apa-apa selain diam, sedangkan namanya akan selalu dikenang seperti untaian katakata melalui puisi-puisinya. Atau bisa juga dianalogikan sebagai batu nisan dan tanah yang menyelimuti kuburnya, dan namanya akan tergores pada nisan yang menjadi simbol kuburnya. d)
Baris tujuh puncak membilang bilang diikuti oleh baris nyeri hari
mengucap ucap dan baris di butir pasir kutulis rindu rindu yang
menimbulkan makna bahwa Sutardji ingin menggambarkan bahwa semua yang ada di dunia ini, khususnya kedudukan mempunyai tingkatantingkatan seperti langit yang diyakini mempunyai tujuh lapisan. Sutardji juga ingin mengatakan bahwa perkerjaan sebagai seorang penyair merupakan perkerjaan yang tidak lepas dari omongan dan gunjingan, tetapi jika lama tidak memberikan kontribusi untuk dunia kepenyairan ia akan merasa rindu. Pada bait ini juga bisa dimaknai bahwa setelah tujuh hari kematian Sutardji akan selalu dipanjatkan doa-doa dari para sahabat dan keluarganya. Dan ia di dalam kubur hanya bisa merindukan apa yang ada di dunia ini. e)
Baris walau huruf habislah sudah diikuti oleh baris alifbataku belum
sebatas allah menimbulkan makna bahwa meskipun Sutardji telah
menghabiskan seluruh huruf yang ia tahu, kemampuannya takkan bisa menyamai Tuhannya. 3)
Penghilangan kata dan pemenggalan struktur sintaksis
a)
Pada bait kedua, penulisan dulu pernah kuminta tuhan terpisah dengan
dalam diri. Hal ini dimaksudkan oleh penyair untuk menekankan bahwa
dahulu Sutardji berkeinginan untuk menjadi seorang Tuhan. Tetapi semua itu ditinggalkan olehnya karena hal itu sangatlah tidak mungkin, sebagaimana ditegaskan pada penggalan baris berikutnya sekarang tak . b)
Penghilangan
kata
pada
bait
pertama
yang
seharusnya
dikembalikan kata-kata tersebut akan menjadi: walau (aku adalah) penyair besar (tapi kemampuanku) takkan sampai sebatas allah
jika
9
Pelesapan kata-kata tersebut dimaksudkan oleh penyair untuk menekannkan bahwa penyair besar tidak akan bisa menyamai Tuhannya. c)
Pada bait ketiga frasa “kalau mati” dengan “mungkin matiku bagai
batu tamat bagai pasir tamat” dimaksudkan penyair untuk menekankan apa yang akan terjadi dengan Sutardji bila ia meninggal, yang kemudian diperjelas dengan analogi yang ada pada baris berikutnya. d)
Penghilangan kata-kata pada bait kelima yang seharusnya: walau huruf (sudah) habis (terpakai) (tetapi) alifbataku belum (bisa) sebatas allah Pelesapan kata-kata ini dan pengubahan struktur sintaksis pada baris
pertama dimaksudkan penyair untuk menekankan bahwa bila huruf telah banyak
terpakai
untuk
menyusun
kata-kata
dalam
puisi,
tetapi
kemampuannya (alifbata) belum bisa menyamai Tuhannya. c.
Rima atau Persajakan
Persajakan dalam puisi Walau karya Sutardji ini memang tidak begitu menonjol. Sutardji memang bikan tipe penyair yang senang dengan permainan bunyi-bunyi, tetapi ia adalah seorang penyair yang senang memainkan kata-kata untuk menonjolkan makna yang ingin ia sampaikan.