Nama : Fikri Budiman NPM : 0914081230 AGEN PERUBAHAN DAN PERANNYA DALAM DIFUSI INOVASI Menurut Everret Inovasi memiliki karakteristik yang menentukan dalam hubungannya dengan pengadopsian yaitu : keuntungan relative (relative advantage), advantage), Kecocokan (compatibility (compatibility ), ), kompleksitas (complexity ( complexity ), ), Keterujian ( trialabil trialability ity ), ) , dan dan tera terama mati ti (observability ). ). Dalam Dalam pembahas pembahasan an kelompok 4 telah disinggung adanya sejumlah tingkatan adopter yang terdiri dari 5 tingkatan yaitu : •
Innovators (venturesome);
•
Early adopters (respectable);
•
Early majority (deliberate);
•
Late majority (sceptical);
•
Laggards (traditional).
Yang Yang ternya ternyata ta adanya adanya lima lima tingka tingkatan tan itu sanga sangatt tergan tergantun tung g pada pada kekuatan dari saluran komunikasinya, yang mana hal ini merupakan salah satu faktor determinan dari empat elemen difusi, determinan tersebut adalah saluran komunikasi yang memiliki 3 komponen yaitu : •
Opinion Opinion leaders leaders (yaitu (yaitu orang orang yang yang sering sering berhub berhubung ungan an dengan dengan
adopter secara tidak informal dan mampu mempengaruhi tingkah laku orang lain); •
Change agents (yaitu yang secara positif mempengaruhi keputusan
inovasi dengan melalui perantaraan media agen perubahan dan sistem sosial yang relevan); •
Change aides (yaitu orang yang melengkapi pekerjaan agen perubah
dengan dengan melak melakuka ukan n kontak kontak lebih lebih intens intensif if pada pada peneri penerima ma atau atau adopte adopterr walaupun walaupun orang orang tersebut tersebut memiliki memiliki kredibilit kredibilitas as kompetens kompetensii yang kurang kurang tetapi dapat dipercaya kejujuran dan keamanannya). keamanannya).
Fungsi dari Agen Perubah (The change agent functions) adalah: •
Mengembangkan kebutuhan perubahan perubahan pada khalayak ;
•
Memunculkan informasi dan hubungannya dengan perubahan;
•
Mendiagnose kebutuhan khalayak;
•
Menciptakan keinginan perubahan pada khalayak;
•
Mewujudkan keinginan melalui tindakan;
•
Mengukuhkan adopsi dan menjaga pemutusan ; dan
•
Memindahkan kepercayaan khalayak dari ketergantungan pada agen
perubahan menuju pada kepercayaan diri sendiri
Selain dari adanya agen perubahan yang disebutkan di atas menurut Greg Orr (2003) berpendapat kecepatan difusi inovasi akan sangat dipengaruhi dengan tingkat kecerdasan mass media dalam keikutsertaan pengembangan sebuah inovasi. Pada bentuk budaya modern dimana mass media mulai menjadi konsumsi harian bagi masyarakat maka opini masyarakat akan dituntun dan diarahkan berdasarkan berita yang dilaunching oleh mass media. Kekuatan dari agen perubahan juga akan dipengaruhi dengan sistem kepemimpinan yang ada pada masyarakat, sistem kepemimpinan biasanya akan memberikan stressing kepada agen perubah dengan memberikan target – target penyebaran yang telah ditetapkan, oleh karena itu kreativitas dari adanya agen Perubahan. Dalam penelitian yang dilakukan di Afrika tentang peranan agen perubahan pada sejumlah program kesehatan oleh Bent Davies (2005) menunjukkan peranan dari agen perubahan sangat dipengaruhi pula oleh adanya saluran komunikasi dan media serta tuntutan pada agen perubahan oleh pimpinan. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan di Vietnam oleh Von Rungen (2006) yang mengubah pola pembentukan ekonomi rakyat melalui pendidikan vokasional sangat dipengaruhi saluran komunikasi dan mas media, yang mana selama ini masyarakat sudah banyak terlanjur pada pola – pola sistem rezim Pol Pot yang bersifat ekonomi kolektif. Perubahan sosial, bukanlah suatu fenomena yang terjadi secara kebetulan, melainkan sesuatu yang direncanakan atau diprakarsai oleh agen pembaharu. Agen pembaharu adalah pekerja profesional yang berusaha mempengaruhi atau mengarahkan keputusan adopsi inovasi selaras dengan
yang diharapkan lembaga pembaharu (change agency) tempat dia bekerja atau yang menjadi anak buahnya Rogers (1995). Siapapun yang menawarkan produk atau gagasan baru ke sistem sosial adalah agen pembaru. Secara formal, agen pembaharu memiliki bentuk kelembagaan yang beragam. Agen pembaharu memegang posisi vital dalam saluran komunikasi difusi inovasi. Rogers (1995) menyebutkan tujuh peran penting agen pembaharu. Pertama agen pembaharu berperan membangkitkan kebutuhan untuk berubah pada diri klien. Agen pembaharu menjalankan fungsi sebagai katalisator (pembuka kran) dan mempengaruhi klien tentang pentingnya digunakannya inovasi menuju perubahan yang lebih baik. Kedua,
mengadakan
hubungan
(relationship)
untuk
perubahan.
Setelah tumbuh kesadaran untuk berubah, agen pembaharu harus dapat menjalin keakraban dengan klien. Keakraban dapat diperkuat melalui penciptaan kesan yang dapat dipercaya, kejujuran, dan empati terhadap masalah klien. Sebelum dapat diterima secara sosial oleh klien, agen pembaharu harus dapat diterima secara fisik. Terbangunnya hubungan ini penting, karena menjadi landasan dalam berinteraksi berikutnya. Ketiga, mendiagnosis masalah, yaitu memahami problematik klien, mengapa
cara
yang
ada
perlu
dilakukan
perubahan.
Untuk
dapat
menyimpulkan, agen pembaharu dituntut terjun langsung ke lapangan dan memahami perilaku klien sebelumnya dan perubahan yang ditawarkan menurut pandangan klien sendiri, untuk selanjutnya dicari cara yang terbaik untuk mengatasi. Hal ini hanya berhasil, jika agen pembaharu memiliki empati yang tinggi terhadap klien. Keempat, memotivasi klien untuk berubah. Agen pembaharu harus dapat memotivasi klien untuk menerima atau setidak-tidaknya menaruh minat menggunakan inovasi. Namun, dalam menjalankan peran ini, agen pembaharu harus tetap berorientasi kepada kebutuhan klien. Ini merupakan tugas ambigo dan sering menimbulkan konflik peran, karena posisinya sebagai jembatan dua sistem sosial yang sering memiliki kepentingan berbeda.
Kelima, merencanakan tindakan perubahan. Setelah timbul minat untuk mengadopsi, agen pembaharu dituntut dapat mengarahkan perilaku klien untuk menjalankan rekomendasinya sesuai dengan kebutuhan klien. Ini berarti klien diharapkan bukan hanya sekedar menyetujui atau berminat terhadap inovasi, melainkan juga merencanakan program-program untuk menggunakan inovasi. Keenam,
agen
pembaharu
dituntut
memelihara
program
pembaharuan dan mencegah kemungkinan berhenti. Peran ini dapat dilakukan
secara
efektif
dengan
menyampaikan
pesan-pesan
yang
menunjang, sehingga klien merasa aman dan terus berminat mengadopsi inovasi. Tindakan ini penting terutama, ketika klien masih dalam tahap percobaan sampai konfirmasi, sebelum klien memutuskan untuk menjadi pemakai tetap inovasi. Peran terakhir adalah mencapai pemutusan hubungan (terminal relationship). Tujuan akhir agen pembaharu adalah berkembangnya perilaku “memperbaharui diri sendiri” pada diri klien (Rogers, 1995). Ini berarti, agen pembaharu
dituntut
dapat
mengembangkan
kliennya
sebagai
agen
pembaharu paling tidak bagi dirinya sendiri. Kondisi demikian terjadi, jika klien mampu mengimplementasikan inovasi dan semakin percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Jika kondisi demikian tercapai, maka agen pembaharu untuk sementara waktu dapat menghentikan hubungan, namun bukan berarti hubungan berhenti secara total, akan tetapi agen pembaharu perlu memonitor penggunaan inovasi, setelah berjalan beberapa waktu. Memperhatikan peran agen pembaharu dalam difusi inovasi, tampak jelas bahwa dia dituntut dapat menjalin hubungan yang akrab dengan kliennya. Kemampuan menjalin hubungan dengan klien ini menjadi prasyarat keberhasilan
agen
pembaharu,
sebelum
agen
pembaharu
melakukan
pemutusan hubungan. Beberapa faktor yang menunjang keberhasilan agen pembaharu adalah: 1. Gencarnya promosi/komunikasi, 2. Lebih berorientasi pada klien,
3. Kompatibilitas program difusi dengan kebutuhan klien, 4. Empati, 5. Persamaan karakteristik sosial ekonomi dengan klien (homophily), 6. Kredibilitas di mata klien, dan 7. Kemampuan kerja sama dengan tokoh masyarakat (Rogers, 1995) Promosi bentuk komunikasi yang dapat dilakukan melalui media massa
(iklan)
atau
kunjungan
langsung.
Gencarnya
promosi
agen
pembaharu, diperlukan terutama pada tahap awal pengenalan inovasi. Ini juga mengharuskan agen pembaharu untuk lebih banyak berada di lapangan untuk bertemu langsung dengan klien dan tokoh masyarakat. Kualitas dan kuantitas komunikasi agen pembaharu, akan mempercepat tersebarnya informasi inovasi ke sistem sosial.
Guru Sebagai Agen Perubahan Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif, “liar”, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Profesi guru bukan sembarangan, melainkan penting dan menentukan masa
depan
bangsa. Dengan demikian guru harus menjadi orang yang memiliki jati diri kuat, senantiasa pembelajaran
menjadi
tauladan
dan
merencanakan,
melaksanakan dengan
serius sepenuh hati. Siswa juga harus memiliki cara pandang baru, yakni, sekolah
bukan
merupakan keharusan melainkan kebutuhan; siswa bukan peserta pasif, melainkan peserta aktif, siswa bukan tidak berdaya, melainkan memiliki kekuatan untuk merealisir apa yang dinginkan. Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar
menjadi “agen perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik
sebagai
pengalaman
manusia-manusia
sebanyak-banyaknya
pembelajar melalui
yang
proses
akan
menyerap
pembelajaran
yang
menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi. Gurulah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki. Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum lagi bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata sang murid, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Itu juga makna yang tersirat dalam akronim “digugu dan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Tidak heran kalau banyak kalangan yang berpendapat bahwa maraknya tindakan premanisme, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli ijazah, dan semacamnya, gurulah yang pertama kali dituding
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah anomali sosial semacam itu. Harus diakui tugas guru memang berat. Mereka tidak hanya dituntut untuk melakukan aksi “lahiriah” dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus
melakukan
aksi
“batiniah”,
yakni
mendidik;
mewariskan,
mengabadikan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada siswa didik. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban yang chaos dan kacau. Kalau proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru cenderung bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya penyemaian nilai-nilai luhur hakiki saya kira akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau anak-anak hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada siswa didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran. Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak terpasung dalam suasana yang kaku dan monoton. Para siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi, berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidahkaidah keilmuan, sang guru perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran itu sendiri. Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan
cara demikian, peran guru sebagai agen perubahan diharapkan bisa terimplementasikan
dengan
baik.
Meskipun
korupsi,
manipulasi,
dan
berbagai jenis “penyakit sosial” menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan
masyarakat,
dibangunnya,
anak-anak
melalui bangsa
proses negeri
rekonstruksi ini
konsep
mudah-mudahan
yang
memiliki
benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara. Guru diharapkan mampu memainkan peran membawa perubahanperubahan positif bagi anak didik dan sekolahnya. Peran itu setidaknya dijalankan dalam konteks kurikulum, di mana guru menjalankan kurikulum dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum dalam interaksi bersama anak didik di kelas. Lebih luas dari itu, seorang guru juga diteladani oleh anak didiknya dalam kaitan dengan kebiasaan pribadi yang dilakukannya.
---------------oooOOOooo---------------