LAPORAN PRAKTIKUM ANALISA PANGAN ACARA V VITAMIN C
Disusun Oleh : Fransisca Dwi Jayanti H0915026 / 5
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017
ACARA V VITAMIN C
A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara V Vitamin C ini adalah sebagai berikut: 1. Memahami prinsip pengujian kadar vitamin C menggunakan metode titrasi Iodometri. 2. Mengetahui kadar vitamin C pada sampel dengan menggunakan metode titrasi Iodometri. B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Teori Asam askorbat atau vitamin C adalah vitamin esensial yang larut dalam air dan banyak terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Asam askorbat sangat peka dan terdegradasi oleh faktor lingkungan yang buruk seperti perubahan suhu, kelembaban udara dan dipercepat oleh faktor kondisi yang lain seperti kondisi aerob atau anaerob, pH lingkungan, adanya oksigen dan katalis logam. Konsentrasi asam askorbat mengalami penurunan selama penyimpanan. L-asam askorbat sangat larut dalam air dan bersifat asam serta memiliki sifat reduktor yang kuat (Wijaya, 2014). Vitamin yang terdapat dalam bahan akan lebih mudah larut dengan pemanasan, tanpa pemanasan sebagian dari vitamin masih tertinggal dalam ampas. Kandungan
vitamin C yang sedikit kemudian
dilakukan
pemanasan maka kadar vitamin C yang dihasilkan akan semakin kecil. Pada proses pembuatan sirup rosella ekstraksi dengan pemanasan, vitamin C seluruhnya ikut larut dan vitamin C yang terdapat dalam bahan dilindungi oleh gula pada waktu proses pengolahan sehingga vitamin C yang hilang pada saat proses pengolahan berlangsung hanya sedikit, vitamin C merupakan senyawa reduktor, asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai dengan membentuk senyawa
diketogulonat sehingga vitamin C terlindung dengan adanya gula dan terjadi reaksi pencoklatan (Mukaromah dkk., 2010).
Gambar 5.1 Rumus Molekul Vitamin C
Dalam larutan air vitamin C mudah dioksidasi, terutama apabila dipanaskan, oksidasi dipercepat apabila ada tembaga atau suasana alkali. Kehilangan vitamin C sering terjadi pada pengolahan, pengeringan dan cahaya. Vitamin C penting dalam pembuatan zat-zat interseluler, kolagen (Poedjiadi, 2009). Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 178 dengan rumus molekul C 6H8O6. Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190192 0C. Bersifat larut dalam air dan sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Vitamin C sukar larut dalam khloroform, ether dan benzen, dalam garam membentuk logam. Sifat asam ditentukan oleh ionisasi enolgroup pada atom C nomor t iga. Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin C mudah teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim askorbat oksidase, sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih stabil apabila tidak ada katalisator seperti di atas. Oksidasi vitamin C akan terbetuk asam dehidroaskorbat. Cara lain dalam penentuan vitamin C adalah dengan 2,6 D (2,6 Na-dikhlorofenol indofenol). Asam askorbat dapat direduksi oleh 2,6 D sehingga terjadi perubahan warna pada sampel. Larutan 2,6 D dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6 D direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi larutan tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 D maka akan terjadi kelebihan larutan 2,6 D sehingga terlihat perubahan warna pada larutan sampel. Untuk
perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6 D dengan vitamin C standar (Sudarmadji dkk., 2010). Vitamin C dibutuhkan oleh tubuh dalam fungsi fisiologis. Vitamin C membantu dalam proses metabolism tirosin, asam folat, dan triptofan. Selain itu vitamin C juga membantu dalam menurunkan kolesterol dalam darah serta berkonstribusi dalam sintesis asam amino karnitin dan katekolamin. Asam askorbat juga membantu pertumubuhan jaringan dan proses penyembuhan luka. Asam askorbat membantu dalam pembentukan formasi neurotransmitter dan meningkatkan absorbsi dari zat besi dalam usus. Sedangkan fungsi utama dari asam askorbat adalah sebagai antioksidan yang melindungi tubuh dari dampak buruk radikal bebas dan polutan (Iqbal et al., 2004). Prinsip pengujian vitamin C menggunakan metode titrasi iodin adalah vitamin C akan dioksidasi oleh larutan Iodium standar karena Iodium bersifat sebagai oksidator. Amilum digunakan sebagai indikator setelah vitamin C teroksidasi seluruhnya oleh larutan Iodium standar. Selanjutnya, kelebihan Iodium ini akan bereaksi dengan amilum dan menghasilkan warna biru (Radiati,2007). Iodometri adalah salah satu metode analisis kuantitatif volumetrik secara oksidimetri dan reduksimetri melalui proses titrasi. Vitamin C atau asam askorbat adalah asam karboksilat yang dapat mengalami reaksi oksidasi. Vitamin C dapat bereaksi dengan larutan iodin (I2), yang akan mengubah I 2 menjadi ion iodide (I -) sehingga iodin mengalami reduksi atau berperan sebagai oksidator. Meskipun telah terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning dan akhirnya tidak berwarna, tetap diperlukan penambahan indikator amilum agar perubahan warna dapat diamati secara jelas (Padmaningrum, 2008). Metode pengukuran konsentrasi larutan menggunakan metode titrasi adalah suatu penambahan indikator warna pada larutan yang diuji, kemudian ditetesi dengan larutan yang merupakan kebalikan sifat larutan yang diuji. Pengukuran kadar vitamin C dengan reaksi redoks yaitu menggunakan larutan Iodin (I 2) sebagai titran dan larutan amilum sebagai
indikator. Pada proses titrasi, setelah semua vitamin C bereaksi dengan Iodin, maka kelebihan iodin akan dideteksi oleh amilum yang menjadikan larutan berwarna biru gelap. Reaksi vitamin C dengan Iodin adalah sebagai berikut: C6H8O6 + I2 → C6H6O6 +2I-+2H+ (Pratama et al., 2011). Vitamin C bereaksi dengan larutan yodium dengan sedikit gangguan. Melakukan titrasi asam-basa akan menentukan jumlah vitamin C. Larutan iodium adalah zat pengoksidasi dan vitamin C adalah agen mengurangi. Dalam rangka untuk membentuk larutan yodium, kalium iodat (KIO 3) dan kalium iodida (KI) digabungkan dalam larutan asam. Ketika larutan amilum ditambahkan sebagai indikator, titik akhir dari reaksi terjadi setelah semua vitamin C telah dikonsumsi. Warna biru-hitam muncul karena adanya iodium dan amilum bereaksi satu sama lain, ketika ada kelebihan yodium berarti titik akhir tercapai (Yang, 2012). Pengembangan metode analisis Vitamin C yang lain adalah dengan metode spektrofotometer yang biasannya menggunakan berbagai pereaksi seperti ammonium molibdat dan pereaksi orto -fenantrolin untuk membentk warna pada larutan. Sedangkan dapat juga menggunakan perea ksi lain yakni metilen blue. Metode spektrofotometri didasarkan antara materi dengan energi cahaya. Kelebihan metode ini antara lain pengerjaannya yang cepat, mudah dan memberikan hasil yang lebih baik (Safari, 2009). 2. Tinjauan Alat dan Bahan Iodin merupakan salah satu reagen yang paling populer dalam analisis kimia. Pada analisis iodometri, iodin digunakan sebagai titran pada titrasi langsung, dan juga digunakan pada titrasi tidak langsung, yang berdasarkan pada reaksi antara agen pengoksidasi kuat dan ion iodida yang berlebih untuk menghasilkan iodin dalam jumlah yang setara dengan analit. Iodin tersebut kemudian dititrasi dengan larutan standar agen pereduksi (Ciesielski and Zakrzewski, 2006). Amilum adalah karbohidrat yang berasal dari hasil proses fotosintesis tanaman, disimpan dalam bagian tertentu tanaman dan berfungsi sebagai
cadangan makanan pada tumbuhan. Amilum digunakan sebagai eksipien dalam formulasi sediaan farmasi karena harganya murah dan inert. Amilum dapat digunakan sebagai bahan pengisi, pengikat, dan penghancur dalam sediaan oral seperti dalam pembuatan tablet (Sari et al., 2012). Aquades merupakan air murni hasil destilasi. Aquades memiliki kemampuan yang baik untuk mengekstraksi sejumlah bahan simplisia (Widiati, 2011). Air yang biasa digunakan untuk perbanyakan mikro adalah air destilasi atau aquades. Aquades yang meruapakan air dari hasil penyulingan mengandung H 2O murni sehingga tidak sama dengan air mineral (Simatupang, 2006). C. Metodologi
1. Alat a. Buret 50 ml b. Corong c. Erlenmeyer 100 ml d. Labu takar 50 ml e. Pipet volume 1 ml f. Pipet volume 25 ml g. Propipet h. Statif i.
Timbangan analitik
2. Bahan a. Aquadest b. Indikator amilum 1% c. Larutan Iodin 0,01 N d. Sampel A (Jambu ABC) e. Sampel B (Jambu Buavita) f.
Sampel C (Jeruk Buavita)
g. Sampel D (Leci ABC) h. Sampel E (Mangga Buavita)
3. Cara Kerja ( Flowchart ) 1 gram sampel
Pemasukan ke dalam labu takar 50 ml
Aquades
Penambahan hingga tanda tera
Penggojokan
Pengambilan 25 ml larutan
Pemasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml
Amilum
Penambahan ke dalam erlenmeyer
Penitrasian dengan Iodin 0,01N sampai terbentuk warna biru muda yang tidak hilang selama 30 detik Penghitungan kadar vitamin C
Gambar 5.2 Diagarm alir penentuan kadar vitamin C
D. Hasil dan Pembahasan
Asam askorbat atau vitamin C adalah vitamin esensial yang larut dalam air dan banyak terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Asam askorbat sangat peka dan terdegradasi oleh faktor lingkungan yang buruk seperti perubahan suhu, kelembaban udara dan dipercepat oleh faktor kondisi yang lain seperti kondisi aerob atau anaerob, pH lingkungan, adanya oksigen dan katalis logam.(Wijaya, 2014). Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat, keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C (Winarno, 2004). Vitamin C mempunyai berat molekul 178 dengan rumus molekul C6H8O6. Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190-192 0C. Bersifat larut dalam air dan sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Oksidasi vitamin C akan terbetuk asam dehidroaskorbat (Sudarmadji dkk. 2010). Metode yang digunakan untuk penentuan kadar vitamin C pada praktikum ini adalah metode Iodometri, dengan menggunakan indikator amilum dan penitrasian dengan iod. Dalam Radiati (2007) dan Padmaningrum (2008) iodometri adalah salah satu metode analisis kuantitatif volumetrik secara oksidimetri dan reduksimetri melalui proses titrasi. Prinsip pengujian vitamin C menggunakan metode iodometri/titrasi iodin adalah vitamin C akan dioksidasi oleh larutan Iodium standar karena Iodium berperan sebagai oksidator. Vitamin C dapat bereaksi dengan larutan iodin (I 2), yang akan mengubah I2 menjadi ion iodide (I -) sehingga iodin mengalami reduksi. vitamin C teroksidasi seluruhnya oleh larutan Iodium standar. Digunakan indikator amilum sebelum penitrasian agar perubahan warna dapat diamati secara jelas setelah, kelebihan Iodium ini akan bereaksi dengan amilum dan menghasilkan warna biru. Reaksi vitamin C dengan Iodin adalah sebagai berikut: C6H8O6 + I2 → C6H6O6 +2I-+2H+ (Pratama et al., 2011). Dalam penentuan kadar vitamin C dalam produk kemasan ini digunakan 5 sampel merk sari buah yang berbeda, yakni sampel A (Jambu ABC), sampel B (Jambu Buavita), sampel C (Jeruk Buavita), sampel D (Leci ABC) dan sampel E (Mangga Buavita). Cara penentuan kadar vitamin C
dengan metode titrasi iodometri dilakukan dengan menimbang sampel kurang lebih 1 gram dalam labu takar 50 ml dengan timbangan analitik, kemudian ditambahkan aquades hingga tanada tera. Kemudian sebanyak 25ml sampel yang telah diencerkan masukan ke dalam Erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 1 ml indikator amilum, lalu dititrasi dengan larutan iodin 0,01N hingga terbentuk warna semburat biru dan tidak hilang dalam 30 detik. Warna biruhitam muncul karena adanya iodium dan amilum bereaksi satu sama lain, ketika ada kelebihan yodium berarti titik akhir tercapai (Yang, 2012). Dilakukan 3 kali pengulangan untuk tiap sampel, supaya data yang ddiperoleh optimal. Volume larutan iodin yang berkurang digunakan dalam rumus perhitungan kadar vitamin C, sehingga diperoleh % kadar vitamin C sampel. Tabel 6.1 Penentuan Kadar Vitamin C
Kel 1,6, 11 2,7, 12 3,8, 13 4,9, 14 5,10 ,15
Volume Iodium (ml)
Sam pel
Berat Samp el (g)
Kadar Vitamin C (%)
U3
Rerata Vol. Iodin
U1
U2
U3
Rerata Vol. % Vit. C
U1
U2
A
1,050
0,5
1,0
1,4
0,967
0,084
0,168
0,235
0,162
B
1,021
1,0
1,4
0,8
1,067
0,172
0,241
0,138
0,183
C
1,034
0,2
0,3
0,3
0,267
0,094
0,051
0,051
0,045
D
1,028
0,
0,6
0,6
0,633
0,120
0,103
0,103
0,109
E
1,016
0,3 5
0,3 5
0,4
0,367
0,061
0,061
0,069
0,064
Sumber : Laporan sementara Keterangan : Sampel A (Jambu ABC) Sampel B (Jambu Buavita) Sampel C (Jeruk Buavita) Sampel D (Leci ABC) Sampel E (Mangga Buavita)
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh kadar vitamin C pada sampel A (Jambu ABC), sampel B (Jambu Buavita), sampel C (Jeruk Buavita), sampel D (Leci ABC) dan sampel E (Mangga Buavita) berturut-turut sebesar 0,162%; 0,183%; 0,045%; 0,109% dan 0,063%. Dari Hasil yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan kadar vitamin C yang tertera pada
label kemasan (nutrition fact) dalam %AKG, dengan cara terlebih dahulu mengonversi satuan hasil percobaan dengan perhitungan yang telah terlampir. Sehingga didapatkan hasil vitamin C praktikum pada sampel A, B, C, D, E berturut-turut sebesar 668 mg, 755 mg, 186 mg, 450 mg dan 264 mg. Sedangkan pada tabel nutrition fact tertera pada kemasan masing-masing sampel dengan takaran persajian 250ml berturut-turut sebesar 100%, 90%, 45%,
100%,
dan 35% angka kecukupan gizi (%AKG). %AKG ini
menunjukkan angka kecukupan gizi vitamin C yang diperlukan oleh tubuh dalam sehari. Ini berarti dengan mengonsumsi 250ml produk dapat memenuhi kebutuhan vitamin C sebesar 100%, 90%, 45%, 100%, dan 35% dari standar AKG, sedangkan pada standar AKG dicantumkan kecukupan vitamin C tubuh dalam satu hari sebesar 90mg. Jadi dapat dikatakan, dalam produk sampel A (Jambu ABC), sampel B (Jambu Buavita), sampel C (Jeruk Buavita), sampel D (Leci ABC) dan sampel E (Mangga Buavita) mampu memberikan asupan vitamin C yang terserap oleh tubuh berturut-turut sebesar 90 mg, 81 mg, 40,5 mg, 90 mg dan 31,5 mg. Pada hasil praktikum diperoleh kadar vitamin C pada sampel produk minuman sari buah yang sangat tinggi, hal ini dimaksudkan oleh produsen agar konsumen tetap dapat menyerap vitamin C sesuai klaim %AKG yang tertera pada kemasan masing-masing produk. Dalam Pacier dan Danik (2015), dikatakan bahwa vitamin C ini mudah larut dalam air dan cepat terekskresikan, sehingga konsumsi vitamin C dalam jumlah tertentu tidak seluruhnya terserap oleh tubuh. Efisiensi penyerapan vitamin C berbeda -beda bergantung besarnya kandungan vitamin C dalam sekali konsumsi, dalam jurnalnya diterangkan bahwa dengan konsumsi vitamin C yang semakin tinggi maka persen daya serapnya akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan sifat vitamin C itu sendiri yang mudah larut dalam air dan cepat terekskresikan selama di pencernaan, sehingga terbuang atau tidak terserap oleh tubuh. Sehingga pada percobaan ini, tepat bahwa kadar vitamin C dalam kemasan hasil percobaan jauh lebih tinggi dari %AKG nutrition fact kemasan. Karena vitamin C yang %AKG merupakan vitamin C yang dapat terserap oleh tubuh, sedangkan pada praktikum ini,
menentukan kadar vitamin C dalam produk, bukan kadar vitamin C yang dapat diserap tubuh (%AKG). Selain itu menurut Bello dan Fowoyo (2014) karena kestabilan vitamin sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan, dimana semakin tinggi suhu dan semakin lama penyimpanan akan menyebabkan penurunan kadar vitamin C yang semakin cepat. Maka produk dengan kadar vitamin C, kadar vitamin C nya akan turun seiring dengan lamanya penyimpanan dan pengangkutan dengan kondisi lingkunan yang suhu tinggi, sehingga dalam produk sari buah praktikum ini kadar vitamin C yang diperoleh sangat tinggi, untuk menjaga vitamin C dapat dikonsumsi dan memenuhi klaim vitamin C yang tertera dalam %AKG nutrition fact kemasan. Jadi dapat dikatakan hasil praktikum ini, sudah mendekati teori. Namun pada hasil percobaan ini, besaran kadar vitamin C yang didapatkan tidak sesuai dengan besaran nutrition factnya, dimana pada nutrition fact kadar vitamin C dari yg terbesar ke yg terkecil adalah sampel A > C > B > D > E yakni 90 mg, 90 mg, 81 mg, 40,5 mg dan 31,5 mg. Sedangkan pada hasil praktikum diperoleh kadar vitamin C dari yang terbesar adalah sampel B > A > D > E > C yakni sebesar 755 mg, 668 mg, 450 mg, 264 mg, dan 186 mg. Penyimpangan ini dapat terjadi karena vitamin C dalam sampel telah terdegradasi selama penyimpanan dan suhu yang tinggi selama pendistribusian (Bello dan Fowoyo, 2014) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan menurut Padmaningrum (2008) penentua n vitamin C dengan metode iodometri ini memiliki kekurangan ketelitian, hal ini dikarenakan titik akhir titrasi tidak tepat sama dengan titik ekuivalen dan adanya kelebihan titran, indikator yang bereaksi dengan analit atau indicator bereaksi dengan titran. Sehingga kadar vitain C yang diperoleh pada percobaan tidak benar benar tepat. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kandungan vitamin C dalam suatu bahan pangan. Menurut Wijaya (2004) faktor lingkungan yang buruk seperti perubahan suhu, kelembaban udara dan dipercepat oleh faktor kondisi yang lain seperti kondisi aerob atau anaerob, pH lingkungan, adanya oksigen dan katalis logam dapat mendegradasi vitamin C. Konsentrasi asam
askorbat mengalami penurunan selama penyimpanan. L-asam askorbat sangat larut dalam air dan bersifat asam serta memiliki sifat reduktor yang kuat. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kadar asam askorbat menurut Bello dan Fowoyo (2014) adalah kondisi iklim, tingkat kematangan buah, penanganan, penyimpanan, dan tipe kontainer (wadah penyimpanan). Kestabilan asam askorbat juga sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan, dimana semakin tinggi suhu dan semakin lama penyimpanan akan menyebabkan penurunan kadar vitamin C yang semakin cepat. Pengembangan metode analisis Vitamin C yang lain adalah dengan metode spektrofotometer yang biasannya menggunakan berbagai pereaksi seperti ammonium molibdat dan pereaksi orto-fenantrolin untuk membentk warna pada larutan. Sedangkan dapat juga menggunakan pereaksi lain yakni metilen blue. Metode spektrofotometri didasarkan antara materi dengan energi cahaya. Kelebihan metode ini antara lain pengerjaannya yang cepat, mudah dan memberikan hasil yang lebih baik (Safari, 2009). Selain itu dalam Sudarmadji dkk. (2010) juga dijelaskan metode lain dalam penentuan vitamin C adalah dengan 2,6 D (2,6 Na-dikhlorofenol indofenol). Asam askorbat dapat direduksi oleh 2,6 D sehingga terjadi perubahan warna pada sampel. Larutan 2,6 D dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6 D direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi larutan tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 D maka akan terjadi kelebihan larutan 2,6 D sehingga terlihat perubahan warna pada larutan sampel. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6 D dengan vitamin C standar. E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara V Vitamin C dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Prinsip pengukuran kadar vitamin C dengan reaksi redoks yaitu menggunakan larutan Iodin (I 2) sebagai titran dan larutan amilum sebagai indikator. Pada proses titrasi, setelah semua vitamin C bereaksi dengan
Iodin, maka kelebihan Iodin akan bereaksi dengan amilum membentuk warna biru gelap. 2.
Kadar vitamin C diperoleh pada sampel A (Jambu ABC), sampel B (Jambu Buavita), sampel C (Jeruk Buavita), sampel D (Leci ABC) dan sampel E (Mangga Buavita) berturut-turut sebesar 0,162%; 0,183%; 0,045%; 0,109% dan 0,063%.
DAFTAR PUSTAKA
Bello, A.A., Fowoyo, P.T. 2014. Effect of Heat on the Ascorbic Acid Content of Dark Green Leafy Vegetables and Citrus Fruits. African Journal of Food Science and Technology, Vol. 5, No. 4, April 2014 (115). Ciesielski, W., Robert Z. 2006. Iodimetric Titration of Sulfur Compounds in Alkaline Medium. Journal of Chemical Analysis Warsaw, Vol. 51, 2006 (654). Iqbal, K., Alam K., M. Muzaffar A.K.K. 2004. Biological Significance of Ascorbic Acid (Vitamin C) in Human Health – A review. Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 3, No. 1 (5). Mukaromah, U., Sri Hetty S. dan Siti Aminah. 2010. Kadar Vitamin C, Mutu Fisik, pH dan Mutu Organoleptik Sirup Rosella (Hibiscus Sabdariffa, L) Berdasarkan Cara Ekstraksi. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 No. 01. Pacier, Callen and Danik M. Martirosyan. 2015. Review Vitamin C: Optimal Dosages, Supplementation And Use In Disease Prevention. Functional Foods in Health and Disease Journal. Vol. 5, No. 3: 89-107 Padmaningrum, Regina Tutik. 2008. Titrasi Iodometri. Jurnal Pendidikan Kimia Universitas Negri Yogyakarta, (5). Poedjiadi, Anna dan Titin Supriyanti. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Pratama, A., Darjat, Iwan S. 2011. Aplikasi LabVIEW Sebagai Pengukur Kadar Vitamin C dalam Larutan Menggunakan Metode Titrasi Iodimetri. Jurnal Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, UNDIP , 2011 (1-2). Radiati, Lilik E., Imam T., dan Nurul H.A. 2007. Kajian Propolis, Pollen Dan Royal Jelly Pada Produk Madu Sebagai Antioksidan Alami . Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak , Hal 35 - 39 Vol. 2 , No. 1. Hal.37. Safari, Royati. 2009. Penentuan Vitamin C dalam Manisan Nanas secara Spektrofotometri dengan Pereaksi Metilen Biru. Skripsi Universitas Sunan Kalijaga. Sari, K.L.K., Jemmy A.P., Sri A. 2012. Pengaruh Rasio Amilum: Air dan Suhu Pemanasan Terhadap Sifat Fisik Amilum Singkong Pregelatin yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet. Jurnal Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana, 2012 (50). Simatupang, S. 2006. Pengkajian Subsitusi Aquades dengan Sumber Air Lainnya pada Perbanyakan Mikro Pisang Barangan dan Stroberi. Jurnal Hortikultura Vol. 16, No. 4, 2006 (300). Widiati, S. 2011. Daya Hambat Ekstrak Ampas The Hitam (Camellia sinensis L.,) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Skripsi Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011 (11).
Wijaya, I.P.N. 2014. Kinetika Perubahan Konsentrasi Asam Askorbat (Vitamin C) pada Buah Mangga Podang Selama Penyimpanan. Jurnal Uniska Kediri, 2014 (3-4). Yang, Jeffery. 2012. Differences of Vitamin C in Oranges When Exposed to Sunlight . PRISM.
LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. Perhitungan kadar Vitamin C praktikum Sampel E (Buavita manga) a. − =
, + , + ,
b. − = c. Kadar C (%) =
, + , + ,
= 0,367
() , ,
i.
Kadar C (%) U1 =
ii.
Kadar C (%) U2 =
iii.
Kadar C (%) U3 =
, , , , , ,
= 1,016
100%
2 100% = 0,061% 2 100% = 0,061%
2 100% = 0,069%
, ,% + ,%+ ,%
d. Kadar C (%) − =
2. Konversi kadar vitamin C praktikum (dalam persen (%) ke mg) i. ii. a.
b.
c.
d.
e.
(an)=
% %
×
= Sampel A 0,162 % = 250 = 0,405 100% = 0,405 1,65 = 0,668 = 668 Sampel B 0,183 % = 250 = 0,458 100% = 0,458 1,65 = 0,758 = 755 Sampel C 0,045 % = 250 = 0,113 100% = 0,113 1,65 = 0,186 = 186 Sampel D 0,109 % = 250 = 0,273 100% = 0,273 1,65 = 0,450 = 450 Sampel E 0,064% = 250 = 0,158 100% = 0,158 1,65 = 0,264 = 264
= 0,064%
3. Perhitungan kadar vitamin C dalam kemasan
a.
b.
c.
d.
e.
ℎ % = ℎ 100% Sampel A 100% ℎ = 90 = 90 100% Sampel B 90% ℎ = 90 = 81 100% Sampel C 45% ℎ = 90 = 40,5 100% Sampel D 100% ℎ = 90 = 90 100% Sampel E 35% ℎ = 90 = 31,5 100%
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Gambar 5.3 Peninmbangan sampel
Gambar 5.4 Pengambilan 25ml sampel yang telah diencerkan
Gambar 5.5 Penitrasian dengan iodin 0,01N
Gambar 5.6 Hasil titrasi yang gagal (melebihi titik ekuivalen)
Gambar 5.6 Nutrition fact kemasan sampel E (Mangga buavita)
Gambar 5.7 Nutrition fact kemasan sampel D (Leci ABC)