A. Dakwah 1. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa “ Da’wah” Da’wah” berarti: panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab disebut masdhar . Sedangkan bentuk kata kerja ( fi’il fi’il )nya )nya adalah berarti: memanggil, menyeru atau mengajak Da’a, ( Da’a, yad’u, dawatan). dawatan). Orang yang berdakwah biasa disebut dengan den gan Da’ Da’ i dan orang yang menerima dakwah atau orang yang didakwahi disebut dengan mad’u. mad’u. Berbagai pengertian istilah dakwah diartikan sebagai berikut: a) Prof. Toha Yahya Oemar menyatakan bahwa dakwah Islam sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat. b) Syaikh Ali Makhfudz, dalam kitabnya hidayatul Mursyidin memberikan definisi dakwah sebagai berikut: dakwah Islam yaitu; mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah dari kemunkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. c) Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak mengajak umat mausia dengan hikmah (kebijaksanaan) untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. d) Menurut Prof. Dr. Hamka dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar. e) Syaikh Abdullah Ba’alawi mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak membimbing, dan memimpin orang yang belum mengerti atau sesat jalannya dari agama yang benar untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada Allah, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka berbuat buruk agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. f) Menurut Muhammad Natsir dakwah mengandung arti kewajiban yang menjadi tanggung jawab seorang Muslim dalam amar ma’ruf nahi munkar. g) Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa dakah adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran adalah fardlu yang diwajibkan kepada setiap Muslim. (Saputra, 2012: 1-2).
2. Tujuan Dakwah
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia. Apalagi bila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan salah satu unsur dakwah. Dalam buku dimensi ilmu dakwah Syukriadi sambas mengungkapkan (2009: 104) tujuan dakwah Islam dengan mengacu kepada kitab al-Qur’an sebagai k itab dakwah, antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Merupakan upaya mengeluarkan manusia dari kegelapan hidup (Zhulumat ) kepada cahaya kehidupan yang terang (nur ). (QS. 2: 257) b) Upaya menegakkan sibgah Allah (celupan hidup
dari Allah) dalam kehidupan
makhluk Allah (QS. 2: 138) c) Upaya menegakkan fitrah insaniyah (QS. Al-Rum: 30) d) Memproyeksikan tugas ibadah manusia sebagai hamba Allah (QS. 2:21) e) Mengestafetkan tugas kenabian dan kerasulan (QS. 59:7) f) Upaya menegakkan aktualisasi pemeliharaaan agama, jiwa, akal, generasi, dan sarana hidup. g) Perjuangan memenagkan ilham taqwa atas ilham fujur dalam kehidupan individu, keluarga kelompok dan komunitas manusia. 3. Unsur-Unsur Dakwah
Dalam pelaksanaannya dakwah memiliki unsur-unsur yang terbentuk secara sistematik, artinya terdapat relasi antara unsur satu dengan unsur lainnya. Unsur dakwah adalah elemen yang harus ada dalam proses dakwah. (Enjang dkk. 2009: 73) Paling tidak terdapat enam unsur utama (pokok) dalam proses dakwah yaitu: da’i, maudu (materi dakwah) disebut juga pesan dakwah , ushlub (metode dakwah), wasilah (media dakwah), mad’u (objek dakwah), dan tujuan dakwah. Sedangkan konteks dakwah dan respon balik ( feed back ) merupakan situasi dan implikasi yang tak terpisahkan ketika terjadi proses dakwah, dalam arti unsur yang melekat (iltizam). A. Da’i (subjek dakwah)
Kata da’i berasal dari bahasa Arab bentuk mudzakar (laki-laki) yang berarti orang yang mengajak, kalau muanas (perempuan) disebut da’iyah. Dalam kamus bahasa Indonesia da’i diartikan orang yang pekerjaannya berdakwah, pendakwah: melalui kegiatan dakwah para da’i menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan kata lain da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui lisan, tulisan atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut ajaran Islam. Da’i dalam posisi ini disebut subjek dakwah, yaitu pelaku dakwah yang senantiasa aktif menyebarluaskan ajaran Islam. Da’i ibarat seorang guide atau pemandu terhadap orang-orang yang ingin mendapat keselamatan hidup dunia dan akhirat. Ia adalah petunjuk jalan yang harus mengerti dan memahami terlebih mana jalan yang boleh dilalui dan yang tidak boleh dilalui seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan kepada orang lain. Oleh karena itulah kedudukan seorang da’i di tengah masyarakat menempati kedudukan yang penting, ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu diteladani oleh masyarakat di sekitarnya. Perbuatan dan tingkah laku da’i selalu dijadikan tolak ukur oleh masyarakatnya. Ia adalah seorang pemimpin di tengah masyarakat walau tidak pernah dinobatkan resmi sebagai pemimpin. Kemunculan da’i sebagai pemimpin adalah kemunculan atas pengakuan masyarakat yang tumbuh secara bertahap. Itulah sebabnya sebagai da’i harus sadar bahwa segala tingkah lakunya selalu dijadikan tolak ukur masyarakatnya. (Enjang, 2009, 73-74) B. Maudu (Pesan Dakwah).
Maudu atau pesan dakwah adalah pesan-pesan, materi atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh da’i (subjek dakwah) kepada mad’u (objek dakwah), yaitu keseluruhan ajaran Islam, yang ada di dalam kitabullah maupun sunah Rasul-Nya. Atau disebut juga al-haq (kebenaran hakiki) yaitu al-Islam yang bersumber dari al-Quran (lihat QS al-Isra 17:105):
“Dan kami turunkan (Al -Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran dan kami tela mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (Al-Isra 17:105).” Bertolak dari uraian di atas maka maudhu (pesan) da’wah adalah seluruh ajaran Islam yang sering disebut dengan syari’at Islam, yang oleh Schiko Murata dan William C. Chitick disebut sebagai trilogi Islam ( Islam, Iman, dan Ihsan), dan seterusnya Asisi (1994), Al-jauzi (1089), dan Subandi (1994) di antara materi (pesan) dakwah bisa dalam bentuk pesan taubat, dzikir, shalat, shaum, dan penyadaran diri akan fitrah kemanusiaan. Bahkan menurut salim (1995) bahwa taubat, dzikir, shalat dan shaum itu secara tegas dijelaskan leh al-Quran dan penjelasannya banyak menggunakan ungkapan perintah, dan setiap perintah menunjukkan wajib. (Enjang, 2009: 80-81) C. Ushlub (Metode Dakwah)
Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos, merupakan gabungan dari kata meta yang berarti melalui, mengikuti, sesudah, dan kata hodos berarti jalan, cara. Sedangkan dalam bahasa jerman, metode berasal dari akar kata methodica yang berarti ajaran tentang metode. Sedangkan dalam bahasa Arab metode disebut thariq, atau thariqah yang berarti jalan atau cara. Kata-kata tersebut identik dengan kata al-Ushlub. Ushlub secara bahasa jalan, seni. Misalnya: dikatakan dia berada pada ushlub suatu kaum, maksudnya ialah berada di atas jalan (manhaj) mereka, dan jika ada yang mengatakan: “aku mengambil suatu ushlub dalam pembicaraan”, maksudnya adalah seni dalam bicara. Kemudian menurut Basrah Lubis, metode adalah “a systematic arrangenemt of thing or ideas”. (suatu sistem atau cara untuk menyusun atau mengatur suatu ide atau keinginan). Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat dipahami, bahwa metode dakwah
(ushlub
al- Da’wah)
adalah
suatu
cara
dalam
melaksanakan
dakwah,
menghilangkan rintangan atau kendala-kendala dakwah, agar tercapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, segala cara dalam menegakkan syari’at Islam untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan, yaitu terciptanya kondisi kehidupan mad’u yang selamat dan sejahtera (bahagia) baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oreinted , menempatkan penghargan yang mulia atas diri manusia. Hal ini sejalan
dengan hakikat gerakan dakwah yang dinyatakan al-Ghazali. Menurutnya gerakan dakwah merupakan proses menegakkan syariat Islam secara terencana dan teratur agar manusia menjadikannya sebagai satu-satunya tatanan hidup yang haq dan cocok dengan fitrahnya. Sedangkan menurut Nasaruddin Razak, proses menegakkan syariat itu tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif dan efisien tanpa metode. Secara teoritis, al-Quran menawarkan metode yang tepat guna dalam menegakkan dakwah, yaitu dengan cara bijaksana (hikmah), nasihat yang baik (al-Mauiddzah al-hasanah) dan berdiskusi yang baik (al-Mujadalah). Ketiga cara ini merupakan proses dakah yang dapat diterapkan secara objektif proporsional dari seseorang kepada orang lain (mad’u) yang dihadapinya. Dalam hal ini peran bahasa sangat penting dalam menyampaikan materi dakwah. Bahasa yang dimaksud adalah “ bahasa” dalam arti yang seluas-luasnya. Karena bahasa merupakan media yang paling banyak dipergunakan oleh umat manusia dan hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini; baik mengenai hal yang konkrit maupun abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa mendatang. D. Wasilah al-da’wah (Media Dakwah)
Secara bahasa wasilah merupakan bahasa Arab, yang bisa berarti: al-wushlah, al Ittishal , yaitu segala hal yang dapat mengantarkan tercapainya kepada sesuatu yang dimaksud. Sedangkan menurut Ibn Mandzur, al-wasilah secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata al-wasalu dan al-wasailu yang berarti singgasana raja, derajat, atau dekat. Sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang dapat mendekatkan kepada suatu lainnya. Dengan demikian, media dakwah adalah alat objektif yang menjadi saluran yang dapat menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah yang keberadaannya sangat urgent dalam perjalanan dakwah. Dalam pandangan Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni, secara praktis washilah dalam konteks dakwah terbagi menjadi dua, yaitu (1) washilah mankawiyah dan, (2) washilah madiyah. Washilah mankawiyah adalah media yang bersifat imaterial, seperti rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mempertebal ikhlas dalam beramal. Sedangkan yang
dimaksud dengan washilah madiyah adalah media yang bersifat material, yaitu segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da’i dalam menyampaikan dakwah kepada mad’u-nya. Media ini terbagi pada tiga bentuk, yaitu, (1) mengajar, ceramah umum, khuthbah dan sebagainya). Dalam pendapat lain aspek-aspek ini termasuk metode dakwah. Sedangkan media berupa gerakan adalah berpindah, perjalanan, hijrah, jiarah dan lain-lain; (2) media yang bersifat ilahiyah (wasail fanniah). Seperti: washilah yadawiyah (karya tulis), washilah bashariyah (karya lukis), washilah sam’iyah (kreasi suara) berupa pengeras suara, kaset, telepon dan lain-lain; washilah samiyah-bashariyah (audio-visual) seperti radio, televisi, film, dan lain-lain; dan washilah al-mutanawiyah seperti teater, drama, dan lain-lain; dan (3) media yang bersifat praktis (tabiqiyah). Seperti: memakmurkan mesjid, mendirikan organisasi, mendirikan sekolah, rumah sakit, menyelenggarakan seminar, dan mendirikan sistem pemerintahan Islam. Selain itu, menurut Muhammad Said Mubarak, al-washilah juga bisa sesuatu yang dituju. Selanjutnya, menurut beliau terdapat dua bentuk washilah dalam dakwah, yakni: a) Maknawiyah, yaitu suatu perantara yang mesti dilakukan oleh seorang da’i dalam berdakwah, berusaha keras mencari materi yang baik, serta waktu dan tempat yang tepat guna kegiatan dakwah. b) Madiyah, yaitu berupa: (1) Tatbiqiyah, seperti Mesjid, aula dan pusat dakwah Islam: (2) taqniyah, seperti pengeras suara dan berbagai peralatan modern lainnya; dan (3) asasiah, berupa ucapan seperti nasihat dan wejangan serta gerakan menempuh perjalanan. Kemudian terkait dengan persoalan ini, Said Mubarak menyatakan bahwa dalam menggunakan media (washilah) dakwah ini para da’i pada jaman dulu sangat menjaga etika dan ketentuan-ketentuan (pakem-pakem) dalam berdakwah. Di antara etika, ketentuan atau pakem yang mesti dijaga oleh para da’i adalah (1) Media dakwah tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan al-sunah; (2) Dalam menggunakan media dakwah tidak menjurus kepada hal-hal yang diharamkan oleh agama dan tidak menimbulkan kerusakan; (3) Dapat digunakan denganm baik; (4) Media relevan dengan situasi dan kondisi konteks dakwah; (5) Media dapat menjadi perantara untuk menghilangkan kesesatan dari orang-orang yang inkar dan menyalahi agama; (6) Jelas
dalam tahapan-tahapan penggunaannya; (7) Media secara pleksibel dapat digunakan dalam berbagai kondisi mad’u, adatnya, kepercayaannya, dan kebudayaannya; dan (8) dapat digunakan dalam berbagai situasi waktu dan keadaan. Pendapat lain washilah dakwah atau media dakwah adalan instumen yang dilalui oleh pesan atau saluran pesan yang menghubungkan antara da’i dan mad’u. Pada prinsipnya dakwah dakwah dalam tataran proses, sama dengan komunikasi, maka media pengantar pesan pun sama. Media dakwah berdasarkan jenis dan peralatan yang melengkapinya terdiri dari media tradisional, media modern, dan perpaduan kedua media tradisional dan modern. 1. Media tradisional Setiap masyarakat tradisional (dalam berdakwah) selalu menggunakan media yang berhubungan dengan kebudayaannya, sesuai dengan komunikasi yang berkembang dalam pergaulan tradisionalnya. Media yang digunakan terbatas pada sasaran yang paling digemari dalam kesenian seperti: tabuh-tabuhan (gendang, rebana, bedug, siter, suling, wayang, dan lain-lain) yang dapat menarik perhatian orang banyak. 2. Media modern Berdasarkan jenis dan sifatnya media modern dapat kita bagi:
Media auditif; media tersebut meliputi; telepon, radio, dan tape recorder.
Media visual; yang dimaksud dalam kategori media visual adalah media yang tertulis atau tercetak. Contohnya ialah pers: disini dimaksudkan dengan segala bahan bacaan yang terletak seperti surat kabar, buku, majalah, brosur, pamplet, dan sebagainya. Photo dan lukisan: media visual lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan berdakwah adalah photo-photo dan lukisan-lukisan. Brosur, poster, dan pamplet bisa digunakan sebagai media dakwah.
3.
Media audiovisual; televisi, video, internet, dan lain-lain. Perpaduan media tradisional dan modern Perpaduan disini dimaksudkan dengan pemakaian media tradisional dan media modern dalam suatu proses dakwah. Contohnya pegelaran wayang, sandiwara, yang bernuansa Islam, atau ceramah di mimbar yang ditayangkan televisi. Dari uraian di atas pada prinsipnya media dakwah adalah berbagai alat (instrument ) , sarana yang digunakan untuk pengembangan dakwah Islam yang mengacu
pada kultur masyarakat dari yang klasik, tradisional, sampai modern di antaranya meliputi: mimbar, panggung, media massa cetak dan elektronik, pranata sosial, lembaga, organisasi, seni, karya budaya, wisata, dan lain-lain. (Enjang, 2009: 93-96)
E. Mad’u (Objek Dakwah)
Mad’u atau sasaran (objek) dakwah adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama islam dan diberi kebebasan untuk beriktiar, kehendak dan bertanggung jawab atas perbuatan sesuai pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa, dan umat manusia seluruhnya. Sebagai makhluk Allah yang diberi akal dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat buruk, sebagai makhluk yang terkena sifat lupa akan janji dan pengakuannya bahwa Allah adalah Tuhannya ketika di alam ruh sebelum ruh tersebut bersatu dengan jasad. Manusia sebagai makhluk yang tidak hidup menyendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidupnya dan sebagai makhluk berbudaya. Kemudian, manusia dengan potensi ruhani yang dimilikinya dapat menerima dan menolak syari’at Islam yang diperuntukkan dan berfungsi sebagai aturan dan pedoman kehiduapannya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah Tuhan di bumi. Perilaku manusia baik penolakan maupun penerimaan terhadap ajaran Islam pada dasarnya merupakan ekspresi dan akumulasi potensi nafs (jiwa) yang dimilikinya. Potensi nafs (jiwa) yang dimiliki manusia ini akan membawa manusia pada posisi yang baik dan benar, dan bisa juga membawa manusia pada posisi buruk dan salah. Potensi manusia itu dalam penjelasan al-Quran terbagi pada empat macam, yaitu: 1) Nafs muthmanah (QS. Al-Fajr 89: 27-28) 2) Nafs mulhamah supiah (QS. Al-Syam. 91: 7-10) 3) Nafs amarah (QS, Yusuf 12:53) 4) Nafs lawamah (QS, Al-Qiyamah 75: 2) 4. Tahapan Pembentukan Dakwah
Secara praktis kegiatan dakwah merupakan kegiatan yang sudah cukup tua, namun secara keilmuan dalam arti pendekatan epistemologis, ilmu dakwah merupakan sebuah disiplin ilmu yang relatif masih muda, ia baru mendapatkan perhatian yang agak
serius dari para pemikir dan para pakar dakwah sekitar tahun 80-an sampai sekarang. Walaupun sejak 1942 dakwah sudah menjadi bidang kajian akademik di perguruan tinggi yaitu di Al-Azhar, namun ternyata diindikasikan masih sangat minimnya karya-karya tulis tentang dakwah paling tidak kondisi ini sampai tahun 80-an.(Enjang. 2009: 102) Merujuk pada tulisan Amrullah Ahmad, secara garis besar perkembangan pemikiran dakwah dapat di bagi dalam beberapa tahap. Beliau mengkaji sejarah pemikiran dakwah sebagai ilmu dengan hanya bertumpu pada buku-buku yang secara eksplisit mencantumkan judul tentang dakwah serta hal-hal yang paling nampak jelas kaitannya dengan dakwah. Tahapan pemikiran sebagai ilmu tersebut adalah sebagai berikut: A. Tahap Identifikasi masalah dan perumusan Pemikiran Dakwah sebagai Fenomena Tauhid, Sosial dan sejarah. Imam al-Ghazali salah seorang ualam besar, pemikir muslim zaman klasik (hidup sampai awal 12) secara khusus pernah mengkaji masalah dakwah dalam kaitannya dengan amar ma’ru f dan nahi munkar dalam kita bnya yang sangat terkenal “ Ihya ulumudin”. Kajiannya sangat jelas menggambarkan betapa kegiatan dakwah merupakan fenomena dalam masyarakat muslim yang menyebabkan terbentuknya masyarakat Islam. Amar ma’ruf nahi munkar menjadi inti penggerak dalam dinamika masyarakat islam. Sejak awal al-Ghazali sudah mengenalkan kepada masyarakat bahwa dakwah berdimensi politik dan senantiasa bersentuhan dengan kekuasaan (penguasa). Setelah menguraikan syarat amar ma’ruf nahi munkar , ia menceritakan pelaksanaan dakwah yang dilaksanakan para da’i kepada para penguasa. Di kalangan intelektual Barat, Thomas W. Arnold mengkaji masalah dakwah diberbagai belahan bumi dengan pendekatan sejarah dalam bukunya yang terkenal “The preaching of Islam” (1896) yang sangat berpengaruh dikalangan pemikir dakwah di Timur Tengah karena bukunya dicetak berulang-ulang sampai 3 kali. Di Indonesia, buku ini menjadi Literatur wajib mata kuliah sejarah Dakwah pada fakultas Dakwah. Dari kalangan pemikir muslim di Timur Tengah muncul tokoh pemikir dakwah Abdullah bin Alwi al-Haddad yang menulis buku “al- Da’wah al -Tammah wa-Tadzkirah Ammah” (1935) yang isinya membahas klasifikasi sasaran dakwah. Sedangkan Muhammad Ahmad al-Adawi menulis buku dengan judul “ Da’watu Rasul ila Allahi ta’ala” (1935) yang membahas tahapan dakwah. Pada tahap ini identifikasi gerakan dakah sebagai fenomena tauhid, sosial dan sejarah sudah dikaji secara ilmiah. Pada tahap ini memang buku dakwah termasuk masih langka. Hal ini tidak dilepaskan dengan kondisi objektif umat islam yang pada umumnya masih dibawah penjajahan imperialisme Barat. Sehingga wajar secara intelektual masih sangat kurang berkembang. Meskipun gerakan dakwah Islam tetap berjalan seperti di Indonesia sudah tumbuh berkembang Syarikat Islam, Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan lainnya. Faktor lainnya mengapa terjadi kelambanan kajian ilmiah dakwah Islam
karena ada kecenderungan umum dikalangan umat Islam bahwa kesadaran amaliah lebih tinggi daripada kesadaran teoritik. B. Tahap pemikiran Dakwah Sebagai Bidang Kajian Akademik di Perguruan Tinggi. Salah satu bentuk pengakuan bahwa bidang pengetahuan disebut ilmu pengetahuan adalah karena bidang pengetahuan itu di terima di dunia akademik dan dikaji secara disipliner dalam wadah program studi/jirusan/fakultas. Dilihat dari sisi ini, maka ilmu dakwah sudah diakui masyarakat ilmiah sejak dibukanya Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar pada tahun 1942 dengan ditandai terbitnya karya ilmiah syech Ali Makhfud dengan judul “ Hidayatul Mursyidin”. Isinya buku ini menekankan pada lingkup kajian dakwah sebagai tabligh dalam pengertian penyiaran Islam melalui khitabah. Sejak ilmu dakwah memperoleh status akademik (1942), sampai 1980, sekitar 38 tahun banyak buku yang diterbitkan oleh para pemikir dakwah. Dilihat dari segi jumlah karya teoritik selama 38 tahun memang termasuk tidak banyak, tetapi dilihat dari segi dampak (manfaat) gerakan dakwah sebagai upaya mewujudkan realitas Islam sangat dirasakan oleh umat Islam di berbagai belahan bumi. Mungkin inilah yang disebut ilmu yang memberikan manfaat. Tanpa topangan ilmiah tersebut boleh jadi realitas Islam belum mengalami akselerasi sebagaimana kita lihat pada abad ke 21 ini. Tulisan para pemikir berkisar dalam masalah: unsur-unsur dakwah (tabligh), eksistensi dakwah sebagai sarana membangun atau perbaikan masyarakat, problematika dakwah, prosesdakwah, sistem dakwah, metode dakwah, analisis faktor-faktor keberhasilan tabligh (penyiaran Islam), media dakwah, filsafat dakwah, manajemen dakwah, dan konsep menurut al-Quran. Para pengkaji dakwah dan karya yang dihasilkan antara lain: 1. Syech Ali Mahfudz, hidayatul Mursyin (1942), yang kemudian oleh sebagian pengamat dipandang sebagai mula-mula terciptanya ilmu dakwah. 2. Muhammad al-Ghazali, Fi Maukibid Dakwah (1954) yang membicarakan perlunya perbaikan masyarakat dan Ma’allahi Dirasat Fid-Dakwah Wal Du’at (1961) yang menekankan akan keperluan akan dakwah, problematika dan proses dakwah. 3. Abu Bakar Zakri, Al Da’watu il al-Islam (1961), membicarakan pokok-pokok dakwah, kelompok da’i, teori dakwah serta metode menghadapi sasaran dakwah. 4. Barmari Umari, Asas-asas Ilmu Dakwah (1961) yang mengkaji masalah unsur-unsur dakwah Islam (tabligh). 5. Jauhari Lubis, Penyuluhan Masyarakat Agama, Jakarta DEPAG, 1963. 6. Shalahudin Sanusi, Pembahasan Sekitar Prinsip Dakwah Islam, Semarang; Ramadhani, 1964. C. Tahap Pemikiran Dakwah Secara Sistematik Keilmuan Dengan pendekatan Epistemologi dan Sistem Serta Pengembangannya Dalam Pendidikan Tinggi Dakwah. Tahap ini dimulai 1981 sampai sekarang, pada tahap ini ada kemajuan yang sangat berarti yaitu adanya ledakan buku-buku dakwah yang disertai dengan usaha sistematisasi
keilmuan dakwah dengan pendekatan sistem dan epistemologi (teori pengetahuan). Oleh karena itu, pola kecenderungan pemikiran dakwah pada tahapan ini ditandai dengan: 1. Adanya cara pandang tentang dakwah sebagai fenomena tauhid dan kemasyarakatan. 2. Dakwah tidak hanya dilihat sebagai kegiatan tabligh tetapi juga pembangunan umat dalam bentuk pengembangan masyarakat Islam. 3. Dakwah bukan lagi hanya dilihat dalam persfektif masalah lokal tetapi dalam persfektif yang mendunia (global) sehingga setiap unsur sistem dakwwah dapat dipengaruhi oleh perkembangan politik, ekonomi, sains dan teknologi masyarakat sejagat. 4. Pendekatan dakwah bukan lagi hanya dilihat dengan menggunakan unsur-unsur dakwah tetapi menggunakan pendekatan sistem yang lebih dapat menjelaskan interaksi yang dimaksud. 5. Kajian dakwah bukan lagi hanya dilihat sebagai kegiatan atau seni tetapi sebagai fenomena keilmuan yang didekati dengan epistemology yang lebih jelas.