LAPORAN PRAKTIKUM SPEKTROFOTOMETRI UV Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Praktikum Instrumen Analitik Tanggal Praktikum : 26 Februari 2018 Tanggal Pengumpulan Laporan : Dosen Pembimbing : Drs. Tri Reksa Saputra, M.Si
Oleh : M. Akhid Maulana Akbar
NIM 171411053
M. Nur Missuari
NIM 171411054
M. Rizky Pradhana
NIM 171411055
Oki Andri Oktaviana
NIM 171411056
PROGRAM STUDI D3-TEKNIK KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2018
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Warna adalah salah satu kriteria untuk mengidentifikasi suatu obyek. Pada analisis spektrokimia, spektrum radiasi elektromagnetik digunakan untuk menganalisis senyawa atau molekul kimia dan mempelajari interaksinya dengan radiasi elektromegnetik. Menurut Planck, suatu foton memiliki energi tertentu dan dapat menyebabkan transisi tingkat energi suatu atom atau molekul. Karena setiap atom atau molekul mempunyai tingkat-tingkat energi yang berbeda, maka transisi perubahan energinya juga berbeda. Berarti setiap spektrum atom atau molekul mempunyai frekuensi atau panjang gelombang yang karakterisitik. Sehingga selama analisis, digunakan cahaya dengan satu panjang gelombang atau pada panjang gelombang maksimum. Interaksi radiasi dengan atom atau molekul untuk spektroskopi ultra violet dan daerah tampak, dinyatakan dengan pengukuran absorpsi energi radiasi oleh atom atau molekul yang bersangkutan. Atom atau molekul yang mengabsorpsi dapat melakukan transisi energi yang meliputi elektron, π, σ, n dan elektron elektron d dan f .
Transisi yang meliputi elektron , π, σ, n terjadi pada molekul -molekul organik dan sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut mengabsorpsi radiasi elektromagnetik pada daerah ultra violet, yaitu pada daerah panjang gelombang < 380 nm. Kromofor, merupakan gugus tak jenuh yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultra violet dan daerah sinar tampak, misalnya: gugus yang mempunyai ikatan σ, ikatan π dan yang mempunyai elektron bebas. Sedangkan Auxokrom adalah, gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor dapat menyebabkan panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum berubah. Ciri auxokrom adalah heteroatom yang terikat langsung pada kromofor, misalnya: -OCH3, -Cl, OH dan NH2. Spektra uv-sinar tampak pada umumnya digunakan utuk mendeteksi konjugasi. Semakin banyak konjugasi dalam suatu molekul maka akan semakin panjang gelombang serapan maksimumnya. Tabel 1 dibawah ini memperlihatkan contoh kromofor senyawa organik yang pada umumnya mengabsorbsi radiasi ultra vi olet.
Panjang gelombang, λmaks (nm)
Kromofor Alkana
177
Alkena
178 – 225
Karbonil
186 – 293
Karbosilat
204
Amida
214
Azo
339
Nitro
280
Nitroso
300 – 665
Nitrat
270
Keton
282 – 324
Benzena
204
Toluen
207
Fenol
211
Anilin
230
Absorpsi yang melibatkan elektron d dan f pada umumnya mengabsorpsi daerah sinar tampak. Terjadinya transisi logam golongan d dan f , yaitu golongan unsur-unsur atau logam transisi dalam. Spektrum atau puncak absorpsi yang sempit dipengaruhi oleh lingkungan, yaitu adanya ligan dan jenisnya. Benda bercahaya seperti matahari atau bohlam listrik memancarkan spektrum yang lebar yang terdiri dari panjang gelombang. Panjang gelombang dikaitkan dengan cahaya tampak tersebut mampu mempengaruhi selaput mata manusia dan karenanya menimbulkan kesan subyektif akan ketampakan ( vision). Namun banyak pula radiasi yang dipancarkan oleh benda panas yang terletak di luar daerah mata yang peka, yaitu daerah ultra violet. Bila “cahaya putih” yang terdiri dari spektrum panjang ge lombang melewati
suatu medium seperti kaca atau suatu larutan kimia yang berwarna yang tembus cahaya tertentu , maka medium yang bersangkutan akan tampak berwarna bagi pengamat. Karena hanya gelombang yang diteruskan yang sampai ke mata, maka panjang gelombang itulah
yang menentukan warna medium tersebut. Warna ini disebut dengan warna komplementer. Tabel 2 menunjukkan klasifikasi kasar antara warna dan panjang gelombang. Panjang
Warna yang diserap
Warna komplementer
Gelombang (nm)
< 380
Ultra violet (UV)
-
380 – 455
Ungu
Hijau kekuningan
455 – 480
Biru
Kuning
480 – 490
Biru kehijauan
Jingga
490 – 500
Hijau kebiruan
Merah
500 – 560
Hijau
Ungu kemerahan
560 – 580
Hijau kekuningan
Ungu
580 – 600
Kuning
Biru
600 – 620
Jingga
Biru kehijauan
620 – 680
Merah
Hijau kebiruan
680 - 780
Ungu kemerahan
Hijau
1.2.
Tujuan
Setelah melakukan praktikum, mahasiswa diharapkan dapat:
II.
1.
Menjelaskan prinsip Spektrofotometri Ultra Violet-Sinar Tampak
2.
Menentukan konsentrasi analit dalam sampel/cuplikan.
DASAR TEORI Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi ultra violet dan daerah
sinar tampak digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa kimia. Dasar analisis spektroskopi adalah interaksi radiasi dengan senyawa kimia. Bila radiaisi dilewatkan pada suatu obyek/senyawa kimia, sebagian radiasi tersebut akan terabsorpsi. Serapan radiasi ole h molekul dalam daerah spektrum ultra violet dan sinar tampak tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan. Penyerapan sinar tampak atau ultra violet tersebut dapat menyebabkan terjadinya promosi/eksitasi molekul dari energi dasar (ground
state) ke tingkat energi yang lebih tinggi (excited state), atau dapat dikatakan menyebabkan transisi elektron valensi yang di cirikan dengan pita absorbsi pada daerah panjang gelombang tertentu. Penyerapan sinar tampak atau ultra violet pada umumnya menghasilkan eksitasi elektron, sehingga panjang gelombang absorbsi maksimum dapat di hubungkan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul yang bersangkutan. Transisi di daerah ultra violet atau tampak adalah transisi elektronik. Hal ini di kaitkan dengan lompatan elektron dari orbital molekul penuh (terisi) ke orbital molekul kosong. Karena elektron dalam molekul mempunyai energi yang tidak sama, maka energi yang diserap dalam proses eksitasi dapat mengakibatkan terjadinya satu atau lebih transisi tergantung pada jenis elektron yang terdapat dalam molekul. Hukum dasar dari spektroskopi diterangkan oleh Lambert dan Beer, sehingga hukum atau persamaan yang digunakan dikenal dengan “Hukum Lambert -Beer”. Jika suatu berkas radiasi melewati suatu medium homogen, maka sebagian dari intensitas radiasi yang datang tersebut
Io,
akan
diabsorbsi/diserap
I a,
sebagian
dipantulkan
I r dan
sisanya
diteruskan/ditransmisikan I t. Untuk antar muka udara-kaca sebagai akibat penggunaan sel kaca, cahaya yang dipantulkan hanya sekitar 4%, sehingga I r biasanya terhapus dengan penggunaan suatu control ( misalnya dengan sel pembanding atau blanko), jadi:
Io = Ia + It
Gambar 1. Hukum Lambert-Beer
Lambert menjelaskan bahwa absorbasi radiasi merupakan fungsi ketebalan medium, sedangkan Beer menjelaskan bahwa absorbsi radiasi sebagai fungsi konsentrasi medium (larutan senyawa) yang bersangkutan.
A = k b cd dengan, A adalah absorbansi, b adalah ketebalan medium, c adalah konsentrasi larutan dan
k adalah tetapan atau koefisien absorpsi yang tergantung pada satuan konsentrasi yang digunakan. k dinyatakan sebagai absorptivitas serapan (= a ) jika konsentrasi larutan dalam satuan gram/liter dan k dinyatakan sebagai absorptivitas molar atau ekstingsi molar (= €), jika konsentrasi larutan dalam satuan mol/liter. Nilai € untuk setiap molekul adalah tetap dan merupakan ciri suatu struktur molekul.
A = a b c(gram/liter) A = € b c (mol/liter)
dengan, log Io/It = A dan T = I t/Io (T: radiasi yang diteruskan /transmitansi). Sehingga, A = log 1/T.Persamaan Lambert-Beer di atas menunjukkan bahwa absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi larutan (c), sehingga jika dibuat suatu kurva antara konsentrasi (c) lawan absorbansi (A), maka akan diperoleh suatu kurva garis lurus (linier). Kurva linier tersebut biasa dikenal dengan kurva kalibrasi atau kurva standar, yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi analit dari larutan uji (sampel) setelah absorbansi dari larutan uji tersebut di interpolasikan ke dalam kurva kalibrasi tersebut.
Gambar 2. Kurva Kalibrasi
Cara kerja spektrofotometer dapat dibagi menjadi du a, yaitu:
1. Spektrofotometer sinar tunggal Pada tipe ini, sinar yang berasal dari sumber cahaya (lampu wolfram 320-1000 nm, lampu hidrogen 200-350 nm) dipantulkan oleh cermin ke celah masuk bagian monokromator. Untuk memperoleh spektrum, digunakan prisma yang bagian belakangnya dilapis aluminium, supaya cahaya yang dibiaskan oleh permukaan depan, dapat dipantulkan oleh permukaan belakang dan masuk ke celah keluar. Cahaya yang keluar dari monokromator, difokuskan oleh lensa ke kuvet yang berisi larutan. Selanjutnya sampai ke fotosel atau fotomultiflier yang merupakan detektor yang linier, artinya arus yang dihasilkan berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang jatuh pada larutan tersebut.
Gambar 3. Spektrofotometer Sinar Tunggal 2. Spektrofotometer sinar/berkas ganda
Gambar 4. Spektrofotometer Berkas Ganda
Berbeda dengan spektrofotometer sinar/berkas tunggal, pada spektrofotometer sinar ganda ini zat contoh atau larutan cuplikan di persandingkan secara kontinyu dengan larutan referensi (larutan blanko). Cahaya melintas secara bergantian melewati zat contoh dan larutan blanko. Untuk itu pada lintasan cahaya dipasang suatu sistem cermin chopper yang berotasi dengan cepat sekali. Cahaya yang datang dari sumber cahaya melalui cermin dan filter, kemudian jatuh ke kisi yang menimbulkan dispersi. Setelah melewati cermin berotasi (A dan C). Jika cahaya jatuh pada cermin A, maka cahaya tersebut akan jatuh pada kuvet yang berisi zat contoh, lalu dipantulkan oleh cermin B ke dete ktor. Pada saat itu cermin C berada pada posisi yang tidak dapat menampung cahaya. Sesaat kemudian cermin A akan memutar dan keluar dari lintasan cahaya sehingga cahaya akan jatuh ke cermin D dan setelah melewati kuvet yang berisi larutan blanko akan jatuh ke cermin C. Akhirnya cahaya dari cermin C tersebut akan sampai ke detektor. Isyarat detektor yang berasal dari larutan zat contoh dan larutan blanko akan sampai ke ampliflier dan komparator. Perbandingan kedua isyarat detektor tersebut merupakan ukuran absorpsi dan dapat dibaca pada meteran atau pencatat.
III.
ALAT DAN BAHAN Alat
Bahan
Labu takar 100 mL ; 50 mL
Larutan induk kafein 100 ppm
Pipet ukur 10 ml
Sampel kopi (murni/mix)
Bola hisap
Larutan HCl 0,2 N
Pipet tetes; corong gelas
Aquades
Gelas kimia 100 ml; 600 ml
Diklor metan (metilen klorida)
Hotplate
Kertas saring
Botol semprot Corong pisah Spektrofotometer “Shimadzu”
IV.
MSDS
V.
CARA KERJA
A.
Pembuatan larutan standar dan penentuan panjang gelombang maksimum
1. Buat larutan induk kafein (100 ppm) dalam larutan HCl 0,2 N sebanyak 100 mL
2. Buat sederetan larutan standar kafein dengan konsentrasi 2, 4, 8, 10 dan 12 ppm dalam HCl 0,2 N dari larutan induk, masing-masing dalam labu takar 50 mL 3. Tentukan panjang gelombang maksimum, dengan cara: ukur serapannya (ambil larutan standar yang konsentrasinya di tengah-tengah larutan standar yang dibuat (8 ppm) dengan berbagai panjang gelombang (dari 380 – 190 nm). 4. Ukur serapan berbagai konsentrasi larutan standar pada panjang gelombang maksimum (yang sudah ditentukan pada no.3)
B. Pembuatan larutan cuplikan kafein
1. Timbang 2 gram sampel (kopi murni atau kopi mix atau tablet/obat penurun panas) 2. Tambahkan 75 mL aquades, panaskan hingga mendidih selama 10 menit 3. Saring larutan sampel tersebut dengan kertas saring biasa 4. Filtrat yang diperoleh, saring kembali dengan kertas saring Whatman no. 40. Dinginkan fitrat hingga suhu kamar 5. Pindahkan filtrat ke dalam corong pisah dan ekstraksi dengan 25 mL diklor metan/metilen klorida (lakukan ekstraksi sebanyak 2 kali). Lapisan bawah merupakan ekstrak kafein. 6. Ekstrak yang diperoleh, ekstraksi kembali dengan larutan HCl 0,2 N, lakukan sebanyak 2 kali 7. Ukur serapan larutan ekstrak tersebut (ekstrak hasil no. 6) pada panjang gelombang maksimum (hasil penentuan langkah 3) VI.
PEMBAHASAN
VII.
KESIMPULAN
VIII.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrohamidjojo Hardjono, ”Spektroskopi Ultra Violet dan Terlihat”, Laboratorium Analisa Kimia/Fisika Pusat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2. Anwar Nur M,1989, ”Teknik Spektroskopi”, Pusat Antar Universitas – Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor, Bogor,
3. Day RA, Underwood AL, Hudyana Aloysius, 1992, ”Analisis Kimia Kuantitatif”, edisi-5, Erlangga, Jakarta. 4. Pecsok, R.L, at all, Modern Methods of Chemical Analysis, John Willey & Sons, New York, 1976. 5. Skoog, D.A, Principles of Instrumental Analysis, Rinehart and Winston Inc, New York. 6. Brink, O.G, Sachri Sobandi, 1984, ”Dasar Ilmu Instrumen”, Bina Cipta, Jakarta. 7. Khopkar, S.M, Saptorahardjo, 1990, ”Konsep Dasar Kimia Analitik”, UI Press, Jakarta.