BAB 2 TEORI M KESALAHAN KESALAHAN 2.1 kesalahan-kesalahan kesalahan-kesalahan pada survai dan pemetaan. Pengukuran merupakan proses yang mencakup tiga hal atau bagian yaitu benda ukur, alat ukur dan pengukur atau pengamat. Karena ketidak sempurnaan masing-masing bagian ini ditambah dengan pengaruh lingkungan maka bias dikatakan bahwa tidak ada satupun pengukuran yang memberikan ketelitian yang absolut. Ketelitian bersifat relative, yaitu kesamaan atau perbedaan antara harga hasil pengukuran dengan harga yang dianggap benar, karena yang absolute benar tidak diketahui. Setiap pengukuran, dengan kecermatan yang memadai mempunyai ketidaktelitian, yaitu adanya kesalahan yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi alat ukur, benda ukur, metode pengukuran dan kecakapan pengukur. Kesalahan dalam pengukuran-pengukuran yang dinyatakan dalam persyaratan bahwa : 1. 2. 3. 4.
Pengukuran tidak selalau tepat, Setiap pengukuran mengandung galat, Harga sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah diketahui, Kesalahan yang tepat selalu tidak diketahui.
Adapun sumber-sumber sumber-sumber kesalahan yang menjadi penyebab penyebab kesalahan pengukuran adalah sebagai berikut 1. Alam : perubahan angin, suhu, kelembaban udara, pembiasan cahaya, gaya berat dan deklinasi magnetic. 2. Alat : ketidak sempurnaan konstruksi konstruksi atau penyetelan instrument. instrument. 3. Pengukur : keterbatasan kemampuan pengukur dalam merasa, melihat dan meraba. Kondisi alam walaupun pada dasarnya merupakan suatu fungsi yang berlanjut, akan tetapi mempunyai karakteristik yang dinamis. Hal inilah yang menyebabkan banyak aplikasi pada bidang pengukuran dan pemetaan. Pengukuran dan pemetaan banyak tergantung dari alam. Pelaksanaan pekerjaan dan pengukuran jarak, sudut dan koordinat titik pada foto udara juga diperlukan suatu instrument pengukuran yang prosedurnya untuk mengupayakan kesalahan yang kecil. Dan jika diantara kesalahan itu terjadi, maka pengukuran dan pengumpulan data harus diulang. Kesalahan terjadi karena salah mengerti permasalahan, kelalaian, atau pertimbangan yang buruk. Kesalahan dapat diketemukan dengan mengecek secara sistematis seluruh pekerjaan dan dihilangkan/dieliminir dengan jalan mengulang sebagian atau bahkan seluruh pekerjaan. Dalam melaksanakan ukuran datar akan selalu terdapat “Kesalahan”. Kesalahan-kesalahan ini disebabkan baik karena kekhilapan maupun karena kita manusia memang tidak sempurna dalam menciptakan alat-alat. Kesalahan-kesalahan ini dapat digolongkan dalam : 1. Instrumental / kesalahan karena alat, 2. Kesalahan karena pengaruh luar/alam, 3. Kesalahan pengukur. 1. Kesalahan karena alat. alat. Dalam kesalahan karena alat, termasuk : a) Karena kurang datarnya garis bidik. Bila garis bidik datar (horizontal), pembacaan rambu di titik A = Pa dan pembacaan rambu di titik B = Pb. Perbedaan tinggi (ΔH) = Pa – – Pb. Bila garis bidik tidak horizontal (membentuk sudut terhadap garis horizontal) maka pembacaan rambu di titik A =Pa’ dan pembacaan rambu di titik B = Pb’. Perbedaan tinggi (ΔH) = Pa’ – Pb’; dalam hal ini Pa’ – Pb’ akan sama dengan Pa – Pb. – Pb. Bila pengukuran dilakukan dari tengah-tengah AB (PA = PB = 1) karena Pa’Pa = Pb’Pb = Δ. Tetapi kalau pengukuran tidak dilakukan dari tengah-tengah AB, misalnya di Q, maka hasil ukuran adalah Qa – – Qb dan Qa – Qb ≠ Pa – – Pb, karena Qa – Pa = Δ1 dan Qb – Pb = Δ2. Dengan demikian pengukuran sedapat mungkin dilakukan dari tengah-tengah tengah- tengah AB (perhatikan gambar berikut …). b) Tidak samanya titik 0 (nol) dari rambu. Titik nol dari rambu mungkin tidak sama karena salah satu rambu sudah aus. Sebagai contoh titik nol dari rambu B telah bergeser 1 mm, dengan demikian pembacaan rambu di titik A dibaca 1000 mm dan pembacaan rambu di titik B dibaca 999 mm. bila pengukuran dilakukan dengan meletakan rambu A selalau di belakang dan rambu B selalu di muka, maka kesalahan A-B mempunyai tanda yang sama, dan setiap sipatan kesalahannya + 1 mm. kalau 100 sipatan berarti 100 mm.
15
qb
P'a a P
qa
P'b Pb
a q
Pa
A
Pb
Q
b q
P
1/4 dA-B
B
1/2 dA-B dA-B
Gambar 24. Kesalahan pembacaan rambu
b3 m2
b2 b1
m3
m1
Gambar 25. Pengukuran Sipat Datar
b3 b2 b1
m3 m2
m1
Gambar 26. Prosedur Pemindahan Rambu
Untuk mengatasi kesalahan-keslahan tersebut, dalam pelaksanaan ukuran tiap kali sipatan, rambu belakang harus ditukar dengan rambu muka (perhatikan gambar 26). Dengan demikian kesalahannya adalah A – B = +1 mm; B – A = + 1 mm, dan seterusnya. c) Kurang tegak lurusnya rambu. Syarat patok dalam melaksanakan pengukuran datar adalah bahwa garis bidik harus horizontal dan rambu harus vertical. Pembacaan rambu = Pa, akan tetapi bila rambu tidak vertical pembacaan rambu adalah Pa’. jarak APa ≠ APa’ ; APa’ > APa. Dengan demikian waktu melaksanakan pengukuran mendatar, rambu harus benar-benar vertical. Membuat vertical rambu, dapat dilakukan dengan menggunakan nivo. Pa
Pa'
Gambar 27. Kesalahan akibat rambu miring 16
2. Kesalahan karena pengaruh luar / alam. Pengaruh luar dalam melaksanakan pengukuran mendatar adalah : a) Cuaca . Panas matahari sangat mempengaruhi pelaksanaan pengkuran mendatar.apabla matahari sudah tinggi (jam 11.00 – 14.00), panas matahari pada waktu itu akan menimbulkan adanya gelomang udara yang dapat terlihat, sehingga angka-angka pada rambu kur ikut bergelombang dan sukar dibaca. b) Lengkungan bumi . Permukaan bumi itu melengkung, sedangkan jalanya sinar itu lurus. Karena itu dengan alat ukur sipat datar pembacaan rambu di baca A, sedangkan beda tinggi mengikuti lengkungan bumi, yaitu pembacaan seharusnya B. dengan demikian, setiap kali pengukuran dibuat kesalahan sebesar Δ . Besar Δ ini dapat dihitung sebagai berikut : R2 + a2 = (R + Δ) 2 ; R2 + a2 = R2 + 2RΔ + Δ2. Δ kecil sekali, jadi kalau dikuadratkan dapat dihapus, sehinhha rmusan tersut menjadi : R2 + a2 = F + 2R. bilangan ini kecil sekali, tetapi kalau dibuat kesalahan berulang secara urutan maka akan menumpuk. Kesalahan ini bisa diatasi dengan melaksanakan pengukuran menggunakan metode pesawat berdiri diantara titik. A
B
R O O
O
Gambar 28. Pengaruh kelengkungan bumi
3. Kesalahan karena pengukur. Kesalahan pengukur ini ada dua macam : a) Kesalahan kasar. Kesalahan kasar dapat diatasi dengan mengukur dua kali (doubl stand), yaitu pertama dengan tinggi teropong h1 (didapat Δh1 = Pa – Pb). Pada pengkuran kedua, dengan tinggi teropong h2 diperoleh Δh2 = qa – qb. Pada prinsipnya Δh1 harus sama dengan Δh2, bila tidak sama berarti terdapat kesalahan. Jika kesalahannya besar maka pengukuran harus diulangai. Dapat pula diatasi dengan membaca bacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB), sebab (BA + BB) : 2 = BT
qb pb
qa pa h2
h1
Gambar 29. Kesalahan kasar sipat datar 17
Sifat kesalahan : a. Kesalahan kasar adalah kesalahan yang besar satuan pembacaannya. Misalnya mengukur jarak yang dapat dibaca sampai 1 dm, namun terjadi perbedaan pengukuran sampai 1 m. ini berarti ada kesalahan pembacaan ukuran, dan harus diulangi. b. Kesalahan teratur adalah kesalahan yang terjadi secara teratur setiap kali melaksanakan pengukuran da umumnya terjadi karena kesalahan pada alat kur. c. Kesalahan yang tak teratur, diseabkan karena kurang sempurnanya panca indra maupun peralatan, da kesalahan ni sulit dihindari karena memang merupakan sifat pengamatan/pengkuran. 2.1.1 Kesalahan pada pengukuran KDV . Kesalahan yang terjadi akibat berhimpitnya sumbu vertical theodolite dengan garis vertical . sumbu vertical theodolite miring da membentuk sudut v terhadap garis vertical x. AB adalah arah kemiringan maksimum dengan sasaran s pada sudut elevasi h dala keadaan dmana smbu vertical theodolite berimpit dengan arah garis vertikalyang menghasilkan posisi lintasan teleskop csd dalam arah u dari kemiringan maksimum. Sedangkan dalam keadaan dimana sumbu vertical theodolite miring sebesar v terhadap garis vertical, menghasilkan lintasan c’sd’ dalam arah u’ dar kemiringan yang maksimum. Dari dua lintasan ini akan diperoleh segitiga bola scc’ yang sumbu vertical β dinyatakan dalam persamaan berikut : β = u’ – u β = v sin u’ cot (90 – h) β = v sin u’ tan h. Karena kesalahan smb vertkal tidak dapat dihilangkan dengan membagi rata dari observasi dengan tleskop dala posisi normal dan kebalikannya, maka pengkuran untuk sasaran dengan elevasi cukup besar. Koreksi kesalahan pada pengukuran kerangka dsar vertkal menggunakan alat sipat datar optis. Koreksi kesalahan didapat dari pengkuran yang menggunakan dua rambu, yaitu rambu depan dan rambu belakang yan berdiri 2 stand. Oreksi kesalahan acak pada pengkuran krangka dsar vertkal d ilakukau untuk memperoleh beda tinggi dari tinggi titik ikat definitive. Sebelum pengolahan data sipat datar kerangka dasar vertical dilakukan, koreksi kesalahan sistmatis harus dilakukan trlbih dahulu dala pembacaan benang tengah. Control tinggi dilakukan melalui suatu jalur tertutup yang diharapkan diperoleh beda tinggi pada jalur sama menghasilkan nol. Jarak belakang dan muka setiap slag menjadi suatu variable yang menentukan bobot kesalahan dan pemberian koreksi. Semakin panjang suatu slag pengkuran, maka bobot kesalahannya menjadi lebih besar, dan sebaliknya.
Gambar 30. Kesalahan sumbu vertikal
Salah satu aplikasi pada pengukuran kerangka dasar vertical dapat dlihat dari pengukuran sipat datar. Pada pengukuran krangka dasar vertical menggunakan sipat datar optis, koreksi kesalahan sistematis berupa koreksi garis bidik yang dperoleh melalui pengukuran sipat datar dengan menggunakan dua rambu yaitu belakang dan muka dalam posisi double stan (dua kali berdiri alat). Sedangkan pada pengukuran kerangka dasar horizontal menggunakan alat theodolite, koreksi kesalahan sistematis berupa nilai rata-rata sudut horizontal yang diperoleh melalui pengukuran target (berupa benang dan untingunting) pada posisi teropong biasa, dan pada possi teropong luarbiasa.
18
2.1.2 Kesalahan pada pengukuran KDH. Kesalahan yang terjadi akibat sumbu horizontal tidak tegak lurus sumbu vertical disebut kesalahan sumbu horizontal. Kedudukan garis kolimasi dengan teleskop mengarah pada s, berputar menglilingi sumbu horizontal adalah csd. Apabila sumbu horizontal miring sebesar i menjadi a’b’ tempat kedudukannya adalah c’sd’. Dalam segitiga bola sdd’ ; dd’ = merupakan kesalahan sumbu horizontal, dan apabila sumbu horizontal miring sebesar i maka sin = tan h / tan (90 – i) tan h . tan i. Karena dan i sangat kecil, persamaan tersebut dapat ditulis = l tan h. Apabila teleskop dipasang dalam keadaan terbalik, tanda kesalahan menjadi negatif dan apabila sudut yang dicari dengan teleskop dalam keadaan normal dan kebalikannya di rata-rata, maka kesalahan sumbu horizontal dapat hilang. Koreksi kesalahan sistematis pengukuran kerangka dasar horizontal menggunakan theodolite adalah berupa nilai rata-rata sudut horizontal yang diperoleh melalui pengukuran target pada posisi teropong biasa dan luar biasa. Kesalahan acak pada pengukuran kerangka dasar horizontal dilakukan untuk memperoleh harga koordinat definitif. Sebelum pengolahan poligom kerangka dasar horizontal dilakukan, koreksi sistematis harus dilakukan melalui 4 atau 2 buah titik ikat, bergantung pada kontrol sempurna atau sebagian. Jarak datar dan sudut poligon setiap titik poligon merupakan variabel yang menentukan untuk memperoleh koordinat definitif tersebut. Syarat yang ditetapkan dan harus diperhatikan adalah syarat sudut, syarat absisi dan syarat ordinat. Bobot koreksi sudut tidak diperhitungkan secara sama rata tanpa memperhatikan faktor lain. Sedangkan bobot koreksi absis dan ordinat diperhitungkan melalui dua metode, yaitu : a. Metode Bowditch ; metode ini bobot koreksinya berdasarkan jarak datar langsung. b. Metode Transit ; metode ini bobot koreksinya dihitung berdasarkan proyeksi jarak langsung terhadap sumbu X dan sumbu Y. Semakin besdar jarak langsung, bobot koreksi absis dan ordinatnya semakin besar nilainya. Di atas telah dijelaskan bentuk-bentuk kesalahan yang mungkin terjadi pada waktu melakukan pengukuran, kesalahan-kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh : a. Karena kesalahan pada alat yang digunakan, b. Karena keadaan alam, c. Karena pengukur sendiri. a. Kesalahan pada alat yang digunakan. alat-alat yang digunakan adalah alat ukur sipat datar dan rambu. Terlebih dahulu ditinjau kesalahan pada alat ukur sipat datar. Kesalahan yang dibaha adalah berhubungan dengan syarat utama, yaitu garis bidik tidak sejaja dengan garis arah nivo. Kesalahan ini sering dijumpai pada saat melakukan pekerjaan pengukuran beda tinggi. b. Keslahan karena keadaan alam. Karena lengkungnya permukaan bumi, pada umumnya bidang-bidang nivo akan melengku juga
karena melengkungnya permukaan bumi, dan beda tinggi antara dua titik adalah jarak tegak antara dua bidang nivo yang melalui kedua titik tersebut. Karena lengkungnya sinar cahaya (akan dibahas pada bagian koreksi Boussole). Karena getaran udara, terjadi karena adanya pemindahan hawa panas dari permukaan bumi ke atas, maka bayangan dari mistar yang dilihat melalui teropong akan bergetar, sehingga pembacaan dari mistar tidak dapat dilakukan dengan teliti. Karena masuknya kaki statif dan mistar kedalam tanah. Bila dalam waktu antara pengukuran satu mistar dengan mistar lainnya, baik kaki statip maupun mistar masuk kedalam tanah, maka pembacaan pada mistar kedua akan salah bila digunakan untuk mencari beda tinggi antara kedua titik tersebut (titik-titik yang ditempai rambu ukur). Karena perubahan garis arah nivo. Panasnya sinar matahari akan menyebabkan terjadinya tegangan pada bagian-bagian alat sipat datar, terutama pada bagian nivo.
19
c. Karena pengukur sendiri. Kesalahan pada mata terjadi karena kebanyakan orang pada waktu mengukur menggunakan satu mata saja, yang secara tidak langsung akan mengakibatkan kasarnya pembacaan. Apalagi bila nivo harus dilihat secara tersendiri, karena tidak terlihat dalam medan teropong, sehingga gelembung nivo tidak tepat ditengah-tengah. Kesalahan pada pembacaan , karena kerap kali harus melakukan pembacaan dengan cara menaksir, maka bila mata telah lelah nilai taksirannya menjadi kurang tepat. Kesalahan yang kasar , karena belum paham membaca rambu. Rambu-rambu mempunyai tata cara tersendiri dalam pembuatan skalanya. Kesalahan ini sering sekali terjadi dalam menentukan banyaknya meter dan desimeter angka pembacaan. Salah satu pengaplikasian pengukuran kerangka dasar horizontal adalah pengukuran dengan metode tachymetri menggunakan theodolite. Kesalahan pengukuran dengan metode tachymetri menggunakan pesawat theodolite : 1. Kesalahan alat, misalnya a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus, b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada porosnya, c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (slah kolimasi), d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik, e. Letak teropong eksentris, f. Poros penyangga megnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar. 2. Kesalahan pengukuran, misalnya a. Pengaturan alat tidak sempurna (temporaryadjustment), b. Salah taksir dalam pembacaan, c. Salah mencatat. 3. Kesalahan akibat faktor alam, misalnya a. Deklinasi magnit, b. Atraksi lokal. Kesalahan pengukuran cara offset. Kesalahan arah garis offset () dengan panjang (i) yang tidak benar-benar tegak lurus akan mengakibatkan : Kesalahan arah sejajar garis ukur = i sin ; kesalahan arah tegak lurus garus ukur = i – i cos . Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot sebesar 1/S x kesalahan. Bila kesalahan pengukuran jarak garis offset = i maka gabungan pengaruh kesalahan pengukuran jarak dan sudut menjadi : ( i sin )² + i²½
Ketelitian pengukuran cara offset dalam upaya meningkatkan ketelitian hasil pengukuran adapat dilakukan dengan : a. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati bentuk segitiga sama sisi, b. Garis ukur (jumlah garis ukur sesedikit mungkin; garis yang tegak lurus garis ukur harus sependek mungkin; garis ukur berada pada bagian datar), c. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak lurus garis ukur, d. Pita ukur harus benar-benar mendatar dan diukur seteliti mungkin, e. Gunakan kertas gambar yang stabil untuk penggambaran. Pada perhitungan dari survai yang menggunakan metode closed traverse selalu terjadi kesalahan (penyimpangan), yaitu adanya dua stasiun yang meskipun pada kenyataannya di lapangan stasiun tersebut hanya satu. Kesalahan tersebut meliputi kesalahan koordinat dan elevasi stasiun terakhir yang seharusnya adalah sama dengan stasiun awal. Hal ini terjadi karena kesalahan pada ketidak-sempurnaan terhadap :
20
1. Alat ( tidak ada alat yang sempurna ), 2. Pembacaan ( tidak ada penglihatan yang sempurna ). Pada waktu melakukan survai dan tidak mungkin kesalahan itu tidak dapat dihindarkan, sebab tidak ada alat maupun manusia yang ideal untuk menghasilkan pengukuran yang ideal. Untuk mengatasi hal itu, angka kesalahan yang terjadi harus di distribusikan ke setiap stasiun. Kesalahan yang terjadi karena survai magnetik (denga menggunakan kompas dan survay grade x) menggunakan theodolite, memiliki jenis yang berbeda. Pada pekerjaan survai yang menggunakan theodolite, kesalahan yang terjadi adalah akumulatif, kesalahan dalam suatu stasiun akan mempengaruhi posisi stasiun berikutnya. Sedangkan pekerjaan survai menggunakan kompas, kesalahan yang terjadi pada salah satu stasiun, tidak mempengaruhi stasiun berikutnya. Distribusi kesalahan dalam pekerjaan survai magnetik, dengan cara sederhana yaitu jumlah total kesalahan dibagi dengan jumlah lengan survai, kemudian didistribusikan ke setiap stasiun tersebut. Di bawah ini merupakan distribusi untuk survai non magnetik. Perataan penyimpangan elevasi. Berikut ini gambar sket perjalanan (tampak samping memanjang).
a.
Error pertama sama
b.
Lintasan sebenarnya Lintasan hasil
Gambar 31. Pengaruh kesalahan kompas (theodolite T0)
4 1
2
3
5
f h 1
Gambar 32. Sket perjalanan
Setelah perhitungan dilakukan, ternyata elevasi titik akhir yang seharusnya sama dengan titik 1, terdapat penyimpangan sebesar : Elevasi koreksi = Elevasi titik + Koreksi. Perataan penyimpangan koordinat . Setelah perhitungan dilakukan, hasilnya stasiun akhir tidak kembali ke stasiun awal, ada selisih jarak sel (d) . (d2) = f(y)² + f (x)². Penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan absis f(x) dan ordinat f(y). Koreksi terhadap penyimpangan absis (x) : Absis terkoreksi = Absis lama + koreksi. Koreksi terhadap penyimpangan ordinat (y) : Ordinat terkoreksi = Ordinat lama + koreksi. 21
4 5
3
1' 1
f x f y
2
Gambar 33. Kesalahan hasil survai
Koreksi Boussole. Dari ilmu alam diketahui bahwa jarum magnet diganggu oleh benda-benda dari logam yang terletak di sekitar jarum megnet itu. Bila tidak ada gangguan, jarum magnet akan terletak didalam bidang meridian magnetis, yaitu dua bidang yang melalui dua kutub bumi dari tempat jarum itu, dan karena meridian magnetis tidak berimpit dengan meridian geogeafis yang disebabkan oleh tidak samanya kutubkutub magnetis dan kutub-kutub geografis, maka azimuth magnetis harus diberi koreksi terlebih dahulu, supaya didapat besaran-besaran geografis. Ingat pada sudut jurusan yang sebetulnya sama dengan azimuth Utara Timur. Untuk menentukan koreksi boussole ada dua cara. Harus diingat apa yang diartikan dengan koreksi. Koreksi adalah besaran yang harus ditambahkan pada pembacaan atau pengukuran sehingga diperoleh besaran yang betul . Kesalahan adalah besaran yang harus dikurangkan dari pembacaan atau pengukuran sehingga diperoleh besaran yang betul . a. Mengukur azimuth suatu garis yang tertentu, seperti telah diketahui garis yang tertentu adalah garis yang menghubungkan dua titik P (Xp,Yp) dan Q (Xq,Yq) yang telah diketahui koordinat- koordinatnya . Alat ukur BTM ditempatkan pada salah satu titik (misalnya di titik P), dengan sumbu kesatu tegak lurus di atas titik P. Arahkan garis bidik tepat pada titik Q, misalkan pembacaan pada skala lingkaran mendatar dengan ujung utara jarum magnet ada di A. Hitung sudut jurusan ( ab) terhadap garis PQ, dengan rumus tan = (xq-xp) : (yq-yp); dimana setelah sudut jurusan (pq) disesuaikan dengan macam sudut azimuth yang ditunjuk oleh jarum magnit dari alat ukur BTM yaitu (). Karena adalah besaran yang betul maka dapatlah ditulis : = A + C ; dimana C adalah rumus boussole, sehingga C = - A. b. Mengukur tinggi matahari, dasar cara kedua ini adalah mengukur tinggi suatu bintang yang diketahui deklinasinya pada saat pengukuran bintang itu. Dengan tinggi h, deklinasi ( ) bintang itu dan lintang () tempat pengukuran, dapat dihitung azimuth astronomis yang sama dengan azimuth geografis bintang itu. Bila azimuth astronomis itu dibandingkan dengan azimuth yang ditunjuk oleh jarum magnet pada saat pengukuran, dapatlah ditentukan koreksi boussole. Ingatlah selalu bahwa pada saat pengukuran si pengukur berdiri dengan punggung kearah matahari yang diukur, dan keadaan tepi-tepi matahari dilihat dari ujung obyektif pada kertas putih yang dipasang pada lensa okuler. Besarnya refraksi yang selalu mempunyai tanda minus (-) tergantung pada tinggi (h) yang didapat dari pengukuran. Untuk harga koreksi dapat dilihat dalam tabel, sedangkan tinggi (h) yang didapat dari hasil pengukuran ditambah koreksi refraksi. Tinggi (h) yang telah diberi koreksi refraksi ini adalah tinggi sebenarnya dari tepi atas atau tepi bawah matahari. Karena yang diperlukan sekarang adalah tinggi titik pusat matahari dan sudut pandang kedua tepi atas dan tepi bawah matahari (D=32’) maka tinggi sebenarnya harus dikurangi dengan ½D = 16’. Bila yang diukur tepi bawah matahari, untuk mendapatkan tinggi sebenarnya dari pusat matahari maka harus ditambahkan ½D = 16’. 2.1.3 kesalahan pengukuran. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil sipat datar teliti, mulai dari faktor-faktor yang pengaruhnya dapat dihilangkan sampai faktor-faktor yang hanya dapat diperkecil. Adapun faktorfaktor tersebut antara lain : 22
Keadaan tanah jalur pengukuran, Keadaan / kondisi atmosfir (getaran udara), Refraksi atmosfir, Kelengkungan bumi, Kesalahan letak skala nol rambu, Kesalahan panjang rambu (bukan rambu standar), Kesalahan pembagian skala rambu (scale graduation), Kesalahan garis bidik, Kesalahan pemasangan nivo rambu.
Dari faktor-faktor tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa sudah seharusnya seorang juru ukur mengetahui hal-hal yang akan mengakibatkan kesalahan pada pengukuran. Penjelasan masing-masing kesalahan adalah sebagai berikut : a. Keadaan tanah jalur pengukuran. Pengukuran sipat datar pada umumnya harus menggunakan jalur pengukuran yang keras, seperti jalan diperkeras, jalan raya dan jalan baja. Dengan demikian turunnya alat dan rambu dalam pelaksanaan pengukuran dapat diperkecil, karena apabila terjadi penurunan alat dan rambu maka pengukuran akan mengalami kesalahan. Besarnya kesalahan akibat penurunan alat-alat tersebut dijelas dalam gambar berikut:. 1 2 b2
1 b1
1
1
2
2 m2
1
B
m1
A Turun
Turun
Turun
Gambar 34. Kesalahan karena penurunan alat
pada slag 1, selama waktu pembacaan rambu belakang dan memutar alat kerambu muka, alat ukur turun 1. Pada waktu alat pindah ke slag 2, rambu turun 1, dan selama pengukuran berlangsung alat turun 2.
Rumus yang digunakan untuk menentukan beda tinggi (Δh) akibat penurunan alat antara titik A dan titik B adalah : slag 1 : Δh1 = (b1 –(m1 + 1) Slag 2 : Δh 2 = (b2 – 2) – (m2 + 2) + Δh AB = (b1 – m1) + (b2 – m2) – (1 + 2 + 1) Δh AB = Δhu AB - (1 + 2 + 1) = Δh AB – K 1
Dimana : Δhu AB = beda tinggi hasil ukuran, K 1
= (1 + 2 + 1) = kesalahan karena turunnya alat dan rambu
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila pengukuran antara dua titik terdiri dari banyak slag, pengaruh turunnya alat dan rambu akan menjadi lebih besar (akumulasi). Di bawah ini adalah usaha yang bisa dilakukan untuk memperkecil pengaruh turunnya alat dan rambu : 23
Pada perpindahan slag, pembacaan dimulai pada rambu yang sama seperti pembacaan pada slag sebelumnya, Pada setiap slag pembacaan dilakukan dua kali untuk setiap rambu. Untuk kedua usaha tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pembacaan dimulai pada rambu no.1.
Dari slag 1 : Δh1 = (b1 –m1 ) + 1 Dari slag 2 : Δh2 = (b2 – m2)) + 2 - 1 Δh AB = Δhu AB - (1 + 1 + 2) Δh AB = Δhu AB – K 2 ; dimana
K 2 < K 1 1 2
1 1
2
2
m2
b2
1
1
b1
B
m1
A Turun
Turun
Turun
Gambar 35. Pembacaan pada slag 1 Pembacaan dilakukan 2 kali. 1
1 b
1
2 m1 m
b'1
2
Gambar 36. Pembacaan pada rambu II
Dari slag 1 : Bacaan pertama
: Δh1 = (b1 –m1 ) - 1
Bacaan kedua
: Δh1 = (b1 –m1 ) - 2
Rata-rata
Δh1 = Δhu1- ½( 1 - 2 )
Dengan cara yang sama dari slag 2, diperoleh : Rata-rata
Δh2 = Δhu2- ½( 2 - 1 )
Maka
Δh AB = Δhu AB
24
b. Kesalahan letak skala nol rambu. Kesalahan letak skala nol rambu dapat terjadi karena kesalahan pembuatan alat (pabrik) atau rambu yan digunakan sudah sering dipakai sehingga permukaan bawahnya menjadi aus. Pengaruh kesalahan ini dapat dijelas melalui gambar 37. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Misalnya rambu I mempunyai kesalahan 1 , dan rambu II mempunyai kesalahan 2 , dimana 2 ≠ 1, maka : Dari slag 1 : Δh1 = (b1 + 1 ) – ( m1 + 2 )
= (b1 + m1 ) – ( 1 - 2 ) Kesalahannya : ( 1 - 2 ) Dari slag 2 : Δh1 = (b2 – 2) – ( m2 + 1 )
= (b2 + m2 ) – ( 2 - 1 ) Kesalahannya : ( 1 - 2 ) Jumlah kesalahan dari dua slag adalah : ( 1 - 2 ) + ( 2 - 1 ) = 0 Artinya : Δh AB = Δhu AB
... perhatikan gambar 37. 1 2 1
2 1
b3
b2
b1
b4
m4 m3
m2 m1
C 2
B 1 4
A
3 2 Rambu 1
1 0
4 3 2
Rambu 2
1 0
Gambar 37. Kesalahan skala nol rambu
Jadi dapat disimpulkan bahawa beda tinggi hasil pengukuran antara dua titik tidak mengandung kesalahan akibat kesalahan letak skala nol rambu ukur, bila pengukuran dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : Jumlah slag antara titik yang diukur harus genap, Posisi rambu ukur harus diatur selang-seling (perpindahan rambu melompat satu titik). c. Kesalahan panjang rambu ukur. Panjang rambu ukur akan berubah karena perubahan temperatur udara. Misalnya panjang rambu ukur
invar 3 m, panjang rambu tersebut tepat 3 m pada suhu standar to. Bila pada waktu pengukuran suhu udara adalah t (lebih besar atau lebih kecil dari to ) maka rambu tidak lagi 3 m, tetapi 3 m ± (t - to ), dimana adalah angka muai invar. Hal ini mengakibatkan data hasil pengukuran mengalami kesalahan. Besarnya kesalahan dijelaskan dalam gambar 38. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai beerikut : Misalkan rambu I muai sebesar 1 m dan rambu II muai sebesar 2 m; panjangnya rambu standar adalah L m, umumnya (3 m ), maka dalam satu slag : Beda tinggi pengukuran = Δhu = b’ – m’ ; beda tinggi yang benar : Δh = b – m Karena L + 1 b1 = 1 + 1 b1 = b L L m1 = L + 2 L
m1
1+
2
L
m
Maka Δh = b – m = Δhu +
1
L
b1 +
2
L
m1
25
artinya data pengukuran mengandung kesalahan sebesar
1
L
b1
2
L
m1
dengan cara yang sama dapat dijelaskan kesalahan untuk rambu yang mengkerut (menyusut). Cara pencegahan agar rambu tidak mengalami pemuaian, yaitu jika pada saat pengukuran udara panas atau hujan, maka rambu ukur harus dilindungi dengan payung sehingga rambu ukur dapat terlindungi. d. Kesalahan pembagian skala rambu Kesalahan pembagian skala rambu terjadi pada waktu pembuatan (pabrik). Misalkan panjang rambu 3 m, maka apabila ada satu bagian skala dibuat terlalu kecil, maka pada bagian lainnya menjadi lebih besar. Penaksiran bacaan pada interval skala yang kecil akan berbeda dengan bacaab pada interval skala yang lebih besar, artinya ketelitian bacaan akan berbeda, hal ini tidak dikehendaki. Cara pencegahannya adalah apabila terdapat kesalahan akibat tidak meratanya pembagian skala pada rambu, sebaiknya rambu tersebut tidak digunakan dan dalam pemilihan rambu sebaiknya harus diteliti agar memperoleh rambu yang sama dalam pembagian skalanya.
Gambar 38. Bukan rambu standar
e. Kesalahan pemasangan nivo rambu Pada kondisi rambu dalam keadaan tegak, seharusnya gelembung nivo berada ditengah-tengah. Akan tetapi karena kesalahan pemasangan, keadaan di atas tidak dipenuhi, artinya gelembung nivo sudah berada ditengah namun rambu dalam keadaan miring. Apabila rambu miring (ke depan atau ke belakang dan ke samping) maka bacaan rambu akan lebih besar. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Bacaan rambu dalam keadaan miring adalah b’, sedang bacaan sebenarnya = b. Bila kemiringan rambu = , maka b = b’ cos ; karena umumnya kecil maka : b = b’ (1 - ½ + ... ) b = b’ - ½ b’ + ... besarnya kesalahan pembacaan adalah ½ b’ . karena konstan, besarnya kesalahan tergantung tingginya bacaan b’. Makin tinggi b’ maka makin besar kesalahannya. Cara pencegahannya yaitu pada saat pengukuran, periksalah pemasangan nivo dan pada waktu pengukuran garis bidik jangan terlalu tinggi dari permukaan tanah. f. Kelengkungan bumi Jarak antara bidang-bidang nivo melalui masing-masing titik yang bersangkutan disebut beda tinggi antara dua titik. Beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dari krtinggian bidang nivo yang melalui alat sipat datar, bila bidang-bidang nivo dianggap saling sejajar. Dengan garis bidik mendatar, karena kelengkungan bumi tersebut tidak memberikan beda. Permasalahan di atas dapat dilihat pada gambar 41. Dari bacaan garis bidik mendatar menghasilkan selisih bacaan ( b – m ) yang tidak sama dengan selisih (t A – tB). Kesalahan karena kelengkungan bumi pada beda tinggi adalah dh. dh = ( b – t A ) – ( m – tB ). Sedangkan pada pembacaan rambu masing-masing adalah : rambu belakang : Xb = ( b – t A ) ; rambu muka : X m = ( m – tB ). Besarnya X adalah ... lihat gambar 42. (R + h)² + d² = (R + h) + X² (R + h)² + d² = (R + h )² + 2 (R + h) X + X² d² = 2 (R + h ) X + X² karena h <<< R dan X <<< R ; dapat dianggap : (R + h ) = R dan X² = 0, maka d² = 2R . X atau X = d² ; dengan demikian 2R 26
Xb =
d²b 2R
dan Xm =
d²m 2R
dan dh =
1 d²b d²m = 2R 2R 2R
. ( d²b - d²m )
Berikut contoh besarnya X dan dh . Bila d = 40 m, R = 6000 km, maka X =
40² = 0,13 mm 2 (6000000)
1 Bila db = 40 m, dm = 30 m, maka dh = (40² - 30²) = 0,06 mm 2 (6000000) Cara pencegahannya adalah : Usahakan agar didalam setiap slag db seimbang dengan dm agar dh = 0 (nol) Karena kelengkungan bumi, bacaan rambu terlalu besar, sehingga koreksi X bertanda negatif. Bila db > dm, koreksi dh adalah negatif, dan sebaliknya bila db < dm koreksi dh positif. g. Refraksi atmosfir Karena lapisan atmosfir mempunyai kerapatan yang tidak sama (makin kebawah makin rapat) jalannya sinar/cahaya (matahari) akan mengalami pembiasan (melengkung). Sehingga benda-benda akan lebih tinggi dari posisi seharusnya. Besarnya pengaruh refraksi atmosfir pada pengukuran sipat datar ditunjukan pada gambar 43. Secara sistematis besarnya pengaruh refraksi atmosfir pada pengukuran sipat datar adalah sebagai berikut : Skala t akan nampak di t1, kesalahannya adalah Y = t 1 – t ; besarnya Y adalah :
Y = K . d² 2R
dimana K = koefisien refraksi atmosfir K =
Contoh : Bila d = 40 m ; K = 0,14 ; maka Y = 0,14 .
R R1
40² 2 (6000000)
= 0,14 = 0,02 mm
Catatan : Koreksi refraksi atmosfir dan kelengkungan bumi biasanya digabung menjadi satu karena refraksi dan kelengkungan bumi terjadi bersama-sama pada saat pengukuran dilakukan. K-1 Rumusnya adalah r = d² r = K - 1 ( d²b - d²m ) 2R 2R Dimana : r = koreksi terhadap bacaan r = koreksi terhadap beda tinggi (satu slag) h. Getaran udara Biasanya bayangan rambu pada teropong nampak bergetar karena adanya pemindahan panas dari permukaan tanah ke atas. Dengan demikian cara pencegahannya adalah dengan menghentikan pengukuran. i. Perubahan arah garis arah nivo Pada alat ukur akan terjadi tegangan pada bagian-bagian alat ukur terutama sekali nivo apabila terkena panas mtahari langsung. Montur nivo mendapat tegangan sehingga arah dari garis arah nivo mengalami perubahan dan tidak sejajar lagi dengn garis bidik. Sehingga mengakibatkan bacaan rambu mengalami kesalahan. Cara pencegahannya yaitu agar hal ini tidak terjadi, maka pada saat pengukuran berlangsung hendaknya alat ukur dilindungi dengan payung. j. Kesalahan garis bidik Garis bidik harus sejajar dengan garis arah nivo, hal ini merupakan syarat utama alat sipat datar. Apabila tidak sejajar, pada kedudukan gelembung nivo ditengah, garis bidik tidak mendatar. Cara pencegahannya yaitu : sebelum pengukuran dimulai, pastikan dahulu bahwa garis bidik sudah sejajar dengan garis arah nivo. k. Paralak Dalam pengukuran, pada saat pembacaan rambu, gelembung nivo harus berada ditengah. Untuk mengetahui dengan tepat bahwa gelembung nivo berada ditengah yaitu dengan cara menempatkan mata tegak lurus diatas nivo langsung, atau bayangan nivo (melalui cermin ayau prisma). Bila dari samping, karena paralaks gelembung nivo akan nampak sudah tepat ditengah, sehingga mengakibatkan kedudukan garis bidik belum mendatar, maka pembacaan akan mengandung kesalahan. Cara pencegahannya yaitu pada saat akan memulai pengukuran, gelembung nivo harus diatur hingga benar-benar sesuai dengan aturan.
27
2.2 Kesalahan sistematis. Kesalahan sistematis adalah kesalahan yang mungkin terjadi akibat adanya kesalahan pada suatu sistem. Kesalahan sistem dapat diakibatkan oleh peralatan dan kondisi alam. Peralatan yang dibuat oleh manusia, walaupun menggunakan alat canggih, masih tetap diperlukan sustu prosedur untuk mengetahui kemungkinan munculnya kesalahan pada pengukuran, baik pada alat maupun data hasil observasi. Apabila penyebab suatu kesalahan telah diketahui sebelumnya dan bila pada saat pengukuran kondisi tersebut sudah diketahui pula, maka dapat dilakukan koreksi pada kesalahan yang ada. Sebagai contoh, pita ukur baja yang terdapat koreksi skala atau koreksi suhu. Selanjutnya seperti pada kesalahan yang besarnya hampir sama dan jika dilakukan koreksi dengan suatu nilai tertentu terhadap harga ukurnya, maka akan mendekati harga benar walaupun tidakdapat diketahui dengan pasti penyebab kesalahan tersebut. Kesalahan seperti ini dapat pula diklasifikasikan sebagai kesalahan sistematis. Kesalahan sistematis dapat terjadi karena kesalahan alat yang digunakan. Alat-alat yang digunakan adalah alat sipat datar dan mistar. Lebih dahulu akan ditinjau kesalahan yang ada pada alat ukur sipat datar. Kesalahan yang didapat adalah yanng berhubungan dengan syarat utama, yaitu garis bidik tidak sejajar garis arah nivo. Dapat dikaetahui bahwa untuk mendapatkan beda tinggi antara dua titik, rambu ukur didirikan diatas dua titik dan harus dibidik dengan garis bidik mendatar (diberi tanda angka 1). Pembacaan dengan garis bidik mendatar adalah BTb1 dan BTm1, sedangkan pembacaan yang dilakukan dengan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo (diberi tangda angka 2), gelembung nivo berada ditengah-tengah dengan demikian garis arah nivo mendatar sedangkan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo, maka garis bidik akan miring dan membuat sudut terhadap garis arah nivo, sehingga pembacaan pada kedua mistar akan menjadi BTb2 dan BTm2. Beda tinggi antara titik A dan titik B : t = BTb1 – BTm1. Sekarang akan dicari hubungan antara selisih pembacaan BTb2 dan BTm2 yang didapat dengan pembacaan garis bidik miring, dengan selisih pembacaan BTb1 dan bTm2 yang akan didapat bila garis bidik mendatar (telah sejajar garis arah nivo). Maka koreksi garis bidiknya adalah : (BTb1 – BTm1) – (BTB2 – BTm2) (db1 –dm1) – (db2 – dm2) Kesalahan sistematis dapat juga timbul karena keadaan alam yang dapat disebabkan oelh : 1. Lengkungan permukaan bumi. 2. Melengkungnya sinar (refraksi). Sinar-sinar yang datang dan masuk ke teropong harus melalui lapisan-lapisan udara yang tidak sama padatnya, karena suhu dan tekanannya tidak sama. 3. Karena getaran udara. Akibat adanya pemindahan hawa panas d ari permukaan bumi ke atas, maka bayangan dari mistar yang dilihat dengan teropong akan bergetar, sehingga pembacaan mistar tidak dapat dilakukan dengan teliti. 4. Karena masuknya kaki tiga dan rambu ukur kedalam tanah. Bila dalam waktu antara pengukuran satu rambu dengan rambu lainnya, baik kaki statip maupun rambu ukur kedua masuk kedalam tanah, maka pembacaan pada rambu kedua akan salah bila digunakan untuk mencari beda tinggi antara kedua titik yang ditempai rambu ukur tersebut. 5. Karena perubahan garis arah nivo. Karena alat ukur sipat datar terkena panas sinar matahari, maka akan terjadi tegangan pada bagian-bagian alat ukur, terutama pada bagian penting yaitu nivo. 2.2.1 Pengaruh kesalahan garis bidik . Bila garis bidik tidak sejajar dengan garis arah nivo, maka hasil pembacaan tidak benar dan dengan demikian beda tinggi juga tidak benar. Untuk mengatasi masalah ini ada dua cara :
Dasar, dengan menghitung kemiringan garis bidik, selanjutnya dikoreksikan terhadap hasil pengukuran, Eliminasi, dengan mengatur penempatan alat sehingga kesalahan tersebut hilang dengan sendirinya (tereliminir). Mencari kesalahan garis bidik.
2.2.2 Pengaruh kesalahan nol skala dari satu satuan skala rambu ukur. Akibat hal-hal tertentu, artinya dasar/ujung bawah rambu ukur tidak sama (skala nol) atau satu satuan skala masing-masing rambu ukur tidak sama. Bila kesalahan akibat skala nol = dan kesalahan akibat satu satuan skala = Δ ; maka dapat rumuskan sebagai berikut : Δh1 = (b1° + ° + Δ° ) – (m1° + 1 + Δ 1) = (b1° + m1°) + (° + Δ° - 1 - Δ 1) Δh2 = (b2° + m2°) + (°Δ° + 1 Δ 1) 28
Δh1 + Δh2 = (b1° + m1°) + (b2° + m2°) Δh = b° - m°
Dari rumusan tersebut di atas dapat dilihat bahwa akibat dari dua kesalahan yang timbul, hasil pengukuran menjadi tidak benar, tetapi dalam hal inidapat dieliminasi dengan dua cara :
Jumlah slag pengukuran harus genap, Perpindahan rambu ukur harus melompat satu titik (selang-seling)
Bila pada slag sebelumnya rambu ukur A merupakan rambu belakang, pada slag kedua harus menjadi rambu muka, dan seterusnya.
2.3 Kesalahan Acak . Adalah suatu kesalahan yang obyektif yang mungkin terjadi akibat keterbatasann panca indra manusia. Keterbatasan tersebut dapat berupa kekeliruan, kurang hati-hati, kelalaian, tidak mengetahui tentang alat/belum menguasai sepenuhnya mengenai alat. Walaupun demikian pengukur yang berpengalaman tidak mutlak hasil pengukurannya benar. Oleh karena itu dalam mempersiapkan dan merencanakan pekerjaan pengukuran harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Menggunakan metode yang berbeda, Mengupayakan rute pengukuran yang berbeda,
Kesalahan acak relatif lebih mudah dieliminir atau dikoreksi dengan pendekatan-pendekatan ilmu atatistik. Pada fenomena pengukuran dan pemetaan suatu syarat geometrik menjadi kontrol dan pengikat data yang tercakup pada titik-titik kontrol pengukuran. 2.4 Kesalahan Besar. Kesalahan besardapat terjadi apabila operator atau surveyor melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terjadi, misalnya salah membaca, atau salah mencatat data pengukuran. Dengan demikian jika terjadi kesalahan yang besar maka pengukuran harus diulang dengan rute yang berbeda. 2.4.1 Koreksi Kesalahan . Seluruh pengukuran, baik untuk kepentingan pemetaan maupun aplikasi lain, pada dasarnya memperhatikan kesalahan sistematis dan acak yang sering terjadi. Khusus untuk pengukuran kerangka dasar horizontal, koreksi kesalahan sistematik dan acak mutlak dilakukan. Oleh karena itu, kita mengenal adanya rumus KGB (Koreksi Kesalahan Garis bidik). KGB = (BTm1 –BTb1) – (BTm2 – BTb2) (dm1 – db1) – (dm2 – db2) 2.4.2 Kesalahan Pengukuran Sipat Datar. Kesalahan pengukuran sipat datar dapat dikelompokan dalam : 1. Kesalahan pengukur. Kesalahan ini disebabkan pengukur mempunyai panca indra (mata) tidak sempurna dan pengukur kurang hati-hati, lalai, tidak paham menggunakan alat ukur serta tidak paham membaca rambu ukur. 2. Kesalahan alat ukur. Kesalahan yang diakibatkan oleh alat ukur antara lain : ... perhatikan gambar 24. a. Garis bidik tidak sejajar dengan garis arah nivo, sehingga mengakibatkan kesalahan pembacaan rambu. Apabila garis arah nivo mendatar dan garis bidik tidak mendatar, maka alat sipat datar demikian dikatakan mempunyai kesalahan garis bidik. Besar pengaruh kesalahan garis bidik terhadap hasil beda tinggi adalah : 29
Δh = tan (db – dm) = (db – dm) … (1) ; dimana : Δh = kesalahan pada ukuran beda tinggi ; db = jarak ke rambu belakang ; dm = jarak ke rambu muka ; = kesalahan garis bidik. Apabila jarak antara dua titik yang diukur jauh dan dibagi dalam bebrapa seksi, maka pengaruhnya adalah : Δh = tan (n1 db - n1 dm) = (n1 db - n1 dm) … (2). Dari persamaan (1) dan (2) dapat dimengerti bahwa pengaruh kesalahan garis b idik sama dengan nol, haruslah diusahakan agar : db = dm atau (n1 db - n1 dm) … (3). Persamaan (1) dapat dijelaskan sebagai berikut : h yang benar adalah : h = a – b , dari ukuran diperoleh : h1 = a1 – b1; agar h1 menjadi betul, maka haruslah a 1 dan b1 dikoreksi :
b.
c.
d.
e.
h = (a1 - a a1) – (b1 - b b1) h = (a1 - b1) – (a a1 - b b1); karena a a1 = tan (db – dm). bila sudut kecil : Δh = (radian) x (db – dm). Bila rambu ukur baik maka garis nol skala rambu harus berimpit dengan alas rambu ukur. Karena kesalahan pembuatan, garis nol dapat terletak diatas alas rambu. Karena rambu sering digunakan maka kemungkinan alas rambu menjadi aus, ini berarti angka skala nol terletak dibawah rambu. Beda tinggi yang didapat dari pembacaan-pembacaan yang salah, karena adanya kesalahan, garis nol skala rambu akan betul jika jumlah seksi antara dua titik yang diukur dibuat genap dan pemindahan rambu ukur harus selang seling (melompat satu titik). Untuk mengakan rambu ukur digunakan nivo kotak yang diletakan pada ramb. Apabila gelembung nivo ditmpatkan ditengah, rambu harus tegak. Akan tetapi bila g elembung nivo sudah ditengah tetapi rambu miring, ini berarti terdapat kesalahan pada nivo rambu (salah mengaturnya). Kesalahan pembagian skala rambu. Seharusnya pembagian skala rambu adalah sama, apabila ada interval yang tidak sama (terlalu besar atau terlalu kecil) maka rambu tersebut mempunyai kesalahan pembagian skala. Keslahan ini tidak dapat dihilangkan, oleh karena itu g unakan rambu yang standar. Kesalahan panjang rambu. Seharusnya panjang rambu yang digunakan adalah standar, artinya apabila angka rambu mulai dari 0 (nol) sampai 3 m, maka panjang rambu harus = 3 meter. Sebagai contoh : bila ΔLb (keslahan panjang rambu belakang) dan ΔLm (kesalahan panjang rambu muka) ; Lb (panjang rambu belakang) dan Lm (panjang rambu muka) ; a (pembacaan ramb belakang) dan b (pembacaan rambu muka) maka beda tinggi yang betul adalah :
H = h1 + (ΔLba – ΔLmb) Lb – Lm 3. Kesalahan karena factor alam. a. Karena lengkungan permukaan bumi. b. Karena melengkungnya sinar (refraksi) . c. Karena getaran udara. d. Karena masuknya kaki statif dan rambu kedalam tanah. e. Karena perubahan garis arah nivo. 2.4.3 Kesalahan pada ukuran . a. Kesalahan sudut. Sudut yang diukur merupahan suatu data untuk perhitungan polygon dan dengan sendirinya ketelitian polygon sebagian tergantung dari hasil pengukuran sudut tersebut. Cara untuk meningkatkan ketlitian pengukuran sudut polygon, maka pelaksanaan pengukuran sudut harus teliti. Hal yang perlu diperhatikan adalah penempatan alat harus tepat di atas titik (center point) serta bidikan pada target harus tepat (langsung pada titik atau pada benang unting-unting. b. Kesalahan jarak. Kesalahan jarak yang sering terjadi adalah disebabkan para pengukur jarak merentangkan pitanya kurang tegang, serta hal yang sering dilupakan adalah pngecekan panjang pita. 2.4.4 Mencari kesalahan-kesalahan besar pada jarak . Yang dimaksud dengan kesalahan besar adalah kesalahan sudut atau kesalahan jarak yang biasanya disebabkan oleh karena kekeliruan, baik oleh karena kekliruan membaca maupun menulis. Kesalahan besar dalam kuran sudut suatu polygon sudah dapat terlihat pada salah penutup yang terlalu besar. Kesalahan besar dalam ukuran jarak suatu polygon terlihat pada salah penutup koordinat yang jauh lebih besar dari toleransi.
30
2.4.5 Mencari kesalahan besar pada sudut. Kemungkinan kesalahan besar pada sudut terbagid dalam dua macam : a. Kesalahan besar sudut dapat ditemukan bila polygon itu dihitung atau digambar secara grafis muka dan belakang. Perpotongan kedua polygon itu mennjukan titik polygon, dimana trdapat kesalahan besar. b. Kesalahan besar sudut dapat dicari tempatnya dengan tidak perlu menghitung atau menggambar polygon, tetapi cukup menghitung satu kali.
31
Model Diagram Alir Teori Kesalahan
Kesalahan Sistematis (Systemathical Error)
Koreksi dengan Metode pengukuran Koreksi Garis Bidik (Siapat Datar KDV) Pembacaan teropong Biasa & Luar Biasa (Theodolite KDH) Jmlah slag genap (sipat datar KDV) Jumlah jarak belakang = jarak muka (sipat datar KDV)
Kesalahan yang disebabkan oleh system peralatan dan kondisi alam Kesalahan yang mungkin terjadi pada pengukuran dan pemetaan
Kesalahan Acak (Random Error)
Koreksi dengan Hitungan Perataan dan Ilmu Statistik
Kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan panca indra manusia Titik kontrol tinggi ( H atau Z ) Titik kontrol planimetris ( X dan Y )
Komponen-komponen koreksi
Titik kontrol horizontal ( azimuth ) Sistim pembobotan koreksi
Kesalahan besar ( Blunder )
Pengukuran harus diulangi
Kesalahan yang disebabkan oleh salah membaca atau melihat angka-angka
Gambar 44. Model Diagram Alir Teori Kesalahan
32
RANGKUMAM Berdasarkan uraian materi Bab 2 mengenai “Teori Kesalahan” maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bagian yang harus ada saat pengukuran yaitu benda ukur, alat ukur dan pengukur / pengamat. 2. Persyaratan kesalahan saat pengukuran, yaitu : a. pengukuran tidak selalu tepat, b. Setiap pengkuran mengandung galat, c. Harga sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah dketahui, d. Kesalahan yang tepat selalu tidak diketahui. 3. Penyebab kesalahan pengkuran yaitu : alam, alat dan pengukur. 4. Factor-faktor yang mmpngaruhi hasil pengukuran yaitu : keadaan tanah jalur pengkuran, keadaan/kondisi atmosfir (getaran udara), refraksi cahaya, kelngkungan bumi, kesalahan letak skala nol rambu ukur (bukan rambu atandar), kesalahan pembagian skala rambu (scale graduation), kesalahan pemasangan nivo rambu, kesalahan garis bidik. 5. Macam-macam kesalahan yaitu : kesalahan sistmatis, kesalahan acak dan kesalahan besar. 6. Kesalahan pada kran dibagi dua yairu :kesalahan sudut dan kesalahan jarak.
SOAL SOAL LATIHAN –
Selesaikanlah soal-soal berikut dengan benar . 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jelaskan secara singkat definisi dari koreksi dan kesalahan . Bagaimana cara mengkoreksi ksalahan sistmatis pada pengukuran kerangka dasar vertical ? bagaimana cara mengkoreksi ksalahan sistmatis pada pengukuran kerangka dasar horizontal ? jelaskan secara singkat factor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran. Bagaimana cara mngatasi kesalahan garis bidik ? Tulislah persyaratan dari suatu pengukuran .
33