1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Infeksi
cacing
atau
kecacingan
merupakan
permasalahan
kesehatan
masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan yang ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya bergantung pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga bergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat (Bethony et al., 2004). Kebiasaan defekasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (diberbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum (Fathimah, 2011) Di Indonesia sendiri penyakit kecacingan menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi, yaitu 60%-70%. Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara tinggi di Indonesia, yang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi sanitasi dan higienitas yang buruk (Departemen Kesehatan, 2004). Pemerintah menetapkan target untuk menurunkan prevalensi penyakit pen yakit kecacingan menjadi <20% pada tahun 2015 (Depkes, 2010). Namun, target tersebut belum berhasil tercapai karena prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2015 adalah 28,12% (Depkes, 2010). Kecacingan ditimbulkan oleh berbagai cacing yang berada di dalam rongga usus yang kemudian akan menyebabkan infeksi dalam tubuh manusia. Cacing yang berada di dalam rongga usus biasanya adalah kelas nematoda usus. Dari kelas nematoda yang seringkali dijumpai di Indonesia antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang) (Fathimah, 2011)
2
Pada kasus ringan kecacingan tidak menimbulkan gejala yang nyata, namun untuk kasus infeksi berat bisa berakibat fatal.
Penyakit
kecacingan dapat
menyebabkan penurunan kesehatan, gizi dan produktivitas pada penderita. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian, namun infeksi yang kronis bisa menimbulkan penurunan gizi, pertumbuhan terhambat, anemia, defisiensi vitamin A dan penurunan daya tahan tubuh (Dama yanti, 2009). Morbiditas akibat penyakit kecacingan berhubungan dengan jumlah cacing yang menginfeksi tubuh. Infeksi yang ringan belum menimbulkan gejala, sedangkan infeksi yang lebih berat dapat menyebabkan beberapa gejala berupa diare, sakit perut, lesu, kelemahan, gangguan kognitif dan perkembangan fisik (WHO, 2016). Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang kecacingan dalam hal pencegahan dan penanggulangan Hookworm disease yang disease yang terjadi di masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
perencanaan
program
pencegahan
dan
penanggulangan
Hookworm disease pada masyarakat dan siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai ?
C. Tujuan Umum
Mencegah dan menanggulangi Hookworm disease pada masyarakat dan siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai.
D. Tujuan Khusus
1. Mengetahui bahaya penyakit Hookworm disease pada masyarakat dan siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai. 2. Mengetahui jalur penularan penyakit Hookworm disease pada masyarakat dan siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai.
3
3. Mengetahui
cara
pencegahan
penyakit
Hookworm
disease
pada
masyarakat dan siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai. 4. Mengetahui cara penanggulangan Hookworm disease pada masyarakat da n siswa SDN di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai.
E. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan kepada siswa-siswi dan masyarakat Desa Rejoso mengenai bahaya dan jalur penularan Hookworm disease agar terhindar dari penyakit hookworm disease. 2. Memberikan pengetahuan kepada siswa-siswi dan masyarakat Desa Rejoso mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan Hookworm disease agar terhindar dari penyakit hookworm disease 3. Mengatasi peningkatan kejadian Hookworm disease di SDN Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai..
4
BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Skenario
Desa Rejoso adalah salah satu desa di Kecamatan Karang Kabupaten Damai. DI desa tersebut terdapat Sekolah Dasar (SDN) dengan 173 siswa. Data tahun kemarin menunjukkan bahwa kejadian infeksi cacing tambang pada siswa SDN Rejoso 20,5%. Perilaku buang air besar di sekitar rumah 44,2%, perilaku anakanak yang biasa bermain dengan tanah sebesar 54,2%. Kota Damai khususnya Kecamatan Karang memiliki wilayah perkebunan seluas 5.000 hektar, berupa tanah kering yang merupakan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing tambang. Kepala keluarga (KK) umumnya (65%) berpendidikan sekolah menengah pertama dan dasar, dengan pekerjaan umumnya (67%) tani atau buruh tani. Penghasilan orang tua siswa sebagian besar (66%) masih di bawah upah minimum kota (UMK), 83% rumah memiliki lahan pekarangan atau lahan pertanian. Dalam pekerjaan mereka KK umumya (76%) tidak menggunakan alas kaki. Bagaimana cara penanggulangan penyakit yang terdapat di desa tersebut? 1. Tujuan Pembelajaran
a.
Mahasiswa memahami identifikasi penyakit hookworm disease.
b.
Mahasiswa memahami mata rantai penularan penyakit:
c.
1)
Penyebab (agent )
2)
Reservoir/sumber infeksi (reservoir/source of infection)
3)
Pintu keluar ( place of exit )
4)
Cara menular (mode of transmission)
5)
Pintu masuk ( port on entry)
6)
Kerentanan ( susceptibility)
Cara pengendalian 1) Upaya preventif
5
2) Pengendalian pasien, kontak, dan lingkunagn 3) Upaya epidemiologis
B. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma
duodenale
(A.
duodenale)
dan
Necatoramericanus
(N.americanus).) Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum Nematoda.) Selain kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh A. braziliense dan A. caninum yang ditemukan pada berbagai jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva migrans. Terdapat juga infeksi A. ceylanicum yang diduga menyebabkan enteritis eosinofilik pada manusia.)Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia.(Pohan.1996) Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan
kronik
pada
saluran
cerna.
Anemia
defisiensi
besi
dan
hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah.2 Penyakit akibat cacing tambang lebih banyak didapatkan pada pria yang umumnya sebagai pekerja di keluarga. Hal ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih besar terhadap tanah terkontaminasi larva cacing.(Hotez.2004) Sampai saat ini infeksi cacing tambang masih merupakan salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan produktifitas sebagai indikator beratnyagangguan penyakit ini. Dalam kondisi infeksi berat, infeksi cacing tambang ini dapat menempati posisi di atas tripanosomiasis, demam dengue, penyakit chagas, schisostomiasis dan lepra.(Gandahusada.2003)
6
2. Taksonomi
Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dari filum nemathelminthes. Famili Strongyloidaedari kelas nematoda terdiri atas dua genus, yaitu genus Ancylostoma dan genus Necator. Dari genus Ancylostoma dapat ditemukan Ancylostoma duodenale,
Ancylostoma
Ancylostoma
caninum,
ceylanicum.
Ancylostoma
Sedangkan
dari
genus
brazilliensis Necator
dan dapat
ditemukan Necator americanus. Taksonomi cacing tambang secara lengkap diuraikan sebagai berikut. (Blacklock.1977) Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Sub Kelas : Phasmidia Ordo : Rhabtidia Super Famili : Strongyloidea Famili : Strongyloidae Genus : Ancylostoma, Necator Spesies :
Ancylostoma duodenale,
Ancylostoma caninum,
Ancylostoma brazilliensis,
Ancylostoma ceylanicum,
Necator americanus
3. Morfologi Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke belakang. Cacing jantan lebih kecil dari cacing dewasa. Spesies cacing tambang dapat dibedakan terutama karena rongga mulutnya dan susunan rusuknya pada bursa. Namun telur – telurnya tidak dapat dibedakan. Telur – telurnya berbentuk
7
ovoid dengan kulit yang jernih dan berukuran 74 –76
μ x 36 – 40 μ. Bila baru
dikeluarkan di dalam usus telurnya mengandung satu sel tapi bila dikeluarkan bersama tinja sudah mengandung 4 – 8 sel, dan dalam beberapa jam tumbuh menjadi stadium morula dan kemudian menjadi larva rabditiform (stadium pertama). (Gandahusada.2003)
(a)
(b)
Gambar 2.1. Cacing dewasa (a) Ancylostoma duodenale, (b) Necator
americanus Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil, seperti silindris. Bentuk kumparan (fusiform) dan berwarna putih keabu - abuan. Cacing betina ( 9- 13x 0,35 - 0,6 mm) lebih besar daripada yang jantan (5 - 11 x 0,3 - 0,45 mm). A.duodenale lebih besar dari pada N. americanus. Cacing ini mempunyai kutikilum yang relative tebal. Pada ujung posterior terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang cacing betina selama kopulasi. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale mempunyai huruf C.) Telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lainnya. Telur berbentuk lonjong atau ellips dengan ukuran sekitar 65x40 mikron. Telur yang tidak berwarna ini memiliki dinding tipis yang tembus sinar dan mengandung embrio dengan empat blastomer. Telur cacing tambang mempunyai ukuran 56 60 x 36 - 40 mikron berbentuk bulat lonjong, berdinding tipis. Didalamnya terdapat 1- 4 sel telur dalam sediaan tinja segar.
5
Terdapat dua stadium
larva,yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang sekitar 250
8
mikron, sedangkan larva filariform yang bentuknya langsing, panjangnya kirakira 600 mikron.( Soedarto.1995)
Gambar 2.2 Telur cacing tambang.
4. Epidemiologi
Nama “cacing tambang” pada kedua parasit ini diberikan karena pada zaman dahulu cacing ini banyak ditemukan pada pekerja pertambangan di Eropa. Penyakit yang disebabkan oleh kedua parasit ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing ini tersebar diseluruh daerah khatulistiwa terutama pada daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai seperti di daerah pertambangan dan perkebunan. Diperkirakan di seluruh dunia penyakit ini menyerang 700-900 juta orang, dengan 1 juta liter darah hilang (1 orang = 1 mL darah terhisap cacing tambang). (Widoyono.2008) Di Indonesia prevalensi kecacingan akibat spesies ini masih cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan, khususnya perkebunan sekitar 40%. Penyakit ini menyerang semua umur dengan proporsi terbesar pada anak. (Widoyono.2008)
9
5. Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing tambang a. Lahan pertanian
Area pertanian merupakan lahan tanah yang relatif gembur karena seringnya mengalami pengolahan oleh para petani untuk penanaman tanaman pangan. Kondisi tanah yang gembur ini sangat memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan cacing tambang mengingat cacing tambang berkembang biak pada tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindungi dari sinar matahari langsung. Lahan pertanian di desa tidak selalu berupa tanah persawahan, tetapi juga berupa kebun bahkan sering ditemukan kebun di sekeliling rumah yang biasanya ditanami palawija. Kebun di sekeliling rumah ini biasanya juga ditanami pepohonan produktif lainnya seperti pohon buah-buahan atau kelapa bahkan pohon jati. Rindangnya tanaman buah ini akan membuat suasana tanah kebun di sekeliling rumah menjadi teduh dan sebagian tanah kebun tidak terkena sinar matahari secara langsung. Kondisi ini sangat disukai oleh cacing tambang untuk perkembangbiakannya. Suhu optimum untuk pertumbuhan larva Necator americanus adalah 28°-30° C, sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan larva Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C. (Sebasti a n.2000)
́
b. Sanitasi rumah Lingkungan rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama dari anggota keluarga termasuk di dalamnya adalah anak. Kondisi lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi akan membantu meminimalkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penghuninya. Anak usia
sekolah
merupakan
anggota
keluarga
yang
masih
harus
mendapatkan pengawasan dalam aktifitas kesehariannya. Dalam hal kesehatan, perilaku bermain merupakan hal yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi lingkungan rumah. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik tentu akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan masyarakat pedesaan, seorang anak bermain di halaman rumah, di kebun bersama
10
teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu diwaspadai kemungkinan anak terpapar oleh cacing tambang yang memang membutuhkan
media
tanah
untuk
perkembangbiakannya.
(Gandahusada.2003)
c. Sanitasi sekolah
Sanitasi
sekolah
khususnya
sekolah
dasar
sangat
dimungkinkan menjadi salah satu penyebab terjadinya infeksi cacing tambang pada anak. Anak usia sekolah dasar merupakan anak yang memiliki frekwensi bermain relatif tinggi, baik di sekolah maupun di rumah. Perilaku bermain ini tentu tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah halaman sekolah. Kenyataan yang kita temui pada hampir sebagian besar Sekolah Dasar di pedesaan adalah kondisi sanitasi kamar mandi yang cukup memprihatinkan. Hampir dapat dipastikan peerawatan kamar mandi ini kurang baik sehingga area tanah di sekitarnya memiliki sanitasi yang kurang baik. Kondisi sanitasi sekolah yang kurang baik inilah yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi cacing tambang pada anak sekolah. (Ginting.2003) 6. Keberadaan cacing di halaman rumah dikaitkan dengan kebiasaan anak bermain tanpa alas kaki Tanah merupakan media yang mutlak diperlukan oleh cacing tambang untuk melangsungkan proses perkembangannya. Telur cacing tambang yang keluar bersama feses pejamu (host ) mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga disebut sebagai larva filariform.19) Larva filariform dalam tanah selanjutnya akan menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit perioral dan transmamaria.
Adanya kontak pejamu dengan larva filariform yang infektif menyebabkan terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan
11
kelompok rentan terinfeksi cacing tambang karena pola bermain anak pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak bermain seringkali lupa menggunakan alas kaki. (Maryanti.2006) 7. Kebiasaan defekasi anggota keluarga
Perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang baik dan di sembarang tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing tambang. Secara teoritik, telur cacing tambang memerlukan media tanah untuk perkembangannya. Adanya telur cacing tambang pada tinja penderita yang melakukan aktifitas defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing tambang pada masyarakat di sekitarnya. 8. Patofisiologi
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena
matahari
langsung
dan
berada
dalam
lingkungan
yang
hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. (Prianto.1994) Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya,
larva bermigrasi melalui jaringan
subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.16 Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir. (Prianto.1994)
12
9. Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit. (Soedarto.1995) 10. Cara penularan a.
Faktor perilaku Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian Hookworm disease antara lain : 1) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan Hookworm disease. 2) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing . Penyebab utama Hookworm disease adalah larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-worming
secara
teratur
dapat
mengurangi
pencemaran
13
lingkungan
oleh
telur
dan
larva
cacing
tambang.
(Gandahusada.2003)
3) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai . Kondisibiogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis.13Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal
dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas
menyebabkan banyaknya laporan kejadian Hookworm disease dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita Hookworm disease telah mengunjungi pantai selama liburannya. (Gandahusada.2003) b. Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian Hookworm disease antara lain : 1) Keberadaan anjing dan kucing
Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma
braziliense,
Ancylostoma
ceylanicum,
dan
Ancylostoma caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat
mengandung
telur
cacing Ancylostoma
braziliense,
Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan Hookworm disease. (Blacklock.1977) 2) Cuaca atau iklim lingkungan
Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian Hookworm disease, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di
14
tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia. (Blacklock.1977) 3) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab
Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan Hookworm disease. (Blacklock.1977) c.
Faktor demografi Adapun faktor demografi yang mempengaruhi kejadian Hookworm disease antara lain : 1) Usia
Hookworm disease paling sering terkena pada anak berusia
≤4
tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut
juga
didapatkan
bahwa
usia
merupakan
faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan kejadian Hookworm disease(p<0,0001). (Blacklock.1977) 2) Pekerjaan
Larva infektif penyebab Hookworm disease terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva dari Hookworm. Pekerjaan yang memiliki risik o teinfeksi larva penyebab Hookworm disease diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir. (Widoyono.2008)
15
3) Tingkat pendidikan
Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko Hookworm disease di Brazil menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita Hookworm disease, sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita Hookworm disease. (Soedarto.1995) 11. Cara Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian Hookworm disease antara lain: a. Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi. b. Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah c. Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan antihelmintik d. Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain e. Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang f.
Wisatawan disarankan untuk menggunakan
alas kaki saat
berjalan di pantai dan menggunakan kursi saat berjemur Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial
mengakibatkan
sulitnya
masyarakat
untuk
memberikan
pengobatan yang teratur terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan masyarakat. (Soedarto.1995)
16
12. Penatalaksanaan Farmakoterapi
Terapi
antihelminth
yang
digunakan
adalah
golongan
Benzimidazoles (BZAs), yaitu albendazole dan mebendazole. BZA membunuh cacing dewasa melalui ikatan dengan beta-tubulin dan selanjutnya menghambat polimerisasi mikrotubulus parasit. Pamoate levamisol dan pyrantel juga dapat digunakan. Studi meta-analisis menyebutkan efikasi terapi dosis tunggal pada infeksi cacing tambang adalah sebagai berikut: albendazole 72%; mebendazole 15%; pyrantel pamoat 31% (Rahmawati, 2014). Albendazole (400 mg) danmebendazole (500 mg) efektif, murah, dan mudah diberikan oleh orang-orang non medis (misalnya guru sekolah). Obat-obat ini telah melalui tes keamanan dan telah lebih digunakan pada jutaan orang dengan efek samping yang lebih sedikit. Keduanya telah didonasikan oleh WHO pada kementrian kesehatan di negara-negara endemik untuk terapi semua anak-anak usia sekolah. Obat antihelmintes yang efektif termasuk pyrantel pamoate. Terapi yang dapatdiberikan antara lain, 1) Albendazole dosis tunggal 400 mg atau harian diberikan selama 3 hari 2) Mebendazole 100 mg dua kali sehariselama 3 hari (lebih efektif daripada bila diberikan dosis tunggal 500mg), 3) Pyrantelpamoate 11 mg/kg dosis, biasanya lebih dari 3 hari. (Rahmawati, 2014).
17
C. Analisis INPUT PROSES
Tingkat pendidikan kepala keluarga masih rendah
Perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah
Pekerjaan umumnya tani atau buruh tani
Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Penghasilan masih di bawah upah minimum kabupaten (UMK)
Peningkatan Kejadian
H ookworm Disease pada siswa SDN Rejoso
Rumah dengan lahan pekarangan atau pertanian
Perilaku buang air besar di sekitar rumah
Tanah kering
LINGKUNGAN Gambar 2.3.: Diagram Fish bone Kejadian Hookworm Disease di Desa Rejoso, Kecamatan Karang, Kabupaten Damai
18
D. Pembahasan INPUT 1. Tingkat pendidikan kepala keluarga masih rendah
Rendahnya pendidikan formal kepala keluarga yang sebagian besar adalah tamatan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama menyebabkan ketidaktahuan akan perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pengetahuan
tentang
kesehatan
anggota
keluarganya.
Dalam
kesehariannya hampir tidak pernah memperhatikan berbagai hal terkait dengan upaya menjaga kesehatan diri terutama anak karena kurangnya edukasi dalam pola hidup sehat mulai dari cara mencuci tangan dan menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal. Faktor inilah yang diduga mengakibatkan terjadinya infeksi cacing tambang pada anak tidak pernah terdeteksi sehingga menimbulkan angka infeksi yang relatif tinggi.
2. Penghasilan masih di bawah Upah Minimum Kota (UMK)
Upah minimum merupakan instrument kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan fungsi distribusi pendapatan. Penetapan upah minimum yang dilakukan pemerintah memiliki tujuan untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi ketidaksetaraan upah, mengurangi pekerjaan berupah rendah, memberi bantuan untuk pendidikan, dan melindungi pekerja yang memiliki daya tawar rendah. Dengan penghasilan yang masih di bawah upah minimum kota (UMK) berdampak makin rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja. Infeksi cacing tambang juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Peter Hotez (2008), semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat maka akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga personal higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggal.
19
3. Pekerjaan umumnya tani atau buruh tani
Jenis pekerjaan kepala keluarga sebagai buruh tani ternyata berhubungan dengan terinfeksi penyakit cacing tambang. Manakala kepala keluarga kurang memperhatikan kebersihan diri dalam kehidupan sehari-hari sementara
pekerjaan
selalu
kontak
dengan
tanah
maka
anggota
keluarganya berpeluang cukup besar untuk terinfeksi penyakit cacing tambang. Untuk mengurangi risiko terinfeksi cacing tambang dapat diupayakan dengan mengurangi kontak kaki secara langsung dengan tanah dengan menggunakan alas kaki saat bekerja. PROSES 1. Perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah
Anak pada saat bermain di tanah sering menggunakan tangan untuk mengambil dan membuat mainan dari tanah atau menggunakan tanah untuk bahan mainan. Kontaknya tangan anak dengan tanah ini sangat memungkinkan anak terinfeksi cacing tambang melalui tangan. Apabila anak selalu bermain menggunakan media dan mainan tanah sementara mainan atau pola bermainnya selalu membuat tangan anak kontak dengan tanah, maka anak semakin berpeluang terinfeksi cacing tambang. Untuk mengurangi risiko tersebut dapat diupayakan dengan mencuci tangan anak usai bermain dengan tanah. 2. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Dalam
melakukan
pekerjaannya
kepala
keluarga
umumnya
tidak
menggunakan alas kaki. Manakala pada tanah sawah tempatnya bekerja mengandung larva infektif cacing tambang, sangat berisiko terinfeksi cacing tambang. Apalagi bila tidak menjaga personal higiene dengan tidak langsung mencuci kaki setelah bekerja meningkatkan kemungkinan larva cacing tambang dapat menembus kulit kaki dan risiko terinfeksinya cacing tambang semakin meningkat.
20
LINGKUNGAN 1. Perilaku buang air besar di sekitar rumah.
Perilaku defekasi atau buang air besar di sekitar rumah atau di sembarang tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing tambang. Secara teoritik,
telur
cacing
tambang
memerlukan
media
tanah
untuk
perkembangannya. Adanya telur cacing tambang pada tinja penderita yang melakukan aktifitas defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing tambang pada masyarakat di sekitarnya.
2. Tanah kering
Tanah merupakan media yang mutlak diperlukan oleh cacing tambang untuk melangsungkan proses perkembangannya. Tanah yang kering dan gembur sangat memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan cacing tambang mengingat cacing tambang berkembang biak pada tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindungi dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang yang keluar bersama feces penjamu ( host ) mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga disebut larva filariform. Larva filariform dalam tanah selanjutnya akan menembus kulit tangan dan kaki.
3. Rumah dengan lahan pekarangan atau pertanian
Bila setiap rumah masih memiliki lahan pekarangan atau halaman berupa tanah di sekeliling rumahnya maka halaman inilah yang nantinya bisa menjadi arena bermain bagi anak. Manakala pada tanah halaman tersebut mengandung larva infektif cacing tambang, peluang anak untuk terinfeksi cacing tambang akan semakin besar. Adanya lahan pertanian di
21
lingkungan rumah juga menjadi faktor risiko terjadinya infeksi cacing tambang pada anak. E. Prioritas Masalah Tabel I.2. Tabel Scoring Menentukan Urutan Prioritas Masalah
Masalah No
Parameter A
B
C
D
E
1.
Prevalence
3
4
4
3
4
2.
Severity
3
4
4
3
4
3.
Rate % Increase
4
4
4
4
4
4.
Degree of unmeed need
2
4
4
3
3
5.
Social benefit
4
4
4
4
4
6.
Public concern
2
3
3
4
3
7.
Technical feasibility study
3
5
3
4
3
8.
Resource availlability
3
4
3
3
3
Jumlah
24
32
29
28
28
Rerata (Sesuai Jumlah Parameter)
3
4
3,62
3,5
3,5
Masalah A : Tingkat pendidikan kepala keluarga masih rendah Masalah B : Perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah Masalah C : Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Masalah D : Media penyuluhan yang kurang mendukung Masalah E : Perilaku buang air besar di sekitar rumah
22
BAB III RENCANA PROGRAM A. Rencana Program
Seperti yang telah dijelaskan bahwa masalah yang terjadi di desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai adalah penanggulangan terjadinya infeksi cacing tambang. Dari masalah tersebut terdapat beberaa alternative kegiatan yang diperlukan, yaitu sebagai berikut:
1. Menambah fasilitas dan sanitasi MCK (Mandi, cuci, kakus) di Desa Asih Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana
Ketersediaan jamban sangat di perlukan sebagai sarana tempat pembuangan tinja. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat kesehatan, misalnya: buang air besar sembarangan seperti di atas tanah atau di sungai akan menyebabkan telur-telur cacing dapat tertelan oleh manusia melalui kontaminasi. Pembuangan tinja yang memenuhi persyaratan akan mengurangi jumlah infeksi. Hal ini penting di perhatikan terutama bila berhubungan dengan anak-anak yang melakukan defekasi di tanah. Ada hubungan signifikan antara ketersediaan jamban SPAL dengan faktor risiko infeksi kecacingan pada anak. Dari data yang didapatkan, diketahui bahwa masih tingginya perilaku buang air besar sekitar rumah, perilaku ini adalah salah satu faktor yang berperan besar dalam penyebaran penyakit, disamping itu peranan
tinja
dalam
penyebaran
penyakit
dapat
langsung
mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air,tanah serangga (lalat,kecoa dan sebagainya). Maka pentingnya untuk pengadaan dan perbaikan fasilitas MCK contoh dengan cara arisan jamban sebagai upaya preventif
23
penyebaran penyakit oleh kotoran manusia. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing gelang, cacing pita).
2. Sosialisasi tentang cuci tangan dan bahaya penyakit infeksi cacing tambang di Desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai
Cuci tangan adalah suatu tindakan sanitasi dengan membersihan tangan dan jari jemari dengan menggunakan air atau cairan lainnya oleh manusia dengan tujuan untuk menjadi bersih. Dalam kasus ini sosialisasi tentang cuci tangan dan bahaya penyakit infeksi cacing gelang di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai sebaiknya dilaksanakan. Dalam sosialisasi ini penjelasan tentang cacing tambang yang paling sering disebabkan oleh Ancylostomiasis Duodenale dan Necator Americanus serta cara penularannya. Sasaran sosialisasi ini adalah kepala keluarga dan murid-murid SDN Rejoso, Desa Karang, Kecamatan Damai, Kabupaten Cendana. Tujuan sosialisasi cuci tangan ini adalah untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi cacing tambang dan meningkatkan pengetahuan tentang
pengenalan
tanda-tanda
penderita
cacing
tambang dan kemana mencari pertolongan pengobatan, untuk meningkatkan pemahaman bagaimana mencegah penularan cacing tambang. Langkah penting yang harus dilakukan dan dipahami untuk mencegah terjadinya penularan Infeksi Cacing tambang antara l ain:
24
a. Meningkatkan pengetahuan tentang bahaya akan terjadinya penyakit tesebut dan penularanya, dan penting juga untuk selalu menjaga kebersihan diri sendiri dan lingkungan sekitar. b. Pengadaan Fasilitas MCK keluarga, sehingga kotoran manusia tidak menyebabkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita. c. Menghindari penggunaan tinja sebagai Pupuk. d. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan Aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.
Metode sosialisasi yang digunakan yaitu: a. Memanfaatkan waktu pertemuan warga sebagai media penyuluhan.
Pertemuan dengan warga sangat penting sebagai media untuk menyampaikan informasi tentang pentingnya
sanitasi
lingkungan, mencuci tangan, pengadaan fasilitas MCK, penambahan pengetahuan tentang proses terjadinya infeksi cacing tambang beserta faktor resiko terjadinya infeksi dan pengobatanya, serta pentingnya tindakan preventif. Maka perlunya dilakukan penyususnan program.-program khusus untuk kegiatan penyuluhan di puskesmas. b. Menyusun program khusus untuk kegiatan penyuluhan di Puskesmas
Penghimbauan tentang pentingnya Sanitasi lingkungan: Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih
dengan
maksud
mencegah
manusia
bersentuhan
langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya
dengan
harapan
usaha
meningkatkan kesehatan manusia.
ini
akan
menjaga
dan
25
3. Pemberian pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi cacing Tambang di Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
Pengobatan penyakit cacing Tambang dapat dilakukan dengan berbagai macam anthelmintic, antara lain befenium hidroksinafloat, tetraldoretilen, pirantel pamoat, dan mebendazole. Berikut
merupakan
cara
dan
dosis
penggunaan
obat-obatan
anthelmintic : a. Pemberian pirantel pamoat selama 3 hari, atau b. Mebendazole 500 mg dosis tunggal atau 100 mg, 2x sehari, selama 3 hari, c. Albendazole 400 mg, dosis tunggal, tidak diberikan pada wanita hamil. 4. Sosialisasi pengguanaan alas kaki di Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai
Menjelaskan
penggunaan
alas
kaki
dan
pencegahan
serta
menerangkan penularan cacing melalui tanah yang bisa saja terjadi karena cacing yang hidupnya di dalam tanah dapat menembus kulit dan akan mengikuti aliran darah dan masuk ke paru – paru serta ke dalam usus dan menjadi cacing dewasa. Cacing yang ada di dalam tanah tersebut di sebabkan karena kebiasan pembuangan tinja yang di sembarangan.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
terkontaminasinya
lingkungan seperti tanah, oleh telur cacing dari tinja. Sehingga orang yang pernah terinfeksi akan terinfeksi lagi atau menginfeksi orang lain.
26
Tabel 1: Skoring untuk menentukan prioritas solusi masalah perilaku anak-anak yang biasa bermain tanah sebagai berikut:
Efektivitas No
Efisiensi
Hasil
Alternatif Kegiatan
1
Sosialisasi cuci tangan dan bahaya
M
I
V
C
4
5
5
2
50
3
5
4
2
30
4
3
3
5
7,2
penyakit infeksi cacing Tambang di Desa
Rejoso
Kecamatan
Karang,
Kabupaten Damai. 2
Sosialisasi
penggunaan
alas
kaki
(sandal dan sepatu ) di Desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai. 3
Membangun tempat bermain khusus anak-anak dengan paving di Desa Rejoso
Keterangan :
P
: Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah ini) I
: Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.
V : Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah C : Cost, biaya yang diperlukan Dengan demikian prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah kejadian cacing tambang di Desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai, adalah sosialisasi cuci tangan dan bahaya penyakit infeksi cacing tambang di Desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
27
Yang lebih lanjut dirinci sebagaimana dapat dilihat pada Tabel Rencana Kegiatan sebagai berikut:
28
B. Uraian Kegiatan
Tabel 3.2 : Rencana Sosialisasi Cuci Tangan dan Tanda Bahaya Penyakit Infeksi Cacing Tambang Di desa Rejoso Kecamatan
Karang, Kabupaten Damai.
No
1
2
Kegiatan
Pendataan warga dan anak-anak
Menyiapkan tenaga dan perlengkapa n
Sasaran
Kepala rumah tangga dan siswa-siswi SDN
Target
Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai
100 % kepala rumah tangga dan siswa-siswi dengan sanitasi buruk dan pengetahuan yang minim.
Petugas kesehatan
100 % tenaga dan alat siap
Volume kegiata n 1 tim yang telah ditunjuk
Rincian kegiatan
Mendata semua kepala rumah tangga dan siswa-siswi SDN Rejoso
Kecamatan Karang, Kabupaten Damai dengan
Lokasi pelaksana
Desa Rejoso
Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
Tenaga pelaksana
Jadwal
Kebutuhan pelaksanaan
Petugas puskesmas
Minggu 1
ATK dan Transportasi
Tenaga puskesmas dan tenaga pembanguna
Minggu 1
Sabun, air bersih, proyektor, alat
sanitasi yang buruk
1 tim telah ditunjuk
Mencari perlengkapan yang diperlukan dan menyiapkan
Di desa Rejoso kecamatan Karang,
29
3
Sosialisasi cuci tangan
Kepala rumah tangga dan siswa-siswi SDN
100% tenaga dan alat siap
1 tim yang telah ditunjuk
Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
alat yang akan dipakai
kabupaten Damai.
n desa
1. Memilih tenaga yang siap melaksanakan tugas sosialisasi cuci tangan 6 langkah oleh peraga dan diikuti oleh warga dan siswa-siswi SDN Rejoso
Di Balai desa dan SDN
Petugas kesehatan puskesmas
Minggu 2
Sabun, air bersih, proyektor, alat peraga dan tisu
Tenaga kesehatan puskesmas
Minggu 3
Proyektor, materi dan obat-obatan
Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
peraga dan tisu
Kecamatan Karang, Kabupaten Damai. 2.Sosialisasi waktu tepat cuci tangan 3. Pemasangan poster & leaftlet di tempat strategis.
4
Sosialisasi bahaya penyakit
Kepala rumah tangga dan
100 % kepala rumah tangga dan
1 Tahun
1. Menjelaskan tentang bahaya
Desa Rejoso, kecamatan Karang,
30
5.
infeksi cacing tambang di desa Rejoso, kecamatan Karang, kabupaten Damai.
siswa-siswi SDN Rejoso, kecamatan Karang, kabupaten Damai
siswa-siswi dengan sanitasi buruk dan pengetahuan yang minim.
Evaluasi hasil penyuluhan
Masyarakat dan siswa SDN Rejoso
1. Peningk
atan pemaha man tentang infeksi cacing tambang 2. Penurun an angka insiden Hookwo rm
1 kali
penyakit 2. Cara pencegahan dan penularan penyakit infeksi cacing tambang 3. Melakukan pengobatan pada pasien yang terinfeksi cacing tambang
kabupaten Damai
Rejoso
1.Inspeksi mendadak ke rumah masyarakat desa Rejoso 2.Penyebaran kuisioner untuk menilai tingkat pengetahuan tentang infeksi
Balai desa dan SDN Rejoso
Tim penyuluh
cacing (anti helminth)
Minggu 5
1. Transport 2. Kuisioner 3. Kamera 4. Lembar laporan
31
disease
cacing tambang